Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

PHARMACEUTICAL CARE PADA TUBERCULOSIS


HALAMAN JUDUL

KELOMPOK 3

Vinach Anggriyani (182211101093)


Yulliana Ayu P. (182211101094)
M. Rafli T. (182211101095)
Mas’uliyatul Hukmiyah (182211101096)
R.A Yashinta N. (182211101197)
Mila Nur Azizah (182211101098)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi penyebab kematian utama di dunia. TB disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menghasilkan infeksi laten diam atau penyakit
aktif progresif. Jika tidak diobati atau tidak dirawat dengan benar, TB menyebabkan kerusakan
jaringan yang progresif dan akhirnya menyebabkan kematian.
Tingkat infeksi TB umumnya meningkat akibat meningkatnya urbanisasi dan
kepadatan penduduk karena penyakit ini ditularkan lebih mudah melalui udara. Pasien
tuberkulosis merupakan orang yang datang dengan gejala atau tanda yang paling umum adalah
batuk produktif selama lebih dari 2 minggu, gangguan pernafasan seperti sesak napas, nyeri
dada, hemoptysis dan/ gejala konstitusional (kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan,
demam , berkeringat di malam hari, dan kelelahan).

1.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang
Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Faktor Resiko
• Lokasi Tempat Tinggal
Pada tahun 2014, California, Florida, New York, dan Texas menyumbang 51% kasus
TB yang dilaporkan secara nasional. Di negara tersebut, TB paling umum terdapat di
daerah perkotaan besar dan mereka yang lahir di luar Amerika dengan insiden TB
tinggi. Tingkat TB di antara orang yang lahir di luar negeri adalah 13,4 kali lipat dari
orang yang lahir di AS. Persentase pasien TB yang lahir di luar negeri di Amerika
Serikat telah meningkat setiap tahunnya mencapai 66,5% pada 2014 (Dipiro Ed 10).
Oleh karena itu, pekerja pada perawatan kesehatan harus mewaspadai apabila merawat
pasien yang mengalami gejala seperti batuk, demam, dan penurunan berat badan.
Semakin lama seseorang kontak langsung dengan pasien TB, maka semakin besar
resikonya tertular infeksi.
• Koinfeksi HIV
Pasien penurunan sistem tubuh akibat HIV akan memiliki faktor resiko terhadap TB.
Pada orang yang terinfeksi HIV, secara perlahan kadar CD4+ turun menjauhi kadar
normal. Penurunan kadar dan disfungsi sel CD4 yang progresif ditambah dengan
adanya kerusakan fungsi makrofag dan monosit pada penderita HIV menjadi
predisposisi untuk terjadinya sakit TB. Diperkirakan pasien HIV yang terinfeksi TB
lebih berisiko untuk mengalami perkembangan sakit TB sebanyak 21-34 kali. (Wijaya,
2013).
• Perilaku merokok
Perilaku merokok merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kemungkinan seseorang menderitatuberkulosis. Merokok dapat meningkatkan
kepekaan host untuk terkena TB paru dimana merokok dapat menurunkan daya tahan
tubuh sehingga mudah terhadap infeksi TB paru. Merokok dapat mengganggu
efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi, hasil dari asap rokok dapat
merangsang pembentukan mukosa dan menurunkan pergerakan silia, sehingga
menyebabkan terjadinya penimbunan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan
bakteri, termasuk infeksi tuberkulosis paru.

1.3 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien tuberkulosis, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang
mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung: jaringan di sekitar jantung juga bisa terinfeksi oleh kuman TB. Akibatnya
bisa terjadi cardiac tamponade, atau peradangan dan penumpukan cairan yang membuat
jantung jadi tidak efektif dalam memompa darah dan akibatnya bisa sangat fatal
- Efusi pleura: merupakan penumpukan cairan yang berlebihan di dalam rongga pleura
berupa transudat atau eksudat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia)
Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi dapat terjadi di paru-
paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun dinding dada. Komplikasi
TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak. TB juga menyebabkan
morbiditas dari komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi ini secara sistemik
menyebabkan gangguan metabolik, infeksius, atau structural derangements sebagai
konsekuensi dari penyakit TB yang menyerang saat ini atau sebelumnya. Selain komplikasi
kronis, terdapat juga komplikasi akut dan subakut. Komplikasi kronis dan akut dari
Tuberkulosis dapat dilihat dalam table 1. (Shah dan Reed, 2014).
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. Hemoptisis tidak hanya sering
terjadi pada tuberkulosis aktif tetapi juga dapat terjadi setelah selesai pengobatan.
Pendarahan biasanya terjadi dalam volume tertentu berbentuk dahak yang mengandung
darah. "Aneurisma Rasmussen" adalah penyebab hemoptisis yang relatif tidak umum
yang mengacu pada pembentukan aneurisma dalam pengaturan infeksi kavitasi yang
meluas ke daerah adventitia dan arteri bronkial, mengakibatkan peradangan dan
penipisan dinding pembuluh. Aneurisma kemudian pecah ke dalam rongga,
menyebabkan hemoptisis masif (Pozniak, 2016).
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena
kerusakan jaringan paru. Pneumotoraks yang terjadi secara spontan merupakan
komplikasi TB pada paru yang sering dan berbahaya, Pneumotoraks terjadi karena
pecahnya rongga perifer atau fokus kaspleural sehingga udara mengalir masuk ke dalam
rongga pleura (Pozniak, 2016).
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency) (Depkes RI, 2005).

1.4 Patofisiologi
Infeksi primer biasanya terjadi karena penghirupan partikel udara yang mengandung M.
tuberculosis. Perkembangan menjadi penyakit klinis tergantung pada tiga faktor yaitu jumlah
organisme M. tuberculosis yang dihirup, virulensi organisme dan respon imun yang
diperantarai sel inang. Masuk ke permukaan alveolar, kemudian dicerna oleh makrofag paru.
Jika makrofag tersebut menghambat atau membunuh basil, infeksi akan dibatalkan sehingga
tidak terinfeksi TB. Jika makrofag tidak bisa menghambat atau membunuh basil maka basil
terus bertambah banyak. Makrofag akhirnya pecah, melepaskan banyak basil, dan mikobakteri
tersebut kemudian difagositosis oleh makrofag lain. Selama fase awal infeksi, M. tuberculosis
berkembang biak. Beberapa organisme intraseluler diangkut oleh makrofag ke kelenjar getah
bening di daerah hilar, mediastinal, dan retroperitoneal. Siklus fagositosis dan pecahnya sel
berlanjut. M. tuberculosis menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Ketika penyebaran
intravaskular ini terjadi, M. tuberculosis dapat menginfeksi jaringan atau organ apa pun dalam
tubuh. Paling umum, M. tuberculosis menginfeksi daerah apikal posterior paru-paru. Oleh
karena itu, maka organ tubuh terinfeksi TB.

1.5 Klasifikasi
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
pemberian antibiotik spektrum luas
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Kasus kambuh adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
• Infeksi sekunder
• Infeksi jamur
• TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Kasus pindahan adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
• Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
• Penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan
gambaran radiologik
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh
klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Catatan :
• Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu TB
pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologik paru,
dianggap sebagai penderita TB di luar paru.
• Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB
paru.
• Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
(-)

Skema Klasifiasi Tuberkulosis

1.6 Tata Laksana Terapi Farmakologi dan Nonfarmakologi


1.6.1 Tata Laksana Terapi
European Tuberculosis Laboratory Initiative (ELI), telah berhasil
mengembangkan deteksi tuberculosis (TB) dan multidrug-resistant tuberculosis
(MDR-TB) paru secara tepat waktu dan akurat melalui peningkatan penggunaan
teknik diagnostik molekuler cepat (rapid molecular diagnostic) yang
direkomendasikan oleh WHO. Gambar 1 menunjukkan algortima diagnosis awal
untuk individu dengan gejala TB paru yang konsisten. Selanjutnya, algoritma untuk
memantau tindak lanjut pasien dengan TB paru yang peka terhadap obat dapat dilihat
pada Gambar 2, sedangkan algoritma untuk pemantauan tindak lanjut pasien MDR-
TB dan RIF-resistant dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 1. Algortima diagnosis awal untuk individu dengan gejala TB paru yang
konsisten (WHO, 2017)

Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algoritma pada Gambar 1, yaitu:


1. Hasil tes molecular harus disampaikan kepada dokter tanpa menunggu hasil kultur.
2. Melakukan rapid molecular test (seperti: Xpert atau LPA/Line Probe Assay (Genotype
MTBDR®)) untuk resistensi obat pada sampel primer mengurangi keterlambatan untuk
hasil resistensi fenotipik yang sesuai.
3. Pada kondisi tidak adanya Xpert MTB/RIF, maka sputum smear microscopy dapat
digunakan sebagai tes awal, dan sampel harus dikirim secepat mungkin ke laboratorium
dengan kapasitas untuk melakukan molecular test yang direkomendasikan oleh WHO
selain kultur.
4. Dalam kasus tidak adanya Xpert MTB/RIF tetapi tersedia FL-LPA (First Line-LPA),
maka tes ini harus digunakan untuk sampel smear-positive sputum untuk mengetahui
adanya resistensi Rifampicin (R) dan Isoniazid (INH atau H). Jika ditemukan resistensi
INH, maka hal ini dapat menjadi acuan untuk diagnosis lebih lanjut dan perlu
dipertimbangkan untuk memberikan terapi.
5. Untuk dilakukan ketika FL-LPA tersedia dan belum dilakukan.
6. Dengan tidak adanya FL-LPA, maka terapi regimen FL disarankan untukdimulai dan
disesuaikan segera setelah hasil DST (drug-susceptibility testing) tambahan tersedia.
7. Dalam kasus dimana hasil SL-LPA (Second Line-LPA) tidak dapat tersedia dalam satu
minggu, maka pengobatan empiris MDR-TB dapat dimulai.
8. SL-LPA cocok untuk digunakan di tingkat laboratorium rujukan pusat atau nasional;
atau di tingkat regional dengan infrastruktur yang sesuai.
9. Mengikuti kriteria kelayakan.
Gambar 2. Algoritma untuk memantau tindak lanjut pasien dengan TB paru yang peka
terhadap obat (WHO, 2017)

Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algortitma pada Gambar 2, yaitu:


1. Melakukan rapid molecular test (seperti: Xpert atau LPA) untuk resistensi obat pada
sampel primer mengurangi keterlambatan untuk hasil resistensi fenotipik yang sesuai.
2. SL-LPA cocok untuk digunakan di tingkat laboratorium rujukan pusat atau nasional;
atau di tingkat regional dengan infrastruktur yang sesuai.
3. Jika hasil sampel secara mikroskopis dan/atau kultur positif setelah dua bulan terapi,
maka disarankan untuk melakukan molecular diagnostic test yang disetujui WHO dan
DST untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya MTB serta untuk menentukan pola
resistensi.
4. Sebelum memulai molecular test yang disetujui WHO, hasil molecular test yang
dilakukan pada isolat harus diperiksa untuk memastikan bahwa molecular test pilihan
dapat mendeteksi resistensi tambahan.
5. Mengikuti kriteria kelayakan.
Gambar 3. Algoritma untuk pemantauan tindak lanjut pasien MDR-TB dan RIF-resistant
(WHO, 2017)

Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai algoritma pada Gambar 3, yaitu:


1. Harus dilakukan hanya jika tidak ada resistensi terhadap obat lini kedua
(FLQ/fluoroquinolone dan SLID/second-line injectable drug) yang terdeteksi
sebelumnya.
2. Tidak perlu mengulangi test resistensi rifampicin awal, karena ini akan tetap resisten.
1.6.2. Algoritma Diagnosis dan Interpretasi Xpert
Sebagai catatan bahwa pasien dengan NTM (non tuberculous mycobacteria), MTB
(mycobacterium tuberculosis) tidak akan terdeteksi oleh Xpert, maka kultur dan spesiasi atau
LPA harus dilakukan.
GeneXpert test memberikan dua macam hasil, yaitu konfirmasi adanya MTB dan hasil
pengujian kepekaan terhadap obat (NHDRSA, 2014), seperti yang tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Interpretasi hasil uji GeneXpert


