Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. E.P DENGAN DIAGNOSA MEDIS


SYIDROME NEFROTIK DI RUANGAN SAKURA

RSUD DR.DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

DIBUAT OLEH :

NORJANNAH

NIM : 2019. A. 10. 0814

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEBIDANAN

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

1
Laporan Pendahuluan

Sindrome Nefrotik
I. Konsep Dasar
1. Pengertian

Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik


glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anarsarka, proteinuria massif
≥ 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria.

Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN akan tetapi
pada SN berat yang disertai kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN.

Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan


nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta
hormone tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya, SN dengan fungsi ginjal
normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respone yang baik terhadap terapi steroid akan tetapi sebagian
lain dapat berkembang menjadi kronik.

2. Penyebab

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder akibat


infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease),
akibat obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik.

Glomerulonefritis Primer di bagi menjadi 5 jenis, yaitu :

a. Glumerulonefritis lesi minimal (GNLM)

2
b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)

c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)

d. Glumerulonefritis membranoploriferatif (GNMP)

e. Glomerulonefritis proliperatif lainnya

Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi seperti HIV, Hepatitis B dan C,


Tuberculosa. Sedangkan yang disebabkan oleh keganasan seperti
adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma, karsinoma ginjal. Yang
disebabkan oleh penyakit jaringan penghubung seperti lupus eritematosus
sistemik, dan rematik. Sedangkan yang dikarenakan efek obat dan toksin
seperti obat anti imflamasi non steroid, pinisilin, captopril, dan heroin. Yang
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus, pre eklamsia

3. Tanda dan Gejala

a. Proteinuria > 3,0 gr/24 jam

b. Hipoalbumin yang disebabkan karena peningkatan permeabilitas


glomerulus terhadap protein plasma. Kadar albumin < 3 g/dl

c. Edema anasarka

d. Hiperlipidemia yang disebabkan karena penurunan enzim pemecah lemak


di plasma darah

e. Lipiduria

4. Patofisiologi

Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik adalah


proteinuria, yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerolus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini tidak diketahui tetapi

3
dihubungkan dengan hilangnya glikoprotein bermuatan negatif pada dinding
kapiler.

Mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik disebabkan oleh


hipoalbumin akibat proteinuria. Hipoalbumin menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari kompartemen
intravaskulerke ruangan interstitial. Penurunan volum intravaskuler
menyebabkan penurunan perfusi renal sehingga mengaktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron yang selanjutnya menyebabkan reabsorpsi natrium di
tubulus distal ginjal. Penurunan volum intravaskuler juga menstimulasi
pelepasan hormon antidiuretik (ADH) yang akan meningkatkan reabsorpsi air
di tubulus kolektivus.

Mekanisme terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida akibat 2faktor.


Pertama, hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein di hati termasuk
lipoprotein. Kedua, katabolisme lemak terganggu sebagai akibat penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma (enzim utama yang memecah lemak di
plasma darah).

4
Etiologi primer dan sekunder

Kerusakan glomerulus
Perubahan permeabilitas membran glomerulus
Penurunan laju filtrasi glomerulus
Protein terfiltrasi

Hipoalbuminemia Peningkatan sintesa protein di hati Penurunan sist. imun

Penurunan tekanan onkotik


Risiko tinggi infeksi
Peningkatan tekanan hidrostatik Pemecahan lemak & protein
Perpindahan cairan dari intrasel
Ke intertisial Peningkatan kolestrol darah Hiperlipidemia

Edema Penurunan
volume intravaskuler

Hipovolemia

Kelebihan volume Paru-paru Asites


Sekresi Renin
cairan tubuh
Efusi Pleura
Peningkatan Aldosteron
Penekanan pd tubuh terlalu dalam Menekan saraf vagus
Reabsobsi Na
Suplai nutrisi & O2 < Persepsi kenyang
Reabsobsi air
Hipoksia
Gangguan
Peningkatan volume plasma
pemenuhan Nutrisi
Iskemia
Peningkatan tekanan darah

5
Nekrosi Kelemahan
Beban jantung meningkat

Gangguan Mobilitas Fisik


Ekspansi paru tdk adekuat

Gangguan integritas Perubahan perfusi Gangguan Pola Nafas


kulit jaringan / cerebral tidak efektif

5. Komplikasi

a. Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar


kolesterol pada umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari
normal sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
oleh meningkatnya LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein
utama pengangkut kolesterol. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
oleh peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati.
Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.

b. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid


pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat
bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan protenuria
daripada dengan hiperlipidemia.

c. Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan


koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya
trombosis vena renalis cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis vena
dalam sering dijumpai pada SN.
Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular, dan

6
gangguan system komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul
seperti Haemophilus influenzae and Streptococcus pneumonia boleh
menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urine.
Gagal ginjal akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan
berakumulasi di dalam jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam
sirkulasi darah. Penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak
dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya nekrosis tubular akut.

6. Penatalaksanaan Medis

a. Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap


penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari
sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, dan obat-obatan yang
menjadi penyebabnya disingkirkan.

b. Diuretik
Diuretik misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau golongan
tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi.
Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.

c. Diet.
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus
diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan
penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat
mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal,

7
mungkin dengan menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat
pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien yang kekurangan
protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan asupan
protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan
vitamin D dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin
ini.

d. Terapiantikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme , terapi antikoagulan
dengan heparin harus dimulai. Jumlah heparin yang diperlukan untuk
mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin
meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi
heparin intravena , antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai
sindrom nefrotik dapat diatasi.

e. TerapiObat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid
yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 –
6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis
maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan
dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan
penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali
full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat
kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik
(prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion
(MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus
glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan
pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini
menyebabkan vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus,
dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai 75 %.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon,

8
kambuh yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat
diberikan siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan
statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.

f. Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3 x 12,5 mg),


kalsium antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat
enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors)
dan antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan
proteinuria.

d. bkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di dalam


jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan
aliran darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan
baik dan timbulnya nekrosis tubular akut.

7. Pemeriksaan penunjang
1. Uji urine

a. Protein urin – meningkat.

b. Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria.

c. Dipstick urin – positif untuk protein dan darah.

d. Berat jenis urin – meningkat

. Uji darah

a. Albumin serum – menurun.


b. Kolesterol serum – meningkat.

c. Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi).

9
d. Laju endap darah (LED) – meningkat.

e. Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.

Uji diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin.

8. Penatalaksanaan medis

 Pemberian kortikosteroid( prednison atau prednisolon) untuk


menginduksi remesi. Dosis akan di turun kan setelah 4 sampai 8
minggu terapi. Kekambuhan diatasi dengan koritosteroid dosis
tinggi untuk beberapa hari

 Penggantian protein(albumin dari makanan atau intravena

 Pengurangan edema

 Terapi diuretik (diuretik hendaknya digunakan secara cermat untuk


mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler, pembentukan
trombus, dan atau ketidakseimbangan elektrolit)

 Pembatasan natrium (mengurangi edema)

 Mempertahankan keseimbangan elektolit

 Pengobatan nyeri(untuk mengatasi ketidakyamanan yang


berhubungan dengan edema dan terapi invasif)

 Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktif atau agens lain)

 Terapi imunosupresif(siklofosfamid,krolambusil, atau siklosporin) .

10
II. Menajemen Keperawatan/kebidanan

1. Pengkajian

 Keadaan Umum :

1. Riwayat :

Identitas anak : nama, usia, alamat, telp, tingkat pendidikan, dll.


Riwayat kesehatan yang lalu : pernahkah sebelumnya klien sakit seperti
ini ?
Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, penyakit anak yang sering dialami,
imunisasi, hospitalisasi sebelumnya, alergi dan pengobatan.
Pola kebiasaan sehari-hari : pola makan dan minum, pola kebersihan, pola
istirahat tidur, aktivitas atau bermain, dan pola eleminasi.
2. Riwayat penyakit saat ini :
 Keluhan utama
 Alasan masuk rumah sakit
 Faktor pencetus
 Lamanya sakit
3. Pengkajian sistem
 Pengkajian umum : TTV, BB, TB, lingkar kepala, lingkar dada ( terkait
dengan edema ).
o Sistem kardiovaskuler : irama dan kualitas nadi, bunyi jantung, ada
tidaknya sianosis, diaphoresis.
o Sistem pernafasan : kaji pola bernafas, adakah wheezing atau
ronkhi, retraksi dada, cuping hidung.
o Sistem persarafan : tingkat kesadaran, tingkah laku (mood,
kemampuan intelektual, proses pikir), kaji pula fungsi sensori,
fungsi pergerakan dan fungsi pupil.

11
o Sistem gastrointestinal : auskultasi bising usus, palpasi adanya
hepatomegali / splenomegali, adakah mual, muntah. Kaji kebiasaan
buang air besar.
o Sistem perkemihan : kaji frekuensi buang air kecil, warna dan
jumlahnya.

2. Diagnosa Keperawatan

 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein


sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kelebiahn volume


cairan teratasi.volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil
penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output urine
adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam batas normal.
Intervensi :

1. Catat intake dan output secara akurat. Rasional : Evaluasi harian


keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan.
2. Kaji dan catat tekanan darah, pembesaran abdomen, BJ urine.
Rasional : Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator
regimen terapi.

3. Timbang berat badan tiap hari dalam skala yang sama. Rasional :
Estimasi penurunan edema tubuh.

4. Berikan cairan secara hati-hati dan diet rendah garam. Rasional :


Mencegah edema bertambah berat.

12
5. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari. Rasional : Pembatasan protein
bertujuan untuk meringankan beban kerja hepar dan mencegah
bertamabah rusaknya hemdinamik ginjal.

6. Berikan diuretik sesuai instruksi. Rasional : Menurunkan Edema

 Gangguan perfusi jaringan renal berhubungan dengan penurunan


konsentrasi Hb di dalam darah, hipoksia jaringan
Tujuan : menunjukan keseimbangan cairan dengan kriteria evaluasi sesak
nafas teratasi, edema perifer tidak ada, kadar kreatinin dan ureum dalam
batas normal, kadar Hb dalam darah dalam batas normal.

3. Intervensi keperawatan

1. Observasi status hidrasi klien (misalnya : membran mukosa


lembab, keadekuatan nadi dan tekanan darah ) . Rasional :
Memberikan infirmasi tentang status keseimbangan cairan.

2. Pantau hasil laboratorium terutama peningkatan kreatinin dan


ureum. Rasional : Peningkatan kadar kreatinin dan ureum dapat
mengidentifikasikan penurunan fungsi ginjal.

3. Observasi TTV klien tiap 1 jam. Rasional : Untuk mengetahui


status kondisi terkini klien.

4. Kaji adanya edema. Rasional : Adanya edema merupakan tanda


kurangnya fungsi ginjal.

5. Pantau intake dan output cairan. Rasional : Dapat mengetahui


jumlah cairan yang masuk ke tubuh pasien

4. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai nutrisi


dan O2 yang kurang.

13
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan gangguan perfusi jaringan serebral
dengan kriteria hasil tekanan darah dalam batas normal, klien
menunjukan konsentrasi dan komunikasi jelas, nilai GCS dalam batas
normal yaitu E 4 V 5 M 6

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang


menurun.
Tujuan : Infeksi dapat teratasi dengan kriteria evaluasi suhu dalam batas
normal, nilai laboratorium dalam batas normal.

1. Pantau suhu minimal setiap 4 jam sekali. Rasional : Peningkatan


suhu tubuh merupakan tanda awitan komplikasi dari proses penyakit.

2. Pantau SDP (Sel Darah Putih). Rasional : Peningkatan SDP total


mengidentifikasikan adanya infeksi.

3. Gunakan teknik aseptik yang ketat pada setiap tindakan. Rasional :


Untuk menghindari transmisi atau penyebaran patogen.

4. Kolaborasi pemberian antibiotik. Rasional : Untuk mencegah


terjadinya infeksi yang lebih lanjut.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan.


Tujuan : Tidak ada hambatan mobilitas fisik dibuktikan dengan
kriteria evaluasi kekuatan output dalam batas normal, TTV dalam
batas normal.

1. Kaji adanya bunyi nafas dan bunyi nafas tambahan . Rasional :


bunyi nafas abnormal mengindikasikan kekurangan oksigen.
2. Atur posisi klien semi fowler. Rasional : untuk memaksimalkan
ventilasi.

14
3. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah. Rasional : menunjukan
status oksiegnisasi dan status asam basa.

4. Impementasi keperawatan

 Melakukan latihan ROM pasif untuk sendi jika tidak merupakan


kontraindikasi minimal 2 kali sehari. Rasional : Tindakan ini
mencegah kontaktor sendi dan atropi.

 Mengatur posisi pasien dengan memiringkan tubuhnya kekanan


dan kekiri setiap 2 jam. Rasional : Mencegah kerusakan kulit
dengan mengurangi tekanan.

 Mengkaji tingkat fungsional klien dengan menggunakan skala


mobilitas. Rasional : Mempertahankan sendi pada posisi
fungsional dan mencegah deformitas muskulus

5. Evaluasi keperawatan

Melakukan latihan ROM pasif untuk sendi jika tidak merupakan


kontraindikasi minimal 2 kali sehari. Rasional : Tindakan ini
mencegah kontaktor sendi dan atropi.

Mengatur posisi pasien dengan memiringkan tubuhnya kekanan dan


kekiri setiap 2 jam. Rasional : Mencegah kerusakan kulit dengan
mengurangi tekanan.

Mengkaji tingkat fungsional klien dengan menggunakan skala


mobilitas. Rasional : Mempertahankan sendi pada posisi fungsional
dan mencegah deformitas muskulus

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO. Konsensus


Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta.
Indonesia:2005.

16
2. Gbadegesin R, Smoyer WE. Dalam: Denis F, Geary, Franz
Schaefer, penyunting. Comprhensive pediatric nephrology. China:
Gearysch mosby; 2008. h.205

3. Lane JC. Nephrotic syndrome [serial online]. 12 Mei 2010 [cited


7 Februari 2014]. Didapat dari:
www.emedicine.medscape.com/article/9892920- overview 4.
Wiguno Prodjosujadi, Divisi Ginjal Hipertensi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam . edisi

4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

5. Sukandar E, Sulaeman R. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN MOBILITAS FISIK PADA TN.D

DI RUANGAN SAKURA

RSUD DR.DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

17
DIBUAT OLEH :

NORJANNAH

NIM : 2019. A. 10. 0814

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEBIDANAN

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

I.KONSEP DASAR KDM (KEBUTUHAN DASAR MANUSIA)

18
1. Pengertian
Imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif .A.H. dan Kusuma. H,
2015). Gangguan mobilitas fisik merupakansuatu kondisi yang relatif dimana
individu tidak hanya mengalami

penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya kehilangan tetapi jugakemampuan


geraknya secara total (Ernawati, 2012). Gangguan mobilitas fisik adalah
keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).Ada lagi yang menyebutkan bahwa gangguan
mobilitas fisik merupakan suatu kondisi yang relatif dimana individu tidak hanya
mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya kehilangan tetapi juga
kemampuan geraknya secara total (Ernawati, 2012).Mobilisasi merupakan
kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Kehilangan kemampuan untuk
bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan
keperawatan (Ambarwati, 2014). Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan
pada pergerakan fisik tubuh satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah
(Nurafif & Hardi, 2015). Menurut Nanda, 2011 hambatan mobilitas fisik
merupakan keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan

terarah.Menurut Atoilah, 2013, secara umum ada beberapa macam keadaan


imobilitas antara lain

a. Imobilitas fisik, yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami

pembatasan fisik yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun oleh

keadaan orang tersebut.

b. Imobilitas intelektual, disebabkan kurang pengetahuan untuk dapat

berfungsi sebagaimana mestinya. Ini terjadi misalnya pada kerusakan otak

19
karena proses penyakit atau kecelakaan serta pada pasien tradisi mental.

c. Imobilitas emosional, yang dapat terjadi akibat pembedahan atau

kehilangan seseorang yang dicintai.

d. Imobilitas sosial, yang dapat menyebabkan perubahan interaksi sosial

yang sering terjadi akibat penyakit.

2. Penyebab
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya
gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang,
perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan
massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan
sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan
neuromuskular, indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 usia, efek agen
farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang
aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan,
dan gangguan sensoripersepsi. NANDA-I (2018) juga berpendapat mengenai
etiologi gangguan mobilitas fisik, yaitu intoleransi aktivitas, kepercayaan budaya
tentang aktivitas yang tepat, penurunan ketahanan tubuh, depresi, disuse, kurang
dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya hidup kurang gerak. Pendapat
lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi, Sudoyo,
Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik adalah
adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis,
kelainan postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan sistem saraf pusat, atau
trauma langsuung dari sistem musculoskeletal dan neuromuskular.

1. Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu :


a. Penurunan kendali otot

b. Penurunan kekuatan otot

20
c. Kekakuan sendi

d. Kontraktur

e. Gangguan muskuloskletal

f. Gangguan neuromuskular

g. Keengganan melakukan pergerakan (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)

3. Tanda dan gejala


Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim
Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu : a. Tanda dan gejala mayor Tanda dan gejala
mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan
otot menurun, dan rentang gerak menurun. b. Tanda dan gejala minor Tanda dan
gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri saat bergerak,
enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak. Kemudian, untuk
tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi,
gerakan terbatas, dan fisik lemah. NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan
gejala dari gangguan mobilitas fisik, antara lain gangguan sikap berjalan,
penurunan keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan motorik kasar,
penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang, kesulitan membolak-balik
posisi, ketidaknyamanan, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan,
dispnea setelah beraktivitas, tremor akibat bergerak, instabilitas postur, gerakan
lambat, gerakan spastik, serta gerakan tidak terkoordinasi.

Tanda dan Gejala Gangguan Mobilitas Fisik, Adapun tanda gejala pada gangguan
mobilitas fisik yaitu :

a. Gejala dan Tanda Mayor

1) Subjektif

21
a) Mengeluh sulit menggerakkan ektremitas

2) Objektif

a) Kekuatan otot menurun

b) Rentang gerak (ROM) menurun.

b. Gejala dan Tanda Minor

1) Subjektif

a) Nyeri saat bergerak

b) Enggan melakukan pergerakan

c) Merasa cemas saat bergerak

2) Objektif

a) Sendi kaku

b) Gerakan tidak terkoordinasi

c) Gerak terbatas

d) Fisik lemah (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)

4. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal,sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur
gerakan tulangkarena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang
bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan
isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot
memendek. Kontraksi isometrikmenyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja

22
otot tetapi tidak ada pemendekanatau gerakan aktif dari otot, misalnya,
menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep.Gerakan volunter adalah kombinasi
dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipunkontraksi isometrik tidak
menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energimeningkat. Perawat harus
mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan,
fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal inimenjadi
kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit obstruksi paru
kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana
hatiseseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot
skeletal.Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot
dan aktifitasdari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.

Pathway

Mobilisasi

Tidak mampu Beraktifitas

Tirah baring yang lama

Kehilangan daya otot Jaringan kulit Gastrointential


Gangguan fungsi yang tertekan
paru paru

Penurunan otot Gangguan


Penumpukan Perubahan sistem katabolisme
skeret intragunen kulit
Perubahan sistem
muskoloskeletal
Anoeksia
Sulit tidur Kontraksi pembubuluh
darah
Hambatan mobilitas
Nitrogen tidak
fisik
epektif
Ketidakefektifan
kebersihan jalan napas Sel kulit mati

23
Kemunduran
infekdetekasi
Kerusakan integritas
kulit

konstifasi
Dekubitus

5. Komplikasi
Pada gangguan mobilitas fisik jika tidak ditangani dapat menyebabkan
masalah, diantaranya: a. Pembekuan darah Mudah terbentuk pada kaki yang
lumpuh menyebabkan penimbunan cairan, pembengkaan selain itu juga
menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu
arteri yang mengalir ke paru. 17 b. Dekubitus Bagian yang biasa mengalami
memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit bila memar ini tidak dirawat
akan menjadi infeksi. c. Pneumonia Pasien stroke non hemoragik tidak bisa batuk
dan menelan dengan sempurna, hal ini menyebabkan cairan berkumpul di paru-
paru dan selanjutnya menimbulkan pneumonia. d. Atrofi dan kekakuan sendi Hal
ini disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi Komplikasi lainnya yaitu: a)
Disritmia b) Peningkatan tekanan intra cranial c) Kontraktur d) Gagal nafas e)
Kematian (saferi wijaya, 2013).

6. Pemeriksaan Penunjang
1. X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan
perubahanhubungan tulang.
2. CT scan (Computed Tomography)
3. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive,yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan

24
computer untukmemperlihatkan abnormalitas.
4. Pemeriksaan Laboratorium,Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi
lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan SGOT↑ pada kerusakan otot.

7. Penatalaksanaan Medis
1.Membantu pasien duduk di tempat tidur
Tindakan ini merupakan salah satu cara mempertahankan kemampuan
mobilitas pasien.
Tujuan :
a.Mempertahankan kenyamanan
b.Mempertahankan toleransi terhadap aktifitasc.
c.Mempertahankan kenyamanan
2.Mengatur posisi pasien di tempat tidur
a.Posisi fowler adalah posisi pasien setengah duduk/ duduk
Tujuan :
1.Mempertahankan kenyamanan|
2.Menfasilitasi fungsi pernafasan
b.Posisi sim adalah pasien terbaring miring baik ke kanan atau ke kiri
Tujuan :
1)Melancarkan peredaran darah ke otak
2)Memberikan kenyamanan
3)Melakukan huknah
4)Memberikan obat peranus (inposutoria)
5)Melakukan pemeriksaan daerah anus
c.Posisi trelendang adalah menempatkan pasien di tempat tidur dengan
bagiankepala lebih rendah dari bagian kaki
Tujuan : untuk melancarkan peredaran darah
d.Posisi genu pectorat adalah posisi nungging dengan kedua kaki ditekuk
dandada menempel pada bagian atas tempat tidur.
3.Memindahkan pasien ke tempat tdiur/ ke kursi roda
Tujuan :

25
a.Melakukan otot skeletal untuk mencegah kontraktur
b.Mempertahankan kenyamanan pasienc.
c.Mempertahankan kontrol diri pasien
d.Memindahkan pasien untuk pemeriksaan
4.Membantu pasien berjalan
Tujuan :
a.Toleransi aktifitas
b.Mencegah terjadinya kontraktur sendi”

II. MANAJEMEN KEPERAWATAN / KEBIDANAN


1. Pengkajian
Pemeriksaan Fisik

1.Mengkaji skelet tubuh


Adanya deformitas dan kesejajaran.Pertumbuhan tulang yang
abnormalakibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian
tubuh yangtidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang
panjang ataugerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah
tulang.

2.Mengkaji tulang belakang


a. Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
b.Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)
c.Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian
pinggangberlebihan)

26
3.Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas,
danadanya benjolan, adanya kekakuan sendi.

4.Mengkaji system otot


kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan
ukuranmasing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema
atauatropfi, nyeri otot.

5.Mengkaji cara berjalan


Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah
satuekstremitas lebihpendek dari yanglain. Berbagai kondisi neurologist
yangberhubungan dengan cara berjalan abnormal (mis.cara berjalan
spastichemiparesis - stroke, cara berjalan selangkah-selangkah – penyakit
lowermotor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).

6. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer


Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebihdingin
dari lainnya
dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi denganmengkaji denyut perifer,
warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

7.Mengkajifungsional klien
-Kategori tingkat kemampuan aktivitas
-Rentang gerak (range of motion-ROM

Skala ADL (Acthyfiti Dayli Living)


0 : Pasien mampu berdiri
1 : Pasien memerlukan bantuan/ peralatan minimal
2 : Pasien memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan

27
3 : Pasien memerlukan bantuan khusus dan memerlukan alat
4 : Tergantung secara total pada pemberian asuhan

Kekuatan Otot/ Tonus Otot


0 : Otot sama sekali tidak bekerja
1 (10%) : Tampak berkontraksi/ ada sakit gerakan tahanan sewaktu jatuh
2 (25%) : Mampu menahan tegak tapi dengan sentuhan agak jauh
3 (50%) : Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat
4 (75%): Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan
melawan tekanan secara stimulan.

2. Diagnosa Keperawatan

- Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) diagnosa yang mungkin muncul
pada pasien
dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik yaitu :
- Risiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI,2017).
- Risiko gangguan integritas kulit atau jaringan berhubungan denganpenurunan
mobilitas(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
- Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan hipertