Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus menggambarkan kelompok penyakit gangguan

metabolisme kompleks dengan hasil pemeriksaan yang khas yaitu hiperglikemia

kronis yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin,

atau karena gangguan keduanya. Pengeluaran insulin yang kurang memadai

dan/atau respons jaringan yang berkurang terhadap insulin mengakibatkan aksi

insulin yang kurang pada jaringan target, hal ini yang menyebabkan terjadinya

abnormalitas metabolisme dari karbohidrat, lemak, dan protein (WHO, 2016).

Diabetes melitus merupakan istilah umum untuk kelainan pada sistem

metabolisme yang memiliki ciri utama yaitu hiperglikemia kronis. Hal ini

merupakan hasil dari sekresi insulin yang terganggu atau fungsi insulin yang

terganggu atau paling sering karena kedua gangguan tersebut (Petersmann et al.,

2018).

Menurut Hinkle dan Cheever (2018) sampai saat ini klasifikasi konseptual

klasifikasi diabetes melitus sebagai berikut:

a. Diabetes Melitus tipe 1

Adalah gangguan metabolisme yang terkait dengan produksi insulin yang

tidak ada dan sekresi penghancuran autoimun sel beta dari pulau

langerhans di pankreas juga tidak ada, sebelumnya disebut diabetes

tergantung insulin, atau diabetes remaja.

b. Diabetes Melitus tipe 2


Merupakan gangguan metabolisme yang berhubungan dengan defisiensi

relatif produksi insulin dan penurunan kerja insulin serta peningkatan

resistensi insulin.

c. Diabetes Gestasional

Terjadi ketika tingkat intoleransi glukosa yang timbul selama kehamilan,

selama kehamilan terjadi hiperglikemia yang diakibatkan oleh pengeluaran

hormon plasenta, yang akhirnya berdampak pada resistensi insulin.

d. Diabetes yang berkaitan dengan kondisi lain (kondisi yang diduga

menyebabkan masalah kesehatan antara lain: penyakit pankreas, kelainan

pada hormonal, pengaruh obat-obatan seperti kortikosteroid dan sediaan

hormon estrogen).

Menurut PERKENI (2019) kriteria diagnostik diabetes melitus yaitu

pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dl. Glukosa puasa merupakan

kondisi dimana tidak adanya asupan kalori selama minimal 8 jam atau

pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200mg/dl 2 jam setelah dilakukan Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) dengan memberikan 75 gram glukosa atau pemeriksaan

glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dl yang disertai dengan keluhan klasik atau

pemeriksaan GbA1c ≥ 6,5% dengan metode high-performance liquid

chromatography (HPLC) yang telah memiliki standar yang baku oleh National

Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak sesuai dengan kriteria normal dikategorikan

ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: (1) Toleransi Glukosa Terganggu

(TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT). Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT) didapati hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa pada

rentang antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma dua jam

dengan hasil <140 mg/dL, (2) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) yang memiliki

hasil pemeriksaan glukosa plasma dua jam setelah TTGO berada pada rentang

antara 140–199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL, (3) Secara

bersamaan didapatkan GDPT dan TGT, (4) Diagnosis prediabetes dapat

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7–

6,4% (PERKENI, 2019).

2.2 Faktor Risiko Diabetes Melitus

American Diabetes Association menyatakan bahwa faktor yang

berhubungan dengan kejadian diabetes antara lain:

1. Adanya riwayat keluarga yang mengalami diabetes (misalnya: orang tua

atau saudara kandung),

2. Kelebihan berat badan atau obesitas (melebihi berat badan ≥ 20% atau

memiliki indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2),

3. Ras atau suku (misalnya: Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Pribumi

Amerika, Asia Amerika, Kepulauan Pasifik),

4. Usia sama dengan atau lebih dari 45 tahun,

5. Memiliki gangguan glukosa puasa atau gangguan toleransi glukosa,

6. memiliki riwayat hipertensi ( ≥ 140/90 mmHg),

7. Memiliki kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL)) ≤ 35 mg/dL

(0,90 mmol/L)) dan/atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,88 mmol/L),


(10) memiliki riwayat diabetes gestasional atau persalinan bayi lebih dari

9 pon (ADA, 2016).

2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus

Menurut (Mioni, 2019) diabetes melitus berkaitan dengan ketersediaan

dan aktivitas insulin di dalam tubuh. Diabetes tipe 1 ditandai dengan kekurangan

insulin, sementara diabetes tipa 2 melibatkan resistensi jaringan perifer tubuh

terhadap efek insulin. Kedua bentuk tersebut tidak memiliki efek persinyalan

insulin ketika glukagon dan sinyal metabolik lainnya hadir dalam tingkat nolmal

atau tinggi. Ketidakseimbangan dalam metabolisme karbohidrat pengaruhnya

terhadap jalur metabobilme menyebabkan diabetes melitus.

Pada diabetes tipe 1, hati mampu memproduksi glukosa, tetapi simpanan

glikogen sangat terbatas. Ketika insulin tidak ada, glukoneogenesis tidak

terkontrol dan meningkatnya kadar glukosa darah. Seiring dengan hal tersebut, sel

lemat dan otot tidak dapat mengambil gluosa darah yang tersedia melalui

transporter 4 (GLUT4), tubuh tidak dapat menghilangkan glukosa darah yang

meningkat. Sementara glukosa dalam darah sangat tinggi, otot perifer dan lemak

kekurangan glukosa, sekresi glukogen “terlepas” dari kadar gula darah. Insulin

penting dalam pengaturan sekresi glikogen. Oleh karena itu, glikogen yang tidap

dilawan dengan hormon kontra-regulasi seperti katekolamin, kastisol dan hormon

pertumbuhan menghambat sintesis glikogen (Moini, 2019)

Pada diabetes tipe 2, resistensi insulin menyebabkan tubuh bereaksi

seolah-olah tubuh kekurangan insulin, meskipun insulin berada dalam keadaar


yang tinggi. Pada diabetes tipe 2 hati masih mampu memproduksi glikogen, dan

lipolisis dikendalikan karena adanya insuli. Lipoprotein biasanya meningkat,

seringkali karena gizi yang buruk dan obesitas. Ketoasidosis biasanya tidak terkait

dengan diabetes tipe 2, tetapi dapat terjadi karena stresor metabolik lainnya dan

jika terjadi kegagalan pankreas, hal ini menyebabkan penurunan produksi dan

sekresi insulin. Penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua dapat mengembangkan

kondisi serius yang disebut sindrom nonketotik hiperglikemik hiperosmolar.

Tubuh berusahan menghilangkan gula dengan membuang ke dalam urin. Kondisi

ini biasanya disebabkan oleh penyakit, infeksi atau karena faktor lainnya (Mioni,

2019).

2.4 Komplikasi Diabetes Melitus

2.4.1 Komplikasi Akut

Seseorang dengan menderita penyakit diabetes berpeluang mengalami

komplikasi yang disebabkan oleh diabetes. Peningkatan kadar glukosa darah

maupun rendahnya kadar glukosa darah yang berhubungan dengan komplikasi

akut dapat diobati dan dapat dicegah melalui perawatan yang benar.

a. Hiperglikemia

Peningkatan kalori yang dikonsumsi yang tidak diimbangi dengan

ketersediaan insulin yang cukup atau peningkatan penggunaan glukosa

dapatmenyebabkan terjadinya hiperglikemia. Penyebab paling umum yang

menyebabkan terjadinya hiperglikemia adalah mengonsumsi makanan

lebih banyak daripada yang ditentukan dalam perencanaan makan.


Penyebab lain terjadinya hiperglikemia adalah adanya faktor stres yang

dialami oleh penderita diabetes. Stres dapat menyebabkan melepaskan

hormon kontra regulasi, termasuk epinefrin, kortisol, hormon

pertumbuhan, dan glukagon. Hormon-hormon tersebut dapat

meningkatkan kadar glukosa darah. Pada orang yang tidak menderita

diabetes, hal ini merupakan fungsi adaptif. Namun, pada penderita

diabetes tidak dapat mengimbangi antara peningkatan kadar glukosa darah

dengan peningkatan sekresi insulin, dan pada akhirnya menyebabkan

hiperglikemia (William & Hopper, 2011).

b. Hipoglikemia

Rendahnya glukosa darah atau disebut juga hipoglikemia, dapat

terjadi ketika glukosa tidak cukup tersedia sehubungan dengan sirkulasi

insulin. Hal ini juga terkadang disebut sebagai reaksi insulin. Kadar

glukosa darah yang biasaanya menyebabkan hipoglikemia yaitu dibawah

70 mg/dL. Terkadang gejala yang muncul sebagai akibat dari penurunan

glukosa darah yang begitu cepat, walaupun kadar glukosa dalam rentang

yang normal atau tinggi. Terjadinya hipoglikemia dapat disebakan karena

melewatkan waktu makan, berolahraga lebih dari biasanya, atau tidak

sengaja memberikan terlalu banyak insulin. Kadar glukosa darah yang

berulang atau sangat rendah dapat menyebabkan kerusakan neurologis

karena kadar glukosa yang tidak cukup untuk fungsi otak (William &

Hopper, 2011).

c. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik (DKA) terjadi ketika kadar glukosa darah

yang tinggi dan insulin yang kurang. Biasanya hal ini paling sering terjadi

pada orang yang menderita diabetes tipe 1, tetapi tidak tertutup

kemungkinan dapat juga terjadi pada penderita dengan diabetes tipe2

apabila terjadi kekurangan insulin, dan terjadi pada tahap akhir proses

penyakit. Jika insulin tidak cukup untuk memungkinkan glukosa masuk ke

dalam sel, maka akan menyebakan sel kelaparan. Hal ini menyebabkan

tubuh kemudian memecahkan lemak untuk digunakan sebagai energi.

Pemecahan lemak melepaskan zat asam yang disebut keton. Saat keton

terbentuk di dalam darah, maka ketoasidosis terjadi (William & Hopper,

2011).

Ketoasidosis diabetik (DKA) disebabkan oleh tidak adanya insulin

atau jumlah insulin yang ada tidak memadai. Defisit insulin menyebabkan

terjadinya gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.

Tiga gambaran klinis utama DKA yaitu: hiperglikemia, dehidrasi dan

kehilangan elektrolit, asidosis (Brunner & Suddarth’s, 2018).

d. Keadaan Hiperglikemik Hiperosmolar

Keadaan hiperglikemik hiperosmolar ( disebut juga sindrom

hiperglikemik hiperglikemik hiperosmolar) terjadi terutama pada diabetes

tipe 2, ketika kadar glukosa darah tinggi dan pasien mengalami penurunan

asupan cairan akibat stres atau penyakit. Pada penderita diabetes tipe 2

memiliki beberapa produksi insulin dan ketoasidosis diabetes biasanya

tidak terjadi (William & Hopper, 2011).


e. Komplikasi Jangka Panjang

Seiring berjalannya waktu, hiperglikemia kronis menyebabkan

berbagai komplikasi pada penderita diabetes. Hal ini melibatkan sistem

peredaran darah, mata, ginjal, kulit, dan saraf. Sebagian besar komplikasi

melibatkan pembuluh darah besar di tubuh (komplikasi makrovaskular)

atau pembuluh darah kecil, seperti di mata atau ginjal (komplikasi

mikrovaskular). Diabetes Control and Complications Trial (DCCT),

sebuah studi penelitian klasik besar yang diselesaikan pada tahun 1993

menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami diabetes tipe 1 dengan

mempertahankan kontrol ketat glukosa darah mengalami komplikasi

mikrovaskuler jangka panjang yang lebih sedikit daripada individu yang

menjalani perawatan tradisional diabetes mereka. Demikian halnya

StudiDiabetes Prospektif Inggris (UKPDS) yang diselesaikan pada tahun

1998 menunjukkan bahwa individu dengan diabetes tipe 2 yang

mempertahankan HbA1c di bawah 7% dapat mengurangi komplikasi

secara signifikan. Faktanya, untuk setiap persentase penurunan HbA1c

terdapat 25% lebih sedikit kematian akibat komplikasi terkait diabetes

(William & Hopper, 2011).

f. Komplikasi Makrovaskular

Penderita diabetes mengembangkan aterosklerosis yang lebih cepat

jika dibandingkan pada populasi umum. Penderita diabetes lebih mungkin

menderita hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol serta trigliserida

lipoprotein densitas yang rendah. Glukosa darah yang tinggi juga dapat
mempengaruhi fungsi trombosit yang dapat menyebabkan peningkatan

pembekuan. Masalah-masalah ini menyebabkan lebih tingginya insiden

penyakit stroke, serangan jantung, dan sirkulasi yang buruk pada kaki

maupun tungkai. Risiko penyakit kardiovaskular dan stroke dapat terjadi

dua hingga empat kali lebih sering pada penderita diabetes jika

dibandingkan pada populasi umum..

Mengontrol kadar glukosa darah, tekanan darah, dan kadar

kolesterol sangat bermanfaat dalam mencegah terjadinya komplikasi yang

mematikan. Penderita juga harus menghindari merokok, menjaga berat

badan normal, dan berolahraga secara teratur (William & Hopper, 2011).

Komplikasi makrovaskuler diabetik terjadi akibat perubahan pada

pembuluh darah. Dinding pada pembuluh darah akan menebal, mengeras,

dan plak yang tersumbat yang menempel di dinding pembuluh darah, yang

pada akhirnya menyebabkan aliran darah tersumbat. Penyakit arteri

koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer

merupakan penyakit komplikasi utama makrovaskular yang sering

terjadiipada pasien dengan diabetes (Brunner & Suddarth’s, 2018).

g. Komplikasi Mikrovaskular

Penyakit mikrovaskuler diabetik atau mikroangiopati yang ditandai

dengan penebalan membran basal kapiler. Membran basal tersebut

mengelilingi sel endotel kapiler. Peningkatan kadar glukosa darah bereaksi

melalui serangkaian respons biokimia yang menebalkan membran basal


hingga melebihi dari ketebalan normal. Area yang dipengaruhi karena

perubahan ini adalah retina dan ginjal (Brunner & Suddarth’s, 2018).

Komplikasi mikrovaskuler pada mata biasanya menyebabkan

retinopati pada kebanyakan pasien diabetes. Retinopati melibatkan

kerusakan pada pembuluh darah kecil yang memasok bagian mata. Terjadi

perdarahan kecil, yang dapat menyebabkan kebutaan jika tidak segera

diperbaiki. Diabetes juga dikaitkan dengan insiden katarak yang tinggi.

Pasien dengan diabetes harus menjalani pemeriksaan mata dilatasi setiap

tahun (Williams & Hopper, 2011).

Komplikasi mikrovaskuler pada ginjal melibatkan kerusakan pada

pembuluh darah kecil di daerah ginjal. Hingga 40% pasien diabetes

mengalami nefropati pada derajat tertentu. Faktor risiko utama nefropati

diabetik adalah kontrol glukosa darah yang buruk. Jika nefropati terjadi,

ginjal tidak dapat mengeluarkan produk limbah dan kelebihan cairan dari

darah. Diabetes adalah penyebab utama penyakit ginjal (ginjal) pada

stadium akhir (ESRD). Ketika ginjal telahkehilangan sebagian besar

fungsinya, darah pasien dapat dibersihkan secara artifisial dengan

hemodialisis atau dialisis peritoneal (Williams & Hopper, 2011).

h. Neuropati Diabetik

Menurut Brunner & Suddarth’s (2018) neuropati diabetes merujuk

pada kelompok penyakit yang mempengaruhi semua saraf, termasuk pada

saraf perifer (sensorimotor), otonom, dan tulang belakang. Gangguan ini

tampaknya bervariasi secara klinis dan tergantung pada lokasi sel saraf
mana yang terkena. Prevalensi neuropati diabetik akan terus meningkat

seiring dengan pertambahan usia pasien dan durasi penyakit.

Etiologi neuropati melibatkan peningkatan kadar glukosa darah

selama beberapa tahun.Mengontrol kadar glukosa darah ke tingkat kadar

yang normal atau mendekati normal dapat menurunkan terjadinya

neuropati. Patogenesis terjadinya neuropati dapat dikaitkan dengan

mekanisme vaskular atau metabolisme atau disebabkan oleh keduanya.

Penebalan membran basal kapiler dan penutupan kapiler mungkin ada.

Selain itu, terjadi demielinisasi saraf yang diduga terkait dengan terjadinya

hiperglikemia. Konduksi saraf terganggu apabila ada penyimpangan pada

selubung mielin. Jenis neuropati diabetik yang umum terjadi yaitu

polineuropati sensorimotor dan neuropati otonom. Polineuropati

sensorimotor juga disebut neuropati perifer. Mononeuropati kranial yang

memengaruhi saraf okulomotorik juga terjadi pada diabetes, terutama pada

orang dewasa yang lebih tua (Brunner & Suddarth’s, 2018).

i. Komplikasi pada kaki

Menurut (Brunner & Suddarth’s, 2018) komplikasi diabetes yang

berkontribusi pada peningkatan risiko masalah kaki dan infeksi meliputi:

