Anda di halaman 1dari 29

Substansi Penelitian

ABSTRAK

Dalam beberapa tahun terakhir ini masalah buruknya mutu pelayanan kesehatan
menjadi isu utama yang sempat menghiasi sebagian besar jurnal dimana isu yang paling
sering muncul adalah mengenai terjadinya medical error. Medical error dapat
menyebabkan ketidaknyaman, risiko kecatatan, kematian, memperpanjang waktu perawatan
di rumah sakit dan juga menimbulkan dampak ekonomi yang besar.
Dampak medical error yang cukup banyak menyebabkan rumah sakit harus berbenah
untuk memperbaiki kinerja kinis pelayanannya, sehingga pasien merasa aman dan yakin
akan memperoleh pelayanan yang terbaik dari rumah sakit. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk mencapai mutu pelayanan dan mutu pelayanan klinis, baik secara internal oleh
rumah sakit maupun secara eksternal oleh lembaga sertifikasi atau akreditasi. Namun
berbagai upaya tersebut ternyata belum mampu menghasilkan peningkatan kinerja rumah
sakit, terutama dalam hal peningkatan kinerja klinik, yang ditunjang dari berbagai penelitian
baik secara nasional maupun internasional.
Salah satu pelayanan yang diberikan rumah sakit adalah pelayanan kebidanan dan
kandungan, yang mana salah satu pelayanan yang perlu mendapat perhatian adalah
pelayanan sectio caesarea yang kecenderungan dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengukur mutu klinis pelayanan sectioa
caesarea pada rumah sakit yang telah mengimplementasikan sisitem a mutu, baik akreditasi
maupun sertifikasi ISO 9001:2008.
Pada penelitian ini akan dilakukan observasi kepada pasien sectio caesarea baik yang
sifatnya emergency maupun elektif, mulai dari pasien itu masuk ke rumah sakit, persiapan
operasi, durante operasi, post operasi dan sampai 30 hari pasien setelah sectio caesarea di
RSUP dr. Sardjito. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh gambaran mutu klinis
pelayanan sectio caesarea sebagai dasar dalam pengembangan model sistem manajemen
mutu untuk peningkatan mutu klinis pelayanan sectio caesarea.

1
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir ini masalah buruknya mutu pelayanan kesehatan
menjadi isu utama yang sempat menghiasi sebagian besar jurnal dimana isu yang paling
sering muncul adalah mengenai terjadinya medical error. Medical error dapat
menyebabkan ketidaknyaman, risiko kecatatan, kematian, memperpanjang waktu perawatan
di rumah sakit dan juga menimbulkan dampak ekonomi yang besar.
Studi mengenai adverse event (kejadian yang tidak diinginkan/KTD) yang
dilaksanakan oleh Harvard Medical Practice yang dilaporkan oleh Institute of Medicine
(IOM) menemukan bahwa sekitar 4% pasien mengalami KTD selama dirawat di rumah
sakit. Sebesar 70% diantaranya berakhir dengan kecacatan, sedangkan 14% berakhir dengan
kematian (Brennan et al., 1991). Laporan the IOM (Institute of Medicine) yang
menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar 48.000 hingga 100.000 pasien meninggal dunia di
Amerika Serikat akibat medical error yang terjadi di pusat-pusat pelayanan kesehatan
Suatu studi yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK)
FK UGM pada 15 rumah sakit dan 12 Puskesmas di Jawa Tengah menunjukkan bahwa
secara umum prevalensi KTD tinggi dengan variasi antara 1,82%-88,8%. Nilai prevalensi
error 1,82% adalah pada kesalahan diagnosis, sedangkan yang 80,84% adalah kesalahan
dalam penggunaan antibiotik.
Dampak medical error yang cukup banyak menyebabkan rumah sakit harus berbenah
untuk memperbaiki kinerja kinis pelayanannya, sehingga pasien merasa aman dan yakin
akan memperoleh pelayanan yang terbaik dari rumah sakit. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk mencapai mutu pelayanan dan mutu pelayanan klinis, baik secara internal oleh
rumah sakit maupun secara eksternal oleh lembaga sertifikasi atau akreditasi. Namun
berbagai upaya tersebut ternyata belum mampu menghasilkan peningkatan kinerja rumah
sakit, terutama dalam hal peningkatan kinerja klinik, yang ditunjang dari berbagai penelitian
baik secara nasional maupun internasional.
Salah satu pelayanan yang diberikan rumah sakit adalah pelayanan kebidanan dan
kandungan, yang mana salah satu pelayanan yang perlu mendapat perhatian adalah
pelayanan sectio caesarea yang kecenderungan dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengukur mutu klinis pelayanan sectio
caesarea pada rumah sakit yang telah mengimplementasikan sistem mutu, baik akreditasi
maupun sertifikasi ISO 9001:2008.

2
Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mutu klinis pelayanan sectio
caesarea pada rumah sakit sebagai dasar perumusan model sistem manajemen mutu untuk
peningkatan mutu klinis pelayanan section caesarea.
Tujuan khusus:
1. Mengukur indikator klinis pelayanan Sectio caesarea mulai dari pasien masuk IGD
2. Mengukur indikator klinis pelayanan section caesarea pada pre operasi
3. Mengukur indikator klinis pelayanan section caesarea pada durante operasi
4. Mengukur indikator klinis pelayanan section caesarea pada durante operasi
5. Mengukur indikator klinis pelayanan section caesarea pada post operasi
6. Megukur mutu klinis pelayanan sectio caesarea sebagai dasar perumusan model
sistem manajemen mutu untuk peningkatan mutu klinis sectio caesarea.

Urgensi (keutamaan) Penelitian

Salah satu jenis pelayanan yang diberikan di rumah sakit adalah pelayanan
kebidanan dan kandungan. Pelayanan kebidanan dan kandungan menjadi hal penting
mengingat bahwa Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia masih
tinggi yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI 2007 dan angka
kematian ibu melahirkan 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI 2007).
Selain itu masalah kematian ibu ini juga menjadi salah satu dari tujuan pembangunan
millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dalam rangka mengurangi tiga per empat
jumlah perempuan yang meninggal selama hamil dan melahirkan pada 2015.
Faktor penyebab kematian ibu adalah pendarahan, eklampsia atau gangguan akibat
tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi.
Perdarahan, yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak,
bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan dalam
masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan atonia uteri.
Pelayanan kebidanan yang saat ini juga menjadi perhatian adalah pelayanan
persalinan sectio caesarean (SC). Sectio caesarean adalah cara melahirkan janin melalui
insisi pada dinding abdomen. Bedah sesar digunakan apabila diyakini bahwa penundaan

3
persalinan akan menimbulkan bahaya bagi janin, ibu atau keduanya dan persalinan
pervaginam tidak mungkin dilakukan secara aman.
Di Indonesia angka persalinan SC juga mengalami peningkatan sekitar 15% . Di
rumah sakit pemerintah rata-rata 11%, dan di rumah sakit swasta lebih dari 30%. Angka ini
jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yaitu tidak
melebihi 15% dari total kelahiran di rumah sakit. Persalinan sectio caesarea juga
mengandung berbagai risiko terutama terkait masalah medical error
Dalam beberapa tahun terakhir ini masalah buruknya mutu pelayanan kesehatan
menjadi isu utama yang sempat menghiasi sebagian besar jurnal dimana isu yang paling
sering muncul adalah mengenai terjadinya medical error. Studi mengenai adverse event
(kejadian yang tidak diinginkan/KTD) yang dilaksanakan oleh Harvard Medical Practice
yang dilaporkan oleh Institute of Medicine (IOM) menemukan bahwa sekitar 4% pasien
mengalami KTD selama dirawat di rumah sakit. Sebesar 70% diantaranya berakhir dengan
kecacatan, sedangkan 14% berakhir dengan kematian (Brennan et al., 1991). Secara
keseluruhan, Institute of Medicine (2001) melaporkan bahwa di Amerika terdapat sekitar
44.000-98.000 pasien meninggal setiap tahunnya akibat tindakan medik selama perawatan
di rumah sakit.
Suatu studi yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK)
FK UGM pada 15 rumah sakit dan 12 Puskesmas di Jawa Tengah menunjukkan bahwa
secara umum prevalensi KTD tinggi dengan variasi antara 1,82%-88,8%. Nilai prevalensi
error 1,82% adalah pada kesalahan diagnosis, sedangkan yang 80,84% adalah kesalahan
dalam penggunaan antibiotik. Angka kejadian kesalahan terapi yang ditunjukkan oleh
penggunaan antibiotika yang tidak tepat dalam penanganan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut, menunjukkan jumlah yang tinggi (78% di RS dan 88,84% di Puskesmas). Studi ini
mengukur KTD di pelayanan keperawatan dengan indikator dekubitus. Hampir 40% pasien
yang dirawat di ICU atau ICCU mengalami dekubitus rerata pada hari perawatan ke 17
(PMPK, 2003).
Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya
reversible hingga yang berat berupa kecatatan atau bahkan kematian. Sebagian penderita
terpaksa harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya
berdampak pada biaya perawatan yang lebih besar. Classen et al melaporkan bahwa untuk
mengatasi masalah medical error pada 2,4% pasien yang masuk rumah sakit selain
diperlukan biaya ekstra sebesar US$ 2262 (atau hampir Rp 23 juta) per pasien juga
diperlukan perpanjangan hari rawat rata-rata 1,9 hari. (Kohn et al., 2000)

4
Salah satu bentuk dari medical error adalah infeksi nosokomial. Salah satu
Infeksi nosokomial banyak terjadi diseluruh dunia dengan kejadian terbanyak di Negara
miskin dan Negara yang sedang berkembang. Menurut Razavi et al. (2005) WHO melalui
World Alliance for Patient Safety 2005-2006 melaporkan 2%-5% dari prosedur bedah tiap
tahun terjadi infeksi luka operasi. Kejadian ini lebih tinggi ditemukan di Negara
berkembang yaitu Bolivia 12% dan 19% di Republik Tanzania. Penelitian di Iran,
pasien yang mengalami kejadian Infeksi Luka Operasi Abdomen mengalami kejadian
infeksi luka operasi sebesar 17,4%.
Roy and Pearl dalam Helwaldt (1998) mengemukakan bahwa infeksi luka
operasi menempati urutan ketiga terbanyak dalam infeksi nosokomial yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan biaya rumah sakit.
Menurut Chong and Sawyer (2002) bahwa data infeksi luka operasi terhitung 14% dari
semua kejadian yang tidak diharapkan pada pasien yang dirawat di rumah sakit yang
menyebabkan peningkatan lama hari rawat rata-rata 7,3 hari dan menyebabkan
peningkatan biaya 42% atau dapat diperkirakan menjadi $ 3,152 per infeksi luka
operasi berdasarkan penelitian sebelumnya pada tahun 1992.
Berdasarkan berbagai fakta yang diuraikan di atas mengindikasikan masih
rendahnya mutu pelayanan terutama mutu klinik pelayanan di rumah sakit. Upaya untuk
mencapai mutu pelayanan dan mutu pelayanan klinis rumah sakit yang optimal dapat
dilakukan secara internal oleh rumah sakit maupun secara eksternal oleh lembaga sertifikasi
atau akreditasi. Secara internal, rumah sakit mengembangkan sistem manajemen mutu
dengan mengacu pada berbagai model. Pengakuan terhadap sistem tersebut dilakukan
melalui mekanisme sertifikasi dan akreditasi. Di Indonesia berbagai model sistem
manajemen mutu telah banyak dikembangkan, dimulai dari Total Quality Management
dengan Gugus Kendali Mutu (GKM) sejak tahun 1986, dan Clinical Performance
Development and Management System (1996). Selanjutnya pada tahun 1995 dikembangkan
program akreditasi rumah sakit merupakan salah satu mekanisme regulasi mutu pelayanan
yang dikembangkan pemerintah agar rumah sakit dapat memperbaiki mutu pelayanannya.
Selain melalui akreditasi rumah sakit, terdapat pula rumah sakit di Indonesia yang
mengadaptasi model sistem manajemen mutu lainnya, seperti dengan sertifikasi ISO
9001:2008, European Foundation for Quality Management (EFQM), Joint Commission
International yang dikembangkan oleh JCAHO, Malcolm Baldridge Quality Award
(MBNQA) dan sistem lainnya.

5
Berbagai upaya pengembangan mutu yang dilakukan rumah sakit ternyata belum
mampu menghasilkan peningkatan kinerja rumah sakit, terutama dalam hal peningkatan
kinerja klinik, yang ditunjang dari berbagai penelitian baik secara nasional maupun
internasional. Temuan dari hasil penelitian evaluasi sistem manajemen mutu di tingkat
internasional juga tidak jauh berbeda. Meskipun sistem manajemen mutu telah diterapkan
secara luas di rumah sakit, namun tingkat keberlanjutan dan keberhasilannya masih
bervariasi (Francois et al., 2003; Lee et al., 2002; Wardhani et al., 2009). Sebagian rumah
sakit telah berhasil meningkatkan mutunya, namun tidak sedikit yang gagal (Wardhani et
al., 2009). Lee et al. (2002) menyatakan bahwa 98% sistem manajemen mutu rumah sakit
di Amerika telah berhasil meningkatkan kinerja klinis dan melakukan pemeliharaan mutu
secara berkesinambungan, akan tetapi rumah sakit di Korea lebih lambat dalam pencapaian
hal tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang mutu klinis
pelayanan sectio caesarea pada rumah sakit yang mengimplementasikan sistem manajemen
mutu, sehingga dapat digunakan sebagai dasar merumuskan model sistem manajemen mutu
(SMM) untuk peningkatan mutu klinis pelayanan SC.

II. STUDI PUSTAKA


A. Sistem Manajemen Mutu
SMM secara luas didefinisikan sebagai semua prosedur yang secara eksplisit
dirancang untuk memantau, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan. Sebagai contoh,
review secara mendalam, survei kepuasan pasien, penanganan keluhan, audit, dan
penyusunan manual mutu (Wagner et al., 2006). Sedangkan menurut Kunkel et al. (2007)
SMM didefinisikan sebagai mutu kerja yang terorganisasi secara sistematis, yang mencakup
berbagai kegiatan dari perbaikan hingga akreditasi. Dalam pelayanan kesehatan, SMM
dapat digambarkan sebagai suatu proses organisasi yang terstruktur yang melibatkan staf
pada tingkat yang berbeda dalam merencanakan, mengukur, dan menilai perawatan pasien
untuk memberikan pelayanan klinis yang optimal kepada pasien secara berkelanjutan (Li,
1997; Macinati, 2008).
Dari berbagai definisi SMM di atas, dapat disimpulkan bahwa SMM adalah suatu
tatanan (termasuk di dalamnya adalah budaya organisasi) dalam sistem manajemen yang
dirancang dan diterapkan untuk menjamin agar sistem atau proses pelayanan dan proses

6
produksi dapat terus menerus diperbaiki, berjalan sesuai persyaratan mutu dan dapat
memenuhi bahkan melebihi harapan pelanggan (Koentjoro, 2007).
Menurut Gazper (2005), SMM dapat dibedakan menjadi SMM formal dan
informal. SMM formal adalah suatu sistem manajemen mutu yang terikat pada kriteria
formal yang telah ditetapkan oleh lembaga yang menyusun model SMM tersebut. Dengan
mengadopsi suatu SMM formal, maka organisasi dapat dinilai untuk memperoleh
pengakuan dalam bentuk sertifikasi, seperti misalnya MBNQA, ISO (9001-2008), EFQM,
JCI, dan lainnya. Sedangkan dalam SMM informal, setiap manajemen organisasi bebas
untuk menyusun atau membangun model sistem manajemen mutu organisasi, yang berlaku
hanya di organisasi tersebut tanpa perlu terikat pada kriteria-kriteria formal yang telah
ditetapkan oleh suatu lembaga sertifikasi (Gazpersz, 2005).
Meskipun telah diidentifikasi berbagai faktor penting dalam implementasi TQM,
namun aplikasi TQM dalam pelayanan kesehatan masih relatif baru. Penelitian yang
dilakukan oleh Li (1997) merumuskan faktor SMM yang mempengaruhi kinerja
pelayanan rumah sakit meliputi kepemimpinan manajemen puncak, kerjasama organisasi,
kepemimpinan teknologi, pengembangan sumber daya manusia dan analisis informasi. Li
juga menemukan perbedaan antara model SMM untuk industri manufaktur dan pelayanan
kesehatan. Menurutnya pelayanan kesehatan lebih menekankan pada pelatihan staf, job
enlargement, pengembangan kompetensi staf, peran teknologi baik klinis maupun sistem
informasi medis pasien dan analisis informasi untuk peningkatan mutu berkelanjutan.
Sedangkan industri lebih memberikan perhatian pada kegiatan pendukung, misalnya
hubungan dengan pemasok, desain produk dan manajamen proses produksi.
Studi lain yang dilakukan oleh Macinati (2008) menunjukkan bahwa SMM harus
mempunyai ciri unsur-unsur utama tertentu sebagai pembentuk SMM dan core value
organisasi pelayanan kesehatan dalam meningkatkan mutu. Miller et al., (2009)
melakukan studi untuk menilai implementasi SMM di pelayanan kesehatan. Terdapat
delapan faktor yang diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu 1) kelompok empat
faktor strategi meliputi peran kepemimpinan manajemen, peran dokter, fokus pada
pengguna dan investasi pelatihan; dan 2) kelompok empat faktor operasional yang terdiri
dari peran departemen mutu, mutu data/pelaporan, manajemen proses dan hubungan antar
staf.

7
B. Dampak Sistem Manajemen Mutu terhadap Kinerja Rumah Sakit dan Kinerja
Klinis

Di pelayanan kesehatan, studi yang mengevaluasi dampak SMM terhadap kinerja


organisasi masih terbatas. Suatu studi yang dilakukan di rumah sakit Luthanian menemukan
bahwa tingkat kepuasan manajer rumah sakit yang sangat besar terhadap implementasi
SMM. Lebih lanjut, hasil analisis faktor mengenai manfaat pelaksanaan SMM
menunjukkan bahwa SMM: 1) meningkatkan keselamatan dan mutu pekerjaan, 2)
meningkatnya kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan, dan 3) meningkatkan kinerja
organisasi yang meliputi kinerja keuangan, hubungan antara karyawan dan jumlah pasien
(Buciuniene et al., 2006).
Penelitian yang menghubungkan implementasi SMM dengan kinerja yang diukur
dengan indikator klinis masih terbatas. Sebagian besar studi menggunakan persepsi
responden dalam pengukuran kinerjanya (Li, 2003; Kunkel, 2007; Macinati, 2008). Dua
studi yang menggunakan indikator mutu klinis melalui pengukuran objektif hanya
menggunakan satu indikator klinis atau indikator tertentu saja (Maldonado et al., 2001;
Wagner et al., 2006).
Penelitian Macinati (2008) di Italia melibatkan 352 rumah sakit dengan respons
42%. SMM diukur berdasarkan komitmen manajemen puncak terhadap kualitas,
perencanaan strategik mutu, pengembangan karyawan, partisipasi karyawan, data dan
informasi mutu, koordinasi, keberadaan dan peran departemen mutu, manajemen mutu
pemasok, dan manajemen proses. Sedangkan kinerja organsiasi diukur dari kinerja
keuangan, kinerja operasional, kinerja hasil subyektif (kepuasan pasien, orientasi pasar dan
reputasi stakeholder), dan kinerja hasil obyektif (mortality rate dan number of patient
discharged). Hasil studi ini menunjukkan korelasi yang negatif antara kinerja hasil obyektif
dengan komitmen manajemen puncak terhadap strategi mutu dan karakteristik perencanaan
strategik mutu. Korelasi yang positif ditemukan antara kinerja hasil obyektif dengan data
mutu. Hubungan antara kinerja hasil obyektif dengan variabel lainnya tidak signifikan.
Weiner et al. (2006) dalam penelitiannya yang mengukur hubungan antara tingkat
implementasi pengembangan mutu dengan indikator mutu di tingkat organisasi menemukan
hubungan yang signifikan antara cakupan implementasi mutu dengan indikator mutu rumah
sakit secara keseluruhan. Indikator mutu dipilih dari enam indikator AHRQ yang berfokus
pada indikator kematian rawat inap for CABG ( Coronary Artery Bypass Graft Mortality
Rate), Acute Myocardial Infarction Mortality Rate, congestive hearth failure, stoke dan

8
pneumonia. Indikator diukur dengan .dengan menggunakan data sekunder untuk rata-rata
dua tahun (Tahun 1997 dan 1998). Semakin tinggi persentase partisipasi manajer dan
karyawan dalam pengembangan mutu, maka semakin tinggi pula tingkat mutu yang
diperoleh. Namun, semakin banyak keterlibatan unit-unit lain di rumah sakit justru semakin
buruk indikator mutu rumah sakitnya.
Hubungan antara SMM dengan keselamatan pasien merupakan aspek multidimensi
yang memiliki sudut pandang berbeda ketika ditinjau dari sisi pengambil kebijakan, pembeli
jasa, pembayar jasa, peneliti, dan pasien (Miller, et al., 2009). Pengembangan SMM
berfungsi untuk menyediakan data bagi para petugas kesehatan, pengambil kebijakan, dan
pasien tentang aktivitas lembaga pelayanan kesehatan secara sistematik dalam
meningkatkan mutu. SMM diharapkan dapat mendukung aktivitas rutin dokter dan perawat
untuk memberikan pelayanan secara efektif kepada pasien (Kunkel dan Westerling, 2007).
Pendekatan lain yang digunakan untuk mengukur SMM adalah menggunakan skor
dan status akreditasi rumah sakit. Namun demikian belum terbukti pula hubungan antara
skor dan status akreditasi, keselamatan pasien, dan dampaknya bagi kualitas hidup pasien
(Miller et al., 2009). Penelitian Yudani (2002) juga menemukan bahwa, indikator mutu
pelayanan klinis RSU Banyumas sebagian besar mengalami penurunan pasca akreditasi.
Sebuat systematic review yang bertujuan untuk menganalisis dampak sistem akreditasi
berbagai negara menyimpulkan bahwa manfaat akreditasi yang konsisten adalah mendorong
perubahan dan pengembangan profesional. Sedangkan hasil yang tidak konsisten terdapat
pada kategori sikap profesional terhadap akreditasi, dampak organisasional, dampak
finansial, pengukuran mutu dan penilaian program. Review ini menemukan bahwa belum
cukup bukti yang diperoleh untuk menyimpulkan manfaat akreditasi terhadap consumer
view, public disclosure dan surveyor issues (Greenfield dan Braithwaite, 2008). Dalam
literature review tersebut masih memperdebatkan bukti-bukti tentang nilai dan manfaat
akreditasi dalam meningkatkan mutu klinis dan keselamatan pasien (Miller et al., 2005;
Salmon et al., Mazmanian et al., 1993; Barker et al, 2002). Beberapa studi menunjukkan
hubungan yang lemah antara akreditasi atau status sertifikasi dengan indikator mutu
pelayanan (Dean et al.,2005; Borenstein et al., 2004; Chen dan Rathore, 2003.
Selaras dengan hasil review di atas dalam hal manfaat akreditasi terhadap pengukuran
mutu, Sunol et al. (2008) juga menemukan bahwa penilaian eksternal (akreditasi dan ISO)
tidak berpengaruh secara bermakna terhadap output klinis di bangsal kebidanan dan bedah.
Akan tetapi pengaruh ISO terhadap patient-centredness menunjukkan hasil yang
signifikan. Dick (2000) dalam literature review mengemukakan bahwa terdapat hubungan

9
yang konsisten dan positif antara mutu dengan peningkatan kinerja bisnis, baik barang
maupun jasa, walaupun tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara sertifikasi mutu
(ISO 9000) dengan peningkatan kinerja.
Berbagai studi yang telah diuraikan di atas memberikan gambaran bahwa sistem
manajemen dibentuk dari unsur-unsur atau determinan yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya dalam mempengaruhi kinerja organisasi. Selain mempengaruhi kinerja
organisasi, terjadi juga hubungan diantara unsur-unsur pembentuk SMM.

C. Bedah Sesar (Sectio Caesarea)


Bedah sesar adalah cara melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen/
laparotomi dan dinding uterus. Histerektomi (Cunningham et al., 2001). Bedah sesar
digunakan apabila diyakini bahwa penundaan persalinan akan menimbulkan bahaya bagi
janin, ibu atau keduanya dan persalinan pervaginam tidak mungkin dilakukan secara aman.
Angka bedah sesar terus meningkat dari waktu ke waktu dengan insidensi 3%
hingga 4% pada 15 tahun yang lampau hingga 10%-15% pada saat ini. Angka terakhir
mungkin bisa diterima dan benar. Bukan saja pembedahan menjadi lebih aman bagi ibu,
tetapi juga jumlah bayi yang cedera akibat partus lama dan pembedahan traumatic vagina
yang berkurang. Di samping itu, alasan kualitas kehidupan dan pengembangan intelektual
pada bayi telah memperluas indikasi bedah sesar.
Setiap wanita hamil harus diberikan informasi yang benar berdasarkan bukti ilmiah
yang mutakhir (evidence-based) mengenai bedah sesar terutama berkaitan dengan lima hal,
yaitu indikasi prosedur, risiko dan keuntungan maupun implikasi untuk masa depan
kehamilannya. Permintaan dan keinginan ibu maupun suami bukan merupakan indikasi
untuk bedah sesar. Indikasi untuk dilakukannya bedah sesar adalah:

1. Proses persalinan normal yang lama atau kegagalan proses persalinan normal
(distosia).
2. Fetal distress/ fetal compromise dimana janin mengalami distress karena tidak ada
kuatnya suplai oksigen/ hipoksia melalui sirkulasi janin maternal
3. Pre-eklampsia dan eklamsia
4. Sang ibu menderita herpes genitalis
5. Kegagalan persalinan dengan induksi
6. Kegagalan persalinan dengan alat bantu
7. Masalah plasenta

10
8. Ibu menderita hipertensi
9. Riwayat insisi pada uterus
Bedah sesar elektif pada kehamilan tanpa komplikasi sebenarnya tidak dianjurkan.
Namun demikian pandangan ini mulai berubah pada akhir-akhir ini karena adanya
pertimbangan bahwa bedah sesar memberI keuntungan bagi ibu dan bayi. Keseimbangan
manfaat antara bedah sesar dan kelahiran vaginal selalu diperdebatkan, walaupun tidak ada
bukti sempurna yang menunjukka bahwa kelahiran vagina selalu lebih baik (Peterson-
Brown, 1998).
Efek Bedah Sesar dibanding dengan Melahirkan Vaginal untuk Ibu dan Bayi
Bertambah dengan Bedah Tidak Ada Bedanya Berkurang dengan Bedah
Sesar Sesar
 Sakit perut  Pendarahan  Nyeri perineal
 Luka kandung kemih  Infeksi  Inkontinensia urin
 Luka ureter  Luka saluran kelamin  Prolapsed uterovaginal
 Lanjut perlu ahli bedah  Sembelit
 Perawatan intensif  Punggung sakit
 Penyakit Thromboemboli  Disparenia
 Lama tinggal di RS  Postnatal depression
 Masuk ulang ke RS  Mortalis Neonatal
 Kematian ibu  Pendarahan intraknial
 Kelahiran mati pada  Cedera ple kono
janin berikutnya brakhialis
 Plasenta Previa  Cerebral palsy
 Tidak mendapat anak
 Neonatal Respiratory
Morbidity

Sumber data: NICE, 2004

Ibu hamil harus diberikan informasi yang komplit dan tidak bias, antara lain dengan
menjelaskan prosedur bedah sesar secara benar, termasuk kemungkinan risiko yang dapat
terjadi serta berbagai implikasi medik yang dapat saja terjadi selama prosedur yang
dilakukan. Informasi yang diberikan haruslah dapat mebantu ibu hamil dalam memilih jenis
tindakan secara rasional. Komite Etik (the Committee for Ethical og Human Reproduction
and Women’s Helath of FIGO states) tahun 1999 melaporkan bahwa melakukan bedah
sesar tanpa alasan indikasi medis menurut etika tidak dibenarkan (Lancet. 256, 2000)
Kira-kira 40 tahun yang lalu mendokumentasikan risiko rupture rahim saat tindakan
bedah sesar di antara 2000 wanita dengan bekas luka dari bedah sesar hanya lebih 1%, dan
lebih dari ketiga janin akan meninggal. Kemungkinan terjadinya rupture rahim akibat
persalinan per vagina pada ibu yang pernah operasi sesar memang pernah diteliti. Itulah

11
sebabnya ada semacam ungkapan bahwa sekali bedah sesar, selalu aka nada bedah sesar
selanjutnya (Michael & Greene., 2001).
D. Medical Error
1. Definisi dan Dampak Medical Error

Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai The


failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the
use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). 7
Definisi tersebut menggambarkan bahwa setiap tindakan medik yang dilaksanakan
tetapi tidak sesuai dengan rencana atau prosedur sudah dianggap sebagai medical error.
Di sisi lain melakukan upaya medik melalui prosedur yang keliru juga dianggap sebagai
medical error. Sedangkan menurut Bhasale et al (1998) medical error didefinisikan
sebagai “an unintended event….that could have harmed or did harm a patient.”7
Data pasti mengenai medical error relatif sulit diperoleh, karena sebagian tidak
dikenali, dianggap biasa (bukan suatu event), atau terjadi tetapi tidak dicatat. Salah satu
studi yang cukup representatif adalah yang dilaporkan oleh Brennan et al (1991)
terhadap medical record dari 30.121 pasien yang masuk ke 51 rumah sakit di New York
tahun 1984. Laporan tersebut menunjukkan bahwa efek samping terjadi pada 3,7%
pasien, yang 69% di antaranya terjadi akibat medical error. Angka yang jauh lebih
besar dilaporkan oleh Wilson et al (1995) di Australia. Dari 14.179 catatan medik
pasien yang berasal dari 28 rumah sakit di New South Wales, medical error terjadi pada
16,6% pasien, yang mengakibatkan terjadinya kecacatan tetap (permanent dissability)
pada 13,7% pasien dan kematian.7
Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya
reversible hingga yang berat berupa kecatatan atau bahkan kematian. Sebagian
penderita terpaksa harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization)
yang akhirnya berdampak pada biaya perawatan yang lebih besar. Classen et al
melaporkan bahwa untuk mengatasi masalah medical error pada 2,4% pasien yang
masuk rumah sakit selain diperlukan biaya ekstra sebesar US$ 2262 (Rp 23 juta) per
pasien juga diperlukan perpanjangan hari rawat rata-rata 1,9 hari.(Kohn et al., 2000)
Hasil yang hampir sama juga dilaporkan melalui the Harvard study of adverse drug
events. Dalam temuannya terbukti bahwa biaya yang harus dikeluarkan per pasien
akibat adanya medical error adalah sekitar US $2595 (lebih dari Rp 25 juta) dengan
perpanjangan masa rawat di rumah sakit rata-rata 2,2 hari. Namun demikian jika

12
dilakukan analisis lebih rinci maka untuk kasus-kasus yang sifatnya bisa dicegah
(preventable) biaya ekstra yang harus dikeluarkan hampir dua kalinya, yaitu US $4685
(hampir 50 juta) sedangkan perpanjangan masa rawat inap rata-rata 4,5 hari. Perkiraan
lebih lanjut menunjukkan bahwa untuk rumah sakit pendidikan dengan 700 tempat tidur
maka rata-rata biaya yang harus dikeluarkan per tahun untuk mengatasi medical error
adalah sekitar US $5,6 juta (sekitar Rp 56 miliyar).

2. Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial banyak terjadi diseluruh dunia dengan kejadian terbanyak di
Negara miskin dan Negara yang sedang berkembang. Menurut Razavi et al. (2005)
WHO melalui World Alliance for Patient Safety 2005-2006 melaporkan 2%-5% dari
prosedur bedah tiap tahun terjadi infeksi luka operasi. Kejadian ini lebih tinggi
ditemukan di Negara berkembang yaitu Bolivia 12% dan 19% di Republik Tanzania.
Penelitian di Iran, pasien yang mengalami kejadian Infeksi Luka Operasi Abdomen
mengalami kejadi infeksi luka operasi sebesar 17,4%.
Roy and Pearl dalam Helwaldt (1998) mengemukakan bahwa infeksi luka
operasi menempati urutan ketiga terbanyak dalam infeksi nosokomial yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan biaya rumah sakit. Menurut
Chong and Sawyer (2002) bahwa data infeksi luka operasi terhitung 14% dari semua
kejadian yang tidak diharapkan pada pasien yang dirawat di rumah sakit yang
menyebabkan peningkatan lama hari rawat rata-rata 7,3 hari dan menyebabkan
peningkatan biaya 42% atau dapat diperkirakan menjadi $ 3,152 per infeksi luka operasi
berdasarkan penenlitian sebelumnya pada tahun 1992.
Infeksi nosokomial bisa bersumber dari petugas kesehatan, pasien yang lain, alat
dan bahan yang digunakan untuk pengobatan maupun dari lingkungan rumah sakit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial antara lain, faktor
internal (seperti usia, penggunaan obat, penyakit penyerta, malnutrisi, kolonisasi flora
normal tubuh, perilaku personal,dan lain-lain) serta faktor eksternal (seperti banyaknya
petugas kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, banyaknya prosedur invasif,
lama tinggal di rumah sakit, lingkungan yang terkontaminasi).

3. Infeksi Luka Operasi


Infeksi luka operasi adalah infeksi pada luka operasi (tempat insisi) yang di
dapatkan selama pasien dirawat di rumah sakit atau sampai 30 hari setelah dilakukan

13
pembedahan atau infeksi organ/ ruang sampai dengan 1 tahun setelah dilakukan
pemasangan implant. (Mangram et al., 1999)

Tietjen et al. (2004) membagi faktor risiko terjadinya SSI secara umum kedalam
dua kelompok, yaitu:

a. Faktor Pasien meliputi : 1) Status nutrisi, buruk, 2) Diabetes, tidak terkontrol, 3)


Perokok atau pengguna tembakau lainnya, 4) Obesitas, 5) Infeksi yang
bersamaan di bagian tubuh lain, 6) Kolonasi dengan mikroorganisme, 7)
perubahan respon kekebalan tubuh, 8) Lamanya rawat inap pra bedah
b. Faktor Pembedahan meliputi: 1) Pencukuran pra bedah, 2) Persiapan kulit pra
bedah, 3) Lamanya pembedahan, 4) Profilaksis antimicrobial, 5) Ventilasi ruang
bedah, 6) Pemrosesan instrument, 7) Bahan asing di tempat pembedahaan, 8)
Pengaliran bedah, 9) Teknik bedah

Menurut Depkes (2001), Infeksi luka operasi dapat diklasifikasikan sebagai


berikut:

1) Infeksi luka permukaan/ luka insisi atau superficial incisional yaitu infeksi
yang terjadi dalam 30 hari asca bedah oada luka yang mengenai jaringan
kulit dan jaringan subcutan.
2) Infeksi luka dalam (deep wound infection), adalah infeksi luka operasi yang
terjadi setelah 30 hari sampai 1 tahun pasca bedah (bila ada implant) yang
mengenai struktur di bawah luka yang dibuat atau terbuka pada saat operasi.
Infeksi ini mengenai struktur di bawah fascia.

III. METOD E PENELITIAN


Penelitian yang dilaksanakan merupakan langkah awal untuk perumusan model
sistem manajemen mutu untuk peningkatan mutu klinis pelayanan SC di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Secara skematis metode pelaksanaan penelitian dapat dilihat ada Gambar
berikut:

14
Tahap 1
Pengukuran Indikat or Klinis Pelayanan SC

Pasien Masuk RS
Respon time IGD
Ketepatan diagnosa
Respon time emergensi SC

Pre Operasi
Prosedur persiapan operasi
Antibiotik profilaksis

Durante Operasi Tahap 4


Prosedur operasi
Anastesi Tahap 2
Perdarahan Perumusan Model SMM untuk peningkatan mutu klinis SC
Transfusi darah Mutu klinis Pelayanan Sectio Caesarea

Post Operasi
Apgar score bayi
Kembali ke ruang operasi tanpa direncanakan
Infeksi Luka Operasi

Tahap 3
Penilaian Implementasi SMM

Input
Kepemimpinan managerial
Kepemimpinan Klinik (Clinical Leadership) Output SMM
Tanggung jawab manajemen Evaluasi dan peningkatan mutu
Sumber Daya Manusia Proses Pengukuran
Pendidikan dan Pelatihan Realisasi Produk Analisis
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan Peningkatan
Sumber Daya Sarana
Bangunan, ruang kerja dan fasilitas
Peralatan medik
obat

15
Keterangan :

Diteliti pada penelitian hibah doktor

Tidak diteliti pada penelitian hibah doktor, diteliti pada penelitian disertasi

IV. RANCANGAN (DESIGN) PENELITIAN

1. Rancang Bangun
Desain penelitian yang digunakan adalah prospektif observasional yaitu melakukan
observasi langsung kepada pasien yang menjalani sectio caesarean. Observasi
dilakukan pada saat diputuskan operasi sampai dengan 30 hari pasca operasi.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di RSUP dr. Sardjito di Provinsi Yogyakarta (DIY). RSUP
Dr.Sarjito yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah rumah sakit pendidikan milik
pemerintah kelas A, yang sudah menerapkan SMM dengan pengakuan dari KARS
melalui akreditasi 16 pelayanan dan ISO 9001-2008. Pemilihan rumah sakit dilakukan
secara purposive sampling, menggunakan intensity sampling. RSUP Sardjito tersebut
telah lama terakreditasi oleh KARS dan telah menjalani resertifikasi ISO. Dengan
demikian, dapat diasumsikan bahwa intensitas penerapan SMM tinggi di rumah sakit
tersebut. Dalam kaitannya dengan indikator klinis, rumah sakit juga telah menetapkan
dan menerapkan pengukuran indikator klinis. Selain itu, rumah sakit pendidikan dipilih
oleh karena dengan mengemban fungsi pendidikan bagi dokter, rumah sakit seharusnya
mempunyai minat yang lebih tinggi dalam menyediakan pelayanan yang sesuai standar.
Selain itu peningkatan jumlah kasus operasi secar juga semakin meningkat dari tahun ke
tahun.

3. Populasi, sampel dan subyek penelitian


Subyek penelitian adalah semua pasien yang menjalani sectio caesarea baik yang
emergensi maupun elektif. Dengan kriteria inklusi yaitu pasien dengan kadar gula
sewaktu normal (<200 mg/dl), pasien bersedia menjadi responden dan menandatangani
informed consent dan dapat dikontrol/dikunjungi hingga 30 hari pasca operasi.
Besar sampel dihitung dengan rumus:

16
n = (1,96)2(0,5)(0,5) = 96 orang pasien
(0,1)2

4. Variabel dan Definisi Operasional Variabel


Mutu klinis pelayanan SC adalah hasil kerja yang dicapai dalam pemberian
pelayanan SC yang diukur dengan indikator klinis. Dari sejumlah indikator klinis yang
tersedia, kemudian dipilih indikator klinis dengan pertimbangan sebagai berikut: (1)
indikator yang menggambarkan kontinuitas pelayanan sejak pasien masuk rumah sakit
hingga keluar; (2) indikator yang berbasis pada bukti yang kuat; (3) indikator yang
mencerminkan dimensi mutu prioritas; (4) indikator yang digunakan di berbagai negara,
termasuk SPM rumah sakit di Indonesia; (4) Indikator proses dan outcome pelayanan yang
mengukur kinerja klinis dan keselamatan pasien; serta (5) indikator yang sumber datanya
tersedia secara valid dan reliabel. Indikator klinis yang dijabarkan berikut ini merupakan
indikator tentatif, yang selanjutnya akan disepakati dalam proses penelitian.
Tabel. Definisi Operasional Variabel dan Cara Pengukuran
Indikator Klinis Pelayanan Definisi operasional Skala Kriteria hasil
Sectio Caesarea Pengukuran pengukuran
1. Respon time IGD Jarak waktu (menit) antara Nominal ≤ 5 menit = Baik
pasien masuk di IGD sampai > 5 menit = Tdk baik
memperoleh pelayanan (SPM 2008)
2. Ketepatan indikasi SC Keputusan section caesarea Nominal Baik ; jika sesuai
berdasarkan indikasi medis indikasi medis
Tidak baik : jika tidak
sesuai indikasi medis
3. Respon time emergency Waktu sejak pasien Nominal < 60 = baik
SC diputuskan untuk dilakukan > 60’ = tidak baik
tindakan SC sampai dilakukan
irisan pertama operasi

4. Pemberian antibiotika Pemberian antibiotika Nominal ≤ 1 jam = baik


profilaksi pada SC profilaksis paling lama 1 jam > 1 jam = tdk baik
elektif dan cito sebelum tindakan operasi,
kecuali emergency
5. Jenis anaestesi pada SC Pemberian anastesi pada Nominal 1= anastesi general
wanita yang akan sc 2 = anastesi regional
6. Transfusi darah Pemberian transfusi darah Nominal 1 = tidak mendapat
pada ibu saat operasi maupun transfusi darah
setelah operasi 2 = mendapat
transfusi darah
7. Kesejahteraan bayi Skoring/penilaian bayi baru Ordinal Normal : skor Apgar
diukur dengan Apgar lahir berdasarkan frekuensi 8-10
score bayi jantung, usaha bernafas, reflex Asfiksia ringan : skor
dan warna kulit yang dihitung apgar 4-7

17
untuk nilai apgar 1 menit Asfiksia berat : skor
pertama dan nilai apgar 5 apgar < 3
menit.

8. Kembali ke kamar Pasien yang kembali ke ruang Nominal 1 = tidak kembali ke


operasi tanpa operasi tanpa direncanakan ruang operasi
direncanakan pada untuk prosedur lebih lanjut 2 = kembali ke ruang
masa perawatan yang operasi
pada masa perawatan yang
sama
sama
.
9. Infeksi Luka Operasi Infeksi pada luka operasi yang Nominal Infeksi yang timbul
(ILO) terjadi sampai dengan 30 hari pada saat setelah
pasca operasi dilakukan operasi
sampai dengan 30
hari pasca bedah
dan infeksi yang
terjadi hanya meliputi
kulit dan jaringan
subkutan pada luka
insisi disertai dengan
tanda-tanda klinis
infeksi luka operasi

5. Instrumen Penelitian
1) Ceklis dan pedoman observasi
Ceklis dan pedoman observasi digunakan untuk mencatat data yang diperlukan
untuk mengukur indikator klinis pelayanan SC, mulai dari pasien masuk hingga 30
hari setelah dipulangkan dari rumah sakit.
2) Data rekam medik pasien untuk melengkapi identitas pasien dan hasil pemeriksaan
penunjang.

6. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui observasi terstruktur dengan
menggunakan ceklis dan formulir observasi yang telah diuji coba sebelumnya sebagai
pedoman observasi.
1) Observasi dilakukan oleh asisten peneliti yang terlatih berlatar belakang profesi
perawat, mulai dari pasien masuk rumah sakit baik melalui IGD maupun melalui
rawat inap, persiapan pre operasi, operasi dan pasca operasi.

18
2) Pengamatan berikutnya adalah pengamatan pre operasi. Pengamatan pre operasi
meliputi prosedur persiapan pre operasi dan pemberian antibiotik profilaksis.
3) Tahap berikutnya adalah observasi durante operasi. Pengamatan oleh observer
meliputi tindakan prosedur operasi, pemberian anastesi, perdarahan dan transfusi
darah, apgar score bayi. Hasil pengamatan kemudian dimasukkan dalam lembar
ceklis melanjutkan lembar ceklis pasien sebelum operasi.
4) Pada saat selesai operasi, diukur juga kejadian kembali ke kamar operasi tanpa
direncanakan. Selanjutnya dilakukan pengamatan pasca operasi di ruang perawatan
pada hari ketiga pasca operasi. Pengamatan meliputi prosedur penanganan luka
pasca pasien SC dan sekaligus mengamati hasil operasi yaitu infeksi luka operasi.
Hasil pengamatan dicatat dalam lembar ceklis pasien melanjutkan lembar ceklis dari
kamar operasi serta mendokumentasikan infeksi luka operasi (dokumentasi foto)
atas seijin pasien (verbal consent). Dokumentasi foto hanya menggambarkan luka
pada bekas jahitan operasi saja untuk menetapkan kejadian infeksi luka operasi pada
saat pasien dipulangkan.
5) Pengamatan selanjutnya dilakukan di poliklinik kebidanan dan kandungan pada saat
pasien kontrol hari ke 7 dan dilanjutkan dengan kunjungan rumah pada hari ke 30.
Tujuan observasi baik pada hari ke-7 dan ke-30 untuk mengidentifikasi kejadian
infeksi luka operasi. Hasil pengamatan dicatat dalam lembar ceklis, melanjutkan
lembar ceklis dari ruang perawatan dan mendokumentasikan infeksi luka operasi
dengan seijin pasien.
6) Selama observasi berlangsung di rumah sakit, peneliti akan melakukan monitoring
ke asisten peneliti untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi di lapangan serta
merekap data yang masuk.

7. Cara Analisis Data


Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis seperti berikut ini.
Sebelum analisis dilakukan, seluruh form pengumpulan data (ceklis dan pedoman
observasi) akan dicek kelengkapan isinyanya. Selanjutnya data akan dientri dengan
perangkat lunak komputasi, dan dilakukan data cleaning serta analisis distribusi
frekuensi. Analisis indikator klinis yang utama adalah penghitungan rate-based yang
dinyatakan dalam persentase, dengan menunjukkan berapa persentase yang sesuai
standar dan melebihi standar di rumah sakit tempat penelitian.

19
8. Etika Penelitian
Penelitian ini melibatkan observasi pasien dengan tujuan untuk mendokumentasikan
kegiatan yang dilakukan dalam proses pelayanan SC tanpa melakukan intervensi tertentu.
Penelitian akan dilakukan dengan memperhatikan kaidah etika penelitian terhadap subyek
penelitian pasien, tenaga kesehatan yang diwawancara serta rumah sakit tempat penelitian.
Sebelum penelitian dilakukan, akan ditembuh proses untuk memperoleh persetujuan etik
dari komisi etik dan penelitian Fakultas Kedokteran UGM, serta persetujuan operasional
dari pihak rumah sakit yang diteliti.
Pengumpulan data berupa wawancara dengan tenaga kesehatan atau narasumber
akan diawali dengan proses verbal consent dengan cara pemberian informasi mengenai
maksud dan tujuan penelitian ini secara umum. Responden atau narasumber yang terlibat
diminta kesediaannya terlebih dulu dan membuat persetujuan tertulis (informed consent),
dan meminta ijin sebelum mendokumentasikan infeksi luka operasi (verbal consent).
Peneliti akan menjunjung tinggi privasi responden, azas kerahasiaan (confidentiality)
terhadap data responden mulai saat pengumpulan data hingga penyajian dalam bentuk
tertulis maupun verbal, kepemilikan dan akses data (data access and ownership) dengan
memanfaatkan data penelitian semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian saja dan
juga menerapkan asas anonymity hingga pada tahap mengkomunikasikan hasil penelitian.

9. Tahapan Penelitian

Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan diuraikan sebagai berikut:


a. Tahap Persiapan
1) Peneliti mengajukan surat ethical clearance dan permohonan ijin pengambilan
data kepada pihak rumah sakit tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan,
peneliti akan melakukan koordinasi dan konfirmasi ulang ke pihak rumah sakit
tentang prosedur penelitian serta waktu pengambilan data.
2) Memahami critical pathway atau alur pelayanan SC di rumah sakit dan
memastikan unit pelayanan yang akan diteliti.
3) Peneliti mengkomunikasikan indikator klinis yang akan diukur dengan pihak
rumah sakit dan memfinalkan pengukuran indikator klinis yang akan digunakan.
4) Peneliti mempersiapkan tim asisten pengumpulan data yang berlatarbelakang
profesi kesehatan. Untuk memastikan kesamaan persepsi dan menjamin validitas
dan reliabilitas data, peneliti mengadakan orientasi terhadap tim pengambilan data

20
tentang cara pengambilan data beserta pengisian seluruh formulir penelitian.
Peneliti akan memastikan bahwa setiap anggota tim memahami operasional tata
cara pengumpulan data secara rinci. Dalam proses pelatihan, peneliti memberi
kesempatan kepada tim asisten untuk mencoba melakukan pengumpulan data di
rumah sakit lokasi penelitian, sehingga tim tersebut benar-benar memahami
kegiatan pengumpulan data yang dilakukan.

b. Tahap Pelaksanaan
1) Tim mengidentifikasi critical pathway, standar operasional prosedur atau alur
pelayanan untuk pelayanan SC.
2) Pengamatan dimulai saat pasien masuk rumah sakit dan diputuskan untuk
tindakan SC. Pasien yang dijadikan subyek penelitian diberikan penjelasan dan
membuat persetujuan tertulis apabila bersedia menjadi responden (informed
consent).
3) Pengamatan pre operasi dilakukan di ruang bersalin atau di IGD atau di rawat inap
kebidanan. Adapun yang diamati adalah berbagai tindakan prosedur pre-operasi
sesuai yang tertera pada ceklis dan dicatat pada lembar ceklis.
4) Pengamatan berikutnya adalah pengamatan saat operasi. Pengamatan oleh
observer meliputi tindakan prosedur sebelum operasi, kelengkapan APD, jam
operasi, jam selesai operasi, jam bayi dilahirkan. Hasil pengamatan dimasukkan
pada lembar checklist meneruskan lembar checklist dari ruang persiapan
sebelumnya.
5) Selanjutnya dilakukan pengamatan pasca operasi di ruang rawat inap kebidanan
pada hari ketiga pasca operasi. Pengamatan meliputi cuci tangan sebelum merawat
luka, sterilisasi alat, pemakaian APD dan juga mengamati hasil operasi berupa
infeksi luka operasi. Hasil pengamatan dimasukkan pada lembar ceklis serta
mendokumentasikan infeksi luka operasi dengan seijin pasien.
6) Pengamatan selanjutnya dilakukan di poliklinik kebidanan dan kandungan saat
pasien datang kontrol. Hasil pengamatatan dicatat dalam ceklis. Apabila pasien
tidak kembali ke poliklinik, maka tim peneliti akan melakukan kunjungan ke
rumah pasien.
7) Selain itu juga dilakukan penelusuran dokumen atau wawancara dengan informan
untuk melengkapi gambaran umum lokasi penelitian, kinerja rumah sakit,
pedoman dan prosedur mutu serta kinerja klinis unit pelayanan rumah sakit.

21
8) Peneliti melakukan pengendalian mutu setiap proses pengumpulan data.
Rekapitulasi data, kontrol kelengkapan data serta proses analisis data dilakukan
oleh peneliti.

V. HASIL YANG DIHARAPKAN


Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya gambaran tentang mutu
klinis pelayanan sectio caesarea pada rumah sakit yang telah mengimplemtasikan
sistem manajemen mutu sebagai dasar untuk mengembangkan model sistem
manajemen mutu untuk peningkatan kinerja klinis pelayanan sectio caesarea. Hasil
penelitian akan dibuat dalam naskah publikasi dan direncanakan untuk dimasukkan ke
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.

VI. JADWAL DAN INDIKATOR KINERJA


No Kegiatan Waktu Pelaksanaan Indikator kerja
1 Melakukan observasi awal untuk April 2011 Tersusunnya
memahami critical pathway atau alur flowchart pelayanan
pelayanan SC di rumah sakit dan SC dan kepastian
memastikan unit pelayanan yang akan unit pelayanan yang
diteliti. akan diteliti
2 Mempersiapkan tim asisten pengumpul April 2011 Terbentuknya tim
data dan melakukan pelatihan asisten pengumpul
penggunaan instrumen penelitian data dan adanya
kesepahaman
tentang instrument
penelitian
3 Orientasi lapangan dan uji coba April 2011 Kelayakan instrumen
instrumen penelitian penelitian
4 Pelaksanaan pengumpulan data Mei-Agustus 2011 Diperoleh data hasil
penelitian tentang
mutu klinis
pelayanan SC
5 Melakukan analisis data, pengolahan September-oktober Tersusunnya laporan
data dan penyusunan laporan penelitian 2011 hasil penelitian dan
dan publikasi naskah publikasi

22
VII. PERSONALIA
Nama Lengkap Posisi Golongan/ Jabatan Bidang Alokasi
dan Gelar dalam Pangkat/ struktural/ Keahlian waktu
kegiatan NIP fungsional jam/minggu
Fridawaty Rivai, Peneliti III d/ Lektor Manaje 12 jam/
SKM.,M.Kes 197310161997 men minggu
022001 Rumah
Sakit
Raidatussakinah Assisten 12 jam/
M. Nur, SKM peneliti minggu
Happy Indah Pengumpul 12 jam/
Kusumawati data minggu
Ayu Erika Pengumpul 12 jam/
Amandari S data minggu
Ayu Erika Pengumpul 12 jam/
Amandari S data minggu
Agnesya Hendra Pengumpul 12 jam/
data minggu
Eriyono Budi Pengumpul 12 jam/
Wiyono data minggu

VIII. PEMBIAYAAN

Rekapitulasi usulan pembiayaan disajikan pada table berikut, sedangkan justifikasi dan
rincian usulan disajikan pada lampiran 2

No Uraian Jumlah Usulan %


1 Gaji/upah Rp - 0.00
2 Bahan habis/perangkat penunjang Rp. 22.710.000 50.00
3 Perjalanan Rp. 11.330.000 24.90
4 Pengolahan data, Laporan, Publikasi, Rp. 11. 375.000 25.00
Seminar,dll
Total Rp. 45.500.000 99.90

23
DAFTAR PUSTAKA

ACHS. (1997) A Working Guide for The Implementation of a Clinical Indicator Program.
The Australian Council on Healthcare Standards

ACHS, (2001) Clinical Indicator Users Manual 2001. The Australian Council on
Healthcare Standards

ACHS, (2004). Clinical Indicator Summary Guide 2004. The Australian Council on
Healthcare Standards

Brennan, T.A., Leape, LL., Laird, NM., Hebert, L., Localio, AR., and Lawthers, AG. 1991.
Incidence of Adverse Events and Neglicence in Hospitalized Patients N. Engk. J. Med. 324:
370-376.

Braithwaite, J., Westbrook, J., Pawsey, M., Greenfield, D., Naylor, J., Iedema, R.,
Runciman, B., Redman, S., Jorm, C., Robinson, M., Nathan, S., & Gibberd, R., 2006. A
Prospective, Multi-Method, Multi-Disciplinary, Multi-Level, Collaborative, Social-
Organizational Design For Researching Health Sector Accreditation. BMC Health Services
Research, [Online]. 6, Pp. 113-22.

Brook, H. R., McGlynn E. & Schekelle, P. G., (2000) Defining And Measuring Quality Of
Care: A Perspective From US Researchers. International Journal For Quality In Health
Care, [Online]. 12 (4), Pp. 281-95.

Buciuniene, I., Malciankina, S., Lydeka, Z., & Kazlauskaite, R., (2006) Managerial Attitude
To The Implementation Of Quality Management System In Lithuanian Support Treatment
And Nursing Hospitals. BMC Health Services Research, [Online]. 6, Pp. 120-29.

Francois, P., Peyrin, J.-C., Touboul, M., Labarere, J., Reverdy, T., & Vinck, D., 2003.
Evaluating Implementation Of Quality Management Systems In A Teaching Hospital’s
Clinical Departments. International Journal For Quality In Health Care, [Online]. 15 (1),
Pp. 47-55.

Gaspersz, V., (2005) ISO 9001: 2000 and continual quality improvement. 5th ed. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Koentjoro, T., (2007). Regulasi Kesehatan Di Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Kunkel, S., Rosenqvist, U., & Westerling, R., (2007). The Structure Of Quality System Is
Important To The Process And Outcome, An Empirical Study Of 386 Hospital Departments
In Sweden. BMC Health Services Research, [Online]. 7, pp. 104-11.

Kohn, L. T., Corrigan J. M. & Donaldson M., 2000. To err is human: building a safer
health system. Washington DC: National Academy Press.

Lee, S., Choi, K., Kang, H., Cho, W., & Chae, Y. M., (2002) Assessing The Factors
Influencing Continuous Quality Improvement Implementation: Experience In Korean
Hospitals. International Journal For Quality In Health Care, [Online]. 14 (5), Pp. 383-91.

24
Li, L., (1997) Relationships Between Determinants Of Hospital Quality Management And
Service Quality Performance – A Path Analytic Model. Omega, The International Journal
Of Management Science, [Online]. 25 (5), Pp. 535-45.

Macinati, M. S., (2008). The Relationship Between Quality Management Systems and
Organizational Performance In The Italian National Health Service. Jounal Of Health
Policy, [Online]. 85, Pp.228-41.

Miller, W.J., Sumner, A. T., & Deane, R. H., (2009) Assessment Of Quality Management
Practices Within The Healthcare Industry. American Journal Of Economics And Business
Administration, [Online]. 1 (2), Pp. 105-13.

National Nosocomial Infection Surveilance (NNIS) System, 1991. Nosocomial Infection


Rates for Interhospital Comparison: Limitations and Possible Solutions. Infection Control
and Hospital Epidemiology, 12 (10): 609-619.

PMPK, 2003. Final Report. Accreditation Of Health Care Organization, Health


Professional, and Higher Education Institution For Health Personnel Central Java Province
– The World Bank. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan. Fakultas Kedokteran UGM.

Wardhani, V., Utarini, A., Dijk, J. P. V., Post, D., & Groothoff, J. W., (2009) Determinants
Of Quality Management System Implementation In Hospitals. Health Policy, [Online]. 89,
Pp. 239-51.

Wagner, C., Gulácsi, L., Takacs, E. & Outinen, M., (2006b). The Implementation Of
Quality Management Systems In Hospitals: A Comparison Between Three Countries. BMC
Health Service Research, [Online]. 6, Pp. 50-60.

Weiner, B. J., Alexander, J. A., Shortell, S. M., Baker, L. C., Becker, M., & Geppert, J. J.,
(2006) Quality Improvement Implementation And Hospital Performance On Quality
Indicators. Health Services Research, [Online]. 41 (2), Pp. 307-34.

Wingart, S.N., Wilson, RMcL., Gibberd, RW., and Harrison, B. 2000. Epidemiology of
Medical Error: British Medical Journal. 320: 774-777.

25
Lampiran 1

BIODATA PENGUSUL PENELITIAN DISERTASI

1. IDENTITAS DIRI

1.1 Nama Lengkap (dengan gelar) Fridawaty Rivai, SKM., M.Kes (P)
1.2 Jabatan Fungsional Lektor
1.3 NIP 19731016199702 2 001
1.4 Tempat dan Tanggal Lahir Makassar, 16 Oktober 1973
1.5 Alamat Rumah Jl. Sunu Kompleks Unhas Blok MX No.5,
Makassar
1.6 Nomor Telepon/Fax 0411-437027
1.7 Nomor HP 081355250628
1.8 Alamat Kantor FKM Unhas, Jln. Perintis Kemerdekaan km.10
Tamalanrea, Makassar
1.9 Nomor Telepon/Fax 0411-588379
1.10 Alamat e-mail fridarivai@yahoo.com

2. RIWAYAT PENDIDIKAN
2.1. Program: S1 S2 S3

2.2. Nama PT Universitas Universitas Airlangga Universitas Gadjah Mada


Hasanuddin
2.3. Bidang Ilmu Kesehatan Manajemen Rumah Kesehatan Masyarakat
Masyarakat Sakit
2.4. Tahun Masuk 1992 1998 2007

2.5. Tahun Lulus 1996 2000 -

2.6. Judul Skripsi/ Analisis Biaya Analisis Faktor Studi kasus Hubungan
Tesis Satuan Operasi Dominan yang Sistem Manajemen Mutu
Histeroktomi di Mmempengaruhi kinerja dan Kinerja Klinis
RS Wahidin perawat dalam dengan Fokus pada
Sudirohusodo melaksanakan asuhan Pelayanan Sectio
Makassar keperawatan di Ruang Caesarea di RS Dr.
Rawat Inap RS Haji Sardjito
Surabaya
2.7. Nama Prof. Dr.Amran Dr. Widodo, Prof. dr. Adi Utarini,
Pembimbing/ Razak, SE J.Pudjirahadjo, MS, MPH, MSc., Ph.D
Promotor MPH, Dr.PH

26
3. PENGALAMAN PENELITIAN (bukan skripsi maupun tesis)

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan


Sumber Jml (Juta
Rp)
1
2010 Analisis kepuasan pasien rawat inap dan RS Jalan Pemda Kab. 50
di RS Sanggata, Kabupaten Kutai Timur. Provinsi Kutai Timur
Kalimantan Timur.

1
2007 Analisis Unit cost pelayanan Puskesmas, Ability Pemda Kab. 50
To Pay dan Willingness to pay di Kabupaten Kutai Kutai Timur
Timur, Kalimantan Timur

2
2007 Analisis kebutuhan dan harapan masyarakat Badan 75
terhadap pelayanan kesehatan untuk Penelitian dan
pengembangan Model Puskesmasmas Perkotaan Pengembangan
dan Pedesaan Models. Collaboration with Daerah Prov.
Balitbangda South Sulawesi Province on Sulawesi
2007.Dinamika Penularan Malaria Di Daerah Selatan
Berbatasan

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hokum. Dan apabila dikemudian hari ternyata
dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menenrikma risikonya.

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi persyaratan
sebagai salah satu syarat pengajuan hibah Penelitian Disertasi Doktor.

Yogyakarta, 20 Maret 2011

Pengusul,

Fridawaty Rivai

NIP. 197310161997022001

27
Lampiran 2
Justifikasi Anggaran

Rekapitulasi Biaya yang diusulkan


No Uraian Jumlah (Rp)
1 Bahan habis/perangkat penunjang Rp. 22.710.000
2 Perjalanan Rp. 11.330.000
3 Pengolahan data, Laporan, Publikasi, Seminar,dll Rp. 11. 375.000
Total Rp. 45.500.000

1. Bahan habis pakai/peralatan


N Satua Biaya
Bahan Volume Biaya total (Rp)
o n Satuan (Rp)
1 Pembelian buku 4 bh 300,000 1,200,000
2 Fotocopy 10000 exp 150 1,500,000
3 penjilidan 20 bh 7,000 140,000
4 Kertas HVS 5 rim 40,000 200,000
5 CD 3 bh 100,000 300,000
6 Ballpoint 15 bh 6,500 97,500
7 Map 15 bh 1,500 22,500
8 Catridge hitam 2 bh 325,000 650,000
9 Cartridge warna 2 bh 47,500 95,000
10 Tinta refil warna 3 bh 75,000 225,000
11 Tinta refil hitam 2 bh 50,000 100,000
12 Biaya cetak buku/kartu pasien 100 lbr 15,000 1,500,000
13 Ekternal Hard Disc 1 bh 840,000 840,000
14 Kamera digital 1 bh 4,250,000 4,250,000
Biaya cetak foto (3 kali foto
288 bh 10,000 2,880,000
15 masing-masing responden)
16 Entry data 20 oh 110,000 2,200,000
17 Pengolahan data 30 oh 110,000 3,300,000
18 Komunikasi 5 pkt 150,000 750,000
19 BBM peneliti 5 pkt 500,000 2,500,000
  Jumlah Biaya       22,750,000

2. Perjalanan
Satua Biaya
No Tujuan Volume Biaya total (Rp)
n Satuan (Rp)
1 Transportasi pengumpul data 103 oh 110,000 11,330,000

3. Pengolahan data, Laporan, Publikasi, Seminar,dll

28
Biaya
No Uraian kegiatan Volume Satuan Biaya total (Rp)
Satuan (Rp)
Konsumsi sosialisasi kegiatan di
  5 unit pelayanan 75 org/kali 32,000 2,400,000
  Transportasi responden 96 org 50,000 4,800,000
  Laporan penelitian 4 pkt 61,250 245,000
  Biaya penelitian di RS 1 pkt 1,430,000 1,430,000
  Biaya mengikuti seminar 1 pkt 2,500,000 2,500,000
  Jumlah       11,375,000

29

Anda mungkin juga menyukai