Anda di halaman 1dari 22

REFERAT DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI

PENCITRAAN PADA KOLITIS ULSERATIF

Disusun oleh :
Raden Jeremy Andrian
NIM :

Pembimbing :
dr. Mira Yuniarti, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


PERIODE 11 FEBRUARI – 3 MARET 2019
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................2

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................3

DAFTAR TABEL ....................................................................................................4

BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................7

2.1 Kolitis Ulseratif ..............................................................................................7


2.1.1 Definisi ....................................................................................................7
2.1.2 Epidemiologi ...........................................................................................8
2.1.3 Etiopatogenesis .......................................................................................9
2.1.4 Manifestasi Klinis .................................................................................11
2.1.5 Penatalaksanaan ....................................................................................12
2.1.6 Komplikasi ............................................................................................14

2.2 Pencitraan pada Kolitis Ulseratif .................................................................15


2.2.1 Gambaran Foto Polos ............................................................................15
2.2.2 Gambaran CT Scan ...............................................................................17
2.2.3 Barium Enema.......................................................................................17
2.2.4 Gambaran MRI......................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................19

2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi dari keterlibatan anatomi pada kolitis ulseratif. .....................7
Gambar 2.2 Patogenesis dari Inflammatory Bowel Disease…..……..…….............9
Gambar 2.3 Thumbprinting pada foto polos abdomen……………………………15
Gambar 2.4 Foto CT-Scan Abdomen potongan koronal. ......................................15
Gambar 2.5 Foto CT-Scan potongan aksial penebalan dinding kolon. .................16
Gambar 2.6 Barium enema kontras tunggal dan kontras ganda.............................17
Gambar 2.7 Lead pipe sign pada CT Abdomen. ....................................................18
Gambar 2.8 Penebalan dinding dan hyperenhancement pada kolon sigmoid. .......18

3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Data IBD berbasis Unit Endoskopi di Rumah Sakit di Jakarta…………8
Tabel 2.2 Data IBD dari Total Kolonoskopi d Beberapa Rumah Sakit Nasional…8
Tabel 2.3 Truelove dan Witts’ Klasifikasi Tingkat Keparahan Kolitis Ulseratif…11

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah kondisi yang melibatkan


peradangan dari usus besar dan usus kecil. IBD dibagi menjadi 2 kondisi
yaitu kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Apabila tidak dapat ditentukan
antara kedua itu, maka disebut kolitis indeterminan.1,2 Etiopatogenesis IBD
belum ditemukan secara pasti. Faktor pencetus seperti genetik dan
lingkungan dalam saluran pencernaan seperti flora bakteri usus dan
peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna kemungkinan berperan
dalam gangguan imunitas saluran pencernaan yang berujung pada
kerusakan saluran pencernaan.3

Pada umumnya pasien dengan IBD berkisar dari usia 25 sampai 30


tahun dan tidak ada perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita.4
Angka kejadian sejak akhir Perang Dunia ke-2 sampai dasawarsa 90-an
cenderung meningkat pada kelompok kulit putih, tingkat sosioekonomi
tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral, dan diet rendah serat.
Tetapi, angka kejadian pada abad ini cenderung bertahan di negara maju dan
meningkat pada negara berkembang.

Menurut statistik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari total


1541 kolonoskopi pada tahun 2001-2006, sejumlah 8,3% pasien mengalami
IBD 5,2% mengalami kolitis ulseratif, sedangkan 2,9% lainnya mengalami
penyakit Crohn. Pada data IBD di Rumah Sakit Usadha Insani, Tangerang
pada tahun 2007 dari total 166 kolonoskopi, 26,5% pasien mengalami IBD
dengan 16,3% mengalami kolitis ulseratif dan 10,2% lainnya mengalami
penyakit Crohn. Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa kasus kolitis
ulseratif cenderung terlihat lebih banyak terjadi daripada kasus penyakit
Crohn.5

5
Dalam mendiagnosis IBD pada umumnya dapat ditegakkan oleh
pelayanan kesehatan primer, namun tanpa adanya kecurigaan yang terarah,
bahkan di pusat kesehatan tersier penyakit ini dapat terlewatkan.
Sebaliknya, tidak semua diare kronik atau diare dengan darah disebabkan
oleh inflamasi saluran pencernaan, oleh karena itu overdiagnosing perlu
dicegah.6

Gambaran klinis kolitis ulseratif dan penyakit Crohn dapat


berbentuk ringan dalam arti mencapai remisi tanpa penggunaan obat-obatan
dalam waktu lama atau dalam bentuk kronik aktif dimana pasien mengalami
remisi hanya apabila mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama.
Dikarenakan patofisiologi IBD belum diketahui secara pasti seperti adanya
respon imun berlebihan pada saluran pencernaan, secara umum terapi IBD
bertujuan untuk mengurangi proses inflamasi dengan menggunakan anti-
inflamasi dan imunosupresan.7,8

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolitis Ulseratif

2.1.1 Definisi

Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi kronik yang


menyebabkan inflamasi berkelanjutan pada mukosa dari kolon tanpa adanya
granuloma pada biopsi, yang mempengaruhi rektum sampai area pada kolon
dengan variasi, yang ditandai dengan remisi dan kambuhnya penyakit.
Kolitis merupakan salah satu dari 2 kategori IBD, dimana yang satu lagi
merupakan penyakit Crohn. Bila sulit membedakan keduanya maka
dimasukkan ke dalam kategori indeterminate colitis.9

Gambar 2.1 Ilustrasi dari keterlibatan anatomi pada kolitis ulseratif.

Pada gambar di atas dapat dilihat variasi keterlibatan anatomi pada


kolitis ulseratif. Apabila penyakit kolitis ulseratif terlokalisasi pada rektum,
maka disebut proktitis, akan tetapi apabila melibatkan seluruh usus besar
maka disebut pankolitis.10,11

7
2.1.2 Epidemiologi

Saat ini data epidemiologi IBD masih berdasarkan laporan Rumah


Sakit. Dari kumpulan data di Unit Endoskopi pada beberapa Rumah Sakit
di Jakarta dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 2.1 Data IBD berbasis Unit Endoskopi di Rumah Sakit di Jakarta
Sumber Data KU PC
RSCM 1991 – 1995 2,8%* 1,4%*
RSCM 1996 25%** 5,5%**
Dharmika D, Gastroenterol Hep 5,5%*** 2,0%***
M Simadibrata, Tesis doktor 2002 5,2%* 5,2%*
* Dari total kolonoskopi
* Dari total kasus Kolitis
* Dari total kasus diare kronik, berdarah, dan nyeri perut

Dari data Unit Endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta


(Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Tebet, Rumah Sakit
Siloam Gleaneagles (Lippo Village), Rumah Sakit Jakarta) didapatkan bahwa
kasus IBD terdapat pada 12,2% dari kasus dengan diare kronik, 39% dari
kasus dengan hematokhezia, 25,9% dari kasus dengan diare kronik disertai
darah dan nyeri perut. Sedangkan kasus dengan nyeri perut didapatkan
sebesar 2,8%.

Tabel 2.2 Data IBD dari Total Kolonoskopi di Beberapa Rumah Sakit Nasional
Sumber Data Jumlah IBD KU PC
Kolonoskopi
RSCM 2001 – 2006 1541 8,3% 5,4% 2,9%
RSPAD Gatot Soebroto
532 10,15% 6,95% 3,2%
2002 – 2006
RS Hasan Sadikin,
192 9,89% 8,33% 1,56%
Bandung 2007
RSUP Dr Sardjito,
269 44% 23% 3,3%
Yogyakarta 2007
RSZA Banda Aceh
113 4,25% 2,55% 1,7%
2006 – 2007
RSAB/PengCab PGI,
325 5,23% 3,08% 2,15%
Pekanbaru 2007
RS Syaiful Anwar,
364 17% 16% 1%
Malang 2007
RS Usadha Insani,
166 26,5% 16,3% 10,2%
Tangerang 2007

8
Dari data pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa persentase kasus
kolitis ulseratif lebih banyak dibandingkan kasus penyakit Crohn.12

