Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi terkait pelayanan kesehatan atau HAis (Health Care Associated

Infections) adalah infeksi yang terjadi pada pasien selama pasien dalam masa

perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika

pasien masuk, pasien tidak mengalami infeksi dan tidak dalam masa inkubasi,

termasuk infeksi dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga

infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan

(Permenkes Nomor 27, 2017). Salah satu Infeksi yang sering terjadi terkait

dengan pelayanan kesehatan adalah phlebitis.

Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

menunjukkan bahwa kejadian phlebitis sebagai infeksi yang sering ditemukan

pada pasien selama menjalani masa perawatan di rumah sakit, angka kejadian

flebitis tertinggi terdapat di negara-negara berkembang seperti India (27,91%)

Iran (14,20%), Malaysia (12,70%), Filipina (10,10%), dan Indonesia (9,80%)

(CDC, 2017).

Menurut survei data Indonesia menunjukan prevalasi kejadian phlebitis di

Indonesia sebesar 50,1% untuk rumah sakit pemerintah sedangkan untuk rumah

sakit swasta sebesar 32,70%, sedangkan berdasarkan di Provinsi Jawa Barat angka

insiden infeksi nosokomial di Jawa Barat mengalami tren naik dari tahun 2016

dengan 306 kejadian, kemudian tahun 2017 dengan angka 400 kejadian dan pada
tahun 2018 mencapai 526 kejadian pheblitis (Kemenkes RI, 2018).

Kejadian Flebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien

rawat inap di Bandung pada tahun 2016, berjumlah 744 pasien (17,11%) Hal ini

menunjukkan bahwa flebitis masih menunjukkan angka kejadian yang besar diatas

standar yang telah ditetapkan oleh Permemkes 2017 yaitu 1 permil. Faktor

penyebab terjadinya flebitis ada empat hal yaitu faktor kimiawi, mekanik, agen

bakterial, dan post infus

Berdasarkan data yang di peroleh dari ketua komite pencegahan dan

pengendalian infeksi rumah sakit (KPPI) Santosa Hospital Bandung Central, di

dapatkan data tahun 2018 bahwa dari beberapa infeksi nosocomial yang terjadi di

rumah sakit, angka kejadian phlebitis merupakan yang tetinggi yaitu 411 pasien

(2,24 %) dari total jumlah pasien yang terpasang infus 18.292.

Adapun rincian kejadian phlebitis yang terjadi di Santosa Hospital Bandung

Central tahun 2018 yaitu: pada bulan Januari 40 pasien (2,6%) dari jumlah pasien

yang terpasang infus 1.500, Februari 39 pasien (3,0 %) dari jumlah pasien yang

terpasang infus 1.281, Maret 47 pasien (2,6%) dari jumlah pasien yang terpasang

infus 1.759, April 38 pasien (2,6%) dari jumlah pasien yang terpasang infus 1.442,

Mei 25 pasien (1,42%) dari jumlah pasien yang terpasang infus 1.750, juni 22

pasien (1,8%) dari jumlah pasien yang terpasang infus 1.210, Juli 24 pasien (1,2%

) dari jumlah pasien yang terpasang infus 1.870, Agustus 23 pasien (1,8%) dari

jumlah pasien yang terpasang infus 1.250, September 71 pasien (4,5%) dari

jumlah pasien yang terpasang infus 1.549, Oktober 22 pasien (1,3 %) dari jumlah

pasien yang terpasang infus 1.621, November 28 pasien (1,8%) dari jumlah pasien
yang terpasang infus 1.490 dan Desember 32 pasien (2,0%) dari jumlah pasien

yang terpasang infuse 1.579. Kejadian phlebitis yang terbanyak terjadi di ruang

rawat inap safir timur sebanyak 95 pasien (0,5%), ruangan perina sebanyak 92

pasien (0,5%) dan ruang ICU sebanyak 38 pasien (0,2%).

Phlebitis dapat di sebabkan oleh berbagai faktor antara lain lamanya

pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang di infuskan, ukuran

dan tempat kanula yang di masukan, pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai

dan masuknya miktoorganisme pada saat penusukan (Suzanne C. Smeltzer &

Brenda G. Bare, 2011).

Dampak dari phlebitis apabila tidak segera di tangani dapat menjadi bahaya,

karena dapat menyebabkan bekuan darah atau tromboflebitis yang bisa

menyebabkan emboli, hal ini dapat menimbulkan kerusakan permanen pada vena

(Potter & Perry, 2009). Selain berdampak pada pasien, angka kejadian phlebitis

bisa berdampak pula pada citra rumah sakit karena merupakan salah satu indicator

mutu rumah sakit.

Kejadian phlebitis dapat di cegah apabila perawat memiliki dasar

pengetahuan dan kompetensi mengenai protocol pelaksanaan dan implementasi

untuk mencegah terjadinya phlebitis (Suprapto, 2015). Pengetahuan tentang

prosedur pemasangan infus menjadi hal yang penting dalam pencegahan phlebitis

sehingga dapat menurunkan risiko yang dapat mengakibatkan komplikasi dan

kejadian phlebitis.

Hasil penelitian oleh (Dessy Hermawan, 2018), dalam jurnalnya yang berjudul

“Hubungan kepatuhan perawat melaksanakan standar prosedur operasional (SPO)


cuci tangan terhadap kejadian phlebitis di rumah sakit Graha Husada Bandar

Lampung Tahun 2018” hasil analisa penelitian tersebut terdapat hubungan antara

kejadian phlebitis dengan kepatuhan perawat terhadap SPO cuci tangan phlebitis.

Dalam penelitian (Rizky, 2016) yang berjudul “Analisis faktor yang

berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter

intravena”, hasil analisa penelitian ini menunjukan ada hubungannnya antara usia

dan jenis cairan intravena terhadap kejadian phlebitis dengan pengaruh signifikan

nilai p=0,000.

Santosa Hospital Bandung Central adalah salah satu rumah sakit swasta yang

telah terakreditasi baik secara Nasional dan telah lulus Joint Comition

International (JCI) dan Akreditasi Rumah Sakit dengan tingkat paripurna yang

siap memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sehingga peningkatan

mutu pelayanan rumah sakit merupakan prioritas dengan menghasilkan suatu

bentuk pelayanan yang berfokus pada kepuasan pelanggan dan dengan motto

rumah sakit “ Friendly And Caring”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang perawat yang telah bekerja

lebih dari 1 tahun di rumah sakit Santosa Hospital Bandung Central, mereka

mengatakan belum semua mengetahui dampak dari pemasangan infus bila di

lakukan tidak sesuai dengan standar operational procedure (SPO). Selama ini

mereka hanya mengetahui pasien phlebitis karena pasiennya banyak bergerak

pada daerah yang terpasang infus.

