NIM : 1510015022
Fakultas : Kedokteran
Dengan ini menyatakan hasil penulisan skripsi yang telah saya buat ini
merupakan hasil karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di
kemudian hari penulisan skripsi ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan
terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan
sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan aturan tata tertib di
Universitas Mulawarman.
Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak dipaksakan.
Penulis,
Materai
6000
Dibuat di : Samarinda
Yang menyatakan,
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, Sang Pemilik alam semesta ini,
yang selalu melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya. Hanya Allah SWT tempat
kami berlindung dan tempat kami meminta pertolongan dari segala kesulitan dan
cobaan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad SAW
sebagai utusan Allah SWT yang telah membawa kebaikan.
Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan laporan proposal penelitian
yang berjudul “Komorbiditas Pasien Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas”, sebagai salah satu proses untuk dapat menyelesaikan tugas akhir.
Penulis menyadari bahwa laporan proposal ini tidak mungkin dapat diselesaikan
tanpa bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis secara khusus ingin menyampaikan terimakasih sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Siti Khotimah, M.Kes selaku Ketua Program Studi Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Sulistiawati, M.Med.Ed selaku sekretaris Program Studi Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Yenny Abdullah, Sp. KJ dan dr. Achmad Wisnu Wardhana, Sp. A
selaku pembimbing I dan pembimbing II atas kesabaran, bimbingan,
arahan, motivasi, nasehat dan kesediaan waktu yang diberikan kepada
penulis.
5. dr. H. Jaya Mualimin, Sp. KJ dan dr. Agustina Rahayu Magdaleni, M.Kes
selaku penguji I dan penguji II yang telah memberi arahan, motivasi,
kritik, dan saran kepada penulis.
6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman,
terimakasih atas dedikasi dan ilmu yang diberikan selama penulis
menyelesaikan tugas akhir saya.
7. Kedua orang tua saya tercinta, adik, kakak, dan tante saya yang tidak
henti-hentinya memberikan doa dan dukungan kepada saya.
i
8. Sahabat saya Nanda, Tian, Ferdi, Ochaw, Yasmin, Aisy, Kak Devi, Dipo,
Fachri, Angger, Kak Hakam dan sahabat-sahabat DKK 6 yang gemar
menghibur saya.
9. Sahabat seperbimbingan saya, kak Dana, kak Rasyid, Kak Je yang selalu
menemani dan tidak membiarkan saya sendiri setiap bimbingan.
10. Sahabat saya One, Inung, Reghina, dan Kak Yedial yang tahu segala
kurang dan lebih saya sehingga membuat saya tetap menjadi diri sendiri.
11. Sahabat saya Mida, Adel, Bilqis, Gusti, Wulan, Yani, Erika, Nurul yang
berjuang bersama-sama saya, memberi semangat, dan terus mendoakan
saya.
12. Sayyid Muhamamad Sahil Haikal yang selalu ada disaat fluktuatif saya.
13. Sejawat Acromion 2015 yang saya sayangi. Terimakasih atas segala
bantuan dan dukungan yang diberikan.
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Agama : Islam
Ibu : Surianti
Pendidikan Formal :
TK (2003-2004) : TK Islam Al-Kautsar, Samarinda
iii
- Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar, Menengah,
dan Lanjut Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman (2015,2017,2018)
- Pengabdian Masyarakat Camp Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran
Indonesia Wilayah III (2017)
Riwayat Organisasi :
- Staff Kemernterian Seni dan Olahraga Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman (2015-2018)
- Staff Research and Development Pengurus Harian Wilayah Ikatan Senat
Mahasiwa Kedokteran Indonesia Wilayah III Periode Tahun 2017
Penghargaan :
- Participant of International Competition and Assessment For Schools
University of New South Wales, Sydney, Australia 2012
- Second Winner Multimedia English Speaking Contest of Bunga Bangsa
Islamic School Open House 2013
- Participant of ASEAN Goes To School Direktorat Jenderal Kerja Sama
ASEAN, Kementrian Luar Negeri RI 2013
- Juara 2 Lomba Penyuluhan Peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-50
Tingkat Provinsi Kalimanta Timur 2014
- Intellectual Achievement for earned distinction with the Visual
Communcation Major, President University 2015
- Staff Terbaik Kementerian Seni dan Olahraga Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Kepengurusan 2015/2016
- Juara Favorit Fotografi Pekan Olahraga dan Seni Dies Natalis Renaissance
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2016
- Quarter Finalist International Medical Physiology Olympiad 2018
- Juara 3 Lomba Photo Contest Muslimah In Action Departemen
Kemuslimahan PUSDIMA Universitas Mulawarman 2018
- Juara 2 Lomba Fotografi Milad ke-15 KMM ASY-SYIFAA’ Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman 2018
- Participant of Neuropsychiatry Branch in Indonesian International Medical
Olympiad 2018
iv
ABSTRAK
GPPH merupakan bagian terbesar dari anak yang dibawa orangtua untuk berobat
ke psikiater anak. Anak GPPH yang dirujuk ke klinik banyak yang menunjukkan
gangguan psikiatri lain, seperti gangguan sikap menentang, gangguan tingkah
laku, gangguan suasana perasaan, gangguan kecemasan, gangguan belajar dan
gangguan komunikasi, juga gangguan Tourette. Gangguan-gangguan yang
menyertai diagnosis utama ini disebut sebagai komorbiditas dan dapat berlanjut
sampai remaja bahkan sampai dewasa jika tidak mendapat penanganan yang
adekuat. Sangat penting untuk mendeteksi kehadiran komorbiditas ketika anak
didiagnosis GPPH. Melihat pada psikopatologis terkait GPPH, manifestasi klinis
akan lebih kompleks & dapat menjadi tantangan diagnostik. Sebagai tambahan,
prognosis dan hasil akhir dari anak-anak dengan komorbid pada GPPH lebih
buruk dibandingkan dengan anak-anak dengan GPPH saja. Total insidensi pasien
anak GPPH di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda periode 2015-2018
terjangkau 84 kasus dengan usia terbanyak yang didapatkan adalah kategori usia
13 bulan-3 tahun (toddler) yang berjumlah 34 (40%) pasien. Diagnosis GPPH
lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan
7:1. Sebanyak 18 (21%) pasien anak GPPH tanpa komorbid, 52 (62%) memiliki 1
komorbid dan sebanyak 14 (17%) pasien yang memiliki >1 komorbid.
Komorbiditas terbanyak yaitu Gangguan Spektrum Autisme sebanyak 28 (35%)
kasus dari 66 total pasien yang memiliki komorbid. Faktor risiko yang paling
menonjol dari pasien anak GPPH dengan komorbiditas adalah faktor natal dengan
persentase 39% dan faktor pengasuhan parsial yaitu sebanyak 18%.
v
ABSTRACT
ADHD is the largest part of the child that parents take to seek treatment at a child
psychiatrist. ADHD children who are referred to the clinic are many who show
other psychiatric disorders, such as impaired resistance, behavioral disorders,
mood disorders, anxiety disorders, learning disorders and communication
disorders, as well as Tourette's disorder. The disorders that accompany this
primary diagnosis are referred to as comorbidities and can continue to
adolescence even to adulthood if they do not receive adequate treatment. It is
important to detect the presence of comorbidity when a child is diagnosed with
ADHD. Looking at psychopathologists related to ADHD, clinical manifestations
will be more complex & can be a diagnostic challenge. In addition, the prognosis
and outcomes of children with comorbidities in ADHD are worse than those with
ADHD alone. The total incidence of ADHD child patients at Atma Husada
Mahakam Hospital in Samarinda in the 2015-2018 period reached 84 cases with
the highest age obtained was the category of 13 months 3 years (toddler) which
amounted to 34 (40%) patients. Diagnosis of ADHD is more common in men than
women in a ratio of 7: 1. As many as 18 (21%) patients with ADHD without
comorbidities, 52 (62%) had 1 comorbid and as many as 14 (17%) patients who
had> 1 comorbid. The most comorbidities were Autism Spectrum Disorders
(ASD) as many as 28 (35%) cases out of 66 total patients who had comorbidities.