Hasil Arti Keterangan
1. Uji untuk mengkonfirmasi adanya MTB
MTB kompleks MTB terisolasi dari specimen maka Pasien menderita penyakit TB
terdeteksi pasien secara bakteriologis dan harus diberikan terapi
terkonfirmasi TB
MTB kompleks tidak MTB tidak terisolasi dari spesimen Hasil ini tidak termasuk TB
terdeteksi pada orang dengan penyakit
Paucibacillary, misalnya anak-
anak dan EPTB (Extra
Pulmonary TB). Kepekaan dari
Xpert rendah pada pasien smear
negative, kultur positif. Hal itu
berarti bahwa penyakit TB tidak
dapat dikonfirmasi secara
bakteriologis. Investigasi lebih
lanjut diperlukan untuk
mengkonfirmasi TB pada pasien
ini.
2. Uji skrining untuk kepekaan terhadap rifampicin
Peka terhadap Strain MTB terisolasi peka terhadap Ini tidak termasuk
rifampicin rifampicin, oleh karena itu pasien kemungkinan resisten terhadap
menderita TB yang peka rifampicin obat-obat lini pertama seperti
INH, PZA, E
Resisten terhadap Strain MTB terisolasi resisten Ini tidak berarti bahwa pasien
rifampicin terhadap rifampicin, oleh karena itu juga resisten terhadap INH atau
pasien menderita TB yang resisten dengan kata lain MDR-TB.
rifampicin Pasien hanya menderita
rifampicin mono resistence
(RR-TB)

1.6.3. Algoritma dan Interpretasi LPA (Line Probe Assay)


Uji LPA digunakan pada pasien dengan resiko tinggi dimana rapid diagnosis MDR-
TB atau INH resistence diperlukan. Spesimen one spot sputum harus diambil untuk smear
microscopy, jika AFB posistif maka specimen lain harus diambil untuk LPA. Jika AFB
negative, maka kultur lain untuk smear dan LPA harus diambil. Interpretasi LPA dapat dilihat
pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Interpertasi hasil uji LPA
Hasil Tindakan
Hasil smear microscopy Uji LPA akan dilakukan pada specimen kedua dan hasil harus kembali
positif AFB dalam 5-7 hari, oleh karena itu pasien harus kembali dalam 7 hari.
Jika hasil mengkonfirmasi adanya TB resisten obat, maka pasien harus
dikonseling dan diatur untuk membuat unit MDR-TB untuk
memastikan terapi inisiasi secepatnya. Jika hasil menunjukkan TB
sensitive obat, pasien harus dikonseling dan perlu dilakukan terapi TB
secepatnya.
Hasil smear microscopy Jika DR-TB secara kuat ditemukan maka spesimen kedua untuk kultur
negatif AFB harus diambil untuk kultur dan LPA. Sambil menunggu hasil, harus
dilakukan X-Rays dada untuk membantu menegakkan diagnosis. Jika
ditemukan TB secara klinis maupun X-Rays maka pasien dapat mulai
diberikan terapi regimen 1 dan tinjau ulang hasil dilakukan secepatnya.

Tabel 3. Interpretasi hasil lanjutan uji LPA


Hasil Arti Tindakan
MTB kompleks MTB terisolasi dari specimen, oleh Tinjau ulang kepekaan hasil
terdeteksi karena itu pasien secara bakteriologiss dan perlakuan yang sesuai
terkonfirmasi menderita TB
MTB kompleks tidak MTB tidak terisolasi dari spesimen Hasil ini tidak termasuk TB
terdeteksi
Peka Rifampicin dan Pasien menderita TB peka obat Berikan terapi regimen 1
INH
Resisten Rifampicin Pasien menderita MDR-TB Berika terapi kategori IV
dan INH
Resisten Rifampicin Pasien menderita RR-TB Berikan terapi kategori IV
dan sensitive INH*
Peka Rifampicin dan Pasien menderita Isoniazid mono Berikan terapi lini pertama
resisten INH resistance TB obat RHZE selama 6 bulan
*resistensi terhadap INH (Isoniazid) lebih kompleks dibandingkan resistensi terhadap Rifampicin. Uji LPA
mungkin tidak medeteksi resistensi INH. Pada sebagian besar laboratorium jika hasil menunjukkan pasien
menderita RR-TB maka kepekaan INH akan dilakukan phenotypic drug succeptibillity test untuk mengkonfirmasi
lebih lanjut.

1.6.4. Pemeriksaan Dahak (Sputum)


Menurut Pedoman Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2014 oleh Kemenkes RI
pemeriksaan dahak terdiri atas:
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan
dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
✓ S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung, pertama
kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk
menampung dahak pagi pada hari kedua.
✓ P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
✓ S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
b. Pemeriksaan Biakan (Culture)
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi MTB dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
➢ Pasien TB ekstra paru (EPTB).
➢ Pasien TB anak.
➢ Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila
dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat (rapid diagnostic test) yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan
tes cepat tersebut.

1.6.5. Terapi Farmakologi


Obat TB memiliki beragam variasi karakteristik (NDHRSA, 2014), yaitu:
a. Bakterisidal, bakteriostatik (sterilising) atau punya kemampuan untuk mencegah
resistensi.
b. Dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk melawan berbagai varietas basil yang
ditemukan pada lesi TB
• Basil aktif secara metabolik, basil aktif menengah, basil semi-aktif (persisters),
yang mengalami metabolisme sesekali dan basil aktif (yang dapat menjadi
aktif).
• Beberapa obat TB bekerja paling baik di lingkungan asam; yang lain lebih baik
pada pH yang lebih basa
c. Basil terjadi baik di ruang ekstraseluler di mana pH biasanya netral atau alkali dan di
ruang interselular di mana ia bersifat asam.
Karakterisitik obat anti TB (OAT) tunggal dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakterisitik obat TB tunggal
Obat Karakeristik Obat Target Basil pH Lokasi Aksi
Isoniazid (H) Bakterisidal setelah Basil dengan Kondisi basa Intraseluler dan
24 jam. pertumbuhan dan asam Ekstraseluler
Potensi tinggi: cepat dan
membunuh >90% sedang
basil pada beberapa
hari pertama terapi
Rifampicin (R) Bakterisidal dalam 1 Semua macam Kondisi basa Intraseluler dan
jam. populasi basili dan asam Ekstraseluler
Potensi tinggi. termasuk
Agen sterilising basili dorman
paling efektif. (tidak
aktif/tidur)
Pyrazinamide (Z) Bakterisidal potensi Basil dengan Kondisi asam Hanya basil
rendah. pertumbuhan ingtraseluler
Mencapai aksi lambat (macrophages)
sterilising dalam 2-3
bulan.
Ethambutol (E) Bakteriostatik. Semua Kondisi basa Intraseluler dan
Potensi rendah. populasi dan asam Ekstraseluler
Meminimalisasi bakteri
munculnya resistensi
obat.
Streptomycin (S) Bakterisidal potensi Basil dengan Kondisi basa Basil
rendah. pertumbuhan Ekstraseluler
cepat

Paduan OAT KDT lini pertama dan peruntukannya (Kemenkes RI, 2014), yaitu:
a. Regimen (Kategori)-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
✓ Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
✓ Pasien TB paru terdiagnosis klinis
✓ Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/150)

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT


30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT


Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah
Pengobatan Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol kali
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr menelan
obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
✓ Pasien kambuh
✓ Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
✓ Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3


Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT


+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT


+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT


+ 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks ) + 5 tab Etambutol

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptom Jumlah
Pengobata Pengobatan Isoniasi Rifampisi Pirazinami i hari/kali
n d n d Table Table sin menela
@ 300 @ 450 @ 500 mgr t@ t@ injeksi n
mgr mgr 250 400 obat
mgr mgr

Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56


Awal 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis
harian)
Tahap 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu
)

Catatan:
➢ Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
➢ Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
➢ sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
➢ Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
➢ apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
➢ Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan
➢ golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
➢ jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
➢ Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
➢ OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan
➢ pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
PHARMACEUTICAL CARE PLAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. A
Umur : 56 tahun
Tanggal MRS : 28/8
Tanggal KRS :-
Diagnosa : TB + Pneumonia

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Lemah badan, berkeringat dingin di malam hari, batuk yang tak kunjung sembuh, dan
sesak yang semakin parah beberapa hari belakangan ini. Pasien juga mengalami
demam sejak 3 hari yang lalu.

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu :


TB sejak 2 tahun yang lalu

2.3. Riwayat Pengobatan :


OAT (tidak patuh).
Pasien tidak mengkonsumsi obat secara rutin karena merasa mual dan kesemutan
setelah mengkonsumsi obat tersebut, sehingga akhirnya berhenti menggunakannya.

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :


-

2.5. Alergi Obat :


-
III. OBYEKTIF
3.1 Tanda-tanda Vital

Param Nilai
28/8 29/8 30/8 31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9 Keterangan
eter Normal
<120-80
TD 100/70 90/70 100/60 110/70 110/75 100/70 110/80 100/80 110/70 110/80 110/75 100/70 110/80 100/80 110/70 Tekanan darah normal
(mmHg)
Takikardi,dimungkinka
80-100
Nadi 124 ↑ 92 90 94 88 88 89 88 89 88 88 84 80 80 82 n karena pasien lemah,
(x/menit)
demam, dan sesak napas
18-20
(x/menit) 28 ↑
RR 36 ↑ 36 ↑ 37 ↑ 37 ↑ 37 ↑ 36 ↑ 36 ↑ 37 ↑ 35 ↑ 37 ↑ 28 ↑ 26 ↑ 28 ↑ 28 ↑ Takipnea
Demam sejak 3 hari
Suhu 36,5-37,5 39 ↑ 38,5 ↑ 38,5 ↑ 38 ↑ 38 ↑ 38 ↑ 37,5 37 37,5 37 37,5 37 37,2 37 37 sebelum MRS,
tubuh (ºC) disebabkan karena
pneumonia
3.2 Tanda-Tanda Klinik
Gejala Nilai
Fisik
28/8 29/8 30/8 31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9 Keterangan
Normal
Sesak
(-) + + + + + + + + + - - - - - - Hal ini merupakan
napas
manifestasi klinik dari
Batuk (-) + + + + + + + + + + + + + + + TB dan pneumonia
Lemah (-) ++ ++ + + + + + + + + + + - - -
Efek samping dari
penggunaan obat TB
Mual (-) - + + ++ + + + + - - - - - - - yaitu HRZ
A(sewaktu) +
B (pagi) + Pemeriksaan dahak TB
Dahak (-)
C(sewaktu) + BTA +
3.3 Data Laboratorium
Tanggal
Data Lab Nilai Normal Keterangan
28/8 1/9 5/9 7/9 10/9
Hb 12-16 g/dL 10,2 ↓ 11,9 ↓ 10,8 ↓ 11,2 ↓
Anemia
Hematokrit 35-45% 34,4 ↓
Leukosit 4,8-10 x 104 14000 ↑ 15.200 ↑ 10.200 ↑ 9500 8300 Terdapat infeksi
LED <20 mm/jam 5 3
Trombosit 170-380 x 103 401.000 ↑ 344.000 275.000 201.000 210.000
Ureum 10-50 mg/dL 31,9 50,3 Trombositosis (28/8)
0,67-1,5
Kreatinin 0,76 0,83
mg/dL
Hipoalbumin (gangguan
Albumin 3,5-5 mg/dL 3,16↓
fungsi hati)
SGOT 5-35 u/l 34 38 ↑ 186 ↑ 257 ↑ 41 ↑
39 ↑ 280 ↑ 67 ↑ Menunjukkan adanya
SGPT 5-35 u/l 28 163 ↑
gangguan fungsi hati
Bilirubin total <1,4 mg/dL 1,05 0,73
akibat efek samping
Bilirubin direct <0,4 mg/dL 0,23 0,51 ↑
penggunaan OAT
Bilirubin indirect 0,2-0,7 mg/dL 0,82 ↑ 0,22
BGA pH 7,35-7,45 7,467
pCO2 35-45 mmHg 35 Normal
HCO3 22-26 mEq/L 23,6
Pasien sesak napas,
sehingga terjadi penurunan
pO2 75-100 mmHg 60,1↓ kemampuan paru-paru
dalam menyediakan
oksigen bagi darah
Kadar oksigen yang terikat
Saturasi O2 95-100 % 90 ↓ pada hemoglobin pasien
rendah.
IV. Terapi Pasien
Tanggal
Nama Obat Dosis & Rute Indikasi
28/8 29/8 30/8 31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9
NS : D5 (1:1) 20 tpm Cairan tubuh              - -
02 2 L/menit Sesak nafas          - - - - - -
Ceftriaxon iv 1g dd1        - - - - - - - -
             
Ciprofloxacin 500 mg tab 2 dd1
Pneumonia
- - - - - - -        -
Cefadroxil 250 mg tab 2 dd1
Ambroxol syrup 3dd1C Batuk       - - - - - - - - -
Paracetamol tab 3dd1 Demam       - - - - - - - - -
Rifampisin 450 mg 1dd1         - - - - - - -
INH 300 mg 1dd1         - - - - - - -
Etambutol 250 mg 1dd3 TB         - - - - - - -
PZA 500 mg 1dd3         - - - - - - -
Streptomisin 1x750 mg i.m         - - - - - - -
Neuritis Perifer         - - - - - - -
Vit B6 tab 1dd1
(ESO INH)
Metoclopramide inj 3 dd1 Mual - - - -  - - - - - - - - - -
Curcuma tab 3dd1 - - - - - - - -       
Hepatoprotektor - - - - - - - - - -     
Heparmin tab
Loratadin tab Alergi - - - - - -  - - - - - - - -
ProblemMedis Subyektif/Obyektif Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Tuberculosis Subyektif : Rifampisin Rifampisin merupakan obat - Plan:
Lemah badan, 450 mg 1dd1 antituberculosis yang bersifat Terapi sudah tepat
berkeringat dingin Bakterisidal. suatu inhibitor dihentikan pada tanggal
dimalam hari, batuk sintesis RNA (5/9)
yang tak kunjung Dosis :
sembuh. tahap awal (dosis harian) = 450 Monitoring :
Obyektif: mg 1dd1 selama 2 bulan (56 Kondisi pasien, Kadar
Dahak BTA (+) hari) dan 1 bulan (28 hari). Albumin, SGOT,
(9/9) Tahap lanjutan (dosis 3x SGPT, bilirubin total,
seminggu) = 450 mg 3x bilirubin direct,
seminggu 1 tablet. bilirubin indirect.
Efek Samping : Flu syndrome
(gejala influenza berat),
gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah,
gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin
rash, sesak nafas, anemia
hemolitik (Permenkes
RI,2016).
INH INH atau isoniazid merupakan - Plan:
300 mg 1dd1 obat antituberculosis yang Terapi sudah tepat
bersifat Bakterisidal. suatu dihentikan pada tanggal
inhibitor sintesis dinding sel (5/9)
Dosis :
Tahap awal (dosis harian) = Monitoring :
300 mg 1dd1 selama 2 bulan Kondisi pasien, Kadar
(56 hari) dan 1 bulan (28 hari). Albumin, SGOT,
Tahap lanjutan (dosis 3x SGPT, bilirubin total,
seminggu) = 300 mg 3x bilirubin direct,
seminggu 2 tablet. bilirubin indirect.
Efek Samping : Neuropati
perifer (Gangguan saraf tepi),
psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang (Permenkes
RI, 2016).
PZA Pirazinamid merupakan obat - Plan:
500 mg 1dd3 antituberkulosis Terapi sudah tepat
(Bakteriosidal). dihentikan pada tanggal
Dosis : Tahap awal (dosis (5/9)
harian) = 500 mg 1dd3 selama
2 bulan (56 hari) dan 1 bulan Monitoring :
(28 hari). Kondisi pasien, Kadar
Efek samping : gangguan Albumin, SGOT,
gstrointestinal, gangguan SGPT, bilirubin total,
fungsi hati dan gout arthritis. bilirubin direct,
(Permenkes RI, 2016).
bilirubin indirect.
Etambutol Etambutol merupakan obat Terdapat indikasi Plan : Terapi
250 mg 1dd3 antituberkulosis tanpa pengobatan menggunakan
(bakteriostatik). mulai tanggal etambutol diberikan
Dosis : (5/9) kembali selama 3 bulan
Tahap awal (dosis harian) = sambil menunggu
250 mg 1dd3 selama 2 bulan fungsi hati membaik.
(56 hari) dan 1 bulan (28 hari).
Tahap lanjutan (dosis 3x Monitoring : Kondisi
seminggu) = 250 mg 3x pasien, Kadar Albumin,
seminggu 1 tablet. SGOT, SGPT, bilirubin
Efek samping : gangguan total, bilirubin direct,
penglihatan, buta warna bilirubin indirect
merah/hijau dan neuritis
perifer.
(Permenkes RI, 2016).
Streptomisin Streptomisin merupakan obat Terdapat indikasi Plan : Terapi
1x750 mg i.m antituberkulosis tanpa pengobatan menggunakan
(Bakteriosidal). streptomisin kembali
Dosis : mulai tanggal selama 2 bulan sambil
Tahap awal (dosis harian) = (5/9) menunggu fungsi hati
0,75 gram 1 x sehari i.m membaik.
selama 2 bulan (56 hari).
Efek samping : nyeri di tempat Monitoring : Kondisi
suntikan, gangguan pasien, Kadar Albumin,
keseimbangan dan SGOT, SGPT, bilirubin
pendengaran, syok anafilaksis, total, bilirubin direct,
anemia, agranulositosis dan bilirubin indirect
trombositopenia.
(Permenkes RI, 2016).
Hepatotoksik Subjektif : - Curcuma tab Indikasi: Sebagai DRP: terapi tidak Plan:
3dd1 hepatoprotektor; membantu adequat Terus digunakan namun
Objektif : proses penyembuhan gangguan dikombinasikan dengan
• SGOT dan SGPT hati. (MIMS) hepatoprotektor lain
tinggi yaitu Heparmin
• Albumin rendah Kandungan:
Setiap tablet curcuma fct Monitoring:
(28/8)
mengandung ekstrak Curcuma Kondisi pasien, Kadar
xanthorrhiza Rhizome Albumin, SGOT,
sebanyak 20 mg SGPT, bilirubin total,
bilirubin direct,
Dosis:
bilirubin indirect
PO 3x1-2 tab sehari
(MIMS)
Heparmin tab Indikasi: Sebagai Plan:
hepatoprotektor; membantu Terus diberikan pada
proses penyembuhan gangguan pasien sampai fungsi
hati. (MIMS) hati membaik atau
normal
Kandungan:
Tiap tablet mengandung Monitoring:
Kleinhovia hospita 100 mg, Kondisi pasien, Kadar
Curcuma xanthorriza 75 mg, Albumin, SGOT,
Nigella sativa 100 mg,
Arcangelisia flava 50 mg, SGPT, bilirubin total,
Ophiocephalus striatus 100 mg bilirubin direct,
(MIMS) bilirubin indirect

Dosis:
PO 3x2 tab sehari (MIMS)
Neuropati Subjektif: Vit B6 tab 1dd1 Indikasi: neuritis yang - Terapi sudah tepat dan
perifer Kesemutan diinduksi oleh obat seperti dihentikan bersama
isoniazid (DIH ed 17th). penghentian isoniazid.

-neurotoksisitas perifer -vitamin B6 yang


merupakan salah satu efek digunakan (piridoxin)
smping obat isoniazid dan 50 – 75 mg per
ethambutol (Dipiro 9th) hari (Kemenkes, 2014)
-Dosis: Perawatan: 100-200 Monitoring: Kondisi
mg / 24 jam
kesemutan pasien
Profilaksis: 25-100 mg / 24
jam (DIH ed 17th)
Pneunomia Subjektif: Ceftriaxon iv 1g Antibiotik Beta Laktam, - Plan : terapi sudah
Demam, Sesak dd1 Sefalosporin (Generasi Ketiga) benar dihentikan pada
nafas (4/9). Perlu dilakukan
Indikasi untuk bakteri gram kultur terlebih dahulu/
Objektif : positif dan negative pengambilan spesimen
1. Diagnosa dokter (PIONAS), termasuk infeksi untuk pemeriksaan
2. RR > 20/menit serius seperti septikemia, mikrobiologi untuk
3. Peningkatan pneumonia, meningitis (BNF menentukan secara
suhu tubuh ’17) serta sebagai Pengobatan spesifik spesies
4. pO2 infeksi saluran pernapasan penyebab
5. Saturasi O2 bawah, (DIH ed 17) pneumonianya agar
6. Peningkatan dapat dilakukan
jumlah leukosit I.V : 1 g sekali sehari, biasanya pengobatan dengan
dalam kombinasi dengan tepat.
makrolida; pertimbangkan 2 g
/ hari untuk pasien berisiko
untuk infeksi yang lebih parah
dan / atau resisten
(DIH,ed17th)
Cefadroxil 250 Antibiotik golongan DRP : Plan : terapi sebaiknya
mg tab 2 dd1 sefalosporin generasi pertama penggunaan obat dihentikan. Menurut
yang mempunyai aktivitas yang berlebihan (PDPI,2014) pada
yang baik terhadap bakteri apabila digunakan terapi pneumonia
gram positif dan gram negatif. bersamaan pasien rawat inap non
-Dosis Dewasa Biasa untuk dengan ICU, diterapi dengan
Infeksi Saluran Pernafasan ciprofloxacin fluorokuinolon atau
Atas: 500 mg per oral setiap 12 (over prescribing) beta laktam +
jam atau 1 g per oral setiap 24 makrolida.
jam selama 7 hingga 10 hari
(drugs.com)
Ciprofloxacin Ciprofloxacin merupakan - Plan : terapi
500 mg tab 2 antibiotic golongan dilanjutkan.
dd1 fluorokuinolon yang aktif Perlu dilakukan kultur
terhadap bakteri gram positif terlebih dahulu/
dan negatif. Dosis yang pengambilan spesimen
digunakan adalah 0,5 – 1 gram untuk pemeriksaan
per hari (Dipiro et al. 2008). mikrobiologi untuk
menentukan secara
spesifik spesies
penyebab
pneumonianya agar
dapat ditentukan terapi
definitifnya.

Monitoring : RR <
20/menit,pO2, Saturasi
O2 tanda-tanda infeksi
seperti kenaikan suhu,
serta kadar leukosit.
NS : D5 (1:1) Berfungsi mengembalikan Plan : Tetap dilanjutkan
20 tpm keseimbangan cairan tubuh untuk menjaga asupan
(PIONAS) cairan dan elektrolit
pasien
Penggunan infus NS
digunakan untuk rehidrasi Monitoring : Dilihat
sebagai pengobatan suportif kondisi pasien masih
(PDPI, 2014) lemah atau sudah
normal
O2 2L/menit Pengobatan suportif / Plan : terapi sudah tepat
simptomatik (PDPI, 2014)
-
Monitoring : sesak
nafas, pO2, saturasi O2
Demam Subjek : demam 3 Paracetamol tab Terapi untuk mengatasi
hari yang lalu 3dd1 demam Plan : diminum apabila
suhu pasien tinggi
Objektif : (≥38℃). Penggunaan
28/8 = 39℃ dihentikan apabila
-
29/8 = 38,5℃ pasien tidak demam.
30/8 = 38,5℃
31/8 = 38℃ Moitoring : suhu tubuh
1/9 = 38℃ pasien
2/9 = 38℃
Batuk Subjek : batuk yang Ambroxol syrup Ambroxol merupakan agen Indikasi tanpa Plan : terapi dengan
tak kunjung sembuh 3dd1C mukolitik yang bekerja terapi (3/9-11/9) ambroxol sebaiknya
mengencerkan dahak dengan digunakan kembali
menurunkan viskositasnya karena gejala batuk
(Sweetman, 2009). pasien masih ada
sampai tanggal 11/9
Mual Metoclopramide Indikasi: antiemetic Terapi ditinjau -Terapi tetap diberikan.
Tanda Vital: Mual
inj 3dd1 kembali terkait Jika dimungkinkan
-mual dan muntah merupakan frekuensi dan tanggal 31/9 dapat
salah satu efek samping obat dosis diberikan, saat kondisi
pirazinamid dan rifampisin sangat mual.
(Dipiro 9th) -Ditinjau ulang
-Dosis injeksi = 10 mg iv frekuensi
(khusus untuk mual pemberian injeksi
tuberkulosis belum ditemukan) metokloperamid
(DIH, 17th) -Direkomendasikan
metoclopramide 10 mg
30 menit sebelum
konsumsi OAT atau
ondansetron 8 mg, 30
menit sebelum obat
anti-TB dan diminum
lagi delapan jam
sesudahnya (WHO,
2014)
-Pengaturan Jadwal dan
konsumsi OAT
bersama camilan atau
sedikit makanan
(Kemenkes,2014)

