Elsy Pramitha Sari, Roza Mulyana, Eva Decroli, Roza Kurniati, Deka Viotra
Abstrak
Pendahuluan:Kolitis ulseratif adalah penyakit kronik yang ditandai dengan inflamasi mukosa
yang simetris, difus, disertai episode remisi dan eksaserbasi yang umumnya melibatkan rektum
meluas hingga bagian proksimal usus besar. Di Indonesia, angka kejadian tahunan Inflammatory
Bowel Disease sekitar 0,55 per 100.000 populasi. Berdasarkan usia, puncak kejadian kolitis
ulseratif terjadi pada usia 20-29 tahun. Diagnosis definitive adalah pemeriksaan endoskopi diikuti
dengan pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi. Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau
mesalazine saat ini lebih disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil
meski efektivitasnya relatif sama. Remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu yang kemudian diikuti
dengan dosis pemeliharaan. Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus pasien laki-laki usia 69 tahun
dengan diagnosis klinis kolitis ulseratif. Pada pasien ditemukan adanya diare kronik lebih dari 21 hari,
BAB berlendir, campur darah, disertai nyeri perut. Selain itu pasien juga menderita TB paru relaps
terdiagnosis klinis dan sudah minum OAT kategori I sejak bulan September 2022. Pasien dilakukan
kolonoskopi dengan hasil left side colitis dan diberikan preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau
mesalazine sebagai terapi follow up setelah pemberian terapi preparat 5-asam aminosalisilat (5-
ASA) atau mesalazine pada pasien menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan. Kesimpulan:
Kolitis ulseratif adalah penyakit kronik yang ditandai dengan inflamasi mukosa yang simetris, difus,
disertai episode remisi dan eksaserbasi yang umumnya melibatkan rektum meluas hingga bagian
proksimal usus besar. Penegakkan diagnosis memerlukan kolonoskopi dengan biopsi (gold standar).
Namun pada pasien ini tidak dilakukan biopsi karena sudah bisa didiagnosa dari hasil kolonoskopinya.
tingkat keparahan kolitis ulseratif dinilai berdasarkan kriteria Mayo Score for Ulcerative Colitis (MSUC)
didapatkan skor 6 dengan kesan ringan sehingga diterapi hanya dengan preparat 5-asam aminosalisilat
(5-ASA) atau mesalazine tampa menggunakan kortikosteroid. Terapi 5-asam aminosalisilat (5-
ASA) atau mesalazine pada pasien menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan.
Kata Kunci : kolitis ulseratif, inflamatory bowel disease, tb paru, preparat 5-asam aminosalisilat
(5-ASA)
Abstract
Introduction : Ulcerative colitis is a chronic disease characterized by symmetrical, diffuse mucosal
inflammation, accompanied by episodes of remission and exacerbation, which generally involve the
rectum extending to the proximal part of the large intestine. In Indonesia, the annual incidence of
Inflammatory Bowel Disease is around 0.55 per 100,000 population. Based on age, the peak incidence of
ulcerative colitis occurs at the age of 20-29 years. Definitive diagnosis is endoscopic examination followed
by histopathological examination of biopsy preparations. 5-aminosalicylic acid (5-ASA) or mesalazine
preparations are currently preferred over sulfasalazine preparations because they have fewer side effects
although their effectiveness is relatively the same. Remission is achieved in 16 – 24 weeks followed by a
maintenance dose. Case Report: We report a case of a 69-year-old male patient with a clinical diagnosis
of ulcerative colitis. The patient was found to have chronic diarrhea for more than 21 days, mucus and
bloody stools, accompanied by abdominal pain. In addition, the patient also suffered from relapsed
pulmonary TB, clinically diagnosed and had been taking OAT Category I since September 2022. The
patient underwent a colonoscopy with the result of left side colitis and was given 5-aminosalicylic acid (5-
ASA) or mesalazine as follow-up therapy after the therapy. Preparations of 5-aminosalicylic acid (5-ASA)
or mesalazine in patients showed significant clinical improvement. Conclusion: Ulcerative colitis is a
chronic disease characterized by symmetrical, diffuse mucosal inflammation, accompanied by episodes of
remission and exacerbation that generally involve the rectum extending to the proximal part of the large
intestine. Establishing the diagnosis requires colonoscopy with biopsy (gold standard). Colitis therapy in
the form of preparations 5-aminosalicylic acid (5-ASA) or mesalazine, corticosteroids.
Keywords: ulcerative colitis, inflammatory bowel disease, pulmonary tuberculosis, 5-aminosalicylic acid
(5-ASA) preparation
1
PENDAHULUAN microbialdan diidentifikasinya gen CARD15
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya
penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna Inflammatory Bowel Disease.
dengan penyebab pasti belum diketahui jelas. IBD
dibedakan menjadi dua yakni kolitis ulseratif (KU,
MANIFESTASI KLINIS
Ulcerative colitis/UC) dan Penyakit Crohn (PC,
Crohn's disease/CD). Bila sulit membedakan
Secara umum, keluhan Inflammatory
keduanya, dimasukkan ke dalam kategori Bowel Disease berupa diare kronik dengan
indeterminate colitis (IC). Hal ini untuk secara atau tanpa darah, dan nyeri perut. Selain itu,
praktis membedakannya dengan penyakit kerap dijumpai manifestasi di luar saluran
inflamasi usus lainnya yang telah diketahui cerna (ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis,
penyebabnya seperti infeksi, iskhemia dan pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan
radiasi.1 kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat
dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan
patologis yang ada seperti anemi, demam,
EPIDEMIOLOGI gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat
Insidensi kolitis ulseratif paling tinggi adalah pola perjalanan klinis Inflammatory
terdapat di Eropa bagian utara yaitu di Islandia
Bowel Disease bersifat kronik-eksaserbasi-
mencapai 24,3 per 100.000 populasi, dan Amerika
Utara 19,2 per 100.000 populasi. Negara negara di remisi atau secara umum ditandai oleh fase
Pasifik seperti Selandia Baru dan Australia, yang aktif dan fase remisi. Pemahaman atas proses
memiliki faktor resiko lingkungan dan latar infl amasi yang terjadi pada patogenesis
belakang genetik yang menyerupai Eropa dan Inflammatory Bowel Disease akan membantu
Amerika Utara juga memiliki insidensi yang kita mengenali gambaran klinis untuk masing-
tinggi. Di Norwegia 505 per 100.000 populasi dan masing entitas Inflammatory Bowel Disease.
kanada 248 per 100.000 populasi.1 Misalnya kita akan menemui keluhan yang
Insidensi di Asia mulai meningkat 2 lebih seragam pada kolitis ulseratif
dekade terakhir. Pada tahun 2013 di beberapa dibandingkan chron karena distribusi anatomis
negara di Asia berkisar antara 0,54 hingga 3,44 saluran cerna yang terlibat pada kolitis
per 100.000 populasi. Di Indonesia, angka
ulseratif adalah kolon sedangkan pada chron
kejadian tahunan Inflammatory Bowel Disease
sekitar 0,55 per 100.000 populasi. Berdasarkan lebih bervariasi.3
usia, puncak kejadian kolitis ulseratif terjadi pada
usia 20-29 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, rasio DIAGNOSIS
perempuan dan laki laki bervariasi antara 0,51 – Pemeriksaan endoskopi berperan sangat
1,58. 1 penting dalam penegakan diagnosis sekaligus
terapi Inflammatory Bowel Disease dengan akurasi
ETIOPATOGENESIS diagnostik berkisar 89%.Umumnya, pemeriksaan
endoskopi diikuti dengan pemeriksaan
Hingga saat ini, etiologi pasti
histopatologi sediaan biopsi. Pemeriksaan lain
Inflammatory Bowel Disease belum seperti pencitraan dengan kontras ganda dapat
sepenuhnya dimengerti. Banyak teori dilakukan sebagai alat konfirmasi endoskopi.3
diajukan namun belum ada kausa tunggal
yang diketahui sebagai penyebab
Inflammatory Bowel Disease. Salah satu teori PENATALAKSANAAN
yang diyakini adalah peranan mediasi Fokus utama rencana terapeutik adalah
imunologi pada individu yang memang upaya penghambatan kaskade proses inflamasi
rentan secara genetis. Inflammatory Bowel jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Disease diyakini merupakan hasil respons Secara umum, prinsip terapi Inflammatory
imun yang menyimpang dan berkurangnya Bowel Disease adalah (1) mengobati
toleransi pada flora normal usus yang peradangan aktif Inflammatory Bowel Disease
berakibat terjadinya inflamasi kronik dengan cepat hingga tercapai remisi; (2)
padausus. Kondisi ini didukung dengan mencegah peradangan berulang dengan
adanya temuan antibodi terhadap antigen mempertahankan remisi selama mungkin; dan
2
(3) mengobati serta mencegah komplikasi. metotreksat merupakan beberapa jenis obat
Sayang tidak semua lini kesehatan memiliki kelompok imunomodulator. Dosis inisial
fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek
algoritma penatalaksanaan terutama pada lini substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per
kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru tercapai
kesehatan primer.1
dalam 2 – 3 bulan. Efek samping yang sering
Dua golongan obat yang dikenal luas
dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni,
untuk mengobati radang aktif Inflammatory Bowel
limfoma, hepatitis hingga pankreatitis. Siklosporin
Disease bertujuan menginduksi remisi secepat
intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus
mungkin adalah kortikosteroid dan asam amino
akut kolitis ulseratif refrakter steroid dengan angka
salisilat. Obat golongan glukokortikoid masih
keberhasilan 50 – 80%. Efek samping yang sering
merupakan obat pilihan untuk Inflammatory
dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi
Bowel Disease derajat sedang dan berat dalam
oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal
fase peradangan aktif. Pemilihan obat steroid
sebagai preparat yang efektif untuk kasus chron
konvensional, seperti prednison, metilprednisolon
steroid dependent sekaligus untuk
ataupun steroid enema, masih menjadi primadona
mempertahankan remisi pada kolitis ulseratif.
karena harga yang murah dan ketersediaan yang
Dosis induksi 25 mg intramuskular atau subkutan
luas. Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg
per minggu hingga selesai tapering off steroid. 1,6
prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik
obat-obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid
KOMPLIKASI
yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek
Pasien dengan Inflammatory Bowel
sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang
Disease dapat mengalami komplikasi yang berat
digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi
seperti kolitis toksik, fistula, abses intraabdomen,
biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu
keganasan, primary sclerosing cholangitis, dan
yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis
pouchitis. Pasien dengan Inflammatory Bowel
(tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu
Disease mengalami peningkatan morbiditas dan
hinggatercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu
mortalitias akibat komplikasi tersebut.
hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis ditapering
off 2.5 mg per minggu. 5
LAPORAN KASUS
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA)
Seorang pasien laki-laki berusia 69 tahun
atau mesalazine saat ini lebih disukai dari preparat
datang dengan keluhan utama BAB cair disertai
sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil
lendir dan darah sejak 21 hari sebelumnya,
meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia,
frekuensi 10-15 kali/hari sebanyak 1-2 gelas tiap
sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan
kali BAB. Pasien dengan keadaan umum sakit
tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL,
sedang dan kesadran composmentis cooperative,
serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk
tekanan darah 110/60, nadi 110 x /menit, nafas 21
mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari meski
x/menit, suhu 37,8℃. Pada pemeriksaan fisik paru
ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan
ditemukan adanya suara napas bronkovesikuler,
5-ASA ini minimal 3 gram per hari. Umumnya
rhonki basah halus tidang nyaring pada kedua paru,
remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu yang
pada abdomen ditemukan nyeri tekan suprapubik,
kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan.
bising usus meningkat dan nyeri ketok CVA (+).
Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 gram per hari. Untuk
Dilakukan pemeriksaan rectal toucher dan tidak
kasus-kasus usus bagian kiri atau distal, dapat
ditemukan adanya massa lunak pada daerah anus,
diberikan mesalazin supositoria atau enema,
pada handscoen ditemukan feses, lendir dan darah
sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak
(-).
cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-
Dari hasil pemeriksaan laboratorium
ASA.6
didapatkan kadar hb 13,0 g/dl, leukosit 5.250/mm,
Untuk mencegah peradangan berulang,
trombosit 265.000/mm. LED 70 mm/jam. Pada
dilakukan upaya mempertahankan masa remisi
urinalisa ditemukan adanya leukosit 10-15/LPB,
selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-
bakteri (+), nitrit (+). Kadar kalium 2,4mmol/L.
ASA yang bersifat individual atau mengganti obat
Hasil EKG menunjukkan RBBB
steroid pada fase peradangan akut dengan obat-
inkomplet.
obatan golongan imunosupresif, anti-tumor
necrosis antibody, dan probiotik. Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan
3
Pasien juga mengeluh batuk sejak 2 bulan
yang lalu, demam dan keringat malam hari, serta
penurunan berat badan. Dilakukan pemeriksaan
TCM dengan hasil MTB not detected. Adanya
gejala klinis mengarah ke TB paru dan rontgen
thoraks yang mengarah tuberculosis paru, sehingga
pasien didiagnosa dengan TB paru relaps
Gambar 1. Hasil EKG terdiagnosis klinis dan diberikan OAT kategori I.
4
tuberculosis mempunyai predileksi di ileum dan gambaran hiperemis dengan ulserasi pada seluruh
sekum, sehingga mirip dengan penyakit Crohn. mukosa kolon desenden tanpa skip lesion dan
Kolitis iskemik juga dapat bermanifestasi klinis tanpa gambaran cobblestone, serta dijumpai
seperti IBD, demikian pula keganasan adanya perdarahan spontan. Hal ini sesuai dengan
gastrointestinal. Kolitis infeksi bisa berasal dari gambaran kolonoskopi pada kolitis ulseratif derajat
bakteri, jamur, virus atau protozoa. ringan. Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan
Pemeriksaan laboratorium didapatkan IBD di indonesia, tingkat keparahan kolitis
kadar albumin dan natrium yang menurun, ulseratif dinilai berdasarkan kriteria Mayo Score
albumin yang menurun di tandai dengan sembab for Ulcerative Colitis (MSUC) didapatkan skor 6
pada kedua kaki yang dirasakan selama rawatan. dengan kesan ringan sehingga diterapi hanya
Gambaran klinis dari protein-losing enteropathy dengan preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA)
tergantung pada etiologi yang mendasarinya. atau mesalazine tampa menggunakan
Hilangnya protein serum menyebabkan kortikosteroid.
penurunan tekanan onkotik di kapiler, yang pada Terapi medikamentosa pada kolitis
gilirannya menyebabkan edema perifer (gejala ulseratif meliputi obat golongan kortikosteroid,
yang paling umum) karena transudasi cairan dari asam amino salisilat, serta imunosupresif.
kapiler ke jaringan subkutan. Pada penyebab Antibiotik dapat diberikan untuk mengeliminasi
terutama gastrointestinal kehilangan protein, agen proinflamasi. Obat golongan glukokortikoid
mereka dapat mengalami diare, kembung, sakit merupakan obat pilihan untuk penyakit Crohn
perut dan gejala gastrointestinal lainnya. Kondisi untuk semua derajat dan kolitis ulseratif derajat
ini dapat menyebabkan hilangnya imunoglobulin sedang dan berat. Pada umumnya pilihan jatuh
dan limfosit, yang menyebabkan keadaan pada prednison, metilprednisolon atau steroid
immunocompromised yang menyebabkan enema. Pada keadaan berat, diberikan
seringnya infeksi. Diagnosis Protein Losing kortikosteroid parenteral. Obat asam amino
Enteropathy (PLE) harus dicurigai pada pasien salisilat yang sudah lama dipakai untuk IBD adalah
dengan hipoproteinemia setelah penyebab umum preparat sulfasalazin yang dalam usus akan
lainnya seperti malnutrisi berat, sindrom nefrotik, dipecah menjadi sulfapiridin dan 5-acetil salicylic
atau penyakit hati kronis telah disingkirkan. acid (5-ASA) atau mesalamin/mesalazin. 5- ASA
Karena kehilangan protein pada PLE terjadi inilah yang bekerja sebagai antiinflamasi. Saat ini
terlepas dari berat molekulnya, pasien ini telah ada preparat 5- ASA murni yang memiliki
memiliki albumin yang rendah dan globulin yang efek samping lebih rendah. Dosis rata-rata 5-ASA
rendah dalam serum mereka. Penurunan kadar untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram per hari
natrium juga dapat menunjukkan kronisitas dari yang kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan
diare. sesuai kondisi pasien. Obat golongan
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan imunosupresif dipakai apabila 5-ASA dan
BTA feses dan didapatkan hasil yang negatif. kortikosteroid gagal mencapai remisi. Obat ini
Pada pasien yang dicurigai kolitis ulseratif, baik meliputi 6- mercaptopurin (6-MP), azatioprin,
American College of Gastroenterology maupun siklosporin, methotrexate dan obat golongan anti-
British Society of Gastroenterology tidak TNF.
merekomendasikan pemeriksaan radiografi rutin. Pasien didiagnosis dengan TB paru relaps
Namun, apabila endoskopi tidak tersedia atau karena sebelumnya menunjukkan gejala dari TB
terdapat striktur kolon yang menghalangi paru yaitu berupa batuk yang lebih dari 2 minggu,
pemeriksaan, barium enema double contrast dan demam lebih dari 2 minggu, keringat malam, dan
small-bowel barium follow-through dapat riwayat penurunan berat badan dimana sebelumnya
memberikan gambaran rinci mukosa. pasien sudah pernah didiagnosis TB paru pada
Pemeriksaan kolonoskopi atau tahun 2019 dan sudah menjalani pengobatan
proktosigmoidoskopi disertai biopsy adalah sampai tuntas. Berdasarkan PNPK TB 2021, TB
pemeriksaan pilihan untuk mendiagnosis kolitis paru relaps atau TB paru kambuh adalah penderita
ulseratif. Dalam sebuah penelitian, endoskopi TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
dengan biopsi 99% sensitif untuk patologi kolon TB, dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
pada pasien dengan diare. Perubahan yang khas lengkap, didiagnosis kembali dengan TB BTA
berupa hilangnya pola vaskuler, kerapuhan, positif berdasarkan pemeriksaan apusan atau
eksudat, ulserasi, dan granularitas dengan pola kultur. Dari data WHO tahun 2013, kasus relaps
yang kontinu dan sirkumferensial. Pada pasien ini terjadi di beberapa negara di dunia, antara lain di
dilakukan pemeriksaan kolonoskopi, didapatkan India dengan jumlah kasus relaps sebanyak
5
106.463 kasus, Korea dengan jumlah kasus relaps Irritable bowel syndrome. Lancet Journal:
sebanyak 6.701 kasus, Myanmar dengan jumlah Functional Gastrointestinal Disorders.
kasus relaps sebanyak 4.558 kasus, dan 2020;396(10263):1675-1688
Bangladesh dengan jumlah kasus relaps sebanyak 7. Giovanni M, Federica F, Roberta S, Cristina B,
3.065 kasus. Jumlah kasus pengobatan ulang di Sandro A, and Roberto F. Glucose intolerance
Indonesia adalah sebanyak 8.542 kasus, dan 70% and diabetes mellitus in ulcerative colitis:
diantaranya merupakan kasus relaps. Pathogenetic and therapeutic implications.
Bakteri TB dapat mengalami reaktivasi World J Gastroenterol. 2014 Apr
dan menjadi aktif kembali karena berbagai faktor 7;20(13):3507-3515
seperti malnutrisi dan penurunan daya tahan tubuh 8. Eun AK, Kyungdo H, Jaeyoung C, Hosim S,
(reaktivasi endogen). Tidak hanya dari reaktivasi Seona P, Jong PI, loo SK. Increased Risk of
bakteri TB didalam tubuh, kambuh pada TB paru Diabetes in Inflammatory Bowel Disease
juga dapat terjadi karena adanya infeksi baru dari Patients: A Nationwide Population-Based
luar (reinfeksi eksogen). Lamanya waktu kambuh Study in Korea. J Clin Med. 2019
penderita berhubungan dengan asal bakteri TB Mar;8(3):343.
penyebab kambuh. Seperti yang telah diketahui 9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B,
sebelumnya bahwa asal bakteri TB penyebab Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .
kambuh dapat berasal dari reinfeksi eksogen dan Jakarta: lntema Publishing; 2014
reaktivasi endogen. Semakin lama waktu kambuh 10. Jurjus A, Eid A, Kattar SA. Inflamatory Bowel
penderita, maka semakin besar kemungkinan Disease, Colorectal Cancer and Type 2
bahwa kekambuhan tersebut disebabkan karena Diabetes Mellitus: The links. BBA Clinical 5.
adanya reinfeksi eksogen dibanding karena 2015 Mar : 16 - 24
reaktivasi endogen bakteri TB dormant dari dalam 11. Feuerstein JD, Isaacs KL, Schneider Y,
tubuh. Shen dkk menyebutkan bahwa waktu Siddique SM. AGA Clinical Practice
kambuh 6 bulan pertama setelah selesai Guidelines on the Management of Moderate to
pengobatan, 46,7% disebabkan oleh reinfeksi Severe Ulcerative Colitis. 2020:1450-1461.
eksogen, selanjutnya jika waktu kambuh > 1 12. Kucharzik T, Koletzko S, Kannengiesser K,
tahun tahun akan meningkatkan lagi resiko Dignass A: Ulcerative colitis— diagnostic and
menjadi 73,9% disebabkan oleh reinfeksi therapeutic algorithms. Dtsch Arztebl Int 2020;
eksogen. 117: 564— 74.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D, Simadibrata M, Makmun D,
et al. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Inflammatory Bowel Disease (IBD) Di
Indonesia 2011. Jakarta; 2011.
2. Kristina B, Briana L, Zachary JB. Chronic
Diarrhea in Adults: Evaluation and
Differential Diagnosis. Am Fam Physician.
2020 Apr 15;10 l (8):472- 480
3. Marc F, Rebecca N, Armin M, Hani AS.
Inflammatory bowel disease: clinical aspects
and treatments. J Inflamm Res. 2014;7: 113-
120
4. Christopher M, Umer F, Muhammad H.
Inflammatory Bowel Disease. StatPearls.
2021
5. Qingdong G. A Comprehensive Review and
Update on the Pathogenesis of Inflammatory
Bowel Disease. Journal of Immunology
Research. 2019.
6. Alexander CF, Ami DS, Maura C, Michael C.
6
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.2 Epidemiologi
Insidensi kolitis ulseratif paling tinggi terdapat di eropa bagian utara yaitu
di Islandia mencapai 24,3 per 100.000 populasi, dan Amerika Utara 19,2 per
100.000 populasi. Negara negara di Pasifik seperti Selandia Baru dan Australia,
yang memiliki faktor resiko lingkungan dan latar belakang genetik yang
menyerupai Eropa dan Amerika Utara juga memiliki insidensi yang tinggi. Di
Norwegia 505 per 100.000 populasi dan kanada 248 per 100.000 populasi.1
Insidensi di Asia mulai meningkat 2 dekade terakhir. Pada tahun 2013 di
beberapa negara di Asia berkisar antara 0,54 hingga 3,44 per 100.000 populasi. Di
Indonesia, angka kejadian tahunan Inflammatory Bowel Disease sekitar 0,55 per
100.000 populasi. Berdasarkan usia, puncak kejadian kolitis ulseratif terjadi pada
usia 20-29 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, rasio perempuan dan laki laki
bervariasi antara 0,51 – 1,58. 1
1.1.3 Etiopatogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti Inflammatory Bowel Disease belum
sepenuhnya dimengerti. Banyak teori diajukan namun belum ada kausa tunggal
yang diketahui sebagai penyebab Inflammatory Bowel Disease. Salah satu teori
yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada individu yang memang
rentan secara genetis. Inflammatory Bowel Disease diyakini merupakan hasil
respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora normal
usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik padausus. Kondisi ini didukung
dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen microbialdan diidentifikasinya
11
gen CARD15 sebagai genpenyebab kerentanan terjadinya Inflammatory Bowel
Disease. Secara genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen
Inflammatory Bowel Disease1) atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat
dikaitkan dengan terjadinya Inflammatory Bowel Disease (terutama untuk chron).
Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap
Inflammatory Bowel Disease.2Secara konsep, patogenesis Inflammatory Bowel
Disease dapat digambarkan seperti pada gambar 1.1.
12
1.1.4 Manifestasi Klinis
Secara umum, keluhan Inflammatory Bowel Disease berupa diare kronik
dengan atau tanpa darah, dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di
luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma
gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat
dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi,
demam, gangguan nutrisi.Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan
klinis Inflammatory Bowel Disease bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara
umum ditandai oleh fase aktif dan fase remisi. Pemahaman atas proses infl amasi
yang terjadi pada patogenesis Inflammatory Bowel Disease akan membantu kita
mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas Inflammatory Bowel
Disease. Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada kolitis
ulseratif dibandingkan chron karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat
pada kolitis ulseratif adalah kolon sedangkan pada chron lebih
bervariasi.3Gambaran klinis kolitis ulseratif dan chron disajikan dalam tabel 1.1.4
13
Inflammatory Bowel Disease dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan
tuberkulosis usus.Secara umum, terdapat kriteria klinik sebagai gambaran
aktivitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan maupun
penetapan fase remisi yakni Disease Activity Index (DAI) yang didasarkan pada
frekuensi diare, ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa
kolon pada pemeriksaan endoskopi serta penilaian keadaan umum pasien.1,3
1.1.5 Diagnosis
Secara laboratorik, tidak ada parameter yang spesifik untuk Inflammatory
Bowel Disease. Umumnya yang digunakan adalah parameter penanda inflamasi
secara umum seperti laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP).
Peningkatan kadar CRP > 45mg/L pada pasien Inflammatory Bowel Disease dapat
membantu klinisi untuk mengambil keputusan perlunya dilakukan kolektomi.
Dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat membantu penentuan apakah
peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi. Dewasa ini, dikatakan pula
bahwa pemeriksaan serologi dapat membantu menegakkan diagnosis
Inflammatory Bowel Disease dan dapat membedakan antara kolitis ulseratif dan
chron yakni dengan pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil cytoplasmic
antibody) untuk pasien kolitis ulseratif dan anti-saccharomyces cerevisiae
antibody (ASCA) untuk pasien chron. p-ANCA ditemukan pada 50-67% kasus
kolitis ulseratif meski juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15% kasus chron. 2,4
ASCA lebih sering dijumpai pada chron, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan
hanya sekitar 4 sampai 14% dijumpai pada kolitis ulseratif. Sayangnya,
pemeriksaan ini tidak terlalu sensitif mendiagnosis Inflammatory Bowel Disease
sehingga tidak tepat sebagai modalitas diagnostik tunggal. Meski begitu,
kombinasi pemeriksaan p-ANCA dan ASCA dapat membantu meningkatkan
spesifisitas hingga lebih dari 90%. Pola hasil kombinasi untuk kolitis ulseratif
adalah ASCA negatif/p-ANCA positif sedangkan untuk chron adalah ASCA
positif/p-ANCA negatif. Untuk pemantauan terapi, kedua pemeriksaan ini tidak
14
dianjurkan mengingat kadar ANCA maupun ASCA tetap tinggi setelah terapi. 2,4
Terdapat penurunan kadar ekspresi Syndecan-1 (Sdc-1) pada Inflammatory
Bowel Disease khususnya pada kolitis ulseratif. Pemeriksaan ekspresi Syndecan-1
dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit Inflammatory Bowel Disease
meski masih terbatas guna kepentingan penelitian. Baru-baru ini, adanya target
antigen mikroba khusus seperti Omchron (Eschericia coli outer membrane porin),
I2, dan fl agelin CBir1 pada sebagian besar pasien chron. Terdapat bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa jumlah atau tingkat respons imun terhadap beberapa
antigen berkaitan dengan keparahan perjalanan penyakit. Hal ini memerlukan
penelitian-penelitian yang lebih dalam lagi.Pemeriksaan endoskopi berperan
sangat penting dalam penegakan diagnosis sekaligus terapi Inflammatory Bowel
Disease dengan akurasi diagnostik berkisar 89%.Umumnya, pemeriksaan
endoskopi diikuti dengan pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi. Pemeriksaan
lain seperti pencitraan dengan kontras ganda dapat dilakukan sebagai alat
konfirmasi endoskopi.3
1.1.6 Tatalaksana
Fokus utama rencana terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade
15
proses inflamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip
terapi Inflammatory Bowel Disease adalah (1) mengobati peradangan aktif
Inflammatory Bowel Disease dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah
peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3)
mengobati serta mencegah komplikasi. Sayang tidak semua lini kesehatan
memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu algoritma penatalaksanaan
terutama pada lini kesehatan primer.1 Strategi pengobatan Inflammatory Bowel
Disease dapat dilihat pada gambar 1.1.6.1.
Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000
mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama chron. Sedangkan untuk kolitis ulseratif, jarang diberi terapi antibiotik.
Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinflamasi
disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat
17
komensal dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun mereka masih mampu
memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk menekan
kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi dan meningkatkan
produksi interleukin 10.10 Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal dengan
istilah disbiosis. Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan dalam upaya
mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien pasca kolektomi.5
18
distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema, sedangkan untuk kasus
berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA.6
Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan
masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat
individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-
obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.
Imunomodulator Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat
merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial
azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu dinaikkan
bertahap 2.5 mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru tercapai dalam 2 – 3
bulan. Efek samping yang sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni,
limfoma, hepatitis hingga pankreatitis. Siklosporin intravena diketahui dapat
bermanfaat untuk kasus akut kolitis ulseratif refrakter steroid dengan angka
keberhasilan 50 – 80%. Efek samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan
ginjal dan infeksi oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat
yang efektif untuk kasus chron steroid dependent sekaligus untuk
mempertahankan remisi pada kolitis ulseratif. Dosis induksi 25 mg intramuskular
atau subkutan per minggu hingga selesai tapering off steroid.1,6
1.1.7 Komplikasi
Pasien dengan Inflammatory Bowel Disease dapat mengalami komplikasi
yang berat seperti kolitis toksik, fistula, abses intraabdomen, keganasan, primary
sclerosing cholangitis, dan pouchitis. Pasien dengan Inflammatory Bowel Disease
mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitias akibat komplikasi tersebut.
19
besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan
TB paru,namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ
tubuhlainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan
organekstra paru lainnya.
1.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
dunia. Berdasarkan laporan WHO pada Global Tuberkulosis Report 2016,
diperkirakan di dunia kasus baru TB sebesar 10,4 juta dengan angka kematian 1,4
juta dan di Indonesia sekitar 1 juta kasus TB baru dengan angka kematian
100.000.13
1.2.3 Klasifikasi TB
Kasus TB di bagi menjadi 2 klasifikasi utama, yaitu :
a. Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
Yaitu pasien TB yang ditemukan bukti infeksi kuman MTB berdasarkan
pemeriksaan bakteriologis. Termasuk didalamnya adalah.
Pasien TB paru BTA positif
Pasien TB paru hasil biakan MTB positif
Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif BTA, biakan maupun tes
sepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
b. Pasien TB terdiagnosis secara klinis13
Yaitu pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis,
namun berdasarkan bukti lain yang kuat tetap didiagnosisi dan di tatalaksana
sebagai TB oelh dokter yang merawat. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah :
Pasien TB paru BTA negative dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
Pasien TB paru BTA negative dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai factor risiko TB
20
Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring
21
Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
1.2.4 Patogenesis
Proses terjadinya infeksi oleh M. Tuberculosis biasanya terjadi secara
inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering
dibanding organ lainnya. Pada TB kulit atau jaringan lunak, penularan bisa
22
melalui inokulasi langsung. Pada TB intestinal bakteri pada saluran cerna dapat
berasal dari bakteri yang tertelan, penyebaran dari organ yang berdekatan, maupun
melalui peredaran darah. Usus dan peritoneum dapat terinfeksi melalui empat
mekanisme, yaitu menelan sputum yang terinfeksi, penyebaran lewat darah dari
TB aktif atau TB milier, konsumsi susu atau makanan yang terkontaminasi dan
penyebaran langsung dari organ yang berdekatan. Penularan penyakit ini sebagian
besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, yang didapat dari
pasien TB paru.8 Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis
yang disebut sarang primer atau fokus Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di
setiap bagian jaringan paru Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi
pleura.14,15
Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring, dan kulit, kemudian terjadi limfadenopati regional, bakteri masuk ke
dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang.
Bila masuk ke arteri pulmonalis, maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru
menjadi TB milier.14,15
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening
hilusmembentuk kompleks primer atau kompleks Ranke. Proses ini memakan
waktu 3- 8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya: 14,15
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
b. Sembuh dengan meinggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik
dan kalsifikasi di hilus.
c. Berkomplikasi dan menyebar secara :
Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
yang sebelahnya.
23
Kuman dapat pula tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus.
Secara limfogen ke organ tubuh lainnya.
Secara hematogen ke organ tubuh lainnya.
24
Gambar 1.2.5 Alur Diagnosis TB5
25
1.2.6 Prinsip pengobatan TB
Panduan OAT dengan minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi
yaitu, tepat dosis, diminum teratur dan diawasi lansung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO), dan diberikan dalam waktu yang cukup. Lama pemberian OAT
minimal selama 6 bulan yang terbagi menjadi fase intensif dan fase lanjutan,
yaitu:
Fase intensif : Kasus baru (kategori 1) diberikan RHZE selama 2 bulan
dan kasus dengan riwayat pengobatan (kategori 2) diberikan RHZES
selama bulan dilanjutkan RHZE selama 1 bulan 5 hari
Fase lanjutan : Kasus baru diberikan RH selama 4 bulan dan kasus
dengan riwayat pengobatan RHE selama 5 bulan.13
Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu
26
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Riwayat Pengobatan
Riwayat mengkonsumsi obat diare yang dibeli bebas di warung.
Riwayat konsumsi obat pencahar tidak ada.
28
Riwayat penggunaan narkotika tidak ada.
Riwayat merokok tidak ada.
Pasien tidak memiliki tattoo di badannya.
Pemeriksaan umum
Keadaaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis koperatif
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 110x/menit,irama reguler,pengisian cukup,kuat angkat
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37.80 C
Tinggibadan : 165 cm
Beratbadan : 50kg
BBI : 58,5kg
BMI : 18,4kg/m2(underweight)
Edema : tidak ada
Anemis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Pemeriksaanfisik
Kulit : Kulit teraba hangat, turgor kulit kembali cepat
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di
region colli, axilla dan inguinal
Rambut : Uban (+), tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), pupil
isokor, reflex cahaya (+/+), mata cekung (-)
Telinga : Deformitas(-) tanda radang (-)
Hidung : Deviasi septum (-),tanda radang (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1,faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut : Gigi geligi tidak lengkap, karies(+)
29
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax
Paru depan : Inspeksi: Statis, normochest, pergerakan dinamis,
gerak dinding dada simetris kanan dan kiri, barrel chest
(-), sela iga melebar (-)
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
x x x x
x x x x
Jantung
:Iktus kordis tidak terlihat
Inspeksi
:Iktus kordis teraba 1 jari media l LMCS RICV, kuat
Palpasi
angkat, seluas1 ibu jari, thrill (-)
: Batas kanan LSD, batas atas RIC II kiri , batas kiri 1
Perkusi
30
jari media l LMCS RIC VI.
Auskultasi : Bunyi jantung reguler, M1>M2,P2<A2,bising(-),
gallop (-)
Abdomen
: Tidak tampak membuncit, venektasi tidak ada
Inspeksi
Palpasi : Distensi(-), nyeri tekan suprapubik(+), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus(+) meningkat
Punggung : Nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok CVA (+/+),
balottement (-)
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anus : Tampak tenang
Rectal toucher : perianal dan perineum tidak meradang,
tidak tampak massa tumor, sfingter ani menjepit,
mukosa licin. Handscoen : feses (+) warna kecoklatan,
lendir (+) darah (-)
Anggota gerak : Oedema (-/-), Reflek fisiologis (+/+), Reflek
patologis(-/-)
Status geriatri
Sebelum sakit Setelah sakit
Indeks ADL Barthel Mandiri (20) Ketergantungan berat (9)
AMT - AMT (8)
Geriatric Depression Scale - Normal (4)
Mini Nutritional Assessment - Malnutrisi (15)
Long form
Pemeriksaan Laboratorium:
Darah rutin
Hemoglobin 13,0g/dl
Hematokrit 36 %
Leukosit 5.350/mm3
Trombosit 265.000/mm3
31
HitungJenis 0/2/4/60/26/8
LED 70
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit Normositik normokrom
Leukosit Jumlah normal, monositosis
Trombosit Jumlah normal, morfologi normal
Kesan:monositosis, LED meningkat
Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 10-15/LPB Protein Negatif
Kekeruhan Negatif Eritrosit 0-1/LPB Glukosa Negatif
BJ 1,016 Silinder Negatif Bilirubin Negatif
Ph 6,0 Kristal Negatif Urobilin Negatif
Epitel Positif, epitel gepeng Nitrit Positif
Yeast Negatif
Bakteri Positif
Kesan:ditemukan leukosit 10-15/LPB, ditemukan bakteri, nitrit (+)
Feses Rutin:
Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Leukosit 0-1/LPB
Konsistensi Cair Eritrosit 0-1/LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif TelurCacing Negatif
Kesan: konsistensi feses cair
EKG
Diagnosis kerja
Primer : Diare kronik e.c Inflammatory Bowel Disease
Sekunder :
- Tuberculosis paru relaps terdiagnosis klinis on OAT kategori I fase
intensif
- Infeksi saluran kemih
- RBBB inkomplet
- Ketergantungan sedang
- Malnutrisi
Diagnosis banding
Diare kronik e.c kolitis TB
Diare kronik e.c irritable bowel syndrome
Diare kronik e.c tumor kolorektal
Terapi
Istirahat/ diet makanan lunak rendah serat 1900 kkal (karbohidrat 1000 kkal,
protein 500 kkal, lemak 400 kkal)
IVFD NaCl 0.9% 8 jam/kolf
Ciprofloxacin 2 x 400 mg IV (Hari I)
Attapulgit 3 x 1200 mg PO
Parasetamol 3x500 mg PO
Asetil sistein 3 x 200 mg PO
33
Rifampisin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 750 mg PO
Vitamin B6 1 x 25 mg PO
Pemeriksaan anjuran
Cek faal ginjal (ureum, kreatinin)
Cek elektrolit (Na, K, Cl)
Cek faal hepar (SGOT/ SGPT, bilirubin, albumin/globulin)
Faal hemostasis (PT/APTT)
Hepatitis marker dan anti HIV
Gula darah sewaktu
Chest X Ray
Kultur feses
BTA feses
Kultur urin
Hasil laboratorium
Natrium 132 mmol/L
Kalium 2,4 mmol/L
Klorida 98 mmol/L
Ureum 4 mg/dL
Kreatinin 0,8 mg/dL
PT 12,6 Detik
APTT 30,2 Detik
INR 1,2
Albumin 2,6 g/dL
Globulin 3,0 g/Dl
SGOT 29 U/L
34
SGPT 6 U/L
Bilirubin indirect 0,4 mg/dL
Bilirubin direct 0,4 mg/dL
Gula darah sewaktu 98 mg/dL
HbSAg Non reaktif
AntiHCV Non reaktif
AntiHIV Non reaktif
Kesan : Hipokalemia, hipoalbuminemia
Diagnosis banding :
Diare kronik e.c kolitis TB
Diare kronik ec irritable bowel syndrome
Diare kronik e.c tumor kolorektal
Advis :
Attapulgit 3x 1200 mg PO
35
Kolonoskopi
Kultur feses
BTA feses
36
Echocardiografi
Diagnosis banding :
Diare kronik e.c kolitis TB
Diare kronik e.c irritable bowel syndrome
Diare kronik e.c tumor kolorektal
P/
Istirahat/ diet makanan lunak rendah serat 1900 kkal (karbohidrat 1000 kkal,
protein 500 kkal, lemak 400 kkal)
IVFD NaCl 0.9% 8 jam/kolf
Ciprofloxacin 2 x 400 mg IV (Hari II)
Parasetamol 3x500 mg PO
Attapulgit 3x 1200 mg PO
Asetil sistein 3 x 200 mg PO
Rifampisin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 750 mg PO
Vitamin B6 1 x 25 mg PO
Koreksi kcl 30 meq
Kultur feses
Kultur urin
BTA feses
Kolonoskopi
USG ginjal
Cek elektrolit urin, osmolaritas urin, analisa gas darah
Echocardiografi
39
Keluar hasil USG ginjal
Ginjal Kanan
- Bentuk /ukuran Normal/8,42cm
- Tepi Regular
- Echodensitas Normal
- Corteks dan medulla Dapat dideferensiasi
- Piramida Normal
- Sistempelvikokalik Tidak ada dilatasi
- Batu/kista Tidak ada
- Debris Positif
Ginjal Kiri
- Bentuk /ukuran Normal/9,46cm
- Tepi Regular
- Echodensitas Meningkat
- Corteks dan medulla Dapat dideferensiasi
- Piramida Normal
- Sistem pelvikokalik Tidak ada dilatasi
- Batu/kista Tidak ada
- Debris Positif
Vesika Urinaria
- Bentuk Normal
- Mukosa Irreguler
- Batu Tidakada
KESAN Sonografi Ginjal sesuai gambaran
parenkim ginjal normal,
pyelonefritis, cictitis kronis
41
A/
Diare kronis e.c kolitis ulseratif
TB paru relaps terdiagnosis klinis on OAT kategori I fase intensif
Infeksi saluran kemih (pyelonephritis kronik, cystitis kronik)
Hipokalemia ec gastrointestinal loss
RBBB inkomplet
Ketergantungan sedang
Malnutrisi
P/
Istirahat/ diet makanan lunak rendah serat 1900 kkal (karbohidrat 1000 kkal,
protein 500 kkal, lemak 400 kkal)
IVFD NaCl 0.9% 8 jam/kolf
Ciprofloxacin 2 x 400 mg IV (Hari-III)
Mesalazine 3 x 500 mg PO
Parasetamol 3x500 mg PO
Attapulgit 3 x 1200 mg PO
Asetil sistein 3 x 200 mg PO
Rifampisin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 750 mg PO
Vitamin B6 1 x 25 mg PO
Koreksi kcl 20 meq
Echocardiografi
42
Keluar hasil laboratorium
Natrium 135 mmol/L
Kalium 3,6 mmol/L
Klorida 110 mmol/L
Kesimpulan:
- Fungsi sistolik global LV baik, EF 58% (simpson)
- Global normokinetik
- Fungsi diastolic LV baik
- Katup-katup baik
- Kontraktilitas RV baik
- Efusi perikard (-)
43
A/
Diare kronis e.c kolitis ulseratif
TB paru relaps terdiagnosis kjlinis on OAT kategori I fase intensif
Infeksi saluran kemih (pyelonephritis, cystitis)
Hipokalemia ec gastrointestinal loss
RBBB inkomplet
Ketergantungan sedang
Malnutrisi
P/
Istirahat/ diet makanan lunak rendah serat 1900 kkal (karbohidrat 1000 kkal,
protein 500 kkal, lemak 400 kkal)
IVFD NaCl 0.9% 8 jam/kolf
Ciprofloxacin 2 x 400 mg IV (Hari-III)
Mesalazine 3 x 500 mg PO
Parasetamol 3x500 mg PO
Rifampisin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 750 mg PO
Vitamin B6 1 x 25 mg PO
Koreksi kcl 20 meq
Irama Sinusrytm
Frekuensi 88 x /menit
Axis Normal
GelP Normal
PRinterval 0,12detik
QRSKompleks 0,08detik
STsegmen Isoelektrik
GelT Normal
Kesan:dalam batas normal
46
Malnutrisi
Advis :
Mesalazin 3 x 500 mg PO
Rifampisin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 750 mg PO
Vitamin B6 1 x 25 mg PO
Acc rawat jalan
A/
Diare kronis e.c kolitis ulseratif
TB paru relaps terdiagnosis kjlinis on OAT kategori I fase intensif
Infeksi saluran kemih (pyelonephritis, cystitis)
Hipokalemia ec gastrointestinal loss
RBBB inkomplet
Ketergantungan sedang
Malnutrisi
Mild cognitive impairment
P/
Mesalazine 3 x 500 mg PO
Parasetamol 3x500 mg PO
Rifampisin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 750 mg PO
Vitamin B6 1 x 25 mg PO
Acc rawat jalan
47
BAB III
DISKUSI
49
Perbedaan antara kedua penyakit ini adalah bahwa pada penyakit Crohn,
peradangan dapat mempengaruhi bagian mana pun dari traktus gastrointestinal,
sedangkan kolitis ulseratif ditandai dengan peradangan yang terlokalisasi di colon.
Temuan adanya diare kronik, riwayat pernah BAB berdarah, nyeri perut pada
merupakan gejala dominan pada penyakit kolitis ulseratif dan juga ditemukan
pada pasien ini. Pada pasien kemungkinan penyakit crohn bisa disingkirkan
karena dari hasil kolonoskopi hanya bagian colon desendens yang mengalami
peradangan.
Pasien juga didiagnosa dengan tuberculosis paru, sehingga kemungkinan
adanya tuberculosis usus perlu dipertimbangkan akibat dari penyebaran dari
tuberculosis paru. Pada pasien dilakukan pemeriksaan BTA feses dengan hasil
negatif sehingga kemungkinan dari suatu diare kronis akibat dari TB usus atau
kolitis TB bisa disingkirkan. Dari hasil kolonoskopi pasien terdapat peradangan
pada kolon desenden sementara pada tuberculosis usus paling sering menyerang
ileocecal (33,8% kasus). Hal ini disebabkan oleh kepadatan jaringan limfoid yang
tinggi, perlambatan transit usus dan konsentrasi asam empedu yang rendah.
Namun untuk penegakkan lebih lanjut seharusnya dilakukan pemeriksaan
histopatologi, dimana jika tuberkulosis usus akan menunjukkan hasil histopatologi
berupa granuloma terdiri atas nekrosis pada bagian tengah dikelilingi oleh
kelompok sel-sel limfosit, histiosit, epiteloid serta sel datia.
Tuberculosis intestinal memiliki gejala yang paling sering ditemukan
berupa nyeri perut, penurunan berat badan, diare/konstipasi, diare, darah pada
rektum, nyeri tekan abdomen, massa abdomen dan limfadenopati. Lesi
makroskopik yang ditemukan pada endoskopi paling sering ditemukan di sebelah
kanan(caecum dan ascending colon) dan ulkus primer (ulkus, nodul,penyempitan
lumen, lesi polipoid. Setelah terapi TB sebagian besar ulkus, nodul, lesi polipoid,
penyempitan lumen dan deformitas katupileo-saekal mengalami resolusi. Organ
yang paling sering terlibat adalah ileum terminal karena sebaran kelenjar getah
bening di daerah tersebut tinggi dan waktu kontak isi usus halus lebih lama. Lesi
yang paling sering ditemukan adalah ulkus dan penyempitan lumen paling sering
ditemukan di usus halus. Pasien tuberkulosis gastrointestinal yang bersamaan
dengan TB paru ditemukan pada kurang dari 25% pasien. Diagnosis TB
50
gastrointestinal sulit, beberapa pasien terkadang didiagnosis dengan
inflammmatory bowel disease dan mendapatkan obat-obatan imunosupresan yang
menyebabkan penyebaran TB lebih lanjut. Pada pasien ini dengan hasil TB feses
negatif dan hasil kolonoskopi hiperemis dan edema di kolon desendens tidak
sesuai dengan gambaran dari tuberkulosis usus.
Pada pasien ini, gejala serta temuan yang didapatkan mendukung
diagnosis kolitis ulseratif. Berbagai keadaan penyakit dapat mirip dengan IBD
baik secara klinis, radiologi maupun endoskopi. Nyeri perut yang disertai diare
dan hematoskezia umum dapat terjadi pada kolitis infeksi akibat
Campylobacter,Salmonella, Shigella dan E.Coli, Yersinia dan Mycobacterium
tuberculosis mempunyai predileksi di ileum dan sekum, sehingga mirip dengan
penyakit Crohn. Kolitisis iskemik juga dapat bermanifestasi klinis seperti IBD,
demikian pula keganasan gastrointestinal. Kolitis infeksi bisa berasal dari bakteri,
jamur, virus atau protozoa.
Pemeriksaan kolonoskopi atau proktosigmoidoskopi disertai biopsi adalah
pemeriksaan pilihan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif. Dalam sebuah
penelitian, endoskopi dengan biopsi 99% sensitif untuk patologi kolon pada
pasien dengan diare. Perubahan yang khas berupa hilangnya polavaskuler,
kerapuhan, eksudat, ulserasi, dan granularitas dengan pola yang kontinu dan
sirkumferensial. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kolonoskopi, didapatkan
gambaran hiperemis dengan edema pada seluruh mukosa kolon desenden tanpa
skiplesion dan tanpa gambaran cobblestone. Hal ini sesuai dengan gambaran
kolonoskopi pada colitis useratif derajat ringan. Berdasarkan Konsensus
Penatalaksanaan IBD di indonesia, tingkat keparahan kolitis ulseratif dinilai
berdasarkan kriteria Mayo Score for Ulcerative Colitis (MSUC) didapatkan skor
6 dengan kesan ringan.
Terapi medikamentosa pada kolitis ulseratif meliputi obat golongan
kortikosteroid, asam aminosalisilat, serta imunosupresif. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengeliminasi agen proinflamasi. Obat golongan glukokortikoid
merupakan obat pilihan untuk penyakit Crohn untuk semua derajat dan colitis
ulseratif derajat sedang dan berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada prednison,
metilprednisolon atau steroid enema. Pada keadaan berat, diberikan
51
kortikosteroidparenteral. Obat asam amino salisilat yang sudah lama dipakai
untuk IBD adalah preparat sulfasalazin yang dalam usus akan dipecah menjadi
sulfapiridin dan 5-acetilsalicylicacid (5-ASA) atau mesalamin/mesalazin. 5-ASA
inilah yang bekerja sebagai antiinflamasi. Saat ini telah ada preparat 5-ASA murni
yang memiliki efek samping lebih rendah. Dosis rata-rata 5-ASA untuk mencapai
remisi adalah 2-4 gram perhari yang kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan
sesuai kondisi pasien. Obat golongan imunosupresif dipakai apabila 5-ASA dan
kortikosteroid gagal mencapai remisi. Obatinimeliputi6-mercaptopurin(6-
MP),azatioprin,siklosporin, methotrexate dan obat golonga nanti-TNF.
Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan IBD di indonesia, tingkat keparahan
kolitis ulseratif dinilai berdasarkan kriteria Mayo Score for Ulcerative Colitis
(MSUC) didapatkan skor 6 dengan kesan ringan. Pada pasien hanya diberikan
preparat 5-acetilsalicylicacid (5-ASA) atau mesalamin/mesalazin dengan dosis 3
x 500 mg per oral. Selama pemberian preparat ini didapatkan perbaikan yang
signifikan terhadap kondisi diare pada pasien. Untuk kedepannya pasien tetap
akan diberikan mesalazin dosis pemeliharaan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan penyakit.
Pada pasien ditemukan IMT 18,4 dengan kesan underweight. Malnutrisi
sering terjadi pada pasien dengan colitis ulseratif, yang dapat terjadi akibat
menurunnya asupan makanan, kehilangan zat gizi lewat diare yang terjadi, serta
meningkatnya kebutuhan gizi selama fase inflamasi. Diet yang seimbang pada
pasien perlu diperhatikan. Pasien diberikan makanan yang mudah dicerna dengan
pembagian asupan menjadi beberapa porsi kecil untuk 5 kali makan setiap hari.
Dengan dugaan adanya antigen dari bakteri intralumen usus dan komponen diet
sehari-hari yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok
individu yang rentan, diusahakan untuk mengeliminasi hal tersebut dengan cara
mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet.
Pasien didiagnosis dengan TB paru relaps karena sebelumnya
menunjukkan gejala dari TB paru yaitu berupa batuk yang lebih dari 2 minggu,
demam lebih dari 2 minggu, keringat malam, dan riwayat penurunan berat badan
dimana sebelumnya pasien sudah pernah didiagnosis TB paru pada tahun 2019
dan sudah menjalani pengobatan sampai tuntas. Berdasarkan PNPK TB 2021, TB
52
paru relaps atau TB paru kambuh adalah penderita TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB, dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan TB BTA positif berdasarkan pemeriksaan apusan
atau kultur. Dari data WHO tahun 2013, kasus relaps terjadi di beberapa negara di
dunia, antara lain di India dengan jumlah kasus relaps sebanyak 106.463 kasus,
Korea dengan jumlah kasus relaps sebanyak 6.701 kasus, Myanmar dengan
jumlah kasus relaps sebanyak 4.558 kasus, dan Bangladesh dengan jumlah kasus
relaps sebanyak 3.065 kasus. Jumlah kasus pengobatan ulang di Indonesia adalah
sebanyak 8.542 kasus, dan 70% diantaranya merupakan kasus relaps.
Bakteri TB dapat mengalami reaktivasi dan menjadi aktif kembali karena
berbagai faktor seperti malnutrisi dan penurunan daya tahan tubuh (reaktivasi
endogen). Tidak hanya dari reaktivasi bakteri TB didalam tubuh, kambuh pada
TB paru juga dapat terjadi karena adanya infeksi baru dari luar (reinfeksi
eksogen). Lamanya waktu kambuh penderita berhubungan dengan asal bakteri TB
penyebab kambuh. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa asal bakteri
TB penyebab kambuh dapat berasal dari reinfeksi eksogen dan reaktivasi
endogen. Semakin lama waktu kambuh penderita, maka semakin besar
kemungkinan bahwa kekambuhan tersebut disebabkan karena adanya reinfeksi
eksogen dibanding karena reaktivasi endogen bakteri TB dormant dari dalam
tubuh. Shen dkk menyebutkan bahwa waktu kambuh 6 bulan pertama setelah
selesai pengobatan, 46,7% disebabkan oleh reinfeksi eksogen, selanjutnya jika
waktu kambuh > 1 tahun tahun akan meningkatkan lagi resiko menjadi 73,9%
disebabkan oleh reinfeksi eksogen.
Pada pasien diberikan obat OAT kategori I yaitu 2RHZE/4RH. Untuk
dosis disesuikan dengan berat badan pasien. Pasien harus dipantau untuk menilai
respons terapinya. Pemantauan reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap,
identifikasi dan tata laksana reaksi obat yang tidak diinginkan. Diberikan edukasi
terhadap pasien dan keluarga untuk kepatuhan minum obat, meminta keluarga
pasien sebagai PMO dan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang
menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya
pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT
disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respon pengobatan TB paru dipantau
53
dengan sputum BTA. WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada akhir
fase intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik
kasus baru maupun pengobatan ulang. Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada
akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga
(2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang.
Pasien didiagnosis dengan infeksi saluran kemih. Dari anamnesa
ditemukan nyeri saat BAK, nyeri suprapubik serta nyeri ketok CVA yang positif,
serta data urinalisa yang menunjukkan adanya leukosituria, dan kultur urin
ditemukan adanya escheria coli. Dilakukan pemeriksaan usg ginjal dan
menunjukkan suatu pyelonephritis dan cystitis. Pilihan terapi berupa golongan
fluroquinolon yaitu ciprofloxacine 2 x 400 mg iv selama 5 hari.
Pada pasien ditemukan hipokalemia pada awal masuk dengan nila 2,4
mmol/L dan termasuk hypokalemia berat. Hipokalemia adalah keadaan
konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L yang disebabkan oleh
berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion
kalium ke dalam sel. Penyebab hipokalemia pada pasien diperkirakan karena diare
kronik yang dialami oleh pasien. Pada pemeriksaan elektrolit urin pasien
ditemukan kadar kalium urin 12,9 mmol/L, yang mana nilainya jauh dibawah
normal dengan analisa gas darah kesan asidosis metabolik terkompensasi. Tingkat
keparahan klinis hipokalemia cenderung sebanding dengan derajat dan durasi
deplesi serum kalium. Gejala umumnya muncul apabila serum kalium di bawah
3,0 mEq/L, kecuali jika penurunan kadar kalium mendadak atau pasien memiliki
faktor komorbid, contohnya kecenderungan aritmia. Gejala biasanya membaik
dengan koreksi hipokalemia.
Pada ekg pasien ditemukan adanya gambaran rSR dengan kesan RBBB
inkomplet. RBBB inkomplet adalah suatu gangguan irama jantung yang salah
satunya bisa disebabkan oleh adanya gangguan elektrolit. Pada pasien ditemukan
adanya hipokalemi berat dan adanya kelainan ekg maka pilihan utama adalah
mengatasi keadaan hipokalemia pasien dengan cara memberikan kalium
intravena. Pada echocardiografi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural
pada jantung yang mencetuskan terjadinya gangguan konduksi jantung. Dengan
pemberian terapi kalium intravena pada pasien dan telah tercapainya target kalium
54
4-4,5, diharapkan terjadinya perubahan ekg normal pada pasien.
Edukasi terhadap pasien dan keluarga sangatlah penting, mengingat
kondisi pasien yang lanjut usia dengan banyak komorbid. Kepatuhan minum obat
sangat penting karena pasien akan mendapatkan terapi jangka lama. Diperlukan
dukungan keluarga sebagai PMO. Pasien biasanya tinggal sendiri harus lebih
diperhatikan lagi dan disarankan untuk tinggal bersama anak-anaknya.
55
DAFTARPUSTAKA
16. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
DalamJilid II. InternaPublishing; 2014(6):863-72.
57