The most prominent risk factors for ADHD patients with comorbidities are
Christmas factors with a percentage of 39% and partial parenting factors which
are as much as 18%.
vi
DAFTAR ISI
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………….…..iii
ABSTRAK…………………………………………………………………….....vi
ABSTRACT……………………………………………………………………..vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...xiv
DAFTAR TABEL………………………………………………………….…....xv
vii
2.2.1 Kurun Waktu Tahun 1950 – 1960 ............................................................... 6
viii
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 24
4.5.3 Usia............................................................................................................ 25
ix
5.2.2 Karakteristik Pasien Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................................... 30
BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................... 37
x
6.1.5 Faktor Risiko Pasien Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas dengan Komorbiditas .................................................................... 46
xi
DAFTAR SINGKATAN
CD : Conduct Disorders
EEG : Electroencephalogram
IQ : Intelligence Quotient
xii
DAFTAR GAMBAR
Hal
xiii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 5.7 Jenis Gangguan >1 Komorbid pada Pasien Anak GPPH…………...…33
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
2
Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda, terdapat
kurang lebih 30 pasien anak per-tahunnya sebagai pasien baru GPPH yang
terdaftar, selebihnya ialah pasien rutin yang berulang datang untuk terapi GPPH
beserta komorbiditasnya.
Berdasarkan teori yang diperoleh melalui studi kepustakaan di atas,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai komorbiditas pasien anak
GPPH di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda tahun 2015-2018. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan medis pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya.
3
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi Peneliti
1. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh mengenai
metode penelitian
2. Memperluas wawasan mengenai GPPH khususnya untuk komorbiditas
berdasarkan pasien anak yang didapat di RSJD Atma Husada
Mahakam Samarinda
3. Sebagai pemenuhan syarat tugas akhir dalam memperoleh gelar
sarjana kedokteran (S.Ked)
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah kondisi
beragam yang ditandai dengan gejala kurangnya perhatian, hiperaktif dan
impulsivitas, dan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan
pasien. (American Psychiatric Association, 2013; WHO, 2017).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu kondisi medis yang
ditandai oleh ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan
impulsivitas, yang terjadi pada lebih dari satu situasi, dengan frekuensi lebih
sering dan intensitas lebih berat dibandingkan dengan anak-anak seusianya
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan
gangguan tingkah laku yang paling banyak terjadi pada anak-anak. GPPH
merupakan gangguan biologis pada fungsi otak yang bersifat kronis yang
menimbulkan disfungsi kognitif (fungsi eksekutif) yang tidak sesuai dengan
perkembangan usia anak. (Soetjiningsih & Ranuh, 2013).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) / GPPH adalah
gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak
sehingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung
berlebihan (Davison GC, Neale JM, & Kring AM, 2010).
5
2.2 Sejarah
Gangguan perilaku pada anak pertama kali dideskripsikan oleh dokter
Heinrich Hoffman tahun 1863 sebagai: “seorang anak yang selalu bergerak, tidak
pernah berhenti walaupun ditegur oleh ayah dan ibunya, seolah-olah tidak
mendengar nasehat orang tuanya, anggota tubuhnya tidak pernah bisa diam,
berputar kesana kemari, naik turun kursi dan meja, tiada hentinya tanpa
memperdulikan sekitarnya, sehingga orang tuanya tidak dapat menahan diri lagi
melihat keadaan anaknya seperti itu”. Hoffman memberi panggilan anak ini:
Fidgety Phil “Phil yang tidak bisa diam”.
Sejumlah kasus di Amerika Utara dilaporkan mengalami gangguan perilaku
dan kognitif yang sesuai dengan karakteristik GPPH sekarang sebagai gejala sisa
dari infeksi otak, akibat dari terjadinya epidemic ensefalitis pada tahun 1917 -
1918. Gangguan ini disebut gangguan perilaku pasca ensefalitik (Cantwell, 1981;
Kessler, 1980). Pada kurun waktu 1930-1940 berbagai penyakit otak menjadi
sorotan dapat menyebabkan gangguan perilau dan kognitif yang sesuai dengan
karakteristik GPPH, istilah lain yang dipakai pada waktu tersebut “organic
driveness”, “restlessness” syndrome. Selain penyakit otak, ruda paksa proses
kelahiran juga dapat menjadi penyebabnya sehingga pada kurun waktu yang sama
dikenal konsep “brain injured child”. (Strauss & Lehtinen, 1947).
6
reaction of childhood disorder dimana gangguan ini memiliki karakteristik
aktivitas berlebihan (overactivity), tidak bisa diam (restless), perhatiannya mudah
beralih (distractibility) , dan rentang perhatian pendek (short attention span).
7
2.3 Epidemiologi
Prevalensi GPPH di berdasarkan usia dibagi menjadi, anak-anak usia
prasekolah (usia < 7 tahun) sebanyak 1.8% - 1.9% (di Eropa), anak-anak dan
remaja 5.3% - 7.1% (di dunia), dan pada dewasa (usia 18 – 44 tahun) sebanyak
1.2%-7.3% (di dunia).
Anak-anak GPPH berdasarkan jenis kelamin, menurut ADORE (Attention-
Deficit Hyperactivity Disorder Observational Reasearch ini Europe) melakukan
studi observational selama 24 bulan di 10 negara di Eropa pada anak anak usia 6-
18 tahun, dari total 1478 pasien yang dianalisis terdapat 231 perempuan (15.7%),
dan 1222 laki-laki (84.3%). Rasio jenis kelamin bervariasi tiap negara, dari 1:3
sampai 1:16 untuk perempuan : laki-laki.
Terdapat 3 presentasi GPPH yang diperkenalkan oleh Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders-5th edition (DSM-5): (1) Predominan
Inatensi (2) Predominan hiperaktivitas-impulsive (3) Kombinasi inatnesi-
hiperaktivitas-impulsivitas. Angka kejadian GPPH bervariasi di berbagai studi.
Meta analisis seluruh dunia dari 86 studi mengindikasikan bahwa tipe dominan
inatensi dari GPPH merupakan subtipe paling umum dari seluruh sampel, dengan
pengecualian anak usia pra-sekolah, dimana tipe dominan hiperaktif-kompulsif
merupakan yang paling umum dari anak kelompok usia ini.
8
2.4.1 Faktor Genetik
Dari beberapa penelitian genetik dikatakan bahwa saudara kandung dari
anak dengan GPPH mempunyai resiko 5-7 kali lebih besar untuk mengalami
gangguan yang serupa jika dibandingkan dengan anak lain yang tidak mempunyai
saudara kandung dengan GPPH. Sedangkan orang tua yang menderita GPPH
mempunyai kemungkinan sekitar 50% untuk menurunkan gangguan ini pada anak
mereka. Jacquelyn J. Gilis dalam penelitiannya pada anak dengan GPPH
menyatakan 55% - 92% anak kembar identik akan menderita gangguan yang sama
jika salah satu anak tersebut menderita GPPH (Wiguna, 2017).
9
Tabel 2 .1 Abnormalitas otak pada penderita GPPH. (Seidman LJ, Valera EM,
& Makris N, 2005).
10
2.5 Patofisiologi
Perhatian merupakan proses kognitif yang melibatkan beberapa bagian
otak untuk dapat memberikan perhatian yang sepadan sesuai dengan impuls yang
diterima di korteks. Impuls tersebut dapat berasal dari sel neuromodulator brain
stem dan basal forebrain yang aksonnya berada di hampir semua bagian korteks.
