Anda di halaman 1dari 38

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PERAWAT DALAM

PENERAPAN STANDARD PROSEDUR OPERASIONAL


RESIKO JATUH DI RUANG RAWAT INAP
RS PRIMAYA PGI CIKIN

DISUSUN OLEH :
TARULI D NAINGGOLAN
1420121165

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG KELAS C
BANDUNG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan Kesehatan menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan yang

menjadi tuntutan adalah pelayanan yang bermutu dan tidak cukup hanya

menawarkan pelayanan dengan konsep asli “aman” tetapi perlu memberikan

hasil yang maksimal berupa pelayanan berbasis kepuasan dengan standar

profesional yang tinggi. Rumah sakit tidak hanya berfungsi untuk kegiatan

medis, tetapi merupakan tempat untuk meningkatkan derajat kesehatan

individu, sehingga kualitas kesehatan dan kehidupan masyarakat Indonesia

meningkat pula.

Rumah sakit merupakan salah satu tatanan pemberi jasa layanan

kesehatan yang semakin berkembang dan jika dilihat jumlahnya semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini sangat dipengaruhi oleh

perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan

pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. (UU RI No. 44 tahun 2009).

Berdasarkan data pada tahun 2007, WHO menemukan KTD 3,2-

16,6% pada rumah sakit diberbagai negara, antara lain Amerika, Inggris,

Denmark dan Australia (Depkes RI, 2008). Sedangkan Morse melaporkan

2,2-7% kejadian pasien jatuh/ 1000 tempat tidur per hari diruang perawatan

akut per tahun, 29-48% pasien mengalami luka, dan 7,5% dengan luka-luka
serius (Nadzam, 2009). Pada Kongres XII PERSI (2012) dilaporkan bahwa

kejadian pasien jatuh tercatat sebanyak 14%, sedangkan untuk keselamatan

pasien angka kejadian pasien jatuh seharusnya 0%.

Data didapat World Health Organitation (WHO) (2017) tentang

keselamatan pasien di rumah sakit merupakan isu penting karena banyak

terjadinya kasus medical error dimana terjadi di berbagai negara. Kejadian

insiden keamanan buruk yang paling umum terjadilah adalah terkait dengan

prosedur bedah (27%), kesalahan pengobatan (18,3%) dan infeksi terkait

perawatan kesehatan (12,2%). Dari data tentang keselamatan pasien di dunia

masih menunjukkan masalah yang signifikan. Institude of medicine (IOM)

pada tahun 2014 melaporkan angka KTD pada rumah sakit di Amerika

Serikat yaitu 1,5 juta pasien terjadi luka pertahunnya dari kesalahan

pengobatan, data 7000 diantaranya dilaporkan meninggal dunia (Webair, et al,

2015).

Meningkatkan pelayanan yang bermutu merupakan hal perlu menjadi

perhatian yaitu keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan

pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan

risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden

dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan

timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan

yang seharusnya diambil. Yang menjadi sasaran keselamatan pasien,

mengidentifikasi pasien dengan benar; meningkatkan komunikasi yang


efektif; meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai;

memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,

pembedahan pada pasien yang benar; mengurangi risiko infeksi akibat

perawatan kesehatan; dan mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.

(PMK 11 tahun 2017).

Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh adalah merupakan

salah satu dari sasaran keselamatan pasien karena kejadian pasien jatuh perlu

ditanggulangi. Terjadinya pasien jatuh sebagai suatu bentuk kejadian yang

tidak diharapkan namun masih saja terjadi. Kejadian pasien jatuh tidak hanya

memberikan dampak cedera tetapi juga menambah lamanya hari perawatan,

juga biaya perawatan pasien. Dampak cedera fisik yang dimaksud mencakup

luka lecet, luka robek, luka memar, bahkan kasus berat dapat mengakibatkan

fraktur, perdarahan, dan cedera kepala (Miake-Lye et al, 2013). Hasil

penelitian Rensburg, Merwe, Crowley (2020) menyatakan bahwa ada 5

(3,7%) pasien yang mengalami luka berat akibat jatuh, namun, risiko jatuh

yang lebih parah meningkat 2,4 kali dengan kurangnya penilaian risiko.

Kejadian jatuh merupakan kejadian yang dapat dicegah, karena itu

sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan sangat penting peran

perawat dalam memberikan asuhan kepada pasien agar pasien aman dan tidak

terjadi kejadian tak diharapkan, sehingga harus memiliki pengetahuan,

keterampilan dan kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan pada

orang lain berdasarkan ilmu dan kiat yang dimilikinya dalam batas-batas

kewenangan yang dimilikinya (PPNI, 1999). Berdasarkan hasil penelitian


Angraini A.N., (2018) terdapat hubungan pengetahuan perawat tentang

penilaian Morse Fall Scale dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan

assesmen ulang risiko jatuh. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian

Maulina, Febriani (2015) ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan

dengan penerapan pelaksanaan pencegahan pasien resiko jatuh.

Perawat dalam melaksanakan tugas dan perannya perawat harus

memiliki kesadaran terhadap kemungkinan bahaya yang ada di lingkungan

pasien yaitu melalui proses identifikasi bahaya yang mungkin terjadi selama

kontak dengan pasien selama 24 jam, karena keselamatan pasien dan

pencegahan cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat selama

pemberian asuhan dan juga tanda keperdulian perawat (Simamora, 2018).

Untuk tercapainya keselamatan pada pasien, penerapan dalam menggunakan

standard operasional prosedur oleh perawat yang senantiasa harus dimiliki.

Pentingnya penerapan standard operasional prosedur resiko jatuh adalah

dengan melaksanakan pedoman prevention falls seperti melakukan

monitoring pasien secara ketat yang dinilai memiliki risiko tinggi jatuh,

melibatkan keluarga dalam mencegah terjadinya insiden jatuh pada (Maulina,

2015). Hasil penelitian Putra, Murhayati, Suparmanto (2020) menyatakan

bahwa terdapat hubungan pengetahuan perawat dengan kepatuhan

pelaksanaan standart prosedur operasional get up and go dalam pencegahan

resiko jatuh.

Dalam penerapan standar operasional prosedur yang dilakukan oleh

perawat ada beberapa faktor yang berhubungan dalam pelaksanaannya.


Menurut penelitian Anugrahini (2010) tentang faktor yang berhubungan

dengan kepatuhan pelaksanaan patient safety antara lain adalah usia, jenis

kelamin, lama kerja, dan tingkat pendidikan dalam hubungannya dengan

kepatuhan perawat melaksanakan pedoman patient safety. Dimana

karakteristik individu memiliki pengaruh terhadap kinerja seorang perawat

dalam menjalankan tugasnya. Dan hasil penelitian Rahmayanti (2021) tentang

Hubungan Karakteristik Perawat dengan Penerapan Standar Proses

Keperawatan di Ruang Rawat Inap yaitu ada hubungan pendidikan, lama

kerja dan pengetahuan terhadap penerapan standar proses keperawatan.

Hasil studi pendahuluan sebelumnya yang dilakukan oleh Setyarini

(2012) Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional: Identifikasi Risiko Pasien

Jatuh Dengan Menggunakan Skala Jatuh Morse ini menggunakan observasi

saat penerimaan pasien baru setiap hari dari perawat ruangan di Rumah Sakit

“A” Bandung pada 1 Juni sampai dengan 30 Juni 2010 adalah 66.48 %

dengan kriteria baik, 8.11% dengan kriteria cukup dan 25.41% dengan kriteria

kurang. Rekomendasi pada penelitian ini meningkatkan kemampuan perawat

dalam mengkategorikan pasien berdasarkan skala jatuh morse dan melakukan

pendokumentasikan yang baik sehingga asuhan keperawatan menjadi

komprehensif.

Dari hasil data yang di peroleh dari bagian mutu Di RS Primaya PGI

Cikini sendiri ditemukan lima angka kejadian jatuh dalam rentang waktu

Januari-Desember 2021. Dengan 2 faktor penyebab yaitu, 4 kasus karena

ketidakseimbangan saat akan bangun dan 1 kasus karena colaps. Berdasarkan


data-data tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang hubungan karteristik perawat dalam penerapan standard prosedur

operasional resiko jatuh di ruang rawat inap RS Primaya PGI Cikini, sehingga

mengantisipasi dan mencegah terjadinya pasien jatuh dengan atau tanpa

cidera dengan menerapkan standar operasional prosedur.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana hubungan

karteristik perawat dalam penerapan standard prosedur operasional resiko

jatuh di ruang rawat inap RS Primaya PGI Cikini.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Hubungan karakteristik perawat dalam penerapan standard prosedur

operasional resiko jatuh di ruang rawat inap

RS Primaya PGI Cikini.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik perawat dalam penerapan standard

prosedur operasional resiko jatuh di ruang rawat inap RS Primaya PGI

Cikini.

b. Menganalisis karakteristik perawat dalam penerapan standard prosedur

operasional resiko jatuh di ruang rawat inap RS Primaya PGI Cikini.

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis
Pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan

sebagai perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan

dalam menerapkan pencegahan pasien resiko jatuh.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi perawat

Kegiatan penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu mengenai

hubungan karakteristik perawat dalam penerapan standard prosedur

operasional resiko jatuh di ruang rawat inap RS Primaya PGI Cikini.

b. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk

pengembangan program pasien safety di RS Primaya PGI Cikini.

c. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat menjadi bahan landasan untuk peneliti selanjutnya

dengan ruang lingkup yang sama ataupun merubah variabel dan tempat

penelitian.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Konsep Jatuh

1. Definisi Jatuh

Menurut KBBI, jatuh adalah turun atau meluncur ke bawah dengan

cepat karena gravitasi bumi (baik ketika masih dalam gerakan turun

maupun sesudah sampai ke tanah dan sebagainya) (dapus….). Sedangkan

menurut website RSUP Sardjito mengatakan jatuh adalah suatu peristiwa

dimana seseorang mengalami jatuh dengan atau tanpa disaksikan oleh

orang lain, tidak sengaja/tidak direncanakan, dengan arah jatuh ke lantai,

dengan atau tanpa mencederai dirinya (dapus…..).

Jatuh adalah kejadian tiba tiba, tidak terkontrol, tidak terduga yang

mengakibatkan tubuh terhempas ke lantai atau lainnya, namun tidak

termasuk kejadian jatuh yang diakibatkan kekerasan atau tindakan lain

yang diharapkan. Pasien berisiko jatuh adalah pasien yang memiliki risiko

terhadap terjadinya jatuh. Jatuh adalah suatu kajadian dengan hasil seorang

berbaring secara tidak sengaja di tanah atau lantai atau permukaan yang

lebih rendah (WHO 2004 dalam Miake-Lye et al, 2013).


Jatuh adalah kejadian yang tidak disadari oleh seseorang yang

terduduk di tempat yang lebih rendah tanpa disebabkan oleh hilangnya

kesadaran, stroke, atau kekuatan yang berlebih (Boedhi-Darmojo,

2011). Menurut Clinical Governance Unit (2015), jatuh adalah suatu

kejadian yang tidak sengaja terjadi dan mengakibatkan seseorang

terduduk atau tertidur di tanah, lantai atau di tingkat yang lebih rendah

dengan atau tanpa disaksikan orang lain, tidak disengaja/tidak

direncanakan, dengan arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpa mencederai

dirinya.

2. Klasifikasi Jatuh

Tipe jatuh pasien dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

accidental falls, anticipated physiological falls, dan unanticipated

physiological falls (Morse, 2009).

a. Accidental falls

Merupakan jatuh yang terjadi karenalingkungan tidak aman, dan

berasal dari fasilitas sarana dan prasarana rumah sakit yang berupa

kurangnya pencahayaan, lantai licin, tidak rata dan menyilaukan,

kamar mandi tidak bersih dan licin, tidak ada alat bantu jalan bagi

pasien (seperti handrail di tempat tertentu yang sering dilalui pasien),

tempat tidur terlalu tinggi dan tidak ada siderail sebagai pembatas agar

pasien tidak jatuh saat tidur atau beraktivitas di atas tempat

tidur. Sekitar 14% kejadian jatuh karena ketidaksengajaan disebabkan

pasien terpeleset, tersandung, atau kecelakaan lainnya.


b. Anticipated physiological falls

Yaitu insiden jatuh yang terjadi karena kondisi fisiologis pasien.

Anticipated physiological falls merupakan 78% dari penyebab

kejadian

jatuh. Kondisi fisiologis dapat diprediksi dan dapat diatasi atau

ditemukan pencegahannya serta dilatih untuk meningkatkan

keseimbangan dan kekuatan otot untuk berjalan dengan lebih baik.

Kondisi fisiologis yang dimaksud seperti pasien yang membutuhkan

alat bantu untuk berjalan karena terlalu lama berbaring sehingga otot

kaki menjadi lemah, setelah operasi, maupun karena cedera pada kaki.

Jatuh yang terjadi di identifikasi dengan menggunakan skoring.

Faktor ini meliputi lebih dari beberapa diagnose, riwayat jatuh

sebelumnya, kelemahan atau gangguan berjalan, kurangnya

pengkajian dari kemampuan pasien untuk kekamar mandi tanpa

pendampingan, pasien terpasang infus dan alat-alat.

c. Unanticipated physiological falls

Tipe jatuh fisiologis yang tidak dapat diantisipasi, artinya

jatuhnya pasien pada tipe ini tidak dapat diprediksi, sehingga sulit

dicegah. Pencegahan hanya dapat dilakukan setelah terjadinya jatuh,

dan dianalisis untuk menemukan pencegahan yang sesuai. Pada

tipe jatuh ini merupakan 8% dari semua penyebab jatuh. Kondisi

fisiologis yang tidak dapat diantisipasi meliputi keadaan pasien

yang tiba-tiba jatuh, karena pingsan atau fraktur patologis pada


pinggul. Kondisi tergantung pada penyebab jatuh dan kejadian ini

dapat berulang.

3. Faktor Resiko Jatuh

Menurut (Julimar, 2018), menyatakan ada 2 faktor yang menyebabkan

jatuh yaitu :

a. Faktor Intrinsik

Faktor yang berasal dari dalam tubuh, seperti factor usia, fungsi

kognitif dan riwayat penyakit.

a. Usia

Bertambahnya usia dapat meningkatkan risiko jatuh, karena

dengan bertambahnya usia akan mengalami penurunan massa dan

kekuatan tulang yang menimbulkan kerapuhan pada tulang, lansia

yang memiliki usia lebih dari 75 tahun lebih sering

mengalami jatuh (Miller, 2012).

b. Perubahan Fungsi Kognitif

Perubahan psikososial berhubungan dengan perubahan kognitif

dan efektif. Kemampuan konitif pada lansia dipengaruhi oleh

lingkungan seperti tingkat pendidikan, faktor personal, status

kesehatan seperti depresi (Mauk, 2010).

c. Riwayat penyakit

Riwayat penyakit kronis pada lansia yang diderita selama

bertahun-tahun seperti penyakit stroke, hipertensi, hilangnya fungsi


penglihatan, dizziness, dan syncope biasanya menyebabkan lansia

lebih mudah jatuh (Darmojo, 2011).

Gangguan jantung merupakan salah satu contoh riwayat

penyakit pada lansia, karena gangguan jantung menyebabkan

kehilangan oksigen ke jantung yang mengakibatkan aliran darah ke

jantung berkurang. Gangguan jangtung pada lansia dapat

menyebabkan lansia mengalami nyeri pada daerah prekordinal dan

sesak nafas, sehingga membuat lansia merasa cepat lelah dan akan

menyebabkan lansia mengalami syncope. Hipertensi dan aritmia

juga sering ditemukan pada lansia (Mustakim, 2015).

b. Faktor Ekstrinsik

Faktor yang didapat dari lingkungan sekitar lansia seperti

pencahayaan yang kurang, karpet yang licin, peganggan yang

mulai rapuh, lantai yang licin, dan alat bantu yang tidak kuat.

Adapun ruangan yang sering menyebabkan lansia jatuh, yaitu

kamar mandi, tangga, dan tempat tidur (Miller, 2005 dalam

Ashar, 2016).

a. Alat bantu jalan

Penggunaan alat bantu berjalan seperti walker, tongkat, kursi roda,

kruk dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan jatuh karena

mempengaruhi fungsi keseimbangan tubuh (Centers For Disaster

Control and Prevention, CDC 2014 dalam Ashar 2016).


b. Lingkungan

Lingkungan merupakan keadaan atau kondisi baik bersifat

mendukung atau bahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada lansia

(Prabuseso, 2006 dalam Ashar, 2016). Lingkungan yang sering

dihubungkan jatuh pada lansia, seperti alat-alat atau perlengkapan

rumah tangga yang berserakan atau tergeletak di bawah, tempat tidur

yang tinggi, kamar mandi yang licin, tangga yang tidak ada

pegangannya, lantai licin atau menurun, keset yang tebal atau

menekuk pinggirnya, dan penerangan yang tidak baik (redup atau

menyilaukan) (Mustakim, 2015). Menurut Probosuseno (2007)

dalam Hutomo (2015), faktor yang dihubungkan dengan kejadian

jatuh

pada lansia adalah lingkungan, seperti alat-alat atau perlengkapan

rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau tergeletak di bawah

tempat tidur, WC atau toilet yang rendah atau jongkok, tempat

perpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, penerangan

yang kurang, tangga tanpa pagar, serta tempat tidur yang terlalu

rendah.

Menurut WHO (2015) dan Tideiksaar (2010), faktor-faktor yang

mempengaruhi resiko jatuh pada pasien meliputi:

1) Usia

Kemampuan untuk menghindari kejadian jatuh sangat tergantung pada

kemampuan seseorang mempertahankan keseimbangan. Fungsi dari


sistem syaraf dan otot akan menurun secara bertahap seiring

bertambahnya usia, kelemahan fungsi ekstremitas ini mempengaruhi

keseimbangan individu dan meningkatkan risiko jatuh karena

gangguan kontrol dan kelemahan otot merupakan salah satu faktor

prediktor

penting terhadap kejadian jatuh pasien di Rumah Sakit.

2) Jenis Kelamin

Penelitian di dunia menunjukkan bahwa Insiden Jatuh lebih sering

terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini berbanding terbalik

dengan angka kematian akibat jatuh, pada pria lebih memiliki resiko

tinggi mengalami komplikasi akibat jatuh dibandingkan wanita.

Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas fisik yang dilakukan

pria lebih berbahaya, seperti perilaku naik tangga yang tinggi,

membersihkan atap atau mengabaikan batas-batas kemampuan fisik

mereka.

3) Penggunaan Obat

Pengaruh kondisi medis seseorang dan terapi obat seperti obat

hipertensi

dapat mempengaruhi hipotensi postural yang berdampak pada gaya

gravitasi tubuh, sistem koordinasi gerak,kepala pusing dikarenakan

perubahan mekanisme keseimbangan dan kemampuan untuk mengenal

lingkungan sehingga meningkatkan risiko jatuh pada pasien. Obat

penenang juga memiliki dampak peningkatan risiko jatuh, obat-obatan


yang dapat menyebabkan jatuh yaitu: anti aritmia, anti kolinergik,

anti konvulsan, diuretik, benzodiasepin atau obat hipnotik lainya, anti

psikotik, antidepresan dan alkohol.

4. Dampak Jatuh

Menurut(Miake-Lye et al., 2013), Kejadian jatuh dapat menyebabkan

beberapa dampak pada pasien, yaitu:

a. Dampak Fisiologis

Dampak fisiologis yang dimaksud adalah dampak jatuh yang terlihat

secara fisik pada pasien. Dampak fisiologis yang sering terlihat adalah

adanya luka lecet, memar, luka sobek, fraktur, cidera kepala, bahkan

dalam kasus yang fatal jatuh dapat mengakibatkan kematian.

b. Dampak Psikologis

Jatuh yang tidak menimbulkan dampak fisik dapat juga memicu

dampak

psikologis yang mengguncang mental pasien seperti rasa ketakutan,

cemas/ anxiety, distress, depresi, dan berujung pada kekhawatiran

pasien untuk melakukan aktivitas fisik.

c. Dampak finansial

Pasien yang mengalami jatuh di Ruang Rawat Inap dapat menambah

biaya perawatan dan memperlama pasien untuk tinggal di Rumah Sakit,

hal tersebut terjadi dikarenakan insiden jatuh dapat memperparah

kondisi medis dan menyebabkan luka pada pasien

5. Pengukuran Resiko Jatuh


Pengukuran Resiko Jatuh dapat dilakukan dengan beberapa

instrumen

pengukuran sebagai berikut:

a. The Time up and Go Test (TUG)

Pengukuran resiko jatuh menggunakan TUG difokuskan pada

kekuatan mobilitas pasien, komponen lain yang diobservasi selama

prosedur berlangsung yaitu keseimbanagn tubuh, kekuatan kaki dan

goyangan tubuh. Media yang harus disediakan adalah stopwatch, kursi,

alat ukur jarak (meteran), dan penanda untuk membuat garis batas.

Pasien dapat menggunakan alas kaki yang biasa digunakan, sedangkan

pemeriksawajib menyediakan sebuah kursi dan membuat sebuah pola

garis batas yang berjarak 3 meter dari tempat duduk pasien.

Prosedurnya adalah pasien duduk pada sebuah kursi, ketika pemeriksa

mengatakan “mulai” maka pasien akan berdiri dari tempat duduk,

berjalan kegaris yang sudah ditandai (berjarak 3 meter dari kursi), dan

setelah tiba di garis tersebut maka pasien akan berbalik dan berjalan

kembali ke tempat duduk semula lalu duduk seperti semula. Waktu

mulai dihitung menggunakan stopwatch saat pemeriksa mengucapkan

“mulai” dan berhenti ketika pasien duduk kembali. Interpretasi dari

pengukuran TUG adalah jika pasien memperoleh waktu > 12 detik,

diartikan sebagai risiko tinggi, tetapi jika waktu < 12 detik berarti

pasien memiliki risiko rendah (Centers for Disease Control and

Prevention, 2017).
b. Morse Fall Scale (MFS)

Menurut Ziolkowski (2014), Morse FallScore adalah instrumen

pengukuran resiko jatuh yang sederhana dan cepat untuk mengkaji

pasien yang memiliki kemungkinan jatuh atau risiko jatuh dan biasanya

digunakan untuk melakukan penilaian ,kepada pasien umur ≥ 16 tahun.

Instrumen ini memiliki 6 variabel yaitu:

1) Riwayat jatuh

2) Diagnosa sekunder

3) Penggunaan alat bantu

4) Terpasang infus

5) Gaya berjalan

6) Status mental.

Hasil interpretasi dari MFS dikatagorikan menjadi:

1) Tidak berisiko (NoRisk) dengan skor MFS sebesar 0-24, pasien

berisiko rendah (Low Risk) dengan skor MFS sebesar 25-44,

sedangkan pasien berisiko tinggi jatuh (HighRisk) memiliki skor

MFS

≥ 45. Setiap skor MFS memiliki penatalaksanaan yang berbeda, pada

pasien beresiko jatuh akan dilakukan tindakan keperawatan dasar,

pada pasien dengan risiko rendah jatuh dilakukan tindakan

implementasi standar pencegahan pasien jatuh, dan untuk pasien


dengan risiko tinggi jatuh perlu dilakukan implementasi yang lebih

intens serta observasi secara berkelanjutan dalam pencegahan pasien

jatuh. Berikut ini adalah tabel MFS :

Tabel 2.1 Instrumen Morse Fall Scale / Assesmen Risiko Jatuh Pasien
Dewasa (Usia >18 s/d 60 tahun) Berdasarkan Skala Morse

No Parameter Status/Keadaan Skor


Riwayat jatuh, yang baruTidak 0
1.
atau dalam 3 bulan terakhir
Ya 25
Diagnosis medis Tidak 0
2.
sekunder >1 Ya 15
Alat bantu jalan Tanpa alat bantu, tidak dapat 0
jalan, tidak ada kursi roda
3. Tongkat penyangga (crutch), 15
walker.
Berpegangan pada perabot 30
Memakai terapi heparin Tidak 0
4.
lock/IV Ya 25
Cara Berjalan/berpindah Normal/bed rest/imobilisasi 0
5. Lemah 15
Terganggu 30
Status Mental Orientasi sesuai kemampuan 0
diri
6.
Lupa akan keterbatasan yang 15
dimiliki
Rumah Sakit PGI Cikini, 2018

Tingkat Risiko :

1) Tidak berisiko bila skor 0-24 : Lakukan intervensi jatuh standar (lanjutkan

dengan formulir pencegahan jatuuh pasien dewasa)

2) Berisiko rendah bila skor 25-50 : lakukan intervensi jatuh standar

(lanjutkan dengan formulir pencegahan jatuuh pasien dewasa)

3) Berisiko tinggi bila skor >50 : lakukan intervensi jatuh risiko tinggi

(lanjutkan dengan formulir pencegahan jatuuh pasien dewasa)

c. Sydney Scoring
Menurut (Hodgen et al., 2017), Sydney Scoring merupakan nama

lain dari Ontario Modified Stratify. Pengkajian menggunakan instrumen

ini merupakan adaptasi dari STRATIFY yang diterapkan dan

dimodifikasi oleh Australia Hospital. Sydney Scoring digunakan untuk

mengkaji risiko jatuh pada pasien usia lanjut (lansia) yang mengkaji

seseorang dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh

seperti riwayat jatuh, status mental, penglihatan, toileting, perpindahan

dari kursi roda ke tempat tidur, dan juga skor mobilitas. Kategori risiko

jatuh berdasarkan total pengkajian yaitu skor 0-5 untuk risiko rendah, 6-

16 untuk risiko sedang, dan 17-30 untuk risiko tinggi.

Tabel 2.2 Sydney Scoring/ Assesmen Risiko Jatuh Pasien Usia Lanjut
(Usia >60 tahun) berdasarkan Skoring Sydney

Jenis
Parameter Skrining Nilai
Kriteria
Apakah pasien datang ke
Ya/Tidak
RS karena jatuh? Salah satu
Riwayat Jatuh Jika tidak, apakah pasien jawabannya
mengalami jatuh dalam Ya/Tidak Ya= 6
dua bulan terakhir?
Apakah pasien delirium?
(tidak dapat membuat
keputusan, pola piker Ya/Tidak
tidak terorganisir,
gangguan daya ingat)
Apakah pasien Salah satu
Status Mental disorientasi? (salah jawabannya
Ya/Tidak
menyebutkan waktu, Ya= 14
tempat atau orang)
Apakah pasien
mengalami agitasi?
Ya/Tidak
(ketakukatan, gelisah dan
cemas)
Penglihatan Apakah pasien memakai Salah satu
Ya/Tidak
kacamata? jawabannya
Apakah pasien mengeluh Ya/Tidak Ya= 1
adanya penglihatan
buram?
Apakah pasien
mempunyai glaucoma,
Ya/Tidak
katarak atau degenerasi
makula?
Apakah terdapat
perubahan perilaku Salah satu
Kebiasaan
berkemih? (frekuensi, Ya/Tidak jawabannya
Berkemih
urgensi, inkontinensia, Ya= 2
nocturia)
Mandiri (boleh memakai
0
alat bantu jalan) Jumlah nilai
Memerlukan sedikit transfer dan
bantuan (satu orang atau 1 mobilitas
Transfer dalam pengawasan)
Memerlukan bantuan Jika nilai
2
yang nyata (2 orang) total 0-3,
Tidak dapat duduk maka skor =
3
dengan seimbang 0
Mandiri (boleh memakai
0
alat bantu jalan) Jika nilai
Berjalan dengan bantuan total 4-6,
Mobilitas 1
satu orang (verbal/fisik) maka skor=
Menggunakan kursi roda 2 7
Imobilisasi 3
Rumah Sakit PGI Cikini, 2018

Tingkat risiko : 0-16 : Risiko Rendah


17-30 : Risiko Tinggi

d. Humpty Dumpty Scale

Pengkajian ini merupakan pengkajian risiko jatuh khusus untuk

anak-anak. Pengkajian ini memiliki komponen penting yang digunakan

untuk mengkaji risiko jatuh pasien yaitu rentang usia anak, jenis

kelamin, diagnosis, gangguan kognitif, faktor lingkungan, respon

terhadap operasi, penggunaan obatsedasi dan anestesi, serta penggunaan

obat lainnya. Tingkat risiko jatuh berdasarkan Humpty Dumpty Scale


dibagi menjadi dua yaitu skor 7-11 untuk risiko rendah dan skor ≥ 12

untuk risiko tinggi (Hill-rodriguez et al., 2008).

Tabel 2.3 Humpty Dumpty Scale/ Assesment Risiko Jatuh Pada Anak
menggunakan Skoring Humpty Dumpty

Parameter Status/Keadaan Skor


< 3 tahun 4
3-7 tahun 3
Usia
7-13 tahun 2
>13 tahun 1
Laki-laki 2
Jenis Kelamin
Perempuan 1
Diagnosis neurologi 4
Perubahan oksigenasi 3
Diagnosis
Gangguan perilaku dan psikiatri 2
Diagnosis lainnya 1
Tidak menyadari keterbatasan dirinya 3
Gangguan kognitif Lupa akan adanya keterbatasan 2
Orientasi baik terhadap diri sendiri 1
Riwayat jatuh/bayi diletakkan di 4
tempat tidur dewasa
Pasien menggunakan alat bantu/ bayi 3
Faktor lingkungan diletakkan ditempat tidur bayi/ perabot
rumah
Pasien diletakkan di tempat tidur 2
Area diluar Rumah Sakit 1
Dalam 24 jam 3
Dalam 48 jam 2
>48 jam/ tidak menjalani operasi, 1
Respon terhadap:
sedasi dan anastesi
1. Pembedahan/
Penggunaan multiple: sedative, obat, 3
sedasi/anastesi
hipnotis, barbiturate, fenotiazin,
2. Penggunaan obat
antidepresan, pencahar, diuretik,
medika mentosa
narkose
Penggunaan salah satu obat diatas 2
Penggunaan medikasi lainnya/ tidak 1
ada medikasi
Rumah Sakit PGI Cikini, 2018
6. Pelaksanaan Pencegahan Resiko Jatuh

Pelaksanaan pencegahan pasien jatuh menurut Pearson & Andrew

(2011), melakukan perubahan fisiologis pasien seperti perubahan aktivitas

tolileting pada pasien dewasa tua dengan gangguan kognitif atau

inkontenesia urin; perubahan lingkungan seperti menaikan batas tempat

tidur, menurunkan tinggi tempat tidur, mengkunci roda tempat tidur, dan

restrain pasien jika pasien tidak kooperatif. Intervensi dalam mencegah

terjadinya pasien jatuh dimulai dengan melakukan asesmen risiko jatuh

Morse Fall Scale (MFS). Hasil dari penilaian Morse Fall Scale (MFS)

dilanjutkan dengan prosedur intervensi sesuai dengan tinggi rendahnya

skor Morse Fall Scale (MFS) yang muncul.

Menurut Ziolkowski dari Departement of Helath and Human

Service St. Joseph Health Petaluna Valley (2014), pelaksanaan

pencegahan pasien risiko jatuh dapat dibagi menjadi :

a. Intervensi Risiko Rendah

1) Intervensi lanjutan akan dilakukan pada semua pasien rawat inap

2) Orientasi pasien/keluarga dengan lingkungan dan kegiatan rutin

3) Tempatkan lampu panggilan (alarm pemberitahuan) dalam

jangkauan dan mengingatkan pasien untuk meminta bantuan

4) Pastikan tempat tidur pasien dalam posisi rendah dan terkunci

5) Bed alarm diaktifkan pada semua pasien saat pasien tidur (selain

unit kelahiran anak) kecuali pasien menolak

6) Dekatkan barang-barang pasien dalam jangkauan


7) Menyediakan alas kaki anti selip yang dibutuhkan pasien untuk

berjalan

8) Minimalkan pasien berjalan atau bahaya tergelincir

9) Kunjungi pasien lebih sering (setiap jam) dan nilai keamanan dan

kenyamanan pasien

10) Pertimbangkan pencahayaan tambahan

b. Intervensi Risiko Sedang atau Risiko tinggi

1) Identifikasi secara visual pasien dengan memasang gelang kuning

atau stiker fall risk pada gelang pasien

2) Pertimbangkan penempatan ruangan pasien pada area dengan

visibilitas tinggi atau dekat dengan ruang jaga perawat

3) Monitor pasien dan ruangan untuk keamanan kira-kira setiap satu

jam. Tempatkan lampu panggilan dan secara terus-menerus

menempatan barang pribadi dalam jangkauan pasien.

4) Rintis Fall Risk Care Plan

Sebuah rencana perawatan yang dikembangkan dengan intervensi

tepat sesuai kebutuhan pasien

5) Aktifkan alarm bed sepanjang waktu saat pasien di tempat tidur.

Pastikan bed terhubung dengan sistem lampu panggilan juga

pasang alarm pada kursi yang sesuai dengan kebutuhan pasien

6) Awasi pasien secara langsung (dengan observasi visual) saat

menuju kamar mandi atau kamar kecil


7) Bantu pasien dengan atau pengawasan semua transfer dan

ambulatory mengunakan gait belt dan alat bantu jalan lainya

8) Jika pasien menunjukan sikap impulsif, memiliki risiko jatuh

sedang atau tinggi atau riwayat jatuh, mungkin dibutuhkan tempat

tidur khusus dengan tambahan tikar atau matras pada sisi tempat

tidurnya untuk mencegah bahaya sekunder dari jatuh

9) Sediakan dan review (ulangi) edukasi pencegahan jatuh kepada

pasien dan keluarga.

B. Standart Prosedur Operasional (SPO) Pencegahan Resiko Jatuh

SPO Pencegahan Pasien Jatuh di Rumah Sakit Primaya PGI Cikini

sebagai berikut:

1. Persiapan Alat

a. Formulir Rekam Medis tentang resiko jatuh dengan berdasarkan

penggolongan sebagai berikut.

b. Humpty Dumpty Scale

c. Morse Falls Scale dengan Score

d. Sydney Scale

2. Pelaksanaan Pada pasien dewasa : Jatuh Standard (Skor 25 – 50)

a. Tingkatkan observasi bantuan yang sesuai saat ambulasi.

b. Keselamatan lingkungan : hindari ruangan yang kacau balau, dekatkan

bel dan telepon, biarkan pintu terbuka, gunakan lampu malam hari

serta penghalang tempat tidur.


c. Monitor kebutuhan pasien secara berkala (minimal tiap 2 jam) :

tawarkan ke belakang (kamar kecil) secara teratur.

d. Edukasi perilaku yang lebih aman saat jatuh atau transfer.

e. Gunakan alat bantu jalan (walker, handrail).

f. Anjurkan pasien menggunakan kaus kaki atau sepatu yang tidak licin. 

3. Pada pasien dewasa : Jatuh Resiko Tinggi (Skor > 51)

a. Pakaikan gelang resiko jatuh berwarna kuning

b. Lakukan Intervensi jatuh standar

c. Strategi mencegah jatuh dengan penilaian jatuh yang lebih detil seperti

analisa cara berjalan sehingga dapat ditentukan intervensi spesifik

seperti menggunakan terapi fisik atau alat bantu jalan jenis terbaru

untuk membantu mobilisasi.

d. Pasien ditempatkan dekat nurse station.

e. Handrail mudah dijangkau pasien dan kokoh.

f. Siapkan di jalan keluar dari tempat tidur : alat bantu jalan dll.

g. Lantai kamar mandi dengan karpet anti slip / tidak licin, serta anjuran

menggunakan tempat duduk di kamar mandi saat pasien mandi.

h. Dorong partisipasi keluarga dalam keselamatan pasien.

i. Jangan tinggalkan pasien sendiri di kamar, samping tempat tidur atau

toilet.

4. Pada pasien anak : Risiko Rendah (Skor 7-11)

a. Orientasi ruangan

b. Posisi tempat tidur harus direndahkan dan ada remnya.


c. Ada pengaman samping tempat tidur dengan 2 atau 4 sisi pengaman

d. Mempunyai luas tempat tidur yang cukup untuk mencegah tangan dan

kaki atau bagian tubuh lain terjepit.

e. Menggunakan alas kaki yang tidak licin untuk pasien yang dapat

berjalan.

f. Nilai kemampuan untuk ke kamar mandi & bantu bila dibutuhkan.

g. Akses untuk menghubungi petugas kesehatan mudah dijangkau.

Terangkan kepada pasien mengenai fungsi alat tersebut.

h. Lingkungan harus bebas dari peralatan yang mengandung risiko.

i. Penerangan lampu harus cukup.

j. Penjelasan pada pasien dan kelaurga harus tersedia.

k. Dokumen pencegahan pasien jatuh ini harus berada pada tempatnya.

5. Pada pasien anak : Jatuh Risiko Tinggi (Skor ≥ 12)

a. Pakaikan gelang risiko jatuh berwarna kuning.

b. Terdapat tanda peringatan pasien risiko jatuh.

c. Penjelasan pada pasien atau orangtuanya tentang protokol pencegahan

pasien jatuh.

d. Cek pasien minimal setiap satu jam.

e. Temani pasien pada saat mobilisasi.

f. Tempat tidur pasien harus disesuaikan dengan perkembangan tubuh

pasien.

g. Pertimbangkan penempatan pasien, yang perlu perhatian diletakkan

dekat nurse station.


h. Sesuaikan standard perbandingan perawat dan pasien, libatkan

keluarga pasien sementara perbandingan belum memadai.

i. Evaluasi terapi yang sesuai. Pindahkan semua peralatan yang tidak

dibutuhkan ke luar ruangan.

j. Pencegahan pengamanan yang cukup,batasi di tempat tidur.

k. Biarkan pintu terbuka setiap saat kecuali pada pasien yang

membutuhkan ruang isolasi.

l. Tempatkan pasien pada posisi tempat tidur yang rendah kecuali pada

pasien yang ditunggu keluarga.

m. Semua kegiatan yang dilakukan pada pasien harus didokumentasikan.

6. Pada pasien Geriatri : Risiko rendah (Skor 1-3)

a. Nilai kembali risiko jatuh setiap 12 jam

b. Berikan pasien / keluarga brosur edukasi jatuh.

c. Intervensi jatuh standar (seperti pada dewasa muda)

7. Pada pasien Geriatri : Risiko tinggi (Skor > 4)

a. Pakaikan gelang risiko jatuh berwarna kuning.

b. Komunikasikan risiko jatuh pada anggota tim interdisiplin.

c. Komunikasikan risiko jatuh pasien pada pasien/keluarga misalnya

berikan brosur edukasi jatuh.

d. Dorong partisipasi keluarga dalam keselamatan pasien, gunakan

pengasuh / penjaga.

e. Pasien ditempatkan dekat nurse station.


f. Monitor kebutuhan pasien secara berkala (minimalnya tiap 2 jam);

tawarkan ke kamar kecil secara teratur.

g. Handrail mudah dijangkau pasien dan kokoh.

h. Siapkan di jalan keluar dari tempat tidur : alat bantu jalan dll.

i. Lantai kamar mandi dengan karpet anti slip/ tidak licin serta anjuran

menggunakan tempat duduk di kamar mandi saat pasien mandi.

j. Keselamatan lingkungan : hindari ruangan yang kacau balau, dekatkan

bel dan telepon, biarkan pintu terbuka, gunakan lampu malam hari

serta penghalang tempat tidur.

k. Jangan tinggalkan pasien sendiri di kamar, samping tempat tidur atau

toilet.

l. Gunakan kaos kaki atau sepatu yang tidak licin.

m. Konsul ke :

1) Unit kerja farmasi untuk mencari kemungkinan interaksi obat.

2) Rehabilitasi medik untuk masalah mobilitas atau aktivitas harian /

ADL yang baru.

n. Gunakan aktivitas pengalihan untuk mencegah pasien keluyuran.

o. Gunakan walker untuk membantu stabilitas berjalan.

p. Gunakan alat pengikat yang lembut untuk berjaga-jaga.

q. Edukasi perilaku yang lebih aman saat jatuh atau transfer.

r. Intervensi keselamatan lainnya.

C. Konsep Perawat
1. Definisi Perawat

Menurut Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/1/2010, bahwa

perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di

dalam maupun di luar negeri sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan

profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan

yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk

pelayanan biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan

kepada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sakit maupun

yang sehat yang mencakup siklus hidup manusia (Soemantri, 2012).

Perawat adalah tenaga kesehatan yang bekerja secara professional

sesuai dengan bidangnya serta memiliki kemampuan, kewenangan dan

bertanggung jawab dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Wardah,

Rizka Febtrina, 2017).

2. Peran dan Tugas Perawat

a. Peran Perawat

Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan

oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan

dan sistem, hal ini dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari

profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang

bersifat menetap. Peran perawat menurut Hidayat (2014), terdiri

dari:

1) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.


Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan

keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui

pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses

keperawatan

2) Peran sebagai advokat pasien.

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan

keluarganya dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari

pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam

pengambilan persetujuan atas Tindakan keperawatan yang

diberikan kepada pasien. Juga dapat berperan mempertahankan

dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan

sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya dan hak

atas privasi.

3) Peran sebagai pendidik.

Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam

meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit

bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan

perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

4) Peran sebagai coordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta

mengorganisasi pelayanan Kesehatan dari tim kesehatan sehingga

pemberian pelayanan Kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan

kebutuhan pasien.
5) Peran sebagai kolaborator.

Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui

tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan

lain-lain dengan berupaya mengindentifikasi pelayanan

keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar

pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

6) Peran sebagai konsultan

Perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah

atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini

dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang

tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

7) Peran sebagai pembaharu.

Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja

sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan

metode pemberian pelayanan keperawatan

b. Fungsi Perawat

Fungsi ialah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai

dengan perannya. Fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan

lain. Ada tiga jenis fungsi perawat dalam melaksanakan perannya,

yaitu independen, dependen dan interdependen (Potter dan Perry,

2015).

1) Independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,


dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara

sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan

untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (KDM).

2) Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas

pesan atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan

pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan oleh

perawat spesialis kepada perawat umum atau dari perawat primer

ke perawat pelaksana.

3) Interdependen

Fungsi perawat ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat

saling ketergantungan di antara tim satu dengan yang lainnya.

Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan

kerjasama tim dalam pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak

dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter

ataupun profesi lainnya (Potter dan Perry, 2015)

3. Kinerja Perawat

Kinerja merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja,

penampilan hasil kerja tidak terbatas kepada personil yang memangku

jabatan fungsional maupun struktural dalam suatu organisasi (Ilyas, 2011).

Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai

seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung

jawabnya (Mangkunegara, 2011).


Mardiono dan Primitasari (2016) dalam penelitiannya menemukan

bahwa kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan

dipengaruhi oleh umur, motivasi, status perawat dan imbalan atau gaji.

Nursalam (2011) menjelaskan bahwa kinerja perawat dipengaruhi oleh

pendidikan, percaya diri, pemahaman dan sikap, besarnya gaji, dan

jabatan.

Mangkunegara (2012) menyebutkan bahwa kinerja perawat dipengaruhi

oleh kemampuan secara psikologis dan motivasi bekerja. Seorang perawat

memiliki kompetensi dalam memberikan asuhan keperawatan

(PPNI, 2013).

Kompetensi tersebut, yaitu:

a. Menerapkan prinsip dasar dalam pemberian asuhan keperawatan, yaitu

mampu menggunakan metode penyelesaian masalah sebagai pedoman

praktik; mampu mengumpulkan data, mengidentifikasi, mencatat,

melaporkan temuan secara akurat dan tepat waktu; mampu

menyiapkan perencanaan, menentukan prioritas, menyertakan

pendamping dalam membuat keputusan, berkoordinasi dengan perawat

lain dan mencatat rencana asuhan secara akurat; mampu melaksanakan

tindakan keperawatan mandiri, mendokumentasikan intervensi dan

respon pasien, melaksanakan prosedur bantuan hidup; mengevaluasi

hasil dari rencana asuhan; mampu berkomunikasi baik pada keluarga

pasien serta
rekan sejawat; dapat menyelesaikan konflik dengan pendekatan

manajemen keperawatan.

b. Melaksanakan kepemimpinan dan manajemen dalam pelayanan, di

antaranya memberikan kontribusi dalam menciptakan lingkungan kerja

yang positif; memahami dan menghargai peran, menerima kegiatan

yang didelegasikan kepada yang mendelegasikan; mengidentifikasi

dan melaporkan situasi yang membahayakan keselamatan pasien;

menjamin keamanan dan ketepatan penyimpanan bahan pengobatan;

memberikan dan mencatat obat sesuai dengan yang didelegasikan;

melakukan

prosedur pencegahan infeksi

4. Kompetensi Perawat

Kompetensi seorang perawat adalah sesuatu keahlian yang dimiliki

perawat dalam memberikan pelayanan profesional kepada klien.

Kompetensi ini mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan pertimbangan

yang dipersyaratkan dalam situasi praktik keperawatan. Kompetensi

keperawatan meliputi hal- hal sebagai berikut:

a. Pengetahuan, pemahaman, dan pengkajian;

b. Serangkaian keterampilan kognitif

c. teknik psikomotor, dan interpersonal;

d. Kepribadian dan sikap serta perilaku.

Kompetensi perawat tidak hanya menyangkut bidang ilmu dan

pengetahuan metodologi saja, tetapi juga sikap dan keyakinan akan nilai-
nilai perawat yang baik dan berpenampilan menarik. Standar kompetensi

profesi lebih berorientasi kepada kualias kinerja (Nursalam, 2008).

Kompetensi perawat merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang

perawat untuk melakukan tindakan keperawatan yang terintegrasi antara

pengetahuan, keterampilan, sikap dan penilaian berdasarkan pendidikan

dasar dan tujuan praktik keperawatan yang terukur sesuai standar yang

ada. Tujuan dari adanya kompetensi perawat adalah untuk tetap menjaga

kualitas kesehatan dan keamanan pasien (Bartlett 2010).

Berdasarkan kerangka kompetensi yang di tetapkan (PPNI, 2012)

terdapat 12 kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap perawat

Indonesia pada semua jenjang, meliputi:

c. Menerapkan prinsip etika dalam keperawatan;

d. Melakukan komunikasi interpersonal dalam Asuhan keperawatan;

e. Mewujudkan dan memelihara lingkungan keperawatan yang aman

melalui jaminan kualitas dan manajemen risiko (patientsafety);

f. Menerapkan prinsip pengendalian dan pencegahan infeksi yang

diperoleh dari Rumah Sakit;

g. Melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah cedera pada klien;

h. Memfasilitasi kebutuhan oksigen;

i. Memfasilitasi kebutuhan elektrolit dan cairan;

j. Mengukur tanda-tanda vital;

k. Menganalisis, menginterpertasikan dan mendokumentasikan data

secara akurat;
l. Melakukan perawatan luka;

m. Memberikan obat dengan aman dan benar;

n. Mengelola pemberian darah dengan aman

5. Peran Perawat dalam Pencegahan Resiko Jatuh

Pencegahan resiko jatuh merupakan salah satu komponen dari 6

sasaran keselamatan pasien dan merupakan area kerja profesi keperawatan.

Perawat memiliki peran dalam melakukan pengkajian resiko jatuh dan

melakukan intervensi serta implementasi sesuai dengan kategori resiko

jatuh, seperti memberikan penanda digelang pasien, memodifikasi

lingkungan pasien agar aman, mendampingi pasien saat mobilisasi, dan

memberikan pendidikan kepada keluarga tentang resiko jatuh

yang sewaktu-waktu dialami oleh pasien (Isnaini & Rofii, 2014).

Peran seorang perawat begitu besar dalam mengurangi kejadian

jatuh di Rumah Sakit karena perawat harus mengkaji serta mengobservasi

pasien secara berulang hingga pasien tersebut aman. Hal ini tidak menutup

kemungkinan jika perawat juga berkolaborasi dengan tenaga medis untuk

melakukan tugasnya dalam pencegahan resiko jatuh. Upaya

penyelenggaraan dan menjaga kualitas pelayanan kesehatan di Rumah

Sakit

tidaklah lepas dari peran penting profesi keperawatan sehingga perawat

harus menyadari peran penting ini dan wajib berpartisipasi aktif dalam

mewujudkan patient safety terutama dalam program pencegahan resiko

jatuh. Kerja keras perawat tidak dapat mencapai tingkat yang optimal jika
tidak didukung dengan sarana prasarana, manajemen Rumah

Sakit dan tenaga kesehatan lainnya (Adib, 2009).

Anda mungkin juga menyukai