Anda di halaman 1dari 24

RESUME

DIAGNOSIS KELAINAN PERIODONTAL (AAP 1999) & FASE


PERAWATAN PERIODONTAL

Kordik Bidang Ilmu:


drg. Christiana Cahyani P., M.Phil

Oleh:
Salsabila Nuha Zafira G1G014001
Ichsani Alfina G1G014004

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2019
DIAGNOSIS KELAINAN PERIODONTAL (AAP 1999) & FASE

PERAWATAN PERIODONTAL

A. Diagnosis Kelainan Periodontal (AAP 1999)

Istilah penyakit periodontal digunakan untuk menggambarkan suatu

kelompok atau kondisi yang dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan

attachment apparatus gigi. Penyakit periodontal yaitu peradangan dan juga

perubahan resesif pada gingiva dan periodontium (Li et al., 2000). Berdasarkan

American Academy of Periodontology (AAP) 1999, kelainan periodontal dibagi

menjadi 8 yaitu (Wiebe et al., 2000):

1. Penyakit gingiva

Penyakit gingiva disebut juga dengan gingivitis merupakan

merupakan peradangan gingiva yang disebabkan oleh plak atau bakteri yang

terakumualsi di gigi. Penyakit gingiva dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Penyakit gingiva yang diinduksi plak

Gingivitis yang diinduksi plak merupakan respon inflamasi gingiva

akibat adanya akumulasi plak yang terletak pada margin gingiva dan di

bawah margin gingiva. Gingivitis pada tahap awal tidak dapat dilihat

secara klinis, pada tahap yang lebih lanjut akan terlihat tanda dan gejala

secara klinis. Gingivitis yang diinduksi plak dimulai dari margin gingiva

dan dapat menyebar ke seluruh gingiva. Kondisi ini dapat terjadi pada

jaringan periodontal yang tidak mengalami attachment loss ataupun

jaringan periodontal yang mengalami attachment loss. Gejala gingivitis


yang timbul meliputi perdarahan, eritema, edema, nyeri tekan. Gingivitis

yang berhubungan dengan pembentukan plak gigi merupakan penyakit

gingiva yang paling umum (Carranza et al., 2012; Murakmi et al., 2018).

Penyebab penyakit gingiva yang diinduksi plak dibagi menjadi 4 yaitu:

1) Gingivitis yang berhubungan hanya dengan plak gigi

Gingivitis yang diinduksi plak merupakan hasil interaksi

antara mikroorganisme yang ditemukan dalam biofilm plak gigi serta

jaringan dan sel radang dari host. Interaksi plak dan host dapat

dipengaruhi oleh faktor local, faktor sistemik, obat-obatan dan

malnutrisi yang dapat mempengaruhi keparahan dan lamanya respon.

Faktor lokal yang mempengaruhi timbulnya gingivitis adalah

anatomi gigi, overhanging margin restorasi, overcontoured crown,

penggunaan GTSL. Faktor lokal tersebut berkontribusi karena dapat

mempertahankan mikroorganisme plak dan menghambat kontrol

plak (Carranza et al., 2012; Murakmi et al., 2018).

Gambar 1 (A) Gingivitis marginal dan papila yang berhubungan


dengan plak disertai probing depth 1-4 mm dan tidak terdapat CAL
kecuali resesi pada gigi 28 (B) Gambar radiografi pasien.
2) Gingivitis dipengaruhi oleh faktor sistemik

Faktor sistemik yang berkontribusi terhadap timbulnya

gingivitis adalah perubahan endokrin yang terkait dengan pubertas,

siklus menstruasi, kehamilan dan diabetes. Perubahan respon yang

terjadi disebabkan oleh fungsi selular dan imunologis dari host.

Prevalensi dan keparahan gingivitis meningkat dalam masa

kehamilan namun dengan jumlah plak sedikit. Gingivitis dapat

terjadi pada penderita leukemia berupa perdarahan dan pembesaran

gingiva. Perdarahan gingiva terjadi karena trombositopenia dan

defisiensi faktor pembekuan darah, pembesarah gingiva terjadi

karena infiltrasi gingiva oleh sel-sel leukemia (Carranza et al., 2012).

Gambar 2 Wanita berusia 13 tahun dengan peradangan


margin papila gingiva karena hormon berlebihan, dengan
probing depth 1-4 mm dengan CAL minimal.
(A) Tampilan fasial (B) Tampilan lingual.
Gambar 3 Wanita 12 tahun dengan diagnosis medis primer
leukemia yang menunjukkan gingiva bengkak / spongy.

3) Gingivitis yang dipengaruhi oleh obat

Penyakit gingiva yang dipengaruhi obat semakin lazim karena

meningkatnya penggunaan obat yang menyebabkan pembesaran

gingiva. Obat yang digunakan meliputi obat antikonvulsan seperti

fenitoin, obat imunosupresif seperti siklosporin, dan obat calcium

channel blockers seperti nifedipine, verapamil, diltiazem, dan

natrium valproat. Perkembangan dan keparahan pembesaran gingiva

terhadap respon obat dapat dipengaruhi oleh akumilasi plak yang

tidak terkontrol serta peningkatan kadar hormon. Penggunaan

konrasepsi oral pada wanita premenopause dapat menyebabkan

peradangan gingiva (Carranza et al., 2012).


Gambar 4 Gambaran klinis laki-laki 9 tahun dengan pertumbuhan
gingiva yang parah akibat transplantasi hati dan terpi siklosporin

Gambar 5 Gambar klinis pertumbuhan gingiva yang berlebih karena


konsumsi calcium channel blocker untuk mengontrol hipertensi.

4) Gingivitis yang dipengaruhi oleh malnutisi

Penyakit gingiva yang dipengaruhi malnutrisi menunjukkan

gingiva yang merah, bengkak, dan perdarahan akibat kekurangan

asam askorbat (vitamin C). Kekurangan nutrisi dapat mempengaruhi

kekebalan tubuh dan kekebalan host untuk melindungi diri (Carranza

et al., 2012).

b. Lesi gingiva yang diinduksi non-plak

Gingiva dan jaringan oral lainnya dapat menunjukkan lesi

patologis yang tidak diinduksi plak seperti manifestasi dari kondisi

sistemik atau gangguan medis. Perubahan patologis bias hanya terbatas

pada janringan gingiva saja. Gingivitis yang tidak diinduksi oleh plak
dalam perkembangannya dapat dipengaruhi oleh akumulasi plak dan

peradangan gingiva selanjutnya (Holmstrup et al., 2018).

1) Penyakit gingiva karena bakteri spesifik.

Penyakit gingiva yang berasal dari bakteri spesifik meningkat

dalam prevalensi, terutama sebagai akibat dari penyakit menular

seksual, seperti gonore (Neisseria gonorrhoeae), dan sifilis

(Treponema pallidum). Gingivitis yang disebabkan oleh infeksi

bakteri tertentu dapat timbul karena hilangnya homeostasis antara

patogen yang tidak terkait plak dan resistensi host. Lesi oral dapat

muncul sebagai manifestasi sekunder akibat infeksi sistemik atau

dapat terjadi melalui infeksi langsung. Gingivitis streptokokus atau

gingivostomatitis adalah bakteri langka. Gejala akut yang timbul

meliputi demam, malaise, dan nyeri dengan gejala klinis yang timbul

meliputi gingiva akut yang meradang, difus, merah, dan bengkak

dengan peningkatan perdarahan dan kadang-kadang pembentukan

abses gingiva. Infeksi gingiva biasanya didahului oleh tonsilitis dan

telah dikaitkan dengan infeksi β-hemolitik streptokokus kelompok A

(Carranza et al., 2012).

2) Penyakit gingiva karena virus

Penyakit gingiva yang berasal dari virus dapat disebabkan oleh

virus asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA).

Virus yang menyebabkan menifestasi pada gingiva diantaranya

adalah coxsackie virus, virus herpes simpleks 1 (HSV-1) dan 2


(HSV-2) dan virus varicellazoster. Penyakit gingiva virus diobati

dengan obat antivirus topikal dan / atau sistemik (Carranza et al.,

2012; Holmstrup et al., 2018).

Gambar 6 (A) dan (B) Pria berusia 29 tahun dengan infeksi herpes
primer dan peradangan gingiva yang parah, (C) dan (D) Enam
minggu setelah pemberian asiklovir sistemik.

3) Penyakit gingiva karena jamur

Penyakit gingiva yang berasal dari jamur jarang terjadi pada

individu dengan imunokompeten namun lebih sering terjadi pada

individu dengan system imun yang lemah dan individu yang flora

normalnya terganggu akibat penggunaan antibiotik spektrum luas

jangka panjang. Infeksi jamur oral yang paling umum adalah

kandidiasis yang disebabkan oleh infeksi Candida albicans yang

dapat dilihat pada alat prostetik, individu yang menggunakan steroid

topikal, penurunan aliran saliva, peningkatan glukosa saliva, atau

penurunan pH saliva. Infeksi kandida umunya berupa bercak putih

pada gingiva, lidah atau mukosa yang dapat dihilangkan dengan kain

kasa dan meninggalkan permukaan yang merah dan berdarah.


Individu yang menderita HIV, infeksi kandida dapat muncul berupa

eritema pada attached gingiva yang disebut dengan eritema gingiva

linier atau gingivitis terkait HIV. Diagnosis infeksi kandida dapat

dilakukan dengan kultur, apusan, dan biopsi (Carranza et al., 2012).

4) Penyakit gingiva karena genetik

Penyakit gingiva yang berasal dari geneti, salah satu kondisi

yang paling terbukti secara klinis adalah hereditary gingival

fibromatosis (HGF), yang menunjukkan pewarisan autosom dominan

atau autosom resesif (jarang). Pembesaran gingiva dapat sepenuhnya

menutupi gigi, menunda erupsi. Penyakit tersebut dapat muncul

sendiri atau sebagai bagian dari suatu sindrom (Carranza et al.,

2012).

5) Manifestasi gingiva dari kondisi sistemik

Manifestasi gingiva dari kondisi sistemik dapat muncul

sebagai lesi deskuamatif, ulserasi gingiva, atau keduanya. Reaksi

alergi yang bermanifestasi dengan perubahan gingiva jarang terjadi

tetapi dapat timbul terkait dengan beberapa bahan restorasi, pasta

gigi, obat kumur, permen karet dan makanan serta seringkali reaksi

hipersensitifitas yang muncul adalah tipe IV. Diagnosis kondisi-

kondisi ini mungkin terbukti sulit dan mungkin memerlukan riwayat

yang luas dan eliminasi selektif penyebab yang potensial. Ciri

histologis biopsi dari reaksi alergi gingiva meliputi infiltrat sel

eosinofilik yang padat (Carranza et al., 2012; Holmstrup et al., 2018).


Gambar 7 (A) Inflamasi gingiva lokal akibat alergi nikel, (B)
dan (C) Biopsi menggambarkan infiltrat sel plasma yang
padat.

6) Lesi traumatik

Lesi traumatis mungkin disebabkan oleh diri sendiri dan

buatan, dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja. Contoh lain dari

lesi traumatis termasuk trauma sikat gigi yang mengakibatkan

ulserasi gingiva, resesi, atau keduanya. Trauma iatrogenik

(disebabkan oleh dokter gigi atau profesional kesehatan) ke gingiva

dapat disebabkan oleh prosedur ortodontik, bahan preventif atau

restoratif. Peripheral ossifying fibroma dapat berkembang sebagai

respons terhadap embedment benda asing, kerusakan gingiva yang

tidak disengaja dapat terjadi melalui luka bakar ringan akibat

makanan dan minuman panas (Carranza et al., 2012).

7) Reaksi benda asing


Reaksi benda asing menyebabkan kondisi peradangan lokal

gingiva yang disebabkan oleh masuknya bahan asing ke dalam

jaringan ikat gingiva melalui celah di epitel. Contoh umum adalah

pengenalan amalgam ke dalam gingiva selama penempatan restorasi,

ekstraksi gigi, atau apicoectomy endodontik dengan retrofill

meninggalkan tato amalgam dengan fragmen logam yang dihasilkan

diamati dalam biopsi, atau terkena alat abrasif selama prosedur

pemolesan (Carranza et al., 2012).

2. Periodontitis Kronis

3. Periodontitis Agresif

4. Periodontitis sebagai Manifestasi Penyakit Sistemik

5. Necrotizing Periodontal Disease

6. Abses pada Jaringan Periodontal

a. Abses Gingiva

Abses gingiva merupakan keadaan inflamasi akut dan terlokalisir

yang dapat berasaldari infeksi bakteri dan plak, trauma, dan impaksi

benda asing. Secara klinis abses gingiva terlihat adanya pembengkakan

padajaringan lunak purulent pada margin gingiva dan interdental papilla,

terlokalisir dan disertai rasasakit. Terdapat lesi inflamasi pada superfisial

jaringan gingiva. Tahap awal lesi berwarna merah dengan permukaan

yang mengkilat serta terdapat eksudat. Dalam waktu 24-48 jam lesi

menjadi fluktuatif disertai mata lesi yang berisi eksudat, gigi yang berada

dekat dengan gigi tersebut akan sensitive terhadap perkusi. Etiologi dari
abses gingiva karena adanya bakteriyang masuk ke dalam jaringan ikat

melalui perantara benda asing seperti bulu sikat, duri ikan yang menusuk

jaringan gingiva (Rini dan Rusyanti, 2016).

Gambar 8 Abses gingiva pada gigi 43

b. Abses Periodontal

Abses periodontal merupakan peradangan pada jaringan

periodontal yang terlokalisir disertai adanya eksudat yang dapat

menyebabkan destruksi ligament periodontal. gambaran klinis abses

periodontal adalah terlihat pembengkakan gingiva yang mengkilat, licin

dan disertai rasa sakit. Daerah pembengkakan gingiva terasa lunak

karena terdapat eksudat purulent disertai kedalaman probing. Gigi

sensitif terhadap perkusi dan dapat terjadi mobilitas seta kehilangan

perlekatan periodontal yang lebih cepat. Abses periodontal merupakan

penyebab utama dari kehilangan gigi (Rini dan Rusyanti, 2016).

A B

Gambar 9 (A) Abses periodontal pada gigi 48, (B) Drainase abses
periodontal gigi 46 melalui poket.

c. Abses Perikoronal

Abses perikoronal merupakan hasil dari inflamasi jaringan lunak

operkulum yang menutupi sebagian gigi yang sedang erupsi. Abses

perikoronal sering timbul pada masa anak-anak, dan dewasa muda. Lesi

inflamasi dapat disebabkan oleh retensi bakeri plak, impaksi makanan,

dan trauma. Gambaran klinisnya berupa gingiva berwarna merah

terlokalisir, bengkak, sakit jika disentuh dan dapat ditemukan adanya

purulent, terismus, limfadenopati, demam, dan malaise (Rini dan

Rusyanti, 2016).

Gambar 10 Abses Perikoronal

7. Periodontitis yang Berhubungan dengan Lesi Endodontik

Jaringan pulpa dan jaringan periodontal memilik hubungan

embrionik, anatomis, dan fungsional yang sangat erat. Jaringan pulpa berasal

dari papila dental sedangkan jaringan periodontal berasal dari folikel denal,

keduanya dipisahkna oleh Hertwig’s epithelial root sheath. Lesi endodontik

merupakan inflamasi yang diakibatkan oleh adanya agen berbahaya di dalam

saliran akar. Lesi periodontal adalah inflamasi yang terjadi akibat akumulasi

plak dan kalkulus pada permukaan gigi. Lesi endodontik yang muncul
serentak pada gigi yang sama disebut lesi endoperio (Louisa dan Yunarti,

2015).

Jaringan periodontal terhubung dengan jaringan pulpa secara

anatomis melalui foramen apikal dan kanal lateral. Faktor etiologi yang yang

berperan penting dalam inisiasi dan perkembangan lesi endoperio

diantaranya adalah bakteri, jamur, dan virus, serta faktor resiko seperti

trauma, resorpsi akar, perforasi, dan anomali gigi. Inflamasi pulpa yang

bersamaan dengan inflamasi periodontal dapat menyulitkan prosedur

diagnosis, rencana perawatan dan memperburuk prognosis (Louisa dan

Yunarti, 2015). Periodontitis yang berhubungan dengan lesi endodontik

dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Lesi Endodontik-Periodontal

Nekrosis pulpa pada lesi endodontik-periodontal lebih dahulu

muncul dibandingkan perubahan periodontal. Lesi periapikal yang

berasal dari infeksi pulpa dan nekrosis dapat mengalir ke rongga mulut

melalui ligament periodontal yang dapat menimbulkan kerusakan

ligamen periodontal dan tulang alveolar yang berdekatan. Tanda klinis

yang muncul dapat berupa probing depth secara lokal, dalam dan dapat

meluas hingga ke apeks gigi. Kerusakan tulang alveolar yang luas

memerlukan bedah rekonstruktif sebelum pemasangan implant dan

prosthesis untuk mengembalikan fungsi dan estetika. Infeksi pulpa dapat

meluas melalui saluran aksesori, terutama di daerah furkasi dan dapat


menyebabkan keterlibatan furkasi karena kehilangan perlekatan klinis

dan tulang alveolar (Carranza et al., 2012).

Gambar 11 (A) dan (C) Gambar klinis kehilangan tulang


alveolar yang luas dari lesi endodontik periapikal, (B) CT scan
yang menggambarkan kehilangan tulang alveolar, (D) Gambar
CT scan yang menunjukkan regenerasi melalui cangkok tulang
alogenik, sekrup tenting dan membran.

b. Lesi Periodontal-Endodontik

Infeksi bakteri dari poket periodontal pada lesi periodontal-

endodontik berhubungan dengan attachment loss dan akar yang terbuka

dan dapat menyebar melalui saluran aksesori ke dalam pulpa yang

menyebabkan nekrosis pulpa. Pada kasus periodontitis yang lebih lanjut,

infeksi dapat mencapai pulpa melalui foramen apikal. Scaling dan root

planing dapat mengikis sementum sehingga dentin dapat terbuka, dentin

yang terbuka menyebabkan terjadinya pulpitis kronis karena penetrasi

bakteri melalui tubuli dentin. Banyak gigi yang telah dilakukan scaling

dan root planing karena periodontitis namun tidak menunjukkan adanya

keterlibatan pulpa (Carranza et al., 2012).

c. Lesi Gabungan
Lesi gabungan terjadi ketika nekrosis pulpa dan lesi periapikal

terjadi pada gigi yang jaringan peripdontalnya juga terlibat. Kerusakan

intrabony yang berhubungan dengan lesi periapikal yang berasal dari

pulpa menghasilkan lesi periodontal-endodontik gabungan. Kasus

periodontitis yang terkait dengan lesi endodontik, harus mengkontrol

infeksi endodontik terlebih dahulu sebelum memulai manajemen

definitif pada lesi periodontal, terutama ketika merencakan pengguaan

teknik regeneratif atau pencangkokan tulang (Carranza et al., 2012).

8. Development or acquired ………

B. Fase Perawatan Periodontal

Perawatan gigi dan jaringan sekitarnya merupakan bagian dari

perawatan periodontal. Perawatan penyakit periodontal bertujuan untuk

mempertahankan fungsi gigi geligi, mencegah atau mengurangi penjalaran atau

keparahan penyakit. Keberhasilan perawatan dapat dilakukan dengan

mengurangi jumlah bakteri patogen, meningkatkan kemampuan jaringan untuk

mempertahankan atau memperbaiki diri. Keberhasilan perawatan penyakit

periodontal ditandai dengan adanya kapasitas penyembuhan yang baik dari

jaringan periodontal. Perawatan penyakit periodontal dapat dilakukan dengan

beberapa tahap perawatan yaitu, preliminary phase, fase I, fase II, fase III, dan

fase IV (Carranza, 2012).


Gambar 12 Fase perawatan periodontal

1. Preliminary Phase atau Emergency Phase

Keadaan darurat periodontal adalah suatu keadaan atau gabungan

berbagai kondisi yang berpengaruh buruk terhadap jaringan periodontal dan

memerlukan tindakan segera (Fedi et al, 2005). Situasi darurat yang

berhubungan dengan penyakit periodontal yaitu:

a. Acute Gingival Disease


1) Acute necrotizing ulcerative gingivitis
2) Acute pericoronitis
3) Acute/primary herpetic gingivostomatitis
b. Abses
1) Abses gingiva
2) Abses periodontal
3) Abses perikoronal
2. Fase I (Non-Surgical Phase)
Terapi fase I atau terapi inisial bertujuan untuk membuang semua
faktor lokal yang menyebabkan peradangan gingiva serta pemberian
instruksi dan motivasi pasien dalam melakukan kontrol plak. Terapi inisial
juga disebut sebagai fase etiotropik karena bertujuan untuk menghilangkan
faktor etiologik penyakit periodontal. Beberapa prosedur yang dilakukan
fase I yaitu:
a. Dental Health Education (DHE)
Dental health education yang diberikan pada pasien adalah
mengenai kontrol plak. Instruksi kontrol plak harus dimulai sejak
kunjungan pertama, yaitu penggunaan sikat gigi mencakup metode
menyikat gigi yang benar, frekuensi menyikat gigi, lama menyikat gigi,
sikat gigi yang digunakan dan prinsip penyikatan. Instruksi kontrol plak
yang komperehensif selanjutnya meliputi penggunaan alat bantu selain
sikat gigi yaitu benang gigi maupun pembersih daerah interdental
lainnya. Konseling yang bersifat memotivasi pasien terhadap faktor
resiko yang berpengaruh terhadap penyakit periodontal (seperti
merokok) juga dimulai pada tahap ini (Manson dan Eley, 2013).
b. Scaling dan Root Planing
Scaling dan root planing untuk menghilangkan kalkulus termasuk
dalam perawatan periodontal tahap awal. Tujuan utama tindakan ini
adalah untuk memperbaiki kesehatan gingiva dengan cara
menghilangkan faktor yang menimbulkan keradangan dari permukaan
gigi. Scaling supragingiva dapat dilakukan dengan menggunakan scaler
manual, alat kuret dan instumen ultrasonik. Tindakan instrumentasi
periodontal dapat direncanakan dalam beberapa kali kunjungan dan
untuk pasien dengan inflamasi yang parah dan disertai deposit kalkulus
yang banyak, tindakan debridemen seluruh mulut (full-mouth
debridement) dapat dilakukan secara bertahap dalam dua kunjungan atau
lebih. Penggunaan anastesi lokal juga diperlukan bila instrumentasi
dilakukan pada sisi inflamasi yang lebih dalam, selanjutnya dilakukan
pemolesan yang bertujuan untuk menghilangkan permukaan kasar
setelah pembuangan sisa kalkulus supragingiva (Widyastuti, 2009).
c. Menghilangkan Restorasi Gigi yang Overcountur dan Overhanging
Restorasi dengan permukaan yang kasar, overcountur,
overhanging, atau terlalu menekan ke daerah subgingiva dapat
menyebabkan akumulasi bakteri periodontal yang bersifat patogen
sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi gusi, kehilangan perlekatan
epitel dan kehilangan tulang alveolar. Restorasi tersebut mempengaruhi
efektivitaas kontrol plak yang dilakukan pasien sehingga harus dikoreksi
dengan cara penggantian seluruh restorasi atau mahkota, atau koreksi
dengan menggunakan finishing bur. Untuk restorasi yang overhanging
pada daerah subgingiva, memungkinkan melakukan tindakan flap yang
sederhana untuk memfasilitasi akses akhiran restorasi (Manson dan Eley,
2013).
d. Occlusal Adjustment
Tahapan setelah gigi-gigi menempati posisi yang semestinya,
kemudian dilakukan occlusal adjustment untuk menghilangkan trauma
oklusal serta oral hygiene yang baik (Ismail, 2015).
e. Splinting
Kegoyangan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal
yang ditandai dengan hilangnya perlekatan serta kerusakan tulang
vertikal. Salah satu cara untuk mengontrol dan menstablisasi kegoyangan
gigi adalah splinting. Kegoyangan gigi diklasifikasikan menjadi 3
derajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih besar dari normal.
Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyangan
> 1 mm pada segala arah dan atau gigi dapat ditekan ke arah apikal.
Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyangan gigi derajat 3 dengan
kerusakan tulang berat (Fedi et al, 2005).
f. Penghilangan Karies dan Restorasi
Langkah ini meliputi pembuangan karies secara sempurna
kemudian dilakukan penumpatan dengan restorassi sementara atau
restorasi akhir. Kontrol terhadap karies penting karena karies merupakan
sumber infeksi sehingga perlu perawatan untuk memaksimalkan
penyembuhan selama perawatan periodontal fase I. Karies khususnya
pada daerah proksimal dan serikal gigi serta pada permukaan akar,
merupakan daerah reservoir bakteri dan dapat memberikan pengaruh
terhadap re-populasi bakteri plak. Kavitas yang terbentuk akibat proses
karies merupakan wadah yang baik dimana plak terlindung dari usaha
eliminasi secara mekanis. Oleh karena itu kontrol terhaap karies sangat
penting, setidaknya penumpatan sementara harus diselesaikan dalam
terapi fase I (Widyastuti, 2009).
g. Kontrol Diet
Defisiensi nutrisional tidak menimbulkan penyakit gusi. Meskipun
demikian, bila penyakit akibat plak sudah ada, defisiensi nutrisi akan
mempengaruhi perkembangan penyakit, oleh karena itu diet yang
seimbang sangat diperlukan. Konsumsi gula dalam bentuk apapun
sebaiknya dikurangi (Manson dan Eley, 2013).
h. Evaluasi Respon terhadap Fase Non-Surgical
Jaringan periodontal diperiksa kembali untuk menentukan
kebutuhan perawatan lebih lanjut. Poket periodontal harus diukur ulang
dan seluruh kondisi anatomi dievaluasi untuk memutuskan perawatan
bedah. Perawatan bedah periodontal seharusnya dilakukan jika pasien
sudah dapat melakukan instruksi kontrol plak secara efektif dan gusi
terbesas dari inflamasi (Fedi et al, 2005).
3. Fase II (Surgical Phase)
Fase II disebut juga fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap
deformitas anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan
disharmoni oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit
sebelumnya dan menjadi faktor predisposisi atau rekurensi dari penyakit
periodontal. Berikut ini adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada fase
ini:
a. Bedah Periodontal
Perawatan bedah untuk menghilangkan jaringan inflamasi dapat
merangsang terjadinya perbaikan atau regenerasi jaringan yang
mengalami kerusakan. Tindakan yang dapat dilakukan dalam
diantaranya:
1) Kuretase gingiva
Kuretase merupakan tindakan membuang dinding poket yang
mengalami granulasi dan inflamasi yang bertujuan membersihkan
jaringan granulasi dan jaringan inflamasi, mengurangi kedalaman
poket, mengambil papilla interdental yang rusak untuk mempercepat
penyembuhan.
2) Gingivektomi
Gingivektomi merupakan tindakan eksisi gingiva yang mengalami
pembesaran dengan tujuan mengeliminasi poket akibat
pembengkakan gingiva ( Manson dan Eley, 2013).
b. Prosedur Flap Periodontal
Flap didefinisikan sebagai bagian dari gingiva, mukosa alveolar,
atau periosteum yang masih memiliki suplai darah pada saat diangkat
atau dipisahkan dari gigi dan tulang alveolar. Flap periodontal didesain
untuk mencapai satu atau beberapa tujuan sebagai berikut:
1) Memberikan akses untuk melakukan detoksifikasi akar
2) Mengurangi poket yang meluas melebihi mukogingiva
3) Menghilangkan atau mempertahankan daerah gingiva cekat yang
cukup
4) Membuka akses untuk mencapai tulang di bawahnya, untuk merawat
kelainan tulang
5) Memudahkan prosedur regeneratif (Fedi et al, 2005).
c. Rekonturing Tulang
Rekonturing tulang merupakan prosedur yang dirancang untuk
memperbaiki dan membentuk kembali kelainan bentuk pada tulang yang
mengelilingi gigi (Fedi et al, 2005).
d. Bone and Tissue Graft
e. Pemasangan implant
4. Fase III (Restorative Phase)
Fase dengan tahapan pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang
ideal untuk gigi yang hilang, serta evaluasi respon terhadap terapi fase III
dengan pemeriksaan periodontal (Carranza, 2012).
5. Fase IV (Manintenance Phase)
Fase IV dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada
penyakit periodontal sehingga perlu dilakukan kontrol secara periodik.
Beberapa prosedur dalam fase ini adalah sebagai berikut:
a. Riwayat medis dan riwayat kesehatan gigi pasien
b. Re-evaluasi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat skor
plak
c. Ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas gigi
d. Melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan
tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali
e. Scaling dan root planing tiap 6 bulan sekali, tergantung dari efektivitas
kontol plak pasien dan kecenderungan pembentukan kalkulus
f. Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies
(Kiswaluyo, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Li, X., Kolltveit, K.M., Tronstad, L., Olsen I., 2000, Systemic Disease Caused by
Oral Infection, Clinical Microbiology Reviews, 13(4):547-558.
Carranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevoid P.R., 2012,
Carranza’sClinical Periodontology 11th Ed., Saunders Elsevier,China.
Wiebe, C.B., Putnins, E.E., 2000, The Periodontal Disease Classiication System of
the American Academy of Periodontology – An Update, Journal of the
Canadian Dental Association, 66(11):594-597.
Murakami, S., Mealey, B.L., Mariotti, A., Chapple, I.L.C., 2018, Dental Plaque-
Induced Gingival Conditions, Journal of Clinical Periodontology,
45(20):S17-S27.
Holmstrup, P., Plemons, J., Meyle., 2018, Non-Plaque-Induced Gingival Disease,
Journal of Periodontology, 89(1):S28-S45.
Rini, T.C., Rusyanti, Y., 2016, Terapi Kedaruratan Penyakit Periodontal, Prosiding
Dies Natalis 57 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, 24
September 2016, Bandung.
Louisa, M., Yunarti, S., 2015, Lesi Endoperio, Makasar Dent J., 4(3):83-90.
Fedi, P.F., Vernino, A.R., Gray, J.L., 2005, Silabus Periodonti, EGC, Jakarta.
Ismail, A.K., 2015, Penatalaksanaan Ekstrusi Gigi Incisivus Lateral Pada Kasus
Pathologic Tooth Migration Periodontitis Kronis Dengan Menggunakan
Splint Fixed Appliance, Odonto Dental Jurnal, 2(2):22-24.
Kiswaluyo, 2013, Perawatan Periodontitis pada Puskesmas Sumbersari, Puskesmas
Wuluhan dan RS Bondowoso, Jurnal Kedokteran Gigi Unej, 10(3):115-120.
Manson, J.D., Eley, B.M., 2013, Buku Ajar Periodonti, Hipokrates, Jakarta.
Widyastuti, R., 2009, Periodontitis: Diagnosis dan Perawatannya, Jurnal Ilmiah
Teknologi Kedokteran Gigi, 9(6): 32-35.

Anda mungkin juga menyukai