Abstrak
Pendahuluan : Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN)
ditandai dengan edema anarsaka, proteinuria massif ≥ 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria .
Perbandingan laki-laki dan wanita yaitu 2 : 1. Kejadian SN pada dewasa 3/1.000.000 per tahun. Terapi
khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari
dosis tunggal pagi hari selama 4 – 6 minggu. Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), akibat obat
atau toksin dan akibat penyakit sistemik. Laporan Kasus : Dilaporkan satu kasus pasien laki-laki usia 27
tahun dengan diagnosis klinis sindrom nefrotik dengan temuan edema anarsaka, proteinuria masif,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Pada pemeriksaan USG ginjal dengan kesan sesuai gambaran
nefritis. Pada USG abdomen ditemukan adanya kesan hepatitis kronis dengan hepatitis marker non reaktif.
Pada pasien dicurigai adanya suatu occult hepatitis B dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
HBV DNA di poliklinik. Ditemukan adanya peningkatan ureum kreatinin yang diasumsikan telah
terjadinya gangguan fungsi ginjal akut pada pasien. Pasien diterapi dengan kortikosteroid berupa metil
prednisolon dosis 1 mg/kgBB. Diberikan diuretik untuk mengurangi edema, dan anti proteinuria berupa
ACE inhibitor. Pada follow up terjadi perbaikan secara klinis dan laboratorium pada pasien.
Kesimpulan: Sindrom nefrotik ditandai dengan edema anarsaka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Pada pasien sindrom nefrotik sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk mengetahui
tipe lesi pada ginjal. Sindrom nefrotik bisa bersifat primer dan sekunder. Penyebab sekunder akibat
infeksi yang sering dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus
hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat
penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan diabetes melitus. Terapi khusus untuk
sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal
pagi hari selama 4 – 6 minggu. Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon,
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid.
Kata Kunci : sindrom nefrotik, proteinuria masif, occult hepatitis B
Abstract
Introduction: Nephrotic syndrome (NS) is one of the clinical manifestations of glomerulonephritis (GN)
characterized by anarchic edema, massive proteinuria 3.5 g/day, hypercholesterolemia and lipiduria.
Comparison of men and women 2: 1. The incidence of SN in adults is 3/100,000/year. Specific therapy for
nephrotic syndrome is the administration of corticosteroids, namely prednisone 1 – 1.5 mg/kgBW/day
single dose in the morning for 4-6 weeks. Case Report : We report a case of a 27-year-old male patient
with a clinical diagnosis of nephrotic syndrome with findings of anarsaka edema, massive proteinuria,
hypoalbuminemia and hypercholesterolemia. On ultrasound examination of the kidneys with the
impression according to the picture of nephritis. Abdominal ultrasound revealed the impression of hepatitis
with a non-reactive hepatitis marker. The patient also found an increase in urea creatinine which was
assumed to have occurred in the patient's acute renal function disorder. The patient was treated with
corticosteroids in the form of methyl prednisolone at a dose of 1 mg/kgBW. Diuretics are given to reduce
edema, and anti-proteinuria in the form of ACE inhibitors. At follow-up there was clinical and laboratory
improvement in the patient. Conclusion : Nephrotic syndrome is characterized by anarsaka edema,
massive proteinuria, hypoalbuminemia, and hypercholesterolemia. In patients with nephrotic syndrome, a
kidney biopsy should be performed to determine the type of lesion in the kidney. Nephrotic syndrome can
be primary or secondary. Secondary causes due to infection are often found, for example in post-
streptococcal glomerulonephritis or hepatitis B virus infection, due to drugs such as non-steroidal anti-
inflammatory drugs or organic gold preparations, and due to systemic diseases such as systemic lupus
erythematosus and diabetes mellitus. Specific therapy for nephrotic syndrome is the administration of
corticosteroids, namely prednisone 1 – 1.5 mg/kgBW/day single dose in the morning for 4-6 weeks. %.
Cytostatics are given if there is no response to prednisone, repeated relapses or side effects of
corticosteroids occur.
