Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah sakit adalah institusi medis dan kesehatan yang menjalankan

para profesional medis, memiliki fasilitas rawat inap dan menyediakan

layanan 24 jam. Memberikan pelayanan yang komprehensif kepada

masyarakat untuk menyembuhkan penyakit (penyembuhan) dan mencegah

penyakit (pencegahan). (WHO, 2017; Moh. Satria Diantoro dan Alfi Ari

Fakhrur Rizal, 2020)

Undang-undang kesehatan nomor 44 tahun 2009 mendefinisikan

rumah sakit sebagai organisasi kesehatan yang memberikan pelayanan

kesehatan perorangan secara komprehensif melalui penyediaan pelayanan

rawat inap, rawat jalan serta gawat darurat. Rumah sakit ialah bagian asal

sistem pelayanan kesehatan yg menyampaikan pelayanan kepada

masyarakat antara lain pelayanan medik, pelayanan penunjang medik,

rehabilitasi medik, dan pelayanan keperawatan. (Moh. Satria Diantoro dan

Alfi Ari Fakhrur Rizal, 2020).

Pelayanan keperawatan merupakan salah satu layanan yang sering

bersentuhan dengan pasien. Sebelum melakukan intervensi ataupun ke tempat

pasien perawat harus mencuci tangan. Mencuci tangan merupakan teknik

dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi.

Penelitian Semmelweis dan banyak penelitian lainnya memperlihatkan bahwa

penularan penyakit menular dari pasien ke pasien mungkin terjadi melalui

1
tangan petugas kesehatan sehingga menjaga kebersihan tangan dengan

baik dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan frekuensi

infeksi nosokomial. Hal tersebut dikuatkan oleh bukti substansial oleh World

Health Organization (WHO) jika kegiatan antiseptik tangan mengurangi

insidensi Hospital Infection. (Radya Irshadi Caesarino, Hendro Wahyono dan

Endang Sri Lestari, 2019). Mencuci tangan lima momen untuk petugas

kesehatan yang benar berdasarkan standart World Health Organization

(WHO) yaitu: sebelum bersentuhan dengan pasien, sebelum melakukan

prosedur bersih atau steril, setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien,

setelah bersentuhan dengan pasien, setelah bersentuhan dengan lingkungan

sekitar pasien (WHO, 2017).

Menurut data Surveilens World Health Organization (WHO) (2018),

prevalensi Healthcare Associated Infections (HAIs) di RS dunia mencapai

1,4 juta pasien rawat inap. Kejadian ini menyebabkan lenght of stay (LOS),

mortalitas, dan healthcare cost meningkat. Prevalensi Healthcare Associated

Infections (HAIs) paling banyak terdapat di Mediterania Timur (11,8%) dan

Asia Tenggara (10%) sedangkan di Eropa (7,7%) dan Pasifik Barat (9%).

Terdapat beberapa komponen utama penerapan pengendalian dan pencegahan

infeksi Healthcare Associated Infections (HAIs) yang sesuai standar yakni

mencuci tangan (Hand hygiene), sarung tangan, desinfeksi, sterilisasi,

masker, kaca mata, baju pelindung, alas kaki, pengelolaan jarum suntik dan

alat tajam, kebersihan lingkungan, penempatan pasien, linen dan resusitasi

pasien. (Anita Syarifah dan Nurhasnah, 2021).

2
Menurut laporan World Health Organozations (WHO) sekitar 5% dari

seluruh pasien dirumah sakit menderita infeksi nosokomial. Berdasarkan

WHO dari 55 rumah sakiit dari 14 negara mewakili wilayah kerja WHO

menunjukan frekuensi tertinggi infeksi nosokomial berada dirumah sakit di

Asia Tenggara atas prevalensi 11%, serta di Indonesia kejadian mencapai

15.74% lebih besar dibandingkan negara maju berkisar 4.85 – 15.5%.

Kejadian infeksi nosokomial sering terjadi yakni I n f e k s i S a l u r a n

K e m i h ( I S K ) 40% dari seluruh kejadian dapat terjadi setiap tahunnya.

(Eka Novita Sari, M. Ricko Gunawan dan M. Arifki Zainaro, 2022).

Definisi Healthcare Associated Infections (HAIs) yang lain adalah

infeksi yang muncul setelah penggunaan layanan kesehatan, dan erat

kaitannya dengan peningkatan kesakitan dan kematian pasien (Clancy et

al., 2021). Angka kejadian Healthcare Associated Infections (HAIs)

diperkirakan 7% di negara maju dan lebih dari 25% di negara berkembang

(Nobile et al., 2018). Dampak Healthcare Associated Infections (HAIs)

ternyata sangat serius diantaranya dampak finansial, emosional, sosial, dan

dinamika keluarga (Mo et al., 2019). (Madya Sulisno, Devi Nurmalia,

Bambang Edi Warsito, Ayu Miftahul Jannah, Sarah Ulliya, Agus Santoso dan

Muhammad Hasib Ardani, 2022).

Prevalensi Healthcare Associated Infections (HAIs) di rumah sakit

dunia mencapai 9% atau kurang lebih 1,40 juta pasien rawat inap di rumah

sakit seluruh dunia terkena infeksi nosokomial. Penelitian yang dilakukan

oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,70% dari 55 rumah sakit di 14

negara yang berada di Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik

3
menunjukkan adanya Healthcare Associated Infections (HAIs). Prevalensi

Healthcare Associated Infections (HAIs) paling banyak di Mediterania

Timur dan Asia Tenggara yaitu sebesar 11,80% dan 10% sedangkan di

Eropa dan Pasifik Barat masing-masing sebesar 7,70% dan 9% (Susi Anisia

Laila dan M. Arifki Zainaro, 2020).

Infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di

seluruh dunia. Di negara berkembang, diperkirakan >40% pasien di rumah

sakit terserang infeksi nosokomial. Sebesar8,7% pasien rumah sakit

menderita infeksi nosokomial selama menjalani perawatan di rumah

sakit. (Ruhul Chairani, Saiful Riza dan Yadi Putra, 2022).

Perawat yang selalu melakukan aktifitas yang bersentuhan dengan pasien

berisko tinggi bisa menimbulkan Infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial

adalah infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit. Infeksi nosokomial

dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Samwelweis dan hingga saat

ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan

(morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit, sehingga dapat

menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di

negara maju. Beberapa kejadian infeksi nosokomial mungkin tidak

menyebabkan kematian pada pasien, akan tetapi ini menjadi penyebab

penting pasien dirawat lebih lama di rumah sakit. Infeksi nosokomial

merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung maupun tidak

langsung kematian pasien, hal ini dapat dicegah melalui perilaku cuci

tangan petugas kesehatan di rumah sakit baik perawat maupun calon

perawat/mahasiswa yang sedang praktek. (Tuti Sulastri, 2021).

4
Mencuci tangan sangat berperan penting didalam pencegahan infeksi

nosokomial, tetapi juga perlu memperhatikan tingkat kepatuhan akan

pelaksanaan cuci tangan. itu sendiri. Tingkat kepatuhan perawat didalam

cuci tangan dirumah sakit India 53.4%, dokter 42.5%, serta petugas

kesehatan lainnya 32.6%. Berdasarkan tingkat kepatuhan cuci tangan

dirumah sakit Bandung sebesar 48.3%. Semarang kepatuhan cuci tangan

rendah sebanyak 25.92%, Malang kepatuhan cuci tangan sebesar 19.5% serta

meningkat setelah diberi intervensi. (Eka Novita Sari, M. Ricko Gunawan dan

M. Arifki Zainaro, 2022).

Prevalensi Healthcare Associated Infections (HAIs) di negara-negara

berpendapatan tinggi berkisar antara 3,5-12%; sementara prevalensi di

negara-negara berpendapatan rendah dan menengah berkisar antara

5,7- 19,1%, termasuk 7,1% di Indonesia (Hasan, 2016). Kejadian infeksi

nosokomial di Rumah Sakit di Indonesia masih sangat tinggi, masih

ditemukan angka kejadian infeksi sebesar 55,1 % untuk rumah sakit

pemerintah dan 35,7 % untuk rumah sakit swasta. Di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia prevalensi rata-rata terjadinya infeksi adalah

9,1 % dengan variasi 6,1 % - 16,0 % (Susi Anisia Laila dan M. Arifki

Zainaro, 2020).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat

mengidentifikasi bahwa hampir 1,7 juta pasien yang dirawat di rumah sakit

setiap tahunnya mendapatkan Healthcare Associated Infections (HAIs)

ketika sedang dirawat dan bahwa lebih dari 98.000 pasien (1 dari 17)

meninggal karena Healthcare Associated Infections (HAIs). Badan

5
Penelitian dan Kualitas Perawatan Kesehatan melaporkan bahwa

Healthcare Associated Infections (HAIs) adalah salah satu dari 10

penyebab utama kematian di AS. Dari setiap 100 pasien yang dirawat di

rumah sakit, 7 pasien di Negara maju dan 10 pasien di negara berkembang

memperoeh Healthcare Associated Infections (HAIs). (Ruhul Chairani,

Saiful Riza dan Yadi Putra, 2022).

Studi yang dilakukan di negara-negara berpenghasilan tinggi

menemukan bahwa 5% - 15% dari pasien yang dirawat di rumah sakit

mendapatkan Healthcare Associated Infections (HAIs) yang dapat

mempengaruhi 9% - 37% dari mereka yang dirawat di Intensive Care Unit

(ICU). Setiap tahunnya, ICU didiagnosa sekitar 0,5 juta Healthcare

Associated Infections (HAIs) setiap tahunnya (Haque et al., 2018). Penelitian

diberbagai universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pasien yang

dirawat di Intensive Care Unit (ICU) mempunyai kecendrungan terkena

infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi dari pada pasien yang dirawat di

ruang biasa. Infeksi nosokomial banyak terjadi di ICU pada kasus pasca

bedah dan kasus dengan pemasangan infus dan kateter yang tidak sesuai

dengan prosedur standar pencegahan dan pengendalian infeksi yang

diterapkan di rumah sakit. (Ruhul Chairani, Saiful Riza dan Yadi Putra,

2022).

Indonesia melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes

RI), telah melakukan survey pada tahun 2019 terhadap 10 Rumah Sakit

Umum Pendidikan, didapatkan angka yang cukup tinggi 6-16 % angka

infeksi nosokomial, dengan rata-rata 9,8%. Survey yang dilakukan di 10

6
rumah sakit di Daerah Khusus Istimewa Jakarta ini menunjukkan bahwa

pasien rawat inap yang mendapat infeksi yang baru selama dirawat di rumah

sakit adalah sebanyak 9,8%. Phlebitis adalah infeksi yang tertinggi di rumah

sakit swasta atau pemerintah dengan jumlah pasien 2.168 pasien dari jumlah

pasien berisiko 124.733 (1.7%). (Ruhul Chairani, Saiful Riza dan Yadi Putra,

2022).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018)

diketahui bahwa saat ini hanya 47% petugas kesehatan yang

berperilaku benar dalam cuci tangan. Melalui penelitian Sukron dan Katriasa

(2017) di Ruang Inap C R u m a h S a k i t U m u m P u s a t ( RSUP)

Fatmawati juga didapatkan data bahwa hanya 12 orang (12,4%) perawat yang

patuh terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) cuci tangan 5 momen,

sedangkan sisanya sebanyak 67 orang (69,1%) meliliki kepatuhan yang

kurang dan 18 orang (8,6%) dengan kepatuhan sedang. (Anita Syarifah dan

Nurhasnah, 2021).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muara Teweh merupakan salah

satu pusat layanan kesehatan daerah di Kabupaten Barito Utara yang sedang

giat mencanangkan cuci tangan dengan KPI (Key Performe Indicator) rumah

sakit minimal 85 %. Saat dilakukan studi pendahuluan di dapatkan data

bahwa rerata kepatuhan cuci tangan sesuai Standar Operasional Prosedur

(SOP) pada bulan Januari sampai Maret 2022 adalah 78,20%, kejadian

plebitis di ruang teratai perawatan bedah dan ruang tulip perawatan penyakit

dalam tahun 2021 pada bulan Oktober sampai Desember 2021 rerata 3,366

per mil ( nilai standar 1,5 permil ) dimana pada bulan Oktober 3,868 permil

7
dan meningkat pada bulan Desember 2021 menjadi 5,357 permil. Data

laporan terkain ILO (Infeksi Luka Operasi) pada ruang kebidanan tahun

2021 periode bulan Januari sampai dengan Juni 2022 diperoleh data ada 3

pasien yang mengalami ILO. Saat diobservasi 5 perawat, masih ada 4 perawat

yang lupa dengan gerakan cuci tangan tidak berurutan seperti menggosok

punggung tangan, menggosok sela-sela jari, menggosok ibu jari dan

menggosok atau memutar ujung jari-jari serta lupa menggnakan handwash

dan hand rub, namun saat dilakukan kegiatan supervisi dan diminta untuk

memperagakan cara cuci tangan mereka mampu melakukan dengan baik dan

benar.

Peran dan fungsi dari IPCN (Infection Prevention Control Nurse) atau

perawat PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) yang ada di RSUD

Muara Teweh sudah terlaksana namun belum begitu maksimal dilakukan

sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) cuci tangan, baik langsung

melalui supervisi, observasi maupun tidak langsung melalui poster, pamflet

atau brosur dan evaluasi serta kontral pelaksannaan cuci tangan sesuai SOP

kepada perawat, bidan maupun tenaga kesehatan lainnya yang mungkin

disebabkan karena adanya pergantian petugas IPCN.

Kemudian juga akibat dari adanya infeksi nasokomial yang terjadi di

rumah sakit tersebut nantinya akan sangat berpengaruh sekali terhadap

pelayanan yang ada di rumah sakit seperti meningkatnya angka kesakitan dan

kematian, semakin lamanya pasien dirawat atau tinggal di rumah sakit, stress

gangguan fisik dan psikologis, bagi pasien dan keluarga pengeluaran biaya

meningkat, bagi rumah sakit pengeluaran biaya operasional meningkat dan

8
pelayanan di rumah sakit serta kepercayaan masyarakat akan menurun. Dari

uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul “Gambaran Kepatuhan Cuci Tangan Perawat Di RSUD Muara

Teweh Tahun 2023.

B. Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana Gambaran

Kepatuhan Cuci Tangan Perawat di RSUD Muara Teweh Tahun 2023?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran

Kepatuhan Cuci Tangan Perawat di RSUD Muara Teweh Tahun 2023.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

memperkaya mata ajar manajemen keperawatan seperti kepatuhan cuci

tangan, sasaran keselamatan pasien, pencegahan infeksi.

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi RSUD Muara Teweh

Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan

masukan dan informasi kepada manajemen rumah sakit dalam

rangka meningkatkan mutu pelayanan salah satunya dengan

meningkatkan kepatuhan cuci tangan perawat di RSUD Muara

Teweh dengan harapan kejadian infeksi nasokomial dapat

9
dikendalikan (menurun atau tidak ada) diruang perawatan RSUD

Muara Teweh.

b. Bagi Institusi Pendidikan STIKES Suaka Insan Banjarmasin

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan petugas dalam

mencuci tangan dengan kejadian infeksi nasokomial di tempat

pelayanan kesehatan, untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta

dapat dijadikan panduan bagi mahasiswa yang melanjutkan

penelitian di STIKES Suaka Insan Banjarmasin.

c. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi media yang bisa

membantu mahasiswa untuk lebih mudah memahami tentang

pentingnya cuci tangan sebelum dan sesudah menangani pasien

untuk memutus mata rantai penyakit dalam memberikan pelayanan

keperawatan nantinya.

d. Bagi Dosen

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi media yang bisa

dimanfaatkan dan membantu dosen dalam memberikan

pembelajaran kepada mahasiswa keperawatan betapa pentingnya

kebiasaan cuci tangan dalam meberikan pelayanan kesehatan dan

keperawatan.

e. Bagi Peneliti

10
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi media yang bisa

memberi manfaat untuk peneliti dan setiap mahasiswa yang ada di

kampus STIKES Suaka Insan Banjarmasin agar lebih mudah untuk

memahami dan menerapkan kepatuhan cuci tangan setiap

memberikan pelayan kesehatan dan keperawatan.

f. Bagi Peneliti selanjutnya

Dapat dijadikan perbandingan dan pertimbangan untuk

melakukan penelitian-penelitian di tempat lain yang berkaitan

dengan penelitian ini serta dapat dijadikan panduan bagi

mahasiswa yang melanjutkan penelitian di STIKES Suaka Insan

Banjarmasin.

E. Keaslian Penelitian

Hasil Penelusuran Pustaka yang telah dilakukan, belurn ada

penelitian yang sarna dengan topik diatas, di wilayah kerja RSUD

Muara Teweh, narnun rnasalah ini pemah diteliti di daerah lain

serta ada beberapa Penelitian yang berhubungan dengan topik yang

akan diteliti oleh peneliti. Perbedaan dan persarnaan dalarn Penelitian

tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:

Judul dan Nama Metode dan Hasil Persamaa


No Tahun Peneliti Penelitian dan
Penelitian Perbedaan
Penelitian
1. Analisis Siti Jenis penelitian Persamaan
Tingkat Marfu’ah ini adalah penelitian
Kepatuhan dan Liena Penelitian ini dengan
Hand Sofiana Kualitatif dengan penelitian
Hygiene rancangan studi yang akan
Perawat kasus dengan dilakukan

11
Judul dan Nama Metode dan Hasil Persamaa
No Tahun Peneliti Penelitian dan
Penelitian Perbedaan
Penelitian
Dalam subjek penelitian peneliti
Pencegahan menggunakan yaitu sama-
Infeksi Teknik Purposive sama ingin
Nasokomial Sampling yaitu 15 mengetahui
Tahun 2018 perawat dan 2 sejauh mana
orang petugas PPI kepatuhan
dengan cara perawat
wawancara. dalam
Hasil penelitian melaksanak
dilihat bahwa an lima
kepatuhan moment
perawat dalam cuci tangan.
melakukan hand Sedangkan
hygiene perbedaan
berdasarkan penelitian
prinsip five ini dengan
moment for hand penelitian
hygiene masih yang akan
belum optimal dilakukan
terutama pada peneliti
moment sebelum yaitu
kontak dengan terletak
pasien hanya pada cara
mencapai 66,7% mengumpul
dan moment data dengan
sebelum tindakan wawancara
asepsis dengan sedangkan
persentase 73,4% peneliti
yang termasuk dengan
dalam katagori observasi,
kepatuhan kemudian
minimal padahal waktu,
standar cuci tempat dan
tangan yang tahun
diterapkan oleh penelitian.
RSUD Wonosari
harus mencapai
≥85%.

2. Tingkat Radya Metode penelitian Persamaan


Kepatuhan Irshadi ini adalah penelitian
Perawat Caesarino, Observasional ini dengan
Rumah Sakit Hendro Deskriptif dengan penelitian
X Di Wahyono desain Cross yang akan

12
Judul dan Nama Metode dan Hasil Persamaa
No Tahun Peneliti Penelitian dan
Penelitian Perbedaan
Penelitian
Semarang dan Sectional, Subjek dilakukan
Terhadap Endang Sri penelitian Perawat peneliti
Pelaksanaan Lestari RS X. yaitu sama-
Cuci Tangan Penelitian sama ingin
Tahun 2019 dilakukan dengan mengetahui
Total Sampling sejauh mana
namun tidak kepatuhan
disebutkan berapa perawat
jumlah responden dalam
hanya disebutkan melaksanak
4 ruangan an lima
perawatan saja. moment
Penelitian cuci tangan.
menggnakan Sedangkan
analisis univariat perbedaan
yaitu analisis penelitian
variable yang ini dengan
diteliti. penelitian
Menggambarkan yang akan
distribusi dan dilakukan
presentasi dari peneliti
variable yang yaitu
diteliti. terletak
Hasil penelitian pada
didapat tingkat variable
kepatuhan penelitian,
perawat RS X jenis
terhadap penelitian
pelaksanaan 5 cara
moment cuci mengumpul
tangan rendah data,
(37,8%), seluruh kemudian
perawat sudah waktu,
mengetahui tempat dan
tentang 5 momen tahun
cuci tangan penelitian.
namun lebih
lanjut masih tetap
perlu observasi
dan pengawasan
untuk
meningkatkan
kualitas pelayanan
rumah sakit.

13
Judul dan Nama Metode dan Hasil Persamaa
No Tahun Peneliti Penelitian dan
Penelitian Perbedaan
Penelitian

3. Hubungan Anita Metode penelitian Persamaan


Pegetahuan Syarifah ini adalah desain penelitian
Perawat dan Penelitian ini dengan
Pelaksana Nurhasnah Deskriptif dengan penelitian
Terhadap Pendekatan Cross yang akan
Kepatuhan Sectional. dilakukan
Cuci Tangan Sampel yang peneliti
Dengan digunakan adalah yaitu sama-
Menggunaka Total Sampling sama ingin
n Hand sebanyak 30 mengetahui
Sanitizer Di orang di RSIA sejauh mana
RSIA Andini Andini kepatuhan
Pekanbaru Pekanbaru, perawat
Tahun 2021 dengan cara dalam
penyebaran melaksanak
kuesioner yang an cuci
diberikan kepada tangan baik
masing-masing dengan
responden. Hand Rub
Hasil penelitian atau Hand
ini berdasarkan Sanitizer
kepatuhan cuci maupun
tangan dengan
menunjukan dari Hand Wash.
30 responden, 19 Sedangkan
orang (63,3 %) perbedaan
patuh dan 11 penelitian
orang (36,7%) ini dengan
tidak patuh. penelitian
yang akan
dilakukan
peneliti
yaitu
terletak
pada
variable
penelitian
sebelumnya
yaitu ada 2
hubungan
pengetahuan
dan
kepatuhan,

14
Judul dan Nama Metode dan Hasil Persamaa
No Tahun Peneliti Penelitian dan
Penelitian Perbedaan
Penelitian
sedangkan
peneliti
hanya 1
variabel saja
yaitu
melihat
tingkat
kepatuhan
cuci tangan
perawat,
begitu juga
jenis
penelitian
cara
mengumpul
data,
kemudian
waktu,
tempat dan
tahun
penelitian.

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Kepatuhan

a. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan menurut kamus Bahasa Indonesia, patuh adalah suka

menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Kepatuhan adalah

perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Menurut kamus Besar Bahasa

Indonesia, kepatuhan adalah kesetiaan, ketaatan atau loyalitas.

Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan,

perintah, prosedur dan disiplin (Arikunto, 2010). Kepatuhan

merupakan perilaku individu melakukan kesetiaan, ketaatan untuk

melakukan apa yang di perintahkan kepadanya untuk melaksanakan

prosedur tetap yang sudah dibuat. Kepatuhan pada awalnya individu

mematuhi dan sering kali kepatuhan dilakukan karena ingin

menghindari hukuman atau sangsi jika tidak patuh (Niven, 2008).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kepatuhan adalah suatu

perilaku individu yang taat pada perintah, aturan, prosedur dan

disiplin tetap yang sudah dibuat.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Niven (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

kepatuhan adalah :

16
1) Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

2) Akomodasi

Suatu cara harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian

pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan.

3) Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan

teman-teman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk

untuk membantu kepatuhan terhadap program pengobatan seperti

pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan

konsumsi alkohol.

4) Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sederhana

mungkin dan pasien terlihat aktif dalam pembuatan program

pengobatan tersebut.

5) Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan klien

Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan klien

adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik kepada

klien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis.

17
6) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, dari

pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langsung dari pada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).

7) Usia

Usia merupakan umur yang terhitung mulai saat dilahirkan

sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam

berpikir dan bekerja, dari segi kepercayaan, masyarakat lebih

dewasa akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup

tinggi tingkat kedewasaannya. Akibat dari pengalaman dan

kematangan jiwanya, semakin dewasa seseorang maka semakin

matang dan patuh dalam pemberian diet (Notoatmodjo, 2012).

Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut

(Koizer, Audrey, & Shirlee, 2010) adalah sebagai berikut :

1) Motivasi klien untuk sembuh

2) Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan

3) Persepsi keparahan masalah kesehatan

4) Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit

5) Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus

6) Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi

18
7) Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu

atau tidak membantu

8) Kerumitan, efek samping yang diajukan

9) Warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi

sulit dilakukan

10) Tingkat kepuasan dan kualitas, serta jenis hubungan dengan

penyedia layanan kesehatan.

c. Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut

(Brunner & Suddarth, 2013) adalah :

1) Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa,

status social ekonomi dan pendidikan.

2) Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan kehilangnya

gejala akibat terapi.

3) Variabel program teraupetik seperti kompleksitas program dan

efek samping yang tidak menyenangkan.

4) Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga

kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial dan lainnya

yang termasuk dalam mengikuti regimen.

d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat

digolongkan menjadi empat bagian, antara lain :

1) Pemahaman tentang instruksi

19
Seseorang tidak dapat mematuhi instruksi jika terjadi salah

paham tentang instruksi yang diberikan kepadanya.

2) Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien

merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat

kepatuhan.

3) Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh

dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta

juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat

mereka terima.

4) Keyakinan, sikap, dan kepribadian

Keyakinan seseorang tentang kesehatan berguna untuk

memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Orang-orang yang tidak

patuh adalah orang mengalami depresi, ansietas sangat

memperhatikan kesehatannya, memiliki ego yang lebih lemah

dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada

diri sendiri (Niven, 2008).

e. Startegi Untuk Meningkatkan Kepatuhan

Macam - macam strategi telah dicoba untuk meningkatkan

kepatuhan, yaitu :

1) Dukungan professional kesehatan

Dukungan professional kesehatan baik dokter dan perawat,

diperlukan dalam meningkatkan kepatuhan.

20
2) Dukungan sosial

Dukungan sosial yaitu oleh keluarga sangat diperlukan.

Professional kesehatan dapat meyakinkan keluarga pasien untuk

membantu dalam meningkatkan kepatuhan pasien, maka

ketidakpatuhan dapat diminimalkan.

3) Pemberian informasi

Memberiankan informasi yang tepat dan akurat pada pasien

dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara

pengobatannya (Pratita, 2012, p. cit Smet 1994).

f. Pengukuran Kepatuhan

Pengukuran kepatuhan dikategorikan menjadi :

1) Patuh

Bila prilaku Perawat sesuai dengan ketentuan yang diberikan

oleh professional kesehatan.

2) Tidak patuh

Bila perawat menunjukkan ketidaktaatan terhadap instruksi yang

diberikan (Niven, 2008).

g. Faktor yang Menyebabkan Ketidakpatuhan dalam Pelaksanaan

Cuci Tangan adalah :

1) Kurangnya pengetahuan

Kurangnya pengetahuan memberikan dampak, bahwa

seseorang tidak dapat melaksanakan dan menerima informasi

yang diberikan dengan baik dan benar.

21
2) Sikap dari tenaga kesehatan yang tidak baik

Sikap atau mental yang tidak baik dari tenaga kesehatan,

terkadang membuat mereka malas untuk melaksanakan

komunikasi yang efektif.

3) Motivasi dari petugas kesehatan

Motivasi yang kurang dari petugas kesehatan untuk belajar

dan memperbaiki keselahan yang dikerjakan, menjadi salah satu

yang membuat mereka banyak melakukan kesalahan dalam

memberikan pelayanan kesehatan (Rezkiki & Utami, 2017).

2. Konsep Cuci Tangan

a. Pengertian

Hand hygiene ( cuci tangan) merupakan istilah umum yang

biasa digunakan untuk menyatakan kegiatan yang terkait

membersihkan tangan (WHO, 2009). Salah satu cara terpenting

dalam rangka pengontrolan infeksi agar dapat mencegah infeksi

nosokomial yaitu dengan cara melaksanakan hand hygiene, baik

melakukan cuci tangan ataupun hand rubbing (Mani, dkk., 2010).

b. Tujuan

Tujuan hand hygiene dilakukan secara rutin dalam

perawatan pasien ialah untuk menghilangkan kotoran dan bahan

organik serta kontaminasi mikroba dari kontak dengan pasien atau

lingkungan (WHO, 2009). Perpindahan kuman patogen secara

umum terjadi pada tangan petugas kesehatan yang terkontaminasi

(Mani, dkk., 2010). Dalam “WHO Guideline on Hand hygiene in

22
Health Care” yang diterbitkan pada tahun 2009 diketahui bahwa

terdapat bakteri yang mendiami tangan manusia, yaitu : 1)

Resident flora merupakan mikroorganisme yang bertempat tinggal

di kulit yaitu pada lapisan luar startum corneum dan pada

permukaan kulit. Resident flora tidak terlalu dikaitkan dengan

kejadian infeksi nosokomial. Contoh : Staphylococcus Epididimis,

S. Hominis, beberapa jenis bakteri dan fungi. 2) Transient flora

merupakan mikroorganisme pada lapisan kulit yang dapat

dihilangkan dengan pelaksanaan hand hygiene secara rutin.

Transient flora dapat bertahan dan memperbanyak diri secara

sporadis pada permukaan kulit walau jenis mikroorganisme ini

tidak memperbanyak diri pada kulit. Jenis mikroorganisme yang

termasuk transient flora ini didapatkan petugas kesehatan dari

kontak langsung dengan pasien. Selain kontak langsung dengan

pasien, transient flora juga bisa mengontaminasi tangan petugas

kesehatan saat kontak langsung dengan lingkungan pasien yang

terkontaminasi. Contoh : S. aureus, Basilus Gram-negatif, atau rag

c. Indikasi Cuci Tangan

Himpunan Perawat Pengendali Infeksi Indonesia (HPPI)

tahun 2010 menyatakan bahwa waktu melakukan cuci tangan,

adalah bila tangan kotor, saat tiba dan sebelum meningggalkan

rumah sakit, sebelum dan sesudah melakukan tindakan, kontak

dengan pasien, lingkungan pasien, sebelum dan sesudah

menyiapkan makanan, serta sesudah ke kamar mandi. Indikator

23
mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi

terjadinya perpindahan kuman melalui tangan (Depkes RI, 2008),

yaitu:

1) Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa

(kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung

tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan

pemasangan infus.

2) Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa

pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang

terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.

World Health Organization (WHO, 2009) memperkenalkan

konsep five moments hand hygiene sebagai evidence-based untuk

mencegah penyebaran infeksi nosokomial yang harus

dilaksanakan sesuai dengan seluruh indikasi yang telah ditetapkan

tanpa memperhatikan apakah petugas kesehatan menggunakan

sarung tangan atau tidak. WHO telah mengembangkan moment

untuk kebersihan tangan yaitu Five Moments for Hand Hygiene,

yang telah diidentifikasi sebagai waktu kritis ketika kebersihan

tangan harus dilakukan yaitu sebelum kontak dengan pasien,

sebelum tindakan aseptik, setelah terpapar cairan tubuh pasien,

setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan

lingkungan pasien (WHO, 2009). Dua dari lima momen untuk

kebersihan tangan terjadi sebelum kontak. Indikasi "sebelum"

momen ditujukan untuk mencegah risiko penularan mikroba untuk

24
pasien. Tiga lainnya terjadi setelah kontak, hal ini ditujukan untuk

mencegah risiko transmisi mikroba ke petugas kesehatan

perawatan dan lingkungan pasien.

WHO (2009) menetapkan indikasi five moments hand hygiene

yang dimaksud meliput Indikasi cuci tangan :

1) Sebelum kontak dengan pasien

Hand hygiene yang dilakukan sebelum menyentuh pasien

bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan

mikroorganisme, dan di beberapa kasus melawan infeksi dari

luar, oleh kuman berbahaya yang berada di tangan.

2) Sebelum tindakan aseptik

Hand hygiene yang dilakukan sebelum melakukan prosedur

bersih/ aseptik bertujuan untuk melindungi pasien dengan

melawan infeksi kuman berbahaya, termasuk kuman yang

berada di dalam tubuh pasien

3) Setelah kontak dengan darah dan cairan tubuh pasien

Hand hygiene yang dilakukan setelah kontak dengan cairan

tubuh pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan

dari infeksi oleh kuman berbahaya dari tubuh pasien dan

mencegah penyebaran kuman di lingkungan perawatan

pasien

4) Setelah kontak dengan pasien

Hand hygiene yang dilakukan setelah menyentuh pasien

bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari kuman

25
yang berada di tubuh pasien dan melindungi lingkungan

perawatan pasien dari penyebaran kuman.

5) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

Hand hygiene yang dilakukan setelah menyentuh peralatan

di sekitar pasien bertujuan untuk melindungi petugas

kesehatan dari kuman yang berada di tubuh pasien yang

kemungkinan juga berada di permukaan/ benda-benda di

sekitar pasien dan untuk melindungi lingkungan perawatan

dari penyebaran kuman.

d. Enam Langkah Hand Hygiene

Prinsip dari 6 langkah hand hygiene menurut WHO antara lain:

1) Ratakan sabun dengan kedua telapak tangan.

2) Gosokan punggung dan sela-sela jari tangan dengan tangan

kanan dan sebaliknya.

3) Gosokan kedua telapak tangan dan sela-sela jari.

4) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.

5) Kemudian gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman

tangan kanan dan lakukan sebaliknya.

6) Gosok dengan memutar ujung jari ditelapak tangan kiri dan

sebaliknya

e. Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Pelaksanaan Hand

Hygiene

Secara umum petugas kesehatan peduli terhadap pentingnya

hand hygiene untuk pencegahan infeksi, namun pemenuhan hand

26
hygiene sesuai prosedur masih rendah. Akyol (2007) dalam

jurnalnya yang berjudul “Hand hygiene among Nurses in Turkey :

Opinions and Practices”, menuliskan bahwa kepatuhan petugas

kesehatan masih rendah, biasanya di bawah 50% untuk

melaksanakan hand hygiene sesuai aturan. Pernyataan yang sama

juga terdapat dalam jurnal Mani, dkk. (2010), yaitu pemenuhan

hand hygiene masih di bawah 50% dari yang seharusnya yaitu

pelaksanaan yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hand

hygiene perawat menurut Lankford, et Al. (2009) meliputi usia,

tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, masa kerja, ketersediaan

fasilitas untuk mencuci tangan, kondisi pasien dan kebijakan

rumah sakit.

1) Usia

Usia berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dan pola fikir

berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umur seseorang

secara garis besar menjadi indikator dalam setiap mengambil

keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya, dengan

semakin bertambah usia, maka dalam menerima sebuah

instruksi dan dalam melaksanaan suatu prosedur akan semakin

bertanggungjawab dan berpengalaman. Semakin cukup usia

seseorang akan semakin matang dalam berpikir dan bertindak

(Saragih dkk, 2010).

27
2) Tingkat Pendidikan

Pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir individu.

Sedangkan pola fikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang

dengan kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan

rendah akan berbeda dengan pola pikir seseorang yang

berpendidikan tinggi (Asmadi, 2010). Pendidikan

keperawatan mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku

perawat dalam melakukan hand hygiene (Asmadi, 2010).

Dengan demikian pendidikan yang tinggi dari seorang

perawat akan mempengaruhi perawat dalam memberikan

teknik pelayanan pelaksanaan hand hygiene yang optimal.

3) Masa Kerja

Masa kerja (lama kerja) adalah merupakan pengalaman

individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam

pekerjaan dan jabatan. Semakin lama seseorang bekerja maka

tingkat prestasi akan semakin tinggi, prestasi yang tinggi di

dapat dari perilaku yang baik. Hidayat (2009), menyatakan

bahwa seseorang yang telah lama bekerja mempunyai

wawasan yang lebih luas dan mempunyai pengalaman lebih

banyak dalam peranannya pembentukan petugas perilaku

kesehatan. Masa kerja yang berorientasi pada permasalahan

dasar dan berorientasi pada tugas dapat meningkatkan

ketaatan dalam melakukan hand hygiene. Dengan demikian

28
masa kerja mempengaruhi tingkat seorang perawat dalam

pelaksanaan prosedur hand hygiene, dalam hal ini adalah

sebelum dan sesudah kontak dengan pasien (Siagian, 2008)

4) Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Notoadmodjo (2010) menyatakan bahwa

pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan yaitu tahu, memahami,

aplikasi, analisa, sintesis dan evaluasi

5) Ketersediaan Fasilitas Untuk Mencuci Tangan

Kurangnya ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan untuk

pelaksanaan hand hygiene perawat meliputi tidak tersedianya

fasilitas wastafel serta jarak yang jauh untuk menuju tempat

cuci tangan. Damanik, dkk. (2010) menyatakan bahwa salah

satu kendala dalam ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan hand

hygiene adalah sulitnya mengakses tempat cuci tangan atau

persediaan alat lainnya yang digunakan untuk melakukan

hand hygiene. Kemudahan dalam mengakses persediaan alat-

alat untuk melakukan hand hygiene, bak cuci tangan, sabun

atau alkohol jell adalah sangat penting untuk membuat

kepatuhan menjadi optimal sesuai standar.

6) Kebijakan Rumah Sakit

Salah satu langkah dari pihak rumah sakit untuk

meningkatkan pengetahuan perawat adalah dengan

29
mengadakan pelatihan atau sosialisasi secara periodik

terhadap pelaksanaan hand hygiene. Karena pelatihan dan

sosialisasi dapat memberikan dampak yang positif terhadap

sikap perawat dalam melakukan hand hygiene. Hal ini sesuai

dengan teori yang menjelaskan bahwa pelatihan merupakan

melakukan perubahan perilaku afektif yang meliputi

perubahan sikap seseorang terhadap sesuatu. Disisi lain

pelatihan dapat memberikan informasi kepada perawat untuk

membentuk sikap positif dan meningkatkan keterampilan

dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga dapat menjadi

masukan bagi pihak rumah sakit dalam menerapkan prosedur

hand hygiene untuk mencegah terjadinya HAIs dalam upaya

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan menurunkan

resiko kejadian HAIs serta pelaksanaan hand hygiene

diharapkan dapat memperpendek hari perawatan dan biaya

perawatan di rumah sakit (Lankford, et. Al. 2009)

30
f. Prosedur Cuci Tangan

Gambar 1. Cuci tangan dengan air mengalir

31
Gambar 2. Cuci tangan dengan HandRub

3. Konsep Perawat

a. Definisi Perawat

Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata

Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Perawat adalah

seorang professional yang telah merampungkan pendidikan

32
keperawatan dan yang memberikan asuhan kepada individu,

keluarga, kelompok, dan masyarakat secara holistic, baik dalam

keadaan sakit maupun sehat (UU RI No. 38, 2014).

Pengertian perawat menurut PP No. 32 (1966) tentang tenaga

kesehatan perawat adalah seseorang yang telah lulus dan

mendapatkan ijazah dari pendidikan kesehatan yang diakui

pemerintah. Tenaga keperawatan sendiri adalah perawat atau bidan.

Perawat Profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan

berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan

atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan

kewenangannya (Depkes RI, 2005).

b. Peran Perawat

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu

system dimana semua itu dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari

dalam maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan.

Peran juga diartikan bentuk prilaku yang diharapkan dari seseorang

pada situasi sosial tertentu. Adapun 8 macam peran dari perawat,

yaitu :

1) Peran Perawat sebagai Koordinator

2) Peran Perawat sebagai Konselor

3) Peran Perawat sebagai Pelaksana

4) Peran Perawat sebagai Kolaborator

5) Peran Perawat sebagai Pendidik

33
6) Peran Perawat sebagai Pembaharu

7) Peran Perawat sebagai Konsultan

8) Peran Perawat sebagai Advocat (UU RI No. 38, 2014).

c. Fungsi Perawat

Hidayat, (2011) mengatakan fungsi perawat adalah suatu

pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan peranya. Fungsi tersebut

dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam

menjalankan peranya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi

diantaranya:

1) Fungsi independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang

lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan

secara sendiri dlam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi

kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis

(pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan

dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan

kebutuhan aktifitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan

keamanan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta

mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri

(Hidayat, 2011).

Fungsi independen merupakan fungsi mandiri dan tidak

tergantung pada orangn lain, dimana perawat dalam menjalankan

tugasnya dilakukan secara mandiri dengan keputusan sendiri

34
dalammelakukan tindakan dalam memenuhi kebutuhan dasar

menusia (Rifiani & Sulihandari, 2013).

2) Fungsi Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatanya

atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai

tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya

dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum atau dari

perawat primer ke perawat pelaksana (Hidayat, 2011). Fungsi

dependen merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan

kegiatanya atas pesan atau instruksi dari perawat lain (Rifiani &

Sulihandari, 2013).

3) Fungsi Interpenden

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat

saling ketergantungan diantaranya tim satu dengan tim lainya.

Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan yang

membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti

dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang

mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi

dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun

lainya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan

bekerja sama dengan peraewat dalam pemantauan reaksi obat

yang telah diberikan (Hidayat, 2011). Fungsi interdependen

merupakan fungsi yang dilakukan dalam kelompok tim yang

35
bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan tim lain

(Rifiani & Sulihandari, 2013).

d. Tugas dan Tanggungjawab Perawat

Budiono, Pertami, & Budi , (2016) mengatakan bahwa, perawat

dalam menjalankan peranya sebagai pemberi asuhan keperawatan

ini, dapat dilakukan sesuai tahapan dalam proses keperawatan. Tugas

perawat ini disampaikan dalam lokakarya tahun 2018, yang

berdasarkan tugas dan tanggungjawab perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan sebagai berikut:

1) Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien (sincare

intereset).

2) Jika perawat terpaksa mennda pelayanan maka perawat bersedia

memberikan penjelasan dengan ramah kepada klienya

(explanation about the delay).

3) Menunjukan kepada klien sikap menghargai (respect) yang

ditunjukan dengan perilaku perawat. Misalnya mengucapkan

salam, tersenyum, membukuk, bersalaman dan sebagainya.

4) Berbicara dengan klien yang berorientasi pada perasaan klien

(subjects the patiens desires) bukan pada kepentingan atau

keinginan perawat.

5) Tidak mendiskusikan klien lain di depan klien dengan maksud

menghina (derogatory).

36
6) Menerima sikap kritis klien dan mencoba memahami klien dalam

sudut pandang klien (see the patient point of view).

Budiono, Pertami, & Budi , (2016) menagatakan, dilihat dari

jenis tanggung jawab (responsibility) perawat dalam menjalankan

tugas dan fungsinya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Tanggung jawab utama terhadap tuhanya (responsibility to god).

2) Tanggung jawab terhadap klien (responsibility to clien and

society).

3) Tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan atasan

(responsibility to colleague and supervisor).

Amelia, (2013) mengatakan bahwa perawat memiliki banyak

tanggung jawab terhadap klien yang harus dilakukan secara nyata,

sebagaimana berikut:

1) Dalam setiap menjalankan fungsinya sebagai perawat dan

menjalankan pengabdianya dalam dunia keperawatan, setiap

perawat hendaknya selalu berpedoman pada tanggung bjawab

yang bersumber pada adanya kebutuhan terhadap keperawatan

individu, keluarga dan masyarakat.

2) Dalam menjalankan profesinya sebagai perawat, tnggung jawab

yang harus dilaksanakan adalah memelihara suasana lingkungan

yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan

kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan

masyarakat, artinya seorang perawat dituntut untuk beradaptasi

dengan adat istiadat di linhkungan yang ditempatinya. Jangan

37
sampai perawat memaksakan sebuah norma di tengah

masyarakat, sementara norma tersebut tidak sesuai dengan tradisi

dan budaya setempat.

3) Dalam setiap melaksanakan kewajibanya terhadap individu,

keluarga dan masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas

sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan. Artinya,

searang perawat bertanggungjawab untuk melaksanakan prinsip

dan etika keperawatan tidak hanya dalam institusi keperawatan

(kesehatan) ketika dia bekerja secara formal, tetapi juga di tengah

masyarakat, keluarga dan terhadppribadi.

4) Setiap menjalankan fungsinya, perawat bertanggung jawab untuk

selalu menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga

dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan

mengadakan upaya kesehatan serta upaya kesejahteraan pada

umumnya, baik secara formal maupun nonformal. Formal dalam

arti kegiatan yang diprakarsai oleh institusi yang menaungi

perawat atau tempat dia bekerja sedangkan nonformal adalah

kegiatan yang diprakarsai secara pribadi dan swadaya. Langkah

ini sebagai bagian dari tugas perawat dan kewajiban perawat bagi

kepentingan masyarakat secara luas.

B. Landasan Teoritis

Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan,

perintah, prosedur dan kedisiplinan. Ada beberapa faktor yang

menentukan kepatuhan perawat yaitu : pendidikan, akomodasi, modifikasi

38
faktor lingkungan dan social, perubahan model terapi, meningkatkan

interaksi professional kesehatan dengan klien, pengetahuan dan usia

(Niven, 2008). Dalam meningkatkan kepatuhan diperlukan beberapa

strategi yaitu : Dukungan professional kesehatan ,dukungan sosial dan

pemberian informasi (Pratita, 2012, p. cit Smet 1994).

Pengukuran Kepatuhan Cuci Tangan ada dua cara yaitu :

1) Patuh

Bila perilaku perawat sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

professional kesehatan (Niven, 2008). Kepatuhan perawat dalam cuci

tangan perawat dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan dalam

meningkatkan budaya keselamatan pasien dan mutu pelayanan yang

diberikan kepada pasien (Velji, et al., 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam

pelaksanaan cuci tangan yaitu :

a) Pengetahuan (Knowledge) merupakan hasil dari tahu melalui

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu dan sangat penting

terhadap terbentuknya tindakan kesadaran seseorang dalam

melakukan suatu Tindakan cuci tangan (Notoatmodjo, 2012).

b) Sikap adalah sesuatu yang melekat pada keyakinan-keyakinan dan

perasaan- perasaan terhadap suatu objek dan presdiposisi untuk

berbuat terhadap objek dengan cara-cara tertentu, sehingga

seseorang mengerti cara untuk melaksanakan suatu Tindakan cuci

tangan (Wahyuni, 2012).

39
c) Motivasi atau dorongan dalam melakukan suatu pekerjaan

memiliki kontribusi terhadap kerja perawat, sehingga dalam

pelaksanaan kepatuahn cuci tangan perawat dengan sadar diri

melaksanakannya sesuai dengan SPO yang sudah dibuat

(Abdullah, 2014).

2) Tidak patuh

Bila perawat menunjukkan ketidaktaatan terhadap instruksi yang

diberikan (Niven, 2008). Ketidakpatuhan perawat dalam cuci tangan

dapat berakibat terjadinya infeksi nasokomial (Rezkiki & Utami, 2017)

dan meningkatkan kejadian insiden keselamatan pasien (Rachmah,

2018).

Faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan dalam pelaksanaan

cuci tangan adalah

a) Kurangnya pengetahuan

Kurangnya pengetahuan memberikan dampak, bahwa

seseorang tidak dapat melaksanakan dan menerima informasi yang

diberikan dengan baik dan benar.

b) Sikap dari tenaga kesehatan

Sikap atau mental yang tidak baik dari tenaga kesehatan,

terkadang membuat mereka malas untuk melaksanakan komunikasi

yang efektif.

c) Motivasi dari petugas kesehatan

Motivasi yang kurang dari petugas kesehatan untuk belajar

dan memperbaiki keselahan yang dikerjakan, menjadi salah satu

40
yang membuat mereka banyak melakukan kesalahan dalam

memberikan pelayanan kesehatan (Rezkiki & Utami, 2017).

41
42
Gambar 3. SPO Cuci Tangan Di RSUD Muara Teweh

43
Gambar 4. SOP Cuci Tangan dengan Hand Crub

44
C. Skema Kerangka Teori

Indikasi Cuci Tangan :


1. Bila tangan kotor
2. Saat tiba dan sebelun
meninggalkan RS
Langkah Mencuci Tangan
3. Sebelum dan sesudah
1. Melepaskan semua perhiasan
melakukan tindakan
2. Basahi tangan dengan air
4. Kontak dengan pasien
mengalir
5. Kontak dengan lingkungan
3. Ambil sabun cairan kurang lebih
pasien
3 cc
6. Sebelum dan sesudah
4. Gosok telapk tangan dan ratakn
menyiapkan makanan
sabun dengan gerakan melingkar
7. Sesudah ke kamar mandi
5. Gosok kedua punggung tangan
dan sela jari secara bergatian
6. Gosok tautkan kedua punggung
tangan
Kepatuhan Cuci Tangan 7. Gosok ujung-ujung jari memutar
ditelapak tangan secara
bergantian
8. Bilas dengan air mengalir
Faktor-faktor yang 9. Keringkan dengan handuk atau
mempengaruhi kepatuhan : tisu
1. Lingkungan (SPO RSUD Muara Teweh)
2. Sikap
3. Pengetahuan
4. Supervisi
5. Pajanan seminar Faktor yang mempengaruhi rendahnya pelaksanaan hand
hygiene :
Lima Moment Cuci Tangan :
1. Iritasi kulit
1. Sebelum kontak dengan
2. Keyakinan bahwa menggunakan sarung tangan sudah
pasien
tidak membutuhkan hand hygiene
2. Sebelum Tindakan aseptik
3. Kurang pengetahuan perawat pentingnya hand hygiene
3. Setelah kontak dengan
dalam penurunan infeksi
darah dan cairan tubuh
4. Kurang pengetahuan tentang teknik hand hygiene
pasien
5. Beban kerja yang tinggi dan kekurangan tenaga perawat
4. Setelah kontak dengan
6. Rendah dan kurangnya akses ke fasilitas atau jauh ke bak
pasien
cuci
5. Setelah kontak dengan
7. Rendahnya motivasi untuk melaksanakan hand hygiene
lingkungan sekitar pasien
Skema 2.1. Kerangka Teori Penelitian

(Sumber ; Arikunto, 2010;; SPO Cuci Tangan RSUD Muarateweh, 2022, Hamzah
(2008), Karabay, dkk. (2008), Damanik, dkk. (2010), Notoatmodjo (2010),
Kepmenkes RI (2009), Suryoputri (2011).
Keterangan :

: Tidak diteliti : Diteliti

45
D. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep adalah tahapan penting dari sebuah penelitian,

yang membantu peneliti untuk menghubungkan hasil penemuan dengan

teori. Kerangka konsep penelitian juga merupakan suatu uraian dan

visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep

lainnya, atau variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah

yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2014).

Berdasarkan landasan teori tersebut diatas dikaitkan dengan

permasalahan penelitian, maka kerangka konsep penelitiannya adalah

sebagai berikut :

Patuh
Kepatuhan
Mencuci Tangan

Tidak Patuh

Skema 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

(Sumber ; SPO Cuci Tangan Di RSUD Muara Teweh; Notoatmodjo, 2014)

46
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode

atau pendekatan observasional. Jenis dan metode ini digunakan untuk

mengetahui gambaran kepatuhan cuci tangan perawat di RSUD Muara

Teweh . Metode yang digunakan adalah observasi langsung (pengamatan

langsung) dan pencatatan secara sistematis terhadap perawat ruang rawat

inap di RSUD Muara Teweh.

B. Variabel Penelitian

Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki

kelompok lain (Notoatmodjo, 2014). Pada penelitian ini hanya terdapat

satu variabel yaitu kepatuhan cuci tangan perawat.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penentuan konstrak atau sifat yang akan

dipelajari sehingga menjadi variabel yang dapat diukur. Definisi

operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan untuk meneliti dan

mengoperasikan konstrak, sehingga memungkinkan bagi peneliti yang lain

untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau

mengembangkan cara pengukuran konstrak yang lebih baik (Sugiyono,

2012).

47
Tabel 3.1. Definisi Operasional Kepatuhan

No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Kategori


Operasional

1 Kepatuhan Kepatuhan cuci 1. Melepaskan semua Lembar Ordinal Patuh bila


Cuci tangan perawat perhiasan Observasi skor 9(100%)
adalah perilaku 2. Basahi tangan dengan Tidak patuh
Tangan perawat untuk taat bila skor < 9
Perawat air mengalir
dan disiplin pada (<100 %)
proses cuci tangan 3. Ambil sabun cairan (Kategori
handwash dan kurang lebih 3 cc/ Audit
hanrub yang baik ambil handscrub Kepatuhan
dan benar berbasis alkohol Cuci Tangan
4. Gosok telapak tangan RSUD Muara
dan ratakn sabun Teweh)
dengan gerakan
melingkar
5. Gosok kedua
punggung tangan dan
sela jari secara
bergatian
6. Gosok tautkan kedua
punggung tangan
7. Gosok ujung-ujung jari
memutar ditelapak
tangan secara
bergantian
8. Bilas dengan air
mengalir
9. Keringkan dengan
handuk atau tisu

(SOP RSUD Muara


Teweh)

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat inap Di RSUD Muara Teweh

pada 1 Maret sampai 25 Juli 2023.

E. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia;

klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Menurut

48
(Nursalam, 2013), populasi ada dua yaitu populasi target dan populasi

terjangkau. Populasi target adalah populasi yang memenuhi kriteria

sampling dan menjadi sasaran akhir penelitian, sedangkan populasi

terjangkau adalah populasi yang memenuhi kriteria penelitian dan

biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya. Populasi

dalam penelitian ini ada 111 perawat di RSUD Muara Teweh.

2. Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi yang terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampel

adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel merupakan

bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian dari jumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Arikunto, 2010). Menurut

Sugiyono, (2012), ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah

antara 30 sampai dengan 500, bila sampel dibagi dalam kategori maka

jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30. Maka, berdasarkan

teori tersebut sampel pada penelitian ini sebanyak 30 responden.

3. Cara Pengambilan sampel (sampling)

Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan

sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan objek penelitian

(Nursalam, 2013). Metode sampling yang digunakan pada penelitian

ini adalah sampling purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2015). Selain itu penentuan

pembagian sampel agar populasi dapat terwakili dilakukan pembagian

secara proposional pada setiap ruangan agar jumlah responden

49
memiliki peluang yang sama yaitu menggunakan rumus cluster

sampling antara lain sebagai berikut:

2 n
n = ×N1
N

Keterangan :
n2 = jumlah sampel setiap ruangan rawat inap
n = jumlah populasi tiap ruangan rawat inap
N = jumlah populasi penelitian
N1 = jumlah sampel penelitian

Jumlah populasi penelitian (N) sebanyak 111 perawat, sedangkan

sampel penelitian (N1) sebanyak 30 perawat. Berikut perolehan

sampel dalam penelitian.

Tabel 3.2 Perhitungan Sampel Tiap Sub Populasi


No. Tempat Jumlah Perhitungan Sampel
Populasi
1. IGD 19 (19 / 111 x 30) 5
2. ICU 12 (12 / 111 x 30) 3
3. OK 8 (8 / 111 x 30) 2
4. RG. ANAK 12 (12 / 111 x 30) 3
5. RG. PERINATOLOGI 8 (8 / 111 x 30) 2
6. RG. BEDAH 12 (12 / 111 x 30) 3
7. RG. PENYAKIT DALAM 14 (14 / 111 x 30) 4
8. RG. ISOLASI COVID 9 (9 / 111 x 30) 3
9. RG. ISOLASI NON COVID 9 (9/ 111 x 30) 3
10. RG. HD 8 (8/ 111 x 30) 2
Jumlah 30

Penelitian ini dilakukan pada perawat pelaksana ruang rawat inap di

RSUD Muara Teweh dengan kriteria sampel penelitian sebagai berikut

a. Kriteria Inklusi

50
1) Perawat (staf) yang bekerja di 10 Ruang di RSUD Muara Teweh

2) Perawat (staf) yang bersedia mengikuti penelitian dengan

menandatangani formulir persetujuan.

b. Kriteria Eksklusi

1) Perawat yang tidak masuk karena alasan tertentu seperti kepala

ruangan, cuti, sakit, perawat baru dan perawat dalam tugas

belajar.

2) Perawat yang bertugas di rawat jalan.

F. Instrumen Penelitian

Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus

ada alat ukur yang baik. Alat ukur yang dipakai dalam sebuah penelitian

disebut instrumen. Instrument penelitian adalah suatu alat ukur yang

digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati

(Sugiyono, 2012).

Penelitian ini menggunakan lembar observasi yang dibuat dengan

mengadopsi SPO Cuci Tangan di RSUD Muara Teweh. Lembar observasi

berbentuk pernyataan tentang tahapan cuci tangan dengan 9 item

pernyataan, yang terdiri dari ; 1. Melepaskan semua perhiasan, 2. Basahi

tangan dengan air mengalir, 3. Ambil sabun cairan kurang lebih 3 cc, 4.

Gosok telapk tangan dan ratakn sabun dengan gerakan melingkar, 5.

Gosok kedua punggung tangan dan sela jari secara bergantian, 6. Gosok

tautkan kedua punggung tangan, 7. Gosok ujung-ujung jari memutar

ditelapak tangan secara bergantian, 8. Bilas dengan air mengalir, dan 9.

51
Keringkan dengan handuk atau tisu. Observasi dalam penelitian ini akan

dilakukan sebanyak 3 kali pada waktu yang berbeda.

Kriteria penilaian hasil observasi tentang kepatuhan Cuci Tangan

perawat, berdasarkan Panduan di RSUD Muara Teweh 2019, terbagi

menjadi dua tingkatan yaitu:

1. Patuh : bila dilakukan 100% .

2. Tidak patuh : bila tidak dilakukan 100%.

Hasil observasi akan diukur menggunakan skala Guttman, skor bila

dikatakan dilaksanakan mendapat skor 1 dan bila tidak dilaksanakan

mendapat skor 0, dengan total tertinggi skor 9 dan terendah dengan skor 0.

G. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data

1. Tahap Persiapan Pengumpulan Data

Tahap persiapan pengumpulan data dilakukan sesuai dengan

prosedur administrasi yang berlaku yaitu pengajuan persetujuan etik

pada komite etik STIKES Suaka Insan Banjarmasin, kemudian

peneliti meminta surat ijin dari Ketua Koordinator Penelitian Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Suaka Insan Banjarmasin, setelah

mendapatkan surat ijin dari STIKES Suaka Insan Banjarmasin.

Peneliti mengajukan surat ijin ke Direktur RSUD Muara Teweh ,

setelah mendapatkan surat balasan dari Direktur RSUD Muara Teweh,

peneliti melakukan penelusuran data dan jadwal dinas perawat

pelaksana di RSUD Muara Teweh, kemudian peneliti melakukan

52
kesepakatan dengan semua perawat dalam menjalankan pengamatan

observasi penelitian.

2. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada bulan Maret

2023 di RSUD Muara Teweh, dengan menggunakan lembar observasi

berupa pilihan (checklist) yang tertuang dalam 9 point pertanyaan.

Observasi ini akan dilakukan oleh peneliti sendiri untuk

mengobservasi tindakan mandiri responden dalam melakukan

kepatuhan pelaksanaan cuci tangan perawat.

H. Jalannya Penelitian

1. Tahap Persiapan

Dalam tahap persiapan, setelah peneliti mendapatkan persetujuan

dari pembimbing I dan pembimbing II untuk melanjutkan judul

penelitian, yaitu:

a. Peneliti mengajukan persetujuan surat etik kepada komisi etik

STIKES Suaka Insan Banjarmasin

b. Peneliti meminta surat permohonan izin studi pendahuluan ke

Koordinator Riset STIKES Suaka Insan Banjarmasin.

c. Peneliti meminta cap basah di lembar surat rekomendasi

pelaksanaan pendataan/penelitian/survey kepada Dinas Kesehatan

Muara Teweh.

d. Peneliti memberikan surat rekomendasi pelaksanaan pendataan /

penelitian / survey ke Direktur RSUD Muara Teweh untuk

53
meminta izin penelitian dan meminta surat balasannya.

e. Setelah surat ijin penelitian dikeluarkan, maka peneliti mulai

menggumpulkan data, persiapan selanjutnya yaitu persiapan

responden sesuai dengan sampel yang sudah direncanakanyaitu 30

sampel.

f. Persiapan peneliti antara lain mempersiapkan mental dan fisik,

selain itu juga menyediakan alat tulis, lembar observasi serta

informed concent yang akan digunakan dalam proses penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah mendapatkan izin dari koodrinator riset STIKES

Suaka Insan Banjarmasin, ke Direktur RSUD Muara Teweh, Kepala

Ruangan rawat inap RSUD Muara Teweh. Peneliti akan

memulainya dengan peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

pelaksanaan penelitian kemudian akan memberikan lembar

permohonan menjadi responden untuk diisi jika bersedia

menyebarkan lembar persetujuan kepada responden untuk dilakukan

penelitian dimana waktu observasi tidak diberitahukan kepada

responden. Peneliti melakukan obeservasi kepada responden sebanyak

tiga kali.

I. Pengolahan Data dan Cara Analisa Data

1. Pengolahan Data

a. Editing

54
Peneliti akan memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Pada tahap ini peneliti memeriksa

kembali hasil observasi apakah sudah lengkap dan terbaca dengan

jelas. Lembar observasi ini disusun sesuai No. Kode responden,

untuk memudahkan dalam pembuatan data diaplikasi Microsoft

excel.

b. Coding

Coding akan dilakukan dengan memberi simbol berupa

checklist pada lembar observasi. Setelah semua lembar observasi

dilakukan penyuntingan, kemudian peneliti melakukan coding pada

jawaban lembar observasi untuk memudahkan entry data ke

komputer.

c. Scoring

Peneliti akan melakukan scoring pada hasil jawaban lembar

observasi kepatuhan cuci tangan perawat dengan melakukan

penjumlahan dan pembagian hasil jawaban selama 3 kali observasi.

d. Tabulating

Peneliti akan melakukan pengecekan kembali setelah semua

data dari lembar observasi selesai dimasukkan kemudian dikoreksi

untuk melihat apakah terdapat kesalahan dalam pengodean, tidak

lengkap atau lainnya.

e. Data entry

Data dalam bentuk kode skor dibuat kedalam master tabel pada

microsoft excel, kemudian dimasukkan kedalam aplikasi dan

55
kemudian dianalisa. Dalam entri data peneliti mencari nilai median,

nilai distribusi frekuensi setiap karakteristik dan variabel.

f. Pembersihan data (cleaning)

Pada tahap ini dilakukan proses pengecekan kembali dan

memeriksa kesalahan pada data yang sudah dientry untung

diperbaiki dan disesuaikan dengan data yang telah dikumpulkan

2. Analisa data

Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisa univariat.

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Dalam penelitian ini analisa data

dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dalam bentuk

presentasi.

Analisa data menggunakan tabel distribusi frekuensi dengan rumus

presentase. Adapun rumusan presentase distribusi dari setiap variabel

yang diteliti adalah dalam bentuk presentase dari rumusan menurut

(Arikunto, 2010).

Rumus presentase distribusi (Budiman & riyanto, 2013) :

f
P= x 100%
n

Keterangan:

P = Hasil presentase

f = Nilai frekuensi

n = Jumlah responden

Kategori :

Patuh = 100%

56
Tidak patuh = < 100%

J. Pertimbangan Etik

Masalah Mengingat penelitian ini dilakukan kepada manusia maka

diperlukan pertimbangan etik, untuk itu peneliti mengajukan ijin etik

kepada Komite Etik STIKES Suaka Insan dengan No:

022/KEPK-SI/III/2023 untuk melakukan intervensi kepada responden

dengan menekankan pada masalah etik meliputi :

1. Informed Consent / Lembar persetujuan

Lembar persetujuan ini merupakan bentuk persetujuan antara

peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembaran

persetujuan. Informed consent diberikan sebelum penelitian

dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden. Tujuan informed consent yaitu agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, dan mengetahui dampaknya. Jika

subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar

persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus

menghormati hak responden.

Pada penelitian ini peneliti sebelum membagikan kuesioner

penelitian, peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan meminta

persetujuan dari responden untuk dilakukannya pengisian oleh

responden, disini semua responden menyetujui maka kuesioner

dibagikan.

57
2. Anonimity (tanpa nama)

Merupakan masalah etika dalam penelitian keperawatan yang

memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan

cara tidak memberikan atau mencatumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan. Pada

penelitian ini peneliti, menuliskan kode/inisial dari responden pada

lembar jawaban, lembar master table yang akan disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

akan dilaporkan pada hasil penelitian. Peneliti menjamin kerahasiaan

dari informasi yang diberikan oleh responden, informasi hanya

digunakan untuk kepentingan penelitian.

4. Justice (keadilan)

Responden diperlakukan secara adil baik sebelum, selama

dan sesudah keikutsertaan dalam penelitian tanpa adanya

diskriminasi. Peneliti memberlakukan semua responden adalah

sama, tidak membeda-bedakan. Semua responden memiliki hak dan

kewajiban yang sama.

5. Beneficience (manfaat)

58
Penelitian yang dilakukan harus memberikan manfaat

kepada responden, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hasil penelitian ini, akan membawa kemanfaatan untuk responden

khususnya perawat dan rumah sakit dalam hal kepatuhan cuci

tangan. (Nursalam, 2020)

K. Kelemahan Penelitian

Kelemahan dalam penelitian adalah ketika melakukan proses evaluasi SOP

kepatuhan cuci tangan perawat peneliti hanya mengobservasi

proses/langkah dari cuci tangan tanpa mengobservasi five moment / lima

moment yang harus dilakukan oleh perawat ketika melakukan observasi

59
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Gedung RSUD Muara Teweh mulai dibangun dan direnovasi sejak

tahun 1976 sejalan dengan kebutuhan penyediaan pelayanan kesehatan

yang terus meningkat jenis dan volumenya. Saat ini RSUD Muara Teweh

menempati 1 unit gedung baru berlantai 5 yang dilengkapi beberapa

gedung penunjang terpisah, bertipe / kelas C dengan Surat Izin Tetap dari

Kementerian Kesehatan RI No.472/Menkes/V/2008 tanggal 20 Mei 2008

dan Ijin Operasional No.440/001/DPMPTSP/2019 yang berlaku s/d Tahun

2024.

Gambar 4. RSUD Muara Teweh

60
Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.22 Tahun

2015, RSUD Muara Teweh ditetapkan sebagai RS Rujukan untuk

Wilayah Cakupan Regional III, yang meliputi 3 kabupaten tetangga

lainnya, yakni Kabupaten Murung Raya (Puruk Cahu), Kabupaten Barito

Selatan (Buntok) dan Kabupaten Barito Timur (Tamiang Layang).

Jenis pelayanan di RSUD Muara Teweh meliputi: Instalasi Rawat

Jalan (Poliklinik), Instalasi Rawat Inap, Instalasi Gawat Darurat, Rawat

Intensif (ICU dan PICU), Pelayanan Operasi (One Day Care), Pelayanan

Penunjang Medis (Rehabilitasi Medik / Fisioterapi, Laboratorium 24 jam,

Radiologi 24 jam, Apotik 24 jam) dan Haemodialisa.

Lokasi penelitian ini dilakukan di Ruangan Rawat Inap (Ruang

Perawatan Anak/Mawar, Ruang Perawatan Penyakit Dalam/Tulip, Ruang

Perawatan Bayi/Peri, Ruang Perawatan Penyakit Bedah/Teratai, Ruang

Perawatan Isolasi Covid-19/Aster, Ruang Perawatan Isolasi Non

Covid/Sakura, Ruang ICU), Ruang IGD, Ruang OK dan Ruang

Haemodialisa di RSUD Muara Teweh dengan jumlah 30 perawat.

61
PERATURAN BUPATI BARITO UTARA
NOMOR 50 TAHUN 2020
BAGAN SUSUNAN ORGANISASI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MUARA TEWEH

DIREKTUR

dr. TIUR MAIDA


Pembina (IV/a)
NIP. 19780324 200604 2 009

KEPALA BAGIAN TATA


USAHA
KOMITE-KOMITE
S UKIRJO, S KM., MPH.
JABATAN-JABATAN FUNGSIONAL
Pembina (IV/a)
NIP. 19730716 199503 1 002

INSTALASI-INSTALASI
SUBBAG UMUM DAN SUBBAG PERENCANAAN, SUBBAG KEUANGAN DAN
KEPEGAWAIAN EVAL. DAN PELAPORAN ASET
ARIS YAS WANDIE, S KM NAOMI RITHA TONDOK, S T. YULIUS HARIANTO, A.Md.
Penata (III/c) Penata Tk. I (III/d) Penata Tk. I (III/d)
STAF MEDIS NIP. 19760218 200501 1 012 NIP. 19770109 200903 2 002 NIP. 19710725 199303 1 005

KEPALA BIDANG KEPALA BIDANG KEPALA BIDANG


PELAYANAN MEDIK KEPERAWATAN PENUNJANG MEDIK & RM
H. PIRMANS ON, S KM. JUNNU, S KM., MPH. S RI MILAWATI, S KM
Pembina (IV/a) Pembina (IV/a) Penata Tk. I (III/d)
NIP. 19651124 198802 1 001 NIP. 19720220 200012 1 002 NIP. 19730314 199212 2 001

SEKSI PENGAWASAN DAN SEKSI PEMANTAUAN,


SEKSI ETIKA MUTU DAN SEKSI BIMBINGAN, YAN. SEKSI REKAM MEDIK DAN
PENGENDALIAN PENGAWASAN DAN SEKSI PENUNJANG MEDIK
KEPERAWATAN SUH. DAN KEPERAWATAN INFORMASI
PELAYANAN MEDIK PEMULANGAN PASIEN
H. AJIKINNOR, S . Kep. H. M. ARS YAD,S .Kep.Ns.,M.H. EDWIN S ALEH, S . Kep. Ners. YUNAEDY, S KM. MARIA FRANS IS KA LOU,S KM R. ANTONIUS YDP,S .AP.,MT.
Penata Tk. I (III/d) Pembina (IV/a) Penata Tk. I (III/d) Penata Tk. I (III/d) Penata (III/c) Penata Tk. I (III/d)
NIP. 19660507 198703 1 014 NIP. 19721210 199403 1 004 NIP. 19740126 199303 1 003 NIP. 19770104 199603 1 003 NIP. 19880311 201101 2 013 NIP. 19750924 200003 1 004

Gambar 5. Struktur Organisasi RSUD Muara Teweh


48
B. Hasil dan Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Setelah dilakukan observasi pada perawat di RSUD Muara

Teweh dan setelah dilakukan hasil pendataan dari hasil observasi

tersebut, maka diperoleh karakteristik perawat berdasarkan usia, jenis

kelamin, pendidikan, dan lama bekerja yang disajikan dalam bentuk

tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Kategori Usia di


RSUD Muara Teweh (n=30)
Frekuensi Persentase
Remaja Akhir (17-22 tahun) 1 3,33
Dewasa Awal (26-35 tahun) 23 76,67
Dewasa Akhir (36-45 tahun) 5 16,67
Lansia Awal (46-55 tahun) 1 3,33
Total 30 100.0

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa usia terbanyak

adalah kategori 26 - 35 tahun sebanyak 23 (76,67%) responden.

Kemudian usia responden yang paling sedikit yaitu kategori 46 – 55

tahun sebanyak 1 responden (3,3 %) dan kategori usia 17-22 tahun

sebanyak 1 responden. Adapun pembagian usia di atas berdasarkan

kategori dari Depkes tahun 2019.

Usia rentang 26 – 35 tahun lebih banyak di karenakan banyak

lulusan sekolah keperawatan yang masuk dan melamar pekerjaan di

Rumah Sakit pada kisaran usia tersebut, dan mereka banyak di

tempatkan di Instalasi Rawat Inap dan Gawat Darurat. Sedangkan usia

60
di atas 35 tahun banyak pegawai yang bekerja di instalasi rawat jalan

sehingga lebih sedikit di temukan di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi

Gawat Darurat. Dari hasil penelitian, maka ini sejalan dengan

penelitian Redha Pranasari tahun 2016 yang menyebutkan usia

terbanyak 26 – 35 tahun sebanyak 35 responden (87,8%).

Dalam bekerja umur mempengaruhi produktivitas, usia rata-rata

perawat tergolong dalam usia produktif sehingga berpeluang untuk

mencapai produktivitas kinerja yang lebih baik. Umur merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang.

Meningkatnya usia seseorang, akan meningkat pula kebijaksaan dan

kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan dan berpikir

rasional (Syaifullah, A, 2015). Dengan bertambahnya umur seseorang

akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis (mental).

Semakin tinggi umur seseorang semakin bertambah pula ilmu atau

pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 2012).

Usia juga berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dan pola

fikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umur seseorang secara

garis besar menjadi indikator dalam setiap mengambil keputusan yang

mengacu pada setiap pengalamannya, dengan semakin bertambah

usia, maka dalam menerima sebuah instruksi dan dalam melaksanaan

suatu prosedur akan semakin bertanggungjawab dan berpengalaman.

Semakin cukup usia seseorang akan semakin matang dalam berpikir

dan bertindak (Saragih dkk, 2010)

61
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Jenis Kelamin di
RSUD Muara Teweh (n= 30)
Frekuensi Persentase
Laki-laki 8 26,67
Perempuan 22 73,33
Total 30 100.0

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan perawat perempuan lebih

banyak dari perawat laki – laki. Perawat perempuan yaitu sebanyak 22

responden (73,33%), jumlah perawat laki-laki 8 responden (26,67 %).

Jenis kelamin perempuan lebih banyak berprofesi sebagai

perawat karena di kalangan masyrakat keperawatan di nilai sebagai

profesi yang dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang

laki-laki. Bahkan dahulu perawat dikenal dengan sebutan zuster /

suster untuk perawat perempuan dan bruder untuk perawat laki-laki,

tapi sekarang sudah sering di pakai dengan sebutan perawat saja. Dan

peminatan masuk sekolah keperawatan memang lebih banyak

perempuan dari laki – laki bila di lihat dari jumlah. Dari hasil tersebut

penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Susanti (2015),

berdasarkan hasil penelitiannya mayoritas jenis kelamin respondennya

adalah perempuan yaitu sebanyak 109 (75,2%) responden. Menurut

fitriani, dkk (2021), jenis kelamin perawat RSUD Dumai hampir

seluruhnya berjenis kelamin perempuan (90,6%).

Dilihat dari sejarah perkembangan keperawatan dengan adanya

perjuangan seorang Florence Nightingale sehingga dunia keperawatan

identik dengan pekerjaan seorang perempuan. Namun demikian

62
kondisi tersebut sekarang sudah berubah, sudah banyak laki-laki yang

menjadi perawat. Pengaruh jenis kelamin dalam bekerja sangat

dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang akan dikerjakan. Ada pekerjaan

yang secara umum lebih baik dikerjakan oleh laki-laki, ada juga

pekerjaan yang secara umum lebih baik dikerjakan perempuan

(Syaifullah, A, 2015).

Menurut Kurniadi (2013) bahwa perawat perempuan dalam

memberikan asuhan keperawatan lebih teliti dan sabar dalam

melakukan pekerjaan dibandingkan pria karena psikologi perempuan

membuat pekerja perempuan memberikan asuhan yang empati kepada

pasien dibanding pria.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Pendidikan di


RSUD Muara Teweh (n= 30)
Frekuensi Persentase
D III Keperawatan 9 30,00
D IV Perioperatif 1 3,33
S.KEP Ners 20 66,67
Total 30 100.0

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar

perawat memiliki latar belakang pendidikan S1 Ners sebanyak 20

responden (66,67 %), pendidikan D III Keperawatan sebanyak 9

responden (30%) dan Pendidikan D IV Perioperatif 1 responden

(3,33%).

63
Pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir individu.

Sedangkan pola fikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang dengan

kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan

berbeda dengan pola pikir seseorang yang berpendidikan tinggi

(Asmadi, 2010). Pendidikan keperawatan mempunyai pengaruh besar

terhadap perilaku perawat dalam melakukan hand hygiene (Asmadi,

2010). Dengan demikian pendidikan yang tinggi dari seorang perawat

akan mempengaruhi perawat dalam memberikan teknik pelayanan

pelaksanaan hand hygiene yang optimal.

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, dengan

pendidikan tinggi maka individu tersebut akan semakin luas

pengetahuannya (Notoatmodjo, 2012). Pendidikan berarti bimbingan

yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami

sesuatu hal. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah

pula menerima informasi, pengetahuan yang dimilikinya akan

semakin banyak. Pendidikan yang rendah akan menghambat

perkembangan terhadap informasi (Syaifullah, A, 2015).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Bekerja


di RSUD Muara Teweh (n= 30) berdasarkan Tarwaka, 2017
Frekuensi Persentase
Baru (≤ 5 tahun) 10 33,33
Lama ( > 6 tahun) 20 66,67
Total 30 100.0

64
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa hampir sebagian

perawat di RSUD Muara Teweh lama bekerja selama lebih dari 6

tahun yaitu sebanyak 20 responden (66,67%) dan kurang dari 5 tahun

sebanyak 10 responden (33,33%).

Banyaknya responden perawat yang bekerja dengan lama

bekerja > 6 tahun dikarenakan saat penelitian perawat senior di

ruangan yang di observasi banyak berdinas pagi, sedikit yang dinas

sore dan malam. Sedangkan observasi yang dilakukan peneliti lebih

banyak di lakukan pada pagi hari.

Dari hasil penelitian di atas maka sejalan dengan penelitian

Setianingsih tahun 2020, lama kerja perawat >10 tahun sebanyak 51

responden (41,1%). Lamanya kerja dapat mempegaruhi kinerja dalam

melakukan asuhan keperawatan, yaitu semua tindakan keperawatan

yang sesuai dengan standar keperawatan.

Pengalaman kerja seseorang mempengaruhi perilaku termasuk

dalam hal ini adalah perilaku ketaatan dalam melakukan mencuci

tangan yang benar sesuai SOP karena perawat akan semakin terlatih

dengan hal yang dilakukan dalam jangka waktu lama, banyak

pengalaman dan banyak belajar dari kesalahan pemberian obat

(Setianingsih,2020).

Hidayat (2009), menyatakan bahwa seseorang yang telah lama

bekerja mempunyai wawasan yang lebih luas dan mempunyai

pengalaman lebih banyak dalam peranannya pembentukan petugas

perilaku kesehatan. Masa kerja yang berorientasi pada permasalahan

65
dasar dan berorientasi pada tugas dapat meningkatkan ketaatan dalam

melakukan hand hygiene. Dengan demikian masa kerja

mempengaruhi tingkat seorang perawat dalam pelaksanaan prosedur

hand hygiene, dalam hal ini adalah sebelum dan sesudah kontak

dengan pasien (Siagian, 2008)

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pelatihan dan


Mendapatkan Sosialisari SOP Mencuci Tangan (n=30)
Frekuensi Persentase
Ada Pelatihan 30 100.0
Total 30 100.0
Berdasarkan table 4.5 menunjukkan bahwa semua perawat

sudah pelatihan (100 %). Pelatihan yang di ikuti oleh para responden

yaitu pelatihan yang di laksanakan oleh PPI RSUD Muara Teweh.

Responden yang sudah mendapatkan pelatihan dan sertifikat

pelatihan maka tentunya telah mendapatkan ilmu mengenai standar

mencuci tangan. Pokja telah melakukan In House Training sebagai

salah satu persyaratan pemenuhan elemen penilaian dan suatu

keharusan Rumah Sakit menurut standar akreditasi. Dalam pelatihan

tersebut Pokja juga membahas mengenai salah satu sasaran

keselamatan pasien, yaitu pencegahan resiko infeksi yang harus

diwaspadai.

Hal ini sejalan dengan jurnal Siti Nurhaliza tahun 2020 ada

Sebanyak 102 (92,7%) responden pernah mengikuti sosialisasi tentang

patient safety dan sumber informasi yang didapatkan oleh responden

66
paling banyak sejumlah 78 (70,9%) yaitu dari pelatihan yang diikuti

oleh responden penelitian.

Dengan terbitnya KMK 1128 Tahun 2022 tentang standar

akreditasi Rumah Sakit, maka otomatis standar Mutu dan keselamatan

pasien menyesuaikan dengan standar KMK 1128 Tahun 2022. Rumah

Sakit perlu menyusun suatu program untuk memperbaiki proses

pelayanan terhadap pasien, agar kejadian yang tidak diinginkan dapat

dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif. Dengan

meningkatnya keselamatan pasien, diharapkan dapat mengurangi

terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan sehingga kepercayaan

masyarakat terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit kembali

meningkat.

Pelatihan adalah kegiatan melatih atau mengembangkan

suatu keterampilan dan pengetahuan kepada diri sendiri atau orang

lain, yang terkait dengan kompetensi tertentu yang dianggap berguna.

Menurut Never Ending Transfusing - Application Training (NET-at),

Pelatihan adalah kegiatan belajar dan praktik untuk sesuatu tujuan

baik, dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus untuk

meningkatkan kemampuan (continuously and never end) manusia, dan

fitrahnya.

2. Analisis Univariat

a. Gambaran Kepatuhan Cuci Tangan Perawat Sesuai SOP RSUD


Muara Teweh Tahun 2023

67
Tabel 4. 11 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Cuci Tangan Perawat
di RSUD Muara Teweh Tahun 2023
Kepatuhan Cuci Tangan Frekuensi Persentase
Patuh 22 73,33
Tidak Patuh 8 26,67
Total 30 100

Tabel diatas menunjukkan kepatuhan cuci tangan perawat di

RSUD Muara Teweh adalah patuh sebanyak 22 responden

(73,33%) dan tidak patuh sebanyak 8 responden (26,67%).

Perawat patuh dalam melakukan cuci tangan mereka berdinas

di Ruang IGD, Ruang Isolasi Non Covid, Ruang Haemodialisa,

Ruang COVID, Ruang OK, Ruang Perawatan Anak, dan Ruang

Perawatan Bayi. Dimana dapat kita lihat bahwa ruangan-ruangan

tersebut adalah ruangan dengan klien dan prosedur tindakan yang

rentan akan kejadian infeksi.

Bila dilihat dari langkah SOP cuci tangan RSUD Muara

Teweh, para perawat patuh terhadap item membasahi tangan

dengan air mengalir, mengambil sabun cairan kurang lebih 3 cc,

mengosok telapak tangan dan ratakan sabung dengan Gerakan

melingkar, menggosok kedua punggung tangan dan sela jari secara

bergantian, menggosok dan menautkan kedua punggung tangan,

mengosok ujung-ujung jari memutar ditelapak tangan secara

bergantian dan membilas dengan air mengalir.

68
Kepatuhan dari perawat terhadap pelaksanaan SOP sangat

penting karena merupakan salah satu upaya dalam mencegahan dan

pengendalian resiko infeksi. Menurut Lowren Green dalam

Notoadmodjo, 2010, perilaku diperilaku oleh 3 faktor utama, yaitu

faktor-faktor predesposisi (predisposing factor), yaitu terwujud

dalan pengetahuan, sikap, dan sebagainya: faktor-faktor pendukung

(enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia

atau tidak tersedianya ketersediaan fasilitas - fasilitas atau sarana-

sarana kesehatan, misalnya ketersediaan fasilitas untuk hand

hygiene ; dan faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang

terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas

yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat.

Salah satu faktor yang berpengaruh untuk kepatuhan adalah

pengetahuan, pengetahuan perawat ini dapat diperoleh dengan

adanya pelatihan dan sosialisasi. Seluruh perawat di RSUD Muara

Teweh sudah memperoleh pelatihan dan sosialisasi.

Pelatihan dapat diartikan sebagai proses terencana untuk

memodifikasi sikap atau perilaku pengetahuan, keterampilan

melalui pengalaman belajar. Tujuannya adalah untuk mencapai

kinerja yang efektif dalam setiap kegiatan atau berbagai

kegiatan. Menurut Sri Larasati (2018) “Pelatihan (training) adalah

pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis

69
dan terorganisir sehingga tenaga kerja non manajerial mempelajari

pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu”.

Menurut Gary Dessler dalam Sri Larasati (2018),

menyatakan bahwa “pelatihan merupakan proses mengajarkan

karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang

mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka”. Dari

beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan

bahwa pelatihan adalah suatu proses untuk mendapatkan

keterampilan mengenai pekerjaan, melalui serangkaian prosedur

yang sistematis atau yang dilakukan oleh seorang ahli yang

bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan

kepada karyawan.

Menurut Syaifullah, A (2015) bahwa selain tingkat

pendidikan, faktor yang paling berpengaruh bagi perawat dalam

melaksanakan tindakan keperawatan adalah pengalaman kerja yang

lebih dari 5 tahun. Karena itu dari pengalaman dan penelitian

terbukti perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih baik dari

pada perilaku yang tidak didasari ilmu pengetahuan.

Namun, selain perawat yang patuh adapula perawat yang

masih belum patuh sebanyak 26,67%, dimana bila kita lihat dari

tempat berdinas perawat mereka berdinas di IGD dan juga ICU.

Ketidakpatuhan pemberian obat oleh perawat di Instalasi Rawat

Inap dan Instalasi Gawat Darurat memiliki perbedaan, dan

70
dilakukan hampir sama oleh perawat masing – masing ruangan

tersebut. Dalam arti kata ruangan tertentu memiliki kebiasaan dan

dilakukan sama meskipun pendidikan berbeda. Pasien yang

memiliki tingkat kegawatan yang lebih tinggi sering membutuhkan

pengkajian dan intervensi yang lebih sering daripada pasien yang

masalah klinisnya kurang mendesak. Dalam penelitian ini peneliti

melihat perawat IGD memprioritaskan perawatan yang lebih

mendesak untuk mengatasi keadaan kritisnya.

Langkah mencuci tangan yang masih rendah tingkat

kepatuhan dilihat dari karakteristik reponden dengan latar belakang

pendidikan terbanyak diploma III dengan masa kerja > dari 6

tahun. Adapun point yang belum patuh terkait item melepaskan

semua perhiasan dan juga mengeringkan dengan handuk atau tisu.

Perhiasan yang tidak dilepaskan saat melakukan cuci tangan dapat

menyebabkan kuman/ bakteri masih menempel di sela-sela

perhiasan, dimana akan da[at berakibat menimbulkan infeksi

nasokomial. Hal ini didukung oleh penelitian Trik wiliam, 2003

yang berjudul “Dampak Pemakaian Cincin Terhadap Kontaminasi

Tangan dan Perbandingan Hand Hygiene Agent di Rumah Sakit”

dimana diperoleh hasil Pemakaian cincin meningkatkan frekuensi

kontaminasi tangan dengan potensi patogen nosokomial.

71
Cuci tangan Five moment yang dipatuhi oleh perawat adalah

cuci tangan setelah terkena cairan tubuh atau darah pasien dan cuci

tangan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien. Perawat

yang patuh menjalankan ini adalah perawat yang berdinas di

ruangan anak, ruangan isolasi non covid, ruangan covid, ruangan

OK dan ruangan perawatan bedah.

Selain perawat yang patuh, adapula perawat yang tidak patuh

akan cuci tangan five moment adalah yang mereka berdinas di

ICU, Ruangan HD dan Ruangan Penyakit dalam dengan moment

yang tidak dipatuhi adalah mencuci tangan sebelum kontak dengan

pasien ada 6 perawat, cuci tangan sebelum melakukan aseptic ada 3

perawat dan juga ada 1 perawat yang tidak patuh untuk mencuci

tangan setelah kontak dengan pasien.

Bila kita lihat dari latar belakang Pendidikan perawat yang

belum patuh dalam menjalankan moment tersebut adalah D III

keperawatan. Kepatuhan lebih banyak diterapkan oleh perawat

dengan pendidikan pendidikan Ners karena perawat telah melalui

jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan melakukan praktek

pelayanan keperawatan. Pendidikan yang diperoleh tersebut maka

perawat mampu mengubah pola pikir yang pada berikutnya

mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan seseorang.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ernawati, (2015)

dari 87 responden yang memiliki pendidikan D III Keperawatan,

72
diketahui 49 orang (56.3%) pengetahuan kurang baik dan 38 orang

(43.7%) memiliki pengetahuan baik, sedangkan dari responden

yang pendidikannya S1 Kep/Ners, diketahui (19.2%) pengetahuan

kurang baik dan (80.8%) pengetahuan baik.

Dalam kepatuhan D III menekankan pada kegiatan praktek

mengenai keperawatan. Sedangkan untuk S.Kep dan Ners fokus

utamanya adalah menyeimbangkan antara teori dan praktek.

Pendidikan tentu sangat penting karena merupakan dasar dalam

memberikan pelayanan Dalam pendidikan dalam bidang

keperawatan merupakan proses penyadaran dan penemuan jati diri

sebagai insan keperawatan yang memiliki kematangan dalam

berfikir, bertindak, dan bersikap sebagai perawat yang profesional,

sehingga ia mampu menjawab berbagai tantangan dalam

kehidupan pribadi maupun profesinya (Kusnanto, 2003).

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat dominan dalam

mencapai tingkatan ketrampilan tertentu bagi seseorang. Dengan

pengetahuan yang baik maka individu akan lebih mudah

mengembangkan ketrampilan dengan latihan-latihan yang cukup.

Sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh Notoatmodjo (2017)

bahwa aspek pengetahuan merupakan dominan yang sangat

penting untuk terbentuknya perilaku seseorang di mana semakin

tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan dapat mempengaruhi

pola pikir dan sikap terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi

73
perubahan perilaku. Sehingga dengan pengetahuan yang baik maka

akan menimbulkan perilaku yang patuh terhadap sesuatu, yaitu

salah satunya kepatuhan terhadap SOP cuci tangan.

Sehubungan dengan lama nya bekerja, perawat yang tidak

patuh sangat bervariasi dari 4 bulan hingga 16 tahun sejalan

dengan Robbins & Judge (2008) dimana seseorang yang bekerja

semakin lama, maka keterampilan dan pengalamannya juga

semakin meningkat. Menurutnya jika semakin lama seseorang

bekerja maka seseorang tersebut akan semakin ahli dalam

bidangnya, selain itu semakin lama kerja seseorang maka orang

tersebut akan memiliki pengalaman kerja yang positif.

(Notoatmodjo, 2012).

Kepatuhan perawat dalam melakukan 6 langkah cuci tangan

sangat penting dilakukan karena ketidakpatuhan dapat

menimbulkan dampak antara lain : (1) Bagi pasien, penambahan

diagnosa penyakit dan memperpanjang jumlah hari rawat selama di

rumah sakit hingga dapat menyebabkan kematian; (2) Bagi

pengunjung, dapat menularkan kepada orang lain setelah

meninggalkan rumah sakit; (3) Bagi perawat, akan menjadi barier

(pembawa kuman) yang menularkan kepada pasien lain dan diri

sendiri; (4) Bagi rumah sakit, menurunkan mutu pelayanan rumah

sakit hingga pencabutan ijin operasional rumah sakit.

74
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Muara Teweh

pada bulan Mei 2023 dapat disimpulkan bahwa kepatuhan cuci tangan

perawat di RSUD Muara Teweh tahun 2023 adalah patuh sebanyak 22

responden (73,33%).

B. Saran

Saran yang dianjurkan peneliti terkait hasil penelitian yang berjudul

Gambaran Kepatuhan Cuci Tangan Perawat di RSUD Muara Teweh Tahun

2023 di RSUD Muara Teweh antara lain:

1. Bagi Rumah Sakit

Pihak rumah sakit dalam hal ini dapat mengadakan

a. Mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan perawat dalam

mencuci tangan

b. Suvervisi secara berkala akan kepatuhan cuci tangan khususnya

pada point melepaskan perhiasan dan juga mengeringkan tangan

dengan handuk/ tisu. Serta mengingatkan kepatuhan cuci tangan di

moment sebelum kontak dengan pasien dan juga setelah kontak

dengan pasien.

c. Melakukan penyegaran kembali dalam bentuk re IHT, workshop

mengenai cuci tangan

75
2. Bagi Keperawatan

Bidang ilmu keperawatan hendaknya memantau dan melakukan

evaluasi kepada perawat dalam kepatuhan Langkah cuci tangan dan

juga kepatuhan five moment cuci tangan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti hendaknya dapat melakukan penelitian selanjutnya dengan

menggunakan metode yang berbeda. Peneliti selanjutnya dapat

meneliti faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan cuci tangan

perawat, topik kepatuhan cuci tangan di setiap siklus five moment.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan diharapkan dapat tambahan literatur bagi

pembelajaran terkait kepatuhan dan juga cuci tangan five moment.

76
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. (2014). Manajemen dan Evaluasi Kinerja Karyawan. Yogyakarta :


Penerbit Aswaja Pressindo

Anita Syarifah dan Nurhasana (2021) Hubungan Pengetahuan Perawat


Pelaksana Terhadap Kepatuhan Cuci Tangan Dengan Menggunakan
Hand Sanitizer Di RSIA Andini Pekanbaru. Pekanbaru

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Asmadi. (2010). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep Dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien Jakarta: Salemba Medika

Brunner & Suddarth, (2012). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC

Budiman & Riyanto A. (2013). Kapita Selekta Kuisioner Pengetahuan Dan Sikap
Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

Budiono, Pertami SB. (2016). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Bumi Medik

Depkes RI 2008 Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Depkes, (2010), Buku Panduan Peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia, Jakarta

Depkes RI. (2019). Klasifikasi umur menurut kategori. Jakarta: Ditjen Yankes

Ernawati. (2015). Meningkatkan Kecerdasan Kinestetik Dengan Latihan Pada


Anak Usia Dini.

Fatimah,WidyaN. Widajadnja,I, N. Soemardji, Wulan M.(2016).Hubungan


Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia Dalam Kehamilan
Terhadap Perilaku Konsumsi SuplemenZat Besi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Talise.Medika Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 6 No.
1.

Fitriani. S. 2011. Promosi Kesehatan. Ed 1. Yogyakarta: Graha Ilmu

77
Hidayat 2011 Hidayat, A. A. (2011). Metode Penelitian Keperawatan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Koizer, B. G., Audrey, B., & Shirlee, J. S. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan . Jakarta: EGC.

Kurniadi (2013) Manajemen Keperwatan dan Prospektifnya Teori, Konsep dan


Aplikasi. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kusnanto (2006) Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.


Jakarta : EGC

Mani, Amet dkk. (2010) .Hand Hygiene Among Health Care Works. Diunduh
dari: http//web.ebscohots.com

Moh, Satrua Diantoro dan Alfi Ari Fakhur, (2020) Tradisional literature riview :
Kepatuhan mencuci tangan perawat dengan kejadian infeksi nasokomial

Niven, N. (2008). Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat dan


Profesional. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Nursalam.(2013). Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik


Keperawatan Profesional. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

PPI RSUD Muarateweh

Pratita, M.Y.E., & Putra, S.R., (2012) Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Termofilik
Dari Sumber Mata Air Panas Di Songgoriti Setelah Dua Hari Inkubasi,
Jurnal Teknik Pomits, Vol. 1 No. 1

Rezkiki, F., & Utami, G. S. (2017). Faktor Yang Berhubungan Dengan


Penerapan Komunikasi Sbar Di Ruang Rawat Inap. Volume 1 No.2.
Jurnal Human Care,

Rifiani, N., & Sulihandari, H. (2013). Prinsip-Prinsip Dasar Keperawatan.


Jakarta: Dunia Cerdas

78
Stephen P. Robbins and Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi Edisi 12
Buku 1. Terjemahan: Diana Angelica, Ria Cahyani dan Abdul Rosyid.
Jakarta: Salemba Empat.

Setyaningsih, et.al.2020. , Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Interaktif


Berba sis Articulate Storyline Terhadap Motivasi Belajar dan Hasil
Belajar Siswa Pada Materi Kerajaan Hindu Budha di Indonesia .
Universitas Negeri Surabaya: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Vol 20 (2). ( http://dx.doi.org/10.30651/didaktis.v20i2.4772 . )

Sondang P, Siagian. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi


Aksara.

Sri Larasati (2018) Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta:Deepublish

Sugiono 2015 Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif. Kualitatif dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono 2012 Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R


& D. Bandung: Alfabeta.

Susi Anisia Laila dan M.Arifki Zainaro, (2022) Hubungan Motivasi Dan Sikap
Dengan Kepatuhan Perawat Dalam Pelaksanaan Hand Hygiene Di Ruang
Rawat Inap Rsud Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung.
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/manuju/article/view/1679

Susanti O.C. (2015) Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku.


Kedokteran EGC.

Trik wilian (2003) Impact of Ring Wearing on Hand Contamination and


Comparison of Hand Hygiene Agents in a Hospital | Clinical Infectious
Diseases | Oxford Academic (oup.com)

Tuti Sulastri (2021) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


Mahasiswa Praktek Dalam Melaksanakan Lima Moment Cuci Tangan Di
Ruang Interna Dan Bedah Rsud Dr. Drajat Prawiranegara. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Vo; 2 No 2

UU RI No. 38, K. (2014). Undang-undang Republik Indonesia No.38 Tahun 2014


Tentang Keperawatan. Jakarta

79
Velji, K., Baker, R., Fancott, Andreoli, A., Boaro, N., & Tardif, G. (2008).
Effectiveness of an Adapted SBAR communication Tool for a
rehabilitation setting. Healthcare Quartely,

Wahyuni S. (2012) Hubungan Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Fe dengan


Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Puskesmas Polanharjo Klaten. Ilmu
Kebidanan. 2019

WHO. (2010). Hand hygiene keperawatan. WHO Global Infobase.

80

Anda mungkin juga menyukai