PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot,
tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara
yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi
pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang
ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka
kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya
imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115
negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi
terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun
sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari
prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang
terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi
terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Di India
jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada
tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga
banyak ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih
dari 5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya
11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002
ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe
1
MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%)
pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur
paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada
tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan
yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial
ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya
menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek
atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada
kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan
masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit
ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan
untuk melaporkan angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak
diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah
penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya
penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih
memahami penyakit kusta dan penanggulangannya.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan yang terkait dengan
2.
3.
Bagaimana klasifikasinya?
2
4.
Bagaimana patogenesisnya
5.
6.
Bagaimana komplikasinya ?
7.
8.
9.
1.3. TUJUAN
Tujuan umum
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa mampu memahami dan
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan kusta.
Tujuan Khusus
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dalam memahami
upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang meliputi definisi ,dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang
menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya
2.2.
Etiologi
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang
saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan
masa tunasnya antara 40 hari 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman
penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8
micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satusatu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
2.3.
Epidemiologi
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui
saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman
mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui
air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Timbulnya penyakit
kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada
beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial
ekonomi dan iklim. Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari
pasien tipe MB (multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur. Bila
seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan
menjadi indeterminate.
Dari
5% indeterminate,
30%
bermanisfestasi
klinis
menjadi determinate dan 70% sembuh. Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang
panas dan lembab. Insidens penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per
10.000 penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada
kelompok anak umur 10-12 tahun.
4
2.4.
Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal. Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung
pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke
arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasiyang sedikit.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk
tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit )
untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu
menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya
setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan
kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada
intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.
Imunitas tinggi
Imunitas rendah
Tipe tuberkoloid
Tipe Lepramatosa
Saraf
Sensoris
saraf
motorik
saraf
otonom
mati rasa
kelumpuhan
lesi pd kulit
kelemahan
menyerang kulit
& mukosa hidung
kulit kering
proses inflamasi
kerusakan
kulit
integritas
kulit
lesi pada kulit
hidung
kerusakan
tulang rawan
nyeri
hidung
gangguan konsep diri
kemerahan
gangguan citra tubuh
2.5.
Manifestasi Klinis
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis.
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut.
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
2. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa
makula, papul, atau nodul.
3. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas
7
dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.Pada beberapa kasus ditemukan
basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai
kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta
atau penyakit lain.
2.6.
Klasifikasi
Klasifikasi
tipe
TT
(tuberkoloid),
BT
2.7.Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
a)
Tipe Tuberkoloid ( TT )
8
kontrol healing ( + ).
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis
atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot,
b)
c)
cenderung simetris.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
d)
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe
LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
e)
Tipe Lepromatosa ( LL )
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
9
Stadium lanjutan :
Penebalan kulit progresif
Cuping telinga menebal
Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
2.8. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. Program
multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun
1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
10
Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta
2.10.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-antibodi
(respon humoral) dengan akibat merugikan pasien.
11
Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan dan
sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun esudah mulai
pengobatan.
1. Jenis Reaksi
a. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline)
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebakan
seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor
pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan
pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).
b. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum)
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana
basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk
antibodi dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun
terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat
mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema
nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis)
dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada
organ tubuh lainnya.
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi
lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat
imunisasi, dan malaria) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung
sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.
2. Penatalaksanaaan Reaksi
Prinsip pengobatan pemberian obat anti reaksi. Obat yang dapat digunakan
adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti implamasi. Dosis
obat yang digunakan sebagai berikut :
Prednison
30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau
dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur
teratogenik.
Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila
tidak ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4
minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari).
50 mg/hari
Pemberian analgesik dan sedatif. Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah
aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan
termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan
analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan sebagai
analgesik.
cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk
ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat
yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasuskasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke
Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan
penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi
penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
1.
2.
3.
4.
2.12.
dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak
sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan
untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental
diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk
memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani
pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi
sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang
kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu
pemasaran hasil usaha pasien.
14
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a)
Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b)
c)
d)
e)
Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus
hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan
menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan
15
f)
g)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
1. Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2. Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
3. Sistem persarafan:
Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
(lagophthalmos).
Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya
dapat pecah-pecah.
4. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya
kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5. Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),
bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan).
16
Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras
dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
3.2. DiagnosaKeperawatan
1.
2.
3.
4.
Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
Intervensi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi
berhenti dan berangsur-angsur
sembuh.
Kriteria :
o Menunjukkan regenerasi
jaringan
o Mencapai penyembuhan
tepat waktu pada lesi
1.
Kaji/catat warna lesi,
perhatikan jika ada jaringan
nekrotik dan kondisi sekitar
luka.
Rasional
1. R/ Memberikan
inflamasi dasar
tentang terjadi proses
inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi
daerah yang terdapat
2.
Berikan perawatan
lesi..
2. R/ Menurunkan
khusus pada daerah yang
terjadinya penyebaran
terjadi inflamasi.
inflamasi pada
jaringan sekitar.
3.