Untuk mengatasi masalah diatas sangat di perlukan adanya upaya dari Santosa

Hospital Bandung Central dalam meningkatkan pengetahuan perawat dan


menurunkan angka kejadian phlebitis, adapun upaya yang sudah di lakukan yaitu

dengan memberikan orientasi pada karyawan baru mengenai standar operational

procedure (SPO) yang ada di rumah sakit, salah satunya SPO pemasangan infus.

Berdasarkan masalah di atas dan dampak dari kejadian phlebitis, maka peneliti

tertarik untuk mengambil penelitian “Gambaran pengetahuan perawat mengenai

prosedur pemasangan infus dengan angka kejadian phlebitis di ruang safir timur

Santosa Hospital Bandung Central”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti membuat rumusan masalah

adalah gambaran pengetahuan perawat mengenai prosedur pemasangan infus

dengan angka kejadian phlebitis di ruang safir timur Santosa Hospital Bandung

Central.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian
Mengetahui pengetahuan perawat mengenai prosedur pemasangan infus

dengan angka kejadian phlebitis di ruang safir timur Santosa Hospital Bandung

Central.
2. Tujuan Khusus Penelitian
a. Mengetahui pengetahuan perawat mengenai prosdur pemasanga infus di ruang

Safir Timur Santosa Hospital Bandung Central

b. Mengetahui pengetahuan perawat tentang kejadian phlebitis.

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu

keperawatan khususnya ilmu manajemen keperawatan.


2. Manfaat Praktisi
Bagi Santosa Hospital Bandung Cental hasil penelitian ini dapat di jadikan

sebagai bahan evaluasi dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam menurunkan

angka kejadian phlebitis.


Bagi petugas kesehatan agar lebih terdorong untuk meningkatkan

pengetahuan dengan membaca hasil penelitian terbaru dan membaca SPO

pemasangan infus sehingga dapat mengurangi angka kejadian phlebitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Landasan Teori

1. Pengetahuan

a. Definisi
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Pengetahuan seseorang sebagian besar di dapat melalui indra


pendengaran yaitu telinga dan indra penglihatan yaitu mata (Notoatmodjo,

2012).
Menurut (Notoatmodjo, 2012), pengetahuan merupakan hasil dari tahu

dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek

tertentu. pengetahuan atau kognitif adalah sesuatu yang sangat penting dalam

terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).

b. Jenis Pengetahuan
Menurut (Budiman & Agus Riyanto, 2013) jenis pengetahuan ada dua

yaitu:
1) Pengetahuan Implisit
Pengetahuan implisip adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam

bentuk pengalaman seseorang dan berisikan factor-faktor yang tidak bersifat

nyata, seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsif. Pengetahuan

seseorang biasaya akan sulit untuk di transfer kepada orang lain baik secara

tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering sekali berisi kebiasaan

dan budaya bahkan bisa tidak di sadari. Contohnya: seseorang mengetahui

tentang bahaya merokok bagi kesehatan, namun ternyata dia masih

merokok.
2) Pengetahuan Eksplisit
Pengetahuan ekspisit adalah pengetahuan yang telah di dokumentasikan

atau di simpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan.

Pengetahuan yang nyata di wujudkan dalam tindakan yang berhubungan

dengan kesehatan. Contohnya : seseorang mengetahui tentang bahaya

merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.


c. Tahapan Pengetahuan
Tahapan pengetahuan menurut (Notoatmodjo, 2012) ada enam tahapan

yaitu:

1) Tahu (Know)
Tahu berarti mengingat suatu materi yang sebelumnya telah di pelajari,

pada tingkatan ini reccal (mengingat kembali) terhadap sesuatu yang

spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsang yang diterima.

Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah.


2) Memahami (Comprehension)
Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang di

ketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.


3) Aplikasi (Application)
Suatu kemampuan untuk menggunakan menggunakan materi tersebut

secara benar.
4) Analisis (Analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam

komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain.


5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis merupakan suatu kemampuan dalam menghubungkan bagian-

bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain

sintesis adalah suatu kemampuan menyusun, merencanakan, meringkas dan

menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.


6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

berdasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

d. Faktor – factor Yang Mempengaruhi Pengetahuan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut (Budiman &

Agus Riyanto, 2013) diantaranya:


1) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah ( baik formal maupun non

formal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan sebuah proses

dalam merubah sikap dan tatalaku seseorang dan kelompok dalam upaya

mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan

seseorang, makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan

pendidikan tinggi seseorang , maka seseorang akan cendeung untuk

mendafatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan

yang didapat tentang kesehatan.


Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan di mana di

harapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, orang tersebut akan semakin

luas pula pengetahuannya. Namun, erlu di tekankan bahwa seseorang yang

berpendidikan rendh tidak berarti mutklak berpengetahuan rendah juga.


Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal,

akan tetapi di dapat di peroleh dari pendidikan non formal. Pengetahuan

seseorang tentang suatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek

positif dan negative, yang mana kedua aspek ini yang akhirnya akan

menentukan sikap seseorang terhadap objek tersebut. Semakin banyak

aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan menumbuhkan sikap

makin positif terhadap objek tersebut.


2) Informasi/ Media masa
Informasi adalah sesuatu yang dapat di ketahui, namun ada pula yang

menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Pada hakikatnya

informasi sifatnya dapat di uraikan (intangible), sedangkan informasi

tersebut dapat di jumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang di peroleh dari

data dan pengamatan terhadap lingkungan sekitar serta di teruskan melalui

konunikasi. Informasi mencangkup data, teks, gambar, suara, kode,

program computer dan basis data.


Informasi yang di dapat dari pendidikan formal maupun nonformal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga

dapat menghasikan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacan-macam media

massa yang dapat mempengengaruhui pengetahuan mengenai inovasi baru.

Sebagai sarana komunikasi, berbagai benuk media masa seperti televise,

radio, surat kabar, majalah dan lainnya mempunyai pengaruh besar

terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

3) Sosial, Budaya dan Ekonomi


Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang di lakukan baik atau buruk. Walaupun demikian,

seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi seseorang akan menentukan tersediannya fasilitas yang di

perlukan untuk kegiatan tersebut sehingga status social ekonomi ini

mempengaruhi pengetahuan seseorang.


4) Lingkungan
Lingkungan dapat berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan

ke dalam individu yang berada di sekitar lingkungan tersebut. Hal ini


terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan

direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu.


5) Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang di peroleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi

masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang di kemangkan akan

memberikan pengetahuan dan keterampilan professional, serta dapat

mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan

manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang berolak

dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

6) Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya tangka dan pola

pikirnya sehingga pengetahuan yang di perolehnya semakin membaik. Pada

usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan

kehidupan social, serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya

upaya menyesaikan diri menuju usia tua. Selain itu, orang usia madya akan

lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan

intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal di laporkan

hamper tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai

jalannya perkembangan selama hidup adalah sebagai berikut:


a. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang di

jumpai dan semakin banyak hal yang di kerjakan sehingga menambah

pengetahuannya.
b. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah

tua karena telah mengalami kemunduran baik fisik maupun mental.

Dapat di perkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan

bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain

seperti kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat

ternyata IQ.

e. Pengukuran tingkat pengetahuan


Untuk melakukan pengukuran tingkat pengetahuan dapat di ukur

dengan melakukan cara wawancara atau memberikan angket dengan

menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau

responden. Dalam mengukur pengetahuan harus di perhatikan rumusan

kalimat pertanyaan menurut tahapan pengetahuan (Budiman & Agus

Riyanto, 2013).
Skala ini menggunakan data kuantitatif yang berbentuk angka-angka

yang menggunakan alternatif jawaban serta menggunakan peningkatan

yaitu kolom menunjukkan letak ini maka sebagai konsekuensinya setiap

centangan pada kolom jawaban menunjukkan nilai tertentu. Dengan

demikian analisa data dilakukan dengan mencermati banyaknya centangan

dalam setiap kolom yang berbeda nilainya lalu mengalihkan frekuensi

pada masing-masing kolom yang bersangkutan (Budiman & Agus Riyanto,

2013).
Disini peneliti menggunakan sistem multiple choise dengan

menyediakan 4 pilihan. Prosedur berskala (scaling) yaitu penentu


pemberian angka atau skor yang harus diberikan pada setiap kategori

respon perskalaan. Menurut (Nursalam, 2013) skor yang sering di gunakan

untuk mempermudah dalam mengategorikan jenjang/peringkat dalam

penelitian biasanya dituliskan dalam persentase. Misalnya:


a) Tingkat Pengetahuan kategori Baik jika nilainya 76% - 100%.
b) pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56% -75%.
c) Tingkat pengetahuan kategori Kurang jika nilainya <56%.

Menurut (Skiner dalam Budiman & Agus Riyanto, 2013)

mengemukakan pengukuran tingkat pengtahuan di lakukan bila seseorang

mampu menjawab mengenau materi tertentu baik secara lisan maupun

tulisan, maka di katakana seseorang tersebut mengetahui bidang tersebut.

Sekumpulan jawaban yang di berikan tersebut dinamakan pengetahuan.

2. Perawat

a. Definisi

Menurut Undang – undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan,

perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan

tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki di peroleh melalui

pendidikan keperawatan.

b. Peran Perawat

Adapun peran dari perawat dapat di jelaskan sebagai berikut (Pertami, 2017)

1) Peran perawat menurut Konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989

a) Pemberi asuhan keperawatan, dengan memerhatikan keadaan kebutuhan

dasar manusia yang di butuhkan melalui pemberian pelayanan


keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan dari yang

sederhana sampai ke yang kompleks.

b) Advokat pasien dengan menginterprestasikan berbagai informasi dari

pemberi pelayanan atau informasi lain khusunya dalam pengambil

persetujuan atas tindakan keperawatan yang di berikan kepada pasien

dengan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien.

c) Pendidik/ educator, dengan cara membantu pasien dalam meningkatkan

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang di berikan

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah di lakukan

pendidikan kesehatan.

d) Koordinator, dengan cara mengarahkan, merencanakan, serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga

pemberian pelayanan dapat terarah, serta sesuai dengan kebutuhan

pasien.

e) Kolaborator, peran ini di lakukan karena perawat bekerja melalui tim

kesehatan yang terdiri dari dokter, fisiotherapis, ahli gizi dan lainnya,

yang berupaya mengidentifikasi pelayanan kepeawatan yang di perlukan

termasuk berdiskusi atau bertukar pendapat dalam menentukan suatu

bentuk pelayanan selanjutnya.

f) Konsultan, peran sebagai tempat konsultan terhadap masalah atau

tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.

g) Peneliti, peran mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang

sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan


keperawatan.

2) Peran perawat menurut hasil lokakarya nasional keperawatan tahun

1983

a) Pelaksana pelayanan keperawatan

b) Pendidik dalam keperawatan

c) Pengelola dalam pelayanan

keperawatan

d) Peneliti dan pengembang

pelayanan keperawatan

c. Fungsi Perawat

Fungsi perawat adalah suatu pekerjaan atau kegiatan yang di lakukan sesuai

dengan perannya. Fungsi tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan

yang ada, perawat dalam perannya memiliki beberapa fungsi sebagai berikut

(Pertami, 2017) :

1) Fungsi Independen

a) Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter

b) Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu keperawatan

c) Perawat bertanggung jawab terhadap pasien, akibat yang timbul dari

tindakan yang diambil. Contohnya melakukan pengkajian

2) Fungsi Dependen
a) Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan

khusus yang menjadi wewenang dokter seharusnya dilakukan dokter, seperti

pemasangan infus, pemberian obat dan melakukan penyuntikan.

b) Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab

dokter

3) Fungsi Interdependen

a) Tindakan perawat berdasarkan pada kerjasama dengan tim perawat atau tim

kesehatan

b) Contohnya untuk menangani ibu hamil yang menderita diabetes, perawat

bersama tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk menentukan

makanan yang di perlukan bagi ibu dan perkembangan janin.

d. Tugas dan Tanggung jawab Perawat

Tugas perawat dalam lokakarya tahun 1983 yang telah di sepakati dalam

memberikan asuahan keperawatan adalah sebagai berikut (Pertami, 2017) :

1) Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada pasien (sincere intereset)

2) Jika perawat terpaksa menunda pelayanan maka perawat bersedia

membeikan penjelasan dengan ramah kepada pasien (explanation about the

delay)

3) Menunjukan kepada pasien sikap menghargai (respect) yang di tunjukan

dengan perilaku perawat

4) Berbicara dengan pasien yang berorientasi pada perasaan klien, bukan pada

kepentingan atau keinginan perawat


5) Tidak mendiskusikan pasien lain di depan pasien dengan maksud menghina

6) Menerima sikap, kritik pasien dan mencoba memahami klien dalam sudut

pandangan pasien.

Sedangkan tugas dan tanggung jawab perawat dalam menjalankan tugas dan

fungsinya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Tanggung jawab utama terhadap tubuhnya

2) Tanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat

3) Tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan atasan

3. Pemasangan Infus
a. Definisi
Terapi intravena adalah terapi medis yang dilakukan secara invasif dengan

menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi,

dan obat melalui pembuluh darah (Potter & Perry, 2009).


b. Indikasi Pemasangan Infus
Ada beberapa indikasi pasien di lakukan pemasangan infus menurut (Potter

& Perry, 2009) yaitu:


1) Pasien dengan dehidrasi
2) Pasien sebelum transfusi darah
3) Pasien passca bedah sesusi dengan program pengpbatan.
4) Pasien yang tidak bisa makan dan minum melalui mulut
5) Pasien yang memerlukan pengobatan dengan infus.
Sedangkan menurut (Tim penulis Poltekes Kemenkes Maluku, 2011)

indikasi dari pemasangan infus antara lain:


1) Mempertahankan, mengganti, serta menjaga keseimbangan cairan elektrolit

tubuh. Tubuh mengandung cairan, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan

kalori yang dalam keadaan tertentu pemasukannya tidak dapat di

pertahankan secara oral.


2) Memperbaiki asam basa tubuh
3) Memelihara nutrisi
4) Memberikan obat-obatan intravena kedalam tubuh
5) Memonitor hemodinamik tubuh
6) Merupakan akses dalam keadaan darurat
7) Memonitor tekanan vena sentral (Central venous pressure-CVP)
8) Menjadi terapi bagi pasien yang diduga hipovolemik dan mengalami

trauma berat.
c. Lokasi Pemasangan Infus
Menurut (Potter & Perry, 2009), tempat atau lokasi perifer yang sering di

gunakan pada pemasangan infus adalah vena super visial atau perifer kutan

terletak di dalam fasia sub cutan dan merupakan akses paling mudah untuk

terapi interavena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan

dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan

bagian dalam (vena basalika, venasefalika, vena kubital median, vena median

lengan bawah dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus

dorsalis).
Adapun hal – hal yang harus di pertimbangkan ketika memilih tempat

penusukan vena (Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011) antara lain:

1) Kondisi vena
2) Jenis cairan atau obat yang akan diinfuskan
3) Lamanya terapi
4) Usia dan ukuran pasien
5) Riwayat kesehatan dan status kesehatan pasien sekarang
6) Keterampilan tenaga kesehatan
d. Komplikasi Pemasangan Infus
Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu

yang lama dapat menimbulkan komplikasi menurut (Suzanne C. Smeltzer &

Brenda G. Bare, 2011) antara lain:


1) Komplikasi Sistemik
a) Kelebihan beban cairan
Kelebihan beban cairan akan membebani sitem sirkulatori dengan cairan

intravena yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan


tekanan vena sentral, dyspnea berat dan siansis. Adapun tanda dan gejalannya

tambahannya termasuk batuk dan kelopak mata yang membengkak.


b) Emboli Udara
Emboli udara sering berkaitan dengan kanulasi vena sentral, adanya

embolisme udara di manifestasikan dengan dyspnea dan sianosis, hipotensi, nadi

yang lemah,hilang kesadaran, nyeri dada, bahu dan punggung bawah.


Bila terjadi hal tersebut, segera lakukan pengkleman kateter intraveana,

membaringkan pasien miring ke kiri dalam posisi pasien Trendelenburg,

mengkaji tanda-tanda vital dan memberikan oksigen. Komplikasi emboli udara

bisa menyababkan syok dan kematian.

c) Septikemia
Adanya substansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian

yang dapat menyebabkan terjadinya demam dan septicemia. Reaksi septicemia

dapat di lihat apabila terjadi kenaikan suhu tubuh mendadak setelah pemasangan

infus, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi pernapasan,

mual dan muntah, diare, demam dan mengigil, malaise umum dan jika parah

akan terjadi kolaps vascular.


Penyebab dari septikimia adalah kontaminasi pada produk intravena atau

kelalaian pada teknik aseptic, terutama pada pasien yang mengalami penurunan

sistem imun
d) Infeksi
Tindakan untuk mencegah infeksi merupkan hal yang penting pada saat

melakukan pemasangan jalur intravena dan sepanjang periode pemberian infus.

Hal – hal yang dapat di lakukan untuk mencegah infeksi antara lain (Suzanne C.

Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011):


a. Mencuci tangan sebelum kontak dengan bagian apapun dari sistem infus

atau dengan pasien


b. Mengevaluasi penampung IV akan adanya kebocoran atau kekeruhan, yang

memungkin menandakan suatu larutan yang terkontaminasi


c. Menggunakan teknik aseptic yang kuat
d. Menempatkan kanula IV dengan kuat untuk mencegah pergerakan keluar

masuk
e. Memeriksa tempat penusukan IV setiap hari dan mengganti balutan steril
f. Melepaskan kateter IV bila ada tanda peradangan local, kontaminasi dan

komplikasi
g. Mengganti kanula IV perifer setiap 48 sampai 72 jam atau sesui indikasi
h. Mengganti kanula IV yang dipasang saat keadaan gawat (dengan asepsis

yang di pertanyakan) dengan segera


i. Mengganti kantong setiap 24 jam dan seluruh set pemberian sedikitnya 48

jam sampai 72 jam, dan setiap 24 jam jika produk darah atau lemak yang

diinfuskan.
2) Komplikasi Lokal
a) Infiltrasi
Infiltrasi adalah pergeseran jarum dan infiltrasi local larutan ke dalam

jaringan subkutan (Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011). Menurut

(Potter & Perry, 2009), infiltrasi terjadi saat cairan intravena memasuki cairan

subkutan di sekitar sisi vena pungsi. Infiltrasi dapat menyebabkan

pembengkakan (karena cairan pada jaringan meningkat) dan kepucatan pada

lengan dan kulit terasa dingin (di sebabkan karena menurunnya sirkulasi) di

sekitar sisi vena pungsi. Cairan memungkinkan dapat mengalir melalui jalur

intravena dengan kecepatan yang rendah dan mungkin dapat berhenti mengalir.

Nyeri juga dapat di rasakan dan biasanya di sebabkan karena edema jaringan,

nyeri dapat meningkat apabila infiltrasi terus terjadi.


Pada saat infiltrasi terjadi, hentikan cairan intravena dan jika terapi

intravena masih terus diperlukan, masukan kanula baru ke dalam vena


ekstremitas yang lain. Untuk mengurangi ketidaknyamanan pada saat terjadi

infiltrasi ada beberapa hal yang bisa di lakukan (Potter & Perry, 2009):
1) Naikan ekstremitas untuk meningkatkan drainase vena dan mengurangi

edema.
2) Bungkus ekstremitas dengan handuk lembab dan hangat selama 20 menit

untuk meningkatkan arus balik vena, meningkatkan sirkulasi, menurunkan

nyeri dan edema.


b) Phlebitis
Phlebitis adalah inflamasi vena yang di sebabkan baik oleh iritasi kimia

maupun mekanik yang di karakteristikan dengan adanya dua atau lebih tanda

nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi serta mengeras di bagian vena yang

terpasang kateter intravena (Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011).


Phlebitis adalah salah satu komplikasi dari pemberian terapi intravena.

Phlebitis adalah peradangan pada vena yang di sebabkan oleh kateter atau

iritasi kimia zat aditif dan obat-obatan yang diberikan secara intravena, di mana

komplikasi yang terjadi bisa bersifat sistemik dan local (Potter & Perry, 2009).
1) Faktor – faktor yang dapat menyebabkan terjadinya phlebitis
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya flebitis menurut

(Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011) yaitu: lamanya pemasangan

jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang di infuskan (terutama PH dan

tonisitasnya, ukuran dan tempat kanula di masukan, pemasangan jalur IV yang

tidak sesuai dan masuknya mikroorgaisme pada saat penusukan).


