TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kecacingan
Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan masih dianggap sebagai hal
sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal jika dilihat dampak
jangka panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi
penderita dan keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu, prestasi
belajar menurun. Pengetahuan yang baik tentang suatu penyakit akan mengurangi
tingginya kejadian akan penyakit terebut. Pengetahuan yang baik akan
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Cacingan menyebabkan kehilangan
karbonhidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menimbulkan
penurunan kualitas sumber daya manusia (1, 2).
Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih
banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected
diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang
tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan
banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti
kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak
dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian. Salah satu jenis penyakit
dari kelompok ini adalah penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi
cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang
siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitic yang termasuk ke dalam
neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases,
dan kurang terpantau oleh petugas kesehatan (3).
Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth
merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi
banyak menyebabkan kerugian, karena adanya kehilangan karbohidrat dan protein
serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber
3
daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada
tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang
mampu dari sisi ekonomi (3).
Infeksi helminths yang disebabkan oleh soil-transmitted helminths (STH)
banyak ditemukan pada masyarakat yang bertempat tinggal di negara
berkembang, terutama di pedesaan. Cacing yang tergolong dalam kelompok STH
adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah
yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Empat jenis STH yang
paling sering ditemukan adalah cacing gelang (roundworm/Ascaris lumbricoides),
cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale). Laporan terakhir memperkirakan infeksi A.
lumbricoides besarnya 1,221 miliar, T. trichiura 795 juta dan cacing tambang 740
juta. Diperkirakan lebih dari dua miliyar orang mengalami infeksi di seluruh dunia
diantaranya sekitar 300 juta menderita infeksi helminth yang berat dan sekitar
150.000 kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi STH. Di samping itu infeksi
helmin juga berdampak terhadap gizi, pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan
kemunduran intelektual pada anak-anak (1, 4).
Penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya mengalami
kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita
akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan, sedang sampai
berat yang ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu
makan, rasa tidak enak di perut, gatal gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi ,
pneumonitis, syndrome Loeffler dan lain lain Masalah penyakit kecacingan di
Indonesia sangat erat kaitannya dengan iklim dan kebersihan diri perorangan,
rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk yang tinggi. Pada
saat musim hujan, udara yang lembab, rumah yang berlantai tanah, pengetahuan
sanitasi kesehatan yang rendah merupakan faktor penyebab tingginya kejadian
penyakit kecacingan (5).
Penyakit cacing kremi atau yang di dunia kedokteran biasa disebut dengan
Enterobiasis Vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah salah satu penyakit
infeksi parasit yang banyak dijumpai di masyarakat. Penyakit ini mempunyai
jantan lebih kecil daripada yang betina. Ujung posterior yang jantan melengkung
dan pada beberapa jenis mempunyai spikula dan bursa (16, 17).
a. Morfologi
Nematoda dewasa berbentuk silindris memanjang dan bilateral simetris,
bagian ujung depan dilengkapi dengan kaitan, gigi, lempeng, seta dan papila,
spekula, bursa. Dinding badan terdiri dari di bagian luar terdapat hialin, kutikula
nonseluler, kemudian epitel subkutikula, dan lapisan sel-sel otot. Lapisan kutikula
yang tipis menebal pada empat korda longitudinal, yaitu dorsal, ventral, dan dua
lateral menuju ke dalam rongga badan yang memisahkan sel-sel otot badan dalam
empat bagian. Korda ini membawa saraf longitudinal dan saluran buangan lateral
(17).
Dinding badan mengelilingi ruangan tubuh, di dalamnya terletak sistem
pencernaan, reproduksi, bagian saraf dan sistem ekskresi.Rongga badan dilapisi
oleh jaringan ikat dan lapisan tunggal sel-sel otot. Traktus digestivus (Saluran
pencernaan merupakan tabung sederhana terletak dari mulut sampaike anus,
terdiri dari mulut, esofagus, usus, rektum dan anus).Mulut dikelilingi oleh bibir,
papila dan pada beberapa spesies dilengkapi dengan kelenjar esofagus.Intestin
atau usus tengah merupakan tabung pipih dengan lumen yang lebar dan menjadi
penghubung antara esofagus dan rectum. Dinding usus terdiri dari lapisan tunggal
sel-sel koluner.Pada betina usus berakhir dengan rektum yang pendek, diliputi
kutikula.Pada jantan usus dengan saluran genital membentuk kloaka yang terbuka
melalui anus (17).
