Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

NEGLECTED DISEASE: KUSTA, FILARIASIS,


FRAMBUSIA

KELOMPOK 5

PUTRI CENDANA (N 201 16 083)


VINI GLEYNDA (N 201 16 088)
ZULKIFLI ANDI (N 201 16 088)
AMALIA PUTRI (N 201 16 118)
INDRIYANI NASIR (N 201 16 148)
MOH. YUSRIL (N 201 16 163)
SARI NINGSIH (N 201 16 203)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU 2018
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Epidemiologi Penyakit Menular dengan judul Neglected
Disease: Kusta, Filariasis, Frambusia.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun.

Palu, April 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tropis yang terabaikan adalah kelompok penyakit menular yang
berkembang di daerah miskin dan menghancurkan kehidupan sekitar satu miliar
orang di seluruh dunia, sementara mengancam jutaan lebih kesehatan. Dari 2,7
miliar orang termiskin di dunia (didefinisikan sebagai orang-orang yang hidup
dengan penghasulan kurang dari US $2.00 per hari), lebih dari 1
miliar dipengaruhi oleh satu atau lebih penyakit tropis terabaikan. Penyakit ini
tidak hanya bertahan hidup dan menyebar dalam kondisi kemiskinan, mereka
juga memperburuk dan mengabadikan kemiskinan masyarakat yang terkena
dampak.
Setelah tersebar luas, banyak penyakit tropis terabaikan sekarang
terkonsentrasi di daerah pedesaan terpencil yang dan juga di daerah perkotaan
kumuh dan daerah konflik. Sebagian besar penyakit ini secara bertahap
menghilang di berbagai belahan dunia karena peningkatan standar hidup dan
kebersihan. Mereka menyebabkan kebutaan, cacat, kelainan atau melukai orang-
orang yang terpengaruh. Lain seperti demam berdarah dan rabies tersebar luas
dan jangkauan geografis mereka meningkat terus menerus karena infeksi
menyebar ke daerah baru.
Penyakit tropis terabaikan termasuk berbagai penyakit yang disebabkan
oleh individu patogen, dan kelompok kondisi yang disebabkan oleh spesies
mikroba terkait. Kotak di bawah ini adalah daftar 17 kondisi yang
dipertimbangkan dalam laporan ini. Sebagian besar penyakit dalam kelompok
ini adalah penyakit parasit, yang disebabkan oleh berbagai protozoa dan cacing
parasit. Banyak dari mereka yang menyebar dengan host hewan seperti anjing,
ikan dan udang-udangan atau oleh vektor seperti nyamuk, blackflies, keong,
sandflies, lalat Tsetse, serangga dari ordo hemiptera dan lalat rumah. Lain
seperti dracunculiasis dan (sebagian) sistiserkosis, echinococcosis dan
fascioliasis ditularkan oleh air yang terkontaminasi, sementara helminthiasis
ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi dengan telur cacing parasit.
Manusia rabies infeksi biasanya terjadi setelah gigitan transdermal atau awal
oleh hewan yang terinfeksi, sering kali seekor anjing, di negara berkembang;
siklus transmisi yang diabadikan dalam kondisi pencemaran lingkungan dan
rendahnya standar hidup dan kebersihan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, pengobatan,
pencegahan, dan faktor resiko kusta?
2. Apa pengertian, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, pengobatan,
pencegahan, dan faktor resiko filariasis?
3. Apa pengertian, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, pengobatan,
pencegahan, dan faktor resiko frambusia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis,
pengobatan, pencegahan, dan faktor resiko kusta.
2. Untuk mengetahui pengertian, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis,
pengobatan, pencegahan, dan faktor resiko filariasis.
3. Untuk mengetahui pengertian, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis,
pengobatan, pencegahan, dan faktor resiko frambusia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kusta
1. Pengertian
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra
seluler obligat menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan
nama Morbus Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa
sansekerta, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala- gejala kulit secara
umum.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan
saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan
bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit
kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis, tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
2. Epidemiologi
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya
berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar
kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.
leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta
bervariasi,40 hari sampai 40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak
anak sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin
rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta, sebaliknya sosial
ekonomi tinggi membantu penyembuhan.
Berdasarkan data WHO (2013), jumlah kasus baru kusta di dunia dari
tahun 2005 sampai 2012 mencapai 2.004.590 kasus. Sedangkan untuk kasus
kusta yang terdaftar pada akhir trimester pertama tahun 2013 adalah 189.018
kasus dengan prevalensi sebesar 0,33. Wilayah endemis utama penyakit ini
adalah Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur, dan Pasifik
Barat. India merupakan negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti
Brasil dan Indonesia.
Situasi kusta di Indonesia sejak tahun 2007-2011 menunjukkan
adanya peningkatan kasus baru yang mengindikasikan bahwa penyakit kusta
masih menjadi masalah di Indonesia. Kasus baru pada tahun 2007 berjumlah
21.430 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan 21.538 kasus,
namun menurun pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010
menunjukkan penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu
dengan 19.741 kasus, dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011
dengan jumlah kasus mencapai 23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara
umum menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti terkait situasi penyakit
kusta di Indonesia, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa penyakit kusta
di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan.
Pada tahun 2011, sedikitnya 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam
beban kusta tinggi (high endemic) dan 19 provinsi lainnya (57,6) termasuk
dalam beban kusta rendah (low endemic). Pada periode tersebut dilaporkan
terdapat 20.023 kasus baru kusta yang terdiri dari kusta tipe Multi Basiler
(MB) dengan persentase 80,40% dan tipe Pausi Basiler (PB) dengan
persentase 19,60%.
3. Patogenesis
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui.
Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan
penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita kusta, Iklim (cuaca
panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik
Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa
dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak
cukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebabnya.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh
kontak antara orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dua pintu keluar
dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit
dan mukosa hidung. Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh
manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan
pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri. Masa inkubasi kusta
belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa
inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa
minggu. Namun secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata- rata dari
kusta adalah 3- 5 tahun.
4. Gejala Klinis
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain:
a. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi (bercak putih seperti
panu), bercak eritema (kemerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan).
b. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit tersebut.
c. Penebalan syaraf tepi.
d. Adanya Bakteri Tahan Asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit
(BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat
sekurang- kurangnya dua dari tanda utama cardinal sign. Bila ragu-ragu
orang tersebut dianggap sebagai suspek dan diperiksa ulang setiap tiga bulan
sampai diagnosis dapat ditegakkan. Melakukan diagnosa secara lengkap
dilaksanakan hal-hal sebagai berikut : Anamnesa, pemeriksaan klinis
yaitu pemeriksaan kulit dan syaraf tepi serta fungsinya, pemeriksaan
bacteriologis, pemeriksaan histopatologis, dan imunologis.
5. Pengobatan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masa pengobatan kusta antara
lain, Penderita harus minum obat secara teratur sampai dinyatakan
sembuh, penderita mendapat pengobatan MDT (Multi Drug Treatment) di
puskesmas secara gratis dan lama pengobatan 6 – 9 bulan pada penderita
kusta tipe PB dan 12 – 18 bulan pada penderita kusta tipe MB (Multi Basiler).
Regimen pengobatan mengikuti rekomendasi dari WHO yaitu :
a. MDT untuk kusta PB 1
Regimen obat kusta PB 1 pada penderita dewasa dengan berat
badan 50 –70 kg menggunakan rifamppicin 600 mg, ofloxasin 400
mg, minocyclin 100 mg, pada penderita anak umur kurang dari 5-14 tahun
menggunakan rifampicin 300 mg, ofloxasin 200 mg, minocyclin 50
mg dan pada penderita anak umur kurang dari 5 tahun dan ibu
hamil tidak diberi Rifampicin Ofloxasin Minocyclin (ROM). Pemberian
obat sekali saja langsung Relies From Treatmen (RFT), bila obat-obat
ini belum datang dari WHO maka sementara semua kasus PB 1 diobati
selama 6 bulan dengan regimen PB 2-5. Lesi satu dengan
pembesaran syaraf diberikan regimen PB 2-5.
b. MDT untuk kusta PB 2 – 5
Regimen obat kusta PB 2 – 5 terdiri dari 2 macam obat yaitu
Rifampicin dan Dapsone atau DDS (Diamino Diphenyl sulfon).
1) Hari ke 1 : Obat diberikan dan diminum di puskesmas dengan
pengawasan petugas puskesmas terdiri dari 2 kapsul : Rifampicin 300
mg dan 1 tablet DDS 100 mg.
2) Hari ke 2 : Obat diteruskan selama sebulan (28 hari) obat dibawa
pulang dan ditelan setiap hari di rumah yaitu tablet DDS 100 mg.
Setelah selesai minum obat sesuai dengan jumlah dosis dan
batas waktu yang ditentukan, tanpa pemeriksaan laboratorium
penderita dinyatakan RFT dan diawasi selama 2 tahun pada kusta tipe MB.
Pada penderita kusta yang terlambat diobati dengan obat MDT dapat
menimbulkan kecacatan seperti jari-jari tangan atau kaki terjadi
pemendekan atau kontraktur, tangan lunglai, kaki simper (lumpuh
lunglai) dan kebutaan. Penderita yang beresiko terjadi kecacatan
adalah penderita yang terlambat ditemukan dan terlambat diobati
dengan kombinasi MDT (Multi Drug Treatment), penderita dengan
reaksi terutama reaksi refersal dan penderita dengan banyak bercak
dikulit terletak didekat saraf.
6. Pencegahan
Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit menular secara umum yakni :
a. Pencegahan tingkat pertama
1) Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah
mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi
yang bertujuan untuk menghilangnkan mikroorganisme penyebab
penyakit, menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai
penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka
memutus rantai penularan, serta mengurangi / menghindari perilaku
yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
2) Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik
seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta
bentuk pemukiman lainnya.
3) Meningkatkan daya tahan pejamu melalui perbaikan status gizi, status
kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi
serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya serta usaha
menghindari pengaruh faktor keturunan dan peningkatan ketahanan
fisik melalui olah raga kesehatan.
b. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ditujukan pada mereka yang menderita atau
yang dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita
(masa tunas). Adapun tujuan tingkat kedua ini meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk
mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit
lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi, antara lain :
1) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha
surveillans penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan
kelompok tertentu, penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu
secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perwatan yang
efektif.
2) Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang
dicurigai berada pada proses prepatogenesis dan patogenesis penyakit
tertentu.
c. Pencegahan tingkat ketiga
Sasaran pencegahan adalah penderita yang menderita penyakit
tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau
kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakkit atau
mencegah kelainan akibat penyakit tersebut. Pada tingkat ini juga
dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinnnya komplikasi dari
penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha
pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin.
7. Faktor Resiko
a. Faktor Risiko Lingkungan
1) Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya
cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet.
Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak
menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko
2,5 kali terkena kusta dibanding penghuni yang memenuhi
persyaratan.
2) Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai
rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan
ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi
syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan
jumlah penghuni ≥ 9 m2/orang dan kepadatan penghuni tidak
memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai
dengan jumlah penghuni < 9 m2 /orang. Apabila ada anggota keluarga
yang menjadi penderita penyakit kusta sebaiknya tidak tidur dengan
anggota keluarga lainnya.
3) Lantai Rumah
Secara hipotesis jenis tanah memiliki peran terhadap
proses kejadian kusta, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai
tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian
viabilitas kuman leprae di lingkungan juga sangat dipengaruhi.
Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap
air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti
tegel, semen, keramik. Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat
dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor
penyakit, menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim
panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang
berbahaya bagi penghuninya.
4) Ventilasi
Secara umum, penilaian ventilasi dan luas lantai rumah,
dengan menggunakan roll meter. Menurut indikator pengawasan
rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10%
luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah.
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Jika tidak
cukup ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan, kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media
yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri - bakteri
pathogen termasuk kuman leprae. Selain itu, fungsi kedua ventilasi
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri- bakteri,
terutama bakteri pathogen seperti leprae, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus.
5) Ketinggian
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan
suhu lingkungan. Kuman seperti leprae sangat aerob, sehingga
diperkirakan kerapatan oksigen di pegunungan akan mempengaruhi
viabilitas kuman.
b. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk
1) Sosial Ekonomi
Kebanyakan penderita kusta di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Kusta merupakan
penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita
kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya
berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab
tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta
perumahan yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses
terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
2) Umur
Penyakit kusta sering terkait umur pada saat ditemukan dari
pada saat timbulnya penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua
umur mulai bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70
tahun), namun kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-
55 tahun (76,1%), hal ini disebabkan oleh bahaya yang terpapar pada
saat beraktifitas.
3) Jenis kelamin
Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik
lakilaki mupun perempuan. Sebagian besar Negara di dunia
menunjukkan bahwa laki- laki lebih banyak terserang kusta dari pada
wanita. Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena
beberapa faktor antara lain faktor lingkungan dan faktor biologis.
Tingkat kecacatan pada laki- laki lebih besar dari pada wanita. Hal ini
berkaitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok.
4) Pendidikan
Status pendidikan berkaitan denga tindakan pencarian
pengobatan penderita kusta. Rendahnya tingkat pendidikan dapat
mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis
penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta
semakin parah. Diperoleh hasil pengamatan bahwa kelompok tidak
terpelajar (64%) lebih banyak mengalami kecacatan sekunder. Hal
ini disebabkan pada kelompok terpelajar lebih mengerti dan
mengikuti instruksi tenaga kesehatan.
5) Pekerjaan
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebagaian besar
penduduk Indonesia mencari penghasilan dengan bercocok tanam atau
bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya cacat pada
kusta.
B. Filariasis
1. Pengertian
Filariasis adalah kondisi patologis yang disebabkan oleh infeksi
nematoda filarial yang ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes, Anopheles, dan
Culex. Pengelompokan filariasis umumnya dikategorikan menurut lokasi
habitat cacing dewasa dalam tubuh manusia, yaitu filariasis kulit, limfatik,
dan rongga tubuh. Di sini akan dibahas lebih detail mengenai filariasis
limfatik. Di Indonesia, penyakit ini lebih dikenal dengan istilah kaki gajah
atau elefantiasis.
Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan
manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan
saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin.
2. Epidemiologi
Data WHO, diperkirakan 120 juta orang di 83 negara di dunia
terinfeksi penyakit filariasis dan lebih dari 1,5 milyar penduduk dunia (sekitar
20% populasi dunia) berisiko terinfeksi penyakit ini. Dari keseluruhan
penderita, terdapat dua puluh lima juta penderita laki-laki yang mengalami
penyakit genital (umumnya menderita hydrcocele) dan hampir lima bclas juta
orang, kebanyakan wanita, menderita lymphoedema atau elephantiasis pada
kakinya. Sekitar 90% infeksi disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, dan
sebagian besar sisanya disebabkan Brugia malayi. Vektor utama Wuchereria
bancrofti adalah nyamuk Culex, Anopheles, dan Aedes. Nyamuk dari spesies
Mansonia adalah vektor utama untuk parasit Brugarian, namun di beberapa
area, nyamuk Anopheles juga dapat menjadi vektor penularan filariasis.
Parasit Brugarian banyak terdapat di daerah Asia bagian selatan dan timur
terutama India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan China.
Penyakit ini diperkirakan seperlima penduduk dunia atau 1.1 milyar
penduduk beresiko terinfeksi, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah
subtropis. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma sosial,
hambatan psikososisal, dan penurunan produktivitas kerja penderita, keluarga
dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Dengan demikian penderita menjadibeban keluarga dan negara. Sejak tahun
2000 hingga 2009 di Iaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus
yang tersebar di 401 kabupaten/kota.
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan
merupakan masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga
ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia filariasis
tersebar luas, daerah endemis terdapat terdapat di banyak pulau di seluruh
nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
NTT, Maluku, dan Irian Jaya.
3. Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan
individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya
larva infektif yang masuk ke dalam tubuh adanya infeksi sekunder oleh
bakteri atau jamur. Secara urnum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi
menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut
karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan
jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran dan kerusakan kelenjer,
kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang
terdapat dikulit.
Hospes perantara dari filaria, yaitu nyamuk mendapatkan infeksi
dengan menelan mikrofilaria dalam darah yang diisapnya. Mula-mula parasit
ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1)
dalam waktu 3 hari. Dalam waktu kurang lebih seminggu larva ini bertukar
kulit tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II
(L2). Pada hari ke 10-14 selanjutnya larva ini bertukar kulit sekali lagi
tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III (L3) yang
merupakan bentuk infektif dan dapat dijumpai di dalam selubung probosis
nyamuk. Larva bermigrasi ke labela nyamuk dan masuk ke dalam kulit
hospes definitive melalui luka tusukan ketika sedang mengisap darah.
Cacing ini hidup pada pembuluh limfe di kaki. Jika terlalu banyak
jumlahnya, dapat menyumbat aliran limfe sehingga kaki menjadi
membengkak. Pada saat dewasa, cacing ini menghasilkan telur kemudian
akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria.
Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah
ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk
yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus nyamuk
lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah mengalami
pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk. Jika nyamuk itu
menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini, demikian
seterusnya.
Dalam tubuh hospes definitive (manusia), larva L3 menembus lapisan
dermis menuju saluran limfe dan berkembang menjadi larva L4 dalam waktu
9-14 hari setelah infeksi. Larva L4 kemudian berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam kelenjar limfe dan melakukan kopulasi . Mikrofilaria akan
dilepaskan oleh cacing betina yang gravid dan dapat dideteksi di sirkulasi
perifer dalam 8 sampai 12 bulan setelah infeksi. Dari saluran
limfe, mikrofilaria memasuki sistem vena lalu ke kapiler paru dan akhirnya
memasuki sistem sirkulasi perifer.
Secara ringkas, daur hidup Wucheria bancrofti, yaitu:
Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia dengan melalui gigitan
nyamuk (dari genus Culex, Aedes, dan Anopheles). Mikrofilaria masuk ke
dalam saluran limfa dan menjadi dewasa → cacing jantan dan betina
melakukan kopulasi → cacing gravid mengeluarkan larva mikrofilaria →
mikrofilaria hidup di pembuluh darah dan pembuluh limfa → mikrofilaria
masuk ke dalam tubuh nyamuk saat nyamuk menghisap darah manusia →
mikrofilaria berkembang menjadi larva stadium 1 → larva stadium 2 → larva
stadium 3 dan siap ditularkan.
Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan
karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe bukan
penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguanfungsi sistem limfatik:
a. Penimbunan cairan limfe.
b. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui
saluran limfe ke kelenjer limfe.
c. Kelenjer limfe tidak dapat menyerang bakteri yang masuk dalam kulit.
d. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang.
e. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang
ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan
cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjer limfe sehingga dapat terjadi
limfedema.
f. Pada penderita limfedema, serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur
akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi,
hiperkeratosis dan peningkatan pembentukkan jaringan ikat (fibrose tissue
formation) sehingga terjadi penigkatan stadium limfedema, dimana
pembengkakkan yang semula terjadi hilang timbul akan menjadi
pembengkakkan menetap.
4. Gejala Klinis
Gejala Filariais Akut dapat berupa, yaitu:
a. Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat
dan muncul lagi setelah bekerja berat.
b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan
paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
c. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis).
d. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
e. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema).
i. Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis)
pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
5. Pengobatan
Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat (DEC).
DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada
pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya
obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis bancrofti, dosis
yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan per hari selam 12 hari.
Sedangkan untuk filarial brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kgberat
badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah demam,
mengigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Pada pengobatan
filariasis brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan
dilakukan dalam waktu yang lebih lama.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah
antibiotic semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas
terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria.
Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
6. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara, yaitu:
a. Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk penular.
b. Membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat
perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan
genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk.
c. Membersihkan semak-semak disekitar rumah.
d. Tidur menggunakan kelambu.
e. Lubang angin (ventilasi) rumah ditutup kawat kasa halus.
f. Memakai obat gosok anti nyamuk.
g. Melakukan penyemprotan untuk membunuh nyamuk dewasa.
h. Memeriksa diri ke puskesmas atau dokter bila tetangga atau keluarga
terkena filariasis.
7. Faktor Resiko
a. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)
1) Manusia
a) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada
dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat
tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuankali.
b) Jenis Kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden
filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena pada
umumnya laki-laki lebih sering terpapar dengan vektor karena
pekerjaannya.
c) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak
terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga
yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas
alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis,
tidak semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi
belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan
patologis dalam tubuhnya.
d) Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis
mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan
darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
2) Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus
kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila
tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir,
besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas jadi jentik, 8-10
hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa.
Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukkannya dan makan
cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin
sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam
keluar dari kepompong. Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Pengetahuan kepadatan
nyamuk dan vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan
dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai
keberhasilanprogram pemberantasan vektor.
b. Lingkungan (Environment)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis
dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi
adalah daerah sungai, hutan, rawa-rawa, sepanjang sungai atau badan air
lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis Wuchereria bancrofti
tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor
yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi
lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi.
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian,
internal dan ekstemal. Lingkungan hidup internal merupakan suatu
keadaanyang dinamis dan seimbang yang seimbang yang disebut
homeostatis, sedangkan lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan
di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga komponen, yaitu:
1) Lingkungan Fisik
Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan
keadaan musim. Lingkungan fisik bersifat abiotik. atau benda mati
seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi,
dan lain-lain.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus
filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis
B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau
badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis Wuchereria
bancrofti tipe perkotaan adalah daerah kumuh, pada penduduknya dan
banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vector yaitu nyamuk
Culex quinquefasciatu.
2) Lingkungan Biologi
Lingkungan biologis adalah semua makhluk hidup yang berada
di sekitar manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Misalnya,
wilayah dengan flora yang berbeda akan mampunyai pola penyakit
yang berbeda. Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri dan virus
patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang penting dalam
terjadinya penyakit, bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena
ulah manusia.
Berdasarkan penelitian oleh Rudi Ansari (2004), terdapat
hubungan antara keberadaan tumbuhan air dengan kejadian filariasis.
Maka dapat dikatakan bahwa orang tinggal di rumah yang memiliki
tumbuhan air mempunyai risiko untuk terjadinya penularan penyakit
filariasis.
3) Lingkungan Sosial-Ekonomi
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan,
kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan,
kehidupan kemaysarakatan, organisasi sosial dan politik,
pendidikan,dan status ekonomi.
Salah satu faktor lingkungan sosial yang berhubungan dengan
kejadian filariasis adalah status ekonomi. Terdapatnya penyebaran
masalah kesehatan yang berbeda ini, pada umumnya di pengaruhi oleh
dua hal yakni karena terdapatnya perbedaan kemampuan ekonomis
dalam mencegahdan atau mengobati penyakit, dan terdapatnya
perbedaan sikap hidup dan perilaku yang dimiliki.
Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah
dapat beresiko untuk terkena filariasis. Menurut Nasrin (2008), terdapat
hubungan pekerjaan dengan kejadian filariasis. Orang yang merniliki
pekerjaan petani. buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan beresiko tertular
penyakit filariasis.
c. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial,
yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing
filarial baik limfatik maupun non limfatik, rnempunyai ciri khas yang
sama, yaitu dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan
mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
Sebanyak 32 varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai
pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria
berpengaruh terhadap resiko penularan filarial.
C. Frambusia
1. Pengertian
Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps
(berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang menyebut
Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu
penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di
kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah
bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”.
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh
Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari
Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui
hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara
kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama di
daerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang
dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi
lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat
penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Frambusia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan
yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri,
kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan
kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa
daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena
ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena
sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita.
2. Epidemiologi
Endemis epidemiologi penyakit ini terdapat di daerah beriklim panas
di Asia Tenggara dan Selatan, termaksud Indonesia dan suku-suku terasing di
Australia bagian utara, Afrika serta Amerika Latin. Frambusia terutama
menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di pedesaan yang panas,
lembab, ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada
laki-laki. Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan dari 8
dari 30 provinsi. 95 % dari keseluruhan jumlah kasus yang dilaporkan tiap
tahunnya dilaporkan dari empat provinsi : Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Tenggara, Papua dan Maluku.
Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan
kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan
1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia, namun kasus
frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika
Barat dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin,
Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik
Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia selalu berubah sesuai dengan
perubahan iklim.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun
1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara
dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per
10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target
secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari
0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1
kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku,
NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia
yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di
Indonesia maka dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai
tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak kantong frambusia
diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur,
Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT.
3. Patogenesis
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung, yaitu :
a. Penularan secara langsung (direct contact)
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari
penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala
menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit
seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya.
Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan
gejala menular dengan selaput lendir.
b. Penularan secara tidak langsung (indirect contact)
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan
perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam
persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput
lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk
ke dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang diakibatkan
oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan:
1) Infeksi effective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan
menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi
jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen
dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal
terhadap penyakit frambusia.
2) Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa
dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat
terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak
cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat
infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia.
Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung
sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang terjadi. Masa
Inkubasi dari 2 hingga 3 minggu. Masa penularan bervariasi dan dapat
memanjang yang muncul secara intermiten selama beberapa tahun barupa lesi
basah. Bakteri penyebab infeksi biasanya sudah tidak ditemukan pada lesi
destruktif stadium akhir.
Tidak ada bukti adanya kekebalan alamiah atau adanya kekebalan
pada ras tertentu. Infeksi menyebabkan timbulnya kekebalan terhadap
reinfeksi dan dapat melindungi orang tersebut terhadap infeksi dari kuman
golongan Treponema lain yang patogen.
4. Gejala Klinis
Gejala klinis terdiri atas 3 Stadium yaitu:
a. Stadium I
Stadium ini dikenal juga stadium menular. Masa inkubasi rata-rata
3 minggu atau dalam kisaran 3-90 hari. Lesi initial berupa papiloma pada
port d’ entre yang berbentuk seperti buah arbei, permukaan basah, lembab,
tidak bernanah, sembuh spontan tanpa meninggalkan bekas, kadang-
kadang disertai peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan
persendian kemudian, papula-papula menyebar yang sembuh setelah 1-3
bulan. Lesi intinial berlangsung beberapa minggu dan beberapa bulan
kemudian sembuh. Lesi ini sering ditemukan disekitar rongga mulut, di
dubur dan vagina, dan mirip kandilomatalata pada sipilis. Gejala ini pun
sembuh tanpa meninggalkan parut, walaupun terkadang dengan
pigmentasi. selain itu terdapat semacam papiloma pada tapak tangan atau
kaki, dan biasanya lembab. Gejala pada kulit dapat berupa macula, macula
papulosa, papula, mikropapula, nodula, tanpa menunjukan kerusakan
struktur pada lapisan epidermis serta tidak bereksudasi. Bentuk lesi primer
ini adalah bentuk yang menular.
b. Stadium II atau masa peralihan
Pada stadium ini, di tempat lesi ditemukan treponema palidum
pertinue. Treponema positif ini terjadi setelah beberapa minggu sampai
beberapa bulan setelah stadium I. Pada stadium ini frambusia tidak
menular dengan bermacam-macam bentuk gambaran klinis, berupa
hyperkeratosis. Kelainan pada tulang dan sendi sering mengenai jari-jari
dan tulang ekstermitas, yang dapat mengakibatkan terjadi atrofi kuku dan
deformasi ganggosa, yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat
menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi dengan
gambaran-gambaran hilangnya bentuk hidung, gondou (suatu bentuk
ostitis hipertofi), meskipun jarang dijumpai. Kelainan sendi, hidrartosis,
serta junksta artikular nodular (nodula subkutan, mudah bergerak, kenyal,
multiple), biasanya ditemukan di pergelangan kaki dekat kaput fibulae,
daerah akral atau plantar dan palmar.
c. Stadium III
Pada stadium ini, terjadi guma atau ulkus-ulkus indolen dengan
tepi yang curam atau bergaung, bila sembuh, lesi ini meninggalkan
jaringan parut, dapat membentuk keloid dan kontraktur. Bila terjadi infeksi
pada tulang dapat mengakibatkan kecacatan dan kerusakan pada tulang.
Kerusakan sering terjadi pada palatum, tulang hidung, tibia.
Manifestasi klinis frambusia juga dibagi dalam beberapa tahap, antara lain:
a. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala penyakit.
Namun, tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si
penderita.
b. Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Frambusia adalah dari 2 sampai 3 minggu
c. Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit
dengan permukaan basah tanpa nanah.
d. Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki,
sendi dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini
biasanya kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).
e. Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga
kemungkinan, yaitu:
1) Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit
dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan
10-20 % dari penderita.
2) Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih
tetap ada dalam tubuh.
3) Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan
menimbulkan cacat kepada si penderita.
5. Pengobatan
Pengobatan framboesia dilakukan dengan memberikan antibiotika.
Antibiotika golongan penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila
penderita alergi terhadap penicillin, dapat diberikan antibiotika tetrasiklin,
eritromisin atau doksisiklin.
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang
dewasa dan untuk 1,2 juta unit untuk anak-anak. Hingga saat ini, penisilin
merupakan obat pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan
tetrasiklin atau eritromisin 2 gr/hari selama 5-10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, bahwa pilihan pengobatan utama
adalah benzatin penisilin, dan pengobatan alternatif dapat dilakukan dengan
pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.
Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah
sebagai berikut:
1) Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun
>5% maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2) Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-
5% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang
diberikan pengobatan.
3) Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/
dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan
pengobatan.
6. Pencegahan
a. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor
penyebab, lingkungan serta factor penjamu.
1) Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah
mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi,
yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab
penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan
menghilangkan sumebr penularan maupun memutuskan rantai
penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka
memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau
menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan
penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau
menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan
masyarakat.
2) Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan
fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan
perumahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan
peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan
binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti
kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan kehidupan
sosial masayarakat.
3) Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi,
status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian
imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya,
peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha
menghindari pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan
fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.
b. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang
menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan
menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua
ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat
dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta
untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah
terjadinya akibat samping atau komplikasi.
1) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha
surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan
kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain
sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara
umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang
efektif.
2) Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang
dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.
c. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit
Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan
permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau
mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam
mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan
lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah
terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia.
Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial
seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi
mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.
7. Faktor Resiko
a. Distribusi
Terutama menyerang anak-anak yang tinggal didaerah tropis di
pedesaan yang panas, lembab, lebih sering ditemukan pada laki-laki.
Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan
kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an
dan 1960-an, namun penyakit frambusia muncul lagi di sebagian besar
daerah katulistiwa dan afrika barat dengan penyebaran fokus-fokus infeksi
tetap di daerah Amerika latin, kepulauan Karibia, India, Asia Tenggara
dan Kepulauan Pasifik Selatan.
b. Determinan
Faktor penyebab penyakit Framboesia adalah Treponema pallidum
sub spesies pertenue. Namun bukan hanya Agen saja tetapi lingkungan si
penjamu juga dapat mempengaruhi timbulnya penyakit Framboesia seperti
sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyrakat akan
kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat
penduduk, kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak
langsung dengan kulit penderita penyakit Framboesia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
1. Kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabakan oleh
bakteri atau kuman Mycrobacterium leprae. Penyakit Kusta menyerang kulit
dan syaraf tepi seseorang yang menyebabkan syaraf tepi orang tersebut mati
rasa, gangguan pada kulit, kelumpuhan pada tungkai dan kaki, menyerang
sistem pernapasan atas, kerusakan mata, dan membran selaput lendir. Kusta
yang menular dengan kontak langsung pada penderita dikarenakan adanya
penjalaran bakteri Mycrobacterium leprae dari kulit penderita pada orang
sehat ketika kulit mereka bersentuhan secara langsung. Telah dibuktikan
bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis
kulit.
2. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Aedes, Anopheles,
dan Culex. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan
manifestasi klinik akut bempa demam berulang, peradangan saluran dan
saluran kelenjar getah bening. Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan
dengan tujuan menghentikan transmisi penularan, diperlukan program yang
berkesinambungan dan mernakan waktu lama karena mengingat masa hidup
dari cacing dewasa yang cukup lama.
3. Pada awal terjadinya infeksi frambusia, agen akan berkembang biak didalam
jaringan penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang
berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah, lembab,
tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu
tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian. Apabila tidak segera diobati
agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian. Proses
penyebaran frambusia ada 2, yaitu penularan secara langsung (direct contact),
dan penularan secara tidak langsung (indirect contact). Gejala klinis
frambusia terdiri atas 3 stadium yaitu : Stadium I, Stadium II atau masa
peralihan, dan Stadium III, selain itu juga dibagi lagi dalam beberapa tahapan,
antara lain : tahap prepatogenesis, tahap inkubasi, tahap dini, tahap lanjut, dan
tahap pasca patogenesis.
B. Saran
Adapun saran dari makalah ini, yaitu perlu ditingkatkan surveilans
epidemiologi di tingkat Puskesmas untuk penemuan dini kasus kusta, filariasis,
dan frambusia serta pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan kusta,
filariasis, frambusia.
DAFTAR PUSTAKA

Adhi, 1997, Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.

Kamal, 2015, ‘Kurangnya Konseling dan Penemuan Kasus Secara Pasif


Mempengaruhi Kejadian Kecacatan Kusta Tingkat II di Kabupaten
Sampang’, Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 3, Hal. 290-303.

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, Media
Aeuscualpius, Jakarta.

Masrizal, 2012, ‘Penyakit Filariasis’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 7, No. 1,


Hal. 32-38.

Narudin, 2007, Penyakit Infeksi di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.

Pedoman Eradikasi Frambusia, 2007, Departemen Kesehatan RI, Dirjen


Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan.
LAMPIRAN

Filariasis pada kaki

Filariasis pada payudara Filariasis pada skrotum


Kusta

Frambusia

Anda mungkin juga menyukai