(1) neuropati sensorik yang berdampak pada hilangnya sensasi rasa sakit

dan sensasi tekanan, dan neuropati otonom mengakibatkan kulit menjadi

kering dan pecah-pecah (sekunder akibat penurunan keringat). Neuropati

motorik dapat menyebabkan atrofi pada otot sehingga terjadi perubahan

pada bentuk kaki. (2) Penyakit vaskular perifer menyebabkan aliran


sirkulasi yang buruk pada ekstremitas bawah yang berkontribusi pada

proses penyembuhan luka yang lebih buruk dan gangren yang semakin

berkembang. (3) Immunocompromise menyebabkan hiperglikemia yang

dapat merusak kemampuan leukosit yang khusus untuk menghancurkan

bakteri. Oleh sebab itu, diabetes yang tidak terkontrol dengan baik,

terdapat penurunan resistensi terhadap infeksi tertentu.

Urutan kejadian khas dalam perkembangan ulkus kaki diabetik

diawali dengan adanya cedera pada jaringan lunak kaki, kemudian

terbentuk celah di antara jari-jari kaki atau di area kulit yang kering, atau

pembentukan kalus. Pasien dengan kaki yang tidak sensitif tidak akan

merasakan cedera, yang mungkin bersifat termal (misalnya: menggunakan

bantalan pemanas, berjalan tanpa alas kaki di beton panas, mengukur suhu

air mandi dengan kaki), bahan kimia, atau traumatis (misalnya, melukai

kulit saat memotong kuku, berjalan dengan benda asing yang tidak

terdeteksi ada di dalam sepatu, atau sepatu yang dikenakan dan kaus kaki

yang digunakan tidak sesuai (Brunner & Suddarth’s, 2018).

Jika penderita diabetes tidak memiliki kebiasaan untuk memeriksa

kedua kaki secara menyeluruh setiap hari, cedera dapat terjadi hingga

infeksi serius berkembang. Drainase, pembengkakan, kemerahan pada

kaki (dari selulitis) atau gangren merupakan tanda pertama masalah kaki

pada pasien diabetes mellitus. Pengobatan ulkus kaki melibatkan istirahat,

antibiotik, dan debridement. Selain itu, mengontrol kadar glukosa yang

cenderung meningkat saat terjadi infeksi sangat penting untuk


mempercepat penyembuhan luka. Jika terdapat penyakit pembuluh darah

perifer, ulkus kaki sulit untuk sembuh karena adanya penurunan kapasitas

oksigen, nutrisi, dan antibiotik dalam mencapai jaringan yang terluka.

Amputasi mungkin diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi,

terutama jika melibatkan tulang (Brunner & Suddarth’s, 2018).

2.5 Konsep Luka Kaki Diabetes

Luka kaki diabetes diketahui sebagai akibat dari neuropati perifer dan

penyakit arteri perifer di antara penderita diabetes (Subrata et al., 2020). Menurut

Peter-Riesch (2016) patologi yang mendasari luka kaki diabetes adalah neuropati

perifer diabetik dan penyakit arteri perifer (PAD) yang berhubungan dengan

deformitas anatomi kaki akibat neuropati motorik. Trauma menjadi penyebab

sekunder akibat sepatu yang tidak pas yang memicu kerusakan kulit, sedangkan

penyakit arteri perifer menentukan prognosis untuk penyembuhan.

Luka kaki diabetes merupakan masalah global utama medis, sosial dan

ekonomi. Ini adalah titik akhir utama yang paling umum dari komplikasi diabetes.

Neuropati diabetik dan penyakit pembuluh darah perifer merupakan faktor

etiologi utama pada luka kaki diabetes dan dapat bekerja sendiri, bersama-sama,

atau dalam kombinasi dengan faktor lain seperti penyakit mikrovaskuler, kelainan

biomekanik, mobilitas sendi terbatas dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi

(Sinwar, 2015). Luka kaki diabetik (DFU) digambarkan sebagai lesi yang muncul

di kulit kaki bersamaan dengan infeksi, kerusakan jaringan yang disebabkan oleh

neuropati dan/atau yang disebabkan oleh penyakit arteri perifer (PAD) pada

penderita diabetes (Subrata & Phuphaibul, 2019).


2.6 Patofisiologi

Patofisiologi luka kaki diabetes memiliki komponen neuropati, vaskuler,

dan sistem imun, yang semuanya menunjukkan hubungan dasar dengan keadaan

hiperglikemik diabetes. Hiperglikemia menyebabkan stres oksidatif pada sel saraf

dan menyebabkan neuropati. Tidak berfungsinya saraf terjadi karena glikosilasi

protein sel saraf, yang selanjutnya menyebabkan iskemia. Perubahan seluler

terdapat dalam bagian saraf motorik, otonom, dan sensorik dari ulkus kaki

neuropatik. Kerusakan pada neuron motorik otot kaki menghasilkan tidak

seimbangnya otot fleksor dan ekstensor, abnormalitas pada bentuk anatomi, dan

pada akhirnya menimbulkan ulserasi pada kulit. Terjadinya kerusakan saraf

otonom menyebabkan gangguan pada fungsi dari kelenjar keringat, menyebabkan

kaki kurang mampu melembabkan kulit, dan menyebabkan retakan pada bagian

epidermis serta terjadinya kerusakan pada kulit. Pasien tidak mengetahui adanya

luka pada kaki karena penurunan kemampuan sensasiiperifer. Membutuhkan

pasokan darah yang lebih banyak dalam menyembuhkan luka kaki diabetes jika

dibandingan dengan pasokan darah yang diperlukan untuk melindungi keutuhan

kulit. (Aumiller & Dollahite, 2015).

Perubahan vaskular yang menyebabkan luka kaki diabetes berkorelasi

dengan perubahan yang disebabkan oleh hiperglikemia arteriiperiferrkaki yang

diawali pada tingkat sel. Tidak berfungsinya sel endotel menyebabkan vasolidator

yang menurun, dan terjadi peningkatan pada kadar tromboksan A2 plasma. Hal ini

menyebaban arteri perifer mengalami vasokonstriksi dan hiperkoagulasi plasma

yang menyebabkan terjadinya iskemia pada ulserasi serta meningkatnya risiko


pada luka. Perubahan imun termasuk respon penyembuhan yang berkurang pada

luka kaki diabetes. Peningkatan apoptosis limfosit T menghambat penyembuhan

pada pasien dengan luka kaki diabetes (Aumiller & Dollahite, 2015).

2.7 Konsep Pengkajian Luka

2.7.1 Pengkajian Luka Kaki Diabetes

Luka melibatkan cedera pada jaringan lunak yang bervariasi dari robekan

ringan hingga cedera parah yang menghancurkan. Tujuan utama perawatan luka

adalah untuk memulihkan keutuhan fisik dan fungsi jaringan yang terluka

sekaligus meminimalkan jaringan parut dan mencegah infeksi (Hinkle & Cheever,

2018). Sebelum melakukan perawatan, penyebab pasti, lokasi, dan jenis luka

harus dinilai untuk memberikan perawatan yang tepat (Nagle et al., 2020).

Pengkajian luka adalah komponen rutin perawatan pasien dengan semua

jenis luka. Setiap pasien dengan luka berhak mengharapkan standar perawatan

minimal yang baik. Sampai saat ini, hanya ada sedikit kesepakatan tentang

bagaimana pengkajian dilakukan dan didokumentasikan serta beberapa audit

yangditerbitkan telah mengidentifikasi bahwa dalam banyak kasus hal itu

dilakukan secara tidak konsisten (Fletcher, 2010). Tujuan dari pengkajian luka

adalah untuk menentukan faktor-faktor yang dapat menunda penyembuhan luka

dan menetapkan rencana perawatan yang tepat untuk dasar luka dan kulit di

sekitarnya (Mahoney, 2020). Pengkajian luka yang kurang komprehensif dapat

menyebabkan peningkatan biaya, perawatan yang buruk, dan berdampak negatif

pada hasil akhir pasien. Proses pengkajian untuk pasien dengan luka dapat

memakan waktu lama dan mengharuskan perawat memiliki keterampilan dan


pengetahuan yang relevan untuk melakukan pengkajian secara memadai

(Mahoney, 2020).

Pengkajian pasien dengan luka meliputi pengkajian status kesehatan

pasien secara keseluruhan dan kemampuan untuk sembuh, status kulit, etiologi

dan keparahan luka, dan status luka, untuk memasukkan tahap penyembuhan.

Penilaian tersebut mencakup riwayat terfokus dan pemeriksaan fisik, studi

diagnostik yang dipilih bila diindikasikan, diikuti dengan interpretasi dan sintesis

data, dan komunikasi temuan kepada penyedia layanan kesehatan lainnya.

Komunikasi data penilaian luka paling baik dilakukan dengan menggunakan

bahasa dan pendekatan standar, penggunaan alat penilaian luka standar, catatan

luka naratif terstruktur, dan/atau foto dokumentasi. Beberapa pedoman praktik

klinis untuk manajemen luka termasuk rekomendasi untuk penggunaan penilaian

luka standar pada awal dan pada interval yang sering untuk menentukan respons

perawatan luka dan kemajuan luka.

Menurut Doughty dan Laurie (2016) hal-hal yang diperhatikan ketika

melakukan penilaian luka antara lain: lokasi luka, bentuk luka, ukuran luka,

kedalaman luka, tepiiluka, goa luka (undermining/tunneling), jaringan nekrosis,

jenis dan jumlah eksudat, karakteristik kulit sekitar luka.

2.8 Kerentanan Lansia

Hasil studi pendahuluan berdasarkan wawancara terhadap 10 orang lansia

di Kelurahan Limo tahun 2015, data yang didapatkan bahwa lansia yang

mengalami kecemasan maupun depresi ketika menghadapi pengobatan DM, rata –

rata meningkat kadar gula darahnya saat dilakukan pemeriksaan glukosa test.
Lansia dengan diabetes mellitus menambah beban bagi keluarga dan juga menjadi

tanggung jawab negara karena menyangkut masalah ekonomi dan meningkatkan

biaya kesehatan dalam hal pengelolaan dan pemberantasan penyakit

Berdasarkan data prevalensi diabetes pada kelompok umur 45-54 tahun

adalah 2,0%, pada kelompok umur 55-64 tahun adalah 2,8%, pada kelompok

umur 65-74 tahun adalah 2,4%, dan pada kelompok umur 75+ adalah 2,2%.

Berdasarkan data Puskesmas Limo Grogol 13 didapatkan angka kejadian lansia

yang mengalami diabetes mellitus didapatkan 1196 jiwa.

Menurut data bahwa upaya preventif dapat memberikan biaya yang efektif

dalam perkembangan lebih lanjut dari penyakit diabetes dan penurunan kejadian

komplikasi. Preventif diabetes difokuskan pada modifikasi faktor risiko, misalnya

resistensi terhadap insulin dan obesitas dengan melakukan perubahan gaya hidup

yang lebih sehat. Modifikasi faktor risiko tidak cukup karena penyebab seseorang

terkena diabetes tidak hanya karena faktor keturunan, obesitas atau kegemukan

akibat gaya hidup yang dijalaninya, pola makan yang salah, proses menua, tapi

juga dibutuhkan faktor lain seperti stres. Stres dapat dilihat dari diukur dari

tingkat ansietas dan depresi dalam diri lansia.

Ansietas dan depresi pada lansia merupakan kondisi yang tidak sehat.

Oleh karena itu, Undang-Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang

kesehatan menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan

merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan

cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berdasarkan Undang-


Undang tersebut seorang perawat wajib membantu masyarakat khususnya lansia

untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

2.9 Teknik Relaksasi Benson

Terapi relaksasi Benson yang merupakan terapi komplementer dan

modalitas yang sebaiknya dilakukan oleh perawat melalui asuhan keperawatan

berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan tinggi

keperawatan untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik dengan

menggunakan diri sendiri sebagai alat atau media penyembuh dalam rangka

menolong klien dari masalah kesehatan (Benson dan Proctor, 2000). Teknik

relaksasi Benson merupakan metode utama yang digunakan untuk mengurangi

stres.

Meditasi yang terdapat pada relaksasi Benson berupa pengulang-ulangan

kata/frase, sikap pasif merupakan hal yang essential. Mekanisme penurunan kadar

gula darah dengan relaksasi Benson terjadi melalui penurunan stres fisik dan

psokologis yang kemudian akan menurunkan epinefrin, menurunkan kortisol,

menurunkan glukagon dan menurunkan hormon tiroid. Proses terapi relaksasi

Benson bermanfaat dalam menurunkan gula darah 19, Intervensi terapi relaksasi

Benson termodifikasi menggunakan paduan dari meditasi, relaksasi pernafasan

dalam dan relaksasi progresif otot serta dilengkai dengan musik.

Pernafasan dalam bertujuan untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi

batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan

intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Smeltzer & Bare, 2008). Selain itu,
gerakan relaksasi progresif otot yaitu dengan mengkontraksikan sekelompok otot

dan kemudian merelaksasikannya.

Anda mungkin juga menyukai