Pada cacing tidak didapati sistem sirkulasi.Cairan rongga badan mengandung
hemoglobin, glukosa, protein, garam dan vitamin yang mengisi penuh fungsi
darah. Sistem saraf terdiri dari suatu lingkaran atau komisura dari ganglia yang
berhubungan meliputi esofagus.Organ reproduksi jantan terdiri dari testis,
vasdeferens, vesikula seminalis, dan duktus ejakulatorius. Spermatozoa yang
ameboid melewati vasdeferens masuk ke vesikula seminalis, melalui duktus
ejakulatorius keluar ke kloaka.Alat kopulasinya terdiri dari satu atau dua spikula
dan kadang-kadang gubernakulum.Pada beberapa spesies mempunyai bursa
kopulatrik, alat untuk memegang yang betina waktu kopulasi. Organ reproduksi
umumnya lebih oval dan ukuran panjangnya dapat mencapai 90 m, lapisan yang
berbenjol-benjol dapat terlihat jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang
mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-300 C. Pada kondisi ini telur
tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3
minggu (18).
10
b. Trichuris trichiura
Infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) lebih sering terjadi di daerah
panas, lembab dan sering terjadi bersama sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah
cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya sedikit pasien biasanya tidak
terpengaruh dengan adanya cacing ini (19).
1. Morfologi
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4
cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari
panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina
bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu spikulum.Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum
(caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk
masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan
telur setiap hari antara 3000- 10.000 butir (19).
11
2. Daur Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.Telur tersebut
manjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu
pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh.Telur matang ialah telur yang
berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif.Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang.Larva keluar melalui telur dan masuk ke
dalam usus halus.Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan
masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak
mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari (19).
12
biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi,
anemia, lemah dan berat badan menurun (19).
c. Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
1. Morfologi
Cacing dewasa jantan berukuran panjang 7-11 mm x lebar 0,4-0,5 mm. Cacing
dewasa Ancylostoma cenderung lebih besar dari pada Necator. Cacing dewasa
jarang terlihat, karena melekat erat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya
yang berkembang dengan baik (gigi pada Ancylostoma dan lempeng pemotong
pada Necator). Telur-telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal
pembelahan.Bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kirakira, panjang 60 m dan lebar 40 m. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih
diantara embrio dengan kulit telur yang tipis (20).
2. Daur Hidup
Telur dapat tetap hidup dan larva akan berkembang secara maksimum pada
keadaan lembab, teduh dan tanah yang hangat, telur akan menetas 1-2 hari
kemudian. Dalam 5-8 hari akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap
hidup dalam tanah untuk beberapa minggu. Infeksi pada manusia didapat melalui
penetrasi larva filariform yang terdapat di tanah ke dalam kulit.Setelah masuk ke
dalam kulit, pertama-tama larva di bawa aliran darah vena ke jantung bagian
kanan dan kemudian ke paru-paru. Larvamenembus alveoli, bermigrasi melalui
bronki ke trakea dan faring, kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di
sana. Mereka melekat di mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara,
sebelum struktur mulut permanen yang khas terbentuk. Bentuk betina mulai
mengeluarkan telur kira-kira 5 (lima) bulan setelah permulaan. Infeksi, meskipun
periode prepaten dapat berlangsung dari 6-10 bulan.Apabila larva filariform
Ancylostoma duodenale tertelan, mereka dapat berkembang menjadi cacing
dewasa dalam usus tanpa melalui siklus paru-paru (20).
3. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung dari
jumlah larva.Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan
kemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka karena
13
14
Strongyloides stercoralis
Manusia merupakan hospes utama cacing ini.Cacing ini dapat menyebabkan
15
rhabditiform dapat
mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan
lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan
untuk hidup bebas parasit ini.
c) Autoinfeksi
Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di
sekitar anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama sehingga bentuk
rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam usus, pada penderita
diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rhabditiform akan
16
menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di sekitar dubur. Adanya
autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita.
3. Patologi dan Gejala Klinis
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit akan timbul kelainan
kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal
yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus
muda.Infeksi ringan pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena
tidak menimbulkan gejala.Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti
tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Gejala lain adalah
ada terasa mual dan muntah, diare dan konstipas yang saling bergantian. Pada
Strongiloidiasis juga terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi .
Sindroma Hiperinfeksi Autoinfeksi merupakan mekanisme terjadinya infeksi
jangka panjang, apabila pada saat-saat tertentu keseimbangan dan imunitas
penderita menurun, maka infeksinya semakin meluas dengan peningkatan
produksi larva dan larva dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh, sehingga
terjadi kerusakan pada jaringan tubuh.Penderita dapat meninggal akibat terjadinya
peritonitis, kerusakan otak dan kegagalan pernafasan.
2. Cestoda
Cacing
pita
termasuk
subkelas
Cestoda,
Kelas
Cestoidea,
Filum
di
jaringan
dewasamemanjang
vertebrata
menyerupai
dan
pita,
invertebrata.Bentuk
biasanya
pipih
badan
dorsoventral,
cacing
tidak
mempunyai alat pencernaan atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam
segmen-segmen yangdisebu proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduktif
jantan dan betina.Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat pelekat,
disebut skoleks, yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies penting
yang
dapat
menimbulkan
kelainan
padamanusia
umumnya
17
caninum.
b. Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp, Taenia solium, Hymenolepis nana,
Echinococcus granulosus, Multiceps.
Sifat-sifat umum dari cestoda antara lain (21):
Badan cacing dewasa terdiri atas:
1. Skoleks, yaitu kepala yang merupakan alat untuk melekat, dilengkapi dengan
batil isap atau dengan lekuk isap.
2. Leher, yaitu tempat pertumbuhan badan.
3. Strobila, yaitu badan yang terdiri atas segmen-segmen yang disebut
proglotid.Tiap proglotid dewasa mempunyai susunan alat kelamin jantan dan
betinayang lengkap sehingga disebut hermafrodit.
4. Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus.
5. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh
menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara.
6. Infeksi terjadi dengan menelan larva bentuk infektif atau menelan telur.
7. Cacing pita yang penting di Indonesia diantaranya:
a. Taenia saginata
Diketahui adanya hubungan antara infeksi cacing Taenia saginata dengan
larva sistiserkus bovis, yang ditemukan pada daging sapi, bila seekor anak sapi
diberi makan proglotid gravid cacing Taenia saginata, maka pada dagingnya
akanditemukan sistiserkus bovis. Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia,
sedangkan hewan memamah biak dari keluarga Bovidae, seperti sapi, kerbau dan
lainnya adalah hospes perantaranya. Nama penyakitnya disebut taeniasis
saginata.Morfologi cacing pita Taenia saginata terdiri dari kepala yang disebut
skoleks, leher dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid,
sebanyak 1.000-2.000 buah.Panjang caciing 4-12 meter atau lebih. Skoleks hanya
berukuran 1-2 mm, mempunyai 4 batil isap dengan otot-otot yang kuat, tanpa
kait-kait.bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat
struktur tertentu. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa
(immature) yang dewasa (mature) dan yang
gravid (21).
18
19
20
Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua cacing dapat dikeluarkan, dan sistiserkoid
masih ada di mukosa usus (21).
d. Hymenolepsis diminuta
Tikus dan manusia merupakan hospes cacing ini.Cacing dewasa berukuran 2060 cm. Skoleks kecil bulat, mempunyai 4 batil isap dan rostelum tanpa kaitkait.Proglotid gravid lepas dari strobila, menjadi hancur dan telurnya keluar
bersama tinja.Telurnya agak bulat, berukuran 60-70 mikron, mempunyai lapisan
luaryang jernih dan lapisan yang dalam yang mengelilingi onkosfer denga
penebalan pada dua kutub, tetapi tanpa filamen.Cacing dewasa hidup di rongga
usus halus.Hospes perantaranya adalah serangga berupa pinjal dan kumbang
tepung.Dalam pinjal, telur berubah menjadi larva sistiserkoid.Bila serangga
dengan sistiserkoid tertelan oleh hospes definitif maka larva menjadi cacing
dewasa di rongga usus halus.Atabrine merupakan obat yang efektif (21).
3. Trematoda
Kelas Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes. Trematoda berasal
dari bahasa yunani yang artinya berlubang-lubang. Permukaan tubuh Trematoda
tidak bersilia, tetapi tertutup dengan kutikula.Biasanya terdapat batil isap, yaitu
batil isap mulut dan batil isap perut. Tubuhnya berbentuk pipih, memanjang
seperti daun, tetapi ada juga yang ovoid (bulat telur), konikal ( berbentuk kerucut)
atau silindris. Bentuk ini disebabkan oleh adanya kontraksi otot.Cacing ini tidak
mempunyai rongga badan, ruangan antara berbagai organ berisi cairan dan
jaringan sel sel jaringan ikat dan serabut-serabut.Ukuran bervariasi dan kurang
dari 1 mm sampai beberapa sentimeter (18).
Dalam hospes definitive, biasanya vertebrata, multiplikasi terjadi secara kawin
dengan menghasilkan telur dan dalam hospes intermedier Moluska terjadi
generasi secara pembiakan aseksual. Telur keluar dari hospes definitive melalui
saluran anus, saluran genitorurinari atau saluran paru-paru.Telur ini menetas
dalam air menjadi larva, mirasidium yang bersilia, dan berenang aktif dalam
air.Mirasidium ini mempunyai kelenjar sekresi anterior yang menghasilkan enzim
untuk menembus jaringan keong.Mereka ini tertarik oleh suatu jenis keong
tertentu karena rangsangan kemotaktik, mungkin dari lendir atau cairan jaringan
21
22
hasil pertukaran zat dari cacing. Penyebaran tergantung erat dengan kebiasaan
makanan penduduk Asia Timur, yang suka makan buah, kacang, air atau
mengulitinya dengan gigi. Pada E. tuberose yang dimakan adalah umbinya.Selain
babi yang merupakan hospes cadangan utama dapat juga anjing dan kelinci
terinfeksi, tapi dalam epidemi mereka tidak dapat memegang peranan penting.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja secara
langsung.Metode konsentrasi memudahkan penemuan telur.Cacing ini dapat
dimusnahkan dengan obat-obatan cacing tambang yang biasa.Selain itu dapat juga
digunakan Yomesan (18).
b.
Fasciola Hepatica
Fasciola hepatica, lintah hati yang besar, suatu jenis Trematoda yang
berfamili dekat dengan Fasciola buski terdapat pada berbagai daerah di dunia.
Pemindahannya sama melalui sayuran yang hidup dalam air. Cacing ini sering
ditemukan pada sapi, biri-biri, kambing, dan hewan pemakan tumbuhan
lainnya.Fasciola hepatica ditemukan dimana-mana, dimana terdapat keong
tertentu sebagai hospes perantara. Telur besar berbentuk oval, mempunyai tutup,
berwarna kuning sampai coklat, berukuran 130-150 mikron.Pematangan dalam air
menghendaki suhu optimal 220C 250C selama 9-15 hari.Setelah itu menetaslah
mirasidium dari telur. Dalam waktu 8 jam mirasidium ini harus menembus keong
air untuk melanjutkan pertumbuhannya. Keong yang bertindak sebagai hospes
intermedietnya ialah jenis Lymnaea (18).
Metaserkaria atau cacing muda memulai penyebarannya dalam usus
hospes.Mereka menembus dinding usus dan berkelana melewati rongga perut
sampai ke hati.Setelah mereka menembus lapisan hati, sampailah mereka di
saluran empedu dan kantung empedu.Dalam saluran empedu, cacing muda
menjadi cacing dewasa dalam jangka waktu 1-2 bulan.Cacing
dewasa akan
bertelur. Telur masuk dalam saluran usus dan dapat ditemukan dalam tinja
(feses).Fasciola hepatica bersifat hemaprodit.Setiap individu dapat menghasilkan
kurang lebih 500.000 butir telur.Hati seekor domba dapat mengandung 200 ekor
cacing atau lebih (18).
23
Telur cacing hati ini akan ditemukan pada pemeriksaan tinja dan cairan
usus. Pada stadium permulaan penyakit ini tidak ditemukan telur.Pemeriksaan
mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologi dan tes kulit.Dianjurkan
pemakaian Test Immunofluorescent tidak langsung dengan mempergunakan
mirasidium Fasciola sebagai antigen. Pengobatan dilakukan dalam jangka waktu
yang lama (berbulan-bulan, bertahun-tahun, berulang-ulang) sampai yakin bahwa
semua parasit benar-benar sudah mati.Selain itu dianjurkan pemakaian
Resochin.Sekarang dianjurkan pemberian obat Bithionol yang menghancurkan
stadium invasi muda dan sudah membunuhnya dalam jaringan hati (18).
C. Cara Penularan
Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted
Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator
americanus dan Ancylostoma sp). Infeksi cacing tambang masih merupakan
masalah kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan anemia defisiensi besi dan
hipoproteinemia. Spesies cacing tambang yang banyak ditemukan di Indonesia
ialah N. americanus. Terdapat penularan melalui hewan vektor (zoonosis) dengan
gejala klinis berupa ground itch dan creeping eruption. Penularan A. Duodenale
selain terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal, akibat
kontaminasi feses pada makanan. Didapatkan juga bentuk penularan melalui
hewan vektor (zoonosis) seperti pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan
A. caninum. Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanicum. Jenis
cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut tidak mengalami
maturasi dalam usus manusia (14).
Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi 5.000 - 10.000 telur/hari
dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5 tahun, sedangkan A. duodenale
menghasilkan 10.000-30.000 telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun. Tanah
merupakan media yang mutlak diperlukan oleh cacing tambang untuk
melangsungkan proses perkembangannya. Telur cacing tambang yang keluar
bersama feses pejamu (host) mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam
24
telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya
berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform dan
akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat
ketiga disebut sebagai larva filariform. Larva filariform dalam tanah selanjutnya
akan menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat
juga menembus kulit perioral dan transmamaria. Adanya kontak pejamu dengan
larva filariform yang infektif menyebabkan terjadinya penularan. Anak usia
sekolah merupakan kelompok rentan terinfeksi cacing tambang karena pola
bermain anak pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada
saat anak bermain seringkali lupa menggunakan alas kaki (14).
Pada lingkungan yang memungkinkan, cacing usus dapat berkembang biak
dengan baik terutama oleh cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil transmitted
Helminth). Penularan cacing usus bisa terjadi melalui makanan atau minuman
yang tercemar, melalui udara yang tercemar atau secara langsung melalui tangan
yang tercemar telur cacing yang infektif. Masyarakat Indonesia umumnya begitu
akrab dengan sayuran, dari sayuran yang dikonsumsi segar sebagai lalap mentah
seperti kubis sampai sayuran untuk campuran makanan lain. Kubis termasuk salah
satu sayuran daun yang digemari oleh hampir setiap orang, dengan cita rasanya
enak dan lezat. Kubis merupakan sumber penting Vitamin C dan beberapa
mineral. Kebiasaan memakan sayuran mentah (lalapan) perlu hati-hati terutama
jika dalam pencucian kurang baik sehingga memungkinkan masih adanya telur
cacing pada tanaman kubis. Dengan demikian perlu diketahui seberapa besar
pencemaran sayuran mentah (lalapan) oleh parasit atau bakteri intestial. Parasit
pada sayuran yang ditemukan adalah: Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura,
cacing tambang, larva Strongyloides stercoralis, larva Rhabditidae, dan cercaria.
Pada tanah ditemukan Ascaris lumbricoides,Trichuris trichiura dan Rahabditidae.
Baik sayuran, air maupun tanah semua mengandung Escherichia coli yang cukup
tinggi, baik tanaman di kebun maupun di pasar semua tercemar parasit usus dan
bakteri E coli. Prevalensi cacing usus di beberapa tempat di Indonesia mencapai
80 % yang umumnya ditularkan melalui makanan/minuman atau melalui kulit
(13).
25
fisik, produktifitas belajar dan intelektualitas. Selain itu juga dapat menyebabkan
gangguan gizi, anemia, gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan
mempunyai pengaruh terhadap tingkat kecerdesan seorang anak. Cacing perut
yang ditularkan melalui tanah dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara
ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan
26
27
Dengan perilaku ini maka kotoran-kotoran ini akan liar tidak terjaga, sehingga
mencemari lingkungannya. Dan, jika lingkungan sudah cemar, penularan
sering tidak pandang bulu. Orang yang sudah menjaga diri sebersih mungkin
sekalipun masih dapat dihinggapi parasit cacing ini.
f. Cucilah sayur dengan baik sebelum diolah. Cucilah sayur di bawah air yang
mengalir. Agar kotoran yang melekat akan terbawa air yang mengalir, di
samping itu nilai gizi sayuran tidak hilang jika dicuci di bawah air yang
mengalir.
g. Hati-hatilah makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah
yang sanitasinya buruk. Perlu dicermati juga, makanan mentah tidak
selamanya buruk. Yang harus diperhatikan adalah kebersihan bahan makanan
agar makanan dapat kita makan sesegar mungkin sehingga enzim yang
terkandung dalam makanan dapat kita rasakan manfaatnya.
h. Buanglah kotoran hewan hewan peliharaan seperti kucing atau anjing pada
tempat pembuangan khusus.
i. Pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi
yang risiko tinggi terkena infeksi cacing ini, seperti petani, anak-anak yang
sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang
terlalu sering berhubungan dengan tanah.
G. Pengobatan Kecacingan
Upaya penanggulangan kecacingan belum menunjukkan hasil yang maksimal,
hal tersebut dapat dilihat pada sebagian besar provinsi di Indonesia yang
menunjukkan bahwa angka prevalensi kecacingan saat ini masih di atas target
nasional yang ingin dicapai pada tahun 2010 (<10%). Menghindari faktor risiko
merupakan
cara
efektif
sebelum
melakukan
intervensi
penanggulangan
28
29
diberikan dengan makanan yang berlemak. Dengan demikian bila kita ingin
membunuh cacing yang berada di jaringan, maka obat cacing diberikan bersama
makanan, dan bila kita ingin memberantas cacing yang berada di dalam lumen
usus, maka obat cacing diberikan pada waktu sebelum makan / perut kosong (10)..
Albendazole diindikasikan untuk mengobati infeksi cacing usus baik infeksi
tunggal maupun infeksi campuran dari Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Enterobius vermicularis ,
Strongyloides stercoralis, dan Taenia spp. Abendazole dapat bekerja sebagai
larvisid dan ovisid. Obat ini disediakan dalam berbagai bentuk dan nama dagang,
seperti (10):
a. Helben (PT.MECOSIN INDONESIA), kaplet 400 mg dan suspensi 200 mg
per 5 ml.
b. Albendazole (INDOFARMA), kaplet mengandung 400 mg.
Untuk cacing gelang (Ascaris Lumbricoides) pengobatan dapat dilakukan
secara individu atau massal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat
digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat Piperasin, Pyrantel pamoate,
Albendazole atau Mebendazole. Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal
harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. Mudah diterima di masyarakat
b. Mempunyai efek samping yang minimum
c. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing.
d. Harganya murah (terjangkau)
Untuk cacing cambuk (Trichuris Trichiura) pengobatan yang dilakukan untuk
infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk adalah Albendazole/Mebendazole
dan Oksantel pamoate. Dan untuk cacing tambang (Ancylostoma duodenale &
Necator
americanus)
adalah
Pyrantel
pamoate
(Combantrin,
Pyrantin),