Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH LENGKAP

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

AIRBORNE DISEASES

KELOMPOK 6

MAGFIRA (N 201 16 028)


EVELYNE YULI (N 201 16 043)
SITI ARDIYANTI (N 201 16 048)
PUTRI CENDANA (N 201 16 083)
AMALIA PUTRI (N 201 16 118)
VISKY ANUGRAH (N 201 16 123)
MEGA SASMITA (N 201 16 158)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU 2018
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Epidemiologi Penyakit Menular dengan judul Airborne
Diseases.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun.

Palu, Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Kata Pengantar.........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan.................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan ..................................................................................................2
BAB II Pembahasan ................................................................................................3
A. Definisi Airborne Diseases...................................................................3
B. Jenis-jenis Airborne Diseases...............................................................3
C. Contoh-contoh Airborne Diseases........................................................4
D. Upaya Pencegahan Airborne Diseases.................................................11
BAB III Penutup......................................................................................................12
A............................................................................................................Kes
impulan.................................................................................................12
B............................................................................................................Sara
n.............................................................................................................12
Daftar Pustaka..........................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemaparan manusia terhadap patogen udara yang berbeda telah
mengakibatkan munculnya epidemi infeksi saluran pernafasan. Sebagian besar
mikroorganisme yang dilepaskan dari pasien infeksi bisa bubar di wilayah
geografis yang luas oleh arus udara dan akhirnya dapat dihirup oleh orang-orang
yang rentan yang tidak memiliki kontak langsung dengan sumber utama.
Penularan melalui udara ini menjadi lebih umum lagi di rangkaian layanan
kesehatan karena rumah sakit yang terbebani dan adanya pasien imunosupresi
(Shrivastava, 2013).
Penularan penyakit aerosol dikenal sebagai jalur utama berupa berbagai
penyakit seperti Tuberkulosis dan Aspergillosis. Juga, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa pentingnya infeksi aerosol diremehkan untuk penyakit umum
seperti influenza, terutama saat musim dingin dan musim kemarau. Sebagai
contoh, teknik eksperimental modern telah mendeteksi aerosol menular yang
dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi saat bernafas, batuk, atau bersin (Aliabadi,
2011).
Penyakit menular di udara endemik, seperti tuberkulosis (TBC) ditularkan
di beberapa lokasi berkumpul di hadapan infectors dan tingkat algin per orang
ventilasi. Konsentrasi tinggi udara rebo udara dalam ruangan oleh infectors
dianggap berpotensi berbahaya karena mengandung partikel infeksi menular dari
infectors, yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit menular di udara, seperti
TB (Issarow, 2015).
Penyebaran penyakit menular merupakan keprihatinan global untuk alasan
sosial dan ekonomi. Misalnya, influenza musiman membunuh 200-500 ribu orang
setiap tahunnya. Pada 2009-2010, influenza A (H1N1) menyebabkan 17.000
kematian di seluruh dunia, banyak di antaranya adalah orang dewasa yang sehat.
Pada 2002-2003, acute respiratory syndrome (SARS) menewaskan lebih dari 700
orang dan menyebar ke 37 negara yang menyebabkan biaya $ 18 miliar di Asia.
Wabah baru-baru ini mengingatkan kita akan potensi pandemi seperti flu Spanyol
1918-1920 yang menewaskan 50-100 juta orang (Aliabadi, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, hal yang melatarbelakangi makalah Airborne
Diseases yaitu airborne disease masih menjadi salah satu penyebab kematian di
dunia, terutama Indonesia dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang gejala atau tanda-tanda penyakit, cara penularan serta pengobatannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah Airborne Diseases yaitu:
1. Apa definisi dari airborne diseases?
2. Apa saja jenis-jenis airorne dieseases?
3. Bagaimana contoh dari airborne diseases?
4. Bagaimana upaya pencegahan airborne diseases?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah Airborne Diseases yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi dari airborne diseases.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis airborne diseases.
3. Untuk mengetahui contoh-contoh airborne diseases.
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan airborne diseases.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Airborne Diseases


