MORBUS HANSEN
OLEH KELOMPOK 1 :
NurWulandari
Uyunul Jannah
Karnila
Kasma Yuliani
Nur Ayuana Andini
Nur Alawiyah Khaerunisa
Nurfadhilah
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Makalah
kelompok kami dapat terselesaikan. Pokok bahasan makalah ini disesuaikan dengan materi
dan kompetensi yang diajarkan pada Pendidikan Tinggi Keperawatan. Makalah ini berisi
tentang materi Tropis yang telah diberikan kepada kelompok kami yaitu mencakup materi
Morbus Hansen.
Atas terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman dari kelompok kami yang telah terlibat, baik secara langsung maupun tidak dalam
penyusunan makalah ini dan semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya
penyusunan makalah ini.
Wassalam
Penyusun
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Penyakit Morbus Hansen atau yang lebih dikenal dengan penyakit kusta merupakan
salah satu penyakit kronik yang dapat menyerang manusia akibat infeksi dari
Mycrobacterium Leprae. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, bayi hingga dewasa
dapat terinfeksi penyakit ini (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). World Health
Organization (WHO) (2015) menyatakan bahwa pada awal tahun 2014 sebanyak 102 negara
diantaranya 20 negara dari wilayah Afrika, 25 negara dari wilayah Amerika, 11 negara dari
wilayah Asia, 14 dari wilayah Mediterania Timur dan 32 dari Kawasan Pasifik Barat
melaporkan bahwa terdapat 215.656 kasus baru kusta terdeteksi, adapun tiga negara dengan
jumlah penderita kusta tertinggi yaitu Brazil, India dan Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta tertinggi. Pada
tahun 2014 terdapat 16.131 jiwa penderita kusta baru yang terdeteksi di Indonesia, 1.525 jiwa
mengalami kecacatan tingkat 2 dan 1.755 jiwa merupakan penderita usia 01-14 tahun. Daerah
Sulawesi Selatan saat ini berada pada peringkat ke empat dengan jumlah penderita kusta baru
tertinggi yaitu 1.143 jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Penyakit
kusta merupakan penyakit yang menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, sistem saraf
perifer, anggota gerak tubuh, saluran pernafasan serta mata (Behrman, Kliegman, & Arvin,
2000). Penyakit kusta yang tidak diobati akan mengarah pada kecacatan fisik, gangguan
psikologis, dan ketidakmampuan sosial. Banyak penderita kusta yang cacat karena menunda
untuk mencari perawatan yang tepat. Hal ini disebabkan karena stigma yang ada
dimasyarakat dan tidak adanya dukungan dari lingkungan mereka (Joseph & Rao, 2015).
Penyakit kusta telah diakui dalam peradaban kuno Cina, Mesir dan India.
Penyebutan tertulis pertama mengenai kusta telah ada sejak 600 tahun SM dan sepanjang
sejarah orang yang menderita penyakit kusta sering dikucilkan oleh masyarakat dan keluarga
mereka (WHO, 2015). Hingga saat ini, stigma masyarakat dan petugas kesehatan mengenai
penyakit kusta masih tinggi, sehingga penderita ataupun mantan penderita kusta masih
dikucilkan, akibatnya masih banyak yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga menyebabkan tejadinya
peningkatan angka kemiskinan (Kemenkes, 2015). Selain itu, beberapa dari penderita kusta
dipaksa untuk meninggalkan rumah dan beberapa dari mereka dirawat di rumah sakit jiwa
1
(Joseph & Rao, 2015). Sebagai akibat dari permasalahan tersebut, penderita kusta menjadi
tuna wisma, tuna sosial, tunakarya dan memungkinkan akan melakukan kejahatan atau
menyebabkan gangguan di lingkungan sekitarnya.
B. RumusanMasalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DefinisiMorphus Hansen
Morphus Hansen atau Morbus Hansen atau Lepra atau yang lazim dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa sansekerta yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Kustamerupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari salran pernapasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orgna lain
kecuali susunan saraf pusat.
B. Etiologi
3
Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit,
saraf, anggota gerak, dan mata.
4
kemampuan jika ada, terjadi pada
berkeringat, rambut yang sudah lanjut
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
c. Ciri-ciri Central healing Punched out lession
Madarosis
Ginekomasti
Hidung pelana
Suara sengau
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris
D. ManifestasiKlinis
5
E. Pathway
Mikrobakterium Leprae
(sifatnya obligatin seluler)
Morbus Hansen
Tuberkuloit Lepromatosa
(Paucibacillary) (Multibacillary)
Penebalan saraf
Ggn. Kelenjar keringat, Kelemahan/lumpuh
sirkulasi darah otot
Anestesia
1) Pemeriksaan serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostic penunjang yang paling banyak dilakukan
saat ini. Selain untuk penunjang diagnostic klinis penyakit kusta, tes serologi juga
dapat digunakan untuk diagnosis infeksi m. leprae.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain :
a) Uji FLA-ABS (Fluorescent Leprosy Antibodi-Absorption Test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri m. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesifisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
makrobakteri lain.
b) Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari m. leprae yang di biakkan dalam tubuh
armadillo yang di beri label radioaktif
c) Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik pgl-1 dengan antibody
dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan dilapangan,
terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif
d) Antibody Monoklonal (MAB)
Epitop ML04 dari protein 35-kda m. leprae menggunakan m. leprae sonicate
(MLS) yang spesifik dan sensitive untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kda m.
leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler
terhadap m. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma
pada pasien kusta dan kontak
e) Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-assay)
Uji ELISA untuk mengukur banyak ikatan antigen antibody yang terbentuk
dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro
untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat 3 metode ELISA antara lain :
7
Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibody sekunder yang dilabel enzyme. Kemudian ditambahkan substrat
sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibody primer, dengan dilakukan penambahan antibody sekunder yang di
label enzyme dan terjadi reaksi antara antibody primer dan antibody sekunder
yang di label enzyme. Kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi
perubahan warna yang dapat diukur spektrofotometer.
Sandwich ELISA
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct
ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang di dinginkan
tidak perlu di purifikasi.
Dalam bidang penyakit kusta, uji elisa dapat dipakai untuk mengukur
kadar pada antibody terhadap basil kusta, misalnya antibody pgl-1. Antibody
antiprotein 35kd, dan lain-lain. Kelas antibody yang diperiksa juga ditentukan,
misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibody
anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG.
8
G. AsuhanKeperawatan
A. Pengkajian
1. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar menderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
5. Riwayat psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen
akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini
merupakan penyakit kutukan. Sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa konsep diri karena penurunan.
9
7. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada type I,
reaksi ringan. Berat type II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik
a) Sistem penglihatan
Adanya gangguan tepi saraf motorik.kornea mata anastesi sehingga reflek kedip
berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan. Dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagcohthalmes jika ada infeksi akan buta, pada morbus hansen type
II reaksi berat, jika terjadi peradangan maka organ-organ tubuh akan maka mengakibatkan
irigocvelitis sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan
rontok.
b) Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada
tenggorokan.
c) Sistem persarafan
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa. akibat pada
kurang/mati rasa dapat menyebabkan luka sedangkab pada kornea mata
mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip.
kerusakan fungsi motorik menyebabkan otot tangan dan kaki
menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tubuh tidak
di pergunakan jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akibatnya akab terjadi
kekakuan pada sendi (kontraktur) bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan.
kerusakan fungsi otonom yaitu gangguan pada kalenjer keringat kalenjer minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering
d) Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik mengakibatkan kelemahan dan
kelumpuhan
e) Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopegmentasi ( panu) terdapat eritema , infiltrat (
penebalan kulit) nodul ( benjolan)
10
B. Diagnosa keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit
2. Resiko infeksi
3. Hambatan mobilitas fisik
NIC
11
a. Perawatan Kulit: Pengobatan Topikal
Definisi: mengaplikasikan zat topikal atau manipulasi perangkat untuk
meningkatkan integritas kulit dan meminimalkan kerusakan kulit
Aktifitas-aktifitas:
a) Jangan menggunakan alas kasur bertekstur kasar
b) Bersihkan dengan sabun antibakteri dengan tepat
c) Pakaikan pasien pakaian yang longgar
d) Sapu kulit dengan bubuk obat dengan tepat
e) Periksa kulit bagi pasien yang beresiko mengalami kerusakan kulit
f) Dokumentasikan derajat kerusakan kulit
b. Pemberian Obat : Kulit
Definisi: mempersiapkan dan memberikan obat pada kulit
Aktifitas-aktifitas:
a) Ikuti prinsip 5 benar pemberian obat
b) Catat riwayat medis pasien dan riwayat alergi
c) Tentukan pengetahuan pasien mengenai medikasi dan pemahaman pasien
mengenai metode pemberian obat
d) Tentukan kondisi kulit pasien diatas area dimana obat akan diberikan
e) Buang sisa obat sebelumnya dan bersihkan kulit
f) Ukur banyaknya obat topikal dengan benar untuk medikasi sistemik dengan
menggunakan alat pengukur yang terstandarisasi
g) Berikan agen topikal sesuai yang diresepkan
h) Sebarkan obat di atas kulit sesuai kebutuhan
i) Monitor adanya efek samping lokal dan sistemik dari pengobatan
j) Ajarkan dan monitor teknik pemberian mandiri, sesuai kebutuhan
k) Dokumentasikan pemberian obat dan respons pasien sesuai dengan protokol
institusi
2. Resiko infeksi
Definisi: beresiko terserang organisme patogen
NOC: Kontrol Resiko: Proses Infeksi
Definisi: tindakan individu untuk mengerti, mencegah, mengeliminasi, atau
mengurangi ancaman terkena infeksi
12
Tidak Jarang Kadang- Sering Secara
pernah menunjuk kadang menunjuk konsisten
menunjuk kan menunjuk kan menunjuk
kan kan kan
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Indikator
Mencari informasi 1 2 3 4 5
terkait kontrol infeksi
Mengidentifikasi faktor 1 2 3 4 5
resiko infeksi
Mengenali faktor resiko 1 2 3 4 5
individu terkait infeksi
Mengetahui 1 2 3 4 5
konsekuensi terkait
infeksi
Mengetahui perilaku 1 2 3 4 5
yang berhubungan
dengan resiko infeksi
Mengidentifikasi resiko 1 2 3 4 5
infeksi dalam aktifitas
sehari-hari
Mengidentifikasi tanda 1 2 3 4 5
dan gejala infeksi
Mengklarifikasi resiko 1 2 3 4 5
infeksi yang di dapat
Memonitor diri yang 1 2 3 4 5
berhubungan dengan
resiko infeksi
Memonitor faktor di 1 2 3 4 5
lingkungan yang
berhubungan dengan
risiko infeksi
Memonitor masa 1 2 3 4 5
inkubasi penyakit
infeksius
Mempertahankan 1 2 3 4 5
lingkungan yang bersih
Melakukan tindakan 1 2 3 4 5
segera untuk
mengurangi resiko
Menggunakan fasilitas 1 2 3 4 5
kesehatan yang sesuai
dengan kebutuhan
13
NIC
a. Perlindungan infeksi
Definisi: pencegahan dan deteki dini infeksi pada pasien beresiko
Aktifitas-aktifitas:
a) Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sitemik dan lokal
b) Monitor hitung mutlak granulosit, WBC, dan hasil-hasil diferensial
c) Pertahankan asepsis untuk pasien beresiko
d) Berikan perawatan kuliat yang tepat untuk area yang mengalami edema
e) Periksa kulit dan selaput lendir untuk adanya kemerahan, kehangatan ekstrim,
atau drainase
f) Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
g) Anjurkan istrahat
h) Ajarkan pasien dan keluarga mengenal tanda dan gejala infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada pemberi layanan kesehatan
i) Ajarkan pasien dan keluarga bagaiman cara menghindari infeksi
c. Perawatan luka
Definisi: pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka
Aktifitas-aktifitas:
a) Cukur rambut disekitar daerah yang terkena, sesuai kebutuhan
b) Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau
c) Bersihkan dengan normalsaline atau pembersih yang tidak beracun dengan tepat
d) Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
e) Anjurkan pasien dan keluarga pada prosedur perawatan luka
f) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
14
Keseluruhan
Indikator
Keseimbangan 1 2 3 4 5
Koordinasi 1 2 3 4 5
Cara berjalan 1 2 3 4 5
Gerakan otot 1 2 3 4 5
Gerakan sendi 1 2 3 4 5
Kinerja pengaturan tubuh 1 2 3 4 5
Berlari 1 2 3 4 5
Melompat 1 2 3 4 5
Berjalan 1 2 3 4 5
Bergerak dengan mudah 1 2 3 4 5
NIC
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Morbus hansen atau kusta/lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke orgna lain kecuali susunan saraf pusat.Morbus hansen di klasifikasi menjadi 2
tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini departemen
kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan
penderita kusta.
B. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Daili ESS, Menaldi SS., Ismiarto SP., Nilasari H. (2003). Kusta. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Philadelphia: Elsevier.
Internasional, N. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 -21017 Edisi
10. Jakarta: EGC.
Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (2000). Ilmu kesehatan anak nelson vol.2.
Jakarta: EGC.
Joseph, G. A., & Rao, P. S. (2015). Impact of leprosy on the quality of life. ProQuest nursing
and Allied health source, 515-527.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Profil kesehatan indonesia tahun 2014.
Retrieved Agustus 16, 2015, from Kementerian kesehatan republik indonesia:
www.depkes.go.id
WHO. (2015). Retrieved Agustus 16, 2015, from World Health Organization: www.who.int
Nurarif, Amin H & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction: Jogja
(2007). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima. Dalam A. Djuanda, M. Hamzah, &
S. Aisah (Penyunt.). Jakarta: FKUI.
Sermrittirong, S., Brakel, W. H., Aelen, J. B., Niorn, A., & Chaidee, N. (2015). Addressing
Stigma related to Leprosy: Lessons from an Intervention Study in Thailand.
International Journal of Tropical Disease & Health, 5(1), 48-63.
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2015). Kusta. Universitas Sumatra Utara.
17