Pengaturan lain terkait proses atensi dikorteks juga terjadi melaui jaras
thalamokortikal yang menghubungkan thalamus dan korteks (Yanofiandi &
Syarif, 2009).
Pada keadaan diperlukan atensi dengan intensitas tinggi, nukleus
mediodorsal yang terdapat pada thalamus akan ikut teraktivasi. Nukleus ini
berhubungan dengan korteks prefrontal dan korteks parietal. Selain itu juga
nukleus ventrolateral yang terdapat di thalamus juga ikut mencapai tingkat
perhatian yang diinginkan. Interaksi antar sel nukleus yang terdapat di thalamus
akan melewati nukleus retikularis yang bertindak sebagai penghambat sinyal yang
tak diinginkan (Yanofiandi & Syarif, 2009).
Hipotesa pengaturan perhatian dijelaskan dalam mekanisme Top-Down
Attention dan Bottom-Up Attention. Pengaturan Top-Down Attention diperkirakan
terjadi melalui proses impuls saraf dikirim oleh korteks prefrontal ke korteks
parietal dan korteks temporal sedangkan Bottom-Up Attention rangsangan yang
diterima korteks temporal atau parietal akan dikirimkan ke korteks prefrontal
(Arnsten, 2009).
Kegagalan untuk merespon impuls sesuai tingkatan emosi yang diatur
terutama di korteks thalamus dan amigdala dapat menyebabkan seseorang
bertidak impulsive dan agresif. Peranan dalam pengaturan emosi merupakan
proses yang rumit. Impuls yang diterima oleh alat sensorik akan sampai ke
thalamus dan dikirimkan ke amigdala dan korteks sensoris. Korteks prefrontal
terlibat juga dalam menekan respon yang dipicu oleh amigdala yang mungkin
kurang sesuai dengan situasi yang dihadapi (Sherwood, 2014).
11
Gambar 2.1 Pengaturan emosi. (Armony J & Ledoux JE, 2000).
Aktivitas yang sepadan dan bertujuan merupakan hasil olahan impuls yang
melibatkan korteks parietal, korteks prefrontal, ganglia basalis, dan serebelum.
Korteks prefrontal bersama-sama dengan area tambahan motorik di korteks juga
berinteraksi dengan ganglia basalis untuk menghasilkan gerak yang sepadan baik
intensitas maupun durasinya (Yanofiandi & Syarif, 2009).
Gambar 2.2 Pengaturan gerak oleh beberapa bagian otak (O. Hikosaka, et
al., 2000).
12
2.6 Brain Mapping
GPPH adalah hal yang serius untuk kesehatan dan perkembangan. Banyak
hal yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan mendapatkan
pertolongan untuk kebutuhan anak. Sangat penting untuk berbicara dengan dokter
atau klinisi lain mengenai evaluasi dan test untuk GPPH. Pemeriksaan klinis
adalah cara yang umum untuk mengevaluasi dan mendiagnosis GPPH. EEG
adalah instrumen untuk mendeteksi gelombang otak (elektrik), apakah kuat atau
lemah (amplitudo) dan cepat atau lambat (frekuensi).
13
Tabel 2.2 Karakteristik Gelombang Otak (Dewi, 2014).
Theta adalah pola yang paling banyak terlihat pada anak dengan diagnosis
GPPH, telah dibuktikan dalam penelitian metaanalisis sebelumnya (Synder &
Hall, 2006) 80% dari 1498 anak yang didiagnosis GPPH menunjukkan pola
tersebut dengan sensitivitas dan spesifitas 94% identifikasi GPPH dari QEEG
(Dewi, 2014). Belakangan ini, para ahli juga mempelajari QEEG (Quantitave
EEG) yang mengukur aktivitas elektrik di otak dengan terfokus pada hubungan
kekuatan aktivitas gelombang theta dengan gelombang-gelombang yang lain,
yang biasanya juga didapatkan aktivitas gelombang Theta dan Alfa meningkat
pada anak GPPH (American Academy of Neurology, 2016).
14
2.7 Gejala dan Tanda
Ciri khas anak dengan gangguan ini yang paling sering disebutkan dalam
urutan frekuensi, hiperaktivitas, hendaya motorik perseptual, labilitas emosi,
defisit koordinasi umum, defisit atensi (rentang atensi singkat, mudah teralih
perhatiannya, perseverasi, gagal meneyelesaikan tugas, inatensi, konsentrasi
buruk), impulsivitas (bertindak sebelum berpikir, pergeseran tiba-tiba dalam
aktivitas, kurang teratur, melompat di kelas), defisit daya ingat dan berpikir,
ketidakmampuan belajar spesifik, defisit pendengaran dan bicara, serta tanda
neurologis ekuivokal dan ketidakteraturan EEG.
Kesulitan di sekolah, baik dalam belajar atau perilaku, adalah masalah
lazim yang sering timbul bersama dengan GPPH; kesulitan ini kadang-kadang
dating akibat gangguan komunikasi atau gangguan belajar yang ada atau akibat
mudah teralih perhatian atau atensi yang berfluktuasi, yang menghambat
perolehan, retensi dan penunjukkan pengetahuan (Sadock & Sadock, 2016).
2.8 Komorbiditas
Komorbiditas gangguan psikiatri lain pada pasien GPPH setinggi 50%-
90% dan komorbiditas secara signifikan mengubah presentasi, dan pilihan
tatalaksana. Klinisi harus selalu melihat adanya gangguan komorbid kapanpun
mengevaluasi anak dengan GPPH. Ketika mengevaluasi kondisi komorbiditas,
dokter harus berusaha menentukan apakah satu kondisi "primer" dapat
sepenuhnya menjelaskan gejala yang paling melumpuhkan dan menyusahkan.
Jika suatu kondisi primer dapat sepenuhnya menjelaskan gejala-gejala tersebut,
maka kondisi lainnya tidak boleh didiagnosis. Sebagai contoh, jika pasien
memiliki gejala GPPH hanya selama episode bipolaritas, GPPH tidak akan
didiagnosis. Dalam praktiknya, seringkali sulit untuk menentukan gejala mana
yang menyebabkan gangguan pada pasien, terutama ketika kedua gangguan
tersebut memiliki perjalanan kronis. Jika kedua kondisi berkontribusi terhadap
gangguan pasien, maka baik GPPH dan kondisi komorbiditas harus didiagnosis
dan diobati. Secara umum, kemungkinan komorbiditas terutama tinggi pada anak-
anak yang resisten terhadap pengobatan atau memiliki GPPH yang parah.
(Faraone & Kunwar, 2007).
15
Pengertian umum komorbiditas adalah suatu keadaan yang menunjukkan
terdapat dua penyakit yang berbeda dalam satu waktu yang bersamaan dalam diiri
seseorang. Kedua penyakit tersebut tidak berinteraksi satu dengan yang lain dan
hasil terapi terhadap penyakit yang satu tidak selalu berpengaruh terhadap
penyakit yang lain. Terdapat beberapa pandangan hipotetik tentang komorbiditas
yaitu bahwa:
1. Masing-masing gangguan komorbiditas merupakan manifestasi klinik dari
penyakit yang berbeda dan terpisah
2. Gangguan komorbiditas tidak merupakan penyakit yang terpisah dan
berbeda satu sama lain, tetapi merupakan penyakit yang sama dengan
ekspresi yang berbeda
3. Gangguan komorbid berbagi berbagi ciri kelemahan yang sama baik
genetik ataupun psikososial atau keduanya
4. Gangguan komorbid merupakan subtipe yang berbeda dari satu kelompok
penyakit yang heterogen
5. Suatu sindrom dapat merupakan manifestasi awal dari gangguan komorbid
6. Perkembangan suatu sindrom daoat meningkatkan risiko terjadinya
gangguan komorbid (Saputro, 2009).
Gangguan penyerta dapat mendukung bagi suatu diagnosis. Kecerobohan
dalam hubungan-hubungan sosial, kesembronan dalam situasi yang berbahaya dan
sikap yang secara impulsive melanggar tata tertib sosial (yang diperlihatkan
dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan orang lain, terlampau
cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum lengkap diucapkan orang,
atau tidak sabar menunggu gilirannya), kesemuanya merupakan ciri khas dari
anak-anak dengan gangguan ini. (Maslim, 2013).
3 tipe yang biasanya muncul dan berhubungan dengan GPPH :
1. Cortical wiring problems yang merupakan akibat abnormalitas dalam
struktur cortex cerebrum. Cortical wiring problems termasuk :
Disabilitas belajar
Disabilitas bahasa
Kesulitan motorik halus dan kasar
Kesulitan fungsi eksekutif
16
2. Masalah dalam meregulasi emosi, termasuk:
Depresi
Gangguan Kesemasan (termasuk gangguan panik)
Anger-control problems (intermitten explosive disorder atau
oppositional defiant disorder)
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)
Gangguan Bipolar
3. Gangguan Tic, termasuk:
Motor tics
Oral tics
Sindrom Tourette
2.9 Diagnosis
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th
Edition (DSM-V) yang terdapat dalam American Psychiatric Association (APA)
telah membuat beberapa perubahan pada kriteria diagnostik GPPH untuk remaja
dan dewasa. Pada DSM-V, gejala inatensi atau hiperaktivitas-impulsivitas harus
timbul sebelum usia 12 tahun agar bisa ditegakkan diagnosis sebagai GPPH.
Subtipe GPPH juga dibagi menjadi 3 spesifikasi: (1) Kombinasi inatensi dan
hiperaktivitas/impulsivitas (2) Predominan Inantensi (3) Predominan
hiperaktivitas/impulsivitas. Dalam mengkonfirmasi diagnosis, perburukan semua
spesifikasi tersebut minimal terjadi di dua tempat dan menganggu perkembangan
sosial atau fungsi akademik. (Sadock, Sadock & Ruiz, 2015).
Kriteria diagnosis di Indonesia dapat pula ditegakkan berdasarkan
Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) yang sesuai
dengan International Classification of Disease X (ICD X) tahun 2016 yang mana
GPPH atau GPPH ini memiliki ciri utama berkurangnya perhatian dan aktivitias
berlebihan yang menjadi syarat mutlak diagnosis (Elvira & Hadisukanto, 2017).
Inatensi atau berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini
dihentikannya tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai.
Anak-anak ini seringkali beralih dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain, rupanya
kehilangan minatnya terhadap tugas yang satu, karena perhatiannya tertarik
17
kepada kegiatan lainnya (sekalipun kajian laboratorium tidak menunjukkan
adanya derajat gangguan sensorik atau perseptual yang tidak biasa). Berkurangnya
dalam ketekunan dan perhatian ini seharusnya hanya didiagnosis bila sifatnya
berlebihan bagi anak dengan usia atau IQ yang sama (Maslim, 2013).
Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya
dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Hal ini, tergantung dari
situasinya, mencakup anak itu berlari-lari atau berlompat-lompat sekeliling
ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi dalam situasi yang menghendaki anak
itu tetap duduk, terlalu banyak bicara dan ribut, atau kegugupan/kegelisahan dan
berputar-putar (berbelit-belit). Tolak ukur untuk penilaian berlebihan yang
dimaksud adalah apa yang diharapkan dalam suatu situasi dan dibandingkan
dengan anak-anak lain yang sama usia dan nilai IQ-nya (Maslim, 2013).
Tabel 1.1 Susunan pemeriksaan GPPH berdasarkan PMK no. 330 tentang
Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penangannya tahun 2011
18
- Riwayat keluarga
- Riwayat sekolah (rapor, skrining potensi-prestasi)
- Riwayat medik terutama trauma kepala, infeksi, alergi dan
neurologik
3) Pemeriksaan intelegensi, kesulitan belajar dan sindrom otak organic
- Tes intelegensi (Weschler Intellegence Scale for Children)
- Tes Woodcock-Johnson
4) Pemeriksaan psikometrik/ kognitif-perseptual
- Continous Performance Test (Test of Variable of Attention/
TOVA)
- Wisconsin Card Sort
- Stroop Color Word Test
5) Evaluasi situasi rumah untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh
lingkungan
6) Apabila hasil pemeriksaan sesuai kriteria diagnosa GPPH (berdasarkan
DSM-IV atau PPDGJ III) segera dimulai pengobatan dengan
psikostimulan
7) Pemeriksaan dan monitor efek samping, efektifitas pengobatan setiap 3
bulan. Pengobatan dengan farmakoterapi lain dapat dipertimbangkan.
19
2.10 Terapi
2.10.1 Nonmedikamentosa
Terapi Perilaku
Dapat berupa pemberian pujian atau hadiah jika anak berhasil
menyelesaikan tugasnya, memberikan hukuman jika anak
melakukan kenakalan atau kesalahan. Hukuman dapat berupa
perintah melakukan sesuatu atau anak tidak boleh melakukan
sesuatu yang disenanginya. Terapi tingkah laku lain dapat berupa
pemberian poin jika berbuat baik dan pengurangan poin jika
berbuat kesalahan. Keseluruhan poin akan dihitung akhir minggu
untuk melihat berapa poin yang berhasil dikumpulkan untuk
mendapat hadiah tertentu.
Terapi keterampilan sosial
Terapi keterampilan sosial dilakukan agar anak yang mengalami
GPPH bisa bersosialisasi dengan baik dan memahami norma sosial
yang ada. Biasanya latihan ini mempunyai bentuk bermain peran
agar anak dapat mempraktekkan langsung keterampilan sosialnya.
Terapi aktivitas fisik (olahraga)
Konseling terhadap keluarga, guru, pengasuh
Terapi edukasi
Lain-lain: Neurofeedback, terapi chelation, terapi dengan anti
jamur sistemik, terapi diet, dan terapi vitamin
2.10.2 Medikamentosa
Berdasarkan PMK RI No. 3330 tahun 2011 tentang Pedoman Deteksi Dini
GPPH pada Anak serta Penanganannya, tujuan dari terapi adalah memperbaiki
pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari terutama
dengan memperbaiki fungsi pengendalian diri dan memperbaki pola adaptasi dan
penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk suatu kemampuan adaptasi yang lebih
baik dan matang sesuai tingkat perkembangan anak.
Dalam PMK RI no. 330 tahun 2011 juga disebutkan bahwa terapi obat
untuk GPPH yang utama adalah golongan psikostimulan atau stimulan yang
20
sudah lama digunakan. Metilfenidat merupakan salah satu obat golongan stimulan
sistem saraf pusat ringan yang memiliki sistem kerja serupa dengan amfetamin.
Obat ini akan melepaskan amin biogenic (noradrenain, dopamine, dan serotonin)
dari vesikel penyimpanan.
Metilfenidat terbukti sangat efektif pada hampil ¾ anak dengan GPPH dan
memiliki efek samping yang relative kecil. Metilfenidat adalah medikasi kerja
singkat yang biasanya digunakan secara efektif pada jam-jam sekolah, sehingga
anak-anak dengan defisit-atensi atau hiperaktivitas dapat memperhatikan tugasnya
dan tetap berada dalam kelas. Efek samping obat yang paling sering adalah nyeri
kepala, nyeri lambung, mual, kurang nafsu makan dan insomnia. Anak dengan
riwayat tic harus diperhatikan karena beberapa kasus dapat menyebabkan
eksaserbasi gangguan tic.
Tabel 2.3 Obat-obat yang digunakan dalam terapi Psikofarmaka pada anak GPPH
berdasarkan PMK No.330 tahun 2011
2. OROS (Osmotic Release Oral Dosis dimulai dengan 18 mg, satu hari
System) 18 mg dan 36 mg sekali di pagi hari dan ditingkatkan
hingga 0,3-0,7 mg/kgBB/hari.
21
Antidepresan seperti bupoprion, venlafaxine, dan guanfasin menjadi
pilihan kedua terapi GPPH (Patternote & Buitelaar, 2010). Obat anti depresan
lebih kuat dalam memperbaiki perilaku dibandinkan memperbaiki konsentrasi
seperti yang dilakuakn psikostimulan, sehingga dijadikan juga sebagai pilihan
pertama untuk pasien GPPH dengan komorbiditas gangguan mood atau gangguan
kcemasan serta gangguan tic (Prasetyo, 2009).
Antidepresan trisiklik juga dapat digunkan dengan efektivitas sama dengan
psikostimulan saat diawal pengobatan namun efeknya tidak bertahan lama. Obat
pilihannya yaitu Imipramin dengan sediaan tablet 10 mg, 25 mg, dan 50 mg, dapat
digunakan dengan dosis 10-25 mg/hari, maksimal 50-70 mg/hari.
Antipsikotik seperti Risperidon, Quetiapin, Olenzapin dapat
dipertimbangkan bila terdapat peledakan marah yang hebat dan agresi yang harus
ditekan atau pada perilaku anti sosial dan membangkang. Obat ini biasanya
digunakan bagi pasien GPPH yang mempunyai kombinasi dengan GSA atau
retardasi mental yang parah (Patternote & Buitelaar, 2010)
Golongan alpha adrenergic menjadi pilihan ketiga dalam pengobatan
GPPPH yang terdiri dari Clonidide dan Atomoxetine serta Guanfacine. Obat-obat
ini memperngaruhi neurotransmitter norepinefrin dan memperbaiki perilaku
seperti hiperaktivitas, impulsivitas, dan agresi serta memperbaiki gangguan tidur
yang biasa terjadi pada pasien GPPH.
22
BAB III
KERANGKA KONSEP
1. PREDOMINAN INANTENSI
2. PREDOMINAN
GPPH HIPERAKTIVITAS
3. KOMBINASI INATENSI
& HIPERAKTIVITAS
KOMORBIDITAS TANPA
KOMORBIDITAS
ANAK
LAKI-LAKI
REMAJA RIWAYAT KELUARGA
FAKTOR PRENATAL
PEREMPUAN
FAKTOR NATAL
DEWASA
FAKTOR POSTNATAL
PENGASUHAN
PARSIAL
23
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.5.1 Komorbiditas
Komorbiditas adalah gangguan yang menyertai gejala GPPH pada pasien.
Kategori komorbiditas didasarkan pada riwayat komorbiditas pasien GPPH yang
tertera dalam rekam medik.
4.5.3 Usia
Usia yang dimaksud adalah usia saat pasien terdiagnosis GPPH pertama
kali. Menurut American Academy of Pediatrics (2015), usia anak dikategorikan:
1. 0-12 bulan (infant)
2. 13 bulan-3 tahun (toddler)
3. 4-5 tahun (prasekolah)
4. 6-12 tahun (usia sekolah)
26
4.5.8 Pengasuhan Parsial
Ada atau tidaknya pengasuhan parsial pada pasien anak GPPH yang tertera
dalam uraian anamnesis pada rekam medik. Pengasuhan parsial yang dimaksud
adalah kegiatan mengasuh anak sehari-hari yang dilakukan hanya dengan salah
satu orang tua atau bahkan tidak dengan keduanya, baik itu di rumah ataupun di
penitipan anak.
Total Sampling
27
4.7 Analisis Data
Analisis data daam penelitian ini menggunakan analisis univariat yaitu
mendekskripsikan setiap variabel dalam penelitian dengan gambaran distribusi
frekuensi. Bentuknya berupa tabel dengan persentase dan narasi.
Pembuatan
Proposal Penelitian
Seminar Proposal
Revisi Proposal
Penelitian
Pengolahan Data
Revisi Skripsi
28
BAB V
HASIL PENELITIAN
Tabel 5.1 Insidensi Pasien Anak GPPH di RSJD Atma Husada Mahakam
Samarinda Periode 2015-2018
29
5.2 Karakteristik Sampel Penelitian
30
Tabel 5.4 menunjukkan distribusi frekuensi GPPH berjumlah 11 (13%)
untuk perempuan dan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 73 (87%) pasien.
Hasil tersebut menunjukkan rasio perbandingan perempuan:laki-laki sebesar 1:7.
31
Gangguan Pendengaran 1 1
Gangguan Sensori Integrasi 1 1
Epilepsi 1 1
Tabel 5.7 Jenis Gangguan >1 Komorbid pada Pasien Anak GPPH
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 14 pasien anak GPPH yang memiliki
>1 gangguan komorbid, gangguan berbicara dan berbahasa + retardasi mental
menududuki posisi terbanyak dengan 4 frekuensi (29%). Terlihat tidak hanya 2
komorbiditas yang bisa didapatkan, selain itu didapatkan sejumlah 1 (7%) pasien
32
anak yang memiliki 3 komorbiditas yaitu dengan komorbid epilepsi + gangguan
koordinasi motorik halus dan kasar + retardasi mental.
Tabel 5.8 membagi derajat retardasi mental menjadi ringan, sedang, berat,
dan sangat berat yang mana didapatkan frekuensi terbanyak yaitu derajat retardasi
mental sedang sebanyak 8 (62%) kasus. Sedangkan untuk derajat retardasi mental
sangat berat tidak ditemukan sama sekali pada pasien anak GPPH di RSJD Atma
Husada Mahakam Samarinda periode 2015-2018.
33
Tabel 5.10 Statistik Usia Pasien Anak GPPH dengan Komorbiditas
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 66 kasus pasien anak GPPH yang
memiliki komorbiditas, terdapat jumlah perempuan lebih sedikit dari laki-laki
dengan rasio perbandingan 1:6. Usia juga didominasi oleh kategori toddler
sebanyak 30 (45%) kasus. Tabel 5.10 juga menunjukkan bahwa usia terbanyak
atau tersering yaitu 3 tahun, usia tertua 9 tahun serta usia termuda yaitu 2 tahun.
Tabel 5.11 Faktor Risiko Pasien Anak GPPH dengan Komorbiditas (Total = 66
Kasus)
Faktor Risiko Frekuensi (n) Persentase (%)
Riwayat Keluarga 3 5
Faktor Prenatal 5 8
Faktor Natal
BBLR 7 11
Prematur 5 8
Sectio Caesarea 13 20
25 39
Faktor Postnatal
Riwayat Kejang Demam 10 15
Riwayat Trauma Kepala 3 5
13 20
Pengasuhan Parsial 12 18
Tabel 5.11 membagi faktor risiko yang didapat dari rekam medik RSJD
Atma Husada Makam Samarinda menjadi riwayat keluarga atau keturunan, faktor
prenatal atau sebelum kelahiran, faktor natal atau saat kelahiran, faktor postnatal
atau setelah kelahiran dan juga faktor pengasuhan yang didapat oleh pasien anak
tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan dari semua faktor risiko, terlihat
34
faktor natal yang frekuensi dan persentasenya terbesar yaitu sebanyak 25 (39%)
kasus dari 66 kasus pasien anak GPPH yang memiliki komorbid.
Faktor natal sendiri terdiri dari BBLR (Berat Badan Lahir Rendah),
kelahiran prematur, dan kelahiran sectio caesarea yang mana kelahiran sectio
caesarea menjadi faktor natal terbanyak sebesar 13(20%) kasus. Selain itu, untuk
faktor postnatal dibagi menjadi riwayat kejang demam dan riwayat trauma kepala,
yang mana didapatkan faktor postnatal terbanyak adalah riwayat kejang demam
sebesar 10 (15%) kasus.
Tabel 5.12 dan 5.13 menjelaskan bahwa jenis kelamin untuk pasien anak
GPPH tanpa komorbiditas hanya ada 1 (6%) kasus dari 18 kasus. Berbeda dengan
usia pasien anak GPPH dengan komorbiditas, pasien anak tanpa komorbiditas
memiliki usia terbanyak didominasi oleh kategori prasekolah dengan jumlah 9
(50%) kasus, dan dari kategori tersebut didapatkan terbanyak yaitu usia 5 tahun.
35
Hasil statistik pasien anak GPPH tanpa komorbiditas juga didapatkan usia tertua
yaitu 7 tahun dan usia termuda yaitu 2 tahun.
Tabel 5.14 menunjukkan dari semua faktor risiko yang disajikan, faktor
postnatal memiliki frekuensi terbanyak untuk faktor risiko pasien anak GPPH
tanpa komorbiditas yaitu sejumlah 6 (33%) kasus dari total 18 kasus. Berbeda
dengan adanya komorbiditas, pasien anak GPPH tanpa komorbiditas juga
memiliki faktor postnatal terbanyak pada riwayat trauma kepala sejumlah 4 (22%)
kasus. Terlihat juga tidak didapatkannya faktor risiko natal BBLR dan faktor
risiko pengasuhan parsial untuk pasien anak GPPH tanpa komorbiditas.
36
BAB VI
PEMBAHASAN
37
menjadi agresif secara fisik dan verbal kepada orang lain, yang kemudian
membuat orang tua membawa anaknya ke klinik pskiatri dengan keluhan tersebut,
apalagi jika berlebihan (IGAN, 2013). Meskipun usia diagnosis untuk GPPH
maksimum 12 tahun, pada penelitian ini didapatkan usia tertuanya adalah 9 tahun.
Hal ini sesuai juga menurut IGAN setelah usia 9 tahun, beberapa ketakutan pada
anak mulai menghilang, hanya 3% ketakutan yang didapatkan pada anak usia 12
tahun. Masih dengan IGAN, dalam perkembangan emosi khususnya menangis,
setelah usia 9 tahun anak sering mncoba untuk tidak menangis bila terluka atau
kecewa, dalam hal ini juga saat kemauannya tidak dituruti.
Hasil penelitian menunjukkan usia termuda yang diadiagnosis adalah usia
2 tahun, yang mana sesuai dengan pernyataan bahwa diagnosis GPPH sulit
ditegakkan pada anak dibawah 2 tahun karena level aktivitas dan atensi dari batita
sangat berbeda dengan balita atau anak usia prasekolah (Gurevitz, Geva, Varib, &
Leitner, 2014).
38
beberapa kasus terakhir orang dewasa didiagnosis gangguan lain yang sebenarnya
bukan gangguan inti (GPPH), dengan demikian pengobatan mereka menjadi tidak
efektif (National Institute for Health and Clinical Excelle, 2008).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase anak GPPH yang
memiliki 1 komorbid sebesar 62% dan >1 komorbid sebesar 17% yang jika ditotal
untuk yang berkomorbiditas sebesar 79%. Hal ini dapat dikaitkan dengan studi
epidimiologi yang menunjukan tingkat komorbiditas antara 50% sampai 90%
untuk anak GPPH (Faraone & Kunwar, 2007). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Patel et al tahun 2012 didapatkan bahwa anak yang mengalami satu
komorbiditas sebanyak 33%, dua komorbiditas sebanyak 16%, dan yang memiliki
tiga atau lebih komorbiditas sebanyak 18%. GPPH dan komorbiditas
menunjukkan bahwa terdapat dua gangguan yang mengakibatkan hasil yang
sangat buruk, terutama jika komorbiditas itu sendiri terkait dengan gangguan
kejiwaan jiwa lainnya (Patel, Patel, & Patel, University of Missouri Health Care,
USA, 2011).
Semakin meningkatnya jumlah komorbiditas mencerminkan tantangan
dalam sistem perawatan/penatalaksanaan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak
yang memiliki gambaran klinis kompleks tersebut (Institute of Medicine Comittee
on Comparative, 2009).
39
GSA merupakan gangguan perkembangan otak yang dikenal juga dengan
sebutan Autisme. GSA ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan
dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Keadaan
ini sudah dapat sejak sebelum anak berusia 3 tahun (Patternote & Buitelaar,
2010). GSA seringkali terdapat tumpang tindih dengan GPPH. Anak yang
menderita GSA seringkali menunjukkan gejala hiperaktif, sulit berkonsentrasi
dan impulsif, sebaliknya anak yang menderita GPPH juga sering mengalami
gangguan interaksi sosial (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Bahkan beberapa
penelitian menyebutkan 2/3 dari anak dengan GSA mengalami gejala yang mirip
dengan GPPH (Amiri, et al., 2013). Namun, seiring pertumbuhan dan peningkatan
usia, perbedaan antara keduanya akan semakin jelas dan mengarah kepada
diagnosis tunggal yang sebenarnya.
40
25-39), sangat berat (IQ 0-24) (AAIDD, 2019). Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Paulus Anwar Gazali terhadap 20 penderita retardasi mental yang
juga dilakukan pemeriksaan test IQ didapatkan bahwa tingkat IQ rata-rata sampel
adalah 43, yang sesuai dengan klasifikasi derajat retardasi mental sedang (Gozali,
2008). Diagnosis GPPH hanya dapat ditegakkan pada anak dengan retardasi
mental apabila gejala inatensi ataupun hiperaktivitas ada pada derajat yang berat.
Namun, GPPH dinilai dari kesesuaian usia dan perilaku, sementara retardasi
mental lebih dilihat pada nilai IQ, dan tidak ada kriteria untuk mengevaluasi
gangguan perkembangan mental dalam kesesuaian perilaku berdasarkan usia
(Patel, Patel, & Patel, University of Missouri Health Care, USA, 2011).
41
Demikian pula, adanya pola perilaku yang berulang dan terus-menerus di mana
hak-hak dasar orang lain atau norma-norma atau aturan sosial yang sesuai dengan
usia dilanggar harus memperingatkan dokter untuk kemungkinan CD (American
Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
Edition "DSM-5", 2013).
42
Kecemasan pada GPPH dapat menghambat impulsif, sehingga anak-anak
dengan GPPH dan komorbid kecemasan mungkin memiliki impulsif yang lebih
sedikit tetapi mereka lebih inatensi. Komorbid kecemasan dari GPPH itu sendiri
adalah hasil dari ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari
karena keterbatasan sosial dan kognitif yang terkait dengan GPPH, daripada
perilaku fobia / ketakutan yang khas. Meskipun dalam penelitian ini hanya 5%
kasus yang didapatkan mengalami gangguan kecemasan, namun oleh karena
sejumlah besar anak-anak dengan GPPH mengalami atau akan mengembangkan
kecemasan, semua anak-anak dengan GPPH harus dimonitor untuk gejala-gejala
kecemasan (Faraone & Kunwar, 2007).
6.1.3.9 Epilepsi
Menurut Patel, 3% anak dengan GPPH memiliki gangguan kejang (Patel,
Patel, & Patel, University of Missouri Health Care, USA), yang persentasenya
mendekati dengan hasil penelitian ini yaitu sebanyak 1%. Terlihat bahwa GPPH
berkomorbid dengan epilepsi (daripada hasil dari epilepsi) karena frekuensi gejala
GPPH tampak sebelum onset kejang. Semakin muda onset kejang berhubungan
dengann semakin besar penurunan kognitif termasuk atensi. Methylpenidate dapat
menjadi pengobatan yang efektif untuk anak-anak dengan GPPH dan epilepsi,
namun keefektifannya lebih kurang daripada anak-anak dengan GPPH saja.
Sebagai tambahan, orang-orang harus diperingatkan bahwa ada resiko rendah
peningkatan kejang dengan methlypenidate dan atomoxetine. Penelitian lebih
lanjut masih diperlukan (rzadkiewicz, 2016).
44
Gangguan berbicara dan berbahasa merupakan gangguan perkembangan
yang sering ditemukan pada anak usia 3-16 tahun, tidak jauh berbeda dengan
retardasi mental yang harus muncul sebelum usia 18 tahun. Selain itu, gangguan
bahasa juga merupakan komorbid pada penyakit/kelainan tertentu (sekitar 50%)
yang salah satunya adalah retardasi mental, begitu pula sebaliknya retardasi
mental memiliki gejala klinis yaitu gangguan berbicara dan berbahasa.
(Soetjiningsih & Ranuh, 2013)
45
6.1.6 Faktor Risiko Pasien Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas dengan Komorbiditas
Suatu penelitian kasus kontrol menyebutkan bahwa faktor prenatal
(paparan rokok, minuman keras, gangguan psikiatri selama hamil atau penyakit
lain), natal (prematur, BBLR, postnatal merupakan faktor resiko GPPH yang
dapat memicu timbulnya GPPH ataupun memperparah gejalak klinis GPPH.
(Indriyani, Soetjiningsih, Ardjana, & Windiani, 2008).
Dari penelitian ini menunjukkan sebanyak 8% sampel pasien GPPH
dengan komorbid memiliki faktor risiko prenatal seperti gangguan psikiatri
selama kehamilan dan juga ibu memiliki riwayat penyakit lain. Dalam rekam
medis tidak ditemukan data tentang riwayat merokok, konsumsi alkohol atapun
penggunaan obat-obatan terlarang, Walau persentase tidak cukup besar, namun
juga sejalan dengan peningkatan risiko yang telah dilakukan studi lain sebanyak
6,8% oleh karena faktor prenatal (Golmirzaei, et al., 2013). Dampak dari
lingkungan prenatal pada GPPH pun setidaknya dimediasi oleh faktor genetik atau
riwayat keluarga juga (Mill & Petronis, 2008).
Pada penelitian ini didpatkan 39% sampel pasien anak GPPH dengan
komorbid yang memiliki faktor natal yang terbagi menjadi BBLR, Prematur, dan
Sectio Caesarea. Pada penelitian yang dilakukan oleh Golmirzaei, et, al,
menyatakan bahwa persalinan melalui operasi sectio caesaear secara signifikan
lebih tinggi ditemukan pada kelompok anak dengan GPPH disbanding dengan
kelompok kontrol penelitian (Golmirzaei, et al., 2013). Prevalensi anak GPPH
juga ditemukan lebih banyak pada anak lahir sebelum usia kehamilan 32 minggu
daripada anak dengan usia kehamilan matang (36-38 minggu) (Gustafsson &
Kallen, 2010), yang juga akan mengarah kepada munculnya komorbiditas pada
anak tersebut dikarenakan maturasi atau perkembangan otak belum sempurna.
Adanya masalah dan ketidaknyamanan dalam lingkungan keluarga
merupakan faktor penting yang berperan dalam GPPH, suatu penelitian
menunjukkan bahwa anak dengan ibu yang bekerja di luar rumah sehingga
pengasuhan anak mereka diserahkan kepada pembantu rumah tangga memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami gejala hiperaktif yang berat. (Indriyani,
Soetjiningsih, Ardjana, & Windiani, 2008)
46
Berbagai laporan dalam sosiodemografis menyatakan bahwa prevalensi
GPPH lebih tinggi pada anak-anak dengan keluarga yang dipimpin oleh ibu
tunggal (single mother). Bahkan dalam tampilan sosiodemografis tersebut
menjelaskan, dari 61779 anak GPPH, diantaranya terdapat 5028 anak yang
memiliki >3 komorbid, dan dari anak-anak dengan >3 komorbid tersebut memiliki
stuktur keluarga dengan ibu tunggal 22%, orang tua adopsi 16%, dan lain-lain
21%. (Larson, Russ, Kahn, & Halfon, 2011).
Anak-anak dengan GPPH memiliki lebih banyak masalah di seluruh
indikator fungsi keluarga, terlebihnya apabila memiliki komorbid. Masalah
komunikasi orangtua-anak yang tinggi dan pengasuhan orang tua yang kurang
baik mengindikasikan bahwa keluarga membutuhkan dukungan tambahan untuk
menjaga hubungan berkualitas baik dengan anak mereka yang kemudian
konseling juga akan menghasilkan manfaat untuk mereka. (Daly, Creed,
Xanthopoulos, & Brown, 2007)
Anak-anak GPPH dengan orang tua berpenghasilan rendah memiliki
resiko 4 kali memiliki kondisi komorbid, bahkan memiliki 3 komorbid atau lebih
jika dibandingkan dengan orang tua yang berpenghasilan menengah ke atas. Hal
itu dikarenakan khususnya anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah
memiliki akses yang kurang ke fasilitas kesehatan, dan juga kerentanan genetik,
stress maternal, paparan asap rokok prenatal memiliki prevalensi lebih banyak
pada keluarga berpenghasilan rendah. (Cole, Ball, MArtin, Scourfield, &
McGuffin, 2009) Namun sayangnya penelitian ini tidak dapat meneliti mengenai
penghasilan dari keluarga.
47
Untuk usia terbanyak disini adalah kategori usia prasekolah dengan
persentasi 50%, yang hasilnya berbeda dengan pasien anak berkomorbitas.
Dikarenakan usia prasekolah dalam tahap perkembangan keterampilan motorik
kasar dan halus serta kekuatan sudah meningkat, kemandirian, kemampuan
mengkontrol diri dan merawat diri juga sudah meningkat. Meskipun perilaku pada
umumnya masih egosentris, tetapi pengertian terhadap pandangan orang lain
mulai tumbuh (Soetjiningsih & Ranuh, 2013).
48
6.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang berjudul Komorbiditas Pasien Anak dengan Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas ini memiliki beberapa ketidak
sempurnaan oleh karena keterbatasan penelitian. Keterbatasan penelitian tersebut
diantaranya adalah:
1. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder, yaitu dari rekam medis
dan tidak menggunakan data primer sehingga tidak bisa observasi dan
bertatap muka langsung dengan pasien anak yang terdiagnosis GPPH.
2. Catatan rekam medis yang cenderung kurang lengkap yang membuat
beberapa faktor lain yang ingin diteliti tidak didapatkan datanya.
49
BAB VII
7.1 Kesimpulan
50
11. Faktor risiko yang paling menonjol dari pasien anak GPPH tanpa
komorbiditas adalah faktor postnatal dengan persentase 33% dan tidak
adaanya kasus yang ditemukan sebagai faktor pengasuhan parsial.
12. Tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan karakteristik jenis
kelamin antara pasien GPPH dengan komorbiditas maupun tanpa
komorbiditas.
13. Tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan faktor risiko riwayat
keluarga dan faktor risiko prenatal antara pasien GPPH dengan
komorbiditas maupun tanpa komorbiditas.
7.2 Saran
1. Perlunya penelitian lain yang bersifat retrospektif dalam periode waktu
yang lebih panjang sebagai penelitian lanjutan sehingga dapat
diidentifikasi faktor-faktor lain yang mungkin berhubungan dengan
komorbiditas GPPH.
2. Dapat juga penelitian selanjutnya dikembangkan metode penelitian yang
lebih menunjukkan hubungan analitik.
3. Perlunya kelengkapan dalam pencatatan data pasien sehingga diperoleh
data rekam medis yang lebih akurat.
4. Perlunya kerjasama yang baik dengan kelembagaan, klinisi, masyarakat
dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penanganan GPPH beserta komor
biditasnya.
51
DAFTAR PUSTAKA
Amiri, S., Kandjani, A., Fakhari, A., Abdi, S., Golmirzaei, J., & Rafi, Z. (2013).
Psychiatric comorbidities in ADHD children: an Iranian study among
Primary School Students. Archives of Iranian Medicine, 16(9), 513-517.
Armony J, & Ledoux JE. (2000). How danger is encoded: toward a systems,
cellular, and computational understanding of cognitive-emotional
interactions in fear In: Gazzaniga MS. London: Cambridge.
Cole J, Ball HA, Martin NC, Scourfield J, McGuffin P. (2009). Genetic Overlap
between measures of hyperactivity/innatention and mood in children and
adolescents. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry, 48(11), 1094-1101.
Cole, J., Ball, H., MArtin, N., Scourfield, J., & McGuffin, P. (2009). Genetic
Overlap between measures of hyperactivity/innatention and mood in
children and adolescents. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry, 48(11),
1094-1101.
52
Daly, B., Creed, T., Xanthopoulos, M., & Brown, R. (2007). Psychosocial
treatments for children with attention deficit/hyperactivity disorder.
Neuropsychol Rev, 17(1), 73-89.
Davison GC, Neale JM, & Kring AM. (2010). Psikologi Abnormal (9 ed.).
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Elvira, S., & Hadisukanto, G. (2017). Buku Ajar Psikiatri (3 ed.). Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Faraone, S., & Kunwar, A. (2007, May 3). ADHD in Children With Comorbid
Conditions: Diagnosis, Misdiagnosis, and Keeping Tabs on Both.
Retrieved March 15, 2019, from Medscape:
https://www.medscape.org/viewarticle/555748_7
Gunes, S., Yilmaz, S., Akidil, A., Kara, T., Kufeciler, L., Ubay, D., et al. (2018).
Frequency of central auditory processing disorder in attention. Behbut
Cevanşir Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Society, 28(4),
155-160.
Indriyani, S., Soetjiningsih, S., Ardjana, I. E., & Windiani, I. T. (2008). Prevalensi
dan Faktor-Faktor Risiko Gangguan Pemusatan Perhatian Anak dan
Hiperaktivitas di Klinik tumbuh Kembang Anak RSUP Sanglah Denpasar.
Sari Pediatri, 9(5).
53
Jensen CM, & Steinhausen HC. (2015). Comorbid mental disorders in children
and adolescents with attention-deficit/hyperactivity disorder in a large
nationwide study. Atten Defic Hyperact Disord, 7, 27-38.
Larson, K., Russ, S., Kahn, R., & Halfon, N. (2011). Patterns of Comorbidity,
Functioning, and Service Use for US CHildren With ADHD. American
Academy of Pediatrics.
Masi, L., & Gignac, M. (2015). ADHD and Comorbid Disorders in Childhood
Psychiatric Problems, Medical Problems, Learning Disorers and
Developmental Coordination Disorder. Clinical Psychiatry.
National Institute for Health and Clinical Excelle. (2008). Diagnosis and
management of ADHD in children, young people and adults. NICE
guideline.
54
O. Hikosaka, K. Sakai, H. Nakahara, X. Lu, S. Miyachi, K. Nakamura, et al.
(2000). Neural mechanisms for learning of sequential procedures (2nd
ed.). London: Cambridge.
Patel, N., Patel, M., & Patel, H. (2011). University of Missouri Health Care, USA.
Retrieved October 5, 2015, from ADHD and Comorbid Conditions:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/280240.pdf
Patel, N., Patel, M., & Patel, H. (n.d.). University of Missouri Health Care, USA.
Retrieved October 5, 2015, from ADHD and Comorbid Conditions:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/280240.pdf
Ratnasari, N., Kaunang, T., & Dundu, A. (2016). Komorbiditas pada Anak
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada 20
Sekolah Dasar di Kota Manado. Jurnal E-Clinic (eCl), 41.
rzadkiewicz, o. (2016, July 14). Study Calls For Children With Epilepsy To Be
Monitored Early For ADHD Symptoms. Retrieved March 26, 2019, from
Epilepsy Society: https://www.epilepsysociety.org.uk/news/study-calls-
for-children-with-epilepsy-to-be-monitored-early-for-adhd-symptoms-15-
07-2016#.XJmtJpgzbb1
Sadock, B., & Sadock, V. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis (2
ed.). Jakarta: EGC.
Sadock, B., & Sadock, V. (2016). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: EGC.
Sadock, B., Sadock, V., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry (11th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.
Soetjiningsih, & Ranuh, I. (2013). Tumbuh Kembang Anak (2nd ed.). Jakarta:
EGC.
Strauss, A., & Lehtinen, L. (1947). Psychopathology and education of the brain
injured child. Grune & Stratton.
The National Autistic Society. (2018). Autism diagnosis for adults. Retrieved
March 26, 2019, from National Autistic Society:
https://www.autism.org.uk/about/diagnosis/adults.aspx
Wiguna, T., Ismail, R., Winarsih, N., Kaligis, F., Hapsari, A., Budiyanti, L., et al.
(2017). Dopamine Transporter Gene Polymorphism in CHildren with
ADHD: A Pilot Study in Indonesian Samples. Asian Journal of
Psychiatry, 29, 35-38.
56
LAMPIRAN
Lampiran 1
57
Lampiran 2
58
Lampiran 3 Data Rekam Medis
58
13. 02.84.34 2015 KTY L 2 Gangguan Berbicara dan Berbahasa
Gangguan Kecemasan
59
25. 03.28.93 2017 EHK P 4 Tidak ada komorbid
Gangguan Kecemasan
60
36. 02.82.99 2015 SEW L 4 Gangguan Spektrum Autisme
61
50. 02.43.76 2015 MWR L 6 Gangguan Spektrum Autisme
62
62. 03.06.59 2016 YIT P 3 Gangguan koordinasi motorik halus dan kasar
73. 03.02.08 2016 APHUZ L 4 Gangguan koordinasi motorik halus dan kasar
63
74. 02.93.66 2016 RS L 4 Tidak ada komorbid
64
Lampiran 4 Data Rekam Medis (Faktor Risiko)
No. No. Rekam Inisial Riwayat Faktor BBLR Prematur Sectio Riwayat Riwayat Pengasuhan
Medis Keluarga Prenatal Kejang Trauma Parsial
Caesarea Demam Kepala
1. 201807.01.50 RK
2. 201811.00.39 AA
3. 201809.00.14 BDP
4. 201808.00.18 SFS
5. 201710.01.22 SDA
6. 201805.01.01 AS
7. 201801.01.31 GR
8. 201801.01.16 DK
9. 201804.01.23 MAI
65
11. 201812.00.02 MRR
12. 2015.08.00.45 MH
18. 201706.00.82 M
19. 201705.01.61 LT
21. 201711.00.17 RF
22. 201712.00.74 MN
66
26. 03.12.57 MZY
29. 03.08.34 MA
31. 02.55.71 SP
33. 02.49.14 FF
34. 02.57.77 RD
67
41. 02.80.13 SH
43. 02.33.62 HA
44. 02.55.52 ML
46. 02.24.10 LF
47. 02.33.23 AA
49. 02.48.87 PN
53. 02.51.78 ET
55. 03.04.23 I
68
56. 02.60.99 FA
60. 02.60.97 CN
61. 03.07.09 R
70. 02.73.30 W
69
71. 02.66.80 IJ
74. 02.93.66 RS
77. 03.13.10 RA
81. 201704.02.29 MU
82. 02.56.66 BJ
84 02.87.07 ND
70