Airborne disease adalah penyebaran unsur penyebab penyakit secara
aerosol yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Tingginya tingkat pencemaran
udara akibat asap kendaraan dan kegiatan pabrik mengakibatkan logam-logam
berbahaya, virus, bakteri, dan mikroorganisme lainnya bercampur masuk ke dalam
tubuh melalui tarikan nafas (Bertran, 2017).
Airborne disease adalah penyakit menular yang tersebar ketika tetesan
patogen dikeluarkan ke udara, misalnya karena batuk, bersin atau berbicara. Di
antara berbagai modus penularan penyakit, udara merupakan salah satu rute
penting dan sejumlah penyakit telah terbukti menular melalui udara. Karena
manusia dan hewan secara terus menerus menghirup udara, kemungkinan untuk
mikroorganisme udara untuk menemukan host dan menyebabkan infeksi.
Sebagian besar infeksi saluran pernafasan diperoleh oleh menghirup udara yang
mengandung patogen. Mikroorganisme dalam tetesan dan debu menular dan spora
dapat dengan mudah diseburkan melalui udara (Aliabadi, 2011).
Transmisi airborne adalah bentuk transmisi dimana penularan terjadi
melalui media secara rutin dibawa masuk ke dalam tubuh melalui udara, makanan
atau cairan. Infeksi droplet berlanjut sebagai yang paling umum dan paling
penting dalam negara maju (Ladhani, 2017).
B. Jenis-jenis Airborne Diseases
Menurut Shrivastava (2013), jenis-jenis airborne diseases yaitu:
1. Demam umum
2. Influenza
3. Cacar air
4. Campak
5. Batuk rejan (Pertusis)
6. Tuberkulosis (TB)
7. Pneumonia
8. Difteri
C. Contoh-contoh Airborne Diseases
1. Tuberkulosis
a. Definisi
TB adalah singkatan dari Tuberkulosis, yaitu infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. TB menyerang paru-paru dan dapat menginfeksi
organ lain. TB dapat ditularkan melalui udara, saat orang yang terjangkit
TB, batuk atau bersin (Irianto, 2014).
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyebab penyakit ini
adalah bakteri kompleks Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria
termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo
Actinomycetales (Masrin, 2008).
b. Epidemiologi
Tuberkulosis (TBC) adalah salah satu penyakit menular manusia
yang paling parah di seluruh dunia. Diperkirakan 8,8 juta kasus baru, tingkat
kejadian rata-rata global 128 / 100.000 penduduk / tahun, dan 1,5 juta
kematian dikaitkan dengan TB pada tahun 2010. TBC disebabkan terutama
oleh M. tuberculosis. Agen penyebab utama TB bovine adalah M. bovis dan,
pada tingkat yang lebih rendah, M. caprae (Muller, 2013).
Tuberkulosis dinyatakan sebagai keadaan darurat global oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1993. Mengikuti deklarasi
dan promosi pada tahun 1995 tentang Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS), yang hemat biaya strategi untuk mengatasi epidemi
tuberkulosis, hampir 7 juta nyawa telah diselamatkan dibandingkan dengan
pra-DOTS era, tingkat kesembuhan tinggi telah dicapai di sebagian besar
negara di seluruh dunia, dan kejadian global TBC telah mengalami
penurunan yang lambat sejak awal 2000an (Zumla, 2012).
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
Tuberculosis. World Health Organization (WHO) menyatakan kedaruratan
dunia (global emergency) terhadap penyakit tuberkulosis (TB) paru sejak
tahun 1993. WHO merekomendasikan penanggulangan TB dengan strategi
DOTS sejak tahun 1995. Namun sebagian besar negara-negara di dunia
belum mampu mengendalikan penyakit TB paru. Laporan WHO tahun 2006
menyimpulkan ada 22 negara dengan kategori beban tertinggi terhadap TB
paru. Sekitar 80% penderita TB paru di dunia berada pada 22 negara
berkembang dengan angka kematian 3 juta setiap tahunnya dari 9 juta kasus
baru dan secara global angka insidensi penyakit TB meningkat 1% setiap
tahun (Awusi, 2009).
Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia dengan masalah
tuberkulosis setelah India (30%) dan China (15%). Angka estimasi tahun
2004 diperkirakan bahwa insidensi TB sekitar 530.000 kasus TB BTA
positif (245/100.000), prevalensi seluruh kasus TB diperkirakan 600.000
dengan angka kematian 101.000 orang. Hasil survei insidensi dan prevalensi
tahun 2004 menunjukkan perbedaan yang nyata di beberapa wilayah, di
Jawa dan Bali 64/100.000, di Sumatera 160/100.000 dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI) 210/100.000, yang terdapat daerah-daerah yang sulit
terakses oleh pelayanan kesehatan, sehingga diperkirakan banyak penderita
TB yang tidak ditemukan dan tidak dilaporkan. Oleh karena itu, TB masih
merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesian (Awusi,
2009).
Angka penemuan penderita (CDR) TB paru (BTA+) di Indonesia
meningkat dari 37% pada tahun 2003 menjadi 54% pada tahun 2004, 65%
pada tahun 2005 dan 70% pada tahun 2006 sementara angka kesembuhan
penderita (cure rate) TB paru menunjukkan hasil sesuai target nasional
(>85%). Namun penemuan penderita TB paru terendah terdapat di Sumatera
(56%) dan di Kawasan Timur Indonesia (31%). Di kota Palu angka
penemuan penderita (CDR) TB paru menurun bermakna pada tahun 2006
dan 2007 (34,9% dan 33,8%) (Awusi, 2009).

c. Patogenesis
Menurut Mandal (2004), riwayat alamiah penyakit tuberkulosis yaitu:
(1) Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/sehat
tetapi mereka pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu
oleh serangan agen penyakit (stage of susceptibility). Walaupun
demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara
penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar
tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu di
mana para kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang
penjamu. Pada tahap ini belum ada tanda tanda sakit samai sejauh daya
tahan tubuh pejamu masih kuat. Namun, begitu penjamunva ‘lengah’
ataupun memang bibit penyakit menjadi lebih ganas ditambah dengan
kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan pejamu, maka
keadaan segera dapat berubah. Penyakit akan melanjutkan
perjalanannya memasuki fase berikutnya, tahap patogenesis.
(2) Tahap Patogenesis
(a) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang diwaktu antara
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap
penyebab penyakit, sampai timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya. Dan pengetahuan tentang lamanya masa inkubasi ini
sangat penting, tidak sekadar sebagai pengetahuan riwayat
penyakit, tetapi berguna untuk informasi diagnosis. Setiap penyakit
mempunyai masa inkubasi tersendiri, dan pengetahuan masa
inkubasi dapat dipakai untuk identifikasi jenis penyakitnya. Masa
inkubasi dari penyakit TBC yaitu mulai terinfeksi sampai menjadi
sakit diperkirakan 4-12 minggu.

(b) Tahap Penyakit Dini


Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang
kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah
kesehatan karena sudah ada gangguan patologis, walaupun
penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini, diharapkan
diagnosis dapat ditegakkan secara dini. Gejalanya seperti: (1)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul; (2)
Penurunan nafsu makan dan berat badan; (3) Batuk-batuk selama
lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah); (4) Perasaan
tidak enak (malaise), lemah.
(c) Tahap Penyakit Lanjut
Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin
bertambah berat dengan segala kelainan klinik yang jelas, sehingga
diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Saatnya pula, setelah
diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk
menghindari akibat lanjut yang kurang baik dengan gejala: (1)
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara “mengi/bengek”, suara nafas melemah yang
disertai sesak; (2) Ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-
paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai
tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah; (3) Pada anak-
anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

(d) Tahap Penyakit Akhir


Berakhirnya perjalanan penyakit dapat berada dalam lima
pilihan keadaan, yaitu: (1) Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit
menghilang dan tubuh menjadi pulih, sehat kembali seperti keadaan
sebelum menderita penyakit; (2) Sembuh tetapi cacat, yakni bibit
penyakit menghilang, penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh tidak
pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan yang permanen
berupa cacat. Adapun yang dimaksudkan dengan cacat, tidak hanya
berupa cacat fisik yang dapat dilihat oleh mata, tetapi juga cacat
mikroskopik, cacat fungsional, cacat mental dan cacat sosial; (3)
Karier yaitu di mana tubuh penderita pulih kembali, namun
penyakit masih tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan
gangguan penyakit. Misalnya, jika daya tahan tubuh berkurang,
penyakit akan timbul kembali. Keadaan karier ini tidak hanya
membahayakan diri pejamu sendiri, tetapi juga masyarakat
sekitarnya, karena dapat menjadi sumber penularan; (4) Kronis,
yaitu perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit
tidak berubah dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak
bertambah ringan. Keadaan yang seperti tentu saja tidak
menggembirakan, karena pada dasarnya pejamu tetap berada dalam
keadaan sakit; (5) Meninggal dunia, yaitu terhentinya perjalanan
penyakit disini, bukan karena sembuh, tetapi karena pejamu
meninggal dunia. Keadaan seperti ini bukanlah tujuan dari setiap
tindakan kedokteran dan keperawatan.
(3) Tahap Pascapatogenesis
Tahap pasca patogenesis/tahap akhir yaitu berakhirnya
perjalanan penyakit TBC yang diderita oleh sesorang dimana seseorang
berada dalam pilihan keadaan, yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan
cacat, karier, penyakit berlangsung secara kronik, atau berakhir dengan
kematian setelah melalui berbagai macam tahap pencegahan dan
pengobatan yang rutin.
d. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih.Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat
juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis
kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia
saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit
Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka
(suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskospis langsung (Brooks, 2007).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosa, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk menegakkan diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa sewaktu- pagisewaktu (S-P-S) (Brooks, 2007).
e. Upaya Pencegahan
Menurut Wahyuni (2015), upaya pencegahan penyakit TBC yaitu:
(1) Selalu berusaha mengurangi kontak langsung dengan penderita
TB paru aktif.
(2) Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya dengan
mengkomsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi, menjaga lingkungan
selalu sehat baik itu dirumah maupun di tempat kerja atau kantor, dan
menjaga kebugaran tubuh dengan cara menyempatkan dan meluangkan
waktu untuk berolah raga.
(3) Pemberian vaksin BCG, tujuannya untuk mencegah terjadinya
kasus infeksi TB yang lebih berat. Vaksin BCG diberikan kepada semua
balita.
(4) Tindakan pencegahan TB paru oleh penderita agar tidak
menular. Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi penderita TB aktif
tindakan yang bisa dilakukan adalah menjaga kuman atau bakteri dari
diri sendiri. Hal ini biasanya membutuhkan waktu lama sampai
beberapa minggu untuk masa pengobatan dengan obat TBC hingga
penyakit TBC sudah tidak bersifat menular lagi.
2. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada
organ paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit
di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap
oksigen dari atmosfer menjadi “inflame” dan terisi oleh cairan. Pneumonia
dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau
sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu
banyak minum alkohol. Namun penyebab yang paling sering ialah serangan
bakteria streptococcus pneumoniae, atau pneumokokus (Wunderink, 2012).
b. Epidemiologi
Pneumonia adalah merupakan infeksi saluran nafas bagian bawah
yang merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi
di perkirakan terjadi lebih 2 juta kematian Balita karena pneumonia di
bandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria dan campak. Di
Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2007 menunjukkan angka kesakitan pneumonia pada bayi 2,2%, Balita 3%,
angka kematian pneumonia pada bayi 29,8% dan Balita 15,5% (Padmonobo,
2012).
c. Patogenesis
Pneumonia dapat ditularkan melalui percikan ludah, kontak langsung
lewat mulut atau kontak tidak langsung melalui peralatan yang
terkontaminasi discharge saluran pernafasan. Biasanya penularan organisme
terjadi dari orang ke orang, namun penularan melalui kontak sesaat jarang
terjadi (Padmonobo, 2012).

Menurut Rello (2013), mekanisme penularan pneumonia yaitu:


(1) Inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang
tercemar seperti kontak langsung dengan penderita melalui percikan
ludah sewaktu bicara, bersin dan batuk dapat memindahkan bakteri ke
orang lain.
(2) Aliran darah, dari infeksi di organ tubuh yang lain.
(3) Migrasi (perpindahan) organisme langsung dari infeksi di
dekat paru-paru.
d. Gejala Klinis
Gejala yang berhubungan dengan pneumonia termasuk batuk, sakit
dada, demam, dan kesulitan bernafas. Sedangkan tanda-tanda menderita
Pneumonia dapat diketahui setelah menjalani pemeriksaan X-ray (Rongent)
dan pemeriksaan sputum (Rello, 2013).
e. Upaya Pencegahan
Menurut Padmonobo (2012), upaya pencegahan pneumonia yaitu:
(1) Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri akan diberikan
pengobatan antibiotik. Pengobatan haruslah benar-benar komplite
sampai benar-benar tidak lagi adanya gejala atau hasil pemeriksaan X-
ray dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri Pneumonia,
jika tidak maka suatu saat Pneumonia akan kembali diderita.
(2) Pneumonia yang disebabkan oleh virus akan diberikan
pengobatan yang hampir sama dengan penderita flu, namun lebih
ditekankan dengan istirahat yang cukup dan pemberian intake cairan
yang cukup banyak serta gizi yang baik untuk membantu pemulihan
daya tahan tubuh.
(3) Pneumonia yang disebabkan oleh jamur akan mendapatkan
pengobatan dengan pemberian antijamur.
D. Upaya Pencegahan Airborne Diseases
Menurut Shrivastava (2013), upaya pencegahan airborne diseases yaitu:
1. Hindari kontak dekat dengan orang yang memiliki gejala penyakit
aktif.
2. Tinggallah di rumah saat sedang sakit. Jangan biarkan orang-orang
yang rentan bersentuhan dengan Anda.
3. Jika Anda harus berada di sekitar orang lain, kenakan masker wajah
untuk mencegah penyebaran atau pernapasan kuman.
4. Tutup mulut Anda saat Anda batuk atau bersin. Gunakan tisu atau siku
Anda untuk mengurangi kemungkinan menularkan kuman di tangan Anda.
5. Cuci tangan Anda secara menyeluruh (setidaknya 20 detik) dan sering,
terutama setelah bersin atau batuk.
6. Hindari menyentuh wajah Anda atau orang lain dengan tangan yang
tidak dicuci.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun saran dari makalah Airborne Diseases yaitu:
1. Airborne disease adalah penyakit menular yang tersebar ketika tetesan
patogen dikeluarkan ke udara, misalnya karena batuk, bersin atau berbicara
2. Jenis-jenis airbone diseases yaitu demam umum, influenza, cacar air,
campak, batuk rejan, tuberkulosis, pneumonia, difteri, dan lain-lain.
3. Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pneumonia adalah suatu
penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur ataupun parasit di mana alveoli terisi oleh cairan.
4. Upaya pencegahan airborne diseases yaitu hindari kontak langsung
dengan penderita, gunakan masker, cuci tangan, dan lain-lain.
B. Saran
Adapun saran dari makalah Airborne Diseases yaitu sebaiknya dalam
menerapkan upaya pencegahan airborne diseases harus memperhatikan bibit
penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment) serta riwayat
alamiah penyakitnya (natural history of disease) sehingga dapat mengetahui dan
merencanakan upaya pencegahan airborne diseases yang efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Aliabadi, 2011, ‘Preventing Airborne Disease Transmission: Review of Methods for


Ventilation Design in Health Care Facilities’, Advances in Preventive
Medicine, Hal. 1-21.

Awusi, 2009, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Penderita TB Paru di


Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah’, Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat,
Vol. 25, No. 2, Hal. 59-68.

Bertran, 2017, ‘Airborne Transmission of Highly Pathogenic Influenza Virus During


Processing of Infected Poultry’, Emerging Infectious Diseases, Vol. 23, No.
11, Hal. 1806-1814.

Brooks, 2007, Mikrobiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.

Irianto, 2014, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Public Health), Alfabeta, Bandung.

Issarow, 2015, ‘Modelling the Risk of Airborne Infectious Diseases Using Exhaled
Air’, Journal of Theoretical Biology, Vol. 371, Hal. 100-106.

Ladhani, 2017, ‘Sampling and Detection of Airborne Influenza Virus Towards Point-
of-Care Applications’, Plos One, Vol. 12, No. 3, Hal. 1-15.

Mandal, 2004, Penyakit Infeksi, Erlangga, Jakarta.

Masrin, 2008, Tuberkulosis Paru, Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang.

Muller, 2013, ‘Zoonotic Mycobacterium bovis-induced Tuberculosis in Humans’,


Emerging Infectious Diseases, Vol. 19, No. 6, Hal. 899-908.

Padmonobo, 2012, ‘Hubungan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan


Kejadian Pneumonia pada Balita’, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,
Vol. 11, No. 2, Hal. 194-198.

di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes


Rello, 2013, ‘A Care Bundle Approach for Prevention of Ventilator-Associated
Pneumonia’, Clinical Microbiology and Infection, Vol. 19, No. 4, Hal. 363-
369.

Shrivastava, 2013, ‘Airborne Infection Control in Healthcare Settings’, Infection


Ecology and Epidemiology, Vol. 3, Hal. 1-22.

Wahyuni, 2015, ‘Kajian Persepsi, Pengetahuan Terhadap Pencegahan Penularan


Penyakit TB di Puskesmas’, Jurnal Profesi, Vol. 12, No. 2, Hal. 1-7.
Wunderink, 2012, ‘Linezolid in Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Nosocomial Pneumonia: A Randomized, Controlled Study’, Clinical
Infectious Diseases, Vol. 54, No. 5, Hal. 621-629.

Zumla, 2012, ‘Drug-Resistant Tuberculosis – Current Dilemmas, Unanswered


Questions, Challenges, and Priority Needs’, The Journal of Infectious
Diseases, Vol. 205, Hal. 228-240.

Anda mungkin juga menyukai