Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

SINDROMA NEFROTIK RELAPS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

Siti Rahmi Abukhaer 70600117013


Dewi Meliyani Ramadlana S 70600117029
Maurizka Khaerunnisa 70600117034
Apriani 70600117037
Risky Awalia H 70600117041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR

2020
A. DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang terdiri atas proteinuria
masif, hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema, dan hiperkolesterolemia.
Dikatakan sindrom nefrotik relaps ketika pasien sindrom nefrotik yang
mengalami kekambuhan kembali setelah respon awal terhadap pengobatan
steroid, ditandai dengan adanya proteinuria ≥2+ (>40 mg/ m2 LPB/ jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.1,2

B. ETIOLOGI
Sindroma nifritik ini disebabkan karena beberapa hal seperti kongenital,
primer atau idiopatik, dan sekunder.3
1. Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah:
 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
 Denys-Drash syndrome (WT1)
 Frasier syndrome (WT1)
 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4
TRPC6)
 Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Pierson syndrome (LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
 Galloway-Mowat syndrome
 Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer
atau idiopatik adalah sebagai berikut :
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
 Glomerulosklerosisfokalsegmental(GSFS)
 MesangialProliferativeDifuse(MPD)
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
 NefropatiMembranosa(GNM)
3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara
lain sebagai berikut :
 lupus erimatosus sistemik (LES)
 keganasan, seperti limfoma dan leukemia
 vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis
dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis
eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis
mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
 Immune complex mediated, seperti post streptococcal
(postinfectious) glomerulonephritis.

C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi Sindrom Nefrotik di seluruh dunia 15 kali lebih tinggi pada
anak dibanding pada usia dewasa. Insidensi sindrom nefrotik di Amerika
Serikat dan Eropa diperkirakan sekitar 1-7 per 100.000 anak, dengan
prevalensi kumulatif sebesar 16 per 100.000 anak pertahunnya. Sedangkag di
Indonesia dilaporkan kejadian tahunan sindrom nefrotik pada usia kurang dari
14 tahun sebanyak 6 kasus per 100.000 anak dan paling banyak ditemukan
pada usia 1,5-14 tahun. Secara umum, sindrom nefrotik relaps lebih banyak
dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan rasio sebesar
1,89:1. Pada sindrom nefrotik relaps terjadi peningkatan kadar kolesterol total
(100%) dan trigliserida (100%), sehingga meningkatkan risiko aterosklerosis.
Anak usia 7 tahun dengan sindrom nefrotik relaps sering dilaporkan mengalami
infark miokard akut engan hiperlipidemia yang menjadi penyebab utama
kejadian tersebut. Dikatakan bahwa risiko infark miokard 5-6 kali lebih tinggi
pada pasien anak dengan SN dibandingkan dengan pasien anak non-SN.2

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari sindrom nefrotik belum sepenuhnya jelas.
Meskipun mekanisme edema yang “kurang isi” dari penurunan tekanan onkotik
yang disebabkan oleh proteinuria yang ditandai mungkin merupakan mekanisme
utama pada anak-anak dengan sindrom nefrotik akut, edema pada orang dewasa
dapat disebabkan oleh mekanisme yang lebih kompleks. Proteinuria masif
menyebabkan peradangan tubulointerstitial ginjal, dengan peningkatan retensi
natrium yang membanjiri mekanisme fisiologis untuk menghilangkan edema.
Pasien mungkin memiliki volume plasma yang “terlalu penuh” atau diperluas
sebagai tambahan volume cairan interstitial. Ini mungkin penting secara klinis
jika diuresis yang terlalu cepat menyebabkan gagal ginjal akut akibat
berkurangnya aliran darah glomerulus, walaupun terdapat edema yang
persisten.3

E. GEJALA KLINIS
Sindroma nefrotik secara klasik bermanifestasi sebagai proteinuria berat,
hematuria minimal, hipoalbuminemia, hiperkolestrolemia, edema, dan
hipertensi. Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan gejala edema. Urin
pasien ini dapat berbusa karena banyak mengandung protein.3,6
 Retensi natrium oleh ginjal dan edema :
Hipoalbuminemia dapat mengurangi volume intravascular serta
menyebabkan hipoperfusi ginjal dan hiperaldosteronisme yang dimediasi
renin.
 Kehilangan protein, malnutrisi, dan infeksi :
Kehilangan protein dalam urin menyebabkan keseimbangan protein
negative dan malnutrisi protein. Pasien cenderung mengalami infeksi
kemungkinan karena IgG dan protein imun lainnya terbuang dalam urin.
 Thrombosis :
Protein tromboregulator, seperti antitrombin III, protein S, dan protein C
terbuang dalam urin dan hipoproteinemia meningkatkan sintesis
fibrinogen di hati sehingga kadar fibrinogen meningkat. Perubahan ini
memacu thrombosis vena, terutama ginjal dan vena tungkai dalam.
 Hiperlipidemia :
Terjadi peningkatan sintesis lipid dan apolipoprotein di hati dan
penuruna katabolisme kilomikron dan lipoprotein berdensitas sangat
rendah. Perubahan ini menyebabkan zat liporegulator hilang dalam urin
dan menyebabkan peningkatan kolestrol-LDL dan VLDL dalam plasma.
 Gangguan ginjal :
Filtrasi glomerulus seringkali berkurang dan ginjal yang nefrotik rentan
terhadap gagal ginjal akut prarenal. Gangguan pada susunan normal
tonjolan kaki epitel kemungkinan mengurangi jumlah celah filtrasi
interpodosit yang fungsional. Walaupun setiap celah tersebut bersifat
sangat permeable, namun dapat terjadi pengurangan toral area
permukaan untuk filtrasi sehingga menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:4
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin; pada urinalisis ditemukan proteinuria
masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, dan LED); dapat ditemukan leukositosis dan LED yang
meningkat
 Kadar albumin dan kolesterol plasma, didapatkan hipoalbuminemia (<
2.5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan rasio albumin/globulin terbalik.
 Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.
 Kadar komplemen C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

G. TERAPI
Terapi utama sindrom nefrotik adalah kortikosteroid, yaitu prednison dosis
penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu dilanjutkan dengan
prednison dosis 2/3 nya (40 mg/ m2 LPB/hari) tiga hari berturut-turut dalam
seminggu (intermitten) atau selang hari (alternating) selama 4 minggu. Selain itu
juga dilakukan tatalaksana suportif. Terapi suportif pada sindrom nefrotik
meliputi terapi diitetik, tata laksana edema, hipertensi, hipovolemia, trombosis,
hiperlipidemia, dan infeksi. Berikut adalah terapi suportif yang harus dilakukan
:1
 Diit
Tata laksana diitetik terdiri atas kalori adekuat sesuai umur, protein
cukup, lemak low saturated, dan rendah garam. Komposisi zat gizi yang
dianjurkan terdiri atas 10-14% protein; 40-50% lemak poly- dan
monounsaturated, 40-50% karbohidrat. Diit tinggi protein tidak
dianjurkan lagi, bahkan merupakan kontra-indikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein pada saat filtrasi, sehingga menyebabkan sklerosis glomerulus.
Pasien dengan proteinuria persisten atau berulang perlu meningkatkan
asupan protein harian menjadi 2-,2,5 g/kgbb/hari. Lemak tidak lebih dari
30% total kalori dan hindari lemak jenuh karena akan memperburuk
hiperlipidemia.
 Edema
Tata laksana edema terdiri atas restriksi cairan, restriksi garam, dan
diuretik. Pada edema ringan, tata laksana biasanya bersifat konservatif
dengan restriksi cairan hingga dua pertiga kebutuhan rumatan dan diit
rendah garam. Pemberian kortikosteroid sendiri dapat meningkatkan
diuresis dalam 2-4 hari. Sindrom nefrotik yang memerlukan diuretik
adalah sindrom nefrotik dengan edema, hipertensi, atau peningkatan
berat badan bermakna. Diuretik yang sering digunakan adalah furosemid,
loop diuretics yang menghambat transpor sodium-potassium-2 chloride
di thick ascending limb of loop of Henle. Pasien dengan edema berat
terutama edema skrotum atau labia, asites atau efusi pleura terindikasi
pemberian infus albumin. Infus albumin 20-25% diberikan dengan dosis
1 g/kgbb selama 3-4 jam diikuti pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb pada pertengahan dan akhir infus albumin.
 Hipovolemia
Pasien dengan hipovolemia, ditata laksana dengan infus NaCl fisiologis
atau ringer laktat 15-20 mL/kgbb secepatnya atau dalam 20-30 menit,
disusul pemberian albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb, diberikan
dengan tetesan lambat 10 tetes per menit dan diuretik dihentikan.
 Infeksi
Sindrom nefotik rentan terhadap infeksi. Pada edema, terdapat
peningkatan tekanan hidrostatik di interstitium yang menyebabkan
penurunan perfusi interstitium, sehingga mudah mengalami kerusakan
kulit dan mengakibatkan infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada
sindrom nefrotik adalah selulitis, pneumonia, dan peritonitis. Infeksi
virus dapat menjadi serius pada sindrom nefrotik yang sedang mendapat
kortikosteroid atau imunosupresan lain.
Selulitis kloksasilin IV 100- 200 mg/kgBB/hari atau
seftriakson 50-100 mg/kgBB/hari yang dapat
dilanjutkan dengan pemberian oral kloksasilin
(100 mg/kgBB/hari) atau sefiksim 8
mg/kgbb/hari sehingga lama pemberian
antibiotik 10 hari
Peritonitis Pengobatan awal peritonitis adalah antibiotik
broad spectrum IV. Setelah memperoleh hasil
biakan, antibiotik pilihan adalah antibiotik
spektrum sempit. Peritonitis diterapi dengan
sefotaksim 100-150 mg/kgBB/hari atau
seftriakson 75-100 mg/kgBB/hari selama 7 hari.
Varisella asiklovir intravena 1,500 mg/m2 LPB/hari dibagi
3 dosis atau asiklovir oral 80 mg/kgbb/hari
dibagi 4 dosis selama 7-10 hari, dan pemberian
steroid dihentikan untuk sementara atau
diturunkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari
Infeksi jamur Infeksi kulit atau oral thrush karena jamur
diterapi dengan flukonazol oral selama 10 hari.
TB Sindrom nefrotik dengan uji tuberkulin positif
memerlukan profilaksis antituberkulosis dengan
isoniazid 5 mg/kgbb/hari atau rifampisin 10
mg/kgbb/ hari selama 6 bulan pada strain yang
resisten.

 Hipertensi
American Academic of Pediatrics merekomendasikan tata laksana
hipertensi berupa diit rendah garam, olahraga dan menurunkan berat
badan jika terdapat obesitas. Jika tekanan darah melampaui persentil 90,
dapat diberikan ACE inhibitor antara lain kaptopril (dosis 0,3-0,5
mg/kgbb/dosis diberikan 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 6
mg/kgbb/ hari) atau enalapril (0,1-1,0 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, dosis
0,6 mg/kgbb/dosis atau maksimum 40 mg/hari) atau ramipril (dosis 0,05-
2,0 mg/kgbb/hari sekali sehari dengan dosis maksimum 10 mg).
 Tromboemboli
Hiperkoagulopati ditata laksana dengan pemberian aspirin 3-5
mg/kgBB/hari (dosis maksimum 100 mg per hari) atau obat anti-
platetelet seperti dipiridamol 1-2 mg/kgbb (maksimum 100 mg) setiap 8
jam, atau antikoagulan heparin intravena atau heparin berat molekul
rendah seperti enoxaparin dengan dosis permulaan 1 mg/kgBB setiap 12
jam yang diberikan subkutan sebagai terapi awal dan dilanjutkan dengan
antikoagulan oral jangka lama, selama 6 bulan atau lebih.
 Hyperlipidemia
selain diit rendah lemak jenuh, dapat dipertimbangkan pemberian obat
penurun lemak seperti inhibitor HMG-coA reduktase (statin: simvastatin,
atorvastatin, lovastatin). Pemberian inhibitor HMG CoA reduktase
direkomendasikan jika ditemukan kelainan biokimiawi yang menetap
selama 3-6 bulan, yakni kolesterol total > 200 mg/dL, kolesterol LDL >
130 mg/dL, trigliserida > 100 mg/dL. Obat inhibitor HMG CoA
reductase antara lain lovastatin 0,4-0,8 mg/kgbb malam hari dan dosis
dapat dinaikkan setiap bulan dengan dosis maksimum 40 mg/12 jam.
Penelitian membuktikan bahwa dalam waktu 2-4 bulan setelah
pemberian inhibitor HMG-CoA reductase terdapat penurunan kolesterol
total 40%, kolesterol LDL 44%, trigliserida 33%, namun tidak ada
perubahan kadar kolesterol HDL.

Pada sindrom nefrotik relaps atau dependen steroid pengobatan lanjutan


adalah pemberian steroid jangka panjang dan penggunaan kortikosteroid sparing
agent. Jika terjadi relaps sering diberi prednison dosis penuh sampai terjadi
remisi (paling sedikit 2 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating bersama
dengan obat kortikosteroid sparing agent (2C). Skema pengobatan relaps sering
dan dependen steroid tidak berubah. Skema pengobatan SN relaps frekuen dan
dependen steroid dengan obat kortikosteroid sparing agent (1B) tertera pada
gambar dibawah. Di samping itu KDIGO (Kidney Disease Improving Global
Outcome) juga menganjurkan pemberian CPA (siklofosfamid) selama 8-12
minggu (2C). Apabila siklofosfamid oral tidak ada, maka pada sindrom nefrotik
yang sering relaps juga diberikan CPA seperti pada dependen steroid selama 6
bulan. Preparat kortikosteroid sparing agent yang dianjurkan pada sindrom
nefrotik adalah :1
 Siklofosfamid atau klorambusil (2C) dengan dosis siklofosfamid 2
mg/kg/hari selama 8-12 minggu (2C), dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg. Siklofosfamid diberikan setelah pasien mengalami remisi dengan
steroid dosis penuh (full dose). Sedangkan dosis klorambusil 0,1-0,2
mg/kg/hari, dosis kumulatif maksimal 11,2 mg/kg (2C).
 Levamisol, dosis 2,5 mg/kgbb/hari diberikan bersamaan dengan
prednison alternating (selang sehari) selama 12 bulan (2C). Apabila obat
dihentikan, seringkali pasien relaps kembali (2B).
 Kalsineurin inhibitor siklosporin atau takrolimus, dosis 4-5 mg/kg/hari
2x sehari (2C). Dosis takrolimus 0,1 mg/kgbb/hari, 2x sehari diberikan
jika ditemukan efek samping kosmetik pada pemberian siklosporin.
Lama pemberian kalsineurin inhibitor 12 bulan (2D), pada umumnya
akan terjadi relaps jika obat dihentik.
 Mikofenolat mofetil (MMF) dengan dosis 1200 mg/m2 /hari 2x sehari
selama 12 bulan, obat ini juga jika pemberiannya dihentikan pasien akan
relaps (2).
 Rituximab hanya diberikan pada kasus dependen steroid yang terus
menerus relaps jika sudah mendapat kalsineurin inhibitor dengan dosis
optimal atau menderita efek samping
 Mizoribin tidak dianjurkan untuk pengobatan pasien relaps
sering/dependen steroid.

(Gambar 1 : pengobatan SN relaps dan SN steroid dependen)

Pemberian siklofosfamid pada pasien SN relaps sering atau dependen


steroid, menghasilkan luaran yang sama dalam mengurangi relaps.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral 8-12 minggu atau intravena (CPA puls)
satu kali per bulan, selama 6 bulan. Pemberian secara oral maupun intravena
tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada jumlah relaps dalam 12- 24
bulan pasca terapi. Pemberian siklofosfamid hanya diberikan 1x dalam setahun
karena efek kumulatif untuk mengurangi kejadian azospermia/keganasan.1

H. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:5
 Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun.
 Disertai hipertensi.
 Disertai hematuria.
 Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
 Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
REFERENSI

1. Pardede SO. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik pada Anak.
Jurnal Sari Pediatri.2017; 19(1).
2. Rezki Sa, Hendriyono Fx, Muljanto S. Perbedaan Kadar Kolesterol Total Dan
Trigliserida Pada Anak Sindrom Nefrotik Relaps Dan Remisi Di Rsud Ulin
Banjarmasin. Jurnal Homeostasis. 2019;2(3).
3. Hendriyono, Muljanto S. Gambaran Kadar kalsium Total Dan Vitamin D Pada
Anak Sindrom Nefrotik di RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal Kesehatan Anak FK
Lambung Mangkurat. 2019;2(3).
4. Wiguna PDW, Sudhana W. Seorang penderita sindrom nefrotik relaps dengan
gambaran histologi minimal change disease (MCD) yang diduga mengalami
evolusi menjadi focal segmented glomerulosclerosis (FSGS). Jurnal Penyakit
Dalam Udayana. 2019;3(1)
5. A. Price Sylvia. M. Wilson Lorraine. Pato fisiologi konsep klinis proses pen
yakit. Edisi 6. EGC: Jakarta. 2006.h.931.
6. O’Callaghan CA. 2006. At a Glance Sistem Ginjal edisi kedua. Jakarta :
Erlangga

Anda mungkin juga menyukai