Anda di halaman 1dari 5

BAB III

DISKUS
I

Telah dirawat seorang pasien laki laki, usia 27 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 3 Maret 2022 pukul 03.30 WIB dengan diagnosis :
 Sindrom nefrotik

 Occult hepatitis B
Diagnosis sindrom nefrotik pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan ada nya sembab yang
dimulai pada kelopak mata, wajah, dan diikuti seluruh tubuh. Sembab terutama pada pagi hari
dan berkurang pada sore hari, namun sembab kemudian menetap dan dirasakan sepanjang hari.
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik.
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa
adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik.
Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular
ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
Pada pasien juga ditemukan adanya proteinuria masif dengan urinalisa ditemukannya
protein positif 3 dan kadar protein urin 24 jam sebesar 16 gram / 24 jam. Protenuria merupakan
kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m 2 luas permukaan
badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria
pada pasien bukan sindrom nefrotik. Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier tersebut akan terganggu. Selain itu
konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal
glomerulus. Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria
1
masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin
hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Hilangnya albumin melalui urin
merupakan konstributor yang penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal
tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju
sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat
mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran
gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia,
tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia
harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan
katabolisme albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat
hingga 300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia
menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun
diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin
oleh hepar tidak adekuat.
Pada pasien ini ditemukan hiperkolesterolemia ( kolesterol total 405 mg / dl ) dengan
kadar LDL yang meningkat. Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein
serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain
yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati,
termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Adanya edema anarsaka, proteinuria masif, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia
sehingga secara klinis bisa didiagnosis dengan sindrom nefrotik. Sindroma nefrotik dapat
disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit
jaringan penghubung, akibat obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik. Penyebab sekunder
akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus
atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat
emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan
diabetes melitus.
Pasien ini didiagnosis dengan sindrom nefrotik primer, dengan pertimbangan riwayat
penyakit yang baru dirasakan setelah masa dewasa, sehingga kemungkinan sindrom nefrotik
kongenital bisa disingkirkan. Pada pasien tidak ditemukan adanya tanda – tanda keganasan,
riwayat pemakaian obat – obatan sebelumnya tidak ada, riwayat sakit Diabetes Melitus sehingga
penyebab sekunder dari penyakit ini bisa disingkirkan. Kecurigaan akan SLE pada pasien ini bisa
2
disingkirkan karena hanya memenuhi 1 kriteria dari American Reumatism Association yaitu
berupa proteinuria ( kadar protein urin > 500 mg / 24 jam ). Manifestasi seperti malar rash,
discoid rash, photosensitive, oral ulcers, arthritis non erosif, Serositis (pleuritis/carditis),
gangguan neurologis (kejang, psikosis), gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia,
trombositopenia, atau leukopenia), tidak terdapat pada pasien ini. Sehingga pada pasien ini tidak
diperlukan untuk pemeriksan tes imunologis berupa ANA profile. Pasien memiliki tekanan darah
yang normal, serta tidak ditemukan adanya hematuria pada hasil urinalisa dan tidak adanya
riwayat infeksi sebelumnya sehingga kemungkinan glomerulonefritis kronis bisa disingkirkan.
Pada pasien juga ditemukan adanya efusi pleura bilateral dan adanya asites yang
berhubungan dengan keadaan hipoalbuminemia pada pasien yang menyebabkan menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial seperti
pleura dan rongga peritonium.
Gold standar pemeriksaan Sindrom Nefrotik yaitu biopsi ginjal tidak bisa dilakukan pada
pasien ini, karena keterbatasan alat dan prasarana di RSUP M. Djamil. Secara teori, kita dapat
menduga jenis histopatologi sindrom nefrotik pada pasien. Tipe sindrom nefrotik berdasarkan
gambaran histopatologi glomerular adalah lesi minimal, FSGS, nefropati membranosa, nodular
glomerulosklerosis serta amyloidosis. Hodgin et al (2015), tipe FSGS termasuk salah satu tipe
sindrom nefrotik yang umum ditemukan pada remaja dan dewasa muda. McGrogan et al (2011)
menyatakan bahwa 30-35% kasus sindrom nefrotik pada dewasa didunia termasuk dalam tipe
FSGS. Siem et al (2016) juga menyatakan di USA kejadian FSGS mencapai 39% dari kasus
sindrom nefrotik dan dalam decade terakhir kejadian FSGS meningkat dari 1,5-5 per 100.000
orang per tahunnya. Tipe lesi minimal merupakan bentuk yang sering terjadi pada anak. Tipe
nefropati membranosa merupakan tipe sindrom nefrotik dengan gejala klinis yang sering tumpang
tindih dengan sindrom nefritik. Pasien sering nantinya mengalami hematuria yang diikuti oleh
proteinuria. Selain itu nefropati membranosa sering merupakan sekunder terhadap penyakit
sistemik lain, seperti penyakit autoimun, glomerulonefritis pasca infeksi, HIVAN. Murtas (2016)
menyatakan bahwa hampir 85% kejadian nefropati mebranosa merupakan sekunder terhadap
penyakit sistemik lainnya. Berdasarkan epidemiologi dan secara klinis bisa kita duga bahwa
pasien ini dengan sindrom nefrotik tipe FSGS. Namun kita tidak bisa mengetahuinya secara pasti
karena pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal.
Pada pasien ditemukan adanya peningkatan ureum dan kreatinin yang beresifat reversible
yang membaik setelah diberikan pengobatan. Pasien sindrom nefrotik mempunyai potensi untuk
mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma sering
menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
3
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada
tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir. Proteinuria merupakan factor resiko penentu terhadap progesivitas SN. Progesivitas
kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium
dikaitkan dengan proteinuria. Hyperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada sindrom nefrotik, walaupun peran
terhadap progesivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari obat-obatan kortikosteroid dan imunosupresif
yang ditujukan terhadap lesi pada ginjal, diet tinggi protein dan rendah garam, diuretik, infus
albumin intravena, pembatasan aktivitas selama fase akut serta manjauhkan pasien dari
sumber-sumber infeksi. Penatalaksanaan dalam jangka panjang sangat penting, karena banyak
penderita akan mengalami eksaserbasi dan remisi berulang selama bertahun-tahun, tetapi
dengan semakin lanjutnya hialinisasi glomerulus maka proteinuria akan semakin berkurang
sedangkan azotemia semakin berat. (Wilson, 1995). Pada pasien ini diberikan diuretik berupa
furosemid 2 x 20 mg iv, anti proteinuria berupa captopril 2 x 12, 5 mg po, serta kortikosteroid
berupa metilprednisolon 3 x 16 mg ( dosis 1 mg/kgBB/hari), serta imunosupresan berupa
mikofenolat 2 x 360 mg. pada pasien ini diberikan metil prednisolon hingga 4-6 minggu,
kemudian dikurangi dosisnya 4 mg/minggu sampai dosis maintanance ( 4 – 8 mg ) kemudian
diberikan 4 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1 – 2 minggu. Bila pada saat tapering off,
keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose
selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama
untuk menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal
glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) dan sistemik lupus
glomerulonephritis. Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon,
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Pada pasien juga diberikan obat penurun lemak golongan
statin berdasarkan Framingham risk score, pasien memiliki factor resiko untuk kejadian
kardiocaskuler sebesar 13 %, sehingga pada pasien diberikan obat golongan statin moderate
intensity berupa atorvastatin 1 x 40 mg. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL.
Pada pasien ini diberikan diet sindrom nefrotik 2100 kkal berupa protein tinggi dan
rendah garam, dengan harapan dapat meningkatkan sintesa albumin. Protein diberikan
sebanyak 3-3,5 gr/kgBB/hari. Pemberian protein diatas jumlah ini tidak direkomendasikan
4
pada Sindrom Nefrotik karena pemberian protein yang terlalu tinggi akan mempercepat
terjadinya gagal ginjal pada penyakit yang kronis. Diet rendah garam diberikan untuk
menurunkan derajat edema dan sebaiknya kurang dari 35% kalori berasal dari lemak untuk
mencegah obesitas selama terapi steroid, dan mengurangi hiperkolesterolemia. Untuk
menghilangkan edema hebat dapat diberikan albumin (salt poor human albumin, suatu larutan
dengan kadar natrium 130-160 mEq/L). Namun demikian, mengingat risiko albumin ini sangat
besar, yaitu bisa menimbulkan hipertensi dan overload, maka pemberian albumin harus lebih
selektif, yaitu hanya diberikan apabila ada penurunan volume darah hebat (hipovolemi hebat)
dengan gejala postural hipotensi, sakit perut, muntah, dan diare serta adanya sesak dan edema
berat disertai edema pada skrotum/labia. Dosis albumin adalah 0,5-1 gr/kgBB i.v, diberikan
dalam beberapa jam (2-4 jam), diikuti oleh pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB i.v.
Pada pemeriksaan USG abdomen pada pasien ini ditemukan kesan adanya suatu hepatitis
kronis dan telah dilakukan fibroscan dengan hasil FC III. Telah dilakukan pemeriksaan hepatitis
marker pada pasien dengan hasil hbsag dan anti hcv yang non reaktif. Namun kemungkinan dari
suatu infeksi hepatitis B belum bisa disingkirkan pada pasien ini, sehingga pada pasien diperiksa
serologi anti HBc. Kemungkinan adanya occult hepatitis B bisa dipertimbangkan karena dari
kesan sonografi dan hasil fibroscan yang mengarah ke gambaran suatu hepatitis. Pada occult
hepatitis B ditemukannya deoxyribose-nucleic acid (DNA) virus Hepatitis B (VHB) pada
pemeriksaan HBsAg negatif. Mutasi pada preS2/S menyebabkan sekresi HBsAg menurun
sehingga kadar HBsAg dalam serum terlalu rendah yang menyebabkan HBsAg tidak terdeteksi.
Pada pasien dianjurkan untuk pemeriksaan HBV DNA di poliklinik untuk evaluasi lebih lanjut.
Adanya kemungkinan suatu occult hepatitis B merupakan sesuatu yang menarik untuk
dibahas. Bisa saja ini merupakan penyakit terpisah yang tidak ada kaitannya dengan sindrom
nefrotik pada pasien. Tetapi di sisi lain, bisa saja
Pasien didiagnosis banding dengan non alkoholic fatty liver disease dengan pertimbangan
adanya hiperkolesterolemia yang bisa menyebabkan terjadinya suatu perlemakan hati. Non-
Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan spektrum kelainan hati dengan gambaran
khas berupa steatosis (perlemakan) makrovesikular yang muncul pada pasien yang tidak
mengonsumsi alkohol dalam jumlah yang dianggap berbahaya bagi hati (kurang dari 20 gram
etanol per minggu). Spektrum kelainan dimulai dari steatosis sederhana (tanpa inflamasi dan
fibrosis), steatosis dengan inflamasi dengan atau tanpa fibrosis (non-alcoholic steatohepatitis-
NASH) dan dapat berlangsung menjadi sirosis. Pada pemeriksaan fisik pasien tidak ditemukan
adanya stigmata hati, sehingga kecurigaan akan telah terjadinya suatu sirosis bisa disingkirkan.

Anda mungkin juga menyukai