Anda di halaman 1dari 14

Tinjauan Kepustakaan

REHABILITASI PARU
PADA SEQUELAE TUBERKULOSIS
REHABILITASI PARU PADA SEQUELAE TUBERKULOSIS
Alfian Nur Rosyid
Helmia Hasan

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) menjadi masalah kesehatan penting di dunia sehingga World
Health Organization mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Kasus TB semakin
meningkat tiap tahun dengan angka mortalitas yang tinggi.1,2 Diagnosa yang terlambat dan
terapi tidak adekuat memicu TB menjadi sequelae dan meningkatkan mortalitas.3
Sequelae TB merupakan kondisi patologis dengan berbagai komplikasi pada proses
penyembuhan TB dan hal ini terjadi setelah penderita dinyatakan sembuh.4-7 Frekuensi
sequelae TB 6-59% dan mortalitas 5%.6 Kuman Mycobacterium tuberculosis merusak
histopatologi parenkim paru sehingga menyebabkan kelainan patologi dan anatomi.7-11 Hal ini
diduga terkait jalur imunologi.12 Squelae TB menyisakan gejala dan gangguan faal paru
berupa kelainan obstruktif, restriktif maupun campuran.13, 14
Squelae TB dapat diamati pada
gambaran radiologis.15
Walaupun tatalaksana sequelae TB telah banyak diterapkan (terapi oksigen jangka
panjang, bronkodilator, dan operasi) namun hasil kurang memuaskan. Peran Rehabilitasi paru
tidak kalah pentingnya dalam tatalaksana sequelae TB.16-20 Outcome rehabilitasi paru pada
sequelae TB cukup bermakna.21-22 Berbagai tehnik rehabilitasi komprehensif yang dapat
dilakukan diantaranya exercise training, edukasi, intervensi psikologis dan perilaku
kebiasaan sehari-hari, dukungan nutrisi, latihan pernapasan. Gejala sesak dan kualitas hidup
membaik meskipun tidak memperbaiki sequelae itu sendiri.23-25

Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menginfeksi saluran napas
bawah dan atau parenkim. Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab TB menyebar
secara airborne infection. TB kebanyakan menyerang paru (71,2%) dan sisanya ekstraparu
(limfadenitis, pleuritis, tulang, sendi, meningitis, peritonitis, saluran kencing dan lainnya).2
TB menjadi masalah yang penting di Indonesia dan dunia. WHO mencatat 9,4 juta
insiden TB pada tahun 2009 dengan prevalensi 14 juta kasus dan mortalitas 1,3 juta kasus
tanpa HIV dan 0,38 juta kasus dengan HIV.1 Kasus TB dunia didominasi Asia tenggara 35%
kasus, termasuk Indonesia. TB menjadi penyebab kematian kedua karena infeksi di Indonesia
pada tahun 1992. Data Depkes RI menyatakan bahwa terdapat sekitar 50 ribu penderita TB
paru BTA positif yang diobati tahun 2001. Sekitar 75% diderita kalangan usia produktif dan
jarang pada anak usia 5-15 tahun.2

Sequelae Tuberkulosis
Sequelae TB merupakan kondisi patologis dengan berbagai komplikasi pada proses
penyembuhan TB. Disebut sebagai sequelae karena terjadi setelah seseorang dinyatakan
sembuh dengan menyisakan berbagai kelainan.4-7 Kelainan tersebut berupa chronic
respiratory failure (CRF), kor pulmonale dan inflamasi paru kronis. Patofisiologi terjadinya
sequelae TB terdiri dari gangguan fungsi paru, CRF, hipertensi pulmonal dan dapat terjadi
infeksi sekunder paru karena mycosis atau mycobacaterium non-tuberkulosis yang sulit
dikontrol.5
Sequelae TB dapat terjadi pada penderita yang mendapat terapi OAT maupun tidak.4
Penderita TB yang diterapi OAT secara DOTS memiliki peluang 5,2 kali lebih besar
mengalami kelainan paru dibandingkan dengan penderita laten TB. Sedangkan penderita
tanpa OAT yang optimal akan memperburuk penyakitnya sehingga lebih besar peluangnya
menjadi sequelae.9 Sequelae dapat timbul pada penderita yang susceptible OAT maupun
resisten OAT (MDR-TB).11
Data frekuensi penderita sequelae TB masih bervariasi. Harada melaporkan 6% dari
93 kasus TB yang susceptible OAT akan mengalami sequelae dengan distribusi laki-laki dua
kali lebih banyak dibandingkan wanita.6 Pasipanodya melaporkan presentase yang lebih
banyak yaitu 59% dari 121 penderita.9 Sedangkan Singla melaporkan 96% penderita MDR-
TB menyisakan sequelae.11 Bahkan Naso melaporkan semua penderita (n=12) MDR-TB
menjadi sequelae TB.13 Mortalitas penderita sequelae TB 5% tiap tahun.6
Beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kelainan paru pada sequelae TB
diantaranya berapa kali terkena TB, rokok, smear, durasi terapi, dan gambaran radiologis.
Seorang yang menderita TB berulang kali akan memperparah kelainan parunya. Seorang
yang pertama kali terkena TB akan mengalami kelainan paru sebesar 18% dan akan makin
meningkat kelainannya pada episode kedua (27%) dan ketiga (35%). Riwayat merokok
memperparah kelainan paru sehingga kelainan paru pada perokok lebih tampak dibandingkan
dengan non-perokok.9 Smear yang positif menunjukkan adanya kuman TB. Makin banyak
kuman TB maka reaksi inflamasi makin hebat dan kerusakan parenkim makin berat.15
Penyakit paru yang luas sebelum mendapatkan terapi OAT, pemanjangan masa terapi, dan
sedikitnya perbaikan radiologis setelah terapi OAT merupakan faktor yang juga berpengaruh
terhadap kelainan paru.10

3
Mekanisme terjadinya kelainan patologis sequelae TB berkaitan dengan jalur
imunologi. Remodeling merupakan penyebab kelainan paru yang belum dapat dijelaskan
secara memuaskan. Remodeling tersebut berupa kavitas yang menyembuh, fibrosis, dan
bronkiektasis. Granuloma merupakan mikrobakterisidal efisien yang menyebabkan matriks
ekstraselular berakhir tanpa scarring. Respons potent dari IFN–γ memicu terjadinya fibrosis.
Pada kondisi penyakit TB yang progresif dapat terjadi disregulasi granuloma, pengkejuan
nekrosis, dan scar patologis.12
Kuman TB yang masuk ke saluran napas difagositosis oleh makrofag. Makrofag
merangsang sel T efektor memproduksi kemokin yang menyebabkan kaskade sitokin dan
menarik makrofag lain serta sel T menuju tempat infeksi. Terbentuk eksudasi plasma dan
bekuan fibrin. Respons Th2 dapat memperburuk kerusakan jaringan dengan meningkatnya
efek patologis TNF-α.12 Pada TB primer, mobilisasi neutrofil polimorf ke tempat inflamasi
memicu nekrosis kaseosa, reaksi sel limfosit, histiosit dan Giant cel yang biasanya diikuti
fibrosis mural. Pada TB post primer penyakit akan terus berkembang, fokus peradangan dan
nekrosis makin meluas dan dapat mencapai saluran napas. Proses terus berjalan hingga terjadi
erosi saluran napas sampai terjadinya robekan pleura yang menyebabkan empyema TB.4
Kuman TB menyebabkan berbagai perubahan histopatologi, patologis maupun
anatomis.7, 9
Perubahan histopatologi berupa pembentukan granuloma kaseosa, pengkejuan
jaringan, kavitas dan lainnya. Perubahan tersebut menyebabkan perubahan patologi dan
anatomi yang permanen pada struktur bronkial dan parenkim. Yang termasuk perubahan
tersebut adalah distorsi bronkovaskular, bronkiektasis, emfisematous, stenosis bronkial dan
fibrosis.9 TB paru akan merusak parenkim melalui mekanisme up-regulasi dan disregulasi
berbagai protease.10 Sequelae TB dapat terjadi pada toraks maupun diluar toraks yang dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelainan:4
1. Parenkim: tuberkuloma, kavitas berdinding tipis, sikatrik, destroyed lung, aspergiloma,
dan Ca bronkogenik.
2. Saluran napas: stenosis trakeobronkial dan bronkolitiasis.
3. Vaskuler: arteritis pulmoner / bronkial, thrombosis, dilatasi arteri bronkial, dan
aneurisma rasmunsen.
4. Mediastinum: kalsifikasi limfonodi, pelebaran ekstra nodul, fistula esofagomediastinal,
fistula esofagobronkial, perikarditis konstriktif, dan mediastinitis fibrotik.
5. Pleura: empyema kronis, fibrotoraks, fistula bronkopleura, dan pneumotoraks.
6. Dinding dada: TB kosta, spondilitis TB dan keganasan terkait empyema kronis.

4
Penderita sequelae TB susceptible OAT mengeluhkan gejala batuk, mengi, berdahak
dan sesak.14 Sementara yang resisten OAT menyisakan gejala sesak, batuk berdahak, batuk
darah, nyeri dada, gangguan pendengaran, tinnitus, dan badan lemah. Gejala sisa penderita
MDR-TB lebih banyak dan beragam.11
Sequelae TB menyebabkan kelainan fungsi paru yang berbeda. Pasipanodya
melaporkan kelainan fungsi paru berupa kelainan restriksi (31%), obstruksi (15%) dan
campuran (13%).9 Chung melaporkan kelainan obstruksi (48,6%) lebih mendominasi diikuti
restriksi (9,3%) maupun campuran (9,3%).10 Singla melaporkan kelainan campuran (66%)
diikuti restriksi (19%) dan obstruksi (11%).11 Naso melaporkan pada penderita MDR-TB
mengalami gangguan faal paru berupa kelainan campuran (75%) dan obstruksi (25%).13
Kelainan restriksi didapakan pada sequelae TB dengan kelainan pleura seperti
empyema kronis, fibrotoraks, fistula bronkopleura, pneumotoraks, kelainan dinding dada
(seperti TB kosta, spondilitis TB)4 dan kavitas.14 Kelainan obstruksi didapati pada atelektasis,
bronkiektasis, stenosis trakeobronkial dan bronkolitiasis.4
Gambaran radiologis sequelae TB berupa berbagai kelainan tergantung jenis
sequelae-nya dan kadang menyerupai penyakit lain.4 Gambaran radiologis memiliki
kesesuaian dengan kelainan fungsi paru. Penderita sequelae TB dengan gangguan faal paru
berat tampak pada penderita dengan gambaran radiologis yang berat pula. Ramos membagi
foto rontgen toraks menjadi enam zona, yaitu apeks paru, basal paru dan diantara keduanya
masing-masing kanan dan kiri. Gangguan faal berat tampak pada penderita dengan kelainan
radiologis pada tiga zona atau lebih dengan atau tanpa kavitas. Sebaliknya gambaran
radiologis kurang dari itu menunjukkan hasil faal paru normal.14 Faktor lain terkait outcome
radiologis yaitu jelek yaitu usia tua, wanita, durasi gejala yang lama, diagnosa yang
terlambat, ketidakpatuhan berobat, riwayat TB sebelumnya, dan faktor komorbid lain.15

Rehabilitasi Paru
European Respiratory Society (ERS) pada tahun 1997 dan American Thoracic
Society (ATS) pada tahun 1999 telah melaporkan peran rehabilitasi paru pada penyakit
pernapasan kronis. Intervensi rehabilitasi paru yang komprehensif dapat mengurangi
dyspnoea, meningkatkan kemampuan latihan, kualitas hidup (HRQL, Health-Related Quality
of Life) dan mengurangi biaya perawatan.16
ATS mendefinisikan rehabilitasi paru sebagai intervensi berbasis bukti (Evidence
Based Medicine), multidisiplin, dan komprehensif pada penyakit pernapasan kronis yang
bergejala sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Definisi tersebut terdiri dari 3 aspek

5
yaitu pendekatan multidisiplin melibatkan kolaborasi aktif antara penderita, keluarga, dan
penyedia layanan kesehatan16. Program bersifat individual disesuaikan kebutuhan penderita
yang diintegrasikan dengan perawatan. Program ini mencakup berbagai strategi intervensi
dalam manajemen seumur hidup dengan tetap memperhatikan fungsi fisik, psikologis, dan
sosial. 17, 18
Tujuan rehabilitasi paru yaitu mengembalikan keterbatasan ventilasi kepada fungsi
independen tingkat tertinggi.17 Rehabilitasi paru dapat mengurangi gejala, biaya perawatan,
mengoptimalkan status fungsional, meningkatkan partisipasi, toleransi latihan, status
kesehatan, pencegahan perburukan penyakit, komplikasi dan eksaserbasi. Oleh karena itu
rehabilitasi paru diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Peningkatan
kualitas hidup penderita dengan memperhatikan faktor psikologis (seperti mengatasi cemas
dan depresi) juga turut menjadi perhatian. Intervensi ini dapat menstabilkan dan
mengembalikan manifestasi sistemik penyakit paru.16
Rehabilitasi paru diindikasikan pada penyakit paru kronis stabil dengan gejala sisa
yang persisten, keterbatasan aktivitas, dan atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan
penyakit meskipun manajemen medis telah optimal. Selain PPOK, program ini bermanfaat
pada penyakit paru interstitial, fibrosis kistik, bronkiektasis, kelainan dinding dada.17 Selain
itu juga bermanfaat pada penyakit neuromuskular, pasca operasi reduksi volume paru,
fibrosis paru idiopatik, pasca tuberkulosis, dan penyakit paru restriktif.19-21
Berikut gambar siklus sesak napas kronis dan peran rehabilitasi paru dalam
menghambatnya. Siklus berputar tiada habisnya memperburuk kondisi penderita. Rehabilitasi
paru mengurangi keluhan sesak napas sehingga dapat memperbaiki fungsi paru.23

Gambar 1 Sirkulus vitiosus peran rehabilitasi paru dalam perbaikan sesak.23


Laporan manfaat rehabilitasi paru khusus pada kasus sequelae TB masih terbatas,
berbeda dengan PPOK yang telah banyak dilaporkan.16 Seperti halnya pada PPOK, pemilihan
jenis rehabilitasi paru pada non-PPOK tergantung masalah yang dihadapi (bersifat individual)
dan sesuai dengan kelainan.24 Penderita akan lebih merasakan manfaat rehabilitasi paru bila

6
rutin mengikuti program dan memiliki motivasi untuk merubah gaya hidup.23 Penderita harus
dalam kondisi stabil dan telah mendapatkan terapi standar yang optimal.22

Rehabilitasi paru pada Sequelae TB


Penderita sequelae TB sering menyisakan gejala berupa gangguan restriksi, obstruksi
dan campuran meskipun penanganan telah dilakukan optimal dan penderita dinyatakan
sembuh.9 Gejala sisa dapat menurunkan toleransi, aktifitas sehari-hari dan status kesehatan.
Salah satu penanganan terhadap gejala sisa tersebut adalah dengan rehabilitasi paru.23
Manfaat rehabilitasi paru telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Cabrera melaporkan
efek rehabilitasi paru pada penderita PPOK dibandingkan dengan non-PPOK (n=48) seperti
kyposkoliosis, asma, bronkiektasis, dan sequelae TB. Rehabilitasi paru selama 8 minggu
memperbaiki derajat sesak.21 Ando melaporkan manfaat rehabilitasi paru selama 9 minggu
pada sequelae TB (n=30) dibandingkan PPOK dengan tingkat keparahan yang setara (n=30).
Peningkatan yang bermakna didapati pada dyspnoea grade, transition dyspnoea score, namun
FEV1 dan jarak uji 6MWT tidak berbeda bermakna.20
Pemilihan jenis rehabilitiasi paru penderita sequelae TB tergantung gangguan faal
parunya.13, 14
Secara garis besar komponen program rehabilitasi paru adalah sama, yaitu
exercise training / latihan fisik, edukasi, intervensi psikologis dan kebiasaan sehari-hari,
dukungan nutrisi, latihan pernapasan, terapi fisik, terapi oksigen dan bronkodilator.
Komponen diatas diperankan oleh kerjasama tim yang terdiri dari dokter spesialis paru,
perawat, fisioterapis, ahli gizi, terapis okupasional, pekerja sosial, dan psikolog.21, 23
1. Exercise training atau latihan fisik berupa latihan ketahanan dan kekuatan anggota gerak
bawah dan atas. Penderita dengan penyakit paru kronis cenderung untuk membatasi gerak
karena gerakan akan menambah keluhan sesak, batuk atau lainnya. Penderita akan lebih
banyak pasif dan berakibat atrofi otot. Latihan fisik meningkatkan daya tahan, fungsi
pernapasan, membantu kinerja aktifitas sehari-hari, mengurangi tekanan sistemik,
memperbaiki profil lipid, melawan depresi, mengurangi cemas dan mempermudah tidur.22
Latihan fisik ditekankan pada intensitas, spesifisitas dan reversibilitas.21, 25
Latihan
fisik yang semakin sering memberikan hasil yang lebih baik. Latihan fisik otot tertentu
menunjukkan hasil pada otot itu saja. Bila latihan fisik dihentikan dapat menyebabkan
hilangnya efek latihan (reversible).21 Latihan fisik disesuaikan dengan keparahan
penyakit, keterbatasan gejala, komorbiditas, dan tingkat motivasi penderita dalam
menjalani rehabilitasi paru. 16

7
Latihan fisik anggota gerak bawah ditekankan kepada kekuatan dan daya tahan otot.
Latihan dilakukan kontinyu 20 -30 menit sebanyak 2-3x / minggu. Salah satu bentuk
latihan fisik adalah dengan menggunakan ergometer siklus stasioner atau treadmill, naik
tangga, atau berjalan di permukaan datar seperti dalam koridor atau auditorium. Latihan
fisik juga perlu diterapkan pada alat gerak atas karena aktivitas sehari-hari memerlukan
anggota gerak tersebut.16 Latihan ini dapat mengurangi sesak saat beraktivitas. Latihan
anggota gerak atas berupa latihan lengan dengan alat (seperti ergometri lengan) atau
latihan lengan tanpa alat (seperti mengangkat beban bebas, pena atau meregangkan karet
gelang).24
Berikut panduan ATS tentang latihan fisik pada penyakit paru kronis, dalam hal ini
tidak menutup kemungkinan rehabilitasi paru pada sequelae TB.16
1. Minimal 20 sesi (dibagi 2-3 kali/minggu) untuk mencapati manfaat fisiologis
2. Dapat dilakukan di rumah, poliklinik atau rumah sakit
3. Intensitas latihan yang tinggi menghasilkan manfaat fisiologis yang lebih besar
4. Interval lebih sering diterapkan pada penderita dengan gejala yang lebih banyak
dan berat
5. Diterapkan pada anggota gerak atas dan bawah
6. Melatih daya tahan dan kekuatan otot memberikan efek lebih menguntungkan.
2. Edukasi diberikan secara individual tergantung kondisi dan kelainan penderita.23
Kesuksesan rehabilitasi paru dipengaruhi pemahaman penderita dan keluarga terhadap
penyakit sehingga diharapkan adanya peran aktif penderita dan dukungan keluarga.22
Edukasi yang diajarkan adalah strategi bernapas, fungsi pernapasan normal, patofisiologi
penyakit paru, penggunaan obat yang benar (termasuk oksigen), tehnik higine saluran
napas, manfaat latihan, menjaga aktifitas fisik, diet sesuai, menghindari iritan (termasuk
rokok), pencegahan dan terapi dini infeksi saluran napas akut, indikasi berobat, kontrol
cemas, tehnik relaksasi dan manajemen stress.21, 23
3. Masalah psikososial seperti cemas, depresi, memberikan kontribusi pada beban
pernapasan penderita. Intervensi psikososial dan perilaku difokuskan untuk manajemen
stress, mengontrol panik, mengurangi cemas, melawan rasa rendah diri dan rasa tanpa
harapan.23 Penderita memerlukan dukungan keluarga dalam mengatasi masalah
psikososialnya.24
4. Dukungan nutrisi diberikan bersamaan dengan tehnik rehabilitasi paru yang lain. Status
gizi dan kelemahan otot perifer mempengaruhi hasil rehabilitasi.16 Nutrisi yang buruk
tampak pada rendahnya berat badan dan abnormalitas komposisi tubuh seperti lingkar

8
lengan kecil yang berkontribusi terhadap morbiditas terkait penurunan kekuatan otot
pernapasan, toleransi latihan dan status kesehatan. Nutrisi yang baik berkontribusi positif
terhadap kekuatan otot pernapasan.24
5. Tehnik pernapasan penting untuk mengontrol laju respirasi, pola pernapasan dan
mengurangi air trapping khususnya pada gangguan obstruksi. Ekshalasi penderita ini
sering tidak adekuat sehingga karbon dioksida tersisa dalam paru yang akan memicu
retensi CO2. Tehnik pernapasan diafragma dan Pursed lips breathing diharapkan dapat
membantu meningkatkan ekshalasi tersebut. Tehnik pernapasan ini bertujuan untuk
memperbaiki keluhan, mengontrol sesak, mengatur pola napas, mencegah kompresi
dinamik saluran napas, meningkatkan sinkronisasi otot perut-dada saat bernapas dan
meningkatkan pertukaran gas.24
Manuver pernapasan diafragma atau napas perut dilakukan dengan cara
mengembangkan dinding dada saat inspirasi dikombinasikan dengan memperlambat
pengeluarannya saat ekspirasi.24 Yang ditekankan adalah bagaimana merangsang bagian
sistem saraf pusat yang menyebabkan tubuh rileks. Tehniknya dengan menarik napas
yang dalam dan meregangkan diafragma, bukan napas dangkal yang sekedar
meregangkan tulang kosta. Tehnik ini diterapkan pada penderita dengan hiperventilasi,
karena pernapasan cepat tidak membuat oksigen mengisi paru bahkan menambah cemas
dan gelisah. Pernapasan diafragma dapat dilakukan pada posisi terlentang atau posisi
Trendelenberg.21
Pursed lips breathing diajarkan pada penderita paru terutama penderita sequelae TB
dengan kelainan obstruktif kronis. Tehnik ini diperkenalkan oleh Laennec tahun 1830
dan dianjurkan sebagai latihan pernapasan pada awal abad ke dua puluhan.24
Manuvernya berupa inspirasi udara dari hidung kemudian ekspirasi melalui mulut.
Ekspirasi dilakukan dalam 4-6 detik dengan mengerutkan bibir dan penyempitan mulut
atau seperti posisi mencium atau bersiul.21 Tujuannya untuk memperlambat ekspirasi,
mempertahankan tekanan positif untuk menjaga saluran napas tetap terbuka dan tidak
kolaps.24 Hasilnya adalah berkurangnya hipoksemia, penurunan penggunaan oksigen
suplemen, dan pengurangan sesak.21
6. Terapi fisik dada penting untuk mengalirkan sekret saluran napas bagi penderita yang
sulit mengeluarkan dahak. Tehniknya berupa postural drainage, perkusi dada dan vibrasi,
dan kontrol batuk. Postural drainage memanfaatkan gravitasi untuk membantu
mengalirkan sekret. Perkusi dada dilakukan secara hati-hati pada penderita osteoporosis
atau kelainan tulang. Batuk adalah teknik yang efektif untuk menghilangkan kelebihan

9
lendir dari saluran udara yang lebih besar. Tehnik kontrol batuk berupa menghirup udara
sedalam mungkin, lalu menahan napas selama beberapa detik kemudian batuk dua atau
tiga kali dengan mulut terbuka. Penderita disarankan mengompres perut bagian atas untuk
membantu batuk.21
7. Oksigen jangka panjang dan bronkodilator.
Oksigen terapi jangka lama sering diberikan pada penderita dengan gangguan
kardiorespirasi. Di Jepang lebih dari 80.000 penderita gangguan kardiorespirasi
menggunakan oksigen terapi jangka panjang, sekitar 20% diantaranya penderita pasca TB
dengan gangguan fungsi paru.20 Cabrera melaporkan 10 dari 48 penderita non-PPOK
menggunakan terapi oksigen 2 lpm.19 Terapi oksigen suplemen untuk hipoksemia berat
berguna meningkatkan kemungkinkan penderita untuk latihan pada tingkat pekerjaan
yang lebih tinggi.21 Oksigen suplemen kontinyu jangka lama meningkatkan survival dan
menurunkan mortalitas dan morbiditas penderita dengan penyakit paru kronis seperti
sequelae TB. Sementara pemberian oksigen yang intermiten pada penderita yang tidak
hipoksia (misalnya hanya saat latihan) belum diketahui bukti manfaatnya.24
Disebutkan dalam literatur bahwa rehabilitasi paru tidak banyak memberikan
perubahan terhadap fungsi paru kecuali bila ditambahkan bronkodilator.25 Pemberian
bronkodilator pada sequelae TB dengan gangguan obstruksi dapat meningkatkan
kemungkinan intensitas latihan yang lebih tinggi.21 Pemberian bronkodilator aerosol pada
penderita sequelae TB memberikan respons yang baik, sekitar 13,3% pada sequelae TB
susceptible OAT dan 25% pada sequelae MDR-TB.13
Belum ada data yang menyebutkan lama rehabilitasi paru yang akan memberi manfaat
pada penderita sequelae TB. Beberapa penelitian melaporkan lama waktu yang berbeda.
Cabrera melaporkan rehabilitasi paru pada penderita non-PPOK termasuk sequelae TB
selama 8 minggu dengan hasil yang bermakna19, sementara Ando melaporkan selama 9
minggu.20 Manfaat rehabilitasi paru akan dirasakan selama penderita menjalani rehabilitasi.
Rehabilitasi paru seumur hidup meningkatkan pengurangan gejala dan perbaikan kualitas
hidup.21, 25

Penilaian hasil Rehabilitasi Paru pada sequelae TB


Hasil yang diharapkan dari rehabilitasi paru adalah berkurangnya gejala sesak,
masalah psikologis, peningkatan kualitas hidup, aktifitas fisik, toleransi latihan, dan
peningkatan pengetahuan tentang penyakitnya sehingga penderita lebih mandiri. Rehabilitasi

10
paru diharapkan dapat memperbaiki faal paru, memperpanjang survival rate dan penderita
dapat kembali bekerja seperti sebelum sakit.24
Keluhan utama penderita sequelae TB yang sering dikeluhkan adalah batuk dan sesak.
Keluhan tersebut dapat dinilai saat penderita datang berobat atau recall keluhan
sebelumnya.14 Derajat sesak dinilai dengan menggunakan VAS (Visual Analogue Scale).
Sesak dibagi menjadi sepuluh peringkat dari derajat tanpa sesak sampai sesak sekali. Alat
ukur lain yang mudah dipakai adalah Borg breatlessness scale.24
Penilaian aktivitas sehari-hari dapat dilakukan dengan memakai pedometer untuk
menilai status performance. Alat ini dapat menilai jumlah langkah yang dapat ditempuh oleh
penderita. Alat lain seperti triaxial accelerometer bahkan dapat menilai gerakan ke tiga
arah.16 Kemampuan latihan fisik dapat pula dinilai dengan kuesioner seperti Medical
Research Council Scale. Skala dibuat dari nilai tingkat 1 sampai 5.11
Kualitas hidup diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa
yang dicapai. Hal ini mencakup gejala status fungsional, mood dan faktor sosial.16 Kualitas
hidup dapat dinilai dengan kuesioner, interview atau keduanya. Kuesioner yang sering
dipakai adalah CRQ (Chronic Respiratory Disease Questionnaire) dan SGRQ (Saint George
Respiratory Questionnaire).24
Perbaikan faal paru dinilai dengan spirometry dan 6-MWT (Six Minute Walking
Test).22, 24
Faal paru dinilai dengan menggunakan Pulmonary function test untuk mengukur
FEV1, FVC dan FEV1/FVC kemudian ditentukan derajat gangguan faal parunya.11 Tes 6-
MWT merupakan alat ukur yang valid dan reliabel dalam menilai hasil rehabilitasi paru dan
menilai kapasitas aerobic penderita tua dengan gangguan jantung, paru maupun gangguan
vaskuler perifer.25 Tes ini berguna untuk menilai kapasitas latihan.16

Ringkasan
Diagnosis dan terapi TB yang tidak tepat dapat membuat semakin parahnya penyakit,
yang akhirnya berkontribusi terhadap sequeale dan kematian. Sequelae TB memberikan
gejala meskipun dinyatakan sembuh dari TB. Sequelae dapat terjadi pada penderita resisten
OAT maupun yang susceptible, hal ini diduga terkait jalur imunologi. Gangguan faal paru
yang terjadi pada penderita pasca tuntas OAT berupa kelainan obstruktif, restriktif maupun
campuran.
Rehabilitasi paru merupakan intervensi berbasis bukti bagi penderita dengan penyakit
pernapasan kronis termasuk sequelae TB yang sering memiliki gejala sisa (batuk, sesak) dan
penurunan aktivitas sehari-hari. Tehnik Rehabilitasi paru diantaranya dengan exercise

11
training / latihan fisik, edukasi, intervensi psikologis dan kebiasaan sehari-hari, dukungan
nutrisi, latihan pernapasan, terapi fisik, terapi oksigen dan bronkodilator. Termasuk dalam
latihan pernapasan adalah pernapasan diafragma dan pursed lips breathing. Penilaian pasca
rehabilitasi paru pada sequelae TB dilakukan untuk menilai perbaikan gejala sisa, kualitas
hidup, faal paru dan uji 6-MWT.

Daftar Pustaka
1. Tim kelompok kerja tuberkulosis. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2011.
2. Wibisono Jusuf M, Winariani, Hariadi Slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.
Cetakan III. Surabaya: Airlangga University press, 2011. Hal 9-27.
3. World Health Organisation. Diagnostic and treatment delay in tuberculosis. [Online].
2006; Available from: www/emro.who.int/dsaf710.pdf Accessed at: January, 2nd 2012
4. Kim Hy, Song KS, Goo JM, Lee JS, Lee KS, Lim TH. Thoracic Sequelae and
Complications of Tuberculosis. Radiographics. 2001 Jul-Aug; 21(4):839-58. Available
from: radiographics.rsna.org/content/21/4/839.long Accessed at: February, 7th 2012
5. Machida K, Maekura R. State of the art: Sequelae of tuberculosis. Kekkaku 2005 Oct; 80
(10): 655-74. [Abstract]; Available from: www.ncbi.nlm.gov/pubmed/16296394
Accessed at: January, 2nd 2012
6. Harada S, Harada Y, Kitahara Y, Takamoto M, Ishibashi T, Shinoda A. Tuberculosis
sequelae: clinical aspect. Kekkaku 1990 Dec; 65(12) :831-8. [Abstract]; Available from:
www.ncbi.nlm.gov/pubmed/2077259 Accessed at: January, 2nd 2012.
7. Yoneda R. Tuberculosis sequelae. Kekkaku. 1990 Dec;65(12):827-9. [Abstract];
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2077258 Accessed at: August, 4th
2012
8. The American Heritage. Dictionary of the English Language, Fourth Edition, Updated in
2009. Available from: www.thefreedictionary.com/sequela Accessed at: January, 2nd
2012.
9. Pasipanodya JG, Miller TL, Vecino M, Munguia G, Garmon R, Bae S et all. Pulmonary
Impairment after Tuberculosis [Online]. Chest 2007; 131; 1817-1824; Available from:
chestjournal.chestpubs.org/content/131/6/1817.full.html Accessed at: January, 2nd 2012.
10. Chung KP, Chen JY, Lee CH, Wu HD, Wang JY, Lee LN et all. Trends and predictors

12
of changes in pulmonary function after treatment for pulmonary tuberculosis [Online].
Clinics (Sao Paulo). 2011 April; 66(4): 549–556. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov
/pmc/articles/PMC3095809/?tool=pubmed acces at: Januari, 2nd 2012.
11. Singla N, Singla R, Fernandes S, Behera D. Post treatment Sequelae of Multi-Drug
Resistent Tuberkulosis patients [Online]. Indian Journal of Tuberkulosis; 2009; 56; 206-
212. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20469732 Accessed at: January, 2nd
2012.
12. Dheda K, Booth H, Huggett JF, Johnson MA., Zumla A, Rook GAW. Lung Remodeling
in Pulmonary Tuberculosis [Online]. J Infect Dis. (2005) 192 (7): 1201-1210. Available
from: http://jid.oxfordjournals.org/content/192/7/1201.long Accessed at: January, 2nd
2012.
13. Naso FC, Pereira JS, Schuh SJ, Unis G. Functional evaluation in patients with pulmonary
tuberculosis sequelae. Rev Port Pneumol. 2011; 17(5): 216-221. Available on:
www.elsevier.es/sites/default/files/elsevier/eop/S2173-5115%2811%2900023-6.pdf
Accessed at: December, 22nd 2011.
14. Ramos LMM, Sulmonett N, Ferreira CS, Henriques JF, Miranda SS. Functional profile of
patients with tuberculosis sequelae in a university hospital. J Bras Pneumol. 2006; 32(1):
43-7. Available on: www.scielo.br/pdf/jbpneu/v32n1/en_28885.pdf. Accesed at: January,
8th 2012
15. Al-Hajjaj MS, Joharjy IA. Predictors of radiological sequelae of pulmonary tuberculosis.
Acta Radiol. 2000; 41: 533–537 [Abstract]. Available from: www.ijidonline.com/
medline/record/ivp_02841851_41_533 Accessed at: January, 2nd 2012.
16. American Thoracic Society/European Respiratory Society Statement on Pulmonary
Rehabilitation. Am J Resp Crit Care Med 2006; 173: 1390-1413. Available on: www.ers-
education.org/media/2006/pdf/44011.pdf Accessed at: January, 2nd 2012.
17. Ries AL. Pulmonary Rehabilitation: Summary of an Evidence-Based Guideline. Respir
Care. 2008 Sep; 53(9): 1203-7. Available from: www.rcjournal.com/contents/
09.08/09.08.1203.pdf Accessed at: January, 2nd 2012.
18. Agency for Healthcare Research and Quality. Pulmonary rehabilitation: joint
ACCP/AACVPR evidence-based clinical practice guidelines. Chest 2007 May; 131 (5
Suppl): 4S-42S. Available from: chestjournal.chestpubs.org/content/131/ 5suppl/4S.long
Accessed at: January, 10th 2012.
19. Cabrera GO, Punzal PA, De Guia TS, Limpin EB. A Prospective Cohort Study on the
Effects of Pulmonary Rehabilitation on Non-COPD Lung Disease. Phil Heart Center J

13
2007;13(2):139-143. Available from: www.phc.gov.ph/aboutphc/journals/pdf/
cabrera.pdf Accessed at: January, 2nd 2012.
20. Ando M, Mori A, Esaki H, Shiraki T, Uemura H, Okazawa M, Sakakibara H. The Effect
of Pulmonary Rehabilitation in Patients With post-tuberculosis Lung Disorder. Chest
2003; 123; 1988-1995. DOI 10.1378/chest.123.6.1988. Available from:
http://chestjournal.chestpubs.org/content/123/6/1988.full.html Accessed at: January, 2nd
2012.
21. Mason. Components of A Comprehensive Pulmonary Rehabilitation Program In: Murray
and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 5th ed. Philadephia, Saunders, An imprint
of Elsevier, 2010. pp. 370-83.
22. Sivaranjini S, Vanamail P, Eason J. Six Minute Walk Test in People with Tuberculosis
Sequelae. Cardiopulmonary Physical Therapy Journal, vol 21, no.3, September 2010,
Available on: www.cpptjournal.org/pdfs/members/fulltext/2010/september/
Cardio_vol21no3_final.pdf Accessed at: February, 12nd 2012
23. Fahy BF, Pulmonary Rehabilitation in: Parsons Polly E, Heffner John E, editors,
Pulmonary / Respiratory Therapy Secrets. Edisi 3. India: Elsevier Private Limited, 2007.
pp. 28-31.
24. Ries A. Rehabilitation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease and Other Respiratory
Disorders In: Fishman Alfred P., editor, Fishman’s pulmonary diseases and disorders.
Edisi 4. New York: McGrawHill Medical, 2008. pp. 763-72.
25. Bott J, Singh SJ. Pulmonary rehabilitation In: Pryor Jennifer A, Webber Barbara A,
editors, Physiotherapy for Respiratory an Cardiac Problems. Edisi 2. Edinburgh:
Churchill Livingstone, 1998. pp. 371-84. `

14

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai