Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

“ MORBIS HANSEN ”

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Adha Falahul Lail (170103033) Chintya Dewi Nurul K (170103015)

Eka Yuliyana (170103025) Dinda Puput Oktavia (170103022)

Imam Fauzan Arifin (170103038) Fiskalisa Zulfa Zhafira (170103033)

M. Nur Rozak (170103054) Leila Dara Rosyida (170103046)

Baety Rumandani (170103065) Putri Lutfiatul Ulum (170103070)

Refianti Putri Kusuma (170103073) Suratih Nusantara (170103088)

Vadilla Rachma Zein (170103094) Wiwit Arif Hidayat (170103098)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alami, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam.
Atas segala karunia nikmatNya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Makalah yang berjudul “Makalah Keperawatan Medikal Bedah II Morbis Hansen”
disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
II.

Makalah ini berisi tentang penyakit Morbis Hansen atau disebut juga dengan Kusta.
Dalam penyusunannya melibatkan berbagai sumber, baik dari jurnal, dari buku panduan
pembelajaran Keperawatan Medikal Bedah, dan dari masukan teman-teman saya. Oleh sebab
itu saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusinya dalam membantu
penyusunan makalah ini.

Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Besar harapan saya makalah ini dapat menjadi sarana membantu masyarakat dalam
memahami penyakit Morbis Hansen dan mengantisipasi jika terkena penyakit ini.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat
dari karya ini.

Purwokerto, 23 Oktober 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
C. Tujuan ......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi ......................................................................................................... 5
B. Etiologi ......................................................................................................... 5
C. Klasifikasi ..................................................................................................... 6
D. Cara Penularan .............................................................................................. 7
E. Tanda dan Gejala .......................................................................................... 8
F. Faktor Risiko ................................................................................................ 9
G. Patofisiologi .................................................................................................. 11
H. Komplikasi .................................................................................................... 12
I. Pemeriksaan penunjang ................................................................................ 12
J. Penatalaksanaan ............................................................................................ 14
K. Pathway ........................................................................................................ 16
L. Konsep Asuhan Keperawatan ....................................................................... 16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kusta merupakan penayakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula
menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang
dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai ke masalah social, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Deokes RI, 2007).
Menurut World Health Organization (WHO) kusta merupakan salah satu dari tujuh
belas penyakit tropis yang terabaikan dan membutuhkan perhatian khusus dunia (Smith,
2012). Kusta dikenal juga sebagai “The Great Imitator Disease” karena manifestasi yang
mirip dengan banyak penyakit kulit lainnya seperti infeksi jamur kulit, sehingga
seseorang jarang menyadari bahwa dirinya telah menderita kusta (Widoyono, 2008).
Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi. World Health Organization (WHO)
mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan kasus baru kusta terdeteksi di
seluruh dunia dengan kasus tertinggi berada di regional Asia Tenggara yakni sebesar
154.834 kasus. Prevalensi kusta pada awal tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per
100.000 penduduk. Indonesia menduduki peringkat ketiga negara dengan endemic kusta
terbanyak setelah India dan Brazil. Kejadian Kusta masih sangat tinggi di beberapa
negara, terutama negara berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat
kemiskinan dan kepadatan penduduk (Philipsborn, 2015).
Jumlah penderita kusta di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu 10 tahun
terakhir data jumah penderita kusta di Indonesia tidak mengalami penurunan. Sekitar 17
ribu penderita kusta baru ditemukan di seluruh Indonesia. Jumlah penderita kusta nomer
tiga di dunia setelah India dan Brazil. Jumlah penderita kusta masih tinggi diantaranya
Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan dan maluku. Khusus Jawa Timur merupakan
wilayah dengan jumlah penyandang kusta terbanyak di Indonesia. Penyebaran penderita
dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni Jember, Situbondo, Bondowoso,
Probolinggo, Pasuruan, Sampang, Sumenep, Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Tuban
dan Lamongan.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari Morpus Hansen?
2. Bagaimana etiologi dari Morpus Hansen?
3. Bagaimana klasifikasi jenis-jennis dari Morpus Hansen?
4. Bagaimana cara Morpus Hansen menularan ke orang lain?
5. Bagaimana tanda dan gejala dari Morpus Hansen?
6. Bagimana faktor risiko dari Morpus Hansen?
7. Bagaimana patofisiologi dari Morpus Hansen?
8. Bagaimana komplikasi dari Morpus Hansen?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada penyakit Morpus Hansen?
10. Bagaimana penatalaksanaan dalam Morpus Hansen?
11. Bagaimana pathway asuhan keperawatan dari Morpus Hansen?
12. Bagaimana konsep asuhan keperawatan untuk pasien yang menderita Morpus
Hansen?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami definisi dari Morpus Hansen.
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami etiologi dari Morpus Hansen.
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami klasifikasi jenis-jennis dari Morpus
Hansen.
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara Morpus Hansen menularan ke
orang lain.
5. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tanda dan gejala dari Morpus Hansen.
6. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami faktor risiko dari Morpus Hansen.
7. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami patofisiologi dari Morpus Hansen.
8. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami komplikasi dari Morpus Hansen.
9. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang pada penyakit
Morpus Hansen.
10. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami penatalaksanaan dalam Morpus
Hansen.
11. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pathway asuhan keperawatan dari
Morpus Hansen.
12. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan untuk
pasien yang menderita Morpus Hansen.
4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Penyakit Morbus Hansen atau Lepra biasa disebut penyakit Kusta. Penyakit kusta
adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae)
yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali
susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun
sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi
cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Morbus hansen (kusta) adalah suatu penyakit
infeksi menahun akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae. Masalah yang
timbul tidak hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis,
ekonomi dan sosial bagi penderitanya (Amiruddin, 2006). Disimpulkan bahwa penyakit
kusta adalah penyakit kulit menahun yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium leprae yang awalnya menyerang saraf tepi, kemudian dapat menyebar
menyerang organ lain, seperti kulit, selaput mukosa, testis dan mata serta jika tidak
diobati dengan tepat akan menimbulkan kecacatan fisik pada penderita. Penyakit kusta
muncul diakibatkan karena adanya faktor penyebab.

B. Etiologi
Penyebab munculnya penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang
ditemukan pertama kali oleh G. H. Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri ini masuk
ke dalam tubuh manusia melalui luka pada permukaan kulit atau bisa juga melalui
droplet yang dihembuskan dari saluran pernafasan. Sehgal (dalam Putra, 2012)
mengatakan bahwa Mycobacterium leprae memiliki ciri-ciri yaitu tahan asam, bersifat
gram positif, berbentuk batang, lebar 0,3-0,4 mikrometer, panjang 2-7 mikometer,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan, serta hidup di
dalam sel yang banyak mengandung lemak dan lapisan lilin. Dengan pewarnaan Ziehl-
Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah terang,
dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-pecah
(fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu

5
rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro). Mycobacterium leprae
membelah dalam kurun waktu 21 hari, sehingga menyebabkan masa tunas yang sangat
lama yaitu 4 tahun. Munculnya penyakit kusta tersebut ditunjang oleh cara penularan.

C. Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus
ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan
manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan
bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi. Terdapat banyak
jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah :
a. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953)
1) Interdeterminate ( I )
2) Tuberkuloid ( T )
3) Bordeline ( B )
4) Lepromatosa ( L )

b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962) :


1) Tuberkuloid – tuberkuloid ( TT )
2) Bordeline – tuberkuloid ( BT )
3) Bordeline – bordeline ( BB )
4) Lepramatosa – lepramatosa ( LL )

c. Klasifikasi WHO (1997)


Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu
tipe Paucibacillary (PB) dan Multibacillary (MB). Dasar klasifikasi ini adalah
negatif dan positifnya basil tahan asam (BT) dalam skin smear.

6
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut
WHO adalah sebagai berikut :
Paucibacillary Multibacillary
Tanda Utama
Baciler (PB) Baciler (MB)
Bercak Kusta Jumlah 1 sampai Jumlah lebih dari 5
dengan 5 lesi lesi
Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (Gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa atau
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
bersangkutan)
Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan
tahan asam (BTA asam (BTA positif)
negatif)

D. Cara Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athimic nude mouse)
(DepKesRI, 2006: 9).
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiller (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui,
tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernafasan dan kulit.
Timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung
dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan
Sumber penulatan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan
menularkan kusta, apabila berobat teratur.

7
2. Faktor Kuman Kusta
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada
suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuamn kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.

E. Tanda dan Gejala


Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit kusta ditetapkan
dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu :
a. Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih
(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous), penebalan kulit
(plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba,
suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian;
b. Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi
saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalami
kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan (paralisis), dan gangguan pada saraf
otonom berupa kulit kering dan retak-retak.

Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita mengalami
demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan menurun, mual dan kadang-
kadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta juga mengalami sakit kepala, kemerahan
pada testis, radang pada pleura, radang pada ginjal, terkadang disertai penurunan fungsi
ginjal, pembesaran hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf (Zulkifli, 2003).
Gejala utama pada pasien morbus Hansen yaitu kelainan lesi kulit yang mati rasa.
Lesi berwarna kemerahan yang dapat timbul di seluruh badan. Bagian kulit yang terkena
tersebut tanpa rasa gatal dan rasa sakit karena hilangnya sensibilitas atau parestesia
akibat distribusi saraf tepi yang terkena mengalami kerusakan. Selain itu, akan terjadi
atrofi dan kelemahan otot.
Pada fase yang lebih lanjut, dapat terjadi foot drop dan claw hand akibat rasa sakit
neuritik dan kerusakan saraf perifer secara cepat. Lagophthalmos, iridosiklitis, ulserasi
kornea, dan / atau katarak sekunder karena kerusakan saraf dan kulit basiler langsung
atau invasi pada mata.

8
F. Faktor Risiko
1. Jenis Kelamin
Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan
kesehatannya dibandingkan laki-laki.Jenis kelamin berkaitan dengan peran
kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin
,perempuan lebih sering mengobatkan dirinya dibandingkan laki-laki (Soekidjo
Notoatmodjo,2003:114).
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.Menurut catatan sebagian
besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak terserang dari pada wanita.Relatif rendahnya kejadian kusta pada
perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti
kebanyakan penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor
risiko sebagai akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 2007: 8).

2. Umur
Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan
data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko
spesifik umur.Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai
umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun).Namun yang terbanyak adalah pada
umur muda dan produktif. Diagnosis umur kusta pada fenomena Lucio diketahui
antara umur 15 hingga 71 tahun dengan rata-rata umur 34 tahun (Depkes RI, 2007:
8; Latapi’s Lepromatosis, 2005:177).
Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui diketahui terjadi pada semua
umur, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Kejadian suatu
penyakit erat hubungannya dengan umur. (DepKes RI , 2006;:8).

3. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang
dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak bekerja, pelajar,
pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja
bengkel, penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah (2012) tentang
analisis faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes tahun 2010, prosentase
9
jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang tidak berisiko sebesar
14,5%. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan
dengan kejadian kusta.Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian
sehari-hari yang mayoritas dilakukan warga sekitar wilayah kerja puskesmas
kunduran adalah Petani.

4. Status Sosial
Faktor ini juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kusta adalah tingkat
ekonomi atau status sosial, yang bisa dideskripsikan dengan besarnya
penghasilan.Besarnya penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan hidup kesehariannya, termasuk kebutuhan makan dan kesehatan. Jika
kebutuhan akan makanan sehat tidak terpengaruhi maka dapat melemahkan imunitas
atau daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit (Indan, 2004:24).

5. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan


Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara
(mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Tingkat pendidikan
dianggap sebagai salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan
seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial (Soekidjo
Notoatmodjo, 2005: 26; Budioro, 1997:113).
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya).Secara sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek yang berbeda-beda (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:50). Pengetahuan
yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan seseorang dalam mengetahui
gejala, cara penularan penyakit kusta dan penanganannya.

6. Personal Hygiene
Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung
jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya
penyakit menular, terutama yang ditularkan secara kontak langsung (Nur Nasry
Noor, 2006: 24). Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi
10
menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang
lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar
keringat, dan diduga melalui saluran air susu ibu (Arief Mansjoer, 2000:65).

G. Patofisiologi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita
kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik
Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit
kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang
berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah
kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan
adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan
bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah
ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, tidak ditemukan bakteri
tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah
Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta
lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat
keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah ditemukan
oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta
lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda
tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri.
Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha mengukur
masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi.
11
Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik
dan kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit morbus Hansen
bergantung pada kerentanan imun seseorang. Individu yang memiliki sistem imunitas
seluler yang tinggi terhadap M. Leprae menyebabkan penyakit berkembang ke arah
bentuk tuberkoloid yang biasanya melibatkan kulit dan sistem saraf tepi. Jumlah lesi
pada kulit terbatas. Keterlibatan saraf tepi biasanya asimetrik atau hanya mengenai 1
bagian saja. Penyakit ini juga mengarah pada paucibacillary leprosy karena rendahnya
jumlah bakteri pada lesi di kulit. Pada individu ini, tes kulit (skin test) dengan
menggunakan antigen dari organisme yang telah mati menunjukan hasil positif. Bila
sistem imunitas selulernya rendah, maka akan berkembang ke arah lepromatosa. Yang
ditandai dengan lesi kulit, biasanya berupa infiltrat nodul dan plak. Distribusi gangguan
saraf tepi simetris, organisme berkembang optimal pada suhu 27-30°C. Bentuk penyakit
ini mengarah pada multibacillary leprosy karena jumlah bakteri yang ditemukan pada
lesi banyak, serta hasil dari skin test dengan antigen organisme yang telah mati tidak
reaktif. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas
infeksi. Oleh karena itu, penyakit kusta disebut penyakit imunologik.

H. Komplikasi
1. Arthritis
2. Sepsis
3. Amiloid sekunder.
4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang sangat
kronis. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal) atau
hipersensitivitas humoral (tipe 2/ eritema nodosum leprosum).

I. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan Serologi Tes
Serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak dilakukan saat ini.
Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan
untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini
diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam
12
darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi
klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak manfaatnya,
khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan
ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan karena tanda-tanda
klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik
terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada
seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada
kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam
darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup
tinggi.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain:
1. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
2. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh
Armadillo yang diberi label radio aktif.
3. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan
antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di
lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
4. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae
menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk
serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang
utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan
sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
5. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis
interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi
tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.

13
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk
mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi
atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif
untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat
bantu berupa spektrofotometer.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang
terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut,
selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat
mikro untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:
1. Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
2. Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang
dilabel enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder
yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
3. Sandwich ELISA
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA,
hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu
dipurifikasi.

J. Penatalaksanaan
1. Pemberian Obat
a. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)
1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

14
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)
1) 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan
b. Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)
1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
2) 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
3) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
1) 1 tablet Lampren 50 mg
2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) 16 1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan

2. Modifikasi Lingkungan Sekitar


Salah satu yang harus di modifikasi adalah keadaan rumah antaranya :
a. Kondisi fisik bangunan : kondisi fisik bangunan rumah yang ditempati dapat
mempengaruhi status dan derajat kesehatan penghuninya, baik itu rumah
permanen, semi permanen dan non permanen.
b. Ventilasi : ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan sehingga pertukaran
oksigen didalam ruangan terjaga.
c. Suhu : suhu rumah yang terjaga serta memenuhi syarat sehingga tidak akan
mempengaruhi derajat kesehatan penghuninya.
d. Kelembaban : kelembaban rumah yang terjaga dan memenuhi syarat sehingga
tidak menjadi tempat media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme seperti
bakteri.
e. Kepadatan hunian : keadaan dimana kondisi antara jumlah penghuni dengan luas
seluruh rumah seimbang, sehingga tidak mempermudah penularan penyakit yang
ditularkan lewat udara

15
K. Pathway

L. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pada pengkajian klien penderita kusta dapat ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
a. Aktivitas/ istirahat
Tanda : Penurunan kekuatan otot, gangguan massa otot, perubahan tonus otot.
b. Sirkulasi
Tanda : Penurunan nadi perifer, Vasokontriksi perifer.

16
c. Integritas ego
Gejala : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : Ansietas, menyangkal, menarik diri.
d. Makanan/cairan : Anoreksia
e. Neurosensori
Gejala : Kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi.
Tanda : Peruubahan perilaku, penurunan refleks tendon.
f. Nyeri kenyamanan
Gejala: Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri.
g. Pernapasan
Gejala: Ventilasi tidak adekuat, takipnea.
h. Keamanan
Tanda: lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi
umumnya berupa macula, papula dan nodul.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
b. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
c. Gangguan aktivitas b/d post amputasi
d. Resti injuri b/d invasif bakteri

3. Intervensi
a. Diagnosa Keperawatan 1
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping
indifidu
Tujuan : Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan
Kriteria hasil :
• Klien dapat menerima perubahan dirinya
• Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
• Klien tidak merasa malu
Intervensi :
• Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan
bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
17
• Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan
otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
• Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

b. Diagnosa Keperawatan 2
Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria hasil :
• Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
• Klien tenang
• Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
• Kaji skala nyeri klien
• Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
• Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
• Awasi keadaan luka operasi
• Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
• Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

c. Diagnosa Keperawatan 3
Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan : Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah
dilakukan tindakan keperaatan.
Kriteria hasil :
• Klien dapat beraktivitas mandiri
• Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
• Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
• mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
• Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik dan disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluller obligat. Bakteri ini berbentuk batang
serta tahan asam dan bakteri ini akan menyerang saraf perifer, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, bakteri ini juga dapat ke organ tubuh yang lainnya
kecuali ke susunan saraf pusat. Penyakit Morbus Hansen ini dapat di bagi menjadi Pausi
Basiller dan Multi Basiller. Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat dari klinis pasien dan
juga pemeriksaan bakteriologi.
Gejala klinis yang dapat ditemui pada morbus Hansen berupa kelainan saraf tepi
(kerusakaan dapat bersifat sensorik, motorik, dan autonomik). Kerusakan sensorik ini
dapat berupa hipoanastesi, anastesi pada lesi. Kerusakan motorik akan memberikan
gejala kelemahan otot (ekstremitas, muka, otot mata). Sedangkan kerusakan autonomik
menyebabkan kerusakan persarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang nampak
lebih kering.
Pengobatan untuk penyakit Morbus Hansen atau Lepra ini adalah dengan
menggunakan obat-obatan anti-lepra seperti rifampin, clofazimine, dan dapsone. Lama
pengobatan untuk penyakit morbus Hansen ini adalah 12-18 bulan. Oleh karena itu,
ketaatan dalam pengobatan perlu ditanamkan pada pasien untuk mencegah kegagalan
pengobatan maupun resistensi obat yang diberikan. Selain pengobatan farmakologi,
rehabilitasi juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, terutama bagi
pasien yang mengalami tekanan dari masyarakat.
Edukasi bagi pasien juga akan membantu proses pemulihan pasien morbus Hansen.
Penting bagi pasien untuk menjaga daya tahan tubuh dan kebersihan lingkungan. Tidak
hanya itu, motivasi juga harus diberikan bagi pasien, baik dari dokter, keluarga, bahkan
masyarakat sekitar agar penyakit morbus Hansen tidak menjadi wabah. Kesembuhan
total akan mudah didapat apabila tindakan penanganan dan edukasi dilakukan dengan
baik bagi pasien.

19
B. Saran
Dengan kita belajar materi ini kita bisa menjaga pola hidup kita menjadi lebih baik
kedepannya. Kita bisa menghindari factor risiko yang akan menyebabkan morbis hensen.
Kedepannya keperawatan tentang penyakit ini semakin maju dan kita bisa berkontribusi
dalam perawatannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Indriani, Silvia. 2014. Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta.
Semarang: Universitas Negeri Semarang

Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra). Universitas Sumatra Utara.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37321/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta

http://digilib.unila.ac.id/6730/13/BAB%20II.pdf

http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-811408003-bab2-13082012035518.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai