Anda di halaman 1dari 34

HUBUNGAN BEBAN KERJA FISIK DAN MENTAL

PERAWAT DENGAN PENERAPAN PASIEN SAFETY


DI UPT PUSKESMAS RAWAT INAP HANURA KEC.
TELUK PANDAN KAB. PESAWARAN TAHUN 2020

(Proposal Skripsi)

Disusun Oleh:

Nama : Tri Widiyanti

Npm : 16320028

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kualitas pelayanan keperawatan tidak terlepas dari peran klasifikasi


pasien di ruang rawat inap, karena dengan klasifikasi tersebut pasien merasa
lebih di hargai sesuai dengan haknya dan dapat diketahui bagaimana kondisi
dan beban kerja perawat di masing – masing ruang perawatan. Kondisi dan
beban kerja diruang rawat inap perlu diketahui agar dapat ditentukan
kebutuhan kuantitas dan kualitas tenaga perawat yang diperlukan dalam ruang
rawat inap sehingga tidak terjadi beban kerja yang tidak sesuai yang akhirnya
menyebabkan pelayanan tidak optimal (Ilyas 2002 dalam Runtu et all. 2016).
Keselamatan pasien (pasien safety) merupakan prinsip dasar dari
pelayanan kesehatan yang memandang bahwa keselamatan merupakan hak
bagi setiap pasien dalam menerima pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2006 ;
dalam Qomariah, et all 2015). Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya
disebut insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera yang dapat dicegah
pada pasien terdiri dari kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris
cidera (KNC), kejadian tidak cidera (KTC), kejadian potensial cidera (KPC)
dan sentinel (permenkes, 2011). Bawelle, 2013 secara keseluruhan program
pasien safety sudah diterapkan, namun masalah dilapangan merujuk pada
konsep pasien safety, karena walaupun sudah pernah mengikuti sosialisasi,
tetapi masih ada pasien cedera, risiko jatuh, risiko salah pengobatan,
pendelegasian yang tidak akurat saat operan pasien yang mengakibatkan
keselamatan pasien menjadi kurang maksimal.
Dalam buku James T Tweedy “Preventing fallsin Hospital : a Toolkit for
Improving Quality of Care” (2014), menyebutkan bahwa di Inggris dan
Wales sekitar 152.000 jatuh dilaporkan di rumah sakit, dengan lebih dari
26.000 dilaporkan dari unit kesehatan mental dan 28.000 dari rumah sakit
masyarakat. Beberapa kasus berakibat pada kematian, luka berat atau sedang
dengan perkiraan biaya sebesar ± 15 juta pertahun (Sanjoto, 2014). Laporan
dari Kongres XII PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia), tahun 2012
menujukkan bahwa kejadian pasien jatuh termasuk kedalam tiga besar insiden
medis rumah sakit dan menduduki peringkat kedua setelah medicine error.
Dari laporan tersebut didapatkan kejadian jatuh sebanyak 34 kejadian jatuh.
Hal ini membuktikan bahwa kejadian jatub pasien masih tinggi di Indonesia
(Qomariah, 2015).
Keselamatan pasien (pasien safety) merupakan masalah kesehatan publik
mempengaruhi tingkat perkembangan suatu negara. Pasien safety
diberlakukan pada tahun 2004 untuk memobilisasi upaya global untuk
meningkatkan keamanan kesehatan untuk pasien disemua negara – negara
anggota World Health Organization (WHO). Negara – negara anggota WHO
telah menyetujui Resolusi Dewan Kesehatan Dunia tentang keselamatan
pasien sebagai pengakuan atas kebutuhan untuk mengurangi cidera pada
pasien dan kesulitan pada keluarga pasien akibat dari pelayanan medis yang
tidak memadai. Resolusi ini juga menekankan bahwa keselamatan pasien
penting untuk meminimalisir biaya yang timbul akibat perawatan yang
berulang dan biaya penanganan infeksi yang terjadi akibat pelayanan medis.
Beberapa hal dapat menyebabkan cidera pada pasien seperti ketetapan
identifikasi pasien, tidak terjadinya kesalahan pemberian obat kepada pasien,
tidak terjadi kesalahan prosedur tindakan medis dan keperawatan,
pengurangan terjadinya resiko infeksi, tidak terjadi pasien jatuh, dan
pelaksanan komunikasi efektif dalam pelayanan klinis.
Pasien tidak mengharapkan terjadinya cidera dalam pelayanan dirumah
sakit. Cidera atau kerugian akibat tindakan medis, merupakan kejadian tidak
diharapkan (KTD). WHO melaporkan dari berbagai negara bahwa KTD
pasien rawat inap 3 – 16%. Di New Zealand KTD dilaporkan berkisar 12,9%
dari angka rawat inap, di Inggris KTD di laporkan 10,8%, di Kanada di
laporkan berkisar 7,5% (Baker, 2004; dalam Renoningsih, et.all 2018). Joint
commision 3 internasional (JCI) juga melaporkan KTD berkisar 10%dan di
United Kingdom dan di Australia berkisar 16%.
Laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia tahun 2009 sebanyak
114, tahun 2010 sebanyak 103, tahun 2011 sebanyak 34 laporan di tahun
2011. Berdasarkan laporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) tahun 2011,
jumlah laporan pelanggaran patien safety dilakukan di unit keperawatan
sebesar 11,23%, di unit farmasi sebesar 6,17% dan di unit kedokteran 4,12%.
Perawat sebagai profesi memiki peran yang cukup besar dalam menjaga
keselamatan pasien. Oleh karena itu perawat harus mampu memastikan
bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan
melalui asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien juga memiliki
kesadaran akan pentingnya mengenali potensi bahaya yang ada dilingkungan
pasien untuk mencegah terjadinya cidera (Kamil, 2010 ; dalam Desiana, et all
2019).
Dari tahun 2014 sampai juli 2017 di Indonesia terdapat 28 laporan
insiden keselamatan pasien yang didominasi oleh kejadian Nyaris cidera
(KNC) sebanyak 16 insiden dan kejadian tidak di harapkan (KTD)
menduduki posisi kedua dengan 10 insiden. Dari total 28 insiden keselamatan
pasien, sebanyak 16 kejadian pada ruang raat inap. Pada akhir tahun 2016
telah terjadi suatu insiden pasien jatuh dengan grading risiko merah (insiden
yang terjadi bersifat mayor, yang dapat berdampak adanya cidera luas atau
berat, kehilangan fungsi motorik atau sensorik atau psikolog atau intelektual
irresible yang tidak berhubungan dengan penyakit atau dapat pula bersifat
dengan dampak kematian yag tidak berhubungan dengan penyakit)
(Haryanto, et all 2017).
Salah satu tujuan dari sistem keselamatan pasien (pasien safety) yaitu
menurunnya KTD dirumah sakit. Menurut AHRQ (2003) dalam mulyanti
(2011), menyatakan bahwa KTD bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa
masalah. Masalah tersebut yakni masalah sumber daya manusia, kebijakan
dan prosedur yang tidak adekuat dan kegagalan – kegagalan teknis. Menurut
Griffiths et all (2008), faktor yang berpengaruh dalam resiko terjadinya
infeksi dirumah sakit salah satunya yaitu beban kerja yang tidak sesuai
dengan staf atau perawat yang tersedia. Sedangkan menurut Yang (2003)
dalam Amstrong (2009) mengemukakan bahwa beban kerja perawat
merupakan indikator yang mengakibatkan terjadinya infeksi kesehatan
(nosokomial).
Berdasarkan data pengendalian mutu di UPT Puskesmas Rawat Inap
Hanura Kec. Teluk Pandan Kab. Pesawaran Kejadian Tidak Diinginkan
(KTD) pada tahun 2018 sebanyak 2 insiden, meningkat di tahun 2019
sebanyak 3 insiden yang secara keseluruhan terdiri dari kejadian pasien jatuh,
sedangkan angka kejadianinfeksi nosokomial masih tinggi dan belum
memenuhi standar. Angka kejadian infeksi nosokomial pada tahun 2018
mencapai 7,30%, sedangkan tahun 2019 meningkat menjadi 7,60% (Laporan
Pengendalian Mutu Puskesmas, 2019).
Salah satu factor yang dapat menimbulkan penurun keselamatan pasien
(pasien safety) adalah keluhan tingginya beban kerja personel. Hal ini bisa
tampak bila terjadi kenaikan jumlah kunjungan pasien dan meningkatnya
Bed Occupancey Rate (BOR) sedangkan jumlah personil tetap dalam periode
waktu yang lama. Tingginya beban kerja personil kesehatan suatu rumah sakit
dapat berefek penurunan terhadap prestasi kerja. Hal ini dapat terjadi
terutama bila naiknya beban kerja tanpa diikuti dengan peningkatan imbalan.
Beban kerja perawat merupakan volume kerja perawat di sebuah unit rumah
sakit. Sedangkan volume kerja perawat merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk menangani pasien per hari. Beban kerja penting diketahui sebagai dasar
untuk mengetahui kapasitas kerja perawat agar terdapat keseimbangan antara
tenaga perawat dengan beban kerja (Purba, 2015).
Beban kerja perawat dirumah sakit meliputi beban kerja fisik maupun
mental. Beban kerja fisik seperti mengangkat pasien, memasang infus,
me;akukan observasi tanda – tanda vital, memasang oksigen, dan lain – lain.
Sedangkan beban kerja yang bersifat mental berupa kompleksitas pekerjaan,
mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan
menjalankan operasi atau dalam keadaan kritis, bekerja dalam keterampilan
khusus dalam merawat pasien, serta harus menjalin komunikasi yang baik
dengan pasien dan keluarga (Desiana, et all 2019).
Penelitian Haryanto & rosa (2016) mengenai pengaruh beban kerja dan
kelelahan terhadap perawatan infus di RSUD sukoharjo terlihat bahwa beban
kerja perawat memepengaruhi perawatan infus. Beban kerja yang berlebihan
akan menimbukan kelelahan baik fisik maupun mental yang mengakibatkan
kurannya konsentrasi pada pekerjaan sehingga beresiko melakukan kesalahan
atau lupa untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Jika pemasangan
dan perawatan infus tidak dilakukan sesuai prosedur yang benarnmaka dapat
beresiko terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh pelayanan kesehatan
(Desiana,et.all 2019). Mulyana dalam haryanto, (2018) dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan insiden
keselamatan pasien, demikian juga dengan hasibuan dalam Zees (2011)
dalam Haryanto (2018) menyatakan bahwa umur mempengaruhi kondisi fisik
dan mental kemampuan kerja dan tanggung jawab seseorang.
Beban kerja yang melebihi kemampuan fisik dan mental perawat, dapat
juga mempengaruhi keselamatan pasien. Penelitian mengenai hubungan
beban kerja perawat dengan insiden keselamatan pasien yang dilakukan di
Indonesia sangat sedikit ditemukan, dan belum ada yang meneliti lebih jauh
mengapa beban kerja dapat menyebabkan kejadian tidak menyenangkan bagi
pasien. Untuk itu peneliti mencoba melakukan penelitian apakah ada
hubungan antara beban kerja fisik dan mental perawat dengan penerapan
pasien safety di UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura Pesawaran untuk
mengukur beban kerja fisik an mental perawat yang dapat membahayakan
pasien, juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran staf tentang
keselamatan pasien, mendiagnosa dan menilai keselamatan pasien,
mengidentifikasi kekuatan dan area untuk perbaikan keselamatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah “bagaimana hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan
penerapan pasien safety di UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura Pesawaran
tahun 2020.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana hubungan beban kerja fisik dan mental
perawat dengan penerapan pasien safety UPT Puskesmas Rawat Inap
Hanura Pesawaran tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan pendidikan dan
umur di pesawaran tahun 2020.
b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi beban kerja fisik perawat di
UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura Pesawaran tahun 2020.
c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi beban kerja mental perawat di
UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura Pesawaran tahun 2020.
d. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penerapan pasien safety di UPT
Puskesmas Rawat Inap Hanura Pesawaran tahun 2020.
e. Untuk mengetahui hubungan beban kerja fisik dan mental perawat
dengan penerapan pasien safety di UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura
Pesawaran tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang
berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehtan
keselamatan pasien (pasien safety) khususnya beban kerja fisik dan
mental perawat dengan penerapan pasien safety UPT Puskesmas
Rawat Inap Hanura Pesawaran.
b. Memberikan gambaran yang lebih konkrit mengenai beban kerja fisik dan
mental perawat mengenai penerapan patient safety yang selanjutnya dapat
sebagai bentuk masukan dalam mengelola mutu pelayanan kesehatan
melalui pelaksanaan program patient safety.

1.4.2 Manfaat Aplikatif


a. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
berguna di bidang kesehatan keselamatan kerja khususnya terkait
dengan hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan
penerapan pasien safety di puskemas rawat inap.
b. Bagi prodi keperawatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah literatur di
perpustakan Universitas Malahayati, dapat menjadi sumber inspirasi
bagi pihak yang membutuhkan untuk melakukan penelitian khusunya
terkait dengan hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan
penerapan pasien safety di puskesmas serta dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan bagi para pembacanya.
c. Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber masukan
tentang kebijakan dan penanganan masalah beban kerja dan stres
akibat beban kerja fisik dan mental perawat dengan penerapan pasien
safety di puskesmas guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan
pasien yang setinggi – tingginya. Sehingga, baik pasien maupun
perawat juga mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan dalam
bekerja di puskesmas.

1.5 Ruang Lingkup


Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa peminatan manajemen, Program
Studi Ilmu Keperawatan,Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan beban kerja fisik dan
mental perawat dengan penerapan pasien safety diruang rawat inap
puskesmas pesawaran 2020. Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya
kejadian tidak diharapkan (KTD) terhadap pasien safety di Puskesmas rawat
inap Hanura Kab. Pesawaran. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dengan pendekatan cross sectional. Pengeumpula data menggunakan
kuisioner dan analisa data menggunakan uji chi square.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beban Kerja


2.1.1 Pengertian Beban Kerja
Menurut Marquiz dan Houston (2000) dalam Kurniadi (2013)
mendefinisikan beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas
yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas disuatu unit pelayanan
keperawatan. Beban kerja (workload) diartika sebagai patient days yang
merujuk pada sejumlah prosedur dan pemeriksaan pada dokter berkunjung
pada pasien. Bisa juga diartikan beban kerja adalah jumlah total waktu
keperawatan baik secara lansung atau tidak langsung dalam memberikan
pelayanan keperawatan yang diperlukan oleh pasien dan jumlah perawat yang
diperlukan untuk memberikan pelayanan tersebut (Gaudine, 2000 dalam
Kurniadi, 2013).
Beban kerja atau workload merupakan usaha yang harus di keluarkan oleh
seseorang untuk memenuhi “permintaan” dari pekerjaan tersebut. Sedangkan
kapasitas adalah kemampuan atau kapasitas manusia. Bebaan kerja yang di
maksud adalah ukuran (porsi) dari kapasitas operator yang terbatas yang
terbatas yang di butuhkan untuk melakukan kerja tertentu. Beban kerja adalah
jumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok
orang selama periode waktu tertentu dalam keadaan normal.
Beban kerja bisa bersifat kuantitatif bila yang dihitung berdasarkan
banyaknya atau jumlah tindakan keperawatan yang diberikan untuk
memenuhi kebutuhan pasien. Beban kerja kualitatif bila pekerjaan
keperawatan menjadi tanggug jawab yang harus dilaksanakan sebaik
mungkin atau profesional. Bila beban kerja terlalu tinggi menurut Carayon
dan Gurses (2005) dalam Kurniadi (2013) akan menyebabkan komunikasi
yang buruk antara perawat dan pasien, kegagalan kolaborasi perawat dan
dokter, tingginya drop out perawat atau turn over, dan rasa ketidakpuasan
kerja perawat. Untuk mengetahui beban kerja maka para manajer
keperawatan harus mengerti tentang jumlahpasien tiap hari/bulan/tahun,
tingkat ketergantungan, rata – rata hari perawatan, jenis tindakan
keperawatan dan frekuensi tiap tindakan serta rata – rata waktu yang
dibutuhkan setiap tindakan (Gillies, 1996 dalam Kurniadi, 2013). Menurut
Trisna (2007) dalam Kurniadi (2013) kegiatan yang banyak dilakukan adalah
tindakan keperawatan tidak langsung dan faktor yang mempengaruhi beban
kerja perawat adalah jumlah pasien dan jumlah perawat serta jumlah aktivitas.
Standar emas untuk mengukur sumber daya keperawatan akan menjadi
model yang valid dan reliable terhadap pengukuran beban kerja dengan
menggunakan faktor - faktor yang mempengaruhi beban kerja perawat.
Faktor – faktor yang dimaksud adalah kondisi pasien, respon pasien,
karakteristik pasien dan tindakan keperawatan yang diberikan serta
lingkungan kerja. Disamping itu ada faktor lain misalnya beratnya tanggung
jawab, tuntutan atau permintaan dalam waktu bersamaan, kejadian – kejadian
yang tidak diantisipasi, interupsi dan kejadian yang berisik atau gaduh. Akan
tetapi perhitungan beban kerja perawat tiap unit tidaklah sama akan tetapi
tetap hal yang penting untuk dilakukan (Kurniadi, 2013).
Menurut Huber (2006) dalam Kurniadi (2013), beban kerja dibedakan
menjadi dua yaitu bebna kerja kualitatif dan kuantitatif. Beban kerja kualitatif
artinya adalah perepsi beban kerja yang dirasakan oleh perawat. Misalnya
perawat merasa saat ini beban kerjanya berat daripada yang seharusnya, lebih
sulit dari yang sudah pernah dilaksanakan dan keluhan lainnya. Adapun
beban kerja kuantitatif yaitu jumlah pekerjaan yang bisa dihitung dan
dibandingkan dengan waktu kerja yang tersedia.
Misalnya perawat memiliki waktu 8 jam tiap shift, maka berapa banyak
tindakan keperawatan yang bisa dilakukan selama 8 jam itu. Hasilnya akan
dijumlah dan bisa dihitung untuk menentukan jumlah perawat yang
seharusnya bekerja diunit tersebut. Beban kerja kuantitatif sering dijadikan
sebagai bahan penelitian untuk menghitung waktu dan jenis pekerjaan
profesional perawat.

2.1.2 Pengertian Beban kerja fisik


Beban kerja fisik yakni kerja yang membutuhkan energi fisik otot manusia
sebagai sumber tenaga. Pada beban kerja fisik, penggunaan energi relatif
besar di bandingkan beban kerja mental. Kerja fisik atau physical work
merupakan kerja yang membutuhkan energi fisik otot manusia sebgai sumber
tenga atau power. Beban kerja fisik biasa disebut sebgai “manual operation”
di mana performa kerja sepenuhnya akan bergantung pada manusia, baik
yang berfungsi sebgai sumber tenaga (power) ataupun pengendali kerja
(control). Konsumsi energi merupakan faktor utama dan parameter berat
ringannya suatu beban kerja fisik. Hal ini bukan di akibatkan oleh aktivitas
fisik secara langsung, akan tetapi di akibatkan olehkerja otak kita (Sugiono et
all 2018).
Beban kerja fisik perawat meliputi mengangkat pasien, memandikan
pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan,
merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart pasien (Risqiansyah,
2017). Beban kerja fisik juga dapat di konotasikan dengan kondisi kerja berat
atau kerja kasar karena kegiatannya memerlukan usaha fisik manusia yang
kuat selama periode kerja berlangsung.
Pekerjaan yang dilakukan dengan mengandalkan kegiatan fisik akan
mengakibatkan perubahan pada fungsi alat – alat tubuh yang dapat di deteksi
melalui perubahan konsumsi oksigen, denyut jantung, peredaran darah dalam
paru – paru, temperatur tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah,
komposisikimia dalam darahdan air seni, tingkat penguapan dan faktor
lainnya. Beban kerja fisik akan mengakibatkan pengeluaran energi yang
berhubungan dengan konsumsi energi (Sugiono et all 2018).

2.1.3 Pengertian beban kerja mental

Beban kerja mental adalah suatu keadaan yang melibatkan proses berpikir
dari otak untuk menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan pada waktu
tertentu (Saleh 2018). Beban kerja mental yang dialami perawat, diantaranya
bekerja shift atau bergiliran, mempersiapkan rohani mental pasien dan
keluarga terutama bagi yang akan melaksanakan operasi atau dalam keadaan
kritis, bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien serta harus
menjalin komunikasi dengan pasien(Kasmarani, 2012).
Beban kerja yang berlebih pada perawat dapat memicu timbulnya stres
dan burnout. Perawat yang mengalami stres dan burnout memungkinkan
mereka untuk tidak dapat menampilkan performa secara efektif dan efisien
dikarenakan kemampuan fisik dan kognitif mereka menjadi berkurang yang
kemungkinan dapat terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan antara
jumlah pasien dengan jumlah perawat yang bekerja di rumah sakit tersebut,
sehingga perawat mendapatkan beban kerja yang lebih banyak daripada
kemampuan maksimal dari perawat tersebut sehingga perawat mengalami
beban kerja mental dan menimbulkan tindakan tidak aman (Purba, 2015).
2.1.4 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja Fisik Dan Mental
Beban kerja merupakan cerminan dari tindakan keperawatan yang mampu
dilaksanakan secara kuantitas dan kualitas oleh seorang perawat terhadap
seorang atau sekelompok pasien yang menjadi tanggung jawabnya.
Pertanyaan rutin yang sering muncul adalah pasien yang mana dan dirawat
oleh perawat yang mana, berapa banyak pasienyang dirawat, apakah beban
perawat maksimal atau optimal.
Menurut Gillies (1994) dalam Kurniadi (2013), membuat identifikasi
terhadap faktor – faktor yang penting dalam membedakan antara tugas –
tugas keperawatan yang bervariasi, yaitu :
a. Pengelompokkan perawat dan alokasi pasien khusus.
b. Alokasi pekerjaan perawat.
c. Pengorganisasian tugas.
d. Tanggung jawab kepada pasien.
e. Tangung jawab dalam pencatatan.
f. Penghubung atau mediator dengan staf perawat dan dokter.

Adapun Connor tahun 1960-an dalam Kurniadi (2013), mempelajari


pengkuran intensitas pelayanan keperawatan atau tindakan keperawatan
berdasarkan jumlah tempat tidur atau BOR. Hasilnya yaitu berapa jumlah
perawat yang seharusnya dinas sesuai dengan jumalah pasien. Ada 3 aspek
yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi intensitas pelayanan keperawatan,
yaitu :

a. Apakah intensitas keperawatan dievaluasi sesuai permintaan


pelayanan atau dari penawaran pelayanan. Keuntungannya dapat
dilihat dari hasil observasi sehingga ada perbedaan waktu,
profesionalisme, dan struktur staf perawat. Hasil akhir adalah kinerja
yang optimal. Kurangnya jenis ini lebih bersifaft obyektif.
b. Maksud atau makna intensitas keperawatan. Yang perlu diperhatikan
adalah derajar kegawatan, derajat kompleksitas dan kemampuan
profesional yang dipelukan dan aktivitas intelektual yang akan
membedakan situasi dan infrastuktur yang ada.
c. Cara intensitas keperawatan dikomputasi. Ada dilakukan dengan
pendekatan analisa yang mengitung point tertentu yang dialokasikan
ke tiap kegiatan sesuai parameternya. Tiap pasien ditandai khusus
misalnya V (check) apa bisa diterapkan atau tidak. Bila bisa maka
ditambahkan pointnya. Jumlah skor total adalah mewakili intensitas
keperawatan. Keuntungnya adalah sederhana, sedangkan kelemahnya
adalah bila interaksi berbeda maka tidak bisa diambil skornya.
Beban kerja perawat tiap waktu akan berubah. Perubahan ini dapat
disebabkan oleh faktor intern (jumlah pasien dalam ruang rawat inap) atau
faktor eksternal (diluar rumah sakit). Faktor – faktor intern lebih mudah
diatasi daripada faktor luar. Hal ini disebabkan faktor luar tidak bisa
dikendalikan oleh pihak manajemen rumah sakit sendiri melainkan
memerlukan bantuan pihak luar. Sebagai contoh yaitu situasi ekonomi yang
lagi mengalami resesi seperti saat ini. Kenaikan harga tidak bisa ditolak atau
inflasi sedangkan pendapatan masyarakat tetap atau bahkan menurun
sehingga tidak mampu membeli harga pelayanan rumah sakit. Aat ini juga
sering terjadi disaster alam termasuk wabah penyakit tertentu. Kedua cotoh
di atas mempengaruhi jumlah kebutuhan perawat yang ada dirumah sakit
akan ditambah atau dikurangi (kurniadi, 2013).
Secara umum faktor – faktor internal yang mempengaruhi beban kerja
perawat antara lain :
a. Jumlah pasien yang dirawat tiap hari, tiap bulan, tiap tahun.
b. Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien.
c. Rata – rata hari perawatan tiap pasien.
d. Pengukuran tindakan keperawatan langsung dan tidak langsung.
e. Frekuensi tindakan keperawatan yang dibutuhkan.
f. Rata – rata waktu keperawatan langsung dan tidak langsung.

Adapun faktor – faktor eksternal pada skema 8 yang bisa mempengaruhi


beban kerja perawat antara lain :

a. Masalah komunitas yaitu situasi yang ada di masyarakat saat ini


seperti jumlah penduduk yang padat atau berlebihan, lingkungan
kurang bersih, kebiasaan kurang sehat dan sebagainya.
b. Disaster yaitu kondisi bencana alam seperti : banjir, gempa bumi,
tsunami, wabah penyakit, dan sebagainya. Hal ini akan
mempengaruhi kebijakan rumah sakit karena rumah sakit harus
menyediakan tenaga keperawatan cadangan.
c. Hukum atau Undang – Undang dan kebijakan yaitu situasi hukum
perundang – undangan yang bisa mempengaruhi kinerja rumah sakit
atau ketenagaan keperawatan seperti Undang – Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang – Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang Undang
Keperawatan sebagai pedoman utama praktik keperawatan.
d. Politik yaitu kebijakan pemerintahan yang berkuasa atau oposisi
yang bsa mempengaruhi kondisi kinerja rumah sakit seperti
banyaknya pasien karena kecelakaan aibat demonstrasi, kekerasan
politik lainnya, kecendrungan partai politik dalam memandang
tenaga keperawatan dan sebagainya.
e. Pengaruh cuaca yaitu akibat perubahan cuaca bisa mempengaruhi
jenis penyakit sehingga mempengaruhi jumlah tenaga keperawatan.
f. Ekonomi yaitu situasi ekonomi yang ada saatini seperti adanya krisis
ekonomi mengakibatkan pendapatan menurun sehingga pendapatan
rumah sakit menurun. Hal ini berimbas pada rasionalisasi jumlah
tenaga keperawatan.
g. Pendidikan konsumen yaitu tingkat pendidikan masyarakt sudah
semakin tinggi sehingga tenaga perawat hatus profesional atau
dengan kata lain semakin banyak tenaga perawat yang dibutuhkan
satu tingkat lebih tinggi dari pendidikan masyarakat dibanding
tingkatan leiih rendah dari masyarakat.
h. Kemajuan ilmu dan teknologi yaitu kemajuan ilmu dan teknologi
termasuk bahasa harus diikuti oleh semua perawat, karena kalau
tidak bisa mengikuti maka otomatis tidak akan bisa masuk bursa
tenaga kerja. Hal ini semua institusi pelayanan akan memilih
perawat yang memliki kompetensi internasional.

2.1.5 Mengukur Beban Kerja


Analisa beban kerja adalah proses penentuan jumlah jam kerja (man
hours) yang digunakan untuk menyelesaikan beban kerja tertentu, jumlah jam
karyawan dan menentukan jumlah karyawan yang dibutuhkan (Mutiara, 2004
dalam Kurniadi, 2013). Untuk mengukur beban kerja Gillies dalam Kurniadi
(2013), mengembangkan sistem klasifikasi pasien. Hal ini akan
menyesuaikan tingkat ketergantungan pasien, tingkat kesulitan serta
kemampuan yang diperlukan dalam memberikan pelayanan keperawatan.
Adapun Swanburg & Swanburg dalam Kurniadi (2013) menyatakan bahwa
dalam membuat sistem klasifikasi pasien harus memenuhi beberapa kategori
yaitu :
a. Staffing yaitu untuk mengukur waktu yang di butuhkan pasien dan jumlah
perawat yang di butuhkan secara kuantitas dan kualitas.
b. Program perumusan biaya dan anggaran keperawatan yaitu
mencerminkan biaya untung rugi pelayanan keperawatan yang nyata.
c. Kebutuhan perawatan pasien yaitu membagi tugas pelayanan keperawatan
dengan mengatur intensitas keperawatan dan tindakan keperawatan.
d. Mengukur nilai produkfititas yaitu mengatur output dengan input dimana
produktifitas adalah indeks beban kerja perawat.
e. Menentukan kualitas yaitu mengatur waktu dan jenis kebutuhan pasien
dengan mengalokasikan jenis dan jumlah perawat yang tepas.

2.1.6 Penilaian Beban Kerja Fisik


Penilaian Beban Kerja Fisik Penilaian beban kerja fisik secara obyektif
dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode penilaian langsung dan
tidak langsung. Metode penilaian langsung yaitu mengukur energi yang
dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama bekerja.
Semakin berat beban kerja maka semakin banyak energi yang dikonsumsi.
Kelebihan metode dengan menggunakan asupan oksigen adalah hasil lebih
akurat, namun kelemahannya yakni hanya dapat mengukur waktu kerja yang
singkat dan membutuhkan biaya yang mahal.
Berdasarkan metode pengukuran beban kerja fisik langsung, maka volume
oksigen yang dibutuhkan saat melakukan kerja dapat dipakai sebagai dasar
menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan selama kerja, 1 liter oksigen sama
dengan 4,7 – 5 Kkal (McCormick, 1993 dalam Sugiono et all, 2018).
Pendapat lain mengatakan, 1 liter oksigen dikomsumsi oleh tubuh, maka
tubuh akan mendapatkan 4,8 energi yang menjadi nilai kalori suatu oksigen
(Grover, 2012 dalam Sugiono et all, 2018).
Untuk metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung
denyut jantung. Penilaian beban kerja fisik melalui denyut jantung adalah
pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja fisik selain
ditentukan juga oleh konsumsi energi, kapasitas ventilasi paru, dan temperatur
tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung, dan suhu tubuh
mempunyai hubungan linear dengan konsumsi kalori dalam melakukan
pekerjaan. Untuk berbagai macam alasan itulah, sehingga denyut jantung
dapat dipakai sebagai index beban kerja.
Lucien Brouha dalam Sugiono (2018) mendefinisikan tabel klasifikasi
beban kerja dalam reaksi fisiologis, untuk menentukan nilai beban pekerjaan,
seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi Beban Kerja Manusia


Jenis Beban Kerja Konsumsi Energy Heart Rate
Oksigen Expenditure Selama Kerja
(Liter/Menit) (Kalori/Menit) (Detak/Menit)
Ringan 0,5 – 1,0 2,5 – 5,0 60 – 100
Sedang 1,0 – 1,5 5,0 – 7,5 101 – 125
Berat 1,5 – 2,0 7,5 – 10 126 – 149
Sangat Berat 2,0 – 2,5 10 – 12,5 150 – 175

2.1.7 Penilaian Beban Kerja Mental


Penilaian beban kerja mental secara obyektif dapat dilakukan dengan
pengukuran waktu kedipan mata, pekerjaan yang membutuhkan atensi visual
berasosiasi dengan kedipan mata yang lebih sedikit dan durasi kedipan mata
lebih pendek, pengukuran lainnya dengan menggunakan alat flicker, yakni
berupa alat yang memiliki sumber cahaya yang berkedip makin lama makin
cepat hingga pada suatu saat sukar untuk diikuti oleh mata biasa.
penilaian beban kerja mental secara subjektif dapat dilakukan dengan dua
metode, yaitu :

a. NASA Task Load Index (NASA TLX)


NASA Task Load Index merupakan salah satu metode penilaian beban
kerja mental subyektif. Langkah – langkah yang harus dilakukan
pengukuran beban kerja mental dengan menggunakan metodeNASA TLX,
adalah sebagai berikut :
Penjelasan indikator beban kerja mental yang akan diukur :
1) Mental Demand : seberapa besar aktivitas mental dan perseptual yang
dibutuhkan untuk melihat, mengingat, dan mencari. Apakah pekerjan
tersebut mudah atau sulit, sederhana atau kompleks, longgar atau ketat.
2) Physical Demand : jumlah aktivitas fisikyang dibutuhkan (misalnya:
mendorong, menarik, mengontrol putaran, dan lain - lain).
3) Temporal Demand : jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu
yang di rasakan selama elemen pekerjaan berlangsung. Apakah
perkerjaan perlahanan atau santai atau cepat dan melelahkan.
4) Performance : seberapa besar keberhasilan seseorang di dalam
pekerjaan dan seberapa puas dengan hasil kerjanya.
5) Effort : seberapa keras kerja mental dan fisik yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
6) Frustration Level : seberapa besar tingkat keamanan, kenyamanan,
ketenangan yang di rasakan selama melaksanakan pekerjaan tersebut.

Langkah pertama adalah pembobotan. Pada bagian ini responden diminta


untuk melingkari salah satu dari dua indikator yang dirasakan lebih dominan
menimbulkan beban kerja mental terhadap pekerjaan tersebut. kuesioner yang
diberikan berbentuk perbandingan berpasangan yang terdiri dari 15
perbandingan berpasangan. Dari kuesioner ini dihitung jumlah tally dari
setiap indikator yang dirasakan paling berpengaruh,. Jumlah tally ini
kemudian akan menjadi bobot untuk tiap indikator beban mental.

Langkah kedua yaitu pemberian rating. Pada bagian ni responden diminta


memberi rating terhadap keenam indikator beban mental. Rating yang
diberikan adalah subyektif tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh
responden. Untuk mendapatkan skor beban mental NASA TLX bobot dan
rating untuk setiap indikator di kalikan kemudian di jumlahkan dan dibagi 15
(jumlah perbandingan berpasangan).

Skor = Ʃ (bobot x rating)


15

2.2 Perawat
2.2.1 Definisi Perawat
Perawat adalah seseorang yang telah menamatkan program pendidikan
dasar umum bagi perawat dan telah disahkan oleh lembaga terkait untuk
dapat melakukan praktik keperawatan di negaranya. Pendidikan dasar
keperawatan merupakan sebuah pendidikan yang mempelajari tentang
perilaku, kehidupan, dan ilmu keperawatan yang berguna untuk praktik
keperawatan, peran sebagai pemimpin dan sebagai dasar untuk praktik
keperawatan (Arini, 2018).
Menurut Undang – Undang RI No 38 Tahun 2014, perawat adalah
seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan.
Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalamkeadaan sakit maupun sehat.
(Undang – Undang RI No 38 Tahun 2014).
2.2.2 Wewenang
Perawat disiapkan untuk mempunyai wewenang :
1. Ikut serta berperan dalam praktik keperawatan, termasuk promosi
kesehatan, pencegahan penyakit, dan perawat penyakit fisik, penyakit
mental dan orang – orang yang tidak mampu pada semua usia dan pada
semua tempat pelayanan kesehatan maupun komunitas.
2. Ikut serta berperan dalam program pendidkan kesehatan.
3. Ikut serta berpartisipasi sebagai anggota dari tim kesehatan.
4. Melakukan supervisi dan pelatihan pada perawat lainnya, pada tempat
pelayanan kesehatan.
5. Terlibat dalam penelitian (International Council of Nurse, 1987 dalam
Arini, 2018).

2.2.3 Asas Praktik Keperawatan


Praktik keperawatan berasaskan :
1. Perikemanusiaan
2. Nilai ilmiah
3. Etika dan profesionalitas
4. Manfaat
5. Keadilan
6. Perlindungan
7. Kesehatan dan Keselamatan pasien

2.3 Keselamatan Pasien (Pasien Safety)


2.3.1 Definisi
Keselamatan pasien (pasien safety) dalam Peraturan Mentri Kesehatan No
11 Tahun 2017 adalah untuk sistem yang membuat asuhan pasien lebih
aman, meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan resiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko
dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil penyelenggara keselamatan pasien dilakukan melalui pembentukan
sistem pelayanan yang mengharapkan : standar keselamatan pasien, sasaran
keselamtan pasien, dan tujuh langkah menuju keselamatan pasien (Kemenkes,
2017).
Standar keselamatan pasien (pasien safety) meliputi : hak pasien,
pendidikan bagi pasien dan keluarga, keselamatan pasien dalam
kesinambungan, penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan peningkatan keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam
meningkatkan keselamatan pasien, pendidikan bagi staf tentang keselamatan
pasien dan komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien (Kemenkes, 2017).
Keselamatan pasien (pasien safety) dapat di definisikan sebagai upaya
menurunkan cedera yang tidak perlu yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan hingga ke tingkat minimum yang dapat di terima. Tingkat
minimum yang dapat diterima (accetable minimum) merujuk pada pada
pengetahuan yang dimiliki saat ini, sumber daya yang tersedia, dan konteks
dimana pelayanan di berikan, dengan membandingkannya terhadap risiko jika
tidak dilakukan tindakan atau jika di lakukan tindakan lain. Secara sederhana,
hal ini merupakan upaya pencegahan kesalahan dan kejadian yang tidak
diharapkan pada pasien yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
(Panesar et al, 2017).
2.3.2 Standar Keselamatan Pasien (Pasien Safety)
Standar keselamatan pasien dalam Peraturan Mentri Kesehatan No 11
Tahun 2017, meliputi :
1) Hak psien
2) Pendidikan bagi pasien dan keluarga
3) Keselamtan pasien dalam kesinambungan pelayanan
4) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan peningkatan keselamatan pasien
5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6) Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien
7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.

2.3.3 Sasaran Keselamatan Pasien (Pasien Safety)


Sasaran keselamatan pasien (pasien safety) dalam Peraturan Mentri
Kesehatan No 11 Tahun 2017, meliputi tercapainya hal – hal :
mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi yang
efektif, meningatkan obat – obatan yang harus di waspadai, memastikan
lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pasien
yang benar, mengurangi resiko infeksi akibat perawatan kesehatan dan
mengurangi resiko cedera pasien akibat terjatuh (Kemenkes, 2017).
Tujuh langkah menuju keselamatan pasien (pasien safety) terdiri atas :
membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, memimpin dan
mendukung staf, mengintegrasikan aktivitas pengelolaan resiko,
mengembangkan sisitem pelaporan, melihatkan danberkomunikasi dengan
pasien, belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dan
mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
(Kemenkes, 2017).

2.3.4 Enam Sasaran Keselamatan Pasien (Pasien Safet)


Sasaran kesalamatan pasien (pasien safety) merupakan syarat untuk di
terapkan disemua rumah sakit yang di akreditasi oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit. Tujuan dari sasaran keselamatan pasien (pasien safety) adalah
mendorong perbaikan spesifik dalam keselamtan pasien. Sasaran menyoroti
bagian – bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan
menjelaskan bukti serta solusi dari consensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Berikut 6 sasaran keselamatan pasien (pasien safety)
menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 1691 Tahun 2011 :
Sasaran I : ketetapan identifikasi pasien
Sasaran II : peningkatan komunikasi yang efektif
Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu di waspadai
Sasaran IV : kepastian tepat – lokasi, tepat – prosedur operasi
Sasaran V : pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
Sasaran VI : pengurangan resiko pasien jatuh

2.3.5 Insiden Terkait Keselamatan Pasien (pasien safety)


Insiden keselamatan pasien (pasien safety) yang selanjutnya disebut
insiden, adalah setiap kejadian yang tidak di sengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpontensi mengakibatkan cedera yang dapat di cegah
pada pasien. Insiden di fasilitas pelayanan kesehatan dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI No 11 Tahun 2017, meliputi :
1) Kondisi Potensial Cedera (KPC) merupakan kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi terjadi insiden.
2) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) merupakan terjadinya insiden yang
belum sampai terpapar ke pasien.
3) Kejadian Tidak Cedera (KTC) merupakan insiden yang sudah terpapar
ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
4) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan insiden yang
mengakibatkan cedera pada pasien.
5) Kejadian sentinel merupakan suatu kejadian tidak diharapkan yang
mengakibatkan kematian, cedera permanen atau cedera berat yang
temporer dengan membutuhkan intervensi untuk mempertahankan
kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak terkait dengan
perjalanan penyakit atau keadaan pasien. Kejadian sentinel dapat
disebabkan oleh hal lain selain insiden (Kemenkes, 2017).

2.4 Kerangka Teori


Berdasarkan telaah pustaka di atas, maka dapat dibuat suatu kerangka teori
seperti di bawah ini :
Gambar 2.1 Kerangka Teori

Keselamatan pasien (pasien safety)

Beban Kerja

Beban Kerja Fisik Beban Kerja Mental

Faktor Internal Faktor Eksternal

1. Jumlah pasien 1. Masalah komunitas


2. Kondisi atau tingkat 2. Disaster
ketergantungan pasien 3. Hukum atau uu dan
3. Rata – rata hari perawatan kebijakan
pasien 4. Politik
4. Pengukuran tindakan 5. Pengaruh cuaca
keperawatan langsung dan 6. Ekonomi
tidak langsung 7. Pendidikan konsumen
5. Frekuensi tindakan 8. Kemajuan ilmu dan
keperawatan teknologi
6. Rata – rata waktu perawatan
langsung dan tidak langsung
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan
antara konsep – konsep yang ingin di amati atau diukur melalui penelitian
yang akan dilakukan.
Gambar 2.2
Kerangka Konsep

Beban Kerja Fisik Pasien Safety


Dan Mental

2.6 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban atau dugaaa sementara dari peneliti yang
kebenarannya masih harus teliti lebih lanjut. Berdasarkan kerangka konsep
diatas penulis mengajukan hipotesis yaitu :
 Ha : Ada hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan
penerapan pasien safety di UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura
Kecamatan Teluk Pandan Pesawaran Tahun 2020.
 H0 : Tidak ada hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan
penerapan pasien safety di UPT Puskesmas Rawat Inap Hanura
Kecamatan Teluk Pandan Pesawaran Tahun 2020.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ysng digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
secara Survey Analitik dengan menggunakan rancangan cross-sectional yang
merupakan rancangan penelitian dengan menggunakan pengukuran atau
pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara variabel bebas (faktor
risiko) dengan variabel tergantung (efek) (Notoatmodjo, 2000). Dimana
dilakukan pengukuran variabel beban kerja fisik dan mental sebagai variabel
independen dengan pasien safety sebagai variabel dependen dikumpulkan
datanya dalam waktu yang bersamaan atau satu kali pengambilan data.

3.2 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif (Gahayu, 2015).
Dengan metode kolerasi dimana peneliti akan menggambarkan dua atau lebih
fakta – fakta dan sifat – sifat objek yang di teliti yaitu hubungan beban kerja
fisik dan mental perawat dengan penerapan pasien safety di UPT Puskesmas
Rawat Inap Hanura Pesawaran tahun 2020. Penelitian dilakukan untuk
membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta tersebut
berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
3.3 Populasi Dan Sample
3.3.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan dari individu atau objek atau fenomena
yang secara potensial dapat diukur sebagai bagian dari penelitian.
(Mazhindu & Scott, 2005 dalam Swarjana, 2015). Populasi adalah target
dimana peneliti menghasilkan hasil penelitian (Shi, 2008 dalam
Swarjana, 2015).
3.3.2 Sample
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sample
adalah bagian dari elemen populasi yang hasilkan dari strategi sampling.
Sampling adalah sebuah strategi yang digunakan untuk memilih elemen
atau bagian dari populasi untuk ditelit(Swarjana, 2015).

3.4 Teknik Sampling


Sampling adalah sebuah strategi yang digunakan untuk memilih elemen
atau bagian dari populasi untuk diteliti. Teknik sampling yang digunkan yaitu
random sampling, metode pengambilan sample dimana responden diambil
secara acak (Swarjana, 2015).

3.5 Tempat dan Waktu


Tempat penelitian ini di laksanakan di UPT Puskesmas Rawat Inap
Hanura Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran. Pada bulan April
2020.

3.6 Variabel Penelitian


3.6.1 Variabel Dependen
Variabel dependen atau terikat pada penelitian ini adalah pasien safety.
3.6.2 Variabel Independen
Variabel independen atau bebas pada penelitian ini adalah beban
kerjafisik dan mental.
3.7 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan variabel operasional yang dilalukan
penelitian berdasarkan karakteristik yang diamati. Definisi operasional
ditentukan berdasarkan parameter ukuran dalam penelitian. Definisi
operasional mengungkapkan variabel dari skala pengukuran masing – masing
variabel tersebut (Donsu, 2016).

Tabel 3.7 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Alat Cara Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur Ukur
Dependen
Pasien Kemampuan Lembar Menyebark
Safety kognitif perawat Observas an lembar
pelaksana untuk i observasi
menjelaskan dan
menginterpretasikan
secara benar tentang
penerapan pasien
safety yang terdiri
dari standar Pasien
safety dan 6 sasaran
pasien safety
Independen
Beban Jumlah denyut nadi Stopwatch Pengukuran Ringan : Ordinal
Kerja perawat setelah denyut nadi 75-100
Fisik melakukan Sedang :
pekerjaan saat 101-125
penelitian Berat :
berlangsung yang 126-150
meliputi tindakan Sangat
utama dan berat :
tambahan. 151-175
Beban Perawat saat di Kuisioner Menyebark Ringan : Ordinal
Kerja hadapkan pada an kuisioner skor
Mental besarya tugas dan jawaban
tanggungjawab <29
yang harus di
selesaikan pada Sedang :
waktu kerja tertentu skor
yang meliputi : jawaban
mental demand, 29-56
temporal demand, Berat :
phisal demand, skor
frusttation level, jawaban
performance, effort >56

3.8 Alat Ukur


3.8.1 Uji Validitas
Alat ukur penelitian yang baik adalah alat ukur yang mampu
memenuhi aspek validitas. Validitas adalah kemampuan sebuah tes
untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Swarjana, 2016).
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur benar –
benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010) dengan
menggunakan teknik kolerasi product moment. Semua pengolahan
data dilakukan dengan komputer dengan program SPSS.
Uji validitasvariabel beban kerja mental didasarkan pada hasil
analisis butir untuk 38 item angket beban kerja mental yaitu terdapat
28 item yang valid dan 10 item yang gugur.
3.8.2 Uji Reliabilitas
Untuk menguji reliabilitas alat ukur adalah dengan menggunakan
teknik pengukuran Alpha Chronbach, karena skor yang didapat dari
skor skala psikologi berupa skor interval bukan berupa 1 dan 0
(Arikunto, 2010). Dalam menghitung kedua skala penelitian ini
peneliti menggunkan bantuan program komputer SPSS.

3.9 Pengumpulan dan Pengolahan Data


3.9.1 Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuisioner dan
lembar observasi, dengan pertanyaan yang ditujukan tertulis dan
jawaban diisi oleh responden sesuaui dengan daftar isian yang
diterima. Penelitian ini terdiri dari ata primer yang diperoleh langsung
dari responden. Data primer ialah data yang didapatkan secara
langsung melalui sumber utamanya (responden) (Swajarna, 2016).
3.9.2 Pengolaha Data
Pengolahan data dilakukan dengan (Swajarna, 2016) :
1. Editing
Tahap editing adalah ahap pertama dalam pengolahan data
penelitian. Editng merupakan proses memeriksa data yang
dikumpulkan melalui alat pengumpulan data (instrumen
penelitian).
2. Coding
Coding adalah mengalokasikan jawaban – jawaban yang ada
menurut macamnya kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan
menggunakan kode – kode agar lebih mudah dan sederhana.
3. Proccesing
Pemprosesan data dilakukan dengan cara memasukkan data dari
tabulasi ke paketprogram komputer untuk variabel independen dan
dependen.
4. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembal data yang sudah di–
Entry apakah ada kesalahan atau tidak baik variabel independen
dan dependen.

3.10 Analisa Data


3.10.1 Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakterisktik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010).
Variabel penelitian yang akan dianalisis secara deskriptif adalah data
mengenai beban kerja mental yang dialami oleh perawat.
3.10.2 Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010).
Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan rumus
sebagai berikut :
X² = Ʃ (O-E)²
E
Keterangan :
X² : Chi Square O : Frekuensi yang diamati (Observed)
Ʃ : Jumlah E : Frekuensi yang diharapkan (Expected)
Berdasarkan hasil perhitungan statistik dapat dilihat kemaknaan
hubungan antara 2 variabel, yaitu :
a. Jika p value ≤ 0,05 maka bermakna/signifkan, berarti ada
hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan
varibel dependen atau hipotesis (Ho) ditolak.
b. Jika p value > 0,05 maka bermakna/signifkan, berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan
variabel dependen atau hipotesis (Ho) diterima.
3.11 Etika Pnenelitian
3.11.1 Informed Consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada setiap responden yang
menjadi subjek penelitian dengan memberikan penjelasan tentang
maksud dan tujuan dari penelitian serta menjelaskan akibat – akibat
yang akan terjadi bila bersedia menjadi subjek penelitian. Apabila
responden tidak bersedia maka peneliti wajib menghormati hak – hak
responden tersebut (Sumantri, 2011).
3.11.2 Anonimity (tanpa nama)
Tindakan merahasiakan nama peserta terkait dengan partisipasi
mereka dalam suatu objek riset. Pada penelitian ini kerahasiaan
identitas subjek angat di utamakan, sehingga peneliti sengaja tidak
mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (Sumantri,
2011).
3.11.3 Confidenlity (kerahasiaan)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil riset (Sumantri, 2011).

Anda mungkin juga menyukai