Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PIELONEFRITIS

Oleh:
Kelompok 13
1. Erina Triwiyanti (14.401.16.022)
2. Gidion Oktavio Pratidina (14.401.16.032)

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi disepanjang jalan saluran kemih,
termasuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Untuk menyatakan
adanya infeksi saluran kemih harus ditemukan bakteri di dalam urine. Infeksi saluran
kemih (ISK) merupakan masalah yang sering terjadi pada perempuan.
Pielonefritis merupakan salah satu penyakit dari infeksi saluran kemih. Berdasarkan
hasil penelitian pielonefritis lebih sering terjadi pada anak perempuan di bandingkan anak
laki-laki karena uretranya lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus.
Studi epidemiologi menunjukan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai
4% gadis pelajar, 5% sampai 10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10%
perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus pasiennya
adalah perempuan.

B. Batasan Masalah
Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada klien yang
menderita penyakit pielonefritis.

C. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit pielonefritis ?

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan penyakit pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
Agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan mahasiswa dapat melaksanakan :
a) Mengetahui definisi, etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, klasifikasi, dan
komplikasi penyakit pielonefritis.
b) Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien yang menderita penyakit
pielonefritis.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Pielonefritis adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal. Pielonefritis adalah
inflamasi pelvis dan parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Bakteri yang
paling umum adalah E. Coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas, dan
Staphylococcus saprophyticus. (Mary DigGiulio, 2007)
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala (pielum) ginjal,tubulus dan
jaringan intertsisil dari salah satu atau kedua ginjal. Pielonefritissering sebagai akibat
dari refluks ureterovesikal, dimana katub ureterovesikal yang tidak kompeten
menyebabkan urin mengalir balik (refluks) ke dalam ureter. Obstruksi saluran
perkemihan meningkatkan kerentanan ginjal terhadap infeksi. (Toto Suharyanto, 2009)
Pielonefritis adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan
parenkim ginjal. (Ns. Eko Prabowo, 2014)
2. Etiologi
Penyebab umum infeksi saluran kemih yang naik dari ureter ke ginjal, yaitu :
a. Bakteri, menyebar ke ginjal terutama berjalan ke atas dari ureter ke ginjal melalui
darah dan sistem limfatik sebagai jalan bakteri.
b. Refluks ureter, memungkinkan urine yang terinfeksi kembali ke ureter.
c. Obstruksi ureter, menyebabkan urine kembali ke ureter dan memungkinkan bakteri
berkembang biak. (Elsevier, 2014)
Mikroorganisme penyebab utama dari penyakit pielonefritis adalah E.Coli. Akan
tetapi Kowalak dkk (2011) mengidentifikasikan beberapa mikroorganisme yang juga
ikut berperan dalam pielonefritis. Mikroorganisme tersebut adalah klebsiella, Proteus,
Pseudomonas, Staphylococcus Aureus, dan enterococcus faecalis. (Ns. Eko Prabowo,
2014)
3. Tanda dan gejala
a. Demam, merupakan respon dari tubuh karena ada bakteri yang masuk ke dalam
ginjal dan menginfeksinya sehingga suhu tubuh meningkat
b. Nyeri panggul, akibat respon peradangan pada pileum dan parenkim ginjal
c. Leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih), terjadi akibat tubuh mencoba
mengkompensasi kerusakan jaringan akibat infeksi