2.1.3 Etiopatogenesis

Gambar 2.2 Patogenesis dari Inflammatory Bowel Disease

Pada keadaan fisiologis, terdapat homeostasis antara microbiota


komensal, sel epitel yang melapisi sel epitel usus dan sel imun pada jaringan-
jaringan.13 Etiologi yang konkrit dari kolitis ulseratif masih belum diketahui.
Faktor-faktor seperti faktor lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi
genetik diduga menjadi salah satu penyebab penyakit ini. Ada hipotesis
bahwa anak dengan berat badan lahir rendah pada ibu dengan kolitis ulseratif
memiliki faktor risiko yang lebih besar untuk mengalami kolitis ulseratif.14

9
Histokompatibilitas human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan
salah satu antigen yang sering teridentifikasi pada pasien dengan kolitis
ulseratif, namun penemuan ini tidak menunjukkan peningkatan risiko untuk
kolitis ulseratif. Makanan dapat menjadi faktor sekunder dimana antigen pada
makanan atau bakteri dapat memberikan pengaruh pada mukosa usus yang
telah rusak dan mengakibatkan meningkatnya permeabilitas.15

Beberapa faktor yang dapat menjadi kemungkinan penting meliputi


faktor familial atau genetik, infeksi, dan imunologik.6

Faktor Genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada
orang Asia. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan predisposisi
genetik terhadap perkembangan penyakit ini.

Faktor Infeksi
Pada saat fase awal kehidupan dimana mikrobiota komensal masih
dalam tahap perkembangan, efek microbial pada individu menjadi faktor
penentu risiko untuk terkena IBD. Perubahan mikrobiota komensal ini
muncul sebagai konsekuensi dari inflamasi.

Faktor Imunologik
Pada IBD ditemukan adanya infiltrasi lamina propria oleh limfosit
makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum diketahui
secara pasti. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun
sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.

Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk


produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi
netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang
vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang
menyebabkan vasodilatasi dan edema.

10
2.1.4 Manifestasi Klinis

Gambaran paling umum keluhan kolitis ulseratif adalah diare


berdarah dan nyeri abdomen, seringkali disertai dengan demam dan
penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan dapat
ditemukan feses yang mengandung hanya sedikit darah dan tidak disertai
dengan manifestasi sistemik.6

Derajat keparahan kolinis ulseratif dapat dibagi menjadi ringan,


sedang, dan berat, berdasarkan frekuensi diare, demam, derajat keparahan
anemia yang terjadi dan laju endap darah menurut klasifikasi Truelove.
Progresivitas penyakit kolitis ulseratif dapat secara perlahan progresif
menjadi berat maupun langsung berat pada serangan pertama, sesuai dengan
panjang kolon yang terlibat. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit
kolitis ulseratif dapat dinilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luas
bagian dari usus yang terlibat.4

Tabel 2.3 Truelove dan Witts’ Klasifikasi Tingkat Keparahan Kolitis Ulseratif
Aktivitas Ringan Sedang Berat
Jumlah buang air besar berdarah per hari <4 4–6 >6
Temperatur (°C) Afebril Sedang > 37,8
Denyut nadi Normal Sedang > 90
Hemoglobin (g/dL) > 11 10,5 – 11 < 10,5
Laju endap eritrosit (mm/jam) < 20 20 – 30 > 30

Pada gambaran fisik kolitis ulseratif biasanya non-spesifik, bisa


terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang kolon. Demam, takikardia,
dan hipotensi postural biasanya menunjukkan penyakit yang lebih berat.6

Pada gambaran laboratorium seringkali nonspesifik dan


mencerminkan derajat dan beratnya perdarahan serta inflamasi. Dapat
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah
yang cukup lama. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan

11
laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.
Hipokalemia merupakan salah satu kelainan elektrolit yang umumnya
mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia juga umum terjadi pada
penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen pada
mukosa yang berulserasi. Meningkatnya kadar alkalin fosfatase juga dapat
menunjukkan penyakit hepatobilier yang berhubungan.

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan,


yakni rencana diagnostik, terapeutik, dan edukasional.

Pada rencana diagnostik, secara laboratorik, tidak ada perimeter yang


spesifik untuk IBD. Umumnya yang digunakan adalah laju endap darah
(LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada penyakit Crohn, kadar CRP
serum berkolerasi positif dengan aktivitas penyakit dan penanda inflamasi
lainnya sesuai dengan indeks aktivitas penyakit Crohn. Penigkatan kadar
CRP sampai diatas 45 mg/L pada pasien dapat membantu klinisi untuk
mengambil keputusan perlunya dilakukan kolektomi. Pemeriksaan kultur
tinja dapat membantu menentukan apakah proses peradangan disebabkan
oleh infeksi atau non-infeksi. Kombinasi pemeriksaan p-ANCA dan ASCA
membantu meningkatkan spesifisitas hingga lebih dari 90%. Pola hasil
kombinasi untuk kolitis ulseratif adalah ASCA-/p-ANCA positif sedangkan
untuk penyakit Krohn adalah ASCA+/p-ANCA negatif. Kadar ANCA dan
ASCA tetap tinggi paska terapi sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan
untuk pemantauan terapi. Pemeriksaan endoskopi berperan sangat penting
dalam penegakkan diagnosis sekaligus terapi IBD dengan akurasi diagnostik
berkisar 89%.5

Rencana terapeutik adalah upaya menghambat kaskade proses


inflamasi jika tidak dapat dihilangkan secara total. Pada umumnya prinsip
terapi IBD adalah mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga
tercapai remisi; mencegah terjadinya peradangan yang berulang dengan

12
mempertahankan remisi selama mungkin; dan mengobati serta mencegah
komplikasi. Tindakan bedah dipertimbangkan apabila medikamentosa galal
atau terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi usus,
perdarahan persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi, degenerasi maligna
ataupun megakolon toksik yang sering terjadi pada KU.16

Untuk terapi medikamentosa pada KU jarang diberi terapi antibiotik.


Antibiotik hanya diberikan apabila salah satu agen proinflamasi disebabkan
oleh bakteri intraluminal. Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan
dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis padapsien
pasca kolektomi.17–19

Dua golongan obat yang umum digunakan untuk mengobati radang


aktif IBD adalah kortikosteroid dan amino salisilat. Obat golongan
glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan
berat saat fase peradangan aktif. Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg
prednison. Harga obat ini murah dan ketersediaan luas. Idealnya, dicapai
kadar steroid yang cukup tinggi dengan efek sistemik yang rendah. Remisi
biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu dengan budesonid yang
kemudian diikuti dengan penurunan dosis sekitar 10 mg per minggu hingga
tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian
dosis tapering off 2,5 mg per minggu.1

Obat 5-asam aminosalisilat diberikan untuk mengurangi pelepasan


mediator inflamasi, sitokin, dan spesies oksigen reaktif. Dosis rerata untuk
mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari. Umumnya remisi tercapai dalam
jangka waktu 16 – 24 minggu yang kemudian diikuti dengan dosis
pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 gram per hari.5 Untuk kasus usus
bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema,
sedangkan untuk kasus berat tidak cukup hanya menggunakan 5-ASA.20

13
Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya untuk
mempertahankan masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-
ASA atau mengganti obat steroid fase akut dengan obat-obatan golongan
imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.

Rencana edukasional harus dipahami baik oleh pasien maupun


keluarga. Selain menjelaskan tentang penyakit, bisa dijelaskan tentang
memperbaiki gaya hidup untuk menghambat kondisi perkembangan
patogenesis IBD serta komplikasi yang dapat terjadi akibat dari progresivitas
penyakit yang eksaserbasi kronik.5

2.1.6 Komplikasi

Malnutrisi, perforasi, pendarahan masif dan munculnya keganasan


adalah beberapa komplikasi penting yang diobservasi pada KU. Angka
kejadian perforasi dan pendarahan masif meningkat pada pasien dengan
penggunaan steroid untuk pengobatan dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan. Hal ini dikarenakan steroid dapat menutupi gejala serius
seperti perforasi.21

14
2.2 Pencitraan pada Kolitis Ulseratif

Pencitraan / imaging merupakan hal penting yang sangat berperan


dalam menentukan kategori penyakit IBD. Keterlibatan rektum pada Kolitis
Ulseratif hampir selalu tampak (95%) dengan melibatkan area yang bervariasi
sampai kolon proksimal, secara kontinuitas. Seluruh kolon mungkin terlibat,
dalam kasus edema dimana ileum terminal juga terlibat (dinamakan
backwash ileitis).22

2.2.1 Gambaran Foto Polos

Pada gambaran foto polos dapat dilihat apabila struktur haustra


menghilang. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic
megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak ditangani
segera. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema, foto polos abdomen
dapat mendeteksi adanya pneumoperitoneum apabila terdapat perforasi usus
yang merupakan kontra indikasi pemeriksaan. Thumbprinting menunjukkan
dinding usus besar mengalami edema seperti pada gambar panah.23

Gambar 2.3 Thumbprinting pada foto polos abdomen.

15
2.2.2 Gambaran CT Scan Tanpa Kontras

Gambaran udara pada intraperitoneal dengan foto polos akan sulit


dilihat dimana pada foto CT-Scan dapat menunjukkan adanya udara bebas
serta penebalan dinding usus besar.

Gambar 2.4 Foto CT-Scan Abdomen potongan koronal.

Pada gambaran CT-Scan potongan aksial dapat dilihat juga


penebalan dinding kolon.24

Gambar 2.5 Foto CT-Scan potongan aksial penebalan dinding kolon.

16
2.2.3 Barium Enema

Barium enema atau disebut juga Colon in Loop merupakan


pemeriksaan kolon secara retrograt yang dapat menggunakan single- atau
double-contrast.

Gambar 2.6 Barium Enema kontras tunggal dan kontras ganda.


Pada single-contrast hanya menggunakan barium sedangkan pada
double-contrast udara juga dipompakan kedalam kolon. Pada metode
double-contrast kolon diisi BaSO4 sebagian lalu ditiupkan udara untuk
mendorong barium agar melapisi mukosa kolon, dan lumen tetap terdistensi
oleh udara. Dapat dilihat lead-pipe sign pada gambar dibawah menandakan
hilangnya haustrae serta distensi pada kolon transversum sampai rektum.25

17
Gambar 2.7 Lead-pipe sign pada CT Abdomen

2.2.4 Gambaran MRI

Pada magnetic resonance imaging dapat digunakan berbagai macam


teknik modifikasi untuk melihat tingkat keparahan inflamasi dan tingkat
kronisitas dari penyakit. Pada tingkat keparahan ringan dapat ditemukan
penebalan dinding kolon dengan pengurangan distensibilitas. Pada tingkat
keparahan sedang-berat dapat terlihat hilangnya haustrae, pembesaran
limfonodi, dan ulserasi.26

Gambar 2.8 Penebalan dinding kolon dan hyperenhancement pada kolon sigmoid

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhbacher T, Fölsch UR. Practical guidelines for the treatment of

inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol. 2007;13(8):1149–55.

2. Targan SR, Hawkey CJ. Chapter 51. Indeterminate Colitis. In: Textbook of

Clinical Gastroenterology and Hepatology: Second Edition. 2012. p. 394–5.

3. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al.

World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis

and management of IBD in 2010. Inflammatory Bowel Diseases. 2010. p.

112–24.

4. Djojoningrat D. Inflammatory bowel disease: Alur diagnosis dan

pengobatannya di Indonesia. Vol. 3, Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. 386-390 p.

5. Kelompok Studi Inflammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus

nasional penatalaksanaan inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia.

Perkumpulan Gastroenterol Indones. 2011;1–42.

6. Friedman S, Blumberg RS. Chapter 295. Inflammatory Bowel Disease. In:

Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18e. 2012. p. 2403–5.

7. Sands BE. New Therapies for the Treatment of Inflammatory Bowel

Disease. Surg Clin North Am. 2006;86(4):1045–64.

8. Tamboli CP. Current Medical Therapy for Chronic Inflammatory Bowel

Diseases. Surg Clin North Am. 2007;87(3):697–725.

19
9. Silverberg MS, Satsangi J, Ahmad T, Arnott ID, Bernsetin CN, Brant SR, et

al. Toward an integrated clinical, molecular and serological classification of

inflammatory bowel disease: Report of a Working Party of the 2005

Montreal World Congress of Gastroenterology. Can J Gastroenterol.

2005;19(Suppl A):5A–36A.

10. Whitlow CB. Ulcerative proctitis. Clin Colon Rectal Surg. 2004

Feb;17(1):21–7.

11. Mamula P, Grossman AB, Baldassano RN, Kelsen JR, Markowitz JE.

Chapter 15. Classification of Inflammatory Bowel Disease In Chil. In:

Mamula P, Grossman AB, Baldassano RN, Kelsen JR, Markowitz JE,

editors. Pediatric Inflammatory Bowel Disease: Third Edition. Cham:

Springer International Publishing; 2017. p. 191–181.

12. Daldiyono, Djojoningrat D. Inflammatory bowel disease: hospital based data

and endoscopic assessment of disease activity in Jakarta, Indonesia. Indones

J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2000;15:B10.

13. Kaser A, Zeissig S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Annu Rev

Immunol. 2010 Mar 1;28(1):573–621.

14. Bush MC, Patel S, Lapinski RH, Stone JL. Perinatal outcomes in

inflammatory bowel disease. J Matern Neonatal Med. 2004 Apr

1;15(4):237–41.

15. Dekker-Saeys BJ, Meuwissen SG, Van Den Berg-Loonen EM, De Haas WH,

Meijers KA, Tytgat GN. Ankylosing spondylitis and inflammatory bowel

20
disease. III. Clinical characteristics and results of histocompatibility typing

(HLA B27) in 50 patients with both ankylosing spondylitis and inflammatory

bowel disease. Ann Rheum Dis. 1978 Feb;37(1):36–41.

16. C Tan C, Kang J, Guan R, Yap I, H Tay H. Inflammatory Bowel Disease:

An uncommon problem in Singapore. Vol. 7, Journal of gastroenterology

and hepatology. 1992. 360-362 p.

17. Haller D, Serrant P, Peruisseau G, Bode C, P Hammes W, Schiffrin E, et al.

IL-10 Producing CD14 low Monocytes Inhibit Lymphocyte-Dependent

Activation of Intestinal Epithelial Cells by Commensal Bacteria. Vol. 46,

Microbiology and immunology. 2002. 195-205 p.

18. Gionchetti P, Rizzello F, Venturi A, Brigidi P, Matteuzzi D, Bazzocchi G, et

al. Oral bacteriotherapy as maintenance treatment in patients with chronic

pouchitis: a double-blind, placebo-controlled trial. Gastroenterology. 2000

Aug;119(2):305–9.

19. Mimura T, Rizzello F, Helwig U, Poggioli G, Schreiber S, Talbot IC, et al.

Once daily high dose probiotic therapy (VSL#3) for maintaining remission

in recurrent or refractory pouchitis. Gut. 2004 Jan;53(1):108–14.

20. Firmansyah MA. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan

Inflammatory Bowel Disease (IBD). Vol. 40, Cermin Dunia Kedokteran.

2013. 247-252 p.

21. Bruce D, Cole WH. Complications of ulcerative colitis. Ann Surg. 1962

May;155(5):768–81.

21
22. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP:

Ulcerative colitis. Radiographics. 2006;26(3):947–51.

23. Deepak P, Bruining DH. Radiographical evaluation of ulcerative colitis.

Gastroenterol Rep. 2014/05/19. 2014 Aug;2(3):169–77.

24. Jacobs JE, Birnbaum BA. CT of inflammatory disease of the colon. Semin

Ultrasound CT MR. 1995 Apr;16(2):91–101.

25. Carucci LR, Levine MS. Radiographic imaging of inflammatory bowel

disease. Gastroenterol Clin North Am. 2002 Mar;31(1):93–117, ix.

26. Rimola J, Rodriguez S, Garcia-Bosch O, Ricart E, Pages M, Pellise M, et al.

Role of 3.0-T MR colonography in the evaluation of inflammatory bowel

disease. Radiographics. 2009;29(3):701–19.

22

Anda mungkin juga menyukai