Anda di halaman 1dari 40

Kepada YTH:

dr. Dinda Aprilia, SpPD-KEMD

Laporan Kasus Hidup I

SINDROM NEFROTIK

Nama : dr. Elsy Pramitha Sari


NIM : 2150302202
Tanggal Presentasi : 21 Maret 2022
Pembimbing : dr. Drajat Priyono,Sp.PD-KGH
Chief : dr. Liya Anjelina
Oponen : dr. Retno Eka Sari

Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I


Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2022
SINDROM NEFROTIK
Elsy Pramitha Sari, Drajat Priyono

Abstrak
Pendahuluan : Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN)
ditandai dengan edema anarsaka, proteinuria massif ≥ 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Perbandingan laki-laki dan wanita yaitu 2 : 1. Kejadian SN pada dewasa 3/1.000.000/tahun. Terapi khusus
untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis
tunggal pagi hari selama 4 – 6 minggu. Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), akibat obat
atau toksin dan akibat penyakit sistemik. Laporan Kasus : Dilaporkan satu kasus pasien laki-laki usia 27
tahun dengan diagnosis klinis sindrom nefrotik dengan temuan edema anarsaka, proteinuria masif,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Pada pemeriksaan USG ginjal dengan kesan sesuai gambaran
nefritis. Pada USG abdomen ditemukan adanya kesan hepatitis kronis dengan hepatitis marker non reaktif.
Pada pasien dicurigai adanya suatu occult hepatitis B dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
HBV DNA di poliklinik. Ditemukan adanya peningkatan ureum kreatinin yang diasumsikan telah
terjadinya gangguan fungsi ginjal akut pada pasien. Pasien diterapi dengan kortikosteroid berupa metil
prednisolon dosis 1 mg/kgBB. Diberikan diuretik untuk mengurangi edema, dan anti proteinuria berupa
ACE inhibitor. Pada follow up terjadi perbaikan secara klinis dan laboratorium pada pasien.
Kesimpulan: Sindrom nefrotik ditandai dengan edema anarsaka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Pada pasien sindrom nefrotik sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk mengetahui
tipe lesi pada ginjal. Sindrom nefrotik bisa bersifat primer dan sekunder. Penyebab sekunder akibat
infeksi yang sering dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus
hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat
penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan diabetes melitus. Terapi khusus untuk
sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal
pagi hari selama 4 – 6 minggu. Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon,
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid.
Kata Kunci : sindrom nefrotik, proteinuria masif, hepatitis

Abstract
Introduction: Nephrotic syndrome (NS) is one of the clinical manifestations of glomerulonephritis (GN)
characterized by anarchic edema, massive proteinuria 3.5 g/day, hypercholesterolemia and lipiduria.
Comparison of men and women 2: 1. The incidence of SN in adults is 3/100,000/year. Specific therapy for
nephrotic syndrome is the administration of corticosteroids, namely prednisone 1 – 1.5 mg/kgBW/day
single dose in the morning for 4-6 weeks. Case Report : We report a case of a 27-year-old male patient
with a clinical diagnosis of nephrotic syndrome with findings of anarsaka edema, massive proteinuria,
hypoalbuminemia and hypercholesterolemia. On ultrasound examination of the kidneys with the
impression according to the picture of nephritis. Abdominal ultrasound revealed the impression of hepatitis
with a non-reactive hepatitis marker. The patient also found an increase in urea creatinine which was
assumed to have occurred in the patient's acute renal function disorder. The patient was treated with
corticosteroids in the form of methyl prednisolone at a dose of 1 mg/kgBW. Diuretics are given to reduce
edema, and anti-proteinuria in the form of ACE inhibitors. At follow-up there was clinical and laboratory
improvement in the patient. Conclusion : Nephrotic syndrome is characterized by anarsaka edema,
massive proteinuria, hypoalbuminemia, and hypercholesterolemia. In patients with nephrotic syndrome, a
kidney biopsy should be performed to determine the type of lesion in the kidney. Nephrotic syndrome can
be primary or secondary. Secondary causes due to infection are often found, for example in post-
streptococcal glomerulonephritis or hepatitis B virus infection, due to drugs such as non-steroidal anti-
inflammatory drugs or organic gold preparations, and due to systemic diseases such as systemic lupus
erythematosus and diabetes mellitus. Specific therapy for nephrotic syndrome is the administration of
corticosteroids, namely prednisone 1 – 1.5 mg/kgBW/day single dose in the morning for 4-6 weeks. %.
Cytostatics are given if there is no response to prednisone, repeated relapses or side effects of
corticosteroids occur.
Keywords : nephrotic syndrome, massive proteinuria, hepatitis

1
PENDAHULUAN dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana
satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) basalis glomerulus menyebabkan peningkatan
yang ditandai dengan edema anarsarka, permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
proteinuria massif ≥ 3,5 g/hari, protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah
hiperkolesterolemia dan lipiduria.1,2 albumin. Protein lain yang diekskresi adalah globulin
Pada proses awal atau SN ringan, untuk pengikat tiroid, IgG, IgA, antitrombin III dan protein
menegakkan diagnosis tidak semua gejala pengikat vitamin D. 1,2,3
ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda Derajat proteinuri tidak berhubungan
khas SN akan tetapi pada SN berat yang disertai langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.
kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD
urin juga berkurang. Proteinuria juga melalui membrana basalis glomerulus normalnya
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi dibatasi oleh charge selective barrier (suatu
yang terjadi pada SN. 1,2 polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective
barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri
ETIOLOGI disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan
GN primer dan GN sekunder akibat infeksi, terutama oleh hilangnya size selectivity. 1,2,3,4,5
keganasan, penyakit jaringan penghubung Keadaan hipoalbuminemia disebabkan oleh
(connective tissue disease), akibat obat atau kehilangan sejumlah protein tubuh melalui urine
toksin dan akibat penyakit sistemik. (proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy),
katabolisma albumin, pemasukan protein yang kurang
Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik: 1,2 kerana nafsu makan yang menurun dan utilisasi asam
Glomerulonefritis Primer amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika
1. GN lesi minimal (GNLM) kompensasi hepar dalam mensintesa albumin tidak
2. Glomerulosklerosis fokal (GSF) adekuat, akan terjadi hipoproteinemi. 1,2,3
3. GN Membranosa (GNMN) Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh
4. GN Membranoploriferatif (GNMP) asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan
5. GN Proliferatif lain protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia
disebabkan oleh protenuria massif dengan akibat
Glomerulonefritis sekunder akibat ; infeksi penurunan tekanan onkotik plasma. Oleh itu, untuk
seperti ; HIV, Hepatitis virus B dan C, Sifilis, mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati
Malaria, Skistosoma, Tuberkulosis, Lepra; berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan
keganasan seperti; Adenokarsinoma paru, sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi
payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
multiple, dan karsinoma ginjal; penyakit meningkatkan sintesis albumin hati. Akan tetapi tetap
jaringan penghubung seperti; Lupus dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
Eritematosus Sistemik, Artritia Reumatoid, melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi
MCTD (mixed connective tissue disease); efek akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
obat dan toksin seperti : Obat antiinflamasi non- albumin oleh tubulus proksimal. 2,,3
steroid, preparat emas, penisilinamin, Kolesterol serum, very low density lipoprotein
probenesid, air raksa, kaptpril, heroin; serta (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida
penyakit sistemik lainnya seperti; Diabetes meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
sengatan lebah. penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
PATOFIOLOGI intermediate density lipoprotein dari darah).
Reaksi antigen - antibodi menyebabkan Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh
permeabilitas membran basalis glomerulus penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
meningkat diikuti oleh kebocoran protein onkotik. Lemak bebas (oval fat bodies) sering
(albumin). ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana
Proteinuria sebagian besar berasal dari basalis glomerulus yang permeabel. 1,2
kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) Teori underfil menjelaskan bahwa
2
hipoalbuminemia merupakan factor utama mengobati edema dan hipertensi. Penurunan
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
1,2,3
menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari b)Diet
intravascular ke jaringan interstisium dan Diet untuk pasien SN adalah 35
terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat.
melakukan kompensasi dengan meningkatkan Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus
retensi natrium dan air. Mekanisma kompensasi diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada
ini akan memperbaiki volume intravascular pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang
tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya rendah protein adalah aman, dapat mengurangi
hipoalbuminemia sehingga edema semakin proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi
berat. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi ginjal, mungkin dengan menurunkan tekanan
natrium sebagai defek renal utama. Retensi intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan akan dianjurkan pada pasien yang kekurangan protein
ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat
kerusakan ginjal akan menambah terjadinya mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat
retensi natrium dan edema. Kedua mekanisma diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin
tersebut ditemukan pada pasien SN. 1,2,3 ini. 1,2,3,7
c)Terapi-antikoagulan
MANIFESTASI KLINIS Bila didiagnosis adanya peristiwa
Protenuria tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan heparin
Protenuria : > 3.0 gr/24 jam. Perubahan harus dimulai. Jumlah heparin yang diperlukan untuk
pada membrana dasar glomerulus menyebabkan mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT)
peningkatan permebilitas glomerulus terhadap terapeutik mungkin meningkat karena adanya
protein plasma yaitu albumin.4,5 penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi
Hipoalbuminemia heparin intravena , antikoagulasi oral dengan warfarin
Hipoalbuminemia : albumin serum 3,5 dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi. 1,2,3,5
g/1,73m2 luas permukaan tubuh/hari), d)Terapi-Obat
hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah
hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas. pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5
Pemeriksaan tambahan seperti venografi mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 – 6
diperlukan untuk menegakkan diagnosis minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai
trombosis vena yang dapat terjadi akibat tercapai dosis maintenance (5 – 10 mg) kemudian
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita
yang menentukan prognosis dan respon memburuk kembali (timbul edema, protenuri),
terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.4,5,6 diberikan kembali full dose selama 4 minggu
kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid
PENATALAKSANAAN menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada
spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus
protenuria, mengontrol edema dan mengobati glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid
komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan
nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obat- nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
obatan yang menjadi penyebabnya untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang
disingkirkan. (1,2,3,4) menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan
vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan
a) Diuretik
intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan
Diuretik ansa henle (loop
proteinuria sampai 75 %. Sitostatika diberikan bila
diuretic) misalnya furosemid (dosis
dengan pemberian prednisone tidak ada respon,
awal 20-40 mg/hari) atau golongan
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping
tiazid dengan atau tanpa kombinasi
kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5
dengan potassium sparing diuretic
mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin
(spironolakton) digunakan untuk
3
seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin berfungsi dengan baik dan timbulnya nekrosis tubular
dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida akut. 1,2,3,8
dan meningkatkan kolesterol HDL. 1,2,3,4,7
Obat anti proteinurik misalnya ACE LAPORAN KASUS
inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun
antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. datang dengan keluhan utama sembab di seluruh tubuh
Obat penghambat enzim konversi angiotensin yang semakin meningkat sejak 1 minggu sebelum
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan masuk rumah sakit. Sembab sudah dirasakan sejak 1
antagonis reseptor angiotensin II dapat tahun yang lalu. Sembab awalnya dirasakan pasien
menurunkan tekanan darah dan kombinasi terutama pada pagi hari dan berkurang pada sore hari,
keduanya mempunyai efek aditif dalam sembab kemudian menetap dan dirasakan sepanjang
menurunkan proteinuria. 1,2,3,8 hari. Sembab dimulai pada kelopak mata, wajah, dan
diikuti seluruh tubuh. BAK berbusa sejak 1 tahun
KOMPLIKASI yang lalu. Sejak 1 minggu yang lalu, jumlah BAK
Hiperlipidemia merupakan keadaan lebih kurang setengah gelas setiap kali buang air kecil,
yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol dan frekuensi BAK 3 kali sehari sejak sakit. Riwayat
pada umumnya meningkat sedangkan buang air kecil seperti air cucian daging tidak ada.
trigliserida bervariasi dari normal sampai Nyeri pada saat buang air kecil tidak ada. Riwayat
sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol buang air kecil berpasir tidak ada, keluar batu tidak
disebabkan oleh meningkatnya LDL (low ada. Perut tampak membuncit sejak 6 bulan yang lalu.
density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein Riwayat sakit tenggorokan, batuk dan pilek
utama pengangkut kolesterol. Tingginya kadar sebelumnya tidak ada.
LDL pada SN disebabkan oleh peningkatan Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan adanya
sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati. kesan efusi pleura bilateral setinggi RIC VI ke bawah,
Mekanisma hiperlipidemia pada SN pada pemeriksaan abdomen ditemukan adanya shifting
dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dullness yang menandakan adanya asites, dan pada
dan lipoprotein hati dan menurunnya ekstremitas ditemukan edema tungkai. Pada
katabolisme. 1,2 pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan
Lipiduria sering ditemukan pada SN proteinuria +3 dan protein urin 24 jam : 16 gram/24
dan ditandai oleh akumulasi lipid pada debris jam, albumin 1,5 g/dl, ureum 79 mg/dl, kreatinin 3,1
sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval mg/dl, natrium 144 mmol/L, kalium 2,4 mmol/L,
(oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih klorida 113 mmol/L. HbsAg dan anti HCV non
dikaitkan dengan protenuria daripada dengan reaktif.
hiperlipidemia.3
Komplikasi tromboemboli sering Hasil EKG menunjukkan Sinus Rhythm.
ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMP
kecenderungan terjadinya trombosis vena
renalis cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis
vena dalam (deep vena trombosis) sering
dijumpai pada SN. Terjadinya infeksi oleh
kerana defek imunitas humoral, selular, dan
gangguan system komplemen. Oleh itu bacteria
yang tidak berkapsul seperti Haemophilus
influenzae and Streptococcus pneumonia boleh
menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan
IgG, IgA dan gamma globulin sering ditemukan
pada pasien SN oleh kerana sintesis yang Gambar 1. Hasil EKG
menurun atau katabolisme yang meningkat dan Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui kesan efusi pleura bilateral. Pada pemeriksaan USG
urine. Gagal ginjal akut disebabkan oleh ginjal ditemukan kesan sesuai gambaran nefrotik.
hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi Pada pemeriksaan USG thorax ditemukan kesan efusi
di dalam jaringan tubuh, kurang sekali cairan di pleura sinistra minimal. Pada pemeriksaan USG
dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran darah abdomen ditemukan kesan heaptitis kronis sugestif
ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat sirosis hepatis.
4
kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila
ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan
badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini
digunakan untuk membedakan dengan protenuria
pada pasien bukan sindrom nefrotik. Ditemukan
hiperkolesterolemia ( kolesterol total 405 mg / dl )
dengan kadar LDL yang meningkat.
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh
glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat
obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering
dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B,
akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid
atau preparat emas organik, dan akibat penyakit
sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik
dan diabetes melitus.
Pasien ini didiagnosis dengan sindrom
Gambar 2 : Rontgen Thorax nefrotik sekunder, dengan pertimbangan riwayat
Pasien didiagnosa kerja dengan sindrom penyakit yang baru dirasakan setelah masa dewasa,
nefrotik sekunder, occult hepatitis B. Pasien sehingga kemungkinan sindrom nefrotik kongenital
dianjurkan untuk pemeriksaan biopsi ginjal bisa disingkirkan. Pada pasien tidak ditemukan adanya
untuk mengetahui tipe dari sindrom nefrotik. tanda - tanda keganasan, riwayat pemakaian obat -
Pada pasien dilakukan pemeriksaan anti HBc obatan, riwayat sakit diabetes melitus sehingga
dengan hasil non reaktif. Direncanakan untuk penyebab sekunder dari penyakit ini bisa disingkirkan.
dilakukan pemeriksaan HBV DNA di poliklinik Secara epidemiologi, rasio perbandingan perempuan
untuk penelusuran occult hepatitis B. dengan laki-laki sebesar 2 : 1, walaupun demikian
tidak menutup kemungkinan pasien ini mengidap SLE
Pasien ditatalaksana dengan diet sindrom dengan nefritis lupus. Kecurigaan akan SLE pada
nefrotik, furosemid 2 x 20 mg iv, metil pasien ini bisa dipertimbangkan walaupun hanya
prednisolon 3 x 16 mg po, captopril 2 x 12,5 memenuhi 1 kriteria dari American Reumatism
mg po, myfortic 2 x 360 mg po, lansoprazol 1 x Association yaitu berupa proteinuria ( kadar protein
30 mg po, osteocal 1 x 1000 mg po, KSR 2 x urin > 500 mg / 24 jam ). Manifestasi seperti malar
600 mg po dan transfusi albumin 25 %. rash, discoid rash, photosensitive, oral ulcers, arthritis
non erosif, serositis (pleuritis/carditis), gangguan
DISKUSI neurologis (kejang, psikosis), gangguan hematologi
Telah dirawat seorang pasien laki laki, (anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia, atau
usia 27 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP leukopenia), tidak terdapat pada pasien ini. Pasien ini
Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 3 Maret dianjurkan untuk pemeriksan tes imunologis berupa
2022 pukul 03.30 WIB dengan diagnosis ANA profile dari poliklinik. Pasien memiliki tekanan
sindrom nefrotik sekunder, efusi pleura darah yang normal, serta tidak ditemukan adanya
bilateral, hipokalemia ec renal loss, akut hematuria pada hasil urinalisa dan tidak adanya
kidney injury, occult hepatitis B. riwayat infeksi sebelumnya sehingga kemungkinan
Diagnosis sindrom nefrotik pada pasien glomerulonefritis kronis bisa disingkirkan. Gold
ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, standar pemeriksaan sindrom nefrotik yaitu biopsi
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. ginjal tidak bisa dilakukan pada pasien ini, karena
Pada anamnesa ditemukan adanya sembab di keterbatasan alat dan prasarana di RSUP M. Djamil.
seluruh tubuh. Pada pemeriksaan penunjang Secara teori, kita dapat menduga jenis histopatologi
ditemukan protein urin +3, hipoalbuminemia sindrom nefrotik pada pasien. Tipe sindrom nefrotik
dan kadar kolesterol yang meningkat. Pada berdasarkan gambaran histopatologi glomerular
pasien juga ditemukan asites dan efusi bilateral adalah lesi minimal, FSGS, nefropati membranosa,
sebagai akibat dari penurunan tekanan onkotik nodular glomerulosklerosis serta amyloidosis. Hodgin
plasma intravaskuler akibat adanya et al (2015), tipe FSGS termasuk salah satu tipe
hipoalbuminemia. Protenuria merupakan sindrom nefrotik yang umum ditemukan pada remaja
5
dan dewasa muda. McGrogan et al (2011) tapering off, keadaan penderita memburuk kembali
menyatakan bahwa 30-35% kasus sindrom (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose
nefrotik pada dewasa didunia termasuk dalam selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat
tipe FSGS. Siem et al (2016) juga menyatakan kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani
di USA kejadian FSGS mencapai 39% dari sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone)
kasus sindrom nefrotik dan dalam decade terutama pada minimal glomerular lesion (MGL),
terakhir kejadian FSGS meningkat dari 1,5 - 5 focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) dan
per 100.000 orang per tahunnya. Tipe lesi sistemik lupus glomerulonephritis. Sitostatika
minimal merupakan bentuk yang sering terjadi diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada
pada anak. Tipe nefropati membranosa respon, kambuh yang berulang kali atau timbul efek
merupakan tipe sindrom nefrotik dengan gejala samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid
klinis yang sering tumpang tindih dengan 1,5 mg/kgBB/hari. Pada pasien juga diberikan obat
sindrom nefritik. Pasien sering nantinya penurun lemak golongan statin berdasarkan
mengalami hematuria yang diikuti oleh Framingham risk score, pasien memiliki factor resiko
proteinuria. Selain itu nefropati membranosa untuk kejadian kardiovaskuler sebesar 13 %, sehingga
sering merupakan sekunder terhadap penyakit pada pasien diberikan obat golongan statin moderate
sistemik lain, seperti penyakit autoimun, intensity berupa atorvastatin 1 x 40 mg. Obat penurun
glomerulonefritis pasca infeksi. Murtas (2016) lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin
menyatakan bahwa hampir 85% kejadian dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
nefropati mebranosa merupakan sekunder trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
terhadap penyakit sistemik lainnya. Pada pemeriksaan USG abdomen pada pasien
Berdasarkan epidemiologi dan secara klinis bisa ini ditemukan kesan adanya suatu hepatitis kronis dan
kita duga bahwa pasien ini dengan sindrom telah dilakukan fibroscan dengan hasil FC III. Telah
nefrotik tipe FSGS. Namun kita tidak bisa dilakukan pemeriksaan hepatitis marker pada pasien
mengetahuinya secara pasti karena pada pasien dengan hasil HBsAg dan anti HCV non reaktif.
ini tidak dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal. Namun kemungkinan dari suatu infeksi hepatitis B
Pada pasien ditemukan adanya belum bisa disingkirkan pada pasien ini, sehingga
peningkatan ureum dan kreatinin yang bersifat pada pasien diperiksa serologi anti HBc untuk menilai
reversible yang membaik setelah diberikan adanya infeksi di masa lampau. Pasien dicurigai
pengobatan. Pasien sindrom nefrotik adanya suatu occult hepatitis B karena dari kesan
mempunyai potensi untuk mengalami gagal sonografi dan hasil fibroscan yang mengarah ke
ginjal akut melalui berbagai mekanisme. gambaran suatu hepatitis. Pada occult hepatitis B
Penurunan volume plasma sering menyebabkan ditemukannya deoxyribose-nucleic acid (DNA)
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme virus hepatitis B (VHB) pada pemeriksaan HBsAg
lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal negatif. Mutasi pada preS2/S menyebabkan sekresi
ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal HBsAg menurun sehingga kadar HBsAg dalam serum
yang menyebabkan kompresi pada tubulus terlalu rendah yang menyebabkan HBsAg tidak
ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan terdeteksi. Pada pasien dianjurkan untuk pemeriksaan
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap HBV DNA di poliklinik untuk evaluasi lebih lanjut.
akhir. Proteinuria merupakan factor resiko Adanya kemungkinan suatu occult hepatitis B
penentu terhadap progesivitas SN. Progesivitas merupakan sesuatu yang menarik untuk dibahas. Bisa
kerusakan glomerulus, perkembangan saja ini merupakan penyakit terpisah yang tidak ada
glomerulosklerosis, dan kerusakan kaitannya dengan sindrom nefrotik pada pasien. Tetapi
tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria. di sisi lain, bisa saja sebagai pemicu terjadinya suatu
Pada pasien ini diberikan diuretik berupa sindrom nefrotik pada pasien.
furosemid 2 x 20 mg iv, anti proteinuria berupa Selama follow up pasien memperlihatkan
captopril 2 x 12, 5 mg po, serta kortikosteroid respon yang baik terhadap terapi yang diberikan.
berupa metilprednisolon 3 x 16 mg ( dosis 1 Ditandai dengan keluhan edema yang berkurang, serta
mg/kgBB/hari), serta imunosupresan berupa perbaikan dalam fungsi ginjal. Untuk pasien dengan
mikofenolat 2 x 360 mg. Pada pasien ini perubahan patologi yang minimal, prognosisnya
diberikan metil prednisolon hingga 4-6 minggu, sangat baik, dengan sebagian besar pasien mengalami
kemudian dikurangi dosisnya 4 mg/minggu remisi setelah pengobatan kortikosteroid. 85 hingga
sampai dosis maintanance ( 4 - 8 mg ) 90% pasien responsif terhadap steroid dan dapat
kemudian diberikan 4 mg selang sehari dan kambuh sehingga mereka berisiko mengalami
dihentikan dalam 1 - 2 minggu. Bila pada saat toksisitas steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi
6
lainnya. Untuk pasien dengan 5. Hull R, David J. Nephrotic syndrome in adults,
glomerulosklerosis segmen fokal, prognosisnya British Medical Journal.. 2008;334;92-98
buruk. Umumnya akan berkembang menjadi 6. Mirrakhimov A, Alaa M. Primary nephrotic
penyakit ginjal stadium akhir yang syndrome in adults as a risk factor for
membutuhkan cuci darah dan transplantasi pulmonary embolism. International Journal of
ginjal. Nephrology. 2014;235;74-85
7. Seigneux S, Pierre Y. Management of patients
KESIMPULAN with nephrotic syndrome, Swiss Med Weekly
Sindrom nefrotik ditandai dengan Magazine. 2009;435;392-8
edema anarsaka, proteinuria masif, 8. Darnindro N, Abdul. Tatalaksana hipertensi
hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. pada pasien sindrom nefrotik . Majalah
pada pasien sindrom nefrotik sebaiknya kedokteran Indonesia.2008;58;57-61
dilakukan biopsi ginjal untuk mengetahui tipe
lesi pada ginjal. Sindrom nefrotik bisa bersifat
primer dan sekunder. Sindroma nefrotik dapat
disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit
jaringan penghubung, akibat obat atau toksin
dan akibat penyakit sistemik. Penyebab
sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai
misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi
streptokokus atau infeksi virus hepatitis B,
akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-
steroid atau preparat emas organik, dan akibat
penyakit sistemik misalnya pada lupus
eritrematosus sistemik dan diabetes melitus.
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah
pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 –
1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari
selama 4 – 6 minggu. %. Sitostatika diberikan
bila dengan pemberian prednisone tidak ada
respon, kambuh yang berulang kali atau timbul
efek samping kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lydia, Maruhum. M. Sindrom nefrotik.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2014: Ed
IV;2080-87.
2. Sukandar, Enday. Sindrom nefrotik.
Nefrologi Klinik, Edisi III. : Pusat
Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit
dalam FKUNPAD.2006;Ed III;254-92.
3. Siregar, Parlindungan. Pengobatan
sindrom nefrotik pada pasien dewasa.
The Indonesian Journal of Nephrology
and Hypertension, : PERNEFRI.2003;98-
102
4. Himawan, Sutisna. Diagnosis patologik
ginjal pada penyakit glomerular. The
Indonesian Journal of Nephrology and
Hypertension, : PERNEFRI.2003;103-
108.
7
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik


glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anarsarka, proteinuria massif ≥ 3,5
g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria.1,2
Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN akan tetapi pada SN
berat yang disertai kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. 1,2
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta
hormone tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya, SN dengan fungsi ginjal normal
kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respone
yang baik terhadap terapi steroid akan tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi
kronik. 1,2

1.1 Etiologi

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder akibat


infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), akibat
obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik.

Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik: 1,2


Glomerulonefritis Primer
1. GN lesi minimal (GNLM)
2. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
3. GN Membranosa (GNMN)
4. GN Membranoploriferatif (GNMP)

8
5. GN Proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat ; infeksi seperti ; HIV, Hepatitis virus B dan C,
Sifilis, Malaria, Skistosoma, Tuberkulosis, Lepra; keganasan seperti;
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma multiple, dan
karsinoma ginjal; penyakit jaringan penghubung seperti; Lupus Eritematosus
Sistemik, Artritia Reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease); efek obat
dan toksin seperti : Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, kaptpril, heroin; serta penyakit sistemik lainnya seperti;
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks
vesikoureter, atau sengatan lebah

1.2 Patofisiologi
Reaksi antigen – antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis
glomerulus meningkat diikuti oleh kebocoran protein (albumin).
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Protein lain
yang diekskresi adalah globulin pengikat tiroid, IgG, IgA, antitrombin III dan protein
pengikat vitamin D. 1,2,3
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan
glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana
basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu
polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi
minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan
pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity.
1,2,3,4,5

Keadaan hipoalbuminemia disebabkan oleh kehilangan sejumlah protein


tubuh melalui urine (proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy), katabolisme

9
albumin, pemasukan protein yang kurang kerana nafsu makan yang menurun dan
utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika kompensasi hepar
dalam mensintesa albumin tidak adekuat, akan terjadi hipoproteinemi. 1,2,3
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin
hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh
protenuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Oleh itu, untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati. Akan
tetapi tetap dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal. 2,,3
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik. Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel. 1,2
Teori underfil menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor utama
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium
dan terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisma kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berat. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
sebagai defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus

10
akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisma tersebut ditemukan pada pasien SN. 1,2,3
Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya
disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan
bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan
meningkat selama fase diuresis.1,2,3
Keadaan hiperkoagubilitas ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT)
III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya
faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,
perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).3

Keadaan sindrom nefrotik juga terjadi penurunan kadar imunoglobulin Ig G


dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan
katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul
seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi
gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan
peritonitis.3

1.3 Manifestasi klinis

Protenuria
Protenuria : > 3.0 gr/24 jam. Perubahan pada membrana dasar glomerulus
menyebabkan peningkatan permebilitas glomerulus terhadap protein plasma yaitu
albumin.4,5
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia : albumin serum 3,5 g/1,73m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan
respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.4,5,6

11
1.4 Penatalaksanaan
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom
nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obat-obatan yang menjadi penyebabnya
disingkirkan. (1,2,3,4)

a) Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-
40 mg/hari) atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan
potassium sparing diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema
dan hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari. 1,2,3

b) Diet
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri
dari karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus
diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit
ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat mengurangi
proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan
menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan
dianjurkan pada pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik
belum ditetapkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat
mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan kalau pasien
mengalami kekurangan vitamin ini. 1,2,3,7

c) Terapi-antikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi
antikoagulan dengan heparin harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan
untuk mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin
meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi
heparin intravena , antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai
sindrom nefrotik dapat diatasi. 1,2,3,5

12
d) Terapi-Obat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian
kortikosteroid yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari
selama 4 – 6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai
dosis maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan
dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita
memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose
selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi
pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil
prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental
glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat
antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan nefropati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis
prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi
ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus
penurunan proteinuria sampai 75 %. Sitostatika diberikan bila dengan
pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang berulang kali atau
timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5
mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin,
pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL. 1,2,3,4,7
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium
antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai
efek aditif dalam menurunkan proteinuria. 1,2,3,8

1.5Komplikasi
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol pada umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal

13
sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya
LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein utama pengangkut kolesterol.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme hati. Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. 1,2
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid pada
debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast.
Lipiduria lebih dikaitkan dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia.3
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya trombosis
vena renalis cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vena
trombosis) sering dijumpai pada SN. Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas
humoral, selular, dan gangguan system komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak
berkapsul seperti Haemophilus influenzae and Streptococcus pneumonia boleh
menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin sering
ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urine. Gagal ginjal akut
disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di dalam jaringan
tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran darah ke ginjal
menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya nekrosis
tubular akut. 1,2,3,8

14
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 27 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang mulai tanggal 3 Maret 2022 pukul 03.30 dengan:

Keluhan Utama: ( Auto dan Allo Anamnesis )


Sembab di seluruh tubuh yang semakin meningkat sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


 Sembab di seluruh tubuh yang semakin meningkat sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Sembab sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
Awalnya sembab dirasakan terutama pada pagi hari dan berkurang pada
sore hari, kemudian menetap dan dirasakan sepanjang hari. Sembab
dimulai pada kelopak mata, wajah, dan diikuti seluruh tubuh. Sembab di
tungkai bawah sejak 10 bulan yang lalu, lama kelamaan sembab semakin
meningkat yang menyebabkan pasien susah berjalan. Keluhan kaki sembab
ini tidak disertai keluhan nyeri dan kemerahan. Sembab pada buah zakar
sejak 6 bulan yang lalu, awalnya berukuran kecil lama kelamaan semakin
besar hingga ukuran seperti bola tenis. Keluhan sembab di seluruh tubuh
ini dirasakan semakin memberat sehingga mengganggu aktivitas sehari-
hari.
 BAK berbusa sejak 1 tahun yang lalu. Sejak 1 minggu yang lalu, jumlah
BAK lebih kurang setengah gelas setiap kali buang air kecil, dan frekuensi
BAK 3 kali sehari sejak sakit. Riwayat buang air kecil seperti air cucian
daging tidak ada. Nyeri pada saat buang air kecil tidak ada. Riwayat buang
air kecil berpasir tidak ada, keluar batu tidak ada.
 Perut tampak membuncit sejak 6 bulan yang lalu. Rasa begah tidak ada.
Nyeri di perut tidak ada. Benjolan di perut tidak ada.

15
 Mual dan muntah tidak ada.
 Penurunan nafsu makan tidak ada.
 Sesak nafas tidak ada. Riwayat terbangun pada tengah malam hari tidak
ada. Riwayat tidur dengan 2-3 bantal atau lebih tidak ada. Riwayat sesak
napas saat beraktivitas tidak ada.
 Riwayat demam tidak ada.
 Riwayat sakit tenggorokan, batuk dan pilek sebelumnya tidak ada
 Riwayat sering sariawan pada mulut tidak ada.
 Riwayat kemerahan pada muka dan silau bila terkena cahaya matahari
tidak ada.
 Riwayat rambut rontok tidak ada.
 Riwayat nyeri sendi tidak ada.
 Riwayat nyeri pinggang tidak ada.
 Riwayat sering sariawan pada mulut tidak ada.
 BAB konsistensi biasa, warna kuning, frekuensi 1 x sehari, riwayat BAB
campur darah atau BAB hitam tidak ada.
 Riwayat minum obat herbal, obat-obatan secara bebas, jamu - jamuan tidak
ada.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat hipertensi tidak ada.
 Riwayat diabetes melitus tidak ada.
 Riwayat sakit kuning tidak ada.
 Riwayat sakit ginjal tidak ada.
 Riwayat keganasan tidak ada.
 Riwayat infeksi saluran napas tidak ada.

16
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit hipertensi dan
diabetes melitus.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal bocor.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal dan cuci darah.
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit lupus.
 Tidak ada riwayat keganasan pada keluarga.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:


 Pasien bekerja sebagai pekerja tidak tetap, kadang bekerja sebagai supir
alat berat, kadang - kadang bekerja sebagai petani.
 Pasien sudah menikah, dan tinggal bersama istri dan 2 orang anaknya di
Mentawai. Tinggal di rumah semi-permanen, lantai semen, sumber air dari
sumur serta MCK di jamban. Pencahayaan dan ventilasi cukup.
 Pasien tergolong keluarga dengan sosial ekonomi menengah kebawah,
 Riwayat merokok ada sejak 10 tahun yang lalu, kurang lebih satu bungkus
per hari.
 Riwayat minum alkohol ( bir kaleng ) sejak 5 tahun yang lalu, frekuensi ±
4 kali dalam sebulan, jumlah ± 1 gelas.
 Riwayat sex bebas dan sex sesama jenis tidak ada, Riwayat penggunaan
narkoba jarum suntik tidak ada.
 Riwayat transfusi darah sebelumnya tidak ada.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sedang
Kesadaraan : CMC
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x/mnt, regular, kuat angkat.
Frekuensi nafas : 22 x/mnt

17
Suhu : 36,7 0C
BB tampa edema : 58 kg
BB ideal : 58,5 kg
BB edema : 62 kg
TB : 165 cm
BMI : 21,3 kg/m² ( normoweight )
Anemis : (-)
Edema : (+)
Ikterik : (-)
Sianosis : (-)
Sp02 : 98% free air
Kulit : turgor kulit baik
KGB : tidak terdapat pembesaran KGB pada leher, axilla
dan inguinal
Kepala : normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) , pupil
isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(+)
Telinga : liang telinga lapang, membrane timpani utuh,
refleks cahaya (+)
Hidung : kavum nasi lapang, konka eutrofi, sekret (-/-)
Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang, uvula
ditengah
Gigi dan Mulut : caries (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Thorax : spider nevi (-)
Paru Depan :
Inspeksi : statis : normochest
dinamis : simetris kiri dan kanan

18
Palpasi : taktil fremitus menurun pada basal paru kiri dan kanan
Perkusi : redup pada bagian basal kedua paru, batas paru
hepar setinggi RIC V
Auskultasi : suara nafas vesikuler, suara napas menghilang
setinggi RIC 7 kebawah, ronkhi -/-, wheezing -/-
Paru Belakang :
Inspeksi : statis : punggung normal.
dinamis : simetris kiri dan kanan
Palpasi : taktil fremitus menurun di basal kedua lapangan paru
Perkusi : redup pada kedua basal paru di bawah RIC 7
Auskultasi : suara nafas vesikuler, suara napas menurun di RIC 7
paru kiri dan kanan, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas
1 ibu jari, kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan LSD, batas kiri 1 jari medial
LMCS RIC V, Batas atas RIC II kiri, pinggang jantung
(+)
Auskultasi : irama teratur, M1>M2, A2>P2, murmur (-) gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : perut tampak membuncit, vena kolateral (-),
venektasi (-)
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan
(-), nyeri lepas (-), lingkar perut 92 cm
Perkusi : shifting dullnes (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok CVA tidak ada,
Alat kelamin : skrotum membesar, diameter ± 10 cm

19
Anus : anus tenang, sfingter normal, mukosa licin, benjolan (-)
Anggota Gerak : edema pitting (+/+), akral hangat, reflek fisiologis
(+/+), reflek patologis (-/-), CRT < 2’, palmar eritem (-)

Laboratorium Darah Rutin


Hemoglobin 10,2 gr/dl
Hematokrit 30 %
Leukosit 9.800/mm3
Trombosit 288.000/mm3
Hitung Jenis 0/3/4/66/20/7
Gambaran Darah Tepi
Eritrosit Normositik normokrom
Leukosit Jumlah cukup, morfologi normal
Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : Dalam batas normal

Hasil Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 3-4/LPB Protein +3
Kekeruhan Positif Eritrosit 2-3/LPB Glukosa -
BJ 1,018 Silinder Negatif Bilirubin Negatif
Ph 6,5 Kristal Negatif Urobilin Negatif
Epitel Positif
Kesan : Proteinuria

Hasil Feses Analisa


Makroskopik Mikroskopik
Warna Kuning Leukosit 0-1/ LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/ LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Telur cacing Negatif
Kesan : Feses dalam batas normal

20
Hasil EKG :

Irama Sinus QRS Kompleks 0.06 detikIsoelektris


HR 88 x / menit ST segmen Normal
Axis Normo axis Gel T
Gel P Normal SV1+ RV5 < 35
PR interval 0,16 detik R/S V1 <1
Kesan : Sinus rythm

Rontgen thoraks :

21
Hasil Pemeriksaan Chest X-Ray
 Pemeriksaan radiografi thorax proyeksi AP Trakea di tengah
Mediastinum superior tidak melebar.
 Aorta baik Jantung posisi baik.
 Ukuran kesan tidak membesar
 Sinus dan diafragma normal
 Hillus normal.
 Corakan bronkovaskuler normal.
 Tidak tampak perbercakan ataupun nodul di kedua lapangan paru
 Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tumpul
 Skeletal dan soft tissue normal
Kesan : Efusi pleura bilateral

Daftar Masalah
 Edema Anarsaka
 Oliguria
 Efusi pleura bilateral
 Proteinuria

Diagnosis Primer
 Edema anarsaka ec sindrom nefrotik primer

Diagnosis Sekunder
 Efusi pleura bilateral ec hipoalbuminemia
 Akut Kidney Injury Stage III ec renal

Diagnosis banding :
 Edema anarsaka ec sindrom nefrotik sekunder
 Edema anarsaka ec glomerulonefritis kronis

22
 Akut Kidney Injury Stage III ec post renal ec nefropati obstruksi

Terapi:

 Istirahat/ diet sindroma nefrotik 2100 kkal ( karbohidrat 280 gram,


protein 48 gram, lemak 40 gram, natrium 2 gram),
 Furosemid 2 x 20 mg iv
 Ramipril 1 x 2,5 mg po
 Pasang kateter urine  balance cairan

Pemeriksaan anjuran :
 Cek Protein urin 24 jam
 Cek elektrolit ( natrium / kalium / clorida )
 Cek faal hepar ( SGOT, SGPT, albumin, globulin )
 Cek profil lipid, asam urat
 Cek faal hemostasis ( PT, APTT, D dimer)
 USG ginjal
 USG thorax
 USG abdomen
 Chest X-Ray

Follow up tanggal 4 Maret 2022 pukul 07.00 WIB


S : Sembab di kedua tungkai, perut tampak membuncit, sesak napas (-) ,
O/ Lingkar perut : 92 cm

KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 120/72mmHg 84x/min 20x/min 36.9 98%
free air

23
Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
600 1200 1800 2000 900 0 0 2900 -900

Hasil Laboratorium
SGOT 12 U/L Ureum darah 79 mg/dL
SGPT 16 U/L Kreatinin darah 3.1 mg/dL
Total protein 4,2 g/dL Natrium 144 mmol/L
Albumin 1,5 g/dL Kalium 2,4 mmol/L
Globulin 2,4 g/dL Klorida 113 mmol/L
CKD Epi 27 ml/min PT 10,4 detik
D dimer 357 APTT 22,5 detik
Kolesterol total 405 LDL 257
HDL 129 Trigliserida 95
Asam urat 3,6
Kesan: Peningkatan ureum dan kreatinin, hipoalbuminemia, hipokalemia,
hiperkolesterolemia

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi :


Kesan :
Sindrom nefrotik primer

Akut Kidney Injury Stage III ec renal

Hipokalemia related hipoalbuminemia


Diagnosa banding :

Sindrom nefrotik sekunder

Glomerulonefritis kronis
Advis :
Furosemid 2 x 20 mg iv
Koreksi kcl 25 meq iv  Cek elektrolit ulang post koreksi kcl

24
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
Ramipril 1 x 2, 5 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
Transfusi albumin 25 %
Cek protein urin 24 jam
Cek elektrolit urin
USG ginjal
Cek ureum dan kreatinin ulang per 3 hari
Cek albumin post koreksi
Cek hepatitis marker, anti HIV
Balance cairan negatif

Konsul Konsultan Pulmonologi :


Kesan : Efusi pleura bilateral ec hipoalbuminemia
Advis : Furosemid 2 x 20 mg iv
USG Thorax

Konsul Konsultan Gastroenterologi :


Kesan : Asites ec hipoalbuminemia
Advis : Furosemid 2 x 20 mg iv
USG abdomen

Konsul Konsultan Endokrin Metabolik:


Kesan : Dislipidemia

25
Framingham Risk Score
Parameter Score
Usia 0
Total kolesterol > 280 +7
HDL > 60 -2
Tekanan darah 120 – 129 mmHg +2
DM 0
Merokok +4
Total 12 13,3 %
Kesan Moderate risk

Advis : Atorvastatin 1 x 40 mg po

Follow up tanggal 7 Maret 2022 :


S : Sembab di kedua tungkai, perut tampak membuncit berkurang, sesak napas
tidak ada ,
O/ Lingkar perut : 88 cm

KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 110/70 86x/min 20x/mi 36.8 98% free
mmHg n air
Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
500 1600 2100 2500 900 0 0 3400 -1300

Hasil Laboratorium
Ureum darah 58 mg/dL Natrium 143 mmol/L
Kreatinin darah 2,4 mg/dL Kalium 3,4 mmol/L
Albumin 2,0 g/dL Klorida 114 mmol/L
Globulin 1,9 g/dL Natrium urin 100 mmol/34 jam
Hbsag Non reaktif Kalium urin 31 mmol/24 jam
Anti HCV Non reaktif Klorida urin 150 mmol/24 jam
Anti HIV Non Reaktif Protein urin 24 jam 16, 331 gr/24 jam

26
Kesan: Peningkatan ureum dan kreatinin, hipoalbuminemia, hipokalemia,
proteinuria masif

Hasil Pemeriksaan USG ginjal


Ginjal Kanan
- Bentuk / ukuran Normal / 9,96 cm
- Tepi Regular
- Echo densitas Meningkat
- Corteks dan medulla Dapat dideferensiasi
- Piramida Normal
- Sistem pelvikokalik Tidak ada dilatasi
- Batu / kista Tidak ada
Ginjal Kiri
- Bentuk / ukuran Normal / 10,26 cm
- Tepi Regular
- Echo densitas Meningkat
- Corteks dan medulla Dapat dideferensiasi
- Piramida Normal
- Sistem pelvikokalik Tidak ada dilatasi
- Batu / kista Tidak ada
Vesika Urinaria
- Bentuk Tidak dapat dinilai
- Mukosa Tidak dapat dinilai
- Batu Tidak ada
KESAN Sonografi ginjal sesuai gambaran nefritis

USG thorax
Penilaian Paru kanan Paru kiri
Pleura Penebalan (-), sliding (+) Penebalan (-), sliding (+)
Parenkim Massa (-), abses (-), infiltrat Massa (-), abses (-),
(-), ateletaksis (-) infiltrat (-), ateletaksis (-
)
Rongga pleura Efusi (-), fibrin/sekat (-) Efusi (+), fibrin/sekat (-)
Mediastinum Massa (-)

Kesan Efusi pleura sinistra minimal

USG abdomen :
Hati Tidak Membesar
Permukaan rata
Parenkim heterogen

27
Pinggir tumpul
Vena tidak membesar
Ductus billiaris tidak melebar
Vena portal melebar
Kandung Empedu Normal
Pankreas Normal
Kandung empedu Normal
Lien Normal
Kesan Hepatitis kronis sugestif sirosis hepatis

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi:


Kesan : Sindrom nefrotik sekunder ec hepatitis B kronis
Acute Kidney Injury Stage II DD/ Hepatorenal syndrom
Hipokalemia ec renal loss

Advis : Furosemid 2 x 20 mg iv
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
Captopril 2 x 12,5 mg po
Myfortic 2 x 360 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
KSR 2 x 600 mg po
Transfusi albumin 20 %
Cek elektrolit ulang per 3 hari
Cek ureum dan kreatinin ulang per 3 hari
Cek albumin post koreksi
Balance cairan negatif

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi:


Kesan : Asites ec hipoalbuminemia
Hepatitis kronis ec suspect occult hepatitis B
Advis : Furosemid 2 x 20 mg iv
Fibroscan

28
Cek anti HBc

Konsul Konsultan Pulmonologi:


Kesan : Efusi pleura bilateral ec hipoalbuminemia

Follow up tanggal 8 Maret 2022 pukul 07.00


S : Sembab di kedua tungkai, perut tampak membuncit, sesak napas (-) ,
O/ Lingkar perut : 86 cm

KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 112/70 88x/min 18x/min 36.7 98%
mmHg

Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
500 1500 2000 2000 900 100 0 3000 -1000

Fibroscan abdomen :
CS : 10,4 KPa ( F3 )

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi:


Kesan : Sindrom nefrotik sekunder ec hepatitis B kronis
Acute Kidney Injury Stage II DD/Hepatorenal syndrom
Hipokalemia ec renal loss
Advis : Furosemid 2 x 20 mg iv
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
Captopril 2 x 12,5 mg po
Myfortic 2 x 360 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po

29
Osteocal 1 x 1000 mg po
KSR 2 x 600 mg po
Balance cairan negatif

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi:


Kesan : Asites ec hipoalbuminemia
Hepatitis kronis ec suspect occult hepatitis B
Advis : Furosemid 1 x 40 mg po
Cek anti HBc

Follow up tanggal 9 Maret 2022 pukul 07.00


S : Sembab di tungkai berkurang, perut tampak membuncit berkurang,
sesak napas tidak ada
O/ Lingkar perut : 84 cm

KU Kesadaran TD HR RR T SO2
Sedang CMC 120/70mmHg 86x/min 19 x/min 36.8 98%

Balance cairan
Input Output Balance
Cairan
Parenteral Enteral Total Urine IWL Feses Muntah Total
600 1500 2100 2200 900 100 0 3200 -1100

Hasil Laboratorium
Ureum darah 34 mg/dL
Kreatinin darah 1,4 mg/dL
Albumin 2,6 g/Dl
Globulin 2,1 g/Dl
Anti HBc Non reaktif

30
Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi:
Kesan : Sindrom nefrotik sekunder ec occult hepatitis B kronis
Acute Kidney Injury stage I DD/ Hepatorenal syndrom
Hipokalemia ec renal loss
Advis :
Furosemid 1 x 40 mg po
Metil prednisolon 3 x 16 mg po
Myfortic 2 x 360 mg po
Captopril 2 x 12,5 mg po
Lansoprazol 1 x 30 mg po
Osteocal 1 x 1000 mg po
KSR 2 x 600 mg po
Acc rawat jalan

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi:


Kesan : Asites ec hipoalbuminemia
Hepatitis kronis ec suspect occult hepatitis B
Advis : Acc rawat jalan
Cek HBV DNA di poliklinik

31
Daftar Kontrol Balance Cairan
Input Ouput Balance
Tanggal Cairan
Parenteral Enteral Total Urin IWL Feses Muntah total

3/3/2022 650 1500 2150 1500 900 100 - 2500 -350

4/3/2022 600 1200 1800 2000 900 - - 2900 -900

5/3/2022 500 1500 2000 2100 900 100 - 3100 -1100

6/3/2022 650 1500 2150 1800 900 100 - 2800 -750

7/3/2022 500 1600 2100 2500 900 - - 3400 -1300

8/3/2022 500 1500 2100 2000 900 100 - 3000 -900

9/3/2022 600 1500 2100 2200 900 100 - 3200 -1100

32
BAB III
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki laki, usia 27 tahun di bangsal penyakit
dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 3 Maret 2022 pukul 03.30 WIB
dengan diagnosis :
 Sindrom nefrotik sekunder

 Occult hepatitis B
Diagnosis sindrom nefrotik pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
didapatkan adanya sembab yang dimulai pada kelopak mata, wajah, dan diikuti
seluruh tubuh. Sembab terutama pada pagi hari dan berkurang pada sore hari, namun
sembab kemudian menetap dan dirasakan sepanjang hari. Terdapat beberapa teori
yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled
theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa
adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi
albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi
vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
Pada pasien ditemukan adanya proteinuria masif dengan urinalisa
ditemukannya protein positif 3 dan kadar protein urin 24 jam sebesar 16 gram / 24
jam. Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal
ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom
nefrotik. Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap

33
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier
tersebut akan terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan
lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus. Konsentrasi albumin
plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein
melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan
akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Hilangnya
albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia.
Pada pasien ditemukan hiperkolesterolemia ( kolesterol total 405 mg / dl )
dengan kadar LDL yang meningkat. Hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada sindrom nefrotik. Hal ini dapat
dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu
katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Adanya edema anarsaka, proteinuria masif, hipoalbuminemia dan
hiperkolesterolemia sehingga secara klinis bisa didiagnosis dengan sindrom nefrotik.
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat atau toksin dan
akibat penyakit sistemik. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai
misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus
hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas
organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik
dan diabetes melitus.
Pasien ini didiagnosis dengan sindrom nefrotik sekunder karena riwayat

34
penyakit yang baru dirasakan saat dewasa, sehingga kemungkinan sindrom nefrotik
kongenital bisa disingkirkan. Pada pasien tidak ditemukan adanya tanda-tanda
keganasan, riwayat pemakaian obat - obatan sebelumnya tidak ada, riwayat sakit
diabetes melitus tidak ada, sehingga penyebab sekunder dari penyakit ini bisa
disingkirkan. Kecurigaan akan SLE pada pasien ini belum bisa disingkirkan
walaupun hanya memenuhi 1 kriteria dari American Reumatism Association yaitu
berupa proteinuria ( kadar protein urin > 500 mg / 24 jam ). Manifestasi seperti malar
rash, discoid rash, photosensitive, oral ulcers, arthritis non erosif, Serositis
(pleuritis/carditis), gangguan neurologis (kejang, psikosis), gangguan hematologi
(anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia, atau leukopenia), tidak terdapat
pada pasien ini. Pasien ini dipertimbangkan untuk pemeriksan tes imunologis berupa
ANA profile dari poliklinik. Pasien memiliki tekanan darah yang normal, tidak
ditemukan hematuria pada hasil urinalisa dan tidak ada riwayat infeksi sebelumnya
sehingga kemungkinan glomerulonefritis kronis bisa disingkirkan.
Pada pasien ditemukan adanya efusi pleura bilateral dan adanya asites yang
berhubungan dengan keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke
ruang interstisial seperti pleura dan rongga peritonium.
Gold standar pemeriksaan sindrom nefrotik yaitu biopsi ginjal tidak bisa
dilakukan pada pasien ini, karena keterbatasan alat dan prasarana di RSUP M.
Djamil. Secara teori, kita dapat menduga jenis histopatologi sindrom nefrotik pada
pasien. Tipe sindrom nefrotik berdasarkan gambaran histopatologi glomerular adalah
lesi minimal, FSGS, nefropati membranosa, nodular glomerulosklerosis serta
amyloidosis. Hodgin et al (2015), tipe FSGS termasuk salah satu tipe sindrom
nefrotik yang umum ditemukan pada remaja dan dewasa muda. McGrogan et al
(2011) menyatakan bahwa 30-35% kasus sindrom nefrotik pada dewasa didunia
termasuk dalam tipe FSGS. Siem et al (2016) juga menyatakan di USA kejadian
FSGS mencapai 39% dari kasus sindrom nefrotik dan dalam decade terakhir kejadian
FSGS meningkat dari 1,5-5 per 100.000 orang per tahunnya. Tipe lesi minimal
merupakan bentuk yang sering terjadi pada anak. Tipe nefropati membranosa

35
merupakan tipe sindrom nefrotik dengan gejala klinis yang sering tumpang tindih
dengan sindrom nefritik. Pasien sering nantinya mengalami hematuria yang diikuti
oleh proteinuria. Selain itu nefropati membranosa sering merupakan sekunder
terhadap penyakit sistemik lain, seperti penyakit autoimun, glomerulonefritis pasca
infeksi. Murtas (2016) menyatakan bahwa hampir 85% kejadian nefropati mebranosa
merupakan sekunder terhadap penyakit sistemik lainnya. Berdasarkan epidemiologi
dan secara klinis bisa kita duga bahwa pasien ini dengan sindrom nefrotik tipe FSGS.
Namun kita tidak bisa mengetahuinya secara pasti karena pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal.
Pada pasien terjadi peningkatan ureum dan kreatinin yang beresifat reversible
yang membaik setelah diberikan pengobatan. Pasien sindrom nefrotik mempunyai
potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan
volume plasma sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme
lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat
progresif dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Proteinuria
merupakan factor resiko penentu terhadap progesivitas SN. Progesivitas kerusakan
glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium
dikaitkan dengan proteinuria. Hyperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme
terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada sindrom nefrotik,
walaupun peran terhadap progesivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.
Penatalaksanaan dalam jangka panjang sangat penting, karena banyak
penderita akan mengalami eksaserbasi dan remisi berulang selama bertahun-tahun,
tetapi dengan semakin lanjutnya hialinisasi glomerulus maka proteinuria akan
semakin berkurang sedangkan azotemia semakin berat. (Wilson, 1995). Pada pasien
ini diberikan diuretik berupa furosemid 2 x 20 mg iv, anti proteinuria berupa
captopril 2 x 12, 5 mg po, kortikosteroid berupa metilprednisolon 3 x 16 mg ( dosis 1
mg/kgBB/hari), imunosupresan berupa mikofenolat 2 x 360 mg. Pasien ini
direncanakan untuk pemberian metil prednisolon hingga 4 - 6 minggu, kemudian
dikurangi dosisnya 4 mg/minggu sampai dosis maintanance ( 4 - 8 mg ) kemudian

36
diberikan 4 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1 - 2 minggu. Bila pada saat
tapering off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri),
diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat
kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik
(prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL),
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) dan sistemik lupus glomerulonephritis.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh
yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Pada pasien juga diberikan obat penurun lemak
golongan statin berdasarkan Framingham risk score, pasien memiliki factor resiko
untuk kejadian kardiocaskuler sebesar 13 %, sehingga pada pasien diberikan obat
golongan statin moderate intensity berupa atorvastatin 1 x 40 mg. Obat penurun
lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat
menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
Pasien memperlihatkan respon yang baik terhadap terapi yang diberikan.
Ditandai dengan keluhan edema yang berkurang, serta perbaikan dalam fungsi ginjal.
Untuk pasien dengan perubahan patologi yang minimal, prognosisnya sangat baik,
dengan sebagian besar pasien mengalami remisi setelah pengobatan kortikosteroid.
85 hingga 90% pasien responsif terhadap steroid dan dapat kambuh sehingga mereka
berisiko mengalami toksisitas steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi lainnya.
Untuk pasien dengan glomerulosklerosis segmen fokal, prognosisnya buruk.
Umumnya akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir yang
membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal.
Pada pemeriksaan USG abdomen ditemukan kesan adanya suatu hepatitis
kronis dan telah dilakukan fibroscan dengan hasil FC III. Telah dilakukan
pemeriksaan hepatitis marker pada pasien dengan hasil HBsAg dan anti HCV non
reaktif. Kemungkinan suatu infeksi hepatitis B belum bisa disingkirkan pada pasien
ini, sehingga pada pasien diperiksa serologi anti HBc. Suatu occult hepatitis B bisa
dipertimbangkan karena kesan sonografi dan hasil fibroscan yang mengarah ke
gambaran suatu hepatitis kronis. Pada occult hepatitis B ditemukannya deoxyribose-

37
nucleic acid (DNA) virus Hepatitis B (VHB) pada pemeriksaan HBsAg negatif.
Mutasi pada preS2/S menyebabkan sekresi HBsAg menurun sehingga kadar HBsAg
dalam serum terlalu rendah yang menyebabkan HBsAg tidak terdeteksi. Pada pasien
dianjurkan untuk pemeriksaan HBV DNA di poliklinik untuk evaluasi lebih lanjut.
Adanya kemungkinan suatu occult hepatitis B merupakan sesuatu yang
menarik untuk dibahas. Bisa saja ini merupakan penyakit terpisah yang tidak ada
kaitannya dengan sindrom nefrotik pada pasien. Tetapi di sisi lain, bisa saja sebagai
penyebab dari sindrom nefrotik itu sendiri. Pada studi epidemiologi menunjukkan
bahwa infeksi virus hepatitis kronis bisa menyebabkan sindrom nefrotik terutama
pada laki-laki dengan tipe yang paling sering adalah membranous nephropaty. Bukti
epidemiologis, klinis dan imunologis memperlihatkan adanya hubungan kausal
antara infeksi HBV dan perkembangan nefropati. Mekanisme patogenetik dimana
individu dengan penyakit kronis infeksi HBV berkembang menjadi nefropati tidak
terdefinisi dengan jelas, meskipun proses imunologi yang berhubungan dengan
deposisi kompleks imun telah terlibat. Faktor genetik mungkin juga berperan pada
kasus ini. Bukti mendukung kecenderungan genetik untuk persistensi HBV
antigenemia dan untuk perlindungan terhadap infeksi HBV. Empat mekanisme
utama yang dapat menginduksi cedera jaringan ginjal oleh HBV: (1) Dengan efek
sitopatik yang disebabkan oleh virus yang menginfeksi sel. (2) Dengan deposisi
jaringan imun kompleks antigen virus dan antibodi pejamu. (3) Mekanisme efektor
imunologi spesifik yang diinduksi virus (limfosit T spesifik atau antibodi) yang
merusak ginjal. (4) Dengan efek tidak langsung pada jaringan ginjal yang dimediasi
melalui sitokin atau mediator yang diinduksi virus.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Lydia, Maruhum. M. Sindrom nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014: Ed
IV;2080-87.

2. Sukandar, Enday. Sindrom nefrotik. Nefrologi Klinik, Edisi III. : Pusat


Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit dalam FKUNPAD.2006;Ed III;254-
92.

3. Siregar, Parlindungan. Pengobatan sindrom nefrotik pada pasien dewasa. The


Indonesian Journal of Nephrology and Hypertension, : PERNEFRI.2003;98-
102

4. Himawan, Sutisna. Diagnosis patologik ginjal pada penyakit glomerular. The


Indonesian Journal of Nephrology and Hypertension, : PERNEFRI.2003;103-
108.

5. Hull R, David J. Nephrotic syndrome in adults, British Medical Journal..


2008;334;92-98

6. Mirrakhimov A, Alaa M. Primary nephrotic syndrome in adults as a risk


factor for pulmonary embolism. International Journal of Nephrology.
2014;235;74-85

7. Seigneux S, Pierre Y. Management of patients with nephrotic syndrome,


Swiss Med Weekly Magazine. 2009;435;392-8

8. Darnindro N, Abdul. Tatalaksana hipertensi pada pasien sindrom nefrotik .


Majalah kedokteran Indonesia.2008;58;57-61

39

Anda mungkin juga menyukai