Monitoring: Frekuensi
mual dan kondisi
pasien

Loratadine Diindikasikan untuk DRP: Terapi Plan: Penggunaan


menghilangkan gejala dari tanpa indikasi loratadine
alergi rinitis hidung dan non- dihentikan/tidak perlu
hidung musiman; pengobatan diberikan karena pasien
urtikaria idiopatik kronis (DIH tidak menunjukkan
17th edition) adanya gejala alergi
Monitoring:
Terus pantau
kemungkinan
munculnya alergi
karena penggunaan
OAT
BAB III PEMBAHASAN

Tuberculosis
Pada kasus ini pasien Ny. A pada tanggal 1/9 mengalami gangguan fungsi hati akibat
penggunaan OAT ditandai dengan kenaikan SGPT, kemudian pada tanggal 5/9 nilai SGOT dan
SGPT mengalami kenaikan drastis dari nilai normal menunjukkan bahwa pasien mengalami
hepatotoksik akibat OAT. Penghentian pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi
hati kembali normal terapi TB tidak dapat serta merta dihentikan semuanya namun hanya dapat
dihentikan pemberian terapi OAT yang menyebabkan hepatotoksik. Melihat kondisi dimana kami
tidak mengetahui OAT hepatotoksik mana yang menyebabkan menurunnya fungsi hati pasien,
maka kami merekomendasikan untuk menghentikan semua OAT hepatotoksik dan hanya
memberikan Penggunaan OAT Streptomisin dan Etambutol dilanjutkan sambil menunggu fungsi
hati membaik. Disamping itu perlu dilakukan uji cepat (rapid molecular test) dan uji kepekaan
obat yang disarankan oleh WHO untuk memastikan ada atau tidaknya resistensi OAT, sehingga
pemberian terapi pada pasien dapat dilakukan dengan tepat. Selanjutnya perlu dilakukan
monitoring fungsi hati (SGOT dan SGPT), jika fungsi hati telah normal atau mendekati angka
normal dapat diberikan RH secara bertahap, yaitu berikan dosis Rifampicin secara bertahap baru
kemudian Isoniazid secara bertahap. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan
fungsi hati berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan penambahan salah
satu golongan florokuinolon (selain ciprofloxacin karena potensinya sangat lemah) dapat diberikan
(atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan (Kemenkes RI, 2014).
• Vitamin B6
Pemberian Vitamin B6 sudah tepat diberikan dari tanggal 28 Agustus sampai 4 Agustus,
bersama dengan penggunaan isoniazid dan etambutol. Gejala neuropati perifer dapat berupa mati
rasa atau kesemutan, merasa seperti ditusuk-tusuk (paresthesia), atau kelemahan otot (NIH, 2014).
Terjadinya neuropati disebabkan oleh mekanisme mitochondrial toxicity (Keswani, dkk., 2002).
Penghambatan mDNA untuk mereplikasi mDNA yang bertanggung jawab terhadap pembentukan
sel terganggu yang akhirnya menyebabkan kematian sel. Kematian pada sel dapat menurunkan
suplai oksigen ke saraf perifer dan menyebabkan kerusakan jaringan saraf (NIH, 2014).
• Metocloperamid
Pasien hari pertama masuk rumah sakit tidak mengeluh mual, terapi metokloperamid
belum diberikan. Menurut WHO, 2014, Fase I terkait efek samping mual, dapat diberikan camilan
ringan seperti (biskuit, roti, nasi, teh) sebelum konsumsi OAT. Pada fase II, dapat diberikan
metoclopramide 10 mg 30 menit sebelum konsumsi OAT atau ondansetron 8 mg, 30 menit
sebelum obat anti-TB dan diminum lagi delapan jam sesudahnya. Ondansetron dapat berupa
digunakan sendiri atau dengan metoclopramide (Jika ondansetron tidak tersedia, promethazine
dapat digunakan.) Untuk refraktori mual beri 24 mg, 30 menit sebelum dosis dapat dicoba.
Menurut Kemenkes, 2014 tatalaksana jika terjadi efek samping OAT (isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid) adalah pengaturan jadwal minum obat. Obat antidiabetes ditelan malam sebelum
tidur. Apabila keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit makanan. Apabila keluhan semakin
hebat disertai muntah, waspada efek samping berat dan segera konsultasi pada dokter. Sehingga
untuk pasien mulai merasa mual, dapat digunakan tata laksana tersebut. Diberikan dalam bentuk
injeksi, sesuaikan dengan kondisi pasien. Efek lebih cepat injeksi. Pasien dapat diberikan pada
tanggal 31/1 saat pasien mulai merasa sangat mual. Dosis Oral metocloperamide: 10-15 mg / dosis
hingga 4 kali / hari 30 menit sebelum makan atau makan dan sebelum tidur. Dosis ondansetron 8-
10 mg 1-2 times/day (DIH, 17th).

Pneumonia
Pengobatan pasien pneumonia komunitas (CAP) menurut PDPI 2014 yaitu terdiri dari
antibiotik dan pengobatan suportif. Terapi suportif dengan pemberian cairan untuk mencegah
dehidrasi serta elektrolit dan nutrisi. Selain itu juga dapat diberikan anti piretik jika dibutuhkan
serta mukolitik. Pemberian antibiotik diberikan secara empirik dan harus diberikan di awal terapi.
Alasan pemberian terapi awal dengan antibiotik empirik adalah karena keadaan penyakit yang
berat dan dapat mengancam jiwa, membutuhkan waktu yang lama jika harus menunggu kultur
untuk identifikasi kuman penyebab serta belum dapat dipastikan hasil kultur kuman merupakan
kuman penyebab CAP. Antibiotik empiris yang disarankan menurut PDPI 2014 yaitu
fluorokuinolon atau beta laktam+makrolida. Pada kasus, Ny. A mendapat antibiotic ceftriaxone,
ciprofloxacin dan cefadroxil untuk mengatasi pneumonianya. Ceftriaxone merupakan antibiotik
beta laktam golongan sefalosporin generasi III sedangkan cefadroxil merupakan antibiotik beta
laktam golongan sefalosporin generasi I. Penggunaan sefalosporin generasi III (ceftriaxone)
kurang efektif dalam mengatasi bakteri gram positif tetapi aktivitasnya terhadap gram negatif
meningkat dan lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan generasi sebelumnya (Islam dkk,
2017). Penggunaan ceftriaxone dihentikan pada tanggal 4/9 dan diganti dengan cefadroxil yang
sensitive terhadap bakteri gram positif dan negative (spektrum luas).
Pada kasus ini terdapat DRP pada penggunaan ciprofloksasin (fluorokuinolon) dengan
cefadroxil. Menurut (PDPI 2014), ada 2 antibiotik empiris untuk pasien CAP non ICU yaitu
dengan fluorokuinolon atau beta lactam+makrolida. Kami menyarankan penghentian cefadroxil,
karena pasien sudah mendapat terapi ciprofloksasin. Penggunaan ciprofloxacin juga dapat diganti
dengan fluorokuinolon respirasi seperti levofloksasin atau moksifloksasin yang memiliki
efektivitasnya lebih baik. Ny. A juga disarankan melakukan uji sputum untuk menentukan
antibiotic definitive yang sesuai dengan penyebab pneumonianya.
Menurut Dipiro edisi 10, pengobatan menggunakan ceftriaxon (golongan sefalosporin)
tidak lagi direkomendasikan sebagai monoterapi karena tingkat resistensi yang bervariasi terhadap
S. pneumoniae. Selain itu makrolida tidak lagi direkomendasikan karena tingginya tingkat
resistensi S. pneumoniae. Trimethoprim-sulfamethoxazole belum direkomendasikan untuk
beberapa waktu karena resistensi antara S. pneumoniae dan H. influenzae (Dipiro, ed 10th),
sehingga untuk pengobatanya dapat menggunakan antibiotik golongan beta Laktam dapat
menggunakan penisilin,carbapenem, monobaktam maupun lainya (Fluorokuinolon).
Penggunaan terapi suportif infus NS:D5 dan oksigenasi juga sudah tepat pada pasien,
dimana tanda-tanda lemah dan sesak napas sudah tidak terlihat. Ambroxol syrup pada pasien
menunjukkan DRP, karena obat tersebut sudah dihentikan pada tanggal 3/9 sedangkan batuk
pasien sampai tanggal 11/9 masih ada. Sehingga kami merekomendasikan penggunaan ambroxol
sirup sampai gejala batuk pasien sembuh.

Anemia
Kadar hemoglobin dan hematokrit pasien pada saat MRS menunjukkan adanya anemia hal
ini diakibatkan karena infeksi tuberkulosis. Sehingga tidak perlu untuk diterapi karena ketika
tuberkulosis membaik maka secara otomatis anemia akan membaik juga.

Hepatotoksik
Kondisi fungsi hati yang menurun drastis diterapi dengan pemberian suplemen
hepatoprotektor yaitu Curcuma tab dan Heparmin tab untuk membantu pemulihan fungsi hati yang
mengalami hepatotoksik. Pemberian suplemen ini terus dilakukan sampai nilai SGOT dan SGPT
membaik atau normal. Kedua suplemen tersebut mengandung Curcuma xanthorrizha (CX),
dimana menurut penelitian yang dilakukan oleh Devaraj et al. (2014) terbukti CX sebagai sumber
antioksidan alami memiliki aktivitas hepatoprotektif.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2005. Pharmaceutical Care untuk Pasien Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik Depkes.

Devaraj, S., S. Ismail, S. Ramanathan, dan M. F. Yam. 2014. Investigation of Antioxidant and
Hepatoprotective Activity of Standardized Curcuma xanthorrhiza Rhizome in Carbon
Tetrachloride-Induced Hepatic Damaged Rats. Scientific World Journal. 2014: 353128.

DiPiro, C.V., Barbara, G. W., Terry, L.S., dan DiPiro, J.T. 2015. Pharmacotherapy Handbook
Ninth Edition. New York: McGraw-Hill.

DiPiro, J.T., Talbert, R.T., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G., dan Posey, L. M. 2017.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Tenth Edition. New York: The McGraw-
Hill.

Drug Information Handbook 17th Edition

Islam, Z., Qodariyah, S. M., dan Nursehah, E. 2017. Penggunaan Antibiotik pada Terapy
Community Acquired Pneumonia di RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan di Jakarta Tahun
2014. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 19(1): 1-8.

NDHRSA. 2014. National Tuberculosis Management Guidelines. South Africa: NDHRSA

NIH (National Institute of Health). 2014. Peripheral Neuropathy. NIH Publication, 15-4853.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian


Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.

Keswani, S.C., C.A. Pardo, C.L. Cherry, A. Hoke, J.C. McArthur. 2002. HIV-Associated Sensory
Neuropathies. AIDS. 16:2105–2117.

PDPI. 2014. Pneumonia Komunitas, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Edisi II. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Pozniak, Anton MD. 2016. Clinical Manifestation and Complications o Pulmonary Tuberculosis.

Shah M dan Reed C. 2014. Review: Complication of Tuberculosis. Wolter Kluwer Health. 7(5):
403-410.

WHO. 2014. Companion Handbook to The WHO Guidelines for The Programmatic Management
of Drug-resistant Tuberculosis. Geneva.
WHO. 2017. Algorithm for Laboratory Diagnosis and Treatment-monitoring of Pulmonary
Tuberculosis and Drug-resistant Tuberculosis Using State-of-the-part Rapid Molecular
Diagnostic Technologies. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe

Anda mungkin juga menyukai