2
d. Adanya bakteri dan sel darah putih pada urine, terjadi akibat imunitas yang rendah
e. Disuria (kesulitan buang air kecil), terjadi akibat lemahnya saluran kemih karena
infeksi sehingga tidak dapat memicu buang air kecil.
f. Sering berkemih, terjadi akibat otot saluran kemih tidak dapat menghentikannya
buang air kecil.
g. Pembesaran ginjal, terjadi akibat adanya sumbatan pada ureter yang menyebabkan
aliran balik urin ke ginjal dan menyebabkan kerja ginjal menjadi berat sehingga
ginjal menjadi bengkak.
(Suharyanto, 2013)
4. Patofisiologi
Secara khas infeksi menyebar dari kandung kemih ke dalam ureter, kemudian ke
ginjal, seperti terjadi pada refluks vesikoureter. Refluks vesikoureter dapat terjadi
karena kelemahan konginetal pada tempat pertemuan (junction) ureter dan kandung
kemih. Bakteri yang mengalir balik ke jaringan intrarenal dapat menimbulkan koloni
infeksi dalam tempo 24 jam hingga 48 jam.infeksi dapat pula terjadi karena
instrumentasi (seperti tindakan kateterisasi, sistoskopi, atau bedah urologi), karena
infeksi hematogen (seperti pada septicemia atau endokarditis), atau mungkin juga
karena infeksi limfatik. Pielonefritis dapat juga terjadi karena ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih, stasis urine, obstruksi urine akibat tumor, striktur, atau
hipertropia prostat benigna.
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra.
Flora normal fekal seperti Eschericia Coli, Streptococcus Fecalis, Pseudomonas
Aeruginosa, dan Staphhilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang
menyebabkan pielonefritis akut.
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak
lazim. Korteks dan medula mengembang dan multiple abses. Kalik dan pelvis ginjal
juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring.
Pielonefritis kronis muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal
mengalami perubahan degeneratif dan menjadi kecil serta athropic. Jika destruksi
nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal. (Ns. Eko Prabowo, 2014)

3
Pathway Pielonefritis

Ketidakmampuan
Instrumentasi Refluks Vesikoureter
mengosongkan kandung kemih

Higiene kurang
Bakteri naik ke ginjal
melalui ureter
E. Coli masuk uretra

Demam Inflamasi ginjal Berkelanjutan


Melekat dimukosa uretra
dengan perantara fimbrae
Nyeri Pembesaran korteks
dan medulla
Multiplikasi pada uretra

Fibrosis dan scaring


inflamasi

Penurunan fungsi ginjal


Peningkatan
permeabiltas kapiler
Hipertensi Oedem Ureum-creatinin
meningkat
Penurunan fungsi sfinkter

Integritas kulit
Urgency Disuria

4
5. Klasifikasi
a. Pielonefritis akut
Pielonefritis akut sering terjadi setelah kontaminasi bakteri uretra atau setelah
masuknya instrumen, seperti kateter atau sistoskop. (Elsevier, 2014)
b. Pielonefritis kronis
Pielonefritis kronis lebih mungkin terjadi setelah obstruktif kronis dengan
refluks atau gangguan kronis. Penyakit ini berkembang perlahan dan biasanya
berhubungan dengan serangan akut berulang, walaupun klien mungkin memiliki
riwayat pielonefritis akut. (Elsevier, 2014)
6. Komplikasi
a. Penyakit ginjal stadium akhir
Terjadi akibat mulai hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronis dan
jaringan parut. (Suharyanto, 2013)
b. Hipertensi
Kerusakaan ginjal akan menyebabkan pengeluaran air dan garam dari darah
menjadi terganggu yang kemudian akan memicu terjadinya peningkatan tekanan
darah. (Suharyanto, 2013)
c. Pembentukan batu ginjal
Terjadi akibat infeksi kronis disertai organisme pengurai urea yang mengakibatkan
terbentuknya batu. (Suharyanto, 2013)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas
Anak wanita dan wanita dewasa mempunyai insidens infeksi saluran
kemih yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini dikarenakan posisi
anatomis dan uretra wanita serta secara anatomis uretra wanita lebih pendek. (Ns.
Eko Prabowo, 2014)
b. Status kesehatan saat ini
1) Keluhan Utama
Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri punggung dibawah dan disuria.
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
2) Alasan Masuk Rumah Sakit

5
Pasien mengalami nyeri punggung dibawah dan disuria. (Ns. Eko Prabowo,
2014)
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Masuknya bakteri ke kandung kemih sehingga menyebabkan infeksi. (Ns. Eko
Prabowo, 2014)
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pada pielonefritis kronis, kemungkinan merupakan berkelanjutan dari
pielonefritis akut. (Ns. Eko Prabowo, 2014)
2) Riwayat Penyakit Keluarga
ISK bukanlah penyakit yang bisa diturunkan melalui genetik. (Ns. Eko
Prabowo, 2014)
3) Riwayat Pengobatan
Penggunaan antibiotik, antikolinergik, dan antispasmodic. (Ns. Eko Prabowo,
2014)
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
Pada pasien pielonefritis kesadaran komposmentis, nadi lemah serta nyeri
panggul disertai disuria sehingga pasien mengalami keterbatasan aktivitas.
(Madjid, 2009)
b) Tanda-tanda vital
TD : meningkat yang merupakan dampak dari edema
Nadi : normal/meningkat
Respirasi : normal/meningkat
Temperatur : meningkat dampak dari proses inflamasi. (Ns. Eko Prabowo,
2014)
2) Body system
a) System pernafasan
Pada pemeriksaan sistem pernafasan biasanya terjadi dyspnoe akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, orthopnoe, suara
pasien abnormal (rales atau crakles). (Suharyanto, 2013)
b) Sistem kardiovaskuler

6
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler biasanya pasien mengalami sakit
sakit kepala, timbul hipertensi, dan terjadi perubahan frekuensi jantung
bersuara S III. (Suharyanto, 2013)
c) System persarafan
Pada pemeriksaan sistem persarafan biasanya terjadi penurunan kesadaran,
disfungsi serebral seperti hambatan untuk berpikir dan penurunan interaksi
dengan orang maupun lingkungan sekitarnya. (Suharyanto, 2013)
d) Sistem perkemihan
Pada pemeriksaan sistem perkemihan biasanya didapatkan permasalahan
disuria, frekuensi, dan disurgensi. (Suharyanto, 2013)
e) Sistem pencernaan
Pada pemeriksaan sistem pencernaan pasien biasanya mengalami nyeri
dibagian perut dan suara usus melemah. (Suharyanto, 2013)
f) Sistem integument
Pada pemeriksaan sistem integument pasien biasanya tampak pucat dan
turgor kulitnya buruk. (Suharyanto, 2013)
g) Sistem muskuloskletal
Pada pemeriksaan sistem muskuloskletal biasanya pasien mengalami nyeri
didaerah costovertebral dan nyeri kaki. (Suharyanto, 2013)
h) Sistem endokrin
Tidak ada gangguan dalam sistem endokrin. (Suharyanto, 2013)
i) Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan dalam sistem reproduksi. (Ns. Eko Prabowo, 2014)
j) Sistem pengindraan
Pada pasien pielonefritis terjadi dilatasi pupil, mata kurang bercahaya
karena disebabkan rasa nyeri. (Suharyanto, 2013)
k) Sistem imun
Tidak ada gangguan dalam sistem imun. (Suharyanto, 2013)

e. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan fisik terdapat nyeri pinggang dan perut, suara usus melemah
seperti pada illeus paralitik. Pada pemiksaan darah menunjukkan adanya
leukositosis disertai peningkatan laju endap darah, urinalisis terdapat piuria (urin
mengandung leukosit), bakteriuria (bakteri dalam urin) dan hematuria (sel darah

7
merah dalam urin). Pada pielonefritis akut mengenai kedua sisi ginjal terjadi
penurunan faal ginjal, dan pada kultur terdapat bakteriuria.
Pada pemeriksaan foto polos perut menunjukkan adanya kekaburan dari
bayangan otot psoas dan mungkin terdapat bayangan radio-opak dari batu saluran
kemih. Dengan batas bawah dan batas atas tersebut maka organ-organ yang
termasuk dalam pemeriksaan ini meliputi hepar, lien, ginjal, pangkreas, intestine
dan tulang-tulang vertebra.
Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi yaitu :
1) Tiduran terlentang (supise) sinar dari arah vertikal dengan arah proyeksi
anteposterior (AP)
2) Duduk atau setengah atau berdiri jika memungkinkan dengan sinar
horizontal, proyeksi (AP)
3) Tiduran miring kekiri atau biasa disebut dengan left lateral decubitus
(LLD) dengan sinar horizontal, proyeksi (AP)

Foto polos abdomen

Pada IVU terdapat bayangan ginjal membesar dan terdapat keterlamabatan


pada fase nefrogram. (Ns. Eko Prabowo, 2014)

8
f. Penatalaksanaan
Pasien pielonefritis akut beresiko terhadap bakterimia dan memerlukan terapi
antimikrobial yang intensif. Terapi parental diberikan selama 24 sampai 28 jam
sampai pasien afrebil. Pada waktu tersebut, agens oral dapat diberikan. Pada pasien
dengan kondisi yang sedikit kritis akan efektif apabila ditangani hanya dengan
agens oral. Untuk mencegah perkembangbiakannya bakteri yang tersisa, maka
pengobatan pielonefritis akut biasanya lebih lama dari sintetis.
Masalah yang mungkin timbul dalam penanganan adalah infeksi kronik atau
kambuhan yang muncul sampai beberapa bulan atau tahun tanpa gejala. Setelah
program antimikrobial awal pasien dipertahankan untuk terus dibawah penanganan
antimikrobial sampai adanya bukti infeksi tidak terjadi, seluruh faktor penyebab
telah ditangani dan dikendalikan, dan fungsi ginjal stabil. Kadar keratininserum
dan hitung darah pasien dipantau durasinya pada terapi jangka panjang.
Penatalaksanaan agens antimikrobial pilihan didasarkan pada identifikasi
patogen melalui kultur urin. Jika bakteri tidak dapat hilang dari urin, nitrofurantion
atau kombinasi zulfametoxazole dan trimetrhopim dapat digunakan untuk menekan
pertumbuhan bakteri. Fungsi renal ketat, terutama jika medikasi potensial toksin
bagi ginjal. (Ns. Eko Prabowo, 2014)

2. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan
dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International for study of pain).
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Batasan karakteristik :
1) Perubahan selera makan
2) Perubahan tekanan darah
3) Perubahan frekuensi jantung
4) Perubahan frekuensi pernapasan
5) Laporan isyarat
6) Diaphoresis
7) Perilaku distraksi (misalnya: berjalan mondar-mandir, mencari orang lain/ atau
aktivitas lain, aktivitas yang berulang)

9
8) Mengekspresikan perilaku (misalnya: gelisah, merengek, menangis, waspada,
irritabilitas, mendesah)
9) Masker wajah (misalnya: mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata
berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis)
10) Sikap melindungi area nyeri
11) Fokus menyempit (misalnya: gangguan persepsi nyeri, hambatan proses
berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
12) Indikasi nyeri yang dapat diamati
13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
14) Sikap tubuh melindungi
15) Dilatasi pupil
16) Melaporkan nyeri secara verbal
17) Fokus pada diri sendiri
18) Gangguan tidur
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Faktor yang berhubungan : Agen cedera (misalnya : biologis, cidera, zat kimia,
fisik, psikologis).
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
b. Hipertermia
Definisi : suatu kondisi peningkatan suhu tubuh diatas normal. (Wilkinson, 2014)
Batasan karakteristik :
1) Kulit merah
2) Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal
3) Frekuensi napas meningkat
4) Kejang atau konvulsi
5) Kulit teraba hangat
6) Takikardia
7) Takipnea
(Wilkinson, 2014)
Faktor yang berhubungan :
1) Obat atau anestesia
2) Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
3) Dehidrasi
4) Penyakit atau trauma

10
5) Pakaian yang tidak tepat
6) Peningkatan laju metabolisme
7) Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
8) Aktivitas yang berlebihan
(Wilkinson, 2014)
c. Gangguan eliminasi urin
Definisi : disfungsi pada eliminasi urine. (Ns. Eko Prabowo, 2014)
Batasan karakteristik :
1) Disuria
2) Sering berkemih
3) Inkontinensia
4) Nokturia
5) Retensi
6) Dorongan
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Faktor yang berhubungan :
1) Obstruksi anatomic
2) Penyebab multiple
3) Gangguan sensori motorik
4) Infeksi saluran kemih
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
d. Kelebihan volume cairan berdasarkan perubahan mekanisme regulasi,
peningkatan permeabilitas dinding glomerolus.
Definisi : retensi cairan isotomik meningkat. (Ns. Eko Prabowo, 2014)
Batasan karakteristik :
1) Berat badan meningkat pada waktu yang singkat
2) Asupan berlebihan dibandingkan output
3) Tekanan darah berubah, terkanan arteri pulmonalis berubah, peningkatan CVP
4) Distensi vena jugularis
5) Perubahan pada pola nafas, dyspnoe/sesak nafas, orthonoe, suara nafas
abnormal (rales atau crakles), kongesti kemacetan paru, pleural effusion
6) Hb dan hematokrit menurun, perubahan elektrolit, khusunya perubahan berat
jenis
7) Suara jantung S III

11
8) Reflek hepatojugular positif
9) Oligouria, azotemia
10) Perubahan status mental, kegelisahan, kecemasan
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Faktor yang berhubungan :
1) Mekanisme pengaturan melemah
2) Asupan cairan berlebihan
3) Asupan natrium berlebihan
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
3. Intervensi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misalnya : biologis, zat kimia, fisik,
psikologis)
1) Tujuan :
a) Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering,
atau selalu): mengenali awitan nyeri,menggunakan tindakan pencegahan,
melaporkan nyeri dapat dikendalikan.
b) Menunjukkan tingkat nyeri, oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5:
sangat berat, berat, sedang, ringan atau tidak ada): ekspresi nyeri pada
wajah, gelisah atau ketegangan otot, durasi episode nyeri, merintih dan
menangis, gelisah.
(Wilkinson, 2014)
2) Kriteria hasil :
a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
c) Mampu mengenali nyeri skala (skala, instensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e) Tanda vital dalam rentang normal
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
3) Intervensi (NIC)
Pain management

12
Aktifitas Keperawatan
a) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor partisipasi.
b) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
d) Evaluasi pengalaman nyeri bersama pasien dan tim kesehatan lain.
e) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri.
f) Bantu pasien dan keluarga untuk mencri dan menemukan dukungan.
g) Kontrol lingkugan yamg dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan.
h) Kurangi faktor presipitasi nyeri.
i) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
j) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
k) Ajarkan tentang teknik non farmakologi
l) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
m) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
n) Tingkatkan istirahat
o) Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
p) Monitor penerimaan pasien tentang managemen nyeri (Ns. Eko Prabowo,
2014)

Analgesic administrasion
Aktifitas Keperawatan
a) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b) Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
c) Cek riwayat alergi
d) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
e) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
f) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

13
g) Pilih rute pemberian secara IV dan IM untuk pengobatan nyeri secara
teratur
h) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
i) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
j) Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus
diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan
interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi obat tersebut
(misalnya: pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang
yang harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel.
b) Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai.
c) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
d) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opioid
(misalnya: resiko ketergantungan atau overdosis).
(Wilkinson, 2014)
Aktifitas kolaboratif
a) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal
(misalnya: setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
b) Management nyeri (NIC): Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum
nyeri menjadi lebih berat dan laporkan kepada dokter jika tindakan tidak
berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna
dari pengalaman nyeri pasien dimasa lalu.
(Wilkinson, 2014)
b. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (reaksi) inflamasi sistemik pielonefritis.
1) Tujuan :
a) Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstreme, berat, sedang, ringan,
atau tidak ada gangguan): peningkatan suhu kulit, hipertermia, dehidrasi,
mengantuk.

14
b) Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang di buktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstreme, berat, sedang, ringan,
atau tidak ada gangguan): berkeringat saat panas,denyut nadi radialis,
frekuensi pernapasan
(Wilkinson, 2014)
2) Kriteria hasil :
a) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 – 37,5ºC)
b) Tekanan darah 100/70 – 120/200
c) Nadi 60 – 100 x/menit
d) RR 12 – 20 x/menit
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
3) Intervensi (NIC)
Vital sign monitoring
Aktifitas Keperawatan
a) Monitor vital sign pasien
b) Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipertermi
c) Kaji warna kulit, suhu dan kelembaban
d) Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tanda vital

Temperature regulation
Aktifitas Keperawatan
a) Anjurkan untuk menggunakan selimut hangat untuk menyesuaikan
perubahan suhu tubuh
b) Anjurkan asupan nutrisi dan cairan adekuat
c) Fever treatment
d) Anjurkan pemberian kompres hangat
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
c. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik, penyebab
multiple, gangguan sensori motorik, infeksi saluran kemih
1. Tujuan : menunjukkan eliminasi urine, yang di buktikan oleh indikator sebagai
berikut (sebutkan 1-5: selalu, sering, kadang-kadang, jarang, atau tidak
mengalami gangguan): pola eliminasi, mengosongkan kandung kemih
sepenuhnya, mengenali urgensi. (Wilkinson, 2014)
2. Kriteria hasil :

15
a) Klien tidak mengalami disuria,
b) Klien tidak mengalami nokturia
c) Klien tidak mengalami inkontinensia,
d) Klien tidak mengalami urgensi dan frekuensi
e) Klien tidak mengalami retensi
f) Klien dapat berkemih setiap 3 jam
g) Klien tidak kesulitan pada saat berkemih
h) Klien dapat bak dan berkemih
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
3. Intervensi (NIC)
Urinary Elimination Management
Aktifitas Keperawatan
a) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor resipitasi
b) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan gunakan teknik
komunikasi terapiutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
c) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
d) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
e) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang keefektifan control
nyeri masa lampau
f) Bantu klien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
g) Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
h) Kurangi faktor presipitasi nyeri
i) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi dan
interpersonal)
j) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
k) Ajarkan tentang non farmakologi (biofeedback, TENS, hipnotis, relaksasi,
distraksi, dll)
l) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
m) Rencanakan penggunaan PCA
n) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
o) Tingkatkan istirahat

16
p) Kolaborasikan dengan dokter jika ada komplain dan tindakan nyeri tidak
berhasil
q) Monitor penerimaan pasien tentang management nyeri

Fluid management
Aktifitas Keperawatan
a) Timbang popok/pembalut jika diperlukan
b) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
c) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
d) Monitor vital sign
e) Monitor masukan makanan/cairan dan hidung intake kalori harian
f) Kolaborasikan pemberian cairan IV
g) Monitor status nutrisi
h) Berikan cairan IV pada suhu ruangan
i) Dorong masukan oral
j) Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
k) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
l) Tawarkan snack (jus buah, buah segar)
m) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk
n) Atur kemungkinan tranfusi
o) Persiapan untuk tranfusi
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan
mengenali secara dini hipertermia (misalnya: stroke bahang dan keletihan
akibat panas)
b) Regulasi suhu (NIC): ajarkan indikasi keletihan akibat panas dan tindakan
kedaruratan yang diperlukan,jika perlu
(Wilkinson, 2014)
Aktifitas kolaboratif
a) Regulasi suhu (NIC): berikan obat antipiretik, jika perlu gunakan matras
dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh, jika
perlu. (Wilkinson, 2014)

17
d. Kelebihan volume cairan berdasarkan perubahan mekanisme regulasi, peningkatan
permeabilitas dinding glomerolus.
1. Tujuan :
a) kelebihan volume cairan dapat di kurangi, yang di buktikan oleh
keseimbangan cairan, keparahan overload cairan minimal, dan indikator
fungsi ginjal yang adekuat.
b) Keseimbangan cairan tidak akan terganggu (kelebihan) yang di buktikan
oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstreme, berat,
sedang, ringan, atau tidak ada gangguan): keseimbangan asupan dan
keluaran 24 jam, berat badan stabil, berat jenis urine dalam batas normal.
c) Keseimbanagan cairan cairan tidak akan terganggu (kelebihan) yang di
buktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstreme,
berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan): suara napas tambahan,
asites, distensi vena leher, dan edema perifier. (Ns. Eko Prabowo, 2014)
2. Kriteria hasil :
a) Terbebas dari edema, efusi, anaskara
b) Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ortopneu
c) Terbebas dari distensi vena jugularis, adanya reflek hepatojugular
d) Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung dan
vital sign dalam batas normal
e) Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan
f) Menjelaskan indikator kelebihan cairan
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
3. Intervensi (NIC)
Fluid management
Aktifitas Keperawatan
a) Timbang popok/pembalut jika diperlukan
b) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
c) Pasang urin kateter jika diperlukan
d) Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, Hmt,
osmolalitas urin)
e) Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP
f) Monitor vital sign

18
g) Monitor indikasi retensi/kelebihan cairan (cracles, CVP, edema, distensi
vena leher, asites)
h) Kaji lokasi dan luas edema
i) Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian
j) Monitor status nutrisi
k) Kolaborasikan pemberian diuretik sesuai indikasi
l) Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilus dengan serum Na
< 130 mEq/l
m) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk

Fluid monitoring
Aktifitas keperawatan
a) Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi
b) Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak seimbangan cairan
(Hiertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal jantung, diaporesis
disfungsi hati, dll)
c) Monitor berat badan
d) Monitor serum dan elektrolit urine
e) Monitor serum dan osmolaritas urine
f) Monitor BP, HR, dan RR
g) Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung
h) Monitor parameter hemodinamik infasif
i) Catat secara akurat intake dan output
j) Monitor adanya distensi leher, ronchi, oedem perifer dan penambahan BB
k) Monitor tanda dan gejala dari odema
l) Beri obat yang dapat meningkatkan output urin
(Ns. Eko Prabowo, 2014)
Penyuluhan untuk pasien/keluarga:
a) Ajarkan pasien tentang penyebab dan cara mengatasi edema; pembatasan
diet; dan penggunaan,dosis, dan efek samping obat yang diprogramkan
b) Manajemen cairan (NIC): anjurkan pasien untuk puasa, sesuai dengan
kebutuhan.
(Wilkinson, 2014)
Aktivitas kolaboratif

19
a) Lakukan dialisis, jika diindikasikan
b) Konsultasikan dengan penyedia layanan kesehatan primer mengenai
penggunaan stoking antiemboli atau balutan Ace
c) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan diet dengan kandungan
protein yang adekuat dan pembatasan natrium
d) Manajemen cairan (NIC) : konsultasikan ke dokter jika tanda dan gejala
kelebihan volume cairan menetap atau memburuk dan berikan diuretik,
jika perlu
(Wilkinson, 2014)

20
DAFTAR PUSTAKA

Elsevier. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan.
Jakarta: Salemba Medika.
Madjid, A. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gengguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
CV Trans Info Media.
Mary DigGiulio, D. J. (2007). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha.
Ns. Eko Prabowo, S. d. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Suharyanto, T. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: CV Trans Info Media.
Wilkinson, J. M. (2014). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai