Pembimbing :
dr. Yunita Tampubolon, Sp.PD
dr. Leni Siagian
Disusun Oleh :
May Renny Rajagukguk
Elisa Putri
Tata Clarista
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit tidak menular yang
secara nasional merupakan penyebab kematian dan kasus terbanyak yang
meningkat di dunia.1 Menurut International Diabetes Federation menyatakan
bahwa terdapat 382 juta orang penderita DM di seluruh dunia tahun 2013.2
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, kasus DM di
Indonesia secara keseluruhan mencapai 1.017.290 kasus dan pada provinsi
Sumatera Utara mencapai 36.410 kasus DM.3
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
kelamin lebih tinggi perempuan dengan 1,8% dengan kelompok umur
terbanyak yaitu pada rentang umur 55-64 tahun sebanyak 6,3%.4
4
yang diperkirakan sebelumnya. Secara garis besar patogenesi DM tipe-2
disebabkan oleh delapan hal:
5
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit.
6. Sel Alpha Pancreas
Sel α pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal
meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui
peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak
ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi
gen SGLT-2.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak.
6
Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2
7
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSA
Kriteria diagnostik oleh American Diabetes Association (ADA) meliputi:12
Tingkat glukosa plasma puasa (FPG) 126 mg / dL (7,0 mmol / L) atau
lebih tinggi, atau
Tingkat glukosa plasma 2 jam 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih
tinggi selama tes toleransi glukosa oral (OGTT) 75 g, atau
Glukosa plasma acak 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih tinggi pada
pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik
Apakah kadar hemoglobin A1c (HbA1c) 6,5% atau lebih tinggi harus
menjadi kriteria diagnostik primer atau kriteria opsional tetap menjadi titik
kontroversi.
Indikasi untuk skrining diabetes pada orang dewasa tanpa gejala termasuk
yang berikut :13,14
Tekanan darah berkelanjutan> 135/80 mm Hg
Kelebihan berat badan dan 1 atau lebih faktor risiko lain untuk diabetes
(mis., Tingkat pertama relatif dengan diabetes, BP> 140/90 mm Hg, dan
HDL <35 mg / dL dan / atau kadar trigliserida> 250 mg / dL)
ADA merekomendasikan skrining pada usia 45 tahun jika tidak ada
kriteria di atas
2.7 PENATALAKSANAAN10,15
A. Terapi non Farmakologis
Hal yang paling utama dalam terapi ini adalah monitor sendiri kadar
glukosa darah dan edukasi tentang penatalaksanaan diabetes pada pasien.
Latihan jasmani selama 3-4 kali seminggu selama 30 menit/kali seperti
kegiatan berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, dan berkebun. Latihan
jasmani selain menambah kebugaran tubh juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga memperbaiki kendali glukosa
8
darah. Latihan jasmani pada pasien yang relatif sehat, intensitas jasmani dapat
ditingkatkan sedangkan pada pasien DM dengan komplikasi, intensitas latihan
dapat dikurangi.
B. Diet diabetes
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
pada pasien diabetes. Cara yang paling umum dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau
dikuragi dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi terdiri dari jenis
kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan.
Perhitungan berat badan menggunakan rumus brocca:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita dibawh
150 cm, rumusnya:
Berat badan ideal = (TB dalam cm-100) x 1 kg
9
C. Terapi Farmakologis
Pemberian terapi farmakolofis dengan obat antihipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Hal ini meliputi, lamanya menderita diabetes,
adanya komorbid dan jenis komorbidnya, riwayat pengobatan sebelumnya,
riwayat hipoglikemia sebelumnya, dan kadar HbA1C dengan pertimabangan
tertentu. OHO dapat diberikan secara tunggal ataupun dikombinasi. Pada
keadaan dekompensasi berat misalnya pada ketoasidosis, stress berat, berat
badan menurun cepat, adanya ketonuria, insulin dapat diberikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonylurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang
tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin).
Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoglikemia.
10
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
dijaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 3060 ml/menit/1,73 m2).
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-
IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/ retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat
yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
11
3. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbs glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan: GFR≤30ml/min/1,7 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek sampai yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung
kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes
oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
12
Tabel 1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
13
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
14
Bagan 1. Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2
15
2.8 PENCEGAHAN DIABETES MELITUS TIPE 210,20
A. Pencegahan Primer Terhadap Diabetes Melitus Tipe 2
1. Sasaran pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok
yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Faktor Risiko Diabetes Melitus
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi
glukosa yaitu:
a. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi
Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan DM (misalnya, orangtua atau saudara
kandung)
Umur, resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, pada umur lebih dari 45 tahun
harus dilakukan pemeriksaan DM (meskipun, seperti disebutkan di
atas, diabetes mellitus tipe 2 terjadi dengan frekuensi yang
semakin meningkat pada individu muda).
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi
yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
disbanding dengan bayi yang lahir dengan BB normal.
b. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi
Berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik
Hipertensi (>140/90 mmHg)
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
16
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan
rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/
intoleransi glukosa dan DMT2.
c. Faktor Lain yang Terkait dengan Risiko Diabetes Melitus
Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis
lain yang terkait dengan resistensi insulin
Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) sebelumnya.
Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti
stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)
17
Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu
dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan
aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal).
Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali aktivitas/minggu
c. Menghentikan kebiasaan merokok.
d. Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi
farmakologis.
B. Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan
pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai
target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan
pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya penyulit
merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak
awal pengelolaan penyakit DM.
C. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes
yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya
pencegahan tersier tetap dilakukan edukasi pada pasien dan keluarga.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif
dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan.
Kerjasama yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal,
mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,
podiatris, dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan
pencegahan tersier.
18
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi mikrovaskular diabetes termasuk penyakit retina, ginjal, dan
kemungkinan neuropatik. Komplikasi makrovaskular termasuk arteri koroner
dan penyakit pembuluh darah perifer. Neuropati diabetes mempengaruhi saraf
otonom dan perifer.
Risiko kardiovaskular
Risiko kardiovaskular pada diabetisi sebagian terkait dengan resistensi
insulin, dengan kelainan lipid yang terjadi sebagai berikut:
Peningkatan kadar partikel kolesterol lipoprotein (LDL) kecil dan
padat
Kadar kolesterol HDL yang sangat tinggi
Peningkatan kadar lipoprotein sisa trigliserida yang kaya
Peningkatan risiko kardiovaskular tampaknya dimulai sebelum
perkembangan hiperglikemia yang jelas, mungkin karena efek resistensi
insulin.
Penurunan kognitif
Individu diabetes lebih cenderung mengalami atrofi otak daripada lesi
serebrovaskular, dengan pola yang menyerupai Alzheimer praklinis.
penyakit.16,17 Diabetes tipe 2 dikaitkan dengan atrofi hippocampal; atrofi
materi abu-abu temporal, frontal, dan limbik; dan, pada tingkat yang lebih
rendah, atrofi materi putih frontal dan temporal.
Komplikasi Mikrovaskular
Renopati diabetes
Diabetes mellitus adalah penyebab utama kebutaan pada orang dewasa
berusia 20-74 tahun di Amerika serikat; dimana sekitar 12000-24000
orang buta baru karna diabetes setiap tahunnya.18
Berdasarkan Akademi Oftalmologi Amerika dibagi atas;19
Retinopati Diabetes Nonproliferatif: ringan, sedang, dan berat
19
Retinopati Diabetes Proliferatif: ditandai dengan gambaran tumbuhnya
pembuluh darah baru yang fibrosis melewati membran limitans interna
lapisan retina
Retinopati Diabetes Proliferatif Dini: pembuluh darah baru terbentuk
di sekitar diskus, atau dalam 1 jarak diamter diskus, atau
neovaskularisasi di tempat lain.
Retinopati Diabetes Proliferatif Risiko Tinggi: terdapat pembuluh
darah baru pada diskus dengan ukuran lebih dari 1/4 diameter diskus,
atau pembuluh darah baru pada diskus dengan ukuran <1/4 diameter
diskus disertai perdarahan vitreous, atau pembuluh darah baru di
tempat lain yang berukuran >1/2 diameter diskus dengan perdarahan
vitreous.
Retinopati Diabetes Proliferatif Lanjut: terdapat pembuluh darah baru
pada diskus dengan ukuran lebih dari 1/4 diameter diskus, atau
pembuluh darah baru pada diskus dengan ukuran <1/4 diameter diskus
disertai perdarahan vitreous, atau pembuluh darah baru di tempat lain
yang berukuran >1/2 diameter diskus dengan perdarahan vitreous,
ditambah dengan adanya ablasio retina traksional yang melibatkan
bintik kuning, dengan atau tanpa perddarahan vitreous.
Berdasarkan NSC-UK;18
Retinopati Diabetes Nonproliferatif: sekeliling/tidak jelas, pre-
proliferatif.
Retinopati Diabetes Proliferatif: ringan, sedang, risiko tinggi, dan
lanjut
Komplikasi Retinopati Diabetes biasanya memiliki gejala yang
berhubungan dengan pembuluh darah baik pembuluh darah besar atau
kecil (vaskulopati), karena kadar gula dalam darah (HbA1C), distimulus
oleh perubahan kekentalan darah (trombosit, inflamasi). Bentuk akutnya
antara lain hipoglikemi, ketoasidosis, hiperosmolar non-ketotik. Adapun
20
bentuk kronisnya yaitu makro dan mikroangiopati pada ginjal (nefropati),
saraf (neuropati), dan organ lainnya. Keadaan HbA1C yang lebih dari atau
sama dengan 11,5 menentukan adanya komplikasi retinopati diabetes
secara signifikan. Komplikasi ini semua terjadi mlalui berbagai
mekanisme antara lain terbentuknya radikal bebas, perubahan struktur
trombosit, inflamasi, terbentuknya senyawa poliol, produk akhir glikasi
lanjut, pengaktifan jalur heksosisamin, diasil-gliserol-PKC.18
Nefropati diabetic
Diabetes mellitus dan khususnya diabetes mellitus tipe 2, adalah
penyumbang utama penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) di Amerika
Serikat.19 Menurut CDC, diabetes menyumbang 44% dari kasus ESRD
baru.14 Pada tahun 2008, 48.374 orang dengan diabetes di Amerika Serikat
dan Puerto Rico memulai terapi penggantian ginjal, dan 202.290 orang
dengan diabetes menjalani dialisis atau telah menerima transplantasi
ginjal.18
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300mg/24 jam) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Hal
ini berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG
(laju filtrat glomerulus), telah dilaporkan terjadi pada 25-40% orang
dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2.12,13 Mikroalbuminuria didefinisikan
sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari dan dipertimbangkan
sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik.18 Orang
dengan diabetes, khusunya yang terlibat dengan ginjal juga terjadi
peningkatan mortalitas dan morbiditas oleh kardiovaskular. Oleh karena
itu, identifikasi awal pada yangorang yang berisiko tinggi dan dibutuhkan
pengobatan awal untuk melindungi ginjal dan kardiovaskular sangat
penting.
21
Mogensen membagi 5 tahapan nefropati diabetik, yaitu :18
a. Tahap 1
Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan.
Laju filtrasi glomerolusdan laju ekskresi albumin dalam urin
meningkat.
b. Tahap 2
Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi
glomerolus tetap meningkat ekskresi albumin dalam urin dan tekanan
darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan
membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan
mesangium fraksional.
c. Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikro albuminuria. Laju filtrasi
glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju
ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah
mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan
membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus
d. Tahap 4
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis
lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma
nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus
menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
e. Tahap 5
Timbulnya gagal ginjal terminal
Neuropati dan vasculopathy
Diabetes mellitus adalah penyebab utama amputasi tungkai bawah
nontraumatic di Amerika Serikat, dengan peningkatan risiko 15 hingga 40
22
kali lipat dibandingkan populasi nondiabetes. Pada tahun 2006, sekitar
65.700 amputasi tungkai bawah nontraumatic dilakukan terkait dengan
neuropati dan vasculopathy.18 Umumnya berupa polineuropati diabetika,
kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh
penderita DM. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris,
motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di
mana terjadi degenerasi serabut -serabut saraf dengan gejala - gejala nyeri
atau bahkan baal, yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai
atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada
struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan
pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga
menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau
atrofi axonal.
Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar,
khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak
spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing
terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa
angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi
makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar
gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa
hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,
di mana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular
semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan
risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini
dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam
timbulnya komplikasi makrovaskular.
23
Penyakit kardiovaskular
Risiko penyakit jantung koroner (CHD) adalah 2-4 kali lebih besar
pada pasien dengan diabetes dibandingkan pada orang tanpa diabetes.
Penyakit kardiovaskular adalah sumber utama kematian pada pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2. Sekitar dua pertiga pengidap diabetes
meninggal karena penyakit jantung atau stroke. Pria dengan diabetes
menghadapi peningkatan risiko CHD 2 kali lipat, dan wanita memiliki
risiko 3 hingga 4 kali lipat. Meskipun diabetes mellitus tipe 2, baik onset
dini (<60 y) dan onset lambat (> 60 y), dikaitkan dengan peningkatan
risiko PJK mayor dan mortalitas, hanya tipe onset dini (durasi> 10 y) yang
tampaknya merupakan Setara risiko PJK.21
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, kadar glukosa puasa lebih
dari 100 mg / dL secara signifikan berkontribusi terhadap risiko penyakit
kardiovaskular dan kematian, terlepas dari faktor risiko lain yang
diketahui.22,23
Remaja dengan obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 terkait obesitas
menunjukkan penurunan disfungsi diastolik. Ini menunjukkan bahwa
mereka mungkin berisiko lebih tinggi mengalami gagal jantung dini
dibandingkan dengan remaja yang kurus atau gemuk tetapi tidak memiliki
diabetes mellitus tipe 2.24
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering
pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga
menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang
lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri
karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat
iskemia, berupa: Pusing, sinkop. Hemiplegia: parsial atau total. Afasia
sensorik dan motoric. Keadaan pseudodementia
24
Kanker
Laporan Konsensus 2010 dari panel para ahli yang dipilih bersama
oleh American Diabetes Association dan American Cancer Society
menyarankan bahwa orang dengan diabetes tipe 2 berada pada risiko yang
meningkat untuk banyak jenis kanker.25 Pasien dengan diabetes memiliki
risiko lebih tinggi terkena kanker kandung kemih, terutama pasien yang
menggunakan pioglitazone.26,27 Usia, jenis kelamin laki-laki, neuropati,
dan infeksi saluran kemih dikaitkan dengan risiko ini.
Dalam meta-analisis dari 20 publikasi yang terdiri dari 13.008 pasien
kanker dengan diabetes tipe 2 bersamaan, para peneliti menemukan bahwa
pasien yang diobati dengan metformin memiliki ketahanan hidup
keseluruhan dan kanker spesifik yang lebih baik daripada mereka yang
diobati dengan jenis lain dari agen penurun glukosa.28,29 Perbaikan ini
diamati di seluruh subtipe kanker dan lokasi geografis. Pengurangan risiko
signifikan pada pasien dengan kanker prostat, pankreas, payudara,
kolorektal dan lainnya, tetapi tidak untuk mereka yang menderita kanker
paru-paru. Namun, masih belum jelas apakah metformin dapat
memodulasi hasil klinis pada pasien kanker dengan diabetes.
25
BAB 3
26
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
27
RIWAYAT KELUARGA
Laki-laki Perempuan
Kakek-Nenek
Ayah-Ibu
Pasien
Anak
RIWAYAT PRIBADI
Riwayat imunisasi
Riwayat alergi
Tahun Jenis imunisasi
- - -
28
ANAMNESIS UMUM (Review of System)
DESKRIPSI UMUM
Gizi:
Berat Badan : 63 Kg Tinggi Badan: 160 cm RBW : kg/m2
IMT : 24,6 kg/m2 , kesan: Normo weight
29
TANDA VITAL
MATA
30
THORAKS
Depan Belakang
Inspeksi Simetris fusiformis Simetris fusiformis
Palpasi SF : Kanan: normal SF : Kanan: normal
Kiri: hantaran udara Kiri: hantaran udara melemah
melemah
Perkusi Kanan: Sonor Kanan: Sonor
Kiri: Redup Kiri: Redup
Auskultasi SP: Kanan: vesikuler SP: Kanan: vesikuler
Kiri: vesikuler lemah Kiri: vesikuler lemah
ST: ronki (+), wheezing (+) ST: ronki (+), wheezing (+)
JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas : ICS-II parasternalis dextra
Kanan : ICS III parasternalis dextra
Kiri : ICS-V Midclavicula
Jantung : HR : 107x/i, irreguler , M1>M2, A2>A1, P2>P1, A2>P2, desah (-)
ABDOMEN
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, H/L/R: DBN, nyeri tekan (+) di epigastrium, undulasi (-)
Perkusi : timpani, pekak hati (-),pekak beralih (-)
Auskultasi : hiperperistaltik : normal, double sound (-)
PUNGGUNG
(-) tapping pain
EKSTREMITAS:
Superior: oedem -/-
Inferior : oedem -/-
31
BICARA: Baik
PEMERIKSAAN LAB
Darah Rutin: Hb: 12,8 g/dl; Leukosit: 12,3x10/mm; Ht: 36,8%; Trombosit:
652x103/mm, MCV: 86,8fL; MCH: 30,2fL; MCHC: 34,8 g/dl
RFT: Ureum: 20; Creatinin: 0,4; Uric acid: 4,5
LFT: SGOT: 10 IU/L; SGPT: 15 IU/L
KGD ad random : 326 mg/dl
Hasil Pemeriksaan Penunjang Foto Thorax :
Jantung tidak membesar, CTR < 50%
Aorta dan mediastinum superior tidak membesar
Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
Tampak area luscensi avascular dengan garis pleura yang bergeser ke medial di
hemithorax kiri
Tampak infiltrate dan fibrosis di paracardial kanan
Kesimpulan: TB Paru lama aktif + Pneumothorax kiri
32
RESUME DATA DASAR
(Diisi dengan Temuan Positif)
Sesak nafas yang dialami pasien sejak ±3 hari yang lalu. Sesak nafas yang dirasakan bersifat terus
menerus dan smemberat saat beraktivitas serta sedikit berkurang saat sedang istirahat. Batuk (+)
dialami sejak ±3 minggu yang lalu dan memberat saat malam hari. Batuk berdahak (+) dan
bercampur darah (+) sebanyak setengah sendok makan setiap kali batuk. Warna dahak hijau-
kekuningan. Keringat malam (+), sering kencing pada malam hari (+), rasa haus yang meningkat
pada malam hari (+). Penurunan berat badan (+) ± 5 kg dalam 1 bulan.
RPT : Tuberkulosis Paru
RPO : OAT 4 bulan (putus obat)
33
RENCANA AWAL
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosa, penatalaksanaan
dan edukasi)
34
meningkat pada Asam Urat
malam hari
Penurunan berat
badan ± 5 kg dalam 1
bulan.
35
Tanggal S O A P
Therapy Diagnostics
24-09- Os mengeluh: Kesadaran : CM DM tipe II + 1. O2 1-2 Liter - KGD: 366
2019 Lemas TD: 140/70 mmHg Hidropneumothorax 2. IVFD RL 20 gtt/i - HbA1c: 14,4%
Sesak nafas SpO2 : 92% ec TB Paru 3. Terapi OAT - SGOT: 10
minimal HR : 102x/ menit 4. Inj. Ceftriaxone - SGPT: 15
Nyeri dada kiri RR : 32x/ menit vial/12jam/IV - Ureum: 20
o
yang menjalar T : 36,7 C 5. Inj. Metronidazole - Creatinin: 0,4
sampai ke pundak Thorax : 500mg/8jam/IV - Uric acid: 4,5
36
25-09- Os mengeluh: Kesadaran : CM DM tipe II + 1. IVFD RL 20gtt/i - KGD puasa: 222
2019 Lemas TD: 120/80 mmHg Hidropneumothorax 2. Inj. Ceftriaxone mg/dL
Sesak nafas SpO2 : 93% ec TB Paru vial/12jam/IV
berkurang HR : 97 x/ menit 3. Inj. Metronidazole
Nyeri pada daerah RR: 28x/ menit 500mg/8jam/IV
o
pemasangan WSD T: 37,2 C 4. Inj. Ranitidine 1
(dada kiri) Thorax : amp/12 jam/IV
37
T : 36,9 5. Inj. Ceftriaxone
Thorax : vial/12jam/IV
SP: vesikuler 6. Inj. Metronidazole
melemah/vesikuler 500mg/8jam/IV
ST: Ronki (+/-) 7. Inj. Ranitidine 1
Wheezing (+/+) amp/12 jam/IV
8. Inj. Ondansentron 1
amp/12 jam/IV
9. Retaphyl 2 x ½
10. Ambroxol syr 3x1c
11. Nebul Pulmicort/8
jam
12. Terapi OAT
13. Levomir 0-0-12UI
14. Humalog Pen 8-8-8
27-09- Os mengeluh: Kesadaran: CM DM tipe II + 1. IVFD RL 20gtt/i
2019 Batuk darah (+) TD : 130/80 mmHg Hidropneumothorax 2. Inj. Transamine
Nyeri pada leher SpO2 : 97% ec TB Paru 500mg/8jam
Mual (+), muntah (-) HR : 94x/ menit 3. Inj. Vit K 1x1
RR: 24x/ menit 4. Codein 25 mg 3x1
38
T : 36,7 oC 5. Inj. Ceftriaxone
Thorax : vial/12jam/IV
SP: vesikuler 6. Inj. Ranitidine 1
melemah/vesikuler amp/12 jam/IV
ST: Ronki (+/-) 7. Retaphyl 2 x ½
Wheezing (+/+) 8. Nebul Pulmicort/8
jam
9. Terapi OAT
10. Levomir 0-0-12UI
11. Humalog Pen 8-8-8
28-09- Os mengeluh: Kesadaran: CM DM tipe II + 1. O2 1-2 Liter
2019 Sesak nafas (+) TD : 120/80 mmHg Hidropneumothorax 2. IVFD RL 20gtt/i
Batuk darah (+) SpO2 : 94x/ menit ec TB Paru 3. Inj. Ceftriaxone
Mual (+), muntah (-) HR : 70x/ menit vial/12jam/IV
RR: 22x/ menit 4. Inj. Transamin
T : 36,8 500mg/8 jam
Thorax : 5. Inj. Vit K 1x1
SP: vesikuler 6. Codein 25 mg 3x1
melemah/vesikuler 7. Inj. Ranitidine 1
ST: Ronki (+/-) amp/12 jam/IV
39
Wheezing (+/+) 8. Retaphyl 2 x ½
9. Nebul Pulmicort/8
jam
10. Terapi OAT
11. Levomir 0-0-12UI
12. Humalog Pen 8-8-8
29-09- Os mengeluh: TD : 150/80 mmHg DM tipe II + 1. O2 1-2 Liter
2019 Sesak nafas minimal SpO2 : 95x/menit Hidropneumothorax 2. IVFD RL 20gtt/i
(+) HR : 100x/menit ec TB Paru 3. Inj. Ceftriaxone
Batuk darah (+) T : 36,9oC vial/12jam/IV
Mual (+), muntah (-) Thorax : 4. Inj. Transamin
SP: vesikuler 500mg/8 jam
melemah/vesikuler 5. Inj. Vit K 1x1
ST: Ronki (+/-) 6. Codein 25 mg 3x1
Wheezing (+/+) 7. Inj. Ranitidine 1
amp/12 jam/IV
8. Retaphyl 2 x ½
9. Terapi OAT
10. Levomir 0-0-12UI
11. Humalog Pen 8-8-8
40
Kesimpulan
DAFTAR MASALAH
Nama Penderita : Makmur Marpaung No. RM: 2 9 0 9 6 0
Masalah
MASALAH
No Tanggal Ditemukan Selesai/ Terkontrol/
Tetap
Tanggal Tanggal
Sesak nafas, batuk berdahak dan Terkontrol / 29
1 23 September 2019
bercampur darah, keringat malam September 2019
Sering kencing pada malam hari,
rasa haus yang meningkat pada Terkontrol / 29
2 23 September 2019
malam hari, penurunan berat September 2019
badan ± 5 kg dalam 1 bulan.
Kesimpulan
Pasien tersebut mengalami DM tipe II + Hidropneumothorax ec TB Paru
Prognosis
- Ad Vitam : Dubia ad bonam
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanactionam : Dubia ad malam
41
BAB 4
PEMBAHASAN
TEMUAN KLINIS TEORI
A. Anamnesis
Sesak nafas yang dialami pasien sejak
±3 hari yang lalu bersifat terus
menerus dan smemberat saat
beraktivitas serta sedikit berkurang
saat sedang istirahat.
Batuk (+) dialami sejak ±3 minggu
yang lalu dan memberat saat malam
hari.
Batuk berdahak (+) dan bercampur
darah (+) sebanyak setengah sendok
makan setiap kali batuk, warna dahak
hijau-kekuningan.
Keringat malam (+),
Sering kencing pada malam hari (+),
Rasa haus yang meningkat pada
malam hari (+).
Penurunan berat badan (+) ± 5 kg
dalam 1 bulan
B. Pemeriksaan Fisik
- Kesan sakit sedang
- BB : 63kg TB : 160cm IMT :
24,6 Kesan: Normal
- Kesadaran : CM
- Nadi : 104x/i regular t/v : cukup
- TD : 120/70
42
- T : 37,5 °C
- Pernafasan : 32x/i
- Toraks:
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : SF Kanan: normal, Kiri:
hantaran melemah
Auskultasi: SP Kanan:vesikuler,
Kiri: vesikuler melemah. ST
ronki (+) wheezing (+)
Perkusi : Kanan: normal, Kiri:
redup
43
Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam / IV infeksi sekunder. Transamine
Inj. Transamine 500mg/ 12 jam/ IV diberikan untuk mencegah,
Retaphyl SR 2 x ½ menghentikan ataupun mengurangi
Codein 15 mg 3 x 1 perdarahan yang massif. Retaphyl SR
Pemasangan Water Seal Drainage diberikan untuk mencegah dan
(WSD) mengobati nafas pendek dan kesulitan
Metformin 500 mg 3 x 1 bernapas akibat menyempitnya saluran
pernapasan. Codein diberikan untuk
mengobati rasa nyeri sedang sampai
berat, mengobati batuk dan diare.
Pemasangan WSD dilakukan untuk
mengeluarkan udara atau cairan pada
rongga pleura, Metformin diberikan
untuk menurunkan kadar gula darah
pada penderita diabetes tiper 2.
44
BAB 5
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46
16. Atrofi Busko M. Gray-matter dapat mendorong penurunan kognitif pada diabetes.
Berita Medis Medscape . 22 Agustus 2013.
17. Moran C, Phan TG, Chen J, et al. Atrofi otak pada diabetes tipe 2: distribusi
regional dan pengaruh pada kognisi. Perawatan Diabetes . 2013 Agustus 12.
18. Institut Nasional Diabetes dan Penyakit pencernaan dan ginjal. Statistic Diabetes
Nasional, 2011. Pusat informasi diabetes Nasional. Tersedia di
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/statistics.
19. Rahman, K. Prof. Dr. Sp.M.KVR. Kartasasmita, A.S. Prof.Dr. Sp.M.KVR.
Heksan. dr. Sp. M. KVR. et al. Pedoman Penanganan Renopati Diabetika Bab 1.
2013: PERDAMI seminat Vitreoretina. Hal. 2-7
20. Departemen Kesehatan dan layanan kemanusiaan AS, pusat pengendalian dan
pencegahan penyakit, 2011. Lembar fakta diabetes nasional; perkiraan nasional
dan informasi umum tentang diabetes dan pradiabetes di Amerika Serikat, 2011.
Tersedia di http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/ndfs_2011.pdf
21. Wannamethee SG, Shaper AG, Whincup PH, Lennon L, Sattar N. Impact of
diabetes on cardiovascular disease risk and all-cause mortality in older men:
influence of age at onset, diabetes duration, and established and novel risk factors.
Arch Intern Med. 2011 Mar 14. 171(5):404-10.
22. Seshasai SR, Kaptoge S, Thompson A, Di Angelantonio E, Gao P, Sarwar N, et
al. Diabetes mellitus, fasting glucose, and risk of cause-specific death. N Engl J
Med. 2011 Mar 3. 364(9):829-41.
23. Lind M, Olsson M, Rosengren A, Svensson AM, Bounias I, Gudbjornsdottir S.
The relationship between glycaemic control and heart failure in 83,021 patients
with type 2 diabetes. Diabetologia. 2012 Aug 16.
24. Shah AS, Khoury PR, Dolan LM, Ippisch HM, Urbina EM, Daniels SR, et al. The
effects of obesity and type 2 diabetes mellitus on cardiac structure and function in
adolescents and young adults. Diabetologia. 2011 Apr. 54(4):722-30.
25. Giovannucci E, Harlan DM, Archer MC, Bergenstal RM, Gapstur SM, Habel LA,
et al. Diabetes and cancer: a consensus report. Diabetes Care. 2010 Jul.
33(7):1674-85.
47
26. Tseng CH. Diabetes and risk of bladder cancer: a study using the National Health
Insurance database in Taiwan. Diabetologia. 2011 Aug. 54(8):2009-15.
27. Colmers IN, Bowker SL, Majumdar SR, Johnson JA. Use of thiazolidinediones
and the risk of bladder cancer among people with type 2 diabetes: a meta-analysis.
CMAJ. 2012 Jul 3.
28. Yin M, Zhou J, Gorak EJ, Quddus F. Metformin is associated with survival
benefit in cancer patients with concurrent type 2 diabetes: a systematic review and
meta-analysis. Oncologist. 2013 Nov 20.
29. Nelson R. Metformin boosts survival in diabetic cancer patients. Medscape
Medical News. November 25, 2013.
48