Anda di halaman 1dari 29

SHARING JURNAL KEPERAWATAN

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI STANDART PROSEDUR OPERASIONAL


DARI INFUS PEDIATRIK INFLIXIMAB

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Anak

Di Rumah Sakit Lavalette Malang

Oleh :

KELOMPOK 2

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inflamatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronik yang
melibatkan saluran cerna, bersifat remisi dan relaps dengan penyebab pasti
sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari
kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan bila sulit membedakan kedua hal
tersebut, maka dimasukkan dalam kategori kolitis indeterminate (Djojoningrat,
2014). Penyakit ini terjadi pada semua umur, tapi sangat jarang terjadi pada anak
di bawah umur 1 tahun. Insiden IBD paling sering terjadi pada anak umur di atas
10 tahun. IBD merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor
lingkungan, genetik, dan kekebalan tubuh ( Yossy and Salwan, 2014).
Berdasarkan statistik internasional, insiden IBD sekitar 2,2-14,3 kasus per
100.000 orang per tahun untuk untuk KU dan 3,1-14,6 kasus per 100.000 orang
per tahun untuk penyakit Crohn (Talley et al, 2011). Insidensi penyakit kolitis
ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan
tetap konstan. Prevalensi ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk
(Judge dan Lichtenstein, 2003). Di Indonesia belum ada studi epidemiologi tentang
IBD (Djojoningrat, 2014), untuk kejadian KU di Rumah Sakit Sardjito tahun 2014
dari rekam medik didapatkan 35 pasien rawat inap dan 14 pasien rawat jalan
(Widodo, 2018 )
Perawatan pasien anak dengan  inflammatory bowel disease (IBD) telah
meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk
penggunaan rutin terapi biologis seperti infliximab (Remicade; Janssen Biotech,
Horsham, PA) untuk IBD sedang hingga berat (Rosen MJ et al, 2015). Pada
pasien anak-anak dengan IBD, infliximab mampu memperbaiki gejala,
meningkatkan pertumbuhan ( mempromosikan penyembuhan mukosa, dan
memiliki profil keamanan yang menguntungkan. Dalam penelitian di jurnal ini
dinyatakan bahwa peneliti merawat sekitar 40% anak-anak dengan IBD dengan
infliximab. Namun meskipun infliximab pada umumnya aman dan dapat ditoleransi
dengan baik, penggunaan infliximab juga memiliki resiko, termasuk reaksi infus
akut,infeksi jamur karena virus, bakteri, dan oportunistik, potensi hepatotoksisitas
(Mostamand S et al, 2016) dan kemungkinan langka, risiko keganasan jangka
panjang ( Lemaitre M et al, 2017) Anak-anak dengan IBD yang menerima
infliximab, perlu dipantau secara konsisten baik secara klinis maupun dengan tes
laboratorium yang sesuai. Jadi dalam penelitian ini, telah dibahas bagaimana
pemberian infliximab yang sesuai dengan SOP. Oleh karena itu dirasa penting
bagi kelompok untuk membahas hal ini sesuai dengan evidence based yang ada.

1.2 Tujuan
Sharing jurnal ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang
metode perawatan IBD melalui pemberian Infliximab yang sesuai SOP sehingga
keamanan pasien pada saat pemberian bisa dijaga

1.3 Manfaat
Sharing jurnal iini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Bagi penderita, dapat mendapatkan alternatif pengobatan yang berstandart
untuk penyakitnya sehingga mereka terhindar dari kesalahan pemberian
terapi
2. Bagi perawat, dapat memperoleh pengetahuan tentang salah satu
penatalaksanaan IBD , dan menjadi bahan diskusi antar tenaga kesehatan
atau menjadi dasar bahan penelitian tentang cara perawatan pasien dengan
Inflamatory Bowel Disease (IBD)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INFLAMMATORY BOWEL DISEASE


2.1.1 Definisi
Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan kelainan idiopatik yang berhubungan dengan peradangan pada
gastrointestinal. IBD terdiri dari dua penyakit yaitu penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulseratif
(KU). Istilah PC digunakan pertama kali oleh Dr. Crohn yang menemukan kelainan
berupa peradangan pada saluran cerna mulai dari mulut sampai dengan rektum. Istilah
KU digunakan untuk membedakan dengan PC. Kelainan pada KU hanya terbatas pada
kolon, dimana terjadi peradangan dan terdapat ulkus hanya pada permukaan usus. IBD
dapat ditemukan di seluruh dunia.
Penyakit ini terjadi pada semua umur, tapi sangat jarang terjadi pada anak di
bawah umur 1 tahun. Insiden IBD paling sering terjadi pada anak umur di atas 10 tahun.
Insiden IBD di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara barat. Hal ini
diduga selain disebabkan faktor imunologi, lingkungan dan genetik, juga mungkin karena
sulitnya menegakkan diagnosis IBD yang memerlukan pemeriksaan penunjang radiologi,
endoskopi, dan histologi yang di Indonesia masih jarang.

2.1.2 Etiologi
Hugot dkk. pada tahun 2001 berhasil mengidentifikasi lokus pada kromosom 16
yang dihubungkan dengan IBD pada tahun 1996. Dengan mengunakan cara yang
berbeda mereka berhasil mengisolasi mutasi CARD15 (caspase-activation recruitment
domain) pada gen NOD2 yang mempunyai hubungan bermakna dengan PC. Faktor
lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap IBD adalah asap rokok, infeksi,
appendiktomi, obat-obatan, diet, dan stress.
Asap rokok adalah satu faktor lingkungan yang berpengaruh berbeda terhadap
kedua jenis IBD. Asap rokok mengurangi kejadian KU, tetapi meningkatkan kejadian PC.
Appendiktomi mengurangi risiko terjadinya KU. Infeksi M. paratuberculosis,
Pseudomonas sp., dan Listeria sp. diduga sebagai penyebab terjadinya PC. Bacillus sp.,
E. coli adhesif, dan Fusobacterium varium diduga berperan terhadap terjadinya KU.
Obat-obatan Penggunaan obat antinflamasi nonsteroid berisiko tinggi terhadap kejadian
IBD dan kekambuhan penderita IBD dalam remisi klinis. Diet susu dan rendah serat
serta stress diduga berpengaruh terhadap terjadinya IBD, walaupun mekanismenya
belum diketahui dengan pasti.
2.1.3 Patofisiologi
IBD diduga akibat adanya aktivasi yang berlebihan dari sistem imun mukosa
usus yang menyebabkan inflamasi pada usus tanpa adanya penyebab yang jelas.
Beberapa faktor lainnya diduga berpengaruh, yaitu faktor genetik dan lingkungan.
Sistem imun pada penderita IBD bekerja secara abnormal dan berlangsung kronis yang
menyebabkan inflamasi dan ulserasi saluran cerna. Faktor Imunologis Pada PC terjadi
peningkatan IL-12 pada mukosa usus. Peningkatan ini merangsang peningkatan respon
Th1 dan IFN-γ. IFN-γ, selanjutnya menyebabkan inflamasi yang tidak terkontrol.
Hilangnya pengaturan terhadap kelebihan Th1 dan makrofag yang teraktivasi juga
memicu aktivasi matrix metalloproteinase, melalui jalan IFN-γ (gamma interferon) dan
TNF (Tumor Necrosis Factor)-α, yang menyebabkan kerusakan jaringan. Mekanisme
lain untuk inflamasi yang tidak terkontrol ini adalah sel T pada PC resisten terhadap
apoptosis normal. Pada KU terjadi peningkatan ekspresi IL-5 yang merupakan sitokin
Th2, tetapi tidak terjadi peningkatan IL-4 yang merupakan sitokin Th2 lainnya. Peranan
Th2 mungkin membantu respon antibodi, sebab pada KU ada peningkatan IgG sel
plasma yang diduga dimediasi oleh sel T. Sitokin seperti IL-1, IL-6, dan IL-8
menimbulkan inflamasi dengan peningkatan vascular adhesion molecules yang menarik
sel inflamasi, peningkatan produksi eikosanoid, menginduksi sintesis nitrat oksida, dan
menginduksi produksi kolagen. Hal di atas memicu destruksi jaringan yang
menimbulkan jaringan fibrosis. Sekresi elektrolit distimulasi oleh mediator-mediator ini,
yang selanjutnya menyebabkan diare.
Autoantibodi yang ditemukan pada IBD menimbulkan dugaan bahwa IBD
merupakan penyakit autoimun. Anti-saccharomices cerevisiae antibody (ASCA) dideteksi
pada 50%-60% penderita dengan PC. Perinuclear anti neutrophil cytoplasmic antibody
(pANCA) ditemukan pada sekitar 70% individu dengan KU sedangkan pada PC sekitar
6% dan dipercaya sebagai tanda disregulasi imunoregulator genetik.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala Klinis Gejala klinis IBD bervariasi, tergantung jenis IBD dan berat
ringannya penyakit. Gejala utama PC adalah nyeri abdomen. Sedangkan gejala utama
pada KU adalah diare dan perdarahan rektal. Gejala lainnya adalah defekasi pada
malam hari, abses perianal, dan gambaran klinis mirip apendisitis.

2.1.5 Pemerikasaan Diagnostik


Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis yaitu adalah pemeriksaan darah (hemoglobin, trombosit, laju endap
darah, C-Reactive Protein, tes fungsi hati, dan tes serologi) dan tinja. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penderita IBD dapat digunakan untuk membedakan antara PC
dan KU. Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan endoskopi sangat berperan dalam membantu
menegakkan diagnosis IBD. Endoskopi dapat membedakan kedua bentuk IBD. Pencitraan
Meliputi pemeriksaan radiologi (foto polos dan pemeriksaan dengan kontras), USG, CT, MRI, dan
modalitas radiologi lain (white blood cell scan, PET).

2.1.6 Penatalaksanaan IBD


Penatalaksanaan penderita IBD berupa medikamentosa atau pembedahan, atau
kombinasi keduanya.
Medikamentosa:
 5-Aminosalisilat. Dosis: 50-100 mg/kgBB/ hari.16
 Antibiotika. PC: Metronidazol.Dosis: 10-20 mg/kg/ hari. KU: Antibiotika digunakan
sangat terbatas karena meningkatnya risiko kejadian kolitis pseudomembran yang
berhubungan dengan antibiotika.
 Kortikosteroid. PC: Metilprednisolon dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 12 jam atau
Hidrokortison 100 mg setiap 8 jam. PC: Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari
peroral dan diturunkan secara bertahap (5 mg per minggu) setelah gejala terkontrol.
 Immune modifiers. Immune modifiers yang dipakai adalah 6-MP dan Azathioprine.
Dosis 6-MP atau Azathioprin adalah 1-2 mg/kg/hari.
 Anti TNF-alpha. Anti-TNF-alpha monoclonal antibody yang diberikan adalah
Infliximab yang diberikan melalui infus dengan dosis 5 mg/kg/kali, diberikan tiga kali
yakni pada awal pengobatan, minggu ke-2, dan minggu ke-6. Dosis pemeliharaan
diberikan setiap 8 minggu.
 Obat-obatan simptomatik. Obat-obatan simptomatik yang diberikan adalah antagonis
histamine 2 reseptor, anti diare, dan antispasmodik.
 Obat-obat dalam tahap percobaan. PC: Metotreksat dengan dosis 12,5-25
mg/minggu peroral atau intramuskuler, Thalidomid dengan dosis 50-300 mg/hari
peroral, dan interleukin 11 dengan dosis 1 mg/minggu secara subkutan. KU:
Siklosporin dengan dosis 2-4 mg/kg/hari secara intravena (untuk dosis oral diberikan
2-3 kali dosis intravena), nicotine patch dengan dosis 14-21 mg/hari melalui topical
patch, enema butirat dengan dosis 100 ml per rektum dua kali sehari, dan heparin
dengan dosis 10.000 μ secara subkutan dua kali sehari.
 Terapi nutrisi. Intervensi nutrisi harus dimulai sebelum pubertas, baik pada penyakit
aktif atau saat remisi untuk mengoreksi defisit energi dan memaksimalkan
pertumbuhan.
 Terapi probiotik. Pemberian probiotik biasanya dikombinasikan dengan obat lain yang
berguna untuk meningkatkan stabilisasi dan regenerasi mukosa usus akibat
inflamasi.

Pembedahan
PC: Pembedahan dilakukan untuk mengatasi beberapa komplikasi pada PC misalnya
striktura, fistula, dan perdarahan. KU: Indikasi pembedahan adalah inflamasi yang sulit
dikontrol, perubahan dini ke arah keganasan, striktura, dan adanya efek samping penggunaan
obat-obatan.

2.2 INFLIXIMAB

2.2.1 Definisi
Infliximab (nama dagang Remicade antara lain) adalah obat biologis antibodi
monoklonal chimeric yang bekerja melawan tumor necrosis factor alpha ( TNF-α ) dan
digunakan untuk mengobati penyakit autoimun.

2.2.2 Indikasi
Obat ini digunakan untuk mengobati untuk pengobatan penyakit Crohn , kolitis
ulserativa , psoriasis , radang sendi psoriatik , ankylosing spondylitis , dan rheumatoid
arthritis

2.2.3 Dosis dan Cara Pemberian


Dosis Intravena untuk Crohn's disease
Dewasa: Dosis awal, 5 mg / kg melalui infus selama minimal 2 jam, diulang pada 2
minggu setelah infus pertama. Tidak ada dosis lebih lanjut yang harus diberikan jika
tidak ada respons setelah 2 dosis.
Anak: Usia 6-17 thn dosis awal, 5 mg / kg melalui infus selama minimal 2 jam, diulang
pada 2 minggu dan 6 minggu setelah infus pertama kemudian 8 minggu kemudian.

Dosis Intravena untuk Kolitis ulserativa


Dewasa: Dosis awal, 5 mg / kg melalui infus selama minimal 2 jam, diulang pada 2
minggu dan 6 minggu setelah infus pertama kemudian 8 minggu kemudian. Tidak ada
dosis lebih lanjut yang harus diberikan jika tidak ada respons setelah 3 dosis. Anak:
Usia 6-17 thn Dosis awal, 5 mg / kg melalui infus selama 2 jam, diulang pada 2 minggu
dan 6 minggu setelah infus pertama kemudian 8 minggu kemudian.
Pemberian dosis obat ini diberikan berdasarkan berat badan masing-masing pasien
dan setiap orang akan mendapatkan dosis yang bervariasi. Infliximab diberikan melalui
infus intravena , biasanya dengan interval enam hingga delapan minggu. Itu tidak dapat
diberikan melalui mulut karena sistem pencernaan akan menghancurkan obat.

2.2.4 Cara Kerja


Infliximab bekerja dengan cara mengikat TNF-α. TNF-α adalah pembawa pesan kimia
( sitokin ) dan bagian penting dari reaksi autoimun. Pada rheumatoid arthritis, infliximab
tampaknya bekerja dengan mencegah TNF-α dari ikatan dengan reseptornya dalam sel.

2.2.5 Efek Samping


Seperti halnya dalam penggunaan obat Infliximab yang juga memiliki beberapa efek
samping, sebagai berikut:
a. Menggigil, demam
b. Dyspnoea
c. Nyeri dada
d. Hipertensi atau hipotensi
e. Urtikaria, pruritus
f. Mual, muntah
g. Diare
h. Sakit perut
i. Kelelahan
j. Pusing, sakit kepala
k. Sakit punggung
l. Hipersensitivitas
m. Infeksi saluran pernapasan atas
n. Infeksi saluran kemih
o. Onset baru atau eksaserbasi dari gagal jantung
p. Mialgia, arthralgia, ruam

2.2.6 Kontraindikasi
 Kehamilan
 Menyusui
 Infeksi berat
 Hipersensitivitas
2.2.7 Efektifitas Infliximab

Inflamatory Bowel Disease


Pada awal aplikasi klinis, infliximab digunakan untuk pasien penyakit Crohn dengan infeksi
usus. Selain penggunaan klinis untuk peradangan usus, infliximab saat ini telah digunakan
untuk dua fenotipe lainnya penyakit Crohn aktif: penyakit striktur (yang menyebabkan
penyempitan usus) dan penyakit penetrasi (yang menyebabkan ulastulae atau koneksi
abnormal usus) .Infliximab efektif di penutupan jangka pendek stula dan pemeliharaan
rektovaginal pengobatan lebih efektif daripada plasebo dalam memperpanjang stula
penutupan rektovaginal. Baru-baru ini, penelitian lain lebih lanjut menunjukkan bahwa in
iximab adalah sebuah pengobatan alternatif untuk terapi induksi dan pemeliharaan pada
kolitis ulserativa sedang hingga berat.

Mekanisme infliximab
Dalam bentuk terlarut atau transmembran, TNF memiliki banyak fungsi dalam proses IBD.
Dengan memblokir dan menetralkan aktivitas TNF, infliiximab telah menunjukkan
efektivitasnya yang tinggi dalam manajemen klinis penyakit Crohn dan ulseratif radang usus
besar. Selama proses IBD, TNF diproduksi oleh kekebalan tubuh sel, dan sebagai umpan
balik, TNF merekrut sel-sel kekebalan untuk bergerak dari pembuluh darah ke tempat
peradangan dan menginduksi sel untuk melepaskan sitokin dan mediator yang tidak
menyebabkan inflamasi. Menghambat produksi TNF oleh infliximab dapat menurunkan
regulasi ekspresi sitokin dan mediator yang tidak mematikan dalam jaringan usus dan
memperbaiki IBD. Perjalanan waktu efek infliximab dengan referensi untuk sitokin mukosa
dan oksida nitrat yang dapat diinduksi ekspresi synthase.
Terapi infliximab menurunkan kadar TNF dan IFN-R mRNA dalam kolon mukosa pasien
kolitis ulserativa. Penurunan mRNA TNF berkorelasi dengan perbaikan klinis dan endoskopi.
Faktor penstimulasi granulosit-makrofagekoloni (GM-CSF) terkait dengan patogenesis IBD.
Efek infliximab
pengobatan pada produksi GM-CSF pada penyakit Crohn. Produksi GM-CSF meningkat
padapasien dengan penyakit Crohn. Level GM-CSF dan skor histologi mukosa menurun
setelah tiga infus infliximab, menunjukkan peran penting infliximab pengobatan dalam
mengendalikan produksi GM-CSF, informasi, dan aktivitas penyakit pada penyakit Crohn.

Memodulasi Aktivasi Berlebihan dari Fungsi Sel Imun.


Sel imun bawaan dan adaptif berkontribusi untuk pengembangan IBD. Apalagi sel T
mukosa menunjukkan resistensi terhadap apoptosis yang disebabkan oleh aktivasi pada
Crohn penyakit, yang menyebabkan akumulasi sel T di mukosa dan sejumlah besar produksi
sitokin. Satu tindakan pengobatan infliximab adalah untuk menginduksi apoptosis sel imun
oleh pensinyalan luar-ke-dalam melalui transmembran TNF (mTNF). Dalam penelitian, 10
pasien penyakit Crohn menerima tiga infus berturut-turut infliximab, biopsi usus endoskopi
dilakukan setelah 10 minggu pengobatan. Seperti yang dideteksi oleh uji T NEL, perawatan
infliximab menginduksi apoptosis T mukosa berkelanjutan pada penyakit Crohn. Kelompok
lain juga menemukan infus infliximab pada pasien refrakter steroid dengan penyakit Crohn
menginduksi peningkatan signifikan pada CD3 dan T NEL positif sel-sel dalam biopsi kolon,
dan sel-sel yang dirangsang infliximab sel-sel apoptosis adalah limfosit T teraktivasi tetapi
tidak beristirahat sel. IBD ditandai oleh ketidakseimbangan sel T helper, dengan dominasi
tanggapan 1, dan 17 sementara deficiency dari respon QR2 dan Treg.
Matsumura et al. baru-baru ini menunjukkan bahwa 2 minggu terapi infus infliximab juga
dapat memodulasi, menginduksi remisi kolitis ulserativa. Makrofag pengatur adalah subtipe
imun bawaan sel dengan sifat anti-inflamasi, tampaknya memodulasi respons imun yang
tidak mematikan, dan berperan penting dalam penyembuhan luka dan homeostasis usus.
Efeknya pengobatan infliximab pada induksi regulasi makrofag baru-baru ini dieksplorasi.
Hommes dan dkk menunjukkan bahwa antibodi terhadap TNF termasuk infliximab dan
adalimumab menginduksi pembentukan regulasi makrofag dengan cara bergantung wilayah
Fc. makrofag pengatur yang diinduksi menghambat proliferasi sel T yang diaktifkan,
menghasilkan sitokin anti-inflamasi, dan penanda makrofag pengatur CD206 .

Melindungi Sel Epitel Usus dari Apoptosis.


integritas penghalang epitel, ditandai dengan peningkatan apoptosis epitel, dianggap
sebagai langkah awal dalam patogenesis IBD. TNF, sebagai program utama mediator di
IBD, adalah salah satu sinyal ekstrinsik yang memulai apoptosis enterosit. Tindakan
pengobatan infliximab dikaitkan dengan melindungi usus sel epitel dari apoptosis. Sebuah
studi klinis menunjukkan apoptosis epitel diregulasi dalam usus besar pada penyakit chron
dan dikembalikan normal pada sebagian besar pasien oleh pengobatan infliximab , yang
berkorelasi dengan disfungsi epitel diukur sebagai resistensi epitel.

Memulihkan Fungsi Endotelium dan Memblokir Angiogenesis.


Endothelium memiliki banyak fungsi seperti membentuk penghalang semi-selektif antara
lumen dan jaringan sekitarnya, mengendalikan infiltrasi sel imune ke dalam jaringan. Selama
proses IBD, ekspresi molekul adhesi sel leukosit / endotel seperti molekul adhesi antar sel 1
(ICAM1) dan vaskular molekul adhesi sel 1 (VCAM1) diregulasi, yang merekrut migrasi
leukosit ke jaringan usus. Setelah infus infliximab, leukosit yang diregulasi molekul adhesi sel
dipulihkan, paralel dengan hilangnya sel inflamasi dari kolon lamina propria. Juga, molekul
adhesi sel endotel dan sebagian besar reseptor kemokin / kemokin dalam jaringan usus
besar kembali ke terapi infliximab normal. Pengobatan penetral TNF dengan infliximab
meningkatkan daya tanggap endotelium terhadap asetilkolin pada pasien penyakit Crohn,
menunjukkan fungsi endotel itu terganggu pada penyakit Crohn dan dipulihkan secara positif
dengan pengobatan infliximab .
Angiogenesis menunjukkkan komponen kritis gangguan inflamasi neoplastik dan kronis.
Penanda proliferasi Ki-67 dalam sel endotel berkurang secara signifikan oleh administrasi
infliximab, bersamaan
dengan penurunan konsentrasi mukosa VEGFA. Data menunjukkan efek baru dari
infliiximab dalam menurunkan angiogenesis mukosa pada IBD dan menahan produksi
VEGF-A.

Mengatur Keseimbangan antara Matriks Metalloproteinase


(MMPs) dan Penghambat Jaringan Metalloproteinases (TIMPs).Matriks metalloproteinases
(MMPs) dan inhibitor endogennya, inhibitor jaringan MMP (TIMPs), diproduksi di saluran
pencernaan oleh beberapa sel struktural, termasuk neutrofil, trombosit, sel mesenchymal, sel
T, monosit, makrofag, dan sel kanker . Keseimbangan antara MMP dan TIMP sangat penting
bagi banyak fisiologis proses dalam usus. Namun, ketidakseimbangan antara MMP dan
TIMP memainkan peran penting dalam patofisiologi beragam kondisi inflamasi usus
termasuk IBD. Perawatan infliiximab dapat mengembalikan keseimbangan antara MMP dan
TIMP terlihat di IBD.

Meningkatkan Penyembuhan Mukosa.


Sebagai tujuan perawatan yang penting bagi pasien dengan IBD, dan dapat mengurangi
remisi dan mengurangi tingkat rawat inap dan bedah reseksi . Baru-baru ini, pengobatan
infliximab telah muncul
sebagai terapi untuk induksi penyembuhan mukosa. Kierkus et al. baru-baru ini
mengevaluasi dampak infus infliximab pada induksi penyembuhan mukosa usus. Terapi
induksi penyembuhan dengan infliximab ditemukan efektif secara klinis pada 72% anak
pasien dengan penyakit Crohn dan menginduksi remisi pada 33% dari mereka. Juga, terapi
induksi dengan in iximab membantu meningkatkan indeks massa tubuh.

Rheumatoid Artritis
Gejala dan tanda rheumatoid arthritis menurun pada pasien yang menerima infliximab
memiliki efek signifikan lebih besar pada radang sendi-spesifik
Chron Disease
infliximab menginduksi remisi pada pasien dengan tingkat sedang hingga sangat aktif.
Perawatan dengan infliximab mempertahankan manfaat klinis hingga 8 minggu setelah yang
terakhir
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Identitas Jurnal

1. Authors : Maureen M. Kelly, DNP, RN, PNP*; Barbara S. Turner, PhD,


RN, FAAN†; Michael D. Kappelman, MD, MPH*; Eun Jeong
Lee, BS, RN, MPH*; Ajay S. Gulati, MD
2. Title : Implementasi dan Evaluasi Standar Prosedur
Operasional untuk Infus Pediatrik Infliximab
3. Publisher : Pediatric Quality and Safety
4. Publication Type : Article Journal
5. Language : English
6. Published Online : 2019

3.2. Latar Belakang Jurnal


Perawatan pasien anak dengan penyakit Inflammatory Bowel Disease
(IBD) telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk
penggunaan rutin terapi biologis seperti infliximab (Remicade; Janssen Biotech,
Horsham, PA) untuk IBD sedang hingga berat.1-3 Pada pasien anak-anak
dengan IBD, infliximab meningkatkan gejala, meningkatkan pertumbuhan,
mempromosikan penyembuhan mukosa dan memiliki profil keamanan yang
menguntungkan. Dalam praktik sekitar 40% anak-anak dengan IBD dengan
infliximab.
Meskipun infliximab pada umumnya aman dan dapat ditoleransi dengan
baik, infliximab memiliki risiko yang diketahui, termasuk reaksi infus akut yang
terjadi pada 3% -15% pasien anak-anak.Risiko lain termasuk infeksi jamur virus,
bakteri, dan oportunistik,potensi hepatotoksisitas dan kemungkinan langka, risiko
keganasan jangka panjang. Oleh karena itu anak-anak dengan IBD yang
menerima infliximab, perlu dipantau secara konsisten baik secara klinis maupun
dengan tes laboratorium yang sesuai. Meskipun demikian, ada variasi praktik
yang signifikan dalam pemberian infliximab untuk pasien anak dengan penyakit
berisiko tinggi ini. Variasi praktik ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya
pedoman berbasis bukti mengenai administrasi dan pengelolaan reaksi yang
merugikan. Faktor-faktor lain termasuk penyesuaian dosis infus, interval, dan
pengujian penyakit lainnya. Penatalaksanaan juga didasarkan pada gejala dan
hasil skrining laboratorium yang menilai status gizi, radang usus, dan toksisitas
obat
Proyek ini diprakarsai oleh variasi yang dirasakan dalam praktik di antara
dokter dan perawat yang meresepkan dalam 2 unit infus berbeda di pusat IBD .
Variasi perawatan khusus termasuk penggunaan yang tidak konsisten dari daftar
periksa keselamatan preinfusi oleh perawat, skrining laboratorium yang berbeda
yang dipesan oleh penyedia layanan, beragam pendapat mengenai perlunya
premedikasi, dan variabilitas dalam pengelolaan reaksi infus. Variasi dalam
perawatan terjadi antara dan di dalam lokasi. Untuk mengatasi variasi ini,
dikembangkan prosedur operasi standar infliximab (SOP) . Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengiriman dan penyelesaian daftar
periksa keselamatan yang terkait dengan SOP ini. Penyelesaian pengujian
laboratorium yang ditentukan protokol juga dinilai secara retrospektif, sebagai
ukuran sekunder dari keparuhan protokol.

3.3. Metode (Method)


Penelitian ini menggunakan pedoman Standards for Quality Improvement
Reporting Excellence 2.0 dalam persiapan.

← Setting
Sekitar 800 infliximab infus diberikan setiap tahun (median 64 / mo; kisaran
interkuartil 59-74 / mo) untuk sekitar 150 pasien anak dalam 2 unit infus: (a) Unit
Short-Stay Anak (CSSU), memberikan perawatan khusus dan pasca operasi untuk
pasien sehari (N = 312 infus / y); (B) Ruang Infus (IR), hanya menyediakan infus (N
= 473 infus / y). Setiap unit memiliki manajer perawat dan staf. Perawat memiliki
pengalaman ≥1 tahun dan telah menyelesaikan program orientasi khusus infus
selama 6 minggu.
← Intervensi
Peneliti mengembangkan SOP untuk menetapkan pendekatan yang konsisten
untuk pemberian infliximab. Selain administrasi standar infliximab, SOP
memberikan pedoman untuk pemanfaatan daftar periksa keselamatan preinfusi, tes
laboratorium preinfusi, dan standarisasi premedikasi (yaitu, prednisolon,
diphenhydramine, dll). Tes laboratorium standar termasuk hitung darah lengkap,
penanda inflamasi, albumin, dan aminotransferase. Tes berkala ad hoc mencakup
25-hidroksi vitamin D (vitamin D 25-OH) tahunan, skrining tuberkulosis, dan tingkat
infliximab dosis keempat.
SOP dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur, diskusi dengan pusat IBD anak
lainnya, dan pendapat ahli. Sebelum implementasi, beberapa pemangku
kepentingan meninjau dan menyetujui protokol. Peninjau termasuk dokter yang
meresepkan dan perawat di Divisi Gastroenterologi Anak, perawat dan manajer
infus, apoteker, ahli alergi, ahli reumatologi, tim perawatan kritis, dan komite
protokol keperawatan.
SOP memasukkan 6 standar: (1) penapisan untuk infeksi aktif, penyakit
yang memburuk, dan reaksi infus sebelumnya dengan daftar periksa preinfusi (Gbr.
(Gbr.1); (2) pemantauan laboratorium,(3) pemberian obat yang tepat (yaitu, dosis,
laju pengiriman) (4) parameter untuk pemantauan tanda vital;(5) pengelolaan reaksi
infus dan (6) premedikasi dan penyesuaian kecepatan untuk mencegah reaksi infus.
Checklist preinfus, yang merupakan fokus penelitian ini, memberikan data untuk
menyesuaikan rencana sesuai kebutuhan (misalnya, menunda infus ketika ada
adalah infeksi aktif, meningkatkan dosis untuk penyakit aktif, atau memberikan
premedikasi dan memperlambat laju infus jika pasien memiliki reaksi infus
sebelumnya).
Sebelum implementasi protokol, perawat praktisi (NP) memimpin sesi
pelatihan untuk semua staf perawat di kedua bidang infus. Sesi ini termasuk review
infliximab, efek sampingnya, dan ringkasan poin SOP utama. SOP diterapkan pada
September 2016. Salinan ditempatkan pada keranjang obat di setiap daerah infus.
Pedoman terpisah berkode warna yang menguraikan manajemen darurat reaksi
infus juga dilampirkan pada keranjang obat (Gbr. (Gbr.22).
Anggota tim peningkatan kualitas (QI) termasuk NP, dokter konsultan dan
kepala perawat IR. Tim membuat perubahan pada protokol berdasarkan umpan
balik dan pengalaman, melakukan pertemuan protokol infus bulanan untuk
membahas dan menyarankan perbaikan SOP, dan sosilisasi pembaruan dengan
staf perawat. Manajer perawat CSSU menghadiri pertemuan QI dan menyebarkan
pembaruan kepada stafnya. Seorang perawat divisi gastroenterologi (GI) membantu
dengan perubahan pada SOP, sementara yang lain bertanggung jawab untuk
mengumpulkan dan mencatat data.

Evaluasi: Ukuran Hasil Kepatuhan


Keberhasilan intervensi ini ditentukani melalui langkah-langkah kepatuhan
kepada SOP. Keberhasilan ini dinilai terutama dengan memantau pengajuan dan
penyelesaian checklist preinfusi berikut implementasi protokol pada 1 September
2016 (dipantau selama 15 bulan dari September 2016 hingga November 2017).
Periode baseline didefinisikan sebagai implementasi 6 bulan pasca-checklist.
Checklist yang lengkap membutuhkan penyertaan semua elemen.
Orang tua menyelesaikan checklist untuk pasien di bawah 13 tahun; orang
tua dan pasien menyelesaikan cheklist untuk pasien berusia 13-17 tahun.
Pendekatan ini diambil agar pasien remaja dapat mulai belajar bagaimana
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih,
hanya pasien yang melengkapi checklist. Pada akhir setiap minggu, orang yang
ditunjuk dari masing-masing unit membawa checklista yang telah diisi kepada
perawat divisi GI (E.J.L) yang memasukkannya ke dalam lembar kerja Excel yang
teridentifikasi. Analisis bagan berjalan setiap bulan. NP meninjau rin chart pada
pertemuan protokol infus bulanan.
Selain itu evaluasi penyelesaian pengujian laboratorium yang ditentukan
protokol sebelum penghentian jalur intravena sebagai ukuran tambahan kepatuhan
protokol. Berbeda dengan penilaian siklus cepat real-time dari penyelesaian
checklist , dampak SOP pada penyelesaian tes laboratorium dievaluasi
menggunakan perbandingan pra-pasca . Untuk penilaian implementasi pra-SOP,
ditinjaui catatan 50 pasien yang menerima infliximab dari 1 Januari hingga 12
Februari 2016. Ulasan ini mencakup semua pasien yang menerima infliximab
selama periode ini. Untuk penilaian implementasi pasca-SOP,diyinjau semua grafik
pasien untuk mereka yang menerima infus dari 1 Agustus hingga 10 Oktober 2017
(N = 62). Periode untuk pengumpulan data postprotocol lebih lama daripada
implementasi preprotocol untuk mendapatkan sampel yang memadai dari pasien
yang memiliki tingkat infliximab dosis keempat yang ditarik. Ulasan grafik menilai
penyelesaian dari 11 tes laboratorium yang ditentukan dalam protokol. Kemudian
membandingkan rata-rata sebelum dan sesudah implementasi.
Gambar 1. Ceklis preskrining keselamatan

Evaluasi kualitatif
Selama beberapa pertemuan QI bulanan, perawat menyampaikan kekhawatiran
bahwa SOP terlalu kompleks dan panjang. Untuk mengatasinya, NP menyederhanakan SOP
menjadi 1 halaman, panduan berpoin (Gbr. (Gbr.3). Setelah memasukkan umpan balik, NP
melakukan 2 sesi pelatihan perawat untuk memperkenalkan protokol terkondensasi,
menjelaskan kembali tujuan checklista, dan mengklarifikasi kebutuhan untuk setiap tes
laboratorium. Versi revisi dari SOP ditempatkan pada keranjang obat di CSSU dan IR. Versi
orisinil, tanpa ringkasan juga tersedia untuk referensi sesuai kebutuhan. Umpan balik
checklist keselamatan diminga dalam pertemuan dengan 3 perawat dan 3 dokter yang
meresepkan. Checlist dinilai gerlalu detail oleh karena itu, dilakukan pemadatan dengan
menghapus beberapa pertanyaan yang berlebihan,menambahkan alur kerja.
Analisis statistic
Digunakan metode peningkatan kualitas standar untuk mengevaluasi dan
meningkatkan pemanfaatan checklista preinfusion. Metode ini terdiri dari run chart bulanan,
dikelompokkan berdasarkan unit perawatan pasien. Aturan run chart standar digunakan
untuk menafsirkan laporan bulanan.
Dilakukan evaluasi penyelesaian tes laboratorium sebelum dan sesudah
penerapan SOP. Sampel independen Uji t Student (2-tailed) digunakan untuk
membandingkan kepatuhan sebelum post untuk 8 pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan dan total pemeriksaan laboratorium. Uji eksak Fisher digunakan untuk
membandingkan proporsi infus dengan pengujian untuk tuberkulosis, vitamin D, dan tingkat
infliximab yang dilakukan pada titik waktu yang sesuai. Semua analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan IBM SPSS Versi 24.0.

e. Tindakan kualitatif
NP melakukan kelompok fokus untuk mendapatkan umpan balik tentang protokol dengan) 6
perawat (2 dari CSSU dan 4 dari IR) dan (2) semua 4 dokter yang meresepkan infliximab.
Diajukan 3 pertanyaan terbuka selama sesi perawat:
Apa yang Anda sukai dari protokol?
Apa yang bermasalah dengan protokol atau perlu perbaikan?
Apa rekomendasi Anda untuk mempertahankan implementasi SOP?
Pertanyaan yang sama ditanyakan selama kelompok fokus dokter, bersama dengan
pertanyaan tambahan: Apa hambatan yang Anda temukan terhadap implementasi protokol?
NP dimoderasi dan rekaman audio kedua sesi. Dilakuakn penilaiani keterlibatan kelompok
dengan memperhatikan bahasa tubuh, kontak mata, dan ekspresi wajah, serta tingkat
partisipasi setiap peserta. NP menyalin sesi. Tanggapan dikodekan secara independen oleh
2 pengulas (M.M.K., B.S.T.) untuk mengurangi subjektivitas dan bias.

f. Pertimbangan etik
University of North Carolina (UNC) -Chapel hill Institutional Review Board mereview dan
mengelompokaan penelitian ini sebagai penelitian subyek bukan manusia karena melibatkan
pembentukan standar sistem-tingkat perawatan.
3.4.Hasil Penelitian
Hasil pengajuan dan penyelesaian daftar periksa keselamatan ditampilkan pada
Gambar 4. Digunakan grafik run standar aturan dan mengidentifikasi pergeseran
dalam tingkat penyelesaian rata-rata untuk kedua unit. Periode awal didefinisikan
sebagai 6 bulan pasca-daftar periksa pelaksanaan. Di CSSU, tingkat penyelesaian
rata-rata untuk periode awal adalah 46%, dan selama periode berikutnya 9 bulan,
tingkat penyelesaian rata-rata adalah 81%. Di IR, tingkat penyelesaian rata-rata untuk
periode awal 6 bulan adalah 91%, dan selama 9 berhasil bulan, tingkat penyelesaian
rata-rata adalah 95%.

