Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU

BBDM MODUL 7.3


“Etik dan Jurisprudensi”

Disusun oleh :
Milenda Edi Kusuma Asri
22010217130037

Dosen Tutor :
drg. Diah Ajeng Purbaningrum, M.DSc., Sp.KGA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
KASUS BBDM 1

Etik dan Jurisprudensi

Dokter gigi A baru saja membuka klinik baru, untuk menarik pasien untuk datang dan
juga untuk promo terkait pembukaan klinik baru. Drg. A memberikan diskon 10-20% untuk
scalling, pencabutan, dan penambalan. Beberapa hari kemudian mendapat complain dari salah
satu pasiennya karena keluhan yang dirasakan bertambah parah setelah dilakukan perawatan.
Praktek klinik dokter tersebut sangat ramai antrian pasiennya setelah ada diskon yang dilakukan.

Ketika pasien tersebut diperiksa, dokter hanya mengecek identitas dan keluhan pasien
lalu meminta pasien untuk duduk dikursi pemeriksaan. Setelah diperiksa, dokter langsung
melakukan penanganan tanpa mengonfirmasikan apapun ke pasien. Setelah tindakan penanganan
selesai, pasien diberi resep untuk ditebus di apotek. Pasien dipersilahkan keluar dan pasien
berikutnya masuk untuk diperiksa, begitu seterusnya dilakukan dokter sampai semua pasien
selesai.

Sebagai peneliti dalam bidang etik dan jurisprudensi, anda diminta untuk melakukan
telaah etik, disiplin, hukum yang berlangsung pada klinik tersebut.
A. TERMINOLOGI
1. Jurisprudensi: keputusan-keputusan hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara
yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain
untuk menyelesaikan perkara yang sama.
2. Etik: kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak yang menilai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah promo diskon yang dilakukan dokter untuk menarik pasien itu diperbolehkan?
2. Apakah drg A telah melakukan pelanggaran etik, displin, dan hukum? Jika ya, apa saja
bentuk pelanggarannya?
3. Apa resiko yang didapat oleh dokter dan pasien jika menangani pasien secara berlebihan?
4. Apakah drg tersebut sudah bekerja sesuai SOP saat menangani pasiennya?
5. Apabila seorang drg melakukan pelanggraan etik profesi kedokteran gigi yang
berhubungan dengan tanggung jawab dan disiplin, maka bagaimana penyelesaian
masalah berdasar hukum yang berlaku?
6. Kiblat untuk menentukan etik, disiplin dan hukum kedokteran gigi itu apa?

C. HIPOTESIS
1. Drg dilarang promosi dalam bentuk apapun seperti memuji diri, iklan alat bahan,
memberi iming-iming langsung / tidak langsung dengan tujuan pasien datang kepadanya
(KODEKGI pasal 3). KODEKGI pasal 12: drg harus mengedepankan ibadah dan tidak
semata mata mencari materi. Permenkes No. 1787 tahun 2010 tentang iklan dan publikasi
pelayanan kesehatan pasal 5: memberi info kepada masyarakat yang mendorong
penggunaan jasa tenaga kesehatan di faskes pelayanan kesehatan tersebut dan
mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apapun termasuk diskon, imbalan atas
pelayanan kesehatan, dan menggunakan metode multilevel marketing. Pemasangan pada
media cetak boleh, asal mengenai pengenalan awal praktek, pengumuman cuti praktek,
dan pengumuman buka kembali pasca cuti dengan ketentuan besar iklan dimuat
berukuran maks 2 kolom x 10 cm dengan info nama, jenis spesialisasi, alamat, waktu
praktek, no telp dan surat izin lengkap tapi, tidak disertai alasan persuasif cuti tersebut.
2. Ya dokter melanggar, seperti melakukan promosi, saat melakukan tindakan tidak
menjelaskan tindakannya sesuai UU No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran; tiap
tindakan dr/drg yang akan dilakukan oleh dr/drg terhadap pasien harus mendapat izin.
3. Resiko dokter mengalami lelah, apabila tetap memaksa diri hal itu termasuk melanggar
disiplin profesional drg berdasar perkonsil No. 4 tahun 2011 BAB 2 No 5.
4. Belum sesuai SOP, karna melakukan tindakan tanpa informed consent yang berisi
penjelasan dan persetujuan tindakan. Jika tidak melakukan informed consent bisa terkena
sanksi disiplin, berupa peringatan tertulis, pencabuatn STR/SIP/kewajiban ikut
pendidikan kembali, bisa pidana juga kurungan setahun dan denda paling banyak 50juta
bagi tiap dokter yang sengaja tidak membuat rekam medis dalam perawatan kedokteran
gigi.
5. Sanksi etik berupa teguran atau pembinaan etika, diingatkan. Sanksi disiplin, dicabut
STR dan SIP sementara/ikut pendidikan kembali. Sanksi hukum, dipidana, dibawa ke
pengadilan. Diselesaikan MKEKG untuk pelanggaran etik melalui MKDKI untuk
pelanggaran disiplin.
6. Hukum: UU No 29 tahun 2004 dan permenkes 1419 tentang praktek dr/drg
Etik: KODEKGI
Disiplin: diatur oleh KKI, pengawasan MKDKI

D. PETA KONSEP
etik, disiplin dan
hukum KG

hak dan proses hukum dan


dasar regulasi jenis pelanggaran kewajiban dokter lembaga yang
dan pasien menegakkan

E. SASARAN BELAJAR

Mengetahui dan menjelaskan :

1. Dasar regulasi pelanggaran etik, disiplin dan hukum


2. Jenis pelanggaran etik, disiplin dan hukum
3. Hak dan kewajiban dokter dan pasien (parktek kedokteran yang ideal sesuai asas etik dan
hukum)
4. Proses hukum dan lembaga yang menegakkan etik, disiplin, dan hukum

F. BELAJAR MANDIRI
1. Dasar Regulasi Pelanggaran Etik, Disiplin, dan Hukum
Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan hukum kesehatan, antara lain :
- KUHPerdata dan KUHPidana
- Undang-Undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan
- Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
- Peraturan Pemerintah No, 10 tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 512/Menkes/ Per/IV/2007 Tentang Izin Praktek
dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No.290/Menkes/ Per/III/2008 Tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/ Per/XII/1989 Tentang Rekam
Medik/Medikal Record
- Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No. 17/ KKI/Kep/VIII/2006 Tentang
Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 15/ KKI/Per/VIII/ 2006 Tentang
Organisai dan Tata organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin
Kedoteran Indonesia di Tingkat Provinsi
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 16/ KKI/Per/VIII/2006 Tentang Tata
Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi Oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Di Tingkat Provinsi
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 42/ KKI/Per/XII/2007 Tentang Tata
Cara Registrasi Ulang, Registrasi Sementara dan Registrasi Bersyarat Dokter dan
Dokter Gigi
2. Jenis Pelanggaran Etik, Disiplin dan Hukum
 Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan oleh para
pengembang profesi kedokteran, yaitu:
1. Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang berkaitan
dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, perawatnya, masyarakat, dan
pemerintah.
2. Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), yaitu etika kedokteran yang berupa
pedoman dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sikap dan tindakan seorang dokter
terhadap pasien yang menjadi tanggungjawabnya. Pelanggaran kode etik tidak
menyebabkan adanya sanksi formil terhadap pelakunya. Bagi pelanggar kode etik hanya
dilakukan tindakan koreksi berupa teguran dan bimbingan. Harapannya, pelanggaran
serupa tidak akan terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Dengan kata lain, tindakan
terhadap pelanggar kode etik hanya bersifat korektif dan preventif.
 Dua puluh delapan bentuk pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter gigi
dengan uraian sebagai berikut:
1) Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten;
2) Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki
kompetensi yang sesuai;
3) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut;
4) Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal
penggantian tersebut;
5) Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun
mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien;
6) Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang
dapat membahayakan pasien;
7) Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien;
8) Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran;
9) Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat, wali, atau pengampunya;
10) Tidak membuat atau menyimpan rekam medis dengan sengaja;
11) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
12) Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri atau keluarganya;
13) Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan,
atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang
layak;
14) Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari
lembaga yang diakui pemerintah;
15) Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya;
16) Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan pengobatan
terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;
17) Membuka rahasia kedokteran;
18) Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut;
19) Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman mati;
20) Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
21) Melakukan pelecehan sesksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan
terhadap pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
22) Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya;
23) Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan, atau
memberikan resep obat/alat kesehatan;
24) Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan;
25) Adiksi pada narkoba, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya;
26) Berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau
sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
27) Tidak jujur dalam menentukan jasa medis;
28) Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MKDKI/MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin
profesional dokter dan dokter gigi.
 Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Keterikatan
tersebut meliputi pertanggungjawabanhukum sebagai berikut:
1) Tanggung Jawab Perdata
Pada awalnya, tanggung jawab seorang dokter hanya terbatas pada
hubungan kontrak antara dirinya dan pasien. Dengan demikian, tanggung jawab
yang timbul hanya terbatas pada lingkup bidang hukum perdata (misalnya,
pertanggungjawaban yang timbul karena wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum). Atas dasar tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul
apabila seorang pasien mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar ganti
rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien
Seorang dokter yang melakukan malpraktik dapat digugat oleh pasien jika
yang disebut terakhir mengalami cedera atau kerugian. Dokter tersebut dapat
digugat secara perdata atas dasar telah terjadinya wanprestasi, perbuatan melawan
hukum, dan kelalaian dalam menjalankan profesinya.
2) Tanggung Jawab Pidana
Dari sudut pandang hukum pidana, masalah malpraktik lebih ditekankan
dan berdasarkan pada consent atau persetujuan. Setiap tindakan medik yang
bersifat invasif, harus mendapatkan persetujuan dari pasien. Setiap tindakan
medik invasive (invasive medical undertaking) yang dilakukan oleh dokter tanpa
adanya persetujuan dari pasien, dapat digugat sebagai tindak pidana
penganiayaan, terutama jika menggunakan pembiusan.
Secara yuridis-formil, berdasarkan pasal 351 KUHP, tindakan invasif yang
dilakukan oleh seorang dokter, misalnya pembedahan, dapat dipersalahkan
sebagai tindak pidana penganiayaan. Namun, hal ini tidak berlaku jika tindakan
medik tersebut memenuhi syarat-syarat berikut; Adanya indikasi medis, Adanya
persetujan pasien, Sesuai dengan standar profesi medik. Tanggung jawab pidana
yang berkaitan dengan kesalahan professional, biasanya, berhubungan dengan
masalah-masalah berikut: Kelalaian (negligence), dan Persetujuan dari pasien
yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut, pertanggungjawaban pidana dalam kasus
malpraktik dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi berikut: Tidak adanya
persetujuan tindakan medik dari pasien. Artinya, tanpa adanya persetujuan
tersebut seharusnya dokter dapat membayangkan akibatnya (misalnya: pasien
merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut). Hal tersebut untuk menghindari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan pasien.
3) Tanggung Jawab Administrasi
Mengenai tanggung jawab dokter dari segi hukum administrasi dalam
kaitannya dengan pelaksanaan informed consent, dengan tegas dinyatakan dalam
pasal 13 Permenkes Nomor 585 tahun 1989:
”Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari
pasien atau keluarganya dapat dimintakan sanksi aministratif berupa pencabutan
surat izin praktek”.
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan
peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat
dilakukan tindakan adaministratif dalam hal sebagai berikut: Melalaikan
kewajiban, Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatan. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh tenaga kesehatan. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau
berdasarkan Undang-undang.
Apabila ketentuan diatas dikaitkan dengan malpraktik karena pelanggaran
informed consent, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan
administratif tersebut setelah mendengar Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tanggung jawab dan
hak-hak tenaga kesehatan, khususnya dokter, adalah : Melakukan praktek
kedokteran setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan Surat Izin Praktek
(SIP). Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien atau
keluarganya tentang penyakitnya, Bekerja sesuai dengan standar profesi. Menolak
melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama, dan,
hati nurani. Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam
keadaan gawat darurat, atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya,
Menerima imbalan jasa, Hak membela diri.
3. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi dan Pasien Menurut UU No. 24 Tahun
2009 :
 Hak Dokter atau Dokter Gigi (Pasal 50)
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
 Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi (Pasal 51)

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.

 Hak Pasien (Pasal 52)


a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
 Kewajiban Pasien (Pasal 53)
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
4. Proses Hukum dan Lembaga yang Menegakkan Etik, Disiplin dan Hukum
a. Etik
- Proses pengaduan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
mengatur tentang tata cara Pengaduan, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat:
 Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
 Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
o Identitas pengadu;
o Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan;
o Alasan pengaduan.
 Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

