KELOMPOK 3
1.3 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien tuberkulosis, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang
mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung: jaringan di sekitar jantung juga bisa terinfeksi oleh kuman TB. Akibatnya
bisa terjadi cardiac tamponade, atau peradangan dan penumpukan cairan yang membuat
jantung jadi tidak efektif dalam memompa darah dan akibatnya bisa sangat fatal
- Efusi pleura: merupakan penumpukan cairan yang berlebihan di dalam rongga pleura
berupa transudat atau eksudat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia)
Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi dapat terjadi di paru-
paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun dinding dada. Komplikasi
TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak. TB juga menyebabkan
morbiditas dari komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi ini secara sistemik
menyebabkan gangguan metabolik, infeksius, atau structural derangements sebagai
konsekuensi dari penyakit TB yang menyerang saat ini atau sebelumnya. Selain komplikasi
kronis, terdapat juga komplikasi akut dan subakut. Komplikasi kronis dan akut dari
Tuberkulosis dapat dilihat dalam table 1. (Shah dan Reed, 2014).
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. Hemoptisis tidak hanya sering
terjadi pada tuberkulosis aktif tetapi juga dapat terjadi setelah selesai pengobatan.
Pendarahan biasanya terjadi dalam volume tertentu berbentuk dahak yang mengandung
darah. "Aneurisma Rasmussen" adalah penyebab hemoptisis yang relatif tidak umum
yang mengacu pada pembentukan aneurisma dalam pengaturan infeksi kavitasi yang
meluas ke daerah adventitia dan arteri bronkial, mengakibatkan peradangan dan
penipisan dinding pembuluh. Aneurisma kemudian pecah ke dalam rongga,
menyebabkan hemoptisis masif (Pozniak, 2016).
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena
kerusakan jaringan paru. Pneumotoraks yang terjadi secara spontan merupakan
komplikasi TB pada paru yang sering dan berbahaya, Pneumotoraks terjadi karena
pecahnya rongga perifer atau fokus kaspleural sehingga udara mengalir masuk ke dalam
rongga pleura (Pozniak, 2016).
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency) (Depkes RI, 2005).
1.4 Patofisiologi
Infeksi primer biasanya terjadi karena penghirupan partikel udara yang mengandung M.
tuberculosis. Perkembangan menjadi penyakit klinis tergantung pada tiga faktor yaitu jumlah
organisme M. tuberculosis yang dihirup, virulensi organisme dan respon imun yang
diperantarai sel inang. Masuk ke permukaan alveolar, kemudian dicerna oleh makrofag paru.
Jika makrofag tersebut menghambat atau membunuh basil, infeksi akan dibatalkan sehingga
tidak terinfeksi TB. Jika makrofag tidak bisa menghambat atau membunuh basil maka basil
terus bertambah banyak. Makrofag akhirnya pecah, melepaskan banyak basil, dan mikobakteri
tersebut kemudian difagositosis oleh makrofag lain. Selama fase awal infeksi, M. tuberculosis
berkembang biak. Beberapa organisme intraseluler diangkut oleh makrofag ke kelenjar getah
bening di daerah hilar, mediastinal, dan retroperitoneal. Siklus fagositosis dan pecahnya sel
berlanjut. M. tuberculosis menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Ketika penyebaran
intravaskular ini terjadi, M. tuberculosis dapat menginfeksi jaringan atau organ apa pun dalam
tubuh. Paling umum, M. tuberculosis menginfeksi daerah apikal posterior paru-paru. Oleh
karena itu, maka organ tubuh terinfeksi TB.
1.5 Klasifikasi
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
pemberian antibiotik spektrum luas
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
Paduan OAT KDT lini pertama dan peruntukannya (Kemenkes RI, 2014), yaitu:
a. Regimen (Kategori)-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
✓ Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
✓ Pasien TB paru terdiagnosis klinis
✓ Pasien TB ekstra paru
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Catatan:
➢ Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
➢ Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
➢ sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
➢ Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
➢ apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
➢ Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan
➢ golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
➢ jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
➢ Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
➢ OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan
➢ pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
PHARMACEUTICAL CARE PLAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. A
Umur : 56 tahun
Tanggal MRS : 28/8
Tanggal KRS :-
Diagnosa : TB + Pneumonia
II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Lemah badan, berkeringat dingin di malam hari, batuk yang tak kunjung sembuh, dan
sesak yang semakin parah beberapa hari belakangan ini. Pasien juga mengalami
demam sejak 3 hari yang lalu.
