Anda di halaman 1dari 16

Laporan Pendahuluan

Sindrome Nefrotik
I. Konsep Dasar
1. Definisi

Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik


glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anarsarka, proteinuria massif
≥ 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria.

Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN akan tetapi
pada SN berat yang disertai kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN.

Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan


nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta
hormone tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya, SN dengan fungsi ginjal
normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respone yang baik terhadap terapi steroid akan tetapi sebagian
lain dapat berkembang menjadi kronik.

2. Penyebab

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder akibat


infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease),
akibat obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik.

Glomerulonefritis Primer di bagi menjadi 5 jenis, yaitu :

a. Glumerulonefritis lesi minimal (GNLM)

1
b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)

c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)

d. Glumerulonefritis membranoploriferatif (GNMP)

e. Glomerulonefritis proliperatif lainnya

Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi seperti HIV, Hepatitis B dan C,


Tuberculosa. Sedangkan yang disebabkan oleh keganasan seperti
adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma, karsinoma ginjal. Yang
disebabkan oleh penyakit jaringan penghubung seperti lupus eritematosus
sistemik, dan rematik. Sedangkan yang dikarenakan efek obat dan toksin
seperti obat anti imflamasi non steroid, pinisilin, captopril, dan heroin. Yang
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus, pre eklamsia

3. Tanda dan Gejala

a. Proteinuria > 3,0 gr/24 jam

b. Hipoalbumin yang disebabkan karena peningkatan permeabilitas


glomerulus terhadap protein plasma. Kadar albumin < 3 g/dl

c. Edema anasarka

d. Hiperlipidemia yang disebabkan karena penurunan enzim pemecah lemak


di plasma darah

e. Lipiduria

4. Patofisiologi

Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik adalah


proteinuria, yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerolus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini tidak diketahui tetapi

2
dihubungkan dengan hilangnya glikoprotein bermuatan negatif pada dinding
kapiler.

Mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik disebabkan oleh


hipoalbumin akibat proteinuria. Hipoalbumin menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari kompartemen
intravaskulerke ruangan interstitial. Penurunan volum intravaskuler
menyebabkan penurunan perfusi renal sehingga mengaktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron yang selanjutnya menyebabkan reabsorpsi natrium di
tubulus distal ginjal. Penurunan volum intravaskuler juga menstimulasi
pelepasan hormon antidiuretik (ADH) yang akan meningkatkan reabsorpsi air
di tubulus kolektivus.

Mekanisme terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida akibat 2faktor.


Pertama, hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein di hati termasuk
lipoprotein. Kedua, katabolisme lemak terganggu sebagai akibat penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma (enzim utama yang memecah lemak di
plasma darah).

3
Etiologi primer dan sekunder

Kerusakan glomerulus
Perubahan permeabilitas membran glomerulus
Penurunan laju filtrasi glomerulus
Protein terfiltrasi

Hipoalbuminemia Peningkatan sintesa protein di hati Penurunan sist. imun

Penurunan tekanan onkotik


Risiko tinggi infeksi
Peningkatan tekanan hidrostatik Pemecahan lemak & protein
Perpindahan cairan dari intrasel
Ke intertisial Peningkatan kolestrol darah Hiperlipidemia

Edema Penurunan
volume intravaskuler

Hipovolemia

Kelebihan volume Paru-paru Asites


Sekresi Renin
cairan tubuh
Efusi Pleura
Peningkatan Aldosteron
Penekanan pd tubuh terlalu dalam Menekan saraf vagus
Reabsobsi Na
Suplai nutrisi & O2 < Persepsi kenyang
Reabsobsi air
Hipoksia
Gangguan
Peningkatan volume plasma
pemenuhan Nutrisi
Iskemia
Peningkatan tekanan darah

4
Nekrosi Kelemahan
Beban jantung meningkat

Gangguan Mobilitas Fisik


Ekspansi paru tdk adekuat

Gangguan integritas Perubahan perfusi Gangguan Pola Nafas


kulit jaringan / cerebral tidak efektif

5. Komplikasi

a. Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar


kolesterol pada umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari
normal sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
oleh meningkatnya LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein
utama pengangkut kolesterol. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
oleh peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati.
Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.

b. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid


pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat
bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan protenuria
daripada dengan hiperlipidemia.

c. Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan


koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya
trombosis vena renalis cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis vena
dalam sering dijumpai pada SN.
Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular, dan

5
gangguan system komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul
seperti Haemophilus influenzae and Streptococcus pneumonia boleh
menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urine.
Gagal ginjal akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan
berakumulasi di dalam jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam
sirkulasi darah. Penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak
dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya nekrosis tubular akut.

6. Penatalaksanaan Medis

a. Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap


penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari
sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, dan obat-obatan yang
menjadi penyebabnya disingkirkan.

b. Diuretik
Diuretik misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau golongan
tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi.
Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.

c. Diet.
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus
diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan
penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat
mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal,

6
mungkin dengan menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat
pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien yang kekurangan
protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan asupan
protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan
vitamin D dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin
ini.

d. Terapiantikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme , terapi antikoagulan
dengan heparin harus dimulai. Jumlah heparin yang diperlukan untuk
mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin
meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi
heparin intravena , antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai
sindrom nefrotik dapat diatasi.

e. TerapiObat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid
yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 –
6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis
maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan
dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan
penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali
full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat
kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik
(prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion
(MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus
glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan
pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini
menyebabkan vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus,
dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai 75 %.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon,

7
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat
diberikan siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan
statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.

f. Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3 x 12,5 mg),


kalsium antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat
enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors)
dan antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan
proteinuria.

d. bkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di dalam


jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan
aliran darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan
baik dan timbulnya nekrosis tubular akut.

7. Pemeriksaan penunjang
1. Uji urine

a. Protein urin – meningkat.

b. Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria.

c. Dipstick urin – positif untuk protein dan darah.

d. Berat jenis urin – meningkat

. Uji darah

a. Albumin serum – menurun.


b. Kolesterol serum – meningkat.

c. Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi).

8
d. Laju endap darah (LED) – meningkat.

e. Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.

Uji diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin.

8. Penatalaksanaan medis

 Pemberian kortikosteroid( prednison atau prednisolon) untuk


menginduksi remesi. Dosis akan di turun kan setelah 4 sampai 8
minggu terapi. Kekambuhan diatasi dengan koritosteroid dosis
tinggi untuk beberapa hari

 Penggantian protein(albumin dari makanan atau intravena

 Pengurangan edema

 Terapi diuretik (diuretik hendaknya digunakan secara cermat untuk


mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler, pembentukan
trombus, dan atau ketidakseimbangan elektrolit)

 Pembatasan natrium (mengurangi edema)

 Mempertahankan keseimbangan elektolit

 Pengobatan nyeri(untuk mengatasi ketidakyamanan yang


berhubungan dengan edema dan terapi invasif)

 Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktif atau agens lain)

 Terapi imunosupresif(siklofosfamid,krolambusil, atau siklosporin) .

9
II. Menajemen Keperawatan/kebidanan

1. Pengkajian

 Keadaan Umum :

1. Riwayat :

Identitas anak : nama, usia, alamat, telp, tingkat pendidikan, dll.


Riwayat kesehatan yang lalu : pernahkah sebelumnya klien sakit seperti
ini ?
Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, penyakit anak yang sering dialami,
imunisasi, hospitalisasi sebelumnya, alergi dan pengobatan.
Pola kebiasaan sehari-hari : pola makan dan minum, pola kebersihan, pola
istirahat tidur, aktivitas atau bermain, dan pola eleminasi.
2. Riwayat penyakit saat ini :
 Keluhan utama
 Alasan masuk rumah sakit
 Faktor pencetus
 Lamanya sakit
3. Pengkajian sistem
 Pengkajian umum : TTV, BB, TB, lingkar kepala, lingkar dada ( terkait
dengan edema ).
o Sistem kardiovaskuler : irama dan kualitas nadi, bunyi jantung, ada
tidaknya sianosis, diaphoresis.
o Sistem pernafasan : kaji pola bernafas, adakah wheezing atau
ronkhi, retraksi dada, cuping hidung.
o Sistem persarafan : tingkat kesadaran, tingkah laku (mood,
kemampuan intelektual, proses pikir), kaji pula fungsi sensori,
fungsi pergerakan dan fungsi pupil.

10
o Sistem gastrointestinal : auskultasi bising usus, palpasi adanya
hepatomegali / splenomegali, adakah mual, muntah. Kaji kebiasaan
buang air besar.
o Sistem perkemihan : kaji frekuensi buang air kecil, warna dan
jumlahnya.

2. Diagnosa Keperawatan

 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein


sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kelebiahn volume


cairan teratasi.volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil
penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine
adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.
Intervensi :

1. Catat intake dan output secara akurat. Rasional : Evaluasi harian


keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan.
2. Kaji dan catat tekanan darah, pembesaran abdomen, BJ urine.
Rasional : Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator
regimen terapi.

3. Timbang berat badan tiap hari dalam skala yang sama. Rasional :
Estimasi penurunan edema tubuh.

4. Berikan cairan secara hati-hati dan diet rendah garam. Rasional :


Mencegah edema bertambah berat.

11
5. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari. Rasional : Pembatasan protein
bertujuan untuk meringankan beban kerja hepar dan mencegah
bertamabah rusaknya hemdinamik ginjal.

6. Berikan diuretik sesuai instruksi. Rasional : Menurunkan Edema

 Gangguan perfusi jaringan renal berhubungan dengan penurunan


konsentrasi Hb di dalam darah, hipoksia jaringan
Tujuan : menunjukan keseimbangan cairan dengan kriteria evaluasi sesak
nafas teratasi, edema perifer tidak ada, kadar kreatinin dan ureum dalam
batas normal, kadar Hb dalam darah dalam batas normal.

3. Intervensi keperawatan

1. Observasi status hidrasi klien (misalnya : membran mukosa


lembab, keadekuatan nadi dan tekanan darah ) . Rasional :
Memberikan infirmasi tentang status keseimbangan cairan.

2. Pantau hasil laboratorium terutama peningkatan kreatinin dan


ureum. Rasional : Peningkatan kadar kreatinin dan ureum dapat
mengidentifikasikan penurunan fungsi ginjal.

3. Observasi TTV klien tiap 1 jam. Rasional : Untuk mengetahui


status kondisi terkini klien.

4. Kaji adanya edema. Rasional : Adanya edema merupakan tanda


kurangnya fungsi ginjal.

5. Pantau intake dan output cairan. Rasional : Dapat mengetahui


jumlah cairan yang masuk ke tubuh pasien

4. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai nutrisi


dan O2 yang kurang.

12
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan gangguan perfusi jaringan serebral
dengan kriteria hasil tekanan darah dalam batas normal, klien
menunjukan konsentrasi dan komunikasi jelas, nilai GCS dalam batas
normal yaitu E 4 V 5 M 6

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang


menurun.
Tujuan : Infeksi dapat teratasi dengan kriteria evaluasi suhu dalam batas
normal, nilai laboratorium dalam batas normal.

1. Pantau suhu minimal setiap 4 jam sekali. Rasional : Peningkatan


suhu tubuh merupakan tanda awitan komplikasi dari proses penyakit.

2. Pantau SDP (Sel Darah Putih). Rasional : Peningkatan SDP total


mengidentifikasikan adanya infeksi.

3. Gunakan teknik aseptik yang ketat pada setiap tindakan. Rasional :


Untuk menghindari transmisi atau penyebaran patogen.

4. Kolaborasi pemberian antibiotik. Rasional : Untuk mencegah


terjadinya infeksi yang lebih lanjut.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan.


Tujuan : Tidak ada hambatan mobilitas fisik dibuktikan dengan
kriteria evaluasi kekuatan output dalam batas normal, TTV dalam
batas normal.

1. Kaji adanya bunyi nafas dan bunyi nafas tambahan . Rasional :


bunyi nafas abnormal mengindikasikan kekurangan oksigen.
2. Atur posisi klien semi fowler. Rasional : untuk memaksimalkan
ventilasi.

13
3. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah. Rasional : menunjukan
status oksiegnisasi dan status asam basa.

4. Impementasi keperawatan

 Melakukan latihan ROM pasif untuk sendi jika tidak merupakan


kontraindikasi minimal 2 kali sehari. Rasional : Tindakan ini
mencegah kontaktor sendi dan atropi.

 Mengatur posisi pasien dengan memiringkan tubuhnya kekanan


dan kekiri setiap 2 jam. Rasional : Mencegah kerusakan kulit
dengan mengurangi tekanan.

 Mengkaji tingkat fungsional klien dengan menggunakan skala


mobilitas. Rasional : Mempertahankan sendi pada posisi
fungsional dan mencegah deformitas muskulus

5. Evaluasi keperawatan

Melakukan latihan ROM pasif untuk sendi jika tidak merupakan


kontraindikasi minimal 2 kali sehari. Rasional : Tindakan ini
mencegah kontaktor sendi dan atropi.

Mengatur posisi pasien dengan memiringkan tubuhnya kekanan dan


kekiri setiap 2 jam. Rasional : Mencegah kerusakan kulit dengan
mengurangi tekanan.

Mengkaji tingkat fungsional klien dengan menggunakan skala


mobilitas. Rasional : Mempertahankan sendi pada posisi fungsional
dan mencegah deformitas muskulus

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO. Konsensus


Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta.
Indonesia:2005.

15
2. Gbadegesin R, Smoyer WE. Dalam: Denis F, Geary, Franz
Schaefer, penyunting. Comprhensive pediatric nephrology. China:
Gearysch mosby; 2008. h.205

3. Lane JC. Nephrotic syndrome [serial online]. 12 Mei 2010 [cited


7 Februari 2014]. Didapat dari:
www.emedicine.medscape.com/article/9892920- overview 4.
Wiguno Prodjosujadi, Divisi Ginjal Hipertensi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam . edisi

4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

5. Sukandar E, Sulaeman R. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

16

Anda mungkin juga menyukai