Keywords : nephrotic syndrome, massive proteinuria, hepatitis
1
PENDAHULUAN dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana
satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) basalis glomerulus menyebabkan peningkatan
yang ditandai dengan edema anarsarka, permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
proteinuria massif ≥ 3,5 g/hari, protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah
hiperkolesterolemia dan lipiduria. 1,2
albumin. Protein lain yang diekskresi adalah globulin
Pada proses awal atau SN ringan, untuk pengikat tiroid, IgG, IgA, antitrombin III dan protein
menegakkan diagnosis tidak semua gejala pengikat vitamin D. 1,2,3
ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda Derajat proteinuri tidak berhubungan
khas SN akan tetapi pada SN berat yang disertai langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.
kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD
urin juga berkurang. Proteinuria juga melalui membrana basalis glomerulus normalnya
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi dibatasi oleh charge selective barrier (suatu
yang terjadi pada SN. 1,2 polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective
barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri
ETIOLOGI disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan
GN primer dan GN sekunder akibat infeksi, terutama oleh hilangnya size selectivity. 1,2,3,4,5
keganasan, penyakit jaringan penghubung Keadaan hipoalbuminemia disebabkan oleh
(connective tissue disease), akibat obat atau kehilangan sejumlah protein tubuh melalui urine
toksin dan akibat penyakit sistemik. (proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy),
katabolisma albumin, pemasukan protein yang kurang
Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik: 1,2 kerana nafsu makan yang menurun dan utilisasi asam
Glomerulonefritis Primer amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika
1. GN lesi minimal (GNLM) kompensasi hepar dalam mensintesa albumin tidak
2. Glomerulosklerosis fokal (GSF) adekuat, akan terjadi hipoproteinemi. 1,2,3
3. GN Membranosa (GNMN) Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh
4. GN Membranoploriferatif (GNMP) asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan
5. GN Proliferatif lain protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia
disebabkan oleh protenuria massif dengan akibat
Glomerulonefritis sekunder akibat ; infeksi penurunan tekanan onkotik plasma. Oleh itu, untuk
seperti ; HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati
malaria, skistosoma, tuberkulosis, lepra; berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan
keganasan seperti; adenokarsinoma paru, sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi
payudara, kolon, limfoma hodgkin, myeloma timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
multiple, dan karsinoma ginjal; penyakit meningkatkan sintesis albumin hati. Akan tetapi tetap
jaringan penghubung seperti; lupus dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
eritematosus sistemik, artritis reumatoid, melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi
MCTD (mixed connective tissue disease); efek akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
obat dan toksin seperti : obat antiinflamasi non- albumin oleh tubulus proksimal. 2,,3
steroid, preparat emas, penisilinamin, Kolesterol serum, very low density lipoprotein
probenesid, air raksa, kaptopril, heroin; serta (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida
penyakit sistemik lainnya seperti; diabetes meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
sengatan lebah. penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
PATOFIOLOGI intermediate density lipoprotein dari darah).
Reaksi antigen - antibodi menyebabkan Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh
permeabilitas membran basalis glomerulus penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
meningkat diikuti oleh kebocoran protein onkotik. Lemak bebas (oval fat bodies) sering
(albumin). ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana
Proteinuria sebagian besar berasal dari basalis glomerulus yang permeabel. 1,2
kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) Teori underfil menjelaskan bahwa
2
hipoalbuminemia merupakan factor utama mengobati edema dan hipertensi. Penurunan
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
menyebabkan penurunan tekanan onkotik 1,2,3
DAFTAR PUSTAKA
1.1 Etiologi
8
Glomerulonefritis sekunder akibat ; infeksi seperti ; HIV, hepatitis virus B dan C,
sifilis, malaria, skistosoma, tuberkulosis, lepra; keganasan seperti; adenokarsinoma
paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal;
penyakit jaringan penghubung seperti; lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid,
MCTD (mixed connective tissue disease); efek obat dan toksin seperti : obat
antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa,
kaptpril, heroin; serta penyakit sistemik lainnya seperti; diabetes mellitus,
amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan
lebah
1.2 Patofisiologi
Reaksi antigen – antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis
glomerulus meningkat diikuti oleh kebocoran protein (albumin).
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Protein lain
yang diekskresi adalah globulin pengikat tiroid, IgG, IgA, antitrombin III dan protein
pengikat vitamin D. 1,2,3
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan
glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana
basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu
polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi
minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan
pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity. 1,2,3,4,5
Keadaan hipoalbuminemia disebabkan oleh kehilangan sejumlah protein
tubuh melalui urine (proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy), katabolisme
albumin, pemasukan protein yang kurang kerana nafsu makan yang menurun dan
utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika kompensasi hepar
9
dalam mensintesa albumin tidak adekuat, akan terjadi hipoproteinemi. 1,2,3
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin
hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh
protenuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Oleh itu, untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati. Akan
tetapi tetap dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal. 2,,3
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik. Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel. 1,2
Teori underfil menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor utama
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium
dan terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisma kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berat. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
sebagai defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisma tersebut ditemukan pada pasien SN. 1,2,3
10
Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya
disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan
bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan
meningkat selama fase diuresis.1,2,3
Keadaan hiperkoagubilitas ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor
V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan
fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).3
Protenuria
Protenuria : > 3.0 gr/24 jam. Perubahan pada membrana dasar glomerulus
menyebabkan peningkatan permebilitas glomerulus terhadap protein plasma yaitu
albumin.4,5
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia : albumin serum 3,5 g/1,73m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan
respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.4,5,6
1.4 Penatalaksanaan
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
11
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom
nefrotik harus dicari dan diberi terapi, dan obat-obatan yang menjadi penyebabnya
disingkirkan. (1,2,3,4)
a) Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-
40 mg/hari) atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan
potassium sparing diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema
dan hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari. 1,2,3
b) Diet
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri
dari karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus
diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit
ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat mengurangi
proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan
menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan
dianjurkan pada pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik
belum ditetapkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat
mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan kalau pasien
mengalami kekurangan vitamin ini. 1,2,3,7
c) Terapi-antikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi
antikoagulan dengan heparin harus dimulai. Jumlah heparin yang diperlukan
untuk mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin
meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi
heparin intravena , antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai
sindrom nefrotik dapat diatasi. 1,2,3,5
d) Terapi-Obat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian
12
kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari
selama 4 – 6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai
dosis maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan
dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita
memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose
selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi
pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil
prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental
glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat
antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan nefropati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis
prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi
ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus
penurunan proteinuria sampai 75 %. Sitostatika diberikan bila dengan
pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang berulang kali atau
timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5
mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin,
pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL. 1,2,3,4,7
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg),
kalsium antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat
enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan
antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
1,2,3,8
1.5Komplikasi
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol pada umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal
sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya
13
LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein utama pengangkut kolesterol.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme hati. Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. 1,2
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid pada
debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast.
Lipiduria lebih dikaitkan dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia.3
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravakular. Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya trombosis
vena renalis cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein
trombosis) sering dijumpai pada SN. Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas
humoral, selular, dan gangguan system komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak
berkapsul seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia boleh
menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin sering
ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urine. Gagal ginjal akut
disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di dalam jaringan
tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran darah ke ginjal
menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya nekrosis
tubular akut. 1,2,3,8
BAB II
ILUSTRASI KASUS
14
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 27 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang mulai tanggal 3 Maret 2022 pukul 03.30 dengan:
15
Sesak nafas tidak ada. Riwayat terbangun pada tengah malam hari tidak
ada. Riwayat tidur dengan 2-3 bantal atau lebih tidak ada. Riwayat sesak
napas saat beraktivitas tidak ada.
Riwayat demam tidak ada.
Riwayat sakit tenggorokan, batuk dan pilek sebelumnya tidak ada
Riwayat sering sariawan pada mulut tidak ada.
Riwayat kemerahan pada muka dan silau bila terkena cahaya matahari
tidak ada.
Riwayat rambut rontok tidak ada.
Riwayat nyeri sendi tidak ada.
Riwayat nyeri pinggang tidak ada.
BAB konsistensi biasa, warna kuning, frekuensi 1 x sehari, riwayat BAB
campur darah atau BAB hitam tidak ada.
