Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN MANEJEMEN POTENSI PENULARAN COVID-

19 PADA PASIEN DENGAN COVID-19


DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)

oleh:
Nabilatuz Zulfa Salimah, S.Kep.
NIM 202311101063

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
A. Resiko dan Potensi Penularan Covid-19

Area IGD khusus Covid-19 merupakan ruang observasi atau ruang


tindakan bagi pasien IGD dengan gejala Covid-19. Area ini dipisahkan dengan
area IGD non Covid-19 melalui batas permanan atau sementara. Setelah
memasuki area IGD Covid-19 pasien tidak diperkenankan kembali ke area IGD
non Covid-19 dan petugas hanya boleh masuk dan keluar area ini melalui ruang
ganti (doning/doffing). Saat memasuki area ini dokter dan perawat melakukan
pemeriksaan, observasi dan atau tindakan yang dibutuhkan, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti test swab atau rontgen dan lain-ain
sesuai dengan protocol layanan di Rumah Sakit bagi pasien bergejala Covid-19
atau memiliki riwayat kontak. Apabila pasien tidak memerlukan perawatan inap,
pasien dapat dipulangkan dengan surat pengantar ke puskesmas auntuk
dilakukan pemantauan isolasi mandiri. Apabila pasien perlu perawatan lebih
lanjut maka dilakukan rawat inap di zona Covid-19. Apabila hasil pemeriksaan
pasien tidak menunjukkan Covid-19 maka pasien dirawat di ruang rawat inap
biasa/ruang inap non Covid-19 (Kemenkes RI, 2020). WHO menetapkan bahwa
virus penyebab Covid-19 dapat menyebar dengan cara berikut :
a) Kontak Langsung
Penularan secara langsung ini dikaitkan dengan sentuhan
langsung dengan pasien. Petugas kesehatan merupakan kelompok
yang beresiko terinfeksi karena mereka melakukan kontak langsung
dengan pasien.
b) Droplets /Cairan tubuh
Saat seseorang berbicara, secara tidak sadar terdapat percikan
droplets atau cairan tubuh yang ikut tersekresi. Cairan tubuh yang
mungkin keluar adalah air liur dan sekresi pernapasan atau tetesan
pernapasan mereka, yang dikeluarkan ketika orang yang terinfeksi
batuk, bersin berbicara atau pada saat bernyanyi. Air liur, tetesan
pernafasan atau aerosol yang kemungkinan di dalamnya mengandung
virus dapat keluar saat seseorang berbicara, bersin, bernafas dan
batuk akan mencapai mulut, hidung atau mata orang yang rentan dan
dapat mengakibatkan infeksi
c) Udara
Penularan melalui udara diartikan sebagai penyebaran melalui
aerosol yang tetap bertahan di udara dalam waktu tertentu, dalam
beberpa studi mengatakan ada yang dapat bertahan selama 3 – 16
jam. Hipotesis penelitian lain yang menyatakan SARS CoV 2 ini
melalui udara adalah didasarkan pada kemampuan virus
pendahulunya yakni SAR CoV 1 yang mampu menular lewat udara.
Karena banyaknya kesamaan antara dua virus tersebut, maka
dimungkinkan juga SARS CoV 2 juga bisa menular lewat udara.
Hipotesis ini juga didukung dengan keadaan ventilasi udara dalam
ruangan yang tidak baik. Contohnya di tempat umum (angkutan
umum, rumah sakit, toko, kantor, restoran sekolah, dll) dan tempat-
tempat yang memang pertukaran udaranya tidak bagus.
d) Fomite
Fomite adalah permukaan yang terkontaminasi, hal ini erjadi
akibat adanya sekresi atau aerosol dari seseorang yang terinfeksi
mengenai atau mencemari benda yang ada di sekitarnya. Ketahanan
Virus di permukaan benda tergantung pada lingkungan sekitar
(termasuk suhu dan kelembaban) dan jenis permukaan, khususnya
pada konsentrasi tinggi di fasilitas perawatan kesehatan di mana
pasien COVID-19 sedang dirawat (WHO, 2020). Penelitian
(Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat
bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel,
kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus
(Kemenkes RI, 2020)
e) Penularan cara lain
Penularan Covid-19 dengan cara lain dikaitkan dengan ditemukan
nya RNA dari SARS CoV 2 dalam sampel urin, feses, plasma darah
dan ASI. Selain itu penularan virus SARS CoV 2 ini erat kaitannya
dengan hewan yang berperan sebagai host perantara yakni kelelawar.
Virus ini telah terbukti bisa menginfeksi hewan mamalia yang ada
disekitar manusia seperti anjing dan kucing. Akan tetapi potensi
mereka menularkan ke manusia masih belum jelas.

1.) Ruang Triase


Pada prinsipnya proses triase adalah untuk mengidentifikasi pasien yang
memerlukan intervensi medis segera, pasien yang dapat menunggu, atau pasien
yang mungkin perlu di rujuk ke fasilits kesehatan tertentu berdasarkan kondisi
klinis pasien. Triase dilakukan di pintu masuk yaitu di IGD dan rawat jalan.
Tindakan yang dilakukan pada triase IGD khusus Covid-19 selain untuk
kegawatdaruratan pasien adalah untuk menentukan derajat infeksi Covid-19
yang di deritanya, melalui anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang pasien, sesuai pedoman pencegahan dan pengendalian
Covid-19 (Kemenkes RI, 2020)
Setiap pasien yang mendaftar dilakukan anamnesis lengkap gejala
Covid-19 seperti pernag mengalami batuk, sesak nafas atau demam. Pasien yang
memiliki gejala khusus Covid-19 akan dipisahkan dengan pasien lainnya
terutama pasien yang sudah terkonfirmasi Covid-19 (WHO, 2020) :
a) Minta pasien segera memakai masker
b) Jaga jarak > 1 meter dari pasien lain
c) Petugas memakai N95, gaun pelindung dan sarung tangan
d) Segerakan pasien untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan atau sementara
di ruang isolasi sampai mendapat rujukan
e) Petugas medis di ruang isolasi memakai APD sesuai dengan ketentuan
pengendalian & Pencegahan Infeksi (PPI) di ruang isolasi

2.) Ruang Tindakan


Petunjuk pencegahan penularan Covid-19 di ruang tindakan IGD
a) Pisahkan pelayanan pasien bergejala infeksi saluran napas dengan
pasien umum lainnya
b) Seluruh pasien memakai masker bedah
c) Dokter/ petugas kesehatan mamakai masker bedah pada saat
anamnesis maupun saat dokter melakukan pemeriksaan dengan jarak
minimal 1 meter
d) Untuk pemeriksaan yang membuat jarak dokter/ petugas kesehatan
dengan pasien <1 meter maka dokter/ petugas kesehatan yang
memeriksa memakai masker bedah, sarung tangan, gaun pelindung,
dan sepatu/ sandal RS
e) Untuk setiap tindakan atau pemeriksaan yang mengharuskan pasien
membuka mulut maka dokter/ petugas kesehatan yang memeriksa
memakai masker N95, sarung tangan, gaun pelindung, dan sepatu/
sandal RS
Selain tersebut diatas, adapun jenis factor risiko penularan Covid-19 pada
tenaga kesehatan di ruang gawat darurat adalah berkenaan dengan keterlibatan
pertugas kesehatan dalam manajemen jalan napas yang melibatkan prosedur
penghasul aerosol, ini dianggap berisiko tinggi terhadap infeksi. Maka dari itu,
ketersediaan APD untuk setiap prosedur sangat diperlukan. Pemakaian APD
tidak sesuai dengan pedoman selama pemberian layanan di ruang gawat darurat
dan kurangnya pelatihan terkait pencegahan dan pengendalian infeksi akan
menambah risiko penularan yang di dapatkan (Kemenkes RI, 2020)

B. Pencegahan di Ruang Gawat Darurat


Dalam pencegahan penularan rantai Covid-19 untuk petugas kesehatan, antara
lain (Kemenkes RI, 2020) :
1.) Sebelum Berangkat ke Rumah Sakit
 Memastikan kondisi tubuh dalam keadaan sehat dan jika sakit segera
berobat ke fasyankes
 Lapor ke pimpinan apabila sakit dan istirahat di rumah sampai
sembuh
 Tidak memakasi perhiasan atau aksesoris lainnya ke Rumah Sakit
 Selalui memakai masker
 Siapkan handsanitizer sendiri
 Gunakan sarana transportasi paling aman dan jagar jarak dengan
pasien lain
2.) Di Rumah Sakit
 Masuk melalui pintu petugas yang terpisah dengan pintu
pasien/pengunjung
 Bagi petugas yang akan melakukan kontak dengan pasien ganti
pakaian pribasi dengan pakaian Rumah Sakit dan tinggalkan di
loker/bagian penitipan barang
 Diwajibkan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama
40 s/d atau dengan handsanitizer selama 20 s/d 30 detik
 Selalu menggunakan masker bedah saat bekerja

C. SOP Penggunaan APD


Alat pelindung diri (APD) adalah perangkat alat yang dirancang sebagai
penghalang terhadap penetrasi zat, partikel padat cair, atau udara untuk
melindungi pemakaiannya dari cedera atau penyebaran infeksi atau infeksi dan
bertujuan untuk melindungi SDM dari penularan Covid-19. Pada kasus dengan
Covid-19 ini diperlukan APD Level 3 untuk melindungi nakes agar tidak
terpapar Covid-19 (Sukoharjo, 2020) . APD Level 2 digunakan pada
pemeriksaan pasien dengan gejala infeksi pernafasan, pengambilan specimen
non-pernapasan yang tidak menimbulkan aerosol, ruang perawatan Covid-19,
pemeriksaan pencitraan pada suspek/probable/terkonfirmasi Covid-19 (PBIDI,
2020)
1. Tujuan
Untuk melindungi diri dari risko terpajan dengan pasien atau material
infeksius
2. Indikasi
Melindungi diri dari risiko transmisi penularan penyakit pada saat
melakukan
tindakan di ruang gawat darurat
3. Alat dan Bahan
 Penutup kepala
 Pelindung mata dan wajah
 Masker bedah atau lebih baik masker N95
 Baju/pakaian jaga
 Coverall/gown dan apron
 Sarung tangan bedah lateks
 Pelindung kaki (PBIDI, 2020)
4. Prosedur Pemasangan dan Pelepasan
A. Pemasangan APD (PBIDI, 2020)
1.) Pasien terkonfirmasi Covid-19
a) Gunakan gown dan sepatu pelindung
b) Cuci tangan 6 langkah menggunakan sabun dengan air mengalir
c) Kenakan masker (N95) dengan cara meletakkan mangkok
respirator di salah satu tangan denagn posisi mangkok respirator
dibawah dagu dan penjepit hidung dibagian atas. Tangan lainnya
menarik karet bagian atas dan letakkan melewati sisi belakang
kepala. Lakukan yang sama untuk tali bagian bawah. Atur
penjepit hidung agar menempel dengan erat.
d) Kenakan sarung tangan
e) Pemakaian alat pelindung diri selesai.
2.) Pasien belum terkonfirmasi Covid-19
a) Ganti baju dengan baju kerja
b) Kenakan sepatu tertutup
c) Cuci tangan 6 langkah menggunakan sabun dengan air mengalir
d) Gunakan masker bedah 3 ply dengan memposisikan garis kawat
diatas hidung, lalu ikat kedua sisi dibagian atas kepala kemudian
Tarik masker kebawah untuk menutup mulut hingga dagu dan
ikat tali bawah di bagian belakang leher. Cubit bagian kawat
mengikuti lekukan hidung agar masker tertutup rapat.
e) Gunakan sarung tangan sekali pakai.
f) Pemakaian alat pelindung diri selesai.

B. Pelepasan APD
1.) Pasien terkonfirmasi Covid-19
a) Buka sarung tangan dengan menarik sarung tangan ke arah
depan kemudian lipat di bagian ujung dalam sarung tangan dan
lakukan yang sama di sarung tangan berikutnya dan secara
bersama di lepaskan kemudian dimasukkan ke tempat sampah
infeksius
b) Lakukan desinfeksi tangan dengan hand sanitizer dengan
menggunakan 6 langkah
c) Buka gown perlahan dengan membuka ikatan tali di belakang
kemudian bagian belakang leher lalu tangan memegang sisi
bagian dalam gown melipat bagian luar ke dalam dan
dimasukkan ke tempat sampah infeksius
d) Lakukan desinfeksi tangan dengan hand sanitizer dengan
menggunakan 6 langkah
e) Buka sepatu dilanjutkan dengan mengunakan hand sanitizer
dengan menggunakan 6 langkah
f) Buka masker N95 dengan cara sedikit menundukkan kepala
kemudian menarik keluar tali yang berada di belakang kepala
terlebih dahulu lalu menarik keluar tali di atas kepala dan
pegang talinya kemudian kemudian dimasukkan ke tempat
sampah infeksiusCuci tangan 6 langkah menggunakan sabun
dengan air mengalir
g) Petugas dapat membersihkan tubuh dengan mandi dan
menggunakan kembali baju biasa
2.) Pasien belum terkonfirmasi Covid-19
a) Buka sarung tangan dengan menarik sarung tangan ke arah
depan kemudian lipat di bagian ujung dalam sarung tangan dan
lakukan yang sama di sarung tangan berikutnya dan secara
bersama di lepaskan kemudian dimasukkan ke tempat sampah
infeksius
b) Lakukan desinfeksi tangan dengan hand sanitizer dengan
menggunakan 6 langkah
c) Buka sepatu dilanjutkan dengan mengunakan hand sanitizer
dengan menggunakan 6 langkah
d) Lepaskan masker bedah dengan cara menarik tali masker bedah
secara perlahan dengan melipat masker bagian luar ke dalam
kemudian dimasukkan ke tempat sampah infeksius
e) Cuci tangan 6 langkah menggunakan sabun dengan air mengalir
f) Setelah membuka baju kerja, petugas dapat membersihkan
tubuh dengan mandi dan menggunakan kembali baju biasa

D. Bantuan Hidup Dasar Selama Pandemi


Wabah infeksi coronavirus terus meningkat dan menyebar luas tentu
berdampak pada upaya resusitasi dan memunculkan kebutuhan untuk
memodifikasi praktik resusitasi yang telah ada ditambah dengan Covud-19 yang
sangat menular, hal ini tentunya akan dibutuhkan untuk merawat pasien-pasien
berikutnya. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana pasien dengan atau
tanpa Covid-19 yang mengalami henti jantung mendapatkan kesempatan untuk
selamat tanpa membahayakan penolong yang tentunya akan dibutuhkan untuk
merawat pasien-pasien berikutnya. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang
khusus untuk bentuan hidup dasar pasien selama masa pandemic. Terdapat
beberapa kesimpulan mengenai penyesuaian algoritma RJP pada pasien dengan
terduga positif Covid-19, antara lain (Perki, 2020) :
1.) Kurangi paparan terhadap penolong :
 Gunakan APD lengkap sebelum memasuki ruangan atau
tempat kejadian
 Batasi jumlah personel
 Pertimbangkan penggunaan RJP mekanik pada pasien dewasa
dan dewasa muda yang memenuhi kriteris tinggi dan berat
badan
 Komunikasikan status Covid-19 ke setiap penolong baru
2.) Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko
aerosolisasi rendah
 Gunakan penyaring HEPA, bila ada, untuk seluruh ventilasi
 Inubasi di awal menggunakan pipa endotrakeal dengan cuff,
bila memungkinkan
 Tugaskan intubator yang dengan kemukingnan terbesar untuk
berhasil intubasi dalam percobaan pertama
 Hentikan kompresi dada untuk intubasi
 Pertimbangkan pernggunaan video laringoskopi bila ada
 Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device dengan
penyaring HEPA dan penyekat kedap udara
 Untuk dewasa, pertimbangkan oksigenasi pasif dengan non-
breathing face-mask sebagai alternative bag-mask device
untuk durasi pendek
 Minimalisir diskoneksi sirkuit tertutup
3.) Pertimbangkan kelayakan untuk resusitasi
 Tetapkan tujuan perawatan
 Sesuaikan panduan untuk membantu pengambilan keputusan,
dengan mempertimbangkan faktor risiko pasien terkait
kemungkinan untuk bertahan hidup
Algoritma BHD pasien dewasa pada kasus henti jantung untuk pasien
terduga atau terkonfirmasi Covid-19 (Perki, 2020)

Berikut adalah tata laksana untuk bantuan hidup dasar pada pasien
terduga atau terkonfirmasi Covid-19 (HIPGABI, 2020) :

1.) Cek keamanan


a) Sebelum memasuki lokasi, penolong harus menggunakan APD
sesuai dengan standar
b) Batasi personil di ruangan atau ditempat kejadian
2.) Cek kesadaran
a) Apabila korban tidak berespon
b) Teriak meminta bantuan
c) Aktifkan sistem emergency
d) Minta untuk membawa AED dan peralatan darurat lainnya
3.) Cek nasi pernafasan dan nadi secara bersamaan
a) Pernapasan normal dan ada nadi: monitor sampai petugas datang
b) Tidak ada napas dan ada nadi:
 Berikan bantuan napas dengan bag-mask dengan filter dan
tersegel kuat, satu kali napas setiap 5-6 detik atau 10-12
napas/menit
 Cek respon setelah 2 menit
 Lanjutkan memberi napas buatan dan cek nadi tiap 2 menit,
apabila tidak ada nadi maka lakukan RJP
c) Tidak ada nafas dan tidak ada nadi
 Lakukan RJP, 1 siklus 30 kompresi dada dan 2 kali napas buatan
(menggunakan bag-mask dengan filter dan tersegel kuat)
 Teruskan kompresi dengan oksigenasi pasif menggunakan
masker
 Gunakan AED apabila tersedia
4.) Apabila AED datang, segera pasang
5.) Cek ritme
a) Apabila shock: berikan satu, dan lakukan RJP selama 2 menit,
teruskan hingga dapat dipindahkan
b) Tidak shock: lakukan RJP selama 2 menit dan teruskan hingga
dapat dipindahkan

Penggunaan APD dinilai sangat penting dan menjadi faktor yang


mempengaruhi adanya penularan atau tidak saat melakukan tindakan BHD di
masa pandemic, terlebih untuk menghindri terkena aerosol, antara lain :

 Sarung tangan
 Gaun lengan panjang
 Masker jenis FFP3 atau N95 jika tidak tersedia
 Pelindung mata dan wajah (pelindung / pelindung wajah penuh atau
kacamata keselamatan polikarbonat atau yang setara). Atau, respirator
pemurni udara bertenaga (PAPR) dengan tudung dapat digunakan.

E. Penanganan Kasus Bedah Emergency (Fraktur dan Luka)


1. Fraktur
Fraktur diartikan sebagai hilangnya gangguan integritas dari tulang,
termasuk cedera pada sumsum tulang dan jaringan yang ada di sekitarnya.
Terdapat beberapa klasifikasi untuk fraktur terbuka, antara lain (Parahita dkk.,
2013) :
a.) Tipe I : luka lebih kecil dari 1cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen
tulang yang menembus kulit
b.) Tipe II : ukran luka antara 1-10cm, tidak terkontaminasi dan tanpa cedera
jaringan lunak yang major
c.) Tipe III : luka lebih besar dari 10c, cengan kerusakan jaringan lunak
yang signifikan. Tipe ini terdiri dari beberapa tipe, antara lain :
 IIIA : luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang
tanpa memerlukan flap coverage
 IIIB : kerusakan jaringan yang Lukas membuat diperlukannya
local atau distanct flap coverage
 IIIC : Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang
membutuhkan perbaikan segera

Prinsip yang harus dilakukan adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip


ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)

a.) Airway : yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, pemeriksaan
ini meliputi adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau
fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervical, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.
b.) Breathing : setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari
paru yang baik, dinding dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan
pasien dengan fraktur ekstrimitas bawah yang signifikan sebaiknya
diberikan high flow oxygen 15 l/m dengan non-rebreathing mask dengan
reservoir bag.
c.) Circulation : ketika mengevluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan
di sini adalah volume darah, peerdarahan dan cardiac output. Perdarahan
sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama
pada patah tulang terbuka. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan perdarahan secara nyara dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan perngaruh tamponade otot sekitar patahan. Untuk patah
tulang terbuka dapat dilakukaan penggunaan balutan tekan steril yang
dapat mengehentikan perdarahan.
d.) Disability : dilakukan evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis
meliputi tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal
e.) Exposure : pasien dilakukan pemeriksaan akhir dan evaluasi akhir secara
keseluruhan apakah ada tanda fraktur lain yang tanpa disadari dan lain
sebagainya. (Parahita dkk., 2013)
F. Penanganan Kasus Medik Emergency (Stroke)
Stroke atau yang lebih dikenal dengan Cerebrovascular Accident (CVA)
merupakan gangguan neurologis fokal yang terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari
24jam. Stroke adalah proses penyakit yang terjadi gangguan atau pecahnya
pembuluh darah di otak sehingga termasuk salah satu medical emergency yang
dapat menyebabkan kecacatan atau bahkan kematian (Rachmawati, 2019).
Penyebab stroke pada dasarnya dapat digabi menjadi tiga kategori, yakni
(Antara, 2013):
a.) Gangguan pada dinding pembuluh darah, Seperti : Usia lanjut,
hipertensi, thrombus, aterosklerosis, diabetes mellitus, infeksi dsb.
b.) Kelainan susunan/struktur darah, seperti : Polisitemia vera, kadar
fibrinogen tinggi, jumlah sel trombosit tinggi, anemia
c.) Gangguan aliran darah ke otak, seperti : penurunan aliran darah ke
otak karena tekanan darah terlalu rendah (syok), peningkatan
kekentalan darah

Idealnya pasien dengan stroke sudah mendapatkan tata laksana dalam


tiga jam sejak gejala pertama kali dikenali. Berikut adalah tanda dan gejala yang
sering ditemui dalam penyakit stoke, antara lain (Antara, 2013):

 Kelemahan tiba-tiba pada wajah, lengan atau tungkai salah satu sisi
tubuh
 Mati rasa pada wajah, lengan atau tungkai salah satu sisi tubuh
 Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan
 Kesulitan berjalan, pusing, berputar hilang keseimbangan
 Sakit kepala berat mendadak tanpa penyebab jelas, dan hilang
kesadaran.

Pengenalan dini untuk masyarakat awam terhadapadanya tanda dan


gejala stroke dengan cepat dapat menggunakan Cincinnati Prehospital Stroke
Scale (CPSS), yang meliputi ; Fascial Droop atau salah satu sisi wajah tidak
dapat digerakkan seperti sisi satunya ; Arm Drift yakni salah satu lengan sulit
atau tidak dapat digerakkan ; Speech yakni bicara pelo, sulit atau tidak dapat
berbicara dan menggunakan kata-kata yang salah. Atau dapat juga menggunakan
FAST (Face, Arm, Speech, Time) dan Time yang dimaksudkan adalah Time
yakni segera menghubungi pusat layanan gawat darurat untuk transportasi ke
sarana kesehatan (Antara, 2013).

Penentuan penanganan dan diagnosis umunya dilakukan dengan


menggunakan CT-Scan untuk membedakan stroke hemorrhagic. Akan tetapi
dikarenakan tidak semua Rumah Sakit tersedia alat CT-Scan, sehingga dapat
menggunakan ROSIER scale (The Recognition of Stroke in the Emergency
Room) assessment tool. Rosier in imerupakan system skoring yang terdiri atas 7
item yang dinilai antara lain (Rachmawati, 2019) :

 Kehilangan kesadaran atau sinkop (apabila iya, dinilai -1, tidak 0)


 Terdapat aktivitas kejang (apabila iya, dinilai -1, tidak 0)
 Kelemahan otot/wajah asimetris (apabila iya, dinilai +1, tidak 0)
 Kelemahan anggota gerak atas/asimetris (apabila iya, dinilai +1, tidak 0)
 Kesulitan bicara (apabila iya, dinilai +1, tidak 0)
 Gangguan lapang pandang (apabila iya, dinilai 1, tidak 0)

Dari hasil assessment tersebut, apabila pasien mendapat skor 1 atau lebih maka
terdiagnosis stroke dan skor < 0 atau = 0 maka bukan stroke dan kemungkinan
adalah kondisi lain kecuali jika skor total 0.

Selain Rosier, terdapat juga protocol yakni NIHSS atau ETSS valuasi
klinis awal yang rutin dan harus dilakukan adalah menilai skala keparahan
penyakit menggunakan skala standar, karena skala tersebut dapat membantu
komunikasi dan penilaian yang seragam antar dokter serta tenaga kesehatan lain
yang terlibat. National Institute of health stroke scale (NIHSS), yang secara
umum digunakan untuk penilaian pada kasus stroke iskemik, dapat juga
digunakan pada kasus stroke perdarahan. Meskipun demikian, pasien sering kali
mengalami penurunan kesadaran pada tahap awal, sehingga menyulitkan
penilaian menggunakan NIHSS. Selain NIHSS, terdapat beberapa skala
penilaian lain yang spesifik untuk kasus stroke ICH. Setelah terdiagnosis, tenaga
medis di unit rawat darurat harus mengatur transportasi pasien dengan cepat ke
Unit stroke atau unit perawatan intensif neurologi bila tersedia di rumah sakit
atau rujuk ke rumah sakit lain bila tidak tersedia unit stroke. Tetapi manajemen
medis awal sudah harus dimulai saat pasien sedang menunggu untuk dirujuk.
Setelah diketahui diagnosis pasien, apabila pasien terdiagnosis stroke iskemik
maka segera dilihat waktu awal gejala stroke. Jika diketahui dalam waktu<3
jam, usia 18 tahun maka pertimbangkan segera diberikan terapi trombolitik (baik
intravena atau intra-arteri), jika diketahui onset gejala dalam waktu 3-4,5 jam
pertimbangkan beri terapi trombolitik tetapi tidak boleh diberikan apabila pasien
berusia >80 tahun, stroke berat (skore NIHSS>25), menggunakan obat anti
koagulan, riwayat diabetes melitus dan stroke iskemik sebelumnya. Sedangkan
jika pasien terdiagnosis stroke hemorrhagic tidak hanya dilakukan pemeriksaan
GCS berkala tetapi dapat segera dikonsultasikan ke dokter bedah neurologi,
dikontrol tekanan darahnya, monitor peningkatan TIK dan mengontrol gangguan
pembekuan darah jika ada (Rachmawati, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Antara, A. 2013. Tata laksana stroke pra rumah sakit. SMF Neurologi RSUD. Kab.

Karangasem

HIPGABI. 2020. Panduan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pada Masa Covid-19.

Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia.

Kemenkes RI. 2020. Panduan Teknis Pelayanan Rumah Sakit Pada Masa Adaptasi

Kebiasaan Baru. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan RI.

Parahita, P. S., P. Kurniyanta, R. Sakit, U. Pusat, dan S. Denpasar. 2013. Management of

extrimity fracture in emergency department. E-Jurnal Medika Udayana. 2(9):1597–

1615.

PBIDI. 2020. Pedoman standar perlindungan dokter di era covid-19. Ikatan Dokter

Indonesia. 40.

Perki. 2020. Pedoman bantuan hidup dasar dan bantuan hidup jantung lanjut pada dewasa,

anak, dan neonatus terduga/ positif covid-19. Indonesian Heart Association. (62):1–13.

Rachmawati, D. 2019. Peran perawat dalam assessment pengenalan dini untuk meningkatkan

outcome pasien stroke di instalasi gawat darurat. Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal

of Ners and Midwifery). 6(2):163–171.

Sukoharjo, R. 2020. Spo penggunaan apd pelayanan pasien pada masa pandemi covid-19.pdf.

1–7.

WHO. 2020. Penggunaan rasional alat perlindungan diri untuk penyakit coronavirus ( covid-

19 ) dan pertimbangan jika ketersediaan sangat terbatas. World Health Organization

Anda mungkin juga menyukai