Sedangkan menurut (Potter & Perry, 2009), faktor penyebab phlebitis

adalah usia, status gizi, stres, kondisi vena, faktor penyakit pasien rawat inap

yang terpasang infus serta jenis kelamin.


2) Tanda dan gejala dari phlebitis

Menurut (Potter & Perry, 2009) tanda dan gejala dari phlebitis yaitu: nyeri,

edema, eritema dan meningkatnya suhu kulit di sekitar vena dan pada beberapa
instansi kemerahan pada jalur vena (Infusion Nursing Standards of Practice,

2011). Skala phlebitis dibedakan berdasarkan tanda dan gejala. Adapun skala

phlebitis tersebut adalah:

Tabel 2.1
Skala Ciri-ciri klinis
0 Tidak ada tanda dan gejala
1 Eritema pada sisi akses dengan atau tanpa nyeri
2 Nyeri pada sisi akses dengan eritema dan atau edema
3 Nyeri pada sisi akses dengan eritema dana tau edema,
pembentukan bekuan dan vena korda teraba
(palpable venous cord)

4 Nyeri pada sisi akses dengan eritema dana tau edema,


pembentukan bekuan, vena korda teraba dengan panjang
lebih dari 1 inci drainase purulen
Infusion Nurse Society:( Standard of Practice, 2011)

3) Pencegahan phlebitis

Phlebitis dapat di cegah dengan menggunakan teknik aseptic selama

pemasangan, menggunakan ukuran kateter dan ukuran jarum yang sesuai

dengan vena, mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika

memilih daerah penusukan, mengobservasi tempat penusukan akan adanya

komplikasi apaun setiap jam dan menempatkan kateter atau jarum dengan sesuai

(Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011).

c) Tromboflebis
Tromboflebitis adalah adanya bekuan di tambah peradangan dalam vena

serta di karakteristikan dengan adanya nyeri yang terlokalisai, kemerahan, rasa


hangat dan pembengkakan di sekitar tempat penusukan atau sepanjang vena,

imobilisasi ektremitas karena rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan

aliran darah yang tersendat, demam, malaise dan leukositosis (Suzanne C.

Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011).

Pada saat terjadi tromboflebitis hal yang perlu di lakukan yaitu:

menghentikan IV, memberikan kompres hangat, meninggikan ekstremitas dan

memasang lagi infus pada jalur IV di ektremitas yang berbeda (Suzanne C.

Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011).

d) Bekuan (Cloting)

Bekuan bisa terjadi karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran yang

terlalu lambat, kantong IV yang kosong atau tidak memberikan aliran setelah

pemberian obat atau larutan intermiten. Tanda dan gejala cloting yaitu terjadi

penurunan kecepatan aliran dan aliran darah kembali ke selang IV (Suzanne C.

Smeltzer & Brenda G. Bare, 2011).

Apabila terjadi bekuan (cloting), hal yang perlu di lakukan adalah : hentikan

jalur IV, tidak mengirigasi atau melakukan pijatan pada selang, tidak

mengembalikan aliran dengan meningkatkan kecepatan atau menggantung

larutan lebih tinggi dan tidak melakukan aspirasi bekuan darah dari kanul.

Bekuan (cloting) juga dapat di cegah dengan tidak membiarkan kantong IV

menjadi kosong, penempatan selang untuk mencegah tertekuknya selang,

mempertahankan kecepatan aliran yang adekuat dan memberikan aliran pada

selang setelah pemberian medikasi atau larutan intermiten (Suzanne C. Smeltzer

& Brenda G. Bare, 2011).


e. Tipe-tipe Cairan Infus

Terdapat tiga tipe cairan infus, yaitu cairan isotonic, hipotonik dan

hipertonik. Cairan isotonic adalah cairan yang tekanan osmotic (osmolitas) sama

dengan plasma darah (280-295 mOsm/kg) contoh cairannya adalah cairan

Ringer-Laktat (RL) dan normalsaline/ larutan garam fisiologis (NaCl 0,9 %),

cairan hipotonik adalah cairan yang osmolitasnya kurang dari plasma darah

(NaCl 45 % dan Dekstrosa 2,5 %) sedangkan cairan hipertonik adalah cairan

yang memiliki osmolitas lebih dari plasma darah (Dextrose 5%, NaCl 45 %

hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk

darah (darah) dan albumin.

Pemberian larutan isotonic melalui infus akan mencegah perpindahan cairan

dan elektrolit dari kompartemen intrasel. Pemberian cairan hipotonik melalui

infus akan membuat cairan berpindah ke dalam sel, sebaliknya cairan hipertonik

akan mengakibatkan cairan berpinda keluar dari dalam sel (prinsip cairan

berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi) (Potter & Perry, 2009).

f. Intervensi untuk menurunkan infeksi pada saat pemasangan infus

Menurut (Potter & Perry, 2009) infeksi yang terkait dengan pemberian infus

dapat dihindari dengan empat intervensi yaitu:

1) Perawat melakukan teknik cuci tangan yang aktif untuk menghilangkan

organisme gram negatif sebelum mengenakan sarung tangan saat

melakukan prosedur pungsi vena.

2) Mengganti larutan intravena sekurang- kurangnya 24 jam

3) Menggganti semua kateter venaperifer termasuk lok heparin sekurang-


kurangnya 72 jam

4) Mempertahankan sterilitas sistem intravena saat mengganti selang, larutan,

dan balutan.

g. Standar Prosedur operasional (SPO) pemasangan infus di Santosa

Hospital Bandung Central

1) Pengertian

Memasang infus merupakan tindakan yang di lakukan pada pasien yang

memerlukan masukan cairan atau obat langsung kedalam pembuluh darah vena

dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set. Petugas adalah

dokter perawat dan bidan.

2) Tujuan

Sebagai acuan dalam penataaksanaan pemasangan infus dengan baik dan

benar, sebagai akses dalam pemberian obat dan cairaan melalui intra vena,

mempertahankan dan mengganti cairan tubuh yang di dalamnya mengandung

air, vitamin, elektrolit, lemak, protein dan kalori yang tidak mampu untuk dapat

dipertahankan secara adekuat melalui oral dan untuk memberikan obat yang

tidak dapat diberikan secara oral ataupun intramuskuler.

3) Prosedur

1. Petugas melihat kembali instruksi dokter yang tertulis di rekam medis

pasien

2. Petugas menyiapkan alat yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan

memasang infus
3. Petugas memeriksa cairan infus atau set infus yang akan di pasangkan

apakah sudah benar nama pasien, benar nama cairan, benar dosis, benar cara

pemberian, benar waktu pemberian, dan tanggal kadarluarsa cairan dan set

infus yang tertulis dikemasan luar cairan dan set infus.

4. Petugas membawa alat keruangan pasien

5. Petugas mengucapkan salam “Selamat pagi/ siang/ malam”

6. Petugas memperkenalkan diri kepada pasien “dengan zr/ bd….(sebutkan

nama dengan jelas)”.

7. Petugas memberikan informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan

kepada pasien meliputi tujuan tindakan dan penggantian infus setiap 3 hari

sekali.

8. Petugas melakukan identifikasi pasien dengan menanyakan nama lengkap

pasien dan tanggal lahir pasien dengan mencocokan dengan gelang identitas

yang terpasang di tangan pasien.

9. Petugas mencuci tangan

10. Petugas mempersilahkan keluarga untuk menunggu di luar bagi pasien yang

di tunggu

11. Petugas menutup gordyn

12. mengatur pasien dengan senyaman mungkin, persiapkan lengan yang akan

di pasang kateter IV

13. Petugas membantu pasien melepaskan bajunya jka baju yang pasien

kenakan ketat

14. Petugas memeriksa kembali cairan infus dan set infus yang akan di pasang,
apakah sudah benar nama pasien, benar nama cairan, benar dosis, benar cara

pemberian, benar waktu pemberian dan tanggal kadaluarsa cairan dan set

infus yang tertulis dikemasan luar cairan dan set infus

15. Petugas memasukan clave set infus kedalam kantung cairan

16. Petugas memeriksa aliran infus, isi chamber setengah bagian dan

memastikan selang infus bebas dari gelembung udara

17. Petugas mendekatkan alat peralatan yang telah di siapkan di atas baki

kedekat pasien

18. Petugas meletakan alas perlak/ underpad pada bagian bawah lengan pasien

19. Petugas mengidentifikasi vena yang akan digunakan (gunakan vena bagian

distal terlebih dahulu, gunakan lengan yang kurang dominan, bila cairan

yang akan diberikan adalah cairan hipertonis, obat iritatif, pemberian cairan

dengan kecepatan tinggi maka pilih vena besar)

20. Petugas memasang tourniquet dengan jarak 10-12 cm di atas daerah yang

akan ditusuk

21. Petugas memakai sarung tangan steril

22. Petugas melakukan pembersihan area penusukan infus dengan

menggunakan alkohol swab, dengan gerakan sirkular mulai dari tengah ke

arah luar daerah yang area penusukan infus dan biarkan mongering jangan

di tiup

23. Petugas menyiapkan IV steril

24. Petugas memasukan IV cateter ke vena dengan sudut 15-20 derajat

25. Petugas menarik jarum kateter ke arah luar jika darah sudah keluar dari
lumen jarum, masukan plastic kateter IV lebih jauh lagi kedalam vena

secara perlahan.

26. Petugas meletakan kasa steril di bawah kanul, agar jika ada darah yang

keluar segera dapat di serap

27. Petugas membuka tourniquet

28. Petugas menyambungkan kanula dengan set infus

29. Petugas membuang jarum kedalam sharp container

30. Petugas mengatur tetesan infus sesuai dengan program therapy dokter dan

mengamati kulit sekitar area penusukan untuk melihat tanda-tanda infiltrasi

31. Petugas membersihkan daerah penusukan dengan kasa steril

32. Petugas membuang kasa kedalam kantong plastic kuning

33. Petugas melakukan fiksasi kateter IV dengan plester transparan

34. Petugas melipat selang infus berbentuk U, fiksasi membentuk jangkar

dengan plester hypoalergi, fiksasi pada tiga posisi konus jarum, pada

lekukan huruf, pada sisi proksimal pasien dengan tujuan fiksasi yang kuat

agar tidak mudah terlepas

35. Petugas memberi label pada set infus: cantumkan (jam, tanggal, bulan,

nama yang memasang infus)

36. Petugas memasang stiker pada botol infus

a. Nama pasien :………………………………………

b. Tanggal pasang :……..mulai jam……………………..

c. Jenis cairan :……....tetesan/ menit………………..

d. Obat tambahan :………………………………………


e. Tanda tangan (1) :………….Tanda tangan (2)…………

Keterangan :

(1) Nama dan tanda tangan pemasang

(2) Nama dan tanda tangan saksi perawat/ bidan penanggung jawab

shift

37 Petugas memperhatikan reaksi pasien

38 Petugas merapihkan pasien

39 Petugas membereskan peralatan

40 Petugas mencuci tangan

41 Petugas mendokumentasikan tindakan yang dilakukan, jenis cairan, tetesan

infus dan obat tambahan bila ada

42 Petugas melaporkan/ lakukan kolaborasi pada dokter bila ada hal yang tidak

seharusnya terjadi pada pasien selama tindakan/ hasil tindakan.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Tabel 2.3
Penelitian yang Relevan
No Judul Variabel Metodologi Temuan Penelitian
Penelitian
1 Dede dwi lestai, Variabel bebas: survei analitik Hasil penelitian uji
Amantus yudi Jenis cairan dan dengnan pendektan statistic chi square
ismanto & lokasi cross sectional. didapatkan hubungan
Reginus T. Malara pemasangan metode pengambilan jenis cairan infus
(2016) dengan infus sampel yang dengan kejadian flebitis
judul penelitian Variabel terikat: dipakai pada dengan nilai p =
hubungan jenis Kejadian penelitian ini adalah 0,000, hubungan lokasi
cairan dan lokasi phlebitis menggunakan teknik pemasangan infus
pemasangan infus consecutive dengan kejadian
dengan kejadian sampling. flebitis dengan nilai
flebitis pada Analisa data yang p = 0,005.
pasien rawat inap digunakan dalam Simpulan terdapat
Di rsu pancaran penelitian ini adalah hubungan jenis cairan
kasih gmim uji Pearson Chi infus dengan kejadian
manado Square flebitis, terdapat
hubungan lokasi
pemasangan infus
dengan kejadian flebitis
2 Christian M. Variabel bebas: metode Hasil penelitian terdapat
Komaling Lucky Lamanya analitik hubungan lamanya
Kumaat Franly pemasangan korelasional pemasangan infus
Onibala (2014), infus dengan pendekatan (intravena) dengan
dengan judul Variabel terikat: crosss kejadian flebitis pada
penelitian Kejadian sectionalstudy pasien di IRINA F
hubungan phlebitsi (Studi Potong BLU. RSUP. Prof. Dr.
lamanya Lintang). R. D. Kandou Manado.
pemasangan infus Analisis data
(intravena) dilakukan dengan
dengan kejadian menggunakan uji
flebitis pada chi-square (X2),
pasiendi irina f pada tingkat
blu rsup prof. Dr. kemaknaan 95%
R. D. Kandou (α0,05)menunjukkan
manado nilai p=0,000, nilai
ini lebih kecil dari
α=0,05

3 Tirsa Yuniske, Variabel bebas: survey analitik Hasil analisis


Kaloa Lucky Karakteristik dengan pendekatan menggunakan uji chi-
T.Kumaat & perawat cross sectiona square diperoleh nilai
Mulyadi (2017), Variabel terikat: p =0,387 untuk tingkat
dengan judul Kepatuhan pendidikan, p=0.369
penelitian terhadap standar untuk masa kerja, dan
hubungan operational p= 0,552 untuk
karakteristik prosedur pelatihan gawat darurat.
perawat dengan pemasangan Simpulan: tidak
kepatuhan infus terdapat hubungan
terhadap standar antara tingkat
operasional pendidikan, masa kerja,
prosedur dan pelatiihan gawat
pemasangan infus darurat dengan
di instalasi gawat kepatuhan terhadap
darurat rsup standar operasional
prof.dr.r.d.kandou prosedur pemasangan
manado infus di Instalasi Gawat
Darurat RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado
4 Imram Radne Variabel bebas: penelitian ini Hasil analisis data
Rimba Putri Lama menggunakan dengan menggunakan
(2016), dengan pemasangan observasional uji Chi Square
judul penelitian infus analitik dengan didapatkan nilai p-value
Pengaruh Lama Variabel terikat: pendekatan cross, sebesar 0,000, yang
Pemasangan Infus Kejadian dengan teknik berarti nilai signifikan
dengan Kejadian phlebitis pengambilan lebih kecil dari taraf
Flebitis pada sampel signifikan α: 0,05, itu
Pasien Rawat Inap menggunakan berarti hipotesis
di Bangsal Purposive Sampling penelitian ini diterima.
Penyakit Dalam sectional. Kesimpulannya terdapat
dan Syaraf Rumah hubungan kejadian
Sakit Nur Hidayat phlebitis dengan lama
Bantul pemasangan infus.
5 Nella mega Variael bebas: penelitan ini Hasil penelitian
fadhilah haritya Karakteristik menggunakan Karakteristik pasien
akbar & pasien yang observasional yang berpengaruh
Muhammad terpasang analitik dengan terhadap kejadian
atoillah isfandiari kateter intravena desain studi case flebitis adalah usia,
(2018), dengan Variabel terikat: control. jenis kelamin, status
judul penelitian Kejadian gizi, riwayat hipertensi
pengaruh phlebitis dan riwayat diabetes
karakteristik melitus.
pasien yang
terpasang kateter
intravena terhadap
kejadian flebitis
6. Dessy Hermawan, Variabel bebas: Jenis penelitian ini Hasil penelitian ini
Ersa Junika & kepatuhan kuantitatif dengan didapatkan 29 (61,7%)
Jasmen Nadeak perawat pendekatan cross responden yang tidak
(2018), dengan Variabel terikat: sectional. Instrumen melakukan 6 langkah
judul penelitian Kejadian penelitian ini dan 5 moment cuci
Hubungan phlebitis menggunakan tangan, sebanyak 7
kepatuhan lembar observasi (24,1%) tidak
perawat dengan analisa data melakukan 6 langkah
melaksanakan yang digunakan uji dan 5 moment cuci
standar prosedur chi square. tangan dan tidak
operasional (spo) phlebitis, 22 (75,9%)
cuci tangan tidak melakukan 6
terhadap kejadian langkah dan 5 moment
phlebitis cuci tangan dan
Di rumah sakit mengalami phlebitis
graha husada dengan (p-value 0,001).
bandar lampung Kesimpulan terdapat
tahun 2018 hubungan phlebitis
dengan Kepatuhan
Perawat Melaksanakan
Standar Prosedur
Operasional (SPO) Cuci
Tangan.

A. Kerangka Pemikiran

Pengetahuan Pemasangan Phlebitis


Infus

1. Pendidikan
2. Informasi/ media
masa
3. Sosial, budaya
dan ekonomi
4. Lingkungan
5. Pengalaman
6. Usia

Sumber : Budiman &


Agus Riyanto, 2013

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam

pelaksanaan prosedur penelitian (Hidayat, 2008). Penelitian ini menggunakan

penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di

dalam masyarakat. Tujuan dari penelitian ini, untuk mengetahui gambaran

pengetahuan perawat mengenai prosedur pemasangan infus dengan angka

kejadian phlebitis di ruang safir timur Santosa Hospital Bandung Central.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui

nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa

membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel satu dengan

variabel yang lain (Notoatmodjo, 2012).

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono,

2015). Variable pada penelitian ini adalah gambaran pengetahuan perawat

mengenai prosedur pemasangan infus dengan angka kejadian phlebitis.

1. Definisi Konsepsual
Skala
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
Pengetahuan perawat Tindakan tugas perawat dalam Lembar 1. Baik 76 - 100% Ordinal
tentang pemasangan melaksanakan perawatan dalam Cheklis 2. Cukup 56 - 75%
infus pemasangan infus yang 3. Kurang <56%
meliputi: Pengertian, Tujuan,
dan Prosedur
Sub variabel
Pengertian Tahapan yang di lakukan oleh Lembar 1. Baik 76 - 100% Ordinal
perawat pada pasien yang Cheklis 2. Cukup 56 - 75%
memerlukan masukan cairan 3. Kurang <56%
atau obat langsung kedalam
pembuluh darah vena dalam
jumlah dan waktu tertentu
dengan menggunakan infus set
Tujuan Sebagai acuan dalam Lembar 1. Baik 76 - 100% Ordinal
penataaksanaan pemasangan Cheklis 2. Cukup 56 - 75%
infus dengan baik dan benar, 3. Kurang <56%
sebagai akses dalam pemberian
obat dan cairaan melalui intra
vena
Prosedur Tahapan pelaksanaan dalam Lembar 1. Baik 76 - 100% Ordinal
rencana tindakan keperawatan Cheklis 2. Cukup 56 - 75%
yang telah dilakukan, seperti 3. Kurang <56%
dekatkan alat-alat, posisikan
pasien sesuai kebutuhan dll.
2. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah definisi terhadap variabel

berdasarkan konsep teori namun bersifat operasional, agar variabel tersebut

dapat diukur atau bahkan dapat diuji baik oleh peneliti maupun peneliti lain.

Karakteristik yang diamati yang menjadi dasar definisi operasional

(Swarjana, 2015). Karakteristik yang diamati yang menjadi dasar definisi

operasional, dimana yang menjadi variabel independen adalah pengetahuan

perawat mengenai prosedur pemasangan infus dengan angka kejadian

phlebitis, meliputi pengertian, tujuan, prosedur.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono,

2015). Pada penelitian ini populasi yang diambil adalah keseluruhan dari

perawat yang berdinas di ruang rawat inap safir timur Santosa Hospital

Bandung Central yang berjumlah 46 orang kecuali kepala ruangan.


2. Sample

Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam pengambilan sampel

digunakan cara atau teknik tertentu, sehingga sampel tersebut dapat

mungkin mewakili populasinya dimana teknik ini disebut sampling

(Notoatmodjo, 2012).

Pada penelitian ini sample yang di gunakana adalah perawat pelaksana

yang berdinas di rung safir timur Santosa Hospital Bandung Central dengan

masa kerja lebih dari 1 tahun sebanyak 39 perawat.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan cara menghitung

jumlah perawat di ruang rawat inap safir timur Santosa Hospital Bandung

Cantral berdasarkan karakteristik individu perawat selaku responden seperti

usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan lama bekerja. Untuk

mengukur pengetahuan perawat mengenai prosedur pemasangan infus

dengan angka kejadian phlebitis dengan melakukan pengisian kuesioner

yang sudah ditetapkan dan dilakukan penghitungan berdasarkan hasil

pengisian dari kuesioner tersebut.


Sebelum dilakukan penelitian, responden diberi penjelasan terlebih

dahulu mengenai tujuan, meminta izin terlebih dahulu kepada responden

untuk bersedia dijadikan sampel penelitian dan kesediaannya dilakukan

objek penelitian. Penelitian dilakukan dengan memberikan kuesioner

tentang gambaran pengetahuan perawat mengenai prosedur pemasangan

infus dengan angka kejadian phlebitis.

E. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

1. Uji Validitas

Uji validitas atau uji konten adalah suatu indeks yang menunjukan alat

ukut itu benar – benar mengukur apa yang di ukur (Notoatmodjo, 2012).

Tahap ini perlu di lakukan guna mengkoreksi ketetapan mode yang

digunakan dan menguji vaiditas dan reabilitas dari pengukuran yang di

gunakan sebelum melaksanakan riset secara nyata (Nursalam, 2013).

2. Uji Reliabilitas

F. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Data yang diperoleh selama penelitian kemudian diolah secara

komputerisasi dengan menggunakan software dalam program computer

berdasarkan data yang diambil (Notoatmodjo, 2012). Berikut langkah-

langkah pengolahan data meliputi kegiatan:

a. Editing (penyunting data)


Editing adalah kegiatan untuk pengecekan atau pengoreksian data yang

telah terkumpul dengan tujuan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan

yang terdapat pada pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi. Langkah-

langkahnya yaitu:

1) Mengecek nama dan kelengkapan identitas pengisi kuesioner.

2) Mengecek kelengkapan data, apabila ternyata ada kekurangan isi

halaman maka perlu dikembalikan dan diganti dengan yang baru.

3) Mengecek macam-macam isian data, apakah data terisi dengan lengkap

atau tidak.

b. Coding (pengkodean data)

Tahapan ini mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data

angka atau bilangan. Setelah semua data hasil kuesioner diedit atau

disunting, selanjutnya peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data

berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

c. Data Entry ( memasukan data)

Dalam memasukan data, yakni jawaban dari masing – masing

responden yang dalam bentuk “kode” (angka) dimasukan kedalam

program atau “software” computer. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan aplikasi SPS versi 16.0

d. Cleaning (pembersihan data)

Cleaning atau pembersihan data dilakukan setelah semua data dari

setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, kemudian

dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode,


ketidaklengkapan, dan sebagainya. Kemudian dilakukan pembearan atau

koreksi.

2. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

univariate, yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Dimana

dalam analisa ini hanya menyajikan distribusi frekuensi tentang gambaran

pengetahuan perawat tentang prosedur pemasangan infus dengan angka

kejadian phlebitis di ruang safir timur Santosa Hospital Bandung Central.

G. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian berguna untuk mempermudah menyelesaikan

penelitian. Adapun prosedur penelitian sebagai berikut:

1. Tahapan persiapan

a. Menentukan masalah penelitian

b. Meminta perizinan kepada institusi terkait meliputi Program Studi S-

1 Keperawatan Stikes Aisyiyah Bandung dan Rumah Sakit Santosa

Bandung Central.

c. Melakukan studi literatur dari buku, jurnal

d. Menyusun rencana penelitian

e. Menyiapkan perlengkapan penelitian

2. Tahapan pelaksanaan

a. Meminta izin penelitian dari kampus

b. Meminta perizinan kepada institusi terkait meliputi Program Studi S-


1 Keperawatan Stikes Aisyiyah Bandung dan Santosa Hospital

Bandung Central.

c. Pemilihan sample adalah perawat yang telah bekerja diatas 1 tahun

d. Kuasioner dibagikan oleh peneliti dan diisi di depan peneliti agar bila

ada pertanyaan atau hal yang kurang dimengerti dapat dijelaskan

langsung oleh peneliti

e. Melakukan pengolahan data menggunakan program compute

g. Penyusunan laporan penelitian

3. Tahapan akhir

a. Menyusun laporan hasil penelitian apabila telah selesai dalam

pengolahan data, dan masalah penelitian sudah terjawab.

b. Proses terakhir yaitu melakukan revisi dokumen sesuai arahan atau

saran dari penguji, setelah itu melakukan pendokumentasian hasil

penelitian.

c. Proses terakhir yaitu melakukan revisi dokumen sesuai arahan atau

saran dari penguji, setelah itu melakukan pendokumentasian hasil

penelitian.

H. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di ruang rawat inap safir timur

Santosa Hospital Bandung Central dan waktu penelitian akan di lakukakan

pada bulan Agustus-November 2019

I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat adanya

rekomendasi dari institusinya atau pihak lain dengan mengajukan

permohonan izin kepada institusi/ lembaga tempat penelitian. Setelah

mendapat persetujuan barulah melakukan penelitian dengan menekankan

masalah etika yang meliputi :

1. Informed Consent (Lembar

Persetujuan)

Setiap subyek penelitian yang ikut dalam penelitian ini diberi lembar

persetujuan agar subyek penelitian dapat mengetahui maksud dan tujuan

peneliti serta dampak yang diteliti selama proses penelitian ini

berlangsung. Jika subyek penelitian menolak maka peneliti tidak akan

memaksakan dan akan menghormati hak subyek penelitian..

2. Right to Privacy (Hak

Dijaga Kerahasiaannya)

Responden mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang

diberikan harus dirahasiakan. Untuk itu pada pengumpulan data, peneliti

tidak mencantumkan nama (anonymity) dan merahasiakan informasi dari

responden (confidentiality).

3. Justice (Adil)

Responden tidak dibeda – bedakan dari segi jenis kelamin dan status

ekonomi. Setiap responden diberikan perlakuan yang sama dengan

responden lainnya baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi


dalam dalam penelitian.

2. Beneficence (Berbuat Baik)

Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian

guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi

subjek penelitian dan dapat digeneralisasikan di tingkat populasi

(Beneficence).

Anda mungkin juga menyukai