Riwayat minum obat herbal, obat-obatan secara bebas, jamu - jamuan tidak
ada.
16
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit lupus.
Tidak ada riwayat keganasan pada keluarga.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sedang
Kesadaraan : CMC
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x/mnt, regular, kuat angkat.
Frekuensi nafas : 22 x/mnt
Suhu : 36,7 0C
BB tampa edema : 58 kg
BB ideal : 58,5 kg
BB edema : 62 kg
TB : 165 cm
17
BMI : 21,3 kg/m² ( normoweight )
Anemis : (-)
Edema : (+)
Ikterik : (-)
Sianosis : (-)
Sp02 : 98% free air
Kulit : turgor kulit baik
KGB : tidak terdapat pembesaran KGB pada leher, axilla
dan inguinal
Kepala : normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) , pupil
isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(+)
Telinga : liang telinga lapang, membrane timpani utuh,
refleks cahaya (+)
Hidung : kavum nasi lapang, konka eutrofi, sekret (-/-)
Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang, uvula
ditengah
Gigi dan Mulut : caries (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Thorax : spider nevi (-)
Paru Depan :
Inspeksi : statis : normochest
dinamis : simetris kiri dan kanan
Palpasi : taktil fremitus menurun pada basal paru kiri dan kanan
Perkusi : redup pada bagian basal kedua paru, batas paru
hepar setinggi RIC V
Auskultasi : suara nafas vesikuler, suara napas menghilang
setinggi RIC 7 kebawah, ronkhi -/-, wheezing -/-
18
Paru Belakang :
Inspeksi : statis : punggung normal.
dinamis : simetris kiri dan kanan
Palpasi : taktil fremitus menurun di basal kedua lapangan paru
Perkusi : redup pada kedua basal paru di bawah RIC 7
Auskultasi : suara nafas vesikuler, suara napas menurun di RIC 7
paru kiri dan kanan, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas
1 ibu jari, kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan LSD, batas kiri 1 jari medial
LMCS RIC V, Batas atas RIC II kiri, pinggang jantung
(+)
Auskultasi : irama teratur, M1>M2, A2>P2, murmur (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut tampak membuncit, vena kolateral (-),
venektasi (-)
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan
(-), nyeri lepas (-), lingkar perut 92 cm
Perkusi : shifting dullnes (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok CVA tidak ada,
Alat kelamin : skrotum membesar, diameter ± 10 cm
Anus : anus tenang, sfingter normal, mukosa licin, benjolan (-)
Anggota Gerak : edema pitting (+/+), akral hangat, reflek fisiologis
(+/+), reflek patologis (-/-), CRT < 2’, palmar eritem (-)
19
Hemoglobin 10,2 gr/dl
Hematokrit 30 %
Leukosit 9.800/mm3
Trombosit 288.000/mm3
Hitung Jenis 0/3/4/66/20/7
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit Normositik normokrom
Leukosit Jumlah cukup, morfologi normal
Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : Dalam batas normal
Hasil Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 3-4/LPB Protein +3
Kekeruhan Positif Eritrosit 2-3/LPB Glukosa -
BJ 1,018 Silinder Negatif Bilirubin Negatif
Ph 6,5 Kristal Negatif Urobilin Negatif
Epitel Positif
Kesan : Proteinuria
Hasil EKG :
20
Irama Sinus QRS Kompleks 0.06 detik Isoelektris
HR 88 x / menit ST segmen Normal
Axis Normo axis Gel T
Gel P Normal SV1+ RV5 < 35
PR interval 0,16 detik R/S V1 <1
Kesan : Sinus rythm
Rontgen thoraks :
21
Mediastinum superior tidak melebar.
Aorta baik Jantung posisi baik.
Ukuran kesan tidak membesar
Sinus dan diafragma normal
Hillus normal.
Corakan bronkovaskuler normal.
Tidak tampak perbercakan ataupun nodul di kedua lapangan paru
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tumpul
Skeletal dan soft tissue normal
Kesan : Efusi pleura bilateral
Daftar Masalah
Edema Anarsaka
Oliguria
Efusi pleura bilateral
Proteinuria
Diagnosis Primer
Edema anarsaka ec sindrom nefrotik primer
Diagnosis Sekunder
Efusi pleura bilateral ec hipoalbuminemia
Akut Kidney Injury Stage III ec renal
Diagnosis banding :
Edema anarsaka ec sindrom nefrotik sekunder
Edema anarsaka ec glomerulonefritis kronis
Akut Kidney Injury Stage III ec post renal ec nefropati obstruksi
22
Terapi:
Pemeriksaan anjuran :
Cek Protein urin 24 jam
Cek elektrolit ( natrium / kalium / clorida )
Cek faal hepar ( SGOT, SGPT, albumin, globulin )
Cek profil lipid, asam urat, GDS
Cek faal hemostasis ( PT, APTT, D dimer)
USG ginjal
USG thorax
USG abdomen
Chest X-Ray
KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 120/72mmHg 84x/min 20x/min 36.9 98%
free air
Balance cairan
23
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
600 1200 1800 2000 900 0 0 2900 -900
Hasil Laboratorium
SGOT 12 U/L Ureum darah 79 mg/dL
SGPT 16 U/L Kreatinin darah 3.1 mg/dL
Total protein 4,2 g/Dl Natrium 144 mmol/L
Albumin 1,5 g/dL Kalium 2,4 mmol/L
Globulin 2,4 g/dL Klorida 113 mmol/L
GDS 130 mg/dL PT 10,4 detik
D dimer 357 APTT 22,5 detik
Kolesterol total 405 mg/dL LDL 257 mg/dL
HDL 129 mg/dL Trigliserida 95 mg/dL
Asam urat 3,6 mg/dL
Kesan: Peningkatan ureum dan kreatinin, hipoalbuminemia, hipokalemia,
hiperkolesterolemia
Glomerulonefritis kronis
Advis :
Furosemid 2 x 20 mg iv
Koreksi kcl 25 meq iv Cek elektrolit ulang post koreksi kcl
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
24
Ramipril 1 x 2, 5 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
Transfusi albumin 25 %
Cek protein urin 24 jam
Cek elektrolit urin, analisa gas darah
USG ginjal
Cek ureum dan kreatinin ulang per 3 hari
Cek albumin post koreksi
Cek hepatitis marker, anti HIV
Balance cairan negatif
25
Parameter Score
Usia 0
Total kolesterol > 280 +7
HDL > 60 -2
Tekanan darah 120 – 129 mmHg +2
DM 0
Merokok +4
Total 12 13,3 %
Kesan Moderate risk
Advis : Atorvastatin 1 x 40 mg po
KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 110/70 86x/min 20x/ 36.8 98% free
mmHg min air
Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
500 1600 2100 2500 900 0 0 3400 -1300
Hasil Laboratorium
Ureum darah 58 mg/dL Natrium 143 mmol/L
Kreatinin darah 2,4 mg/dL Kalium 3,4 mmol/L
Albumin 2,0 g/dL Klorida 114 mmol/L
Globulin 1,9 g/dL Natrium urin 100 mmol/34 jam
Hbsag Non reaktif Kalium urin 31 mmol/24 jam
Anti HCV Non reaktif Klorida urin 150 mmol/24 jam
Anti HIV Non Reaktif Protein urin 24 jam 16, 331 gr/24 jam
PH 7,407 HCO3 22,1
PCO2 28,8 BE 1,9
26
PO2 143,3 SO2 99,5 %
Kesan: Peningkatan ureum dan kreatinin, hipoalbuminemia, hipokalemia,
proteinuria masif
USG thorax
Penilaian Paru kanan Paru kiri
Pleura Penebalan (-), sliding (+) Penebalan (-), sliding (+)
Parenkim Massa (-), abses (-), infiltrat Massa (-), abses (-),
(-), ateletaksis (-) infiltrat (-), ateletaksis
(-)
Rongga pleura Efusi (-), fibrin/sekat (-) Efusi (+), fibrin/sekat (-)
Mediastinum Massa (-)
USG abdomen :
Hati Tidak Membesar
27
Permukaan rata
Parenkim heterogen
Pinggir tumpul
Vena tidak membesar
Ductus billiaris tidak melebar
Vena portal melebar
Kandung Empedu Normal
Pankreas Normal
Kandung empedu Normal
Lien Normal
Kesan Hepatitis kronis sugestif sirosis hepatis
Advis : Furosemid 2 x 20 mg iv
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
Captopril 2 x 12,5 mg po
Myfortic 2 x 360 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
KSR 2 x 600 mg po
Transfusi albumin 20 %
Cek elektrolit ulang per 3 hari
Cek ureum dan kreatinin ulang per 3 hari
Cek albumin post koreksi
Balance cairan negatif
28
Fibroscan
Cek anti HBc
KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 112/70 88x/min 18x/min 36.7 98%
mmHg
Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
500 1500 2000 2000 900 100 0 3000 -1000
Fibroscan abdomen :
CS : 10,4 KPa ( F3 )
29
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
KSR 2 x 600 mg po
Balance cairan negatif
KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 120/70mmHg 86x/min 19 x/min 36.8 98%
Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
600 1500 2100 2200 900 100 0 3200 -1100
Hasil Laboratorium
Ureum darah 34 mg/dL
Kreatinin darah 1,4 mg/dL
Albumin 2,6 g/Dl
Globulin 2,1 g/Dl
Anti HBc Non reaktif
30
Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi:
Kesan : Sindrom nefrotik sekunder ec occult hepatitis B kronis
Acute Kidney Injury stage I DD/ Hepatorenal syndrom
Hipokalemia ec renal loss
Advis :
Furosemid 1 x 40 mg po
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
Myfortic 2 x 360 mg po
Captopril 2 x 12,5 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
KSR 2 x 600 mg po
Acc rawat jalan
31
Input Ouput Balance
Tanggal Cairan
Parenteral Enteral Total Urin IWL Feses Muntah total
BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki laki, usia 27 tahun di bangsal penyakit
dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 3 Maret 2022 pukul 03.30 WIB
dengan diagnosis :
Sindrom nefrotik sekunder
Occult hepatitis B
Diagnosis sindrom nefrotik pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
didapatkan adanya sembab yang dimulai pada kelopak mata, wajah, dan diikuti
seluruh tubuh. Sembab terutama pada pagi hari dan berkurang pada sore hari, namun
32
sembab kemudian menetap dan dirasakan sepanjang hari. Terdapat beberapa teori
yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled
theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa
adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi
albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi
vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
Pada pasien ditemukan adanya proteinuria masif dengan urinalisa
ditemukannya protein positif 3 dan kadar protein urin 24 jam sebesar 16 gram / 24
jam. Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal
ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom
nefrotik. Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier
tersebut akan terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan
lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus. Konsentrasi albumin
plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein
melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan
akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Hilangnya
albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia.
33
Pada pasien ditemukan hiperkolesterolemia ( kolesterol total 405 mg / dl )
dengan kadar LDL yang meningkat. Hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada sindrom nefrotik. Hal ini dapat
dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu
katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Adanya edema anarsaka, proteinuria masif, hipoalbuminemia dan
hiperkolesterolemia sehingga secara klinis bisa didiagnosis dengan sindrom nefrotik.
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat atau toksin dan
akibat penyakit sistemik. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai
misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus
hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas
organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik
dan diabetes melitus.
Pasien ini didiagnosis dengan sindrom nefrotik sekunder karena riwayat
penyakit yang baru dirasakan saat dewasa, sehingga kemungkinan sindrom nefrotik
kongenital bisa disingkirkan. Pada pasien tidak ditemukan adanya tanda-tanda
keganasan, riwayat pemakaian obat - obatan sebelumnya tidak ada, riwayat sakit
diabetes melitus tidak ada, sehingga penyebab sekunder dari penyakit ini bisa
disingkirkan. Kecurigaan akan SLE pada pasien ini bisa disingkirkan karena hanya
memenuhi 1 kriteria dari American Reumatism Association yaitu berupa proteinuria (
kadar protein urin > 500 mg / 24 jam ). Manifestasi seperti malar rash, discoid rash,
photosensitive, oral ulcers, arthritis non erosif, serositis (pleuritis/carditis), gangguan
neurologis (kejang, psikosis), gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia,
trombositopenia, atau leukopenia), tidak terdapat pada pasien ini. Pasien memiliki
tekanan darah yang normal, tidak ditemukan hematuria pada hasil urinalisa dan tidak
ada riwayat infeksi sebelumnya sehingga kemungkinan glomerulonefritis kronis bisa
disingkirkan.
34
Pada pasien ditemukan adanya efusi pleura bilateral dan adanya asites yang
berhubungan dengan keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke
ruang interstisial seperti pleura dan rongga peritonium.
Gold standar pemeriksaan sindrom nefrotik yaitu biopsi ginjal tidak bisa
dilakukan pada pasien ini, karena keterbatasan alat dan prasarana di RSUP M.
Djamil. Secara teori, kita dapat menduga jenis histopatologi sindrom nefrotik pada
pasien. Tipe sindrom nefrotik berdasarkan gambaran histopatologi glomerular adalah
lesi minimal, FSGS, nefropati membranosa, nodular glomerulosklerosis serta
amyloidosis. Hodgin et al (2015), tipe FSGS termasuk salah satu tipe sindrom
nefrotik yang umum ditemukan pada remaja dan dewasa muda. McGrogan et al
(2011) menyatakan bahwa 30-35% kasus sindrom nefrotik pada dewasa didunia
termasuk dalam tipe FSGS. Siem et al (2016) juga menyatakan di USA kejadian
FSGS mencapai 39% dari kasus sindrom nefrotik dan dalam decade terakhir kejadian
FSGS meningkat dari 1,5-5 per 100.000 orang per tahunnya. Tipe lesi minimal
merupakan bentuk yang sering terjadi pada anak. Tipe nefropati membranosa
merupakan tipe sindrom nefrotik dengan gejala klinis yang sering tumpang tindih
dengan sindrom nefritik. Pasien sering nantinya mengalami hematuria yang diikuti
oleh proteinuria. Selain itu nefropati membranosa sering merupakan sekunder
terhadap penyakit sistemik lain, seperti penyakit autoimun, glomerulonefritis pasca
infeksi. Murtas (2016) menyatakan bahwa hampir 85% kejadian nefropati mebranosa
merupakan sekunder terhadap penyakit sistemik lainnya. Berdasarkan epidemiologi
dan secara klinis bisa kita duga bahwa pasien ini dengan sindrom nefrotik tipe
membranosa akibat sekunder dari infeksi hepatitis B. Namun kita tidak bisa
mengetahuinya secara pasti karena pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan
biopsi ginjal.
Pada pasien terjadi peningkatan ureum dan kreatinin yang beresifat reversible
yang membaik setelah diberikan pengobatan. Pasien sindrom nefrotik mempunyai
potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan
volume plasma sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme
35
lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat
progresif dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Proteinuria
merupakan factor resiko penentu terhadap progesivitas SN. Progesivitas kerusakan
glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium
dikaitkan dengan proteinuria. Hyperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme
terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada sindrom nefrotik,
walaupun peran terhadap progesivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.
Penatalaksanaan dalam jangka panjang sangat penting, karena banyak
penderita akan mengalami eksaserbasi dan remisi berulang selama bertahun-tahun,
tetapi dengan semakin lanjutnya hialinisasi glomerulus maka proteinuria akan
semakin berkurang sedangkan azotemia semakin berat. (Wilson, 1995). Pada pasien
ini diberikan diuretik berupa furosemid 2 x 20 mg iv, anti proteinuria berupa
captopril 2 x 12, 5 mg po, kortikosteroid berupa metilprednisolon 3 x 16 mg ( dosis 1
mg/kgBB/hari), imunosupresan berupa mikofenolat 2 x 360 mg. Pasien ini
direncanakan untuk pemberian metil prednisolon hingga 4 - 6 minggu, kemudian
dikurangi dosisnya 4 mg/minggu sampai dosis maintanance ( 4 - 8 mg ) kemudian
diberikan 4 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1 - 2 minggu. Bila pada saat
tapering off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri),
diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat
kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik
(prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL),
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) dan sistemik lupus glomerulonephritis.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh
yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Pada pasien juga diberikan obat penurun lemak
golongan statin berdasarkan Framingham risk score, pasien memiliki factor resiko
untuk kejadian kardiocaskuler sebesar 13 %, sehingga pada pasien diberikan obat
golongan statin moderate intensity berupa atorvastatin 1 x 40 mg. Obat penurun
lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat
36
menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
Pasien memperlihatkan respon yang baik terhadap terapi yang diberikan.
Ditandai dengan keluhan edema yang berkurang, serta perbaikan dalam fungsi ginjal.
Untuk pasien dengan perubahan patologi yang minimal, prognosisnya sangat baik,
dengan sebagian besar pasien mengalami remisi setelah pengobatan kortikosteroid.
85 hingga 90% pasien responsif terhadap steroid dan dapat kambuh sehingga mereka
berisiko mengalami toksisitas steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi lainnya.
Untuk pasien dengan glomerulosklerosis segmen fokal, prognosisnya buruk.
Umumnya akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir yang
membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal.
Pada pemeriksaan USG abdomen ditemukan kesan adanya suatu hepatitis
kronis dan telah dilakukan fibroscan dengan hasil FC III. Telah dilakukan
pemeriksaan hepatitis marker pada pasien dengan hasil HBsAg dan anti HCV non
reaktif. Kemungkinan suatu infeksi hepatitis B belum bisa disingkirkan pada pasien
ini, sehingga pada pasien diperiksa serologi anti HBc. Suatu occult hepatitis B bisa
dipertimbangkan karena kesan sonografi dan hasil fibroscan yang mengarah ke
gambaran suatu hepatitis kronis. Pada occult hepatitis B ditemukannya deoxyribose-
nucleic acid (DNA) virus Hepatitis B (VHB) pada pemeriksaan HBsAg negatif.
Mutasi pada preS2/S menyebabkan sekresi HBsAg menurun sehingga kadar HBsAg
dalam serum terlalu rendah yang menyebabkan HBsAg tidak terdeteksi. Pada pasien
dianjurkan untuk pemeriksaan HBV DNA di poliklinik untuk evaluasi lebih lanjut.
Adanya kemungkinan suatu occult hepatitis B merupakan sesuatu yang
menarik untuk dibahas. Bisa saja ini merupakan penyakit terpisah yang tidak ada
kaitannya dengan sindrom nefrotik pada pasien. Tetapi di sisi lain, bisa saja sebagai
penyebab dari sindrom nefrotik itu sendiri. Pada studi epidemiologi menunjukkan
bahwa infeksi virus hepatitis kronis bisa menyebabkan sindrom nefrotik terutama
pada laki-laki dengan tipe yang paling sering adalah membranous nephropaty. Bukti
epidemiologis, klinis dan imunologis memperlihatkan adanya hubungan kausal
antara infeksi HBV dan perkembangan nefropati. Mekanisme patogenetik dimana
individu dengan penyakit kronis infeksi HBV berkembang menjadi nefropati tidak
37
terdefinisi dengan jelas, meskipun proses imunologi yang berhubungan dengan
deposisi kompleks imun telah terlibat. Faktor genetik mungkin juga berperan pada
kasus ini. Bukti mendukung kecenderungan genetik untuk persistensi HBV
antigenemia dan untuk perlindungan terhadap infeksi HBV. Empat mekanisme
utama yang dapat menginduksi cedera jaringan ginjal oleh HBV: (1) Dengan efek
sitopatik yang disebabkan oleh virus yang menginfeksi sel. (2) Dengan deposisi
jaringan imun kompleks antigen virus dan antibodi pejamu. (3) Mekanisme efektor
imunologi spesifik yang diinduksi virus (limfosit T spesifik atau antibodi) yang
merusak ginjal. (4) Dengan efek tidak langsung pada jaringan ginjal yang dimediasi
melalui sitokin atau mediator yang diinduksi virus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lydia, Maruhum. M. Sindrom nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014: Ed
IV;2080-87.
38
4. Himawan, Sutisna. Diagnosis patologik ginjal pada penyakit glomerular. The
Indonesian Journal of Nephrology and Hypertension, : PERNEFRI.2003;103-
108.
39