- Pemberian sanksi :
Pemberlakuan sanksi hukum atas pelanggaran disipilin dokter atau dokter gigi oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Dokter Indonesia menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dilakukan dengan
membuat keputusan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 69 ayat:
1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter,
dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak
bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
Pemberian peringatan tertulis;
o Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik;
o Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
4) Adapun bentuk saknsi pelanggaran lain yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran
etik kedokteran adalah sebagai berikut :
o Teguran atau tuntunan secara lisan atau tulisan
o Penundaan kenaikan gaji atau pengkat
o Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah
Lembaga Penyelesaian Pelanggaran Etik Kedokteran Gigi
a. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan
terlebih dahulu kepada MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kodekteran)
b. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK
c. Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
MKEK dirujuk ke P3EK (Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik kedokteran)
provinsi
d. Dalam siding MKEK atau P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan Pembela
Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang bersangkutan
(tanpa hak untuk mengambil keputusan)
e. Masalah yang menyangkut dokter atau dokter gigi akan ditangani Bersama oleh
MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK apabila diperlukan
f. Untuk kepentingan pencatatan, setiap kasus pelanggaran etik kedokteran serta
penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan kepada P3EK provinsi
b. Disiplin
- Proses pengaduan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, mengatur tentang tata cara Pengaduan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 66 ayat:
 Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
 Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
o Identitas pengadu;
o Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan;
o Alasan pengaduan.
 Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan.
- Pemberian sanksi :
Pemberlakuan sanksi hukum atas pelanggaran disipilin dokter atau dokter
gigi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Dokter Indonesia menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, dilakukan dengan membuat keputusan sebagaimana dinyatakan
pada Pasal 69 ayat:
1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat
dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan
tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
o Pemberian peringatan tertulis;
o Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik;
o Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
c. Hukum
Penyelesaian masalah tuntutan perkara hukum dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu
secara kekeluargaan, jalur hukum, dan MKDKI.
 Penyelesaian Secara Kekeluargaan
Salah satu cara penyelesaian sengketa medis melalui Alternative Dispute
Resolution (ADR) atau penyelesaian melalui mediasi.. Penyelesaian ini dapat
dilaksanakan oleh pihak ke tiga baik diluar sistem peradilan maupun di dalam
sistem peradilan. Berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2008, Mahkamah Agung
mendorong mediasi di Pengadilan menjadi kewajiban bagi para pihak sebelum
pemeriksaan sengketa medis dimulai, hal ini untuk mengurangi penumpukan
perkara di pengadilan. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat,
efektif dan efesien. Penyelesaian secara mediasi ini dapat dilakukan oleh BPPA,
sebagai usaha melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI.
 Penyelesaian Melalui Peradilan
Penasehat hukum yang paham dengan hukum kesehatan diperlukan
bilamana masalah sengketa medis menjadi perkara hukum sampai di sidang
pengadilan. Disamping itu diperlukan juga saksi ahli dan saksi a de charge
(yang meringankan) agar tercapai keputusan yang seadil-adilnya.
 Penyelesaian Melalui MKDKI KKI
Dalam menjalankan tugas untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter
gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran diserahkan kepada Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini merupakan
lembaga otonom KKI yang keberadaannya berdasarkan pasal 1 (14) UU No. 29
tahun 2004 Tentang Praktik Praktek Kedokteran. Tugas MKDKI adalah
menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan keilmuan kedokteran dalam
pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter
gigi Oleh karena itu MKDKI merupakan badan yang ditunjuk oleh KKI untuk
menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran
gigi dan menetapkan sangsi. Dengan demikian MKDKI merupakan lembaga
peradilan profesi yang independent bagi tenaga kesehatan yang berdiri
berdasarkan undang-undang, yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara yng berkaitan dengan perkara medis.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan atau ketentuan
penerapan keilmuan, yang pada hakekatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal,
yaitu:
1) Melaksanakan praktik kedokteran yang tidak kompeten,
2) Tugas dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan
dengan baik,
3) Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi
kedokteran.
MKDKI dalam menangani perkara dugaan pelanggaran disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
No.17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang Penegakaan Disiplin Profesi Kedokteran.
Ketentuan pelanggaran disiplin, dapat dilihat dalam buku tentang
penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia yang diterbitkan
berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No.18/
KKI/KEP/IX/2006.

Referensi :
1. Heri Setiawan,dkk. (2018). Pelanggaran Kode Etik Kedokteran Pada Kasus
Pengangkatan Indung Telur Pasien Secara Sepihak. Jurnal Jurisprudentie. Vol. 5. No.2
2. Andryawan. (2010). Pembatalan Sanksi Disiplin Profesi Kedokteran Oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni. Vol. 1, No. 2. Hal
221-229
3. Pemerintah Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Praktik
Kedokteran. Jakarta
4. Ananta Tantri Budi. (2010). Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi
sengketa medis (The law aid procedures for dentist againts medical case). Jurnal PDGI.
Vol. 59. Hal 1-7

Anda mungkin juga menyukai