3.5. Kepatuhan terhadap Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 1 menampilkan hasil membandingkan pre dan post implementasi sesuai pada
standart dan skrining periodik laboratorium. Ada peningkatan yang signifikan dalam
pengumpulan skrining laboratorium standar (P <0,001), serum vitamin D 25-OH
tahunan (P = 0,032), dan tingkat infliximab dosis keempat setelah implementasi
protokol (P <0,001). Quantiferon (Qiagen, Venlo, The Belanda) gold TB atau TB
turunan protein murni skrining dilakukan setiap tahun di 100% dari pasien
preintervensi dan tidak menolak postintervensi; rata-rata meningkat secara signifikan
untuk semua kecuali skrining tuberkulosis (P <0,001).

3.6. Hasil Kelompok Fokus Umum


Semua peserta menghadiri kelompok fokus secara sukarela; ekspresi wajah mereka,
nada suara, dan bahasa tubuh menunjukkan saling berhubungan. Tidak ada
percakapan kesenjangan atau kepribadian dominan; setiap peserta memiliki ≥2
tanggapan. Semua peserta berkenalan dan berkomunikasi baik dengan moderator
dan satu sama lain. Kelompok perawat tetap bertugas, tanpa menyimpang dari topik.
Pada awalnya, para dokter fokus secara khusus pada daftar periksa; 1 dokter
membantu NP memfokuskan kembali kelompok.
3.7. Kelompok Fokus Perawat
Dua puluh satu tanggapan diperoleh dari 3 pertanyaan post. Perawat dari kedua area
infusion memberikan respon yang konsisten. Tiga tema positif keseluruhan muncul
setelah 2 ulasan independen: komunikasi, kualitas perawatan, dan efisiensi. Perawat
setuju bahwa protokol berikut implementasi, ada peningkatan komunikasi antara
dokter dan perawat, pasien dan perawat, dan pasien dan penyedia. “Penyedia
tampaknya mencoba untuk melibatkan perawat lebih banyak dalam perawatan
pasien dan bukan hanya mengikuti perintah. ”Komunikasi berkurang dalam 1 kasus.
Terkadang provider membuat perubahan pada infliximab dosis atau interval, dan
mungkin tidak jelas dalam ESDM (elektronik rekam medis). Komunikasi
dipertimbangkan penting untuk keberlanjutan.
Akhirnya, efisiensi dirasakan perlu ditingkatkan oleh SOP. SOP memberikan
pedoman yang jelas tentang volume pengenceran infliximab. Ini umumnya
menghasilkan tets IV yang lebih kecil dan waktu infus yang lebih cepat. Efisiensi
keterbatasan dicatat. Ini membuat frustasi bagi penyedia halaman mengenai
tanggapan daftar periksa, dan mereka tidak menelepon kembali dengan cepat.

3.8. Kelompok Fokus Dokter


Keempat pertanyaan yang diajukan kepada dokter menghasilkan 27
respon/tanggapan. Empat tema muncul setelah 2 independen ulasan: kualitas
perawatan, efisiensi, komunikasi, dan keamanan.
Para dokter sepakat bahwa kualitas perawatan itu ditingkatkan. Daftar periksa
dianggap bermanfaat dalam pengambilan keputusan apakah pasien harus menerima
infus hari itu. "infusion nurse dapt mengidentifikasi; seorang pasien mungkin memiliki
infeksi, atau mereka mungkin tidak merasa baik tentang IBD mereka, membutuhkan
manajemen rencanakan perubahan. ”
Secara keseluruhan, efisiensi dirasakan telah meningkat sejak saat itu implementasi
SOP. Pemantauan hasil laboratorium standart sangat membantu." Namun, 1
komentar menyarankan efisiensi bisa meningkat lebih banyak. Sejak SOP dilakukan
peningkatan penghasilan pendapatan yang signifikan, tambahan apa pun waktu yang
diperlukan untuk menggunakan protokol harus seimbang oleh peningkatan
pendapatan. Ada 1 hambatan untuk keberlanjutan tersebut. bahwa penting untuk
menyederhanakan bagian yang terlalu rumit untuk dokter dan perawat.
Komunikasi dirasakan ditingkatkan secara keseluruhan.
Terakhir, keselamatan adalah aspek penting. Pengelompokan data dari protokol akan
membantu meningkatkan keamanan saat akan memulai infus home base atau rafid
infusions. Manajemen reaksi infus dengan algoritma mencegah panggilan cepat atau
memberikan epinefrin yang tidak perlu.

3.9. DISKUSI
Tujuan proyek dalam penelitian ini adalah untuk mengurangi variasi di antara
berbagai perawat, dokter, dan unit infus. SOP dan perbaikan yang berulang
menghasilkan peningkatan kepatuhan dengan checklist keselamatan preinfusion.
Pemantauan skrining laboratorium standar, vitamin D 25-OH, dan peningkatan
tingkat infliximab postprotocol.
Berkaitan dengan cecklist, IR lebih patuh dengan penyerahan daftar periksa
dan penyelesaian di awal, tetapi CSSU menunjukkan kemajuan luar biasa, dan pada
akhir pengumpulan data, persentase penyelesaian CSSU tidak jauh berbeda dari IR.
CSSU menunjukkan peningkatan setelah perawat tindak lanjut dalam pelayanan,
tetapi tidak jelas apakah ini adalah hasil dari dalam pelayanan atau bagian dari tren
peningkatan kepatuhan yang tidak terkait dengan pelayanan. Perbedaan awal dalam
kepatuhan antara unit kemungkinan terkait dengan perawat CSSU merawat banyak
jenis pasien, bukan hanya infliximab infus. Menanyakan kepada perawat CSSU
membantu mengungkap mengapa mereka awalnya memiliki tingkat pengiriman dan
penyelesaian yang lebih rendah. Awalnya, perawat CSSU menganggap checklist
memiliki kepentingan rendah karena tidak memahami alasannya. Selain itu, untuk
pasien berusia 13 hingga 17 tahun, perawat tidak menawarkan checkliat kepada
orang tua dan pasien karena mereka tidak mengerti tujuannya . Pendidikan dari
manajer keperawatan dan NP membantu mereka menggunakan checklist dengan
tepat.
Diskusi kelompok yang berfokus kepada perawat mengungkapkan tema
utama komunikasi, kualitas perawatan, dan efisiensi; diskusi kelompok yang berfokus
pada dokter mengungkap tema yang sama dengan perawat, ditambah keamanan.
Umpan balik dari kedua kelompok sebagian besar positif, dan mereka tampaknya
merasa bahwa kualitas perawatan dan komunikasi paling baik. Baik perawat dan
dokter antusias dalam kesediaan mereka untuk memberikan umpan balik,
kemungkinan karena mereka ingin meningkatkan pemberian perawatan pasien.
Umpan balik ini membantu tim QI memahami apa yang sudah berjalan baik dan apa
yang perlu diperbaiki. Perawat tampaknya mengenali peran penting mereka dalam
infus setiap pasien . Dokter merasa lebih aman sehingga perawat merasa lebih
kompeten; peningkatan ini kemungkinan karena meningkatnya komunikasi antara
dokter dan perawat.
Proyek ini menyoroti pentingnya kolaborasi interdisipliner, khususnya antara
perawat dan dokter. Karena jumlah pasien yang menjalani terapi biologis terus
bertambah, konsistensi dalam praktik sangat penting. Kesenjangan dalam pendidikan
dan kurangnya komunikasi menyebabkan banyak inkonsistensi di pusat pelayanan
kesehatan. Salah satu kekuatan dari proyek ini termasuk pemantauan ketat terhadap
SOP yang memastikan evaluasi berkelanjutan serta peluang berkelanjutan untuk
meningkatkan perawatan. Dalam proyek ini dilakukan pertemuan QI protokol infus
bulanan setelah implementasi SOP. Awalnya pertemuan dihadiri NP, pemimpin
dokter, perawat divisi GI, dan perawat infus. Namun, kelompok berevolusi untuk
memasukkan kelompok pemegang kepentingan yang lebih luas yaitu manajer
perawat, perwakilan QI rumah sakit, manajer data, rheumatologist, dan nephrologist
yang juga meresepkan infus. Pertemuan ini berfokus pada apa yang sudah berjalan
baik dan bidang-bidang yang perlu diperbaiki.

3.10. Kekurangan dan Kelebihan jurnal


a. Kekurangan
 Keterbatasan penelitian ini adalah kurangnya data kelengkapan checklist
keselamatan sebelum penerapan SOP. Untuk alasan ini, peneliti memilih 6
bulan pertama data checklist setelah penerapan SOP sebagai baseline .
Selain itu, meskipun peneliti menggunakan peningkatan kualitas
berkelanjutan untuk mengoptimalkan penerapan checklist SOP, upaya QI
berkelanjutan tidak meluas ke aspek lain dari SOP, termasuk penyelesaian uji
laboratorium. Sebaliknya, peneliti menganalisis pengujian laboratorium
sebagai ukuran sekunder kepatuhan protocol dengan menggunakan analisis
pra-pasca retrospektif. Oleh karena itu, kesimpulan formal tentang
peningkatan dalam pengujian laboratorium sebagai hasil dari penerapan SOP
tidak dapat dibuat.

b. Kelebihan
 SOP ini diperbarui berdasarkan ilmu pengetahuan baru dari literatur dan
pengalaman penggunaannya. SOP juga menjadi dasar untuk membuat
protokol untuk infuse infliximab cepat 1 jam dan infus non-rumah sakit, yang
juga membutuhkan perawatan yang aman dan konsisten. Proses
pengembangan SOP juga membantu ahli nefrologi dan reumatologi di tempat
dimana SOP dirancang untuk agen biologi dan kemoterapi. Divisi GI anak
berencana untuk memanfaatkan proses ini untuk mengembangkan protokol
untuk penyakit lain, seperti pasien yang menjalani transplantasi hatiJumlah
sampel dalam penelitian ini sangat banyak sehingga hasil yang diperoleh bisa
representatif.

3.11. Implikasi di Indonesia


Infliximab merupakan antibody monoclonal yang dapat digunakan sebagai
terapi lini ke tiga pada beberapa penyakit untuk mengatasi inflamasi termasuk IBD.
Infliximab digunakan sebagai salah satu pilihan akhir pada pengobatan kasus IBD
(Chadra .S,Simadibrata.M, 2014)
Menurut Maulidia.M, Marfiayanti.S,Rofiq. A, Infliximab diberikan secara
intravena melalui infus 5 mg/kg yang diberikan selama 2–3 jam dimasukkan ke dalam
3 infus pada minggu pertama, 2 minggu sesudahnya dan pada minggu keenam,
selama 6 minggu pertama pengobatan. Terapi rumatan dilakukan setiap 8 minggu.
Sebelum dilakukan terapi sebaiknya dilakukan test PPD untuk skrining infeksi
tuberkulosis laten.Setelah pemakaian selama 2 minggu menunjukkan perubahan nilai
PASI dan DLQI masing-masing mencapai 69% dan 61%. Faktor lain yang juga
didapatkan adalah pemberian infus secara regular sangat penting untuk
mempertahankan efikasi.
Sebagai obat lini ke tiga obat ini jarang digunakan di Indonesia, hal ini bisa
saja menimbulkan kendala dalam pemberian obat ini . SOP dan penyamaan persepsi
dalam jurnal ini dapat dipakai sebagai acuan dalam pemberian infliximab.
Cecklist sebelum pemberian onfliximab yang digunakan dalam jurnal ini dapat
dipakai sebagai upaya untuk meminimalkan efek samping obat ini. Hal inj sesuai
dengan upaya pencegahan efek samping yang dianjurkan yaitu:
Pencegahan infeksi.
 Kontraindikasi penunjukan infliximab pada pasien dengan penyakit menular
yang parah.
 Hal ini diperlukan untuk menghentikan pengobatan dengan pengembangan
infeksi serius dengan dimulainya kembali kembali setelah pemulihan penuh.
 Tidak disarankan meresepkan infliximab kepada pasien terinfeksi HIV, karena
konsekuensinya tidak diketahui.
 Hal ini tidak dianjurkan untuk mengobati pasien dengan hepatitis aktif dan
kronis dengan obat ini, karena dalam kasus ini data mengenai
penggunaannya tidak konsisten.
 Hal ini diperlukan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
pembawa virus hepatitis B kronis sebelum aplikasi infliximab dan memantau
secara hati-hati selama terapi sehubungan dengan kemungkinan eksaserbasi
pada penyakit ini.
Yang terpenting adalah pencegahan infeksi tuberkulosis, karena diseminasinya
dianggap sebagai komplikasi terapi infliximab yang paling parah.
 Semua pasien sebelum awal atau sudah dalam proses pengobatan dengan
infliximab harus melakukan tes tuberkulin kulit (reaksi Mantoux) dan
pemeriksaan radiografi paru-paru.
 Pada pasien yang menerima terapi dengan infliximab, karena penekanan
immuno, hasil tes negatif palsu dari tes kulit adalah mungkin dilakukan. Oleh
karena itu, mereka memerlukan pengamatan klinis yang cermat dengan studi
reptogenologis paru-paru dan dinamika.
 Jika reaksi Mantoux negatif, tes harus diulang melalui pedal (10-15% pasien
memiliki hasil positif). Dalam kasus tes negatif kedua, infliximab dapat
diberikan.
 Dengan tes kulit positif (> 0,5 cm), pemeriksaan sinar X pada paru-paru
diindikasikan. Dengan tidak adanya perubahan pada radiografi, isoniazid
dianjurkan dalam dosis 300 mg dan vitamin B6 selama 9 bulan. Sebulan
setelah akhir, adalah mungkin untuk meresepkan infliximab.
 Dengan tes kulit positif dan adanya tanda khas tuberkulosis atau kelenjar
getah bening kalsifikasi mediastinum (kompleks Gona) sebelum penunjukan
infliximab, perlu menggunakan terapi isoniazid dan vitamin B paling sedikit 3
bulan. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun ditunjukkan dalam hal ini studi
enzim hati dalam dinamika.
Apabila di masa datang terapi ini sudah banyak dilakukan di Indonesia maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang SPO pemberian infliximab ini.

Penatalaksanaan standart pada kasus IBD di Indonesia adalah:


Penatalaksanaan IBD dapat dengan terapi obat-obatan, pembedahan, maupun
kombinasi keduanya (lebih sering kombinasi). Pendekatan terapi farmakologi pada pasien
IBD yaitu terapi berdasarkan gejala dan pendekatan secara step-wise dengan obat-obatan
sampai respon yang diharapkan tercapai.
1. Terapi simtomatis

Karena biasanya pasien IBD memiliki gejala seperti diare, spasme atau nyeri,
ketidaknyamanan epigastrium, maka diberikan obat-obatan seperti antidiare,
antispasmodic, pereda asam lambung, dan lain-lain.
Loperamide dan kombinasi antara diphenoxylate dan atropine berguna untuk penyakit
yang ringan dengan tujuan mengurangi pergerakan usus dan urgensi rektum.
Cholestyramine mengikat garam empedu sehingga berguna untuk mengurangi diare
pada pasien dengan CD yang sudah direseksi ileumnya. Terapi antikholinergik
dicyclomide dapat membantu mengurangi spasme intestinal. Obat-obatan ini bukan
tanpa komplikasi, dan harus hati-hati penggunaannya. Antidiare dan antikholinergik
harus dihindari untuk penyakit akut yang parah, karena obatobat ini dapat mencetuskan
terjadinya megakolon toksik. Hindari juga penggunaan narkotik dalam waktu jangka
panjang untuk penatalaksanaan nyerinya. Suplemen zat besi perlu ditambahkan jika
terdapat perdarahan rektum yang signifikan.
(II) Terapi Step-Wise
Pendekatan secara step-wise digunakan dengan cara memakai obat yang paling ringan
(atau sementara) terlebih dahulu, jika obat itu gagal, obat-obatan pada tahap berikutnya
yang digunakan.
Step I Aminosalisilat
Aminosalisilat digunakan untuk menangani perluasan IBD dan mempertahankan remisi.
Tidak ada aminosalisilat yang dibuktikan memiliki efikasi yang lebih baik untuk
pengobatan UC maupun CD dibandingkan terapi lainnya. Terapi dengan obat ini
lebihefekti pada pasien dengan UC dibandingkan CD, namun dapat mencegah rekurensi
pada pasien CD yang sudah ditangani dengan pembedahan.

Step IA Antibiotik
Metronidazole dan ciprofloxacin merupakan antibiotik tersering yang digunakan pada
pasien IBD. Pada beberapa penelitian, terapi antituberkulosis, makrolid, fluoroquinolone
dan rifaximin (monoterapi maupun kombinasi) dapat menginduksi remisi pada CD
maupun UC yang aktif.biasanya pasien dengan UC menggunakan antibiotik untuk
perioperatif, sedangkan pada CD antibiotik digunakan pada berbagai indikasi, paling
sering adalah penyakit perianal. Bisa juga untuk fistula, masa inflamatorik pada
abdomen, dan ileitis. Antibiotik ini banyak memiliki berbagai efek samping yang
potensial seperti mual, diare, anoreksia, infeksi monolial (candida), dan neuropati
perifer.
Step II Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan agen anti inflamasi yang bekerja dengan cepat dan
indikasinya untuk IBD yaitu pada penyakit dengan perluasan akut saja, tidak untuk
mempertahankan remisi. Penggunaan kortikosteroid dibatasi oleh karena berbagai efek
sampingnya, terutama pada penggunaan jangka panjang. Komplikasi potensial dari
penggunaan kortikosteroid antara lain abnormalitas keseimbangan cairan dan elektrolit,
osteoporosis, nekrosis aseptik, ulkus peptikum, katarak, disfungsi neurologi dan
endokrin, komplikasi infeksius, dan gangguan psikiatri (termasuk psikosis).
Rute administrasi kortikosteroid yaitu:
a. Intravena, contohnya methylprednisolone, hydrocortisone. Biasanya digunakan untuk
pasien dengan sakit yang parah dengan dosis awal biasanya 40 mg setiap 6 jam
untuk methylprednisolone, atau 100 mg tiap 8 jam untuk hidrokortison, kemudian
dosis selanjutnya di-tappering

b. Oral, contohnya prednisone, prednisolone, budesonide, deksametason. Dosisnya


bervariasi, yang sering adalah prednisone 10-40 mg per hari untuk perluasan IBD
sedang. Budesonide merupakan kortikosteroid sintetik yang digunakan untuk CD
dengan keterlibatan pada ileum maupun ileoceccum. Preparat ini tidak efektif untuk
UC

c. Topikal (enema, supositoria, preparat foam)


Preparat ini digunakan pada pasien dengan penyakit pada kolon distal, untuk
penyakit yang aktif, dan sedikit peranannya untuk mempertahankan remisi. Preparat
ini efektif untuk IBD ringan sampai sedang dengan keterlibatan pada kolon distal.
Cortenema, Cortifoam, dansuposituria Anusol-HC digunakan untuk penyakit pada
bagian distal seperti proctitis dan proctosigmoiditis.

Step III Immune modifier


6-MP dan azathioprine digunakan pada pasien IBD dengan remisi yang sulit
dipertahankan hanya dengan aminosalisilat saja. Terapi ini bekerja dengan
menyebabkan reduksi jumlah limfosit sehingga onsetnya menjadi lebih lambat (dua
sampai tiga bulan). Preparat ini digunakan paling sering untuk pasien dengan penyakit
yang refraktorius, terapi primer untuk fistula, dan mempertahankan remisi.sebelum
memulai terapi ini, pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan genotip atau fenotip
thiopurine methyltransferase (TPMT) karena resiko terjadinya leukopenia yang parah
(menyebabkan komplikasi sepsis), juga diperlukan monitoring terhadap parameter darah
setiap bulannya, dan tes fungsi hati juga perlu secara intermiten.
Step IV Terapi eksperimental
Terapi eksperimental yang digunakan pasien dengan CD yaitu methotrexate,
thalidomide, dan IL-11. Sedangkan untuk UC yang digunakan cyclosporine A, nicotine
patch, butyrateenema, dan heparin. Terapi oksigen hiperbarik dapat juga membantu
terapi IBD yang tidak responsive dengan terapi lain
(III) Intervensi Pembedahan
Pendekatan dengan terapi pembedahan pada IBD bervariasi tergantung pada
penyakitnya. Yang terpenting, UC merupakan penyakit yang dapat disembuhkan
dengan pembedahan karena terbatas pada kolon. Sedangkan CD yang dapat
melibatkan seluruh segmen saluran pencernaan dari mulut sampai anus, pembedahan
dengan reseksi bukan merupakan terapi yang kuratif. Perlu diingat juga, intervensi
pembedahan yang berlebihan dapat menyebabkan crippling short bowel syndrome.
DAFTAR PUSTAKA

Mostamand S, Schroeder S, Schenkein J, et al. Infliximab-associated immunomediated


hepatitis in children with inflammatory bowel disease. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2016;63:94–97
Lemaitre M, Kirchgesner J, Rudnichi A, et al. Association between use of thiopurines or
tumor necrosis factor antagonists alone or in combination and risk of lymphoma in
patients with inflammatory bowel disease. JAMA. 2017;318:1679–1686. 
Rosen MJ, Dhawan A, Saeed SA. Inflammatory bowel disease in children and
adolescents. JAMA Pediatr. 2015;169:1053–1060
Widodo AN, 2018. Hubungan Antara Ekspresi Interleukin-6 Dengan Pemberatan Dan
Keparahan Penyakit Kolitis Ulseratif. Universitas Gadjah Mada
Yosy DS, Salwan H, 2014. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak MKS, Th. 46, No. 2.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, RS
Moh. Hoesin, Palembang

Anda mungkin juga menyukai