Param Nilai
28/8 29/8 30/8 31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9 Keterangan
eter Normal
<120-80
TD 100/70 90/70 100/60 110/70 110/75 100/70 110/80 100/80 110/70 110/80 110/75 100/70 110/80 100/80 110/70 Tekanan darah normal
(mmHg)
Takikardi,dimungkinka
80-100
Nadi 124 ↑ 92 90 94 88 88 89 88 89 88 88 84 80 80 82 n karena pasien lemah,
(x/menit)
demam, dan sesak napas
18-20
(x/menit) 28 ↑
RR 36 ↑ 36 ↑ 37 ↑ 37 ↑ 37 ↑ 36 ↑ 36 ↑ 37 ↑ 35 ↑ 37 ↑ 28 ↑ 26 ↑ 28 ↑ 28 ↑ Takipnea
Demam sejak 3 hari
Suhu 36,5-37,5 39 ↑ 38,5 ↑ 38,5 ↑ 38 ↑ 38 ↑ 38 ↑ 37,5 37 37,5 37 37,5 37 37,2 37 37 sebelum MRS,
tubuh (ºC) disebabkan karena
pneumonia
3.2 Tanda-Tanda Klinik
Gejala Nilai
Fisik
28/8 29/8 30/8 31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9 Keterangan
Normal
Sesak
(-) + + + + + + + + + - - - - - - Hal ini merupakan
napas
manifestasi klinik dari
Batuk (-) + + + + + + + + + + + + + + + TB dan pneumonia
Lemah (-) ++ ++ + + + + + + + + + + - - -
Efek samping dari
penggunaan obat TB
Mual (-) - + + ++ + + + + - - - - - - - yaitu HRZ
A(sewaktu) +
B (pagi) + Pemeriksaan dahak TB
Dahak (-)
C(sewaktu) + BTA +
3.3 Data Laboratorium
Tanggal
Data Lab Nilai Normal Keterangan
28/8 1/9 5/9 7/9 10/9
Hb 12-16 g/dL 10,2 ↓ 11,9 ↓ 10,8 ↓ 11,2 ↓
Anemia
Hematokrit 35-45% 34,4 ↓
Leukosit 4,8-10 x 104 14000 ↑ 15.200 ↑ 10.200 ↑ 9500 8300 Terdapat infeksi
LED <20 mm/jam 5 3
Trombosit 170-380 x 103 401.000 ↑ 344.000 275.000 201.000 210.000
Ureum 10-50 mg/dL 31,9 50,3 Trombositosis (28/8)
0,67-1,5
Kreatinin 0,76 0,83
mg/dL
Hipoalbumin (gangguan
Albumin 3,5-5 mg/dL 3,16↓
fungsi hati)
SGOT 5-35 u/l 34 38 ↑ 186 ↑ 257 ↑ 41 ↑
39 ↑ 280 ↑ 67 ↑ Menunjukkan adanya
SGPT 5-35 u/l 28 163 ↑
gangguan fungsi hati
Bilirubin total <1,4 mg/dL 1,05 0,73
akibat efek samping
Bilirubin direct <0,4 mg/dL 0,23 0,51 ↑
penggunaan OAT
Bilirubin indirect 0,2-0,7 mg/dL 0,82 ↑ 0,22
BGA pH 7,35-7,45 7,467
pCO2 35-45 mmHg 35 Normal
HCO3 22-26 mEq/L 23,6
Pasien sesak napas,
sehingga terjadi penurunan
pO2 75-100 mmHg 60,1↓ kemampuan paru-paru
dalam menyediakan
oksigen bagi darah
Kadar oksigen yang terikat
Saturasi O2 95-100 % 90 ↓ pada hemoglobin pasien
rendah.
IV. Terapi Pasien
Tanggal
Nama Obat Dosis & Rute Indikasi
28/8 29/8 30/8 31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9
NS : D5 (1:1) 20 tpm Cairan tubuh - -
02 2 L/menit Sesak nafas - - - - - -
Ceftriaxon iv 1g dd1 - - - - - - - -
Ciprofloxacin 500 mg tab 2 dd1
Pneumonia
- - - - - - - -
Cefadroxil 250 mg tab 2 dd1
Ambroxol syrup 3dd1C Batuk - - - - - - - - -
Paracetamol tab 3dd1 Demam - - - - - - - - -
Rifampisin 450 mg 1dd1 - - - - - - -
INH 300 mg 1dd1 - - - - - - -
Etambutol 250 mg 1dd3 TB - - - - - - -
PZA 500 mg 1dd3 - - - - - - -
Streptomisin 1x750 mg i.m - - - - - - -
Neuritis Perifer - - - - - - -
Vit B6 tab 1dd1
(ESO INH)
Metoclopramide inj 3 dd1 Mual - - - - - - - - - - - - - -
Curcuma tab 3dd1 - - - - - - - -
Hepatoprotektor - - - - - - - - - -
Heparmin tab
Loratadin tab Alergi - - - - - - - - - - - - - -
ProblemMedis Subyektif/Obyektif Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Tuberculosis Subyektif : Rifampisin Rifampisin merupakan obat - Plan:
Lemah badan, 450 mg 1dd1 antituberculosis yang bersifat Terapi sudah tepat
berkeringat dingin Bakterisidal. suatu inhibitor dihentikan pada tanggal
dimalam hari, batuk sintesis RNA (5/9)
yang tak kunjung Dosis :
sembuh. tahap awal (dosis harian) = 450 Monitoring :
Obyektif: mg 1dd1 selama 2 bulan (56 Kondisi pasien, Kadar
Dahak BTA (+) hari) dan 1 bulan (28 hari). Albumin, SGOT,
(9/9) Tahap lanjutan (dosis 3x SGPT, bilirubin total,
seminggu) = 450 mg 3x bilirubin direct,
seminggu 1 tablet. bilirubin indirect.
Efek Samping : Flu syndrome
(gejala influenza berat),
gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah,
gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin
rash, sesak nafas, anemia
hemolitik (Permenkes
RI,2016).
INH INH atau isoniazid merupakan - Plan:
300 mg 1dd1 obat antituberculosis yang Terapi sudah tepat
bersifat Bakterisidal. suatu dihentikan pada tanggal
inhibitor sintesis dinding sel (5/9)
Dosis :
Tahap awal (dosis harian) = Monitoring :
300 mg 1dd1 selama 2 bulan Kondisi pasien, Kadar
(56 hari) dan 1 bulan (28 hari). Albumin, SGOT,
Tahap lanjutan (dosis 3x SGPT, bilirubin total,
seminggu) = 300 mg 3x bilirubin direct,
seminggu 2 tablet. bilirubin indirect.
Efek Samping : Neuropati
perifer (Gangguan saraf tepi),
psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang (Permenkes
RI, 2016).
PZA Pirazinamid merupakan obat - Plan:
500 mg 1dd3 antituberkulosis Terapi sudah tepat
(Bakteriosidal). dihentikan pada tanggal
Dosis : Tahap awal (dosis (5/9)
harian) = 500 mg 1dd3 selama
2 bulan (56 hari) dan 1 bulan Monitoring :
(28 hari). Kondisi pasien, Kadar
Efek samping : gangguan Albumin, SGOT,
gstrointestinal, gangguan SGPT, bilirubin total,
fungsi hati dan gout arthritis. bilirubin direct,
(Permenkes RI, 2016).
bilirubin indirect.
Etambutol Etambutol merupakan obat Terdapat indikasi Plan : Terapi
250 mg 1dd3 antituberkulosis tanpa pengobatan menggunakan
(bakteriostatik). mulai tanggal etambutol diberikan
Dosis : (5/9) kembali selama 3 bulan
Tahap awal (dosis harian) = sambil menunggu
250 mg 1dd3 selama 2 bulan fungsi hati membaik.
(56 hari) dan 1 bulan (28 hari).
Tahap lanjutan (dosis 3x Monitoring : Kondisi
seminggu) = 250 mg 3x pasien, Kadar Albumin,
seminggu 1 tablet. SGOT, SGPT, bilirubin
Efek samping : gangguan total, bilirubin direct,
penglihatan, buta warna bilirubin indirect
merah/hijau dan neuritis
perifer.
(Permenkes RI, 2016).
Streptomisin Streptomisin merupakan obat Terdapat indikasi Plan : Terapi
1x750 mg i.m antituberkulosis tanpa pengobatan menggunakan
(Bakteriosidal). streptomisin kembali
Dosis : mulai tanggal selama 2 bulan sambil
Tahap awal (dosis harian) = (5/9) menunggu fungsi hati
0,75 gram 1 x sehari i.m membaik.
selama 2 bulan (56 hari).
Efek samping : nyeri di tempat Monitoring : Kondisi
suntikan, gangguan pasien, Kadar Albumin,
keseimbangan dan SGOT, SGPT, bilirubin
pendengaran, syok anafilaksis, total, bilirubin direct,
anemia, agranulositosis dan bilirubin indirect
trombositopenia.
(Permenkes RI, 2016).
Hepatotoksik Subjektif : - Curcuma tab Indikasi: Sebagai DRP: terapi tidak Plan:
3dd1 hepatoprotektor; membantu adequat Terus digunakan namun
Objektif : proses penyembuhan gangguan dikombinasikan dengan
• SGOT dan SGPT hati. (MIMS) hepatoprotektor lain
tinggi yaitu Heparmin
• Albumin rendah Kandungan:
Setiap tablet curcuma fct Monitoring:
(28/8)
mengandung ekstrak Curcuma Kondisi pasien, Kadar
xanthorrhiza Rhizome Albumin, SGOT,
sebanyak 20 mg SGPT, bilirubin total,
bilirubin direct,
Dosis:
bilirubin indirect
PO 3x1-2 tab sehari
(MIMS)
Heparmin tab Indikasi: Sebagai Plan:
hepatoprotektor; membantu Terus diberikan pada
proses penyembuhan gangguan pasien sampai fungsi
hati. (MIMS) hati membaik atau
normal
Kandungan:
Tiap tablet mengandung Monitoring:
Kleinhovia hospita 100 mg, Kondisi pasien, Kadar
Curcuma xanthorriza 75 mg, Albumin, SGOT,
Nigella sativa 100 mg,
Arcangelisia flava 50 mg, SGPT, bilirubin total,
Ophiocephalus striatus 100 mg bilirubin direct,
(MIMS) bilirubin indirect
Dosis:
PO 3x2 tab sehari (MIMS)
Neuropati Subjektif: Vit B6 tab 1dd1 Indikasi: neuritis yang - Terapi sudah tepat dan
perifer Kesemutan diinduksi oleh obat seperti dihentikan bersama
isoniazid (DIH ed 17th). penghentian isoniazid.
Monitoring : RR <
20/menit,pO2, Saturasi
O2 tanda-tanda infeksi
seperti kenaikan suhu,
serta kadar leukosit.
NS : D5 (1:1) Berfungsi mengembalikan Plan : Tetap dilanjutkan
20 tpm keseimbangan cairan tubuh untuk menjaga asupan
(PIONAS) cairan dan elektrolit
pasien
Penggunan infus NS
digunakan untuk rehidrasi Monitoring : Dilihat
sebagai pengobatan suportif kondisi pasien masih
(PDPI, 2014) lemah atau sudah
normal
O2 2L/menit Pengobatan suportif / Plan : terapi sudah tepat
simptomatik (PDPI, 2014)
-
Monitoring : sesak
nafas, pO2, saturasi O2
Demam Subjek : demam 3 Paracetamol tab Terapi untuk mengatasi
hari yang lalu 3dd1 demam Plan : diminum apabila
suhu pasien tinggi
Objektif : (≥38℃). Penggunaan
28/8 = 39℃ dihentikan apabila
-
29/8 = 38,5℃ pasien tidak demam.
30/8 = 38,5℃
31/8 = 38℃ Moitoring : suhu tubuh
1/9 = 38℃ pasien
2/9 = 38℃
Batuk Subjek : batuk yang Ambroxol syrup Ambroxol merupakan agen Indikasi tanpa Plan : terapi dengan
tak kunjung sembuh 3dd1C mukolitik yang bekerja terapi (3/9-11/9) ambroxol sebaiknya
mengencerkan dahak dengan digunakan kembali
menurunkan viskositasnya karena gejala batuk
(Sweetman, 2009). pasien masih ada
sampai tanggal 11/9
Mual Metoclopramide Indikasi: antiemetic Terapi ditinjau -Terapi tetap diberikan.
Tanda Vital: Mual
inj 3dd1 kembali terkait Jika dimungkinkan
-mual dan muntah merupakan frekuensi dan tanggal 31/9 dapat
salah satu efek samping obat dosis diberikan, saat kondisi
pirazinamid dan rifampisin sangat mual.
(Dipiro 9th) -Ditinjau ulang
-Dosis injeksi = 10 mg iv frekuensi
(khusus untuk mual pemberian injeksi
tuberkulosis belum ditemukan) metokloperamid
(DIH, 17th) -Direkomendasikan
metoclopramide 10 mg
30 menit sebelum
konsumsi OAT atau
ondansetron 8 mg, 30
menit sebelum obat
anti-TB dan diminum
lagi delapan jam
sesudahnya (WHO,
2014)
-Pengaturan Jadwal dan
konsumsi OAT
bersama camilan atau
sedikit makanan
(Kemenkes,2014)
Monitoring: Frekuensi
mual dan kondisi
pasien
Tuberculosis
Pada kasus ini pasien Ny. A pada tanggal 1/9 mengalami gangguan fungsi hati akibat
penggunaan OAT ditandai dengan kenaikan SGPT, kemudian pada tanggal 5/9 nilai SGOT dan
SGPT mengalami kenaikan drastis dari nilai normal menunjukkan bahwa pasien mengalami
hepatotoksik akibat OAT. Penghentian pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi
hati kembali normal terapi TB tidak dapat serta merta dihentikan semuanya namun hanya dapat
dihentikan pemberian terapi OAT yang menyebabkan hepatotoksik. Melihat kondisi dimana kami
tidak mengetahui OAT hepatotoksik mana yang menyebabkan menurunnya fungsi hati pasien,
maka kami merekomendasikan untuk menghentikan semua OAT hepatotoksik dan hanya
memberikan Penggunaan OAT Streptomisin dan Etambutol dilanjutkan sambil menunggu fungsi
hati membaik. Disamping itu perlu dilakukan uji cepat (rapid molecular test) dan uji kepekaan
obat yang disarankan oleh WHO untuk memastikan ada atau tidaknya resistensi OAT, sehingga
pemberian terapi pada pasien dapat dilakukan dengan tepat. Selanjutnya perlu dilakukan
monitoring fungsi hati (SGOT dan SGPT), jika fungsi hati telah normal atau mendekati angka
normal dapat diberikan RH secara bertahap, yaitu berikan dosis Rifampicin secara bertahap baru
kemudian Isoniazid secara bertahap. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan
fungsi hati berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan penambahan salah
satu golongan florokuinolon (selain ciprofloxacin karena potensinya sangat lemah) dapat diberikan
(atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan (Kemenkes RI, 2014).
• Vitamin B6
Pemberian Vitamin B6 sudah tepat diberikan dari tanggal 28 Agustus sampai 4 Agustus,
bersama dengan penggunaan isoniazid dan etambutol. Gejala neuropati perifer dapat berupa mati
rasa atau kesemutan, merasa seperti ditusuk-tusuk (paresthesia), atau kelemahan otot (NIH, 2014).
Terjadinya neuropati disebabkan oleh mekanisme mitochondrial toxicity (Keswani, dkk., 2002).
Penghambatan mDNA untuk mereplikasi mDNA yang bertanggung jawab terhadap pembentukan
sel terganggu yang akhirnya menyebabkan kematian sel. Kematian pada sel dapat menurunkan
suplai oksigen ke saraf perifer dan menyebabkan kerusakan jaringan saraf (NIH, 2014).
• Metocloperamid
Pasien hari pertama masuk rumah sakit tidak mengeluh mual, terapi metokloperamid
belum diberikan. Menurut WHO, 2014, Fase I terkait efek samping mual, dapat diberikan camilan
ringan seperti (biskuit, roti, nasi, teh) sebelum konsumsi OAT. Pada fase II, dapat diberikan
metoclopramide 10 mg 30 menit sebelum konsumsi OAT atau ondansetron 8 mg, 30 menit
sebelum obat anti-TB dan diminum lagi delapan jam sesudahnya. Ondansetron dapat berupa
digunakan sendiri atau dengan metoclopramide (Jika ondansetron tidak tersedia, promethazine
dapat digunakan.) Untuk refraktori mual beri 24 mg, 30 menit sebelum dosis dapat dicoba.
Menurut Kemenkes, 2014 tatalaksana jika terjadi efek samping OAT (isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid) adalah pengaturan jadwal minum obat. Obat antidiabetes ditelan malam sebelum
tidur. Apabila keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit makanan. Apabila keluhan semakin
hebat disertai muntah, waspada efek samping berat dan segera konsultasi pada dokter. Sehingga
untuk pasien mulai merasa mual, dapat digunakan tata laksana tersebut. Diberikan dalam bentuk
injeksi, sesuaikan dengan kondisi pasien. Efek lebih cepat injeksi. Pasien dapat diberikan pada
tanggal 31/1 saat pasien mulai merasa sangat mual. Dosis Oral metocloperamide: 10-15 mg / dosis
hingga 4 kali / hari 30 menit sebelum makan atau makan dan sebelum tidur. Dosis ondansetron 8-
10 mg 1-2 times/day (DIH, 17th).
Pneumonia
Pengobatan pasien pneumonia komunitas (CAP) menurut PDPI 2014 yaitu terdiri dari
antibiotik dan pengobatan suportif. Terapi suportif dengan pemberian cairan untuk mencegah
dehidrasi serta elektrolit dan nutrisi. Selain itu juga dapat diberikan anti piretik jika dibutuhkan
serta mukolitik. Pemberian antibiotik diberikan secara empirik dan harus diberikan di awal terapi.
Alasan pemberian terapi awal dengan antibiotik empirik adalah karena keadaan penyakit yang
berat dan dapat mengancam jiwa, membutuhkan waktu yang lama jika harus menunggu kultur
untuk identifikasi kuman penyebab serta belum dapat dipastikan hasil kultur kuman merupakan
kuman penyebab CAP. Antibiotik empiris yang disarankan menurut PDPI 2014 yaitu
fluorokuinolon atau beta laktam+makrolida. Pada kasus, Ny. A mendapat antibiotic ceftriaxone,
ciprofloxacin dan cefadroxil untuk mengatasi pneumonianya. Ceftriaxone merupakan antibiotik
beta laktam golongan sefalosporin generasi III sedangkan cefadroxil merupakan antibiotik beta
laktam golongan sefalosporin generasi I. Penggunaan sefalosporin generasi III (ceftriaxone)
kurang efektif dalam mengatasi bakteri gram positif tetapi aktivitasnya terhadap gram negatif
meningkat dan lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan generasi sebelumnya (Islam dkk,
2017). Penggunaan ceftriaxone dihentikan pada tanggal 4/9 dan diganti dengan cefadroxil yang
sensitive terhadap bakteri gram positif dan negative (spektrum luas).
Pada kasus ini terdapat DRP pada penggunaan ciprofloksasin (fluorokuinolon) dengan
cefadroxil. Menurut (PDPI 2014), ada 2 antibiotik empiris untuk pasien CAP non ICU yaitu
dengan fluorokuinolon atau beta lactam+makrolida. Kami menyarankan penghentian cefadroxil,
karena pasien sudah mendapat terapi ciprofloksasin. Penggunaan ciprofloxacin juga dapat diganti
dengan fluorokuinolon respirasi seperti levofloksasin atau moksifloksasin yang memiliki
efektivitasnya lebih baik. Ny. A juga disarankan melakukan uji sputum untuk menentukan
antibiotic definitive yang sesuai dengan penyebab pneumonianya.
Menurut Dipiro edisi 10, pengobatan menggunakan ceftriaxon (golongan sefalosporin)
tidak lagi direkomendasikan sebagai monoterapi karena tingkat resistensi yang bervariasi terhadap
S. pneumoniae. Selain itu makrolida tidak lagi direkomendasikan karena tingginya tingkat
resistensi S. pneumoniae. Trimethoprim-sulfamethoxazole belum direkomendasikan untuk
beberapa waktu karena resistensi antara S. pneumoniae dan H. influenzae (Dipiro, ed 10th),
sehingga untuk pengobatanya dapat menggunakan antibiotik golongan beta Laktam dapat
menggunakan penisilin,carbapenem, monobaktam maupun lainya (Fluorokuinolon).
Penggunaan terapi suportif infus NS:D5 dan oksigenasi juga sudah tepat pada pasien,
dimana tanda-tanda lemah dan sesak napas sudah tidak terlihat. Ambroxol syrup pada pasien
menunjukkan DRP, karena obat tersebut sudah dihentikan pada tanggal 3/9 sedangkan batuk
pasien sampai tanggal 11/9 masih ada. Sehingga kami merekomendasikan penggunaan ambroxol
sirup sampai gejala batuk pasien sembuh.
Anemia
Kadar hemoglobin dan hematokrit pasien pada saat MRS menunjukkan adanya anemia hal
ini diakibatkan karena infeksi tuberkulosis. Sehingga tidak perlu untuk diterapi karena ketika
tuberkulosis membaik maka secara otomatis anemia akan membaik juga.
Hepatotoksik
Kondisi fungsi hati yang menurun drastis diterapi dengan pemberian suplemen
hepatoprotektor yaitu Curcuma tab dan Heparmin tab untuk membantu pemulihan fungsi hati yang
mengalami hepatotoksik. Pemberian suplemen ini terus dilakukan sampai nilai SGOT dan SGPT
membaik atau normal. Kedua suplemen tersebut mengandung Curcuma xanthorrizha (CX),
dimana menurut penelitian yang dilakukan oleh Devaraj et al. (2014) terbukti CX sebagai sumber
antioksidan alami memiliki aktivitas hepatoprotektif.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2005. Pharmaceutical Care untuk Pasien Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik Depkes.
Devaraj, S., S. Ismail, S. Ramanathan, dan M. F. Yam. 2014. Investigation of Antioxidant and
Hepatoprotective Activity of Standardized Curcuma xanthorrhiza Rhizome in Carbon
Tetrachloride-Induced Hepatic Damaged Rats. Scientific World Journal. 2014: 353128.
DiPiro, C.V., Barbara, G. W., Terry, L.S., dan DiPiro, J.T. 2015. Pharmacotherapy Handbook
Ninth Edition. New York: McGraw-Hill.
DiPiro, J.T., Talbert, R.T., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G., dan Posey, L. M. 2017.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Tenth Edition. New York: The McGraw-
Hill.
Islam, Z., Qodariyah, S. M., dan Nursehah, E. 2017. Penggunaan Antibiotik pada Terapy
Community Acquired Pneumonia di RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan di Jakarta Tahun
2014. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 19(1): 1-8.
NIH (National Institute of Health). 2014. Peripheral Neuropathy. NIH Publication, 15-4853.
Keswani, S.C., C.A. Pardo, C.L. Cherry, A. Hoke, J.C. McArthur. 2002. HIV-Associated Sensory
Neuropathies. AIDS. 16:2105–2117.
PDPI. 2014. Pneumonia Komunitas, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Edisi II. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Pozniak, Anton MD. 2016. Clinical Manifestation and Complications o Pulmonary Tuberculosis.
Shah M dan Reed C. 2014. Review: Complication of Tuberculosis. Wolter Kluwer Health. 7(5):
403-410.
WHO. 2014. Companion Handbook to The WHO Guidelines for The Programmatic Management
of Drug-resistant Tuberculosis. Geneva.
WHO. 2017. Algorithm for Laboratory Diagnosis and Treatment-monitoring of Pulmonary
Tuberculosis and Drug-resistant Tuberculosis Using State-of-the-part Rapid Molecular
Diagnostic Technologies. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe