Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit frambusia ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan

kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal

dari kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-

daerah terpencil yang sulit dijangkau.

Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan

melalui kontak. Selama periode 1990an, frambusia merupakan permasalahan

kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara,

yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar dalam

pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini

sejak tahun 2004. Sebelumnya, penyakit ini dilaporkan terdapat di 49 distrik

di 10 negara bagian dan pada umumnya didapati pada suku-suku didalam

masyarakat. India kini telah mendeklarasikan pemberantasan penyakit

frambusia dengan sasaran tidak adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan

membebaskan India bebas dari penyakit ini sebelum tahun 2008. yaitu

Zeroincidence + No sero positive cases among < 5 children.

Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan 8 dari 30

provinsi 95% dari keseluruhan jumlah kasus yang dilaporkan tiap tahunnya

dilaporkan dari empat provinsi, yaitu : Nusa Tenggara Timur, Sulawesi

Tenggara, Papua dan Maluku. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit

ini sempat tersendat pada tahun-tahun terakhir, terutama disebabkan oleh


keterbatasan sumber daya. Upaya-upaya harus diarahkan pada dukungan

kebijakan dan perhatian yang lebih besar sangat dibutuhkan demi pelaksanaan

yang lebih efektif dan memperkuat program ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Frambusia ?

2. Apa Penyebab Frambusia ?

3. Bagaimana Reservoir dan Waktu Generasi Frambusia ?

4. Bagaimana Mode Of Transmission Frambusia ?

5. Bagaimana Distribusi Penyakit Frambusia ?

6. Bagaimana Upaya Pencegahan Frambusia ?

7. Bagaimana Pengobatan Frambusia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Frambusia

2. Untuk Mengetahui Penyebab Frambusia

3. Untuk Mengetahui Reservoir dan Waktu Generasi Frambusia

4. Untuk Mengetahui Mode Of Transmission Frambusia

5. Untuk Mengetahui Distribusi Penyakit Frambusia

6. Untuk Mengetahui Upaya Pencegahan Frambusia

7. Untuk Mengetahui Pengobatan Frambusia


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Frambusia

Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh

Treptonema pallidum ssp.pertenue yang memiliki 3 stadium dalam proses

manifestasi ulkus seperti ulkus atau granuloma (mother yaw), lesi non-

destruktif yang dini dan destruktif atau adanya infeksi lanjut pada kulit, tulang

dan perios. Penyakit ini adalah penyakit kulit menular yang dapat berpindah

dari orang sakit frambusia kepada orang sehat dengan luka terbuka atau

cedera/ trauma.

Frambusia adalah penyakit menular, kumat-kumatan, bukan termasuk

penyakit menular venerik, yang disebabkan oleh Treponema palidum subs.

pertinue dengan gejala utama pada kulit dan tulang.

Penyakit frambusia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps

(berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang disebut

Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu

penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di

kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah

bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”.

Frambusia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan

masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang

buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya

fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas
kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan

masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah

bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dan alami karena sifatnya yang tidak

menimbulkan rasa sakit pada penderita..

B. Agent

Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh

Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari

Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan

seksual, tetapi dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit

penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah

beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, dan banyak hujan, yang

dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi

lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat

penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.

C. Reservoir dan Waktu Generasi

Sumber utama penyakit ini adalah Manusia dan mungkin primata kelas

tinggi. Penyakit ini ditularkan melalui kontak kulit-ke-kulit, dengan infeksi

lesi (luka) bakteri masuk ke tubuh melalui iritasi (yang sudah ada sebelumnya)

pada kulit, gigitan dan cakaran. Dalam waktu sembilan puluh hari (tetapi

biasanya kurang dari satu bulan) dari infeksi yang tidak menyakitkan tapi

khas, ‘ibu yaws’ muncul. Ini merupakan nodul (bintil) menyakitkan yang

membesar dan kemudian menjadi berkutil. Kadang-kadang, anakannya

(bintil) pun bermunculan secara bersamaan.


Tahap utama ini terjadi dalam waktu enam bulan. Tahap kedua terjadi

dalam hitungan bulan sampai bertahun-tahun kemudian, dan ditandai dengan

munculnya lesi-lesi di kulit yang meluas areanya di tubuh manusia, termasuk

‘kepiting patek’ di telapak tangan dan kaki dengan desquamation

(pengelupasan lapisan luar kulit). Lesi sekunder ini sering memborok. Dan

kemudian menjadi sangat berinfeksi, tapi sembuh setelah enam bulan

kemudian atau lebih. Sekitar sepuluh persen orang kemudian terus

mengembangkan penyakit tersier dalam lima sampai sepuluh tahun (sebelum

lesi tersier, lesi sekunder dapat datang dan pergi). Lesi tersier dicirikan oleh

kerusakan yang luas pada tulang, sendi-sendi dan jaringan lunak, yang dapat

meliputi penghancuran luas pada tulang dan tulang rawan hidung

(rhinopharyngitis mutilans atau ‘gangosa’).

Masa penularan bervariasi dan dapat memanjang yang muncul secara

intermiten selama beberapa tahun barupa lesi basah. Bakteri penyebab infeksi

biasanya sudah tidak ditemukan pada lesi destruktif stadium akhir.

D. Mode Of Transmission

Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun

tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :

1. Penularan secara langsung (direct contact) .

Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari

penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala

menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit

seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada


lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara

jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.

2. Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .

Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan

perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam

persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput

lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu

masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.

E. Distribusi Penyakit

1. Wilayah

Frambusia merupakan penyakit yang tumbuh subur didaerah

beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang

dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi

lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang

padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.

Penyakit ini biasanya banyak ditemui pada penduduk pedesaan terutama

didaerah yang padat penduduknya miskin dan status gizi yang kurang.

Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada

tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa

(Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi

Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Alor, Belu

dan TTS, Kabupaten Sumba Timur khususnya Kecamatan Nggaha Ori

Angu), Sulawesi, Maluku dan Papua.


Penyakit ini di temukan di tempat-tempat yang terpencil atau

pedalaman dan jauh dari kota-kota besar, hal ini karena keterbatasan

sumberdaya, dana dan kemiskinan dan masih eratnya masyarakat

kesukuan di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau untuk pelayanan

pengobatan frambusia aktif dan pasif. (WHO, 2006)

2. Golongan Usia dan Jenis Kelamin

Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah

tropis di pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada anak-anak umur

antara 2–15 tahun (> 95%).

Distribusi penyakit frambusia pada laki-laki dan perempuan

berbeda. Hal ini disebabkan karenya adanya perbedaan cara hidup

(kegiatan sehari-hari). Dalam usia muda lebih banyak laki-laki yang

terkena karena laki-laki banyak bermain dan bergaul sehingga

kemungkinan lebih mudah terjadi luka (infeksi). Pada usia dewasa lebih

banyak wanita yang terkena karena dalam usia ini wanita banyak kontak

dengan anak-anak yang menderita frambusia.

F. Upaya Pencegahan

1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)

Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor

penyebab, lingkungan serta factor penjamu.

a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk

mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah

mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi,


yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab

penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan

menghilangkan sumebr penularan maupun memutuskan rantai

penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka

memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau

menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan

penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau

menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan

masyarakat.

b. Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan

fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan

serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan

lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang

pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah

tangga, hubungan antar individu dan kehidupan sosial masayarakat.

c. Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi,

status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian

imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya,

peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha

menghindari pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan

fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.


2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)

Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang

menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan

menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua

ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat

dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta

untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah

terjadinya akibat samping atau komplikasi.

a. Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha

surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan

kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain

sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara

umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang

efektif.

b. Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang

dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.

3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)

Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit

Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan

permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau

mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam

mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan

lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah

terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia.

Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial

seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi

mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.

G. Pengobatan

Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang dewasa

dan untuk 1,2 juta unit untuk anak-anak. Hingga saat ini, penisilin merupakan

obat pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan tetrasiklin atau

eritromisin 2 gr/hari selama 5-10 hari.

Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan

pengobatan utama adalah benzatin penisilin, dan pengobatan alternatif dapat

dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.

Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai

berikut :

1. Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun

>5% maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.

2. Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5%

maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan

pengobatan.

3. Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/

dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan

pengobatan.
4. Pada anak sekolah untuk setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan

seluruh murid dalam kelas yang sama.

H. Jurnal

ABSTRAK

Latar belakang: Frambusia masih merupakan masalah penyakit infeksi

kulit di Indonesia. Ditemukan lebih dari 200 kasus frambusia per 10.000

penduduk di Propinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya di Kecamatan Nggaha

Ori Angu Kabupaten Sumba Timur.Terdapat kemungkinan bahwa orang yang

kontak erat dengan pasien frambusia telah terinfeksi, namun

asimtomatik.Kelompok ini adalah termasuk sumber infeksi yang perlu

mendapat pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

frekuensi kontaktan frambusia di wilayah kerja Puskesmas Nggaha Ori Angu

Kabupaten Sumba Timur Propinsi NTT dengan tes serologis yang positif.

Subyek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

terhadap hasil uji kualitatif tes serologis RPR serum orang kontak serumah

pasien frambusia klinis di wilayah kerja Puskesmas Nggaha Ori Angu

Kabupaten Sumba Timur Propinsi NTT.

Hasil: Ditemukan 50 orang pasien frambusia klinis dan 85 orang

kontaktan. Sebagian besar pasien adalah anak-anak.Dari 50 pasien, 50%

menunjukkan hasil tes serologis positif. Dari 85 kontaktan, 35,29% positif dan

64,71% negatif. Dari 25 pasien dengan tes serologis negatif, 31,25%

kontaktannya menunjukkan serologis positif.


Kesimpulan: Frekuensi kontaktan frambusia di Wilayah Kerja Puskesmas

Nggaha Ori Angu Kabupaten Sumba Timur Propinsi NTT dengan hasil tes

serologis yang positif adalah 35,29%. (MDVI 2011; 38/s; 14s - 17s)

Kata kunci: Frambusia, kontak serumah, uji serologis, rapid plasma reagin

PENDAHULUAN

Frambusia disebut juga yaws, pinta, atau bejel, merupakan penyakit tropis

menyerang kulit dan tulang yang disebabkan oleh Treponema palidum subsp.

Pertenue, sebagai bakteri penyebab penyakit sifilis. Frambusia bukan penyakit

menular seksual akan tetapi cara penularannya yaitu melalui kontak langsung

dari kulit ke kulit. Frambusia terns menjadi endemik di sepanjang daerah

tropis yang ditandai dengan suhu panas, kelembaban tinggi, dan hujan deras.

Kondisi ini, ditambah dengan keadaan kemiskinan, sanitasi yang buruk,

kepadatan penduduk, dan kurangnya pengawasan kesehatan masyarakat,

memungkinkan untuk frambusia. Antara tahun 1952 dan 1964, yang WHO

dan UNICEF melakukan kampanye besar di seluruh dunia untuk

menghilangkan treponematoses endemik dengan memperlakukan 300 juta

orang di 46 negara dengan benzatin benzilpenisilin, mencapai tingkat

keberhasilan 95%; Namun, ada kemunculan kembali frambusia pada 1970-an.

Pada tahun 1995, WHO memperkirakan ada 460.000 kasus infeksi dari

frambusia di seluruh dunia, dengan 400.000 di Afrika barat dan tengah,

50.000 di Asia Tenggara, dan sisanya di daerah tropis lainnya.


EPIDEMIOLOGI

Subspesies pertenue telah diidentifikasi pada primata di Afrika (17% dari

populasi gorila liar di Republik Demokratik Kongo membawa subspecies

pertenue), studi menunjukkan bahwa eksperimental inokulasi manusia dengan

penyebab isolat frambusia sebesar. 9,58 Namun, tidak ada bukti transmisi

antara manusia dan primata, atau dari frambusia di negara-negara seperti

Kamboja, Malaysia, dan Vietnam, di mana kontak antara orang dan monyet

umum. Program pemberantasan frambusia oleh WHO dan NICEF di 46

negara menyebabkan pengurangan dalam jumlah kasus dari perkiraan 50 juta

di 1952, untuk 2 • 5 juta pada tahun 1964. Pada akhir 1970-an, penyakit mulai

muncul kembali, yang mengakibatkan WHO pada tahun 1978 untuk

memperbaharui upaya pemberantasan penyakit, ada bukti yang berkembang

bahwa jumlah kasus di beberapa negara terns meningkat

ETIOLOGI

a. Treponema Pallidum subspecies Pertenue

Treponema pallidum adalah bakteri penyebab penyakit frambusia

dari subspecies pertenue termasuk Genus Treponema termasuk bakteri

anaerob, Filum Spirochaeles, Kelas Spirochaetes, Ordo Spirochaetales,

Family Spirochaetaceae. Treponema pallidum subspecies pertenue

penyebab frambusia yang tidak dapat ditemukan pada histopatologi,

serologi dan imunologi atau terapi dari jenis bakteri treponema seperti

Treponema pallidum subspecies pallidum yang menyebabkan sifilis dan

Treponema pallidum subspecies carateum yang menyebabkan penyakit


pinta. Treponema adalah bakteri spesifik yang menyebabkan penyakit

yaws, sifilis dan pinta. Masing-masing treponema hanya berbeda pada cara

penularan, kriteria klinik penyakit, dan menginfeksi binatang dan hewan.

Penelitian menemukan sebuah perbedaan antigen pada salah satu asam

amono pada posisi 40 dalam rangkaian protein bemama glutamin dalam

TpFl pada subspecies pallidum dan argininge dalam TyFl subspesies

pertenue.Treponema pertenue adalah bakteri spirochete berbentuk spiral

dengan lapisan paling luar dan membrane sitoplasmik dan sebuah lapisan

tipis peptidoglikan.Bakteri tesebut memiliki flagella periplasmic atau

endoflagella, yang terdapat pada ruang periplasmic.Filament flagella

mempunyai lapisan struktur pelindung pada permukaan yang terdiri dari 4

polipeptida.T. pallidum mengandung 8 membran yang mengandung

lipoprotein.Partikel protein intramembran -70 per mm2 pada membrane

terluar yang memberikan struktur yang berbeda dari jenis spirochetes dan

bakteri gram negative yang terdiri dari 7 kali jumlah protein. Partikel

membran luar jarang didistribusikan dan berukuran sama yang

menunjukkan bahwa ada beberapa jenis protein dalam membran luar. T.

pertenue ditemukan sebagai organisme mikroaerofilik dapat bertahan

dengan baik dalam waktu lebih dari 30 jam.Secara perlahan tumbuh dan

pada bakteri tersebur menunjukan bahwa pada in vivo maupun in vitro

memiliki keterbatasan metabolism dan pertumbuhan yang belum

diidentifikasi.Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa kemampuan

bakteri untuk memetabolisme glukosa dan sintesis DNA, RNA dan


protein.Frambusia adalah penyakit kulit menular yang dapat berpindah

dari orang sakit frambusia kepada orang sehat dengan luka terbuka atau

cederaJ trauma. Frambusia bukan merupakan penyakit menular seksual,

akan tetapi menular melalui berbaginya alat makan dan minum sama

dengan penularan melalui kulit ke kulit.

b. Faktor yang Berpengaruh Penularan Frambusia

1 Jarang ganti pakaian

2 Bergantian memakai pakaian yang sama dengan pasien

3 Personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang buruk

4 Tinggal didaerah padat penduduk

c. Patofisiologi

Treponema pallidum subspecies pertenue ditularkan secara

intradermal antara manusia melalui penularan pus yang terdapat pada lesi

terbuka.Pus tersebut mengandung treponema, yang masuk pada tubuh host

yang mengalami abrasi pada kulit atau membrane mukosa.Treponema

berpindah sel epitel melalui jalur antara sel dan menempel pada

permukaan yang dilapisi oleh fibronektin pada matrix ekstraseluler pada

sel host.Penempelan pada fibronektin menyebabkan peningkatan sintesis

pada fibroblast dalam sel. Antibody dalam sirkulasi darah menempel pada

antigen treponema dan mencetuskan teijadinya respon inflamasi yang

meningkatkan besamya lesi.Rendahnya konsentrasi antigen

memperlihatkan permukaan sel T. pertenue dihipotesiskan menjadi

penyebab dari pathogenesis bakteri, karena terbatasnya permukaan antigen


menurunkan kemampuan antibodi sel host yang mengenali

antigen.Pemeriksaan radioimmunoprecipitation membuktikan bahwa

subspecies pertenue mempunyai penurunan ekspresi protein oada

permukaan sel yang memiliki perbedaan dengan subspecies

pallidum.Antigen yang menjadi immunodominan dalam T. pertenue

adalah antigen dengan molekul 47 kDa, yang memperlihatkan pada

subspecies T.pallidum.antibody monoclonal 11E3 dan 13C6 bereaksi

dengan antigen pada permukaan sel bakterinya pada respon imun yang

melawan bakteri. Pada penelitian menjelaskan antara T. pallidum dan T.

pertenue, pada pemeriksaan binding assay dan mikroskop electron

memperlihatkan bahwa antigen pada permukaan sel T. pallidum tapi pada

permukaan bakteri T. pertenue mengalami penurunan.Beberapa penelirian

mengindikasikan bahwa menurunnya antigen 47 kDa mengalami

pathogenesis dengan menurunkan kepekaan bakteri oleh antibody host.

Ditemukannya immunoglobulin M dan immunoglobulin G pada system

imun neonates dan guinea pigs dewasa memperlihatkan resiko infeksi pada

anakanak, yang terlihat dari epidemiologi terjadinya frambusia pada anak-

anak berusia dibawah 15 tahun. Pada sebuah penelitian memperlihatkan

guinea pigs dewasa memperlihakan peningkatan antibody sebanyak lima

kali yang telah terpapar T. pertenue diabndingkan dengan neonates.

Antibody yang didapatkan lebih banyak pada dewasa tiga sampai enam

minggu setelah infeksi, ketika neonates tidak mencapai puncak setelah

enam sampai sembilan minggu setelah paparan bakteri. Banyak aspek


pada pathogenesis bakteri T. pertenue yang masih belum diketahui tapi

perbedaan antibody, antigen, dan berbagai jenis protein memperlihatkan

kompleks yang berbeda pathogenesis dengan subspecies T. pallidum.

Infeksi Gejala
frambusia
lanjut

Gejala Masa laten


pertama dini
Masa laten
lanjut

Gejala Sembuh
frambusia sendiri
dini

d. Manifestasi Klinik

1 Primer: setelah periode inkubasi bakteri Treponema pallidum

pertenue selama 3 minggu. Lesi primer terbentuk setelah garukan,

gigitan atau abrasi pada kulit yang mengalami luka

terbuka.Frambusia terbentuk krusta berwama coklat dan berukuran

diameter 1-5 cm. Krusta yang mengeras dan lalu terlepas yang

berbentuk mirip dengan raspberry.Raspberry tersebut berisi bakteri

treponema, membuat lesi tersebut sangat infeksius.Selama fase ini,

seseorang yang terinfeksi dapat mengalami limfadenopati, demam

dan nyeri sendi.Frambusia sembuh secara spontan dalam 2-9 bulan,

meninggalkan scar atrofi dengan central yang hipopigmentasi dan

tepi hiperpigmentasi.
2 Sekunder: setelah fase primer 6-1 6 minggu kemudian, sebuah lesi

kulit berupa erupsi, lesi tulang dan keluhan konstitusional lainnya

muncul. Lesi secara kutan muncul namun lebih kecil dengan

diameter berukuran lebih dari 2 cm, dan biasanya berlokasi di

mulut dan hidung. Lesi pada fase sekunder terdapat ulkus dan

ekskresi cairan peradangan dengan treponema yang dapat

mengering menjadi krusta.Lesi tersebut pada permukaan kulit

dapat menjadi menebal, menjadi plak hiperkeratotik yang dapat

menjadi flsura atau erosi.Lesi macular dan hiperkeratotik pada

telapak tangan dan telapak kaki, yang mitip pada lesi yang

ditemukan pada pasien sifilis.Seseorang yang terinfeksi dapat

mengalami nyeri osteopetrosis (pengerasan tulang). Beberapa

perubahan tulang secara dini dapat diobservasi dengan radiograf.

Manifestasi selama fase ini adalah geneally non-scarring dan

reversible. Pasien dapat mengalami kekambuhan lebih dari 5 tahun

setelah infeksi awal. Penyakit kemudian memasuki sebuah periode

non infeksi dimana pasien tidak mengalami gejala atau tanda

apapun.

3 Tersier: Setelah 5-15 tahun, merupakan fase terlambat dan ditanai

dekstruksi lesi di kulit, lesi di tulang dan secara neurologi dan

kerusakan mata. Pelebaran dan berkurangnya rasa nyeri pada nodul

subkutan dan abses, nekrosis dan ulkus. Ulkus yang terbentuk pada

fase ini dapat menjadi infeksius. Ulkus tersebut dapat membentuk


kelompok yang bila sembuh membentuk keloid, yang membentuk

deformatis dan kontraktur.

e. Klasifikasi Frambusia

1 Frambusia menular : initial lesions gejala permulaan, multiple

papillomata yang tersebar, “ Wet crab ” yaws bubul,.other early

skin lesion yaitu gejala dini lain pada kulit, hyperkeratosis

2 Frambusia tidak menular : bone and joint lesions gejala pada tulang

dan sendi

a) Gummata ulcer

b) Gangosa

c) Other manifestation

3 Pasien dalam masa laten

a) Pemeriksaan Diagnosis frambusia dibuat oleh evaluasi klinis

dari lesi dan dikonfirmasi oleh adanya treponema pada

mikroskop gelapbidang serum yang diperoleh dengan meremas

dasar dari lesi.

1) Radiologi

Studi radiologis tidak spesifik tetapi bisa termasuk

salah satu temuan berikut: striations permukaan

(periostitis), penebalan kortikal dengan membungkuk

(saber shin deformitas), reaksi periosteal, ekspansi tulang,

berbentuk guma kehancuran, pemisahan epifisis, scan

tulang seperti bintang frontal.


2) Tes Serologis

Tes serologi untuk frambusia identik dengan untuk

sifilis pada penyakit kelamin, termasuk yang cepat yaitu

dengan tes reagen plasma (RPR), tes Venereal Disease

Research Laboratory (VDRL), fluorescent treponemal

antibody absorption (FTA-ABS),T pallidumimmobilization

(TPI), dan T pallidum hemagglutination assay (TPHA).

RPR dan VDRL reaktif 2-3 minggu setelah timbulnya lesi

primer, dan mereka umumnya tetap reaktif di semua

tahapan.Tes serologi dapat membedakan frambusia dari

treponematoses nonvenereal lainnya; Oleh karena itu,

diagnosis akhimya berdasarkan korelasi temuan klinis,

sejarah epidemiologi, dan hasil serologi positif yang

sugestif frambusia.Biopsi lesi akhir mungkin diperlukan

untuk menunjukkan histopatologi karakteristik.

f. Histologis

Temuan histologis di frambusia awal meliputi acanthosis,

papillomatosis, dan spongiosis. Treponema ditemukan di epidermidis.

Eksositosis neutrophilic dengan formasi intraepidermal microabscess

adalah penemuan yang paling khas.Dermis memiliki moderat untuk

padat menyusup granulomatosa yang terutama terdiri dari sel-sel

plasma dan limfosit, dengan beberapa histiosit, neutrofil, dan eosinofll.

Tidak seperti sifilis, proliferasi endotel tidak ada atau rendah.


Frambusia akhir memiliki temuan histologis mirip dengan sifilis

tersier, termasuk menyusup dermal intens terdiri dari sel epiteloid, sel

raksasa, limfosit, dan fibroblas.Kaseasi nekrosis juga dapat diamati.Sel

plasma dan histiosit, berbeda dengan frambusia awal, langka.Perak

noda (Steiner) dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai

treponema antara keratinosit di frambusia awal.Mereka terlihat dalam

pola mirip pita atau dalam kelompok di epidermis.Tidak seperti T

pallidum, yang ditemukan di kedua epidermis dan dermis, T

pallidumpertenue hampir seluruhnya epidermotropic. Mikroskop

elektron dari lesi awal menunjukkan treponema langka di cluster dalam

ruang antar epidermis antara sel-sel inflamasi, dalam sitoplasma

makrofag, dan pada dermis.

g. Diagnosis Banding

1) Sifilis

Gambaran yang hampir mirip dengan sifllis karena disebabkan

oleh bakteri yang sama dengan penyebab sifllis. Namun pada sifllis

dapat ditemukan penularannya melalui riwayat hubungan seksual.

a) Kusta

Gambaran efloresensi yang hampir mirip dengan kusta,

akan tetapi pada penyakit kusta ditemukan adanya anaestesi

pada lesi.
2) Ulkus tropikum

Luka yang sangat nyeri dan biasanya terdapat pada tungkai

bawah, berbeda dengan frambusia, luka menunjukkan batas atau

bagian tepi yang tegas. Gambaran pada ulkus tersebut dapat

ditemukan adanya nanah yang dapat masuk ke lebih dalam yaitu

daerah tendon ataupun tulang

h. Penatalaksanaan

Dalam satu studi pada anak-anak di Papua Nugini, azitromisin oral

ditemukan menjadi altematif yang bertujuan untuk mengobati patek.

Dalam penelitian ini, anak-anak usia 6 bulan sampai 15 tahun yang di

diagnosis dengan frambusia secara acak menerima 30 mg / kg dosis

oral azitromisin atau intramuskular (IM) injeksi 50.000 unit / kg

benzatin benzilpenisilin. Setelah 6 bulan, 96% dari pasien dalam

kelompok yang menggunakan azitromisin sembuh, dibandingkan

dengan 93% pada benzatin benzilpenisilin kelompok.Rekomendasi

pengobatan epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut:

1) Jika lebih dari 50% dari anak-anak yang seropositif

(hiperendemis), mengobati seluruh penduduk

2) Jika 10-50% dari anak-anak yang seropositif (mesoendemic),

mengobati kasus aktif, kontak, dan semua anak-anak berusia 15

tahun atau lebih muda.


3) Jika kurang dari 10 anak-anak yang seropositif (hypoendemic),

mengobati kasus aktif, anggota rumah tangga, dan kontak yang

jelas lainnya

1) Medikamentosa

Penisilin merupakan obat pilihan untuk frambusia. Setelah suntikan

penisilin tunggal, lesi awal menjadi tidak menular setelah 24 jam dan

sembuh dalam 1-2 minggu. Tetrasiklin, eritromisin, atau doxycycline

harus dipertimbangkan untuk pasien yang alergi terhadap

penisilin.Penisilin tetap obat pilihan untuk frambusia. Tidak ada strain

resisten dari T pallidum yang dilaporkan. Benzatin benzyl penisilin

adalah obat pilihan untuk mengobati frambusia.Di daerahdaerah

terpencil di mana benzatin benzilpenisilin tidak tersedia, oral penisilin

selama 7-10 hari dapat mengurangi prevalensi frambusia dan efektif

dalam mengobati individu dengan lesi aktif.

2) Antibiotik

Terapi antimikroba empiris harus komprehensif dan harus

mencakup semua patogen kemungkinan seperti benzatin

benzilpenisilin harus dihindari pada pasien yang alergi terhadap

penisilin.; tetrasiklin, azitromisin, atau eritromisin adalah terapi

altematif.

3) Penisilin G benzatin

Penisilin G benzatin mengganggu sintesis mucopeptides dinding

sel selama multiplikasi aktif, yang menghasilkan aktivitas bakterisida.


Hal ini diberikan sebagai injeksi tunggal, yang membunuh treponema

dalam beberapa menit, dan lesi menjadi tidak menular setelah 18-24

jam.

4) Azitromisin

Azitromisin adalah antibiotik semisintetik yang secara struktural

mirip dengan eritromisin.Menghambat sintesis protein dalam sel

bakteri dengan mengikat subunit 50S ribosom bakteri.Dalam sebuah

studi pada anakanak di Papua Nugini. azitromisin oral ditemukan

menjadi altematif untuk mengobati patek; 96% dari pasien yang

menggunakan golongan azitromisin sembuh, dibandingkan dengan

93% pada benzatin benzyl penisilin.

5) Tetrasiklin

Tetrasiklin memperlakukan gram-positif organisme dan gram

negatif, serta mikoplasma, klamidia, dan infeksi riketsia.Menghambat

sintesis protein bakteri dengan mengikat dengan 30S dan, mungkin,

subunit 50S ribosom.Tetrasiklin dapat digunakan pada orang dewasa

dan pada anak-anak yang lebih tua dari 8 tahun dan alergi terhadap

penisilin.

6) Eritromisin

Yang Eritromisin menghambat pertumbuhan bakteri, mungkin

dengan menghalangi disosiasi peptidil RNA dari ribosom,

menyebabkan sintesis protein tergantung RNA untuk menangkap.Hal

ini digunakan untuk pengobatan infeksi stafilokokus dan streptokokus.


Pada anak-anak, dosis yang tepat ditentukan oleh usia, berat badan,

dan beratnya infeksi. Ketika dosis dua kali sehari yang diinginkan,

setengah dari total dosis harian dapat diambil setiap 12 jam. Untuk

infeksi yang lebih berat, dosis dapat dua kali lipat.Eritromisin dapat

digunakan pada orang dewasa dan anak-anak alergi terhadap penisilin.

7) Doxycycline

Doxycycline dapat digunakan pada orang dewasa dengan alergi

penisilin. Menghambat sintesis protein dan, dengan demikian,

pertumbuhan bakteri dengan mengikat 30S dan, mungkin, 50S subunit

ribosom bakteri rentan

i. Pencegahan

Berbagai jenis antibiotic seperti tetrasiklin yang dapat digunakan

untuk mengobati pasien yang terinfeksi. Medikamentosa digunakan

untuk pencegahan yang biasa digunakan untuk mengobati berbagai stage

pada frambusia dengan penisilin G benzathine karena efek samping yang

minimal. Tetrasiklin dapat meningkatkan hipoprotrombinemic

menghasilkan dalam memperlambat terbentuknya clot pada darah atau

dapat menyebabkan terjadinya perdarahan secara tiba-tiba. Penisilin G

benzathine sebagai bakterisidal karena mepengaruhi biosintesis dinding

sel selama pertumbuhan.Sebuah injeksi dapat membunuh treponema

dalam beberapa menit, dan lesi dapat mengalami perbaikan dalam waktu

hampir satu hari. Penelitian pada tahun 1900an, terponema jenis lain

seperti sifilis yang mirip dengan frambusia yang tidak terlalu banyak
memiliki perbedaan paada antigen dan respon imunologi. Pada lesi kulit,

lesi tulang dan lesi pada persendian, yang sering pada frambusia dan

sifilis yang tidak memiliki perbedaan yang terlihat. Sifilis juga dapat

diobati dengan penisilin G benzathine.,

j. Prognosis

Jika frambusia tidak diobati, frambusia bisa menjadi kronis,

kambuh penyakit setelah 5-15 tahun, dengan manifestasi klinik pada

kulit, tulang, dan sendi.3’4,10. Pada kebanyakan pasien, frambusia

masih terbatas pada kulit, tetapi tulang dan keterlibatan sendi dapat

terjadi. Meskipun lesi pada frambusia menghilang secara spontan,

infeksi bakteri sekunder dan jaringan parut dapat terjadi yang dapat

menimbulkan komplikasi urn urn. Dalam 10% kasus frambusia, pasien

memasuki tahap akhir (tahap tersier) ditandai dengan lesi kulit yang

destruktif dan sangat deformasi tulang dan lesi sendi. Kerusakan jaringan

terjadi di frambusia stage akhir ireversibel. Neurologis dan oftalmologi

juga dapat teijadi.Kambuh dapat terjadi interval hingga 5 tahun setelah

infeksi.

KESIMPULAN

Frambusia ditularkan melalui kontak kulit langsung dan terutama

mempengaruhi anak-anak muda dari 15 tahun, dengan puncak insidensi pada

mereka yang berusia 6-10 tahun.Mirip dengan sifllis, frambusia bisa bertahan

selama bertahun-tahun sebagai kronis, kambuh penyakit. Frambusia terns

menjadi endemik di sepanjang daerah tropis yang ditandai dengan suhu panas,
kelembaban tinggi, dan hujan deras. Kondisi ini, ditambah dengan keadaan

kemiskinan, sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, dan kurangnya

pengawasan kesehatan masyarakat, memungkinkan untuk frambusia. Faktor

yang mempengaruhi penularan penyakit frambusia yaitu jarang ganti pakaian,

bergantian memakai pakaian yang sama dengan pasien, personal hygiene dan

sanitasi lingkungan yang buruk, tinggal didaerah padat penduduk Penisilin

merupakan obat pilihan untuk frambusia. Setelah suntikan penisilin tunggal,

lesi awal menjadi tidak menular setelah 24 jam dan sembuh dalam 1-2

minggu. Tetrasiklin, eritromisin, atau doxycycline harus dipertimbangkan

untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada awal terjadinya infeksi frambusia, agen akan berkembang biak

didalam jaringan penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa

papiloma yang berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang

basah, lembab, tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan

peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian. Apabila

tidak segera diobati agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta

persendian. Proses penyebaran frambusia ada 2, yaitu penularan secara

langsung (direct contact), dan penularan secara tidak langsung (indirect

contact).

Gejala klinis frambusia terdiri atas 3 stadium yaitu : Stadium I, Stadium II

atau masa peralihan, dan Stadium III, selain itu juga dibagi lagi dalam

beberapa tahapan, antara lain : tahap prepatogenesis, tahap inkubasi, tahap

dini, tahap lanjut, dan tahap pasca patogenesis.

B. Saran

Frambusia merupakan penyakit kulit yang dapat menular, banyak hal yang

dapat membuat penyakit frambusia dapat terjadi, salah satunya yaitu kondisi

tempat tinggal yang kotor dan tidak sehat. Oleh karena itu, di harapkan bagi

semua masyarakat untuk selalu memperhatikan kondisi lingkungannya, dan

menjaga kesehatan baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan tempat

tinggal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Santos MA, et al. Yaws: Rebound of a forgotten disease. Global Dermatology.

2015. 2(3): 143-147. 2. Mitja O, et al. Yaws. February 13, 2013 3. Mitja O, et al.

Outcome predictors in treatment of yaws. Emerging Infectious Diseases. June 201

l .Vol .17: 6. 4. Galadari HI, et al. Yaws. Medscape.Agustus 2015. 5.

Pusponegoro E. Frambusia. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI. Jakarta.

2015. Edisi 7: 146-150. 6. Capuano C, et al. Yaws in the western pacific region: a

review of the literature. Journal of Tropical Medicine. 2011 Rapose A. Yaws and

pinta - the pain is gone but the memories remain. Journal of ancient diseases &

preventive remedies. 2013. 1:1. 7. Seenivasan MH. Treponema pertenue,

Treponema carateum, Treponema endemicum (Yaws, Pinta, Bejel).Guided

Medline Search. December 2015. 8. Manirakiza A, et al. Clinical outcome of skin

yaws lesions after treatment with benzathinebenzyl penicillin in a pygmy

population in Lobaye, Central African Republic. BMC Research Notes

2011,4:543. 9. Gerstl S, et al. Prevalence study of yaws in the democratic republic

of Congo using the lot quality assurance sampling method.

Anda mungkin juga menyukai