Evaluasi warna lesi dan
3. R/ Mengevaluasi
jaringan yang terjadi
perkembangan lesi
inflamasi perhatikan adakah
dan inflamasi dan
penyebaran pada jaringan
mengidentifikasi
sekitar.
terjadinya komplikasi.
4.
Bersihkan lesi dengan
sabun pada waktu direndam. 4. R/ Kulit yang terjadi
lesi perlu perawatan
khusus untuk
mempertahankan
kebersihan lesi..
5.
Istirahatkan bagian
5.
R/ Tekanan pada lesi
yang terdapat lesi dari
bisa maenghambat
tekanan.
proses penyembuhan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi
berhenti dan berangsur-angsur
1.
Observasi lokasi,
intensitas dan penjalaran
nyeri.
1. R/ Memberikan
informasi untuk
membantu dalam
memberikan
17
hilang.
Kriteria :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi
dapat berkurang dan nyeri
berkurang dan beraangsurangsur hilang.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan kelemahan fisik
dapat teratasi dan aktivitas
dapat dilakukan.
Kriteria :
Pasien dapat melakukan
aktivitas sehari-hari
Kekuatan otot penuh
2.
Observasi tanda-tanda
vital.
3.
Ajarkan dan anjurkan
melakukan tehnik distraksi
dan relaksasi.
4.
Atur posisi senyaman
mungkin
intervensi.
2. R/ Untuk mengetahui
perkembangan atau
keadaan pasien.
3. R/ Dapat mengurangi
rasa nyeri.
4. R/ Posisi yang
nyaman dapat
menurunkan rasa
5.
Kolaborasi untuk
nyeri.
pemberian analgesik sesuai
5.
R/ Menghilangkan
indikasi.
rasa nyeri.
1.
Pertahankan posisi
1. R/ Meningkatkan
tubuh yang nyaman..
posisi fungsional pada
ekstremitas.
2.
R/ Oedema dapat
2.
Perhatikan sirkulasi,
mempengaruhi
gerakan, kepekaan pada
sirkulasi pada
kulit.
ekstremitas.
3.
Lakukan latihan
3.
R/ Mencegah secara
rentang gerak secara
progresif
konsisten, diawali dengan
mengencangkan
pasif kemudian aktif
jaringan,
meningkatkan
4.
Jadwalkan pengobatan
pemeliharaan fungsi
dan aktifitas perawatan untuk
otot/sendi.
memberikan periode
istirahat.
5.
Dorong dukungan dan
bantuan keluaraga/orang
yang terdekat pada latihan.
.
4. R/ Meningkatkan
kekuatan dan
toleransi pasien
terhadap aktifitas.
5. R/ Menampilkan
keluarga/orang
terdekat untuk aktif
dalam perawatan
pasien dan
memberikan terapi
lebih konstan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan tubuh dapat
berfungsi secara optimal dan
konsep diri meningkat.
Kriteria :
1.
Kaji makna perubahan
pada pasien.
1. R/ Episode traumatik
mengakibatkan
perubahan tiba-tiba.
Ini memerlukan
dukungan dalam
perbaikan optimal.
2. R/ Penerimaan
18
1.
Pasien menyatakan
penerimaan situasi diri
2.
Memasukkan perubahan
dalam konsep diri tanpa harga
diri negatif
2.
Terima dan akui
perasaan sebagai
ekspresi frustasi,
respon normal
ketergantungan dan
terhadap apa yang
kemarahan. Perhatikan
terjadi membantu
perilaku menarik diri.
perbaikan.
3.
Berikan harapan dalam 3. R/ Meningkatkan
perilaku positif dan
parameter situasi individu,
memberikan
jangan memberikan
kesempatan untuk
kenyakinan yang salah.
menyusun tujuan dan
rencana untuk masa
depan berdasarkan
realitas.
4.
Berikan penguatan
4.
R/ Kata-kata
positif.
penguatan dapat
mendukung
terjadinya perilaku
5.
Berikan kelompok
koping positif.
pendukung untuk orang
5. R/ Meningkatkan
terdekat.
ventilasi perasaan dan
memungkinkan
respon yang lebih
membantu pasien.
19
BAB III
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami buat, dapat di simpulkan
sebagai berikut :
1. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ
tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh
penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
2. Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang
penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan
penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di
klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline
tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe
lepromatosa (LL)
3. Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum
tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar
dan banyak.
c. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus seryta peroneus.
d. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
e. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
f. Alis rambut rontok
g. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
4. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini
adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi
oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesiesMycobacterium, berukuran
panjang 1 8 micro, lebar 0,2 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram
20
positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi
oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan
asam.
5. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui,
tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernapasan dan kulit.
6. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya
kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun.
Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5
tahun.
7. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan,
metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi
karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi,
dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri.
4.2.
Saran
1. Agar pemerintah lebih meningkatkan upaya penyuluhan mengenai penyakit menular
khususnya penyakit kusta.
2. Agar tugas pembuatan makalah seperti ini lebih sering diberikan agar dapat
menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
21
Sjamsoe Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.
Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan,
Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.
Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius. Jakarta
http://askepkusta.blogspot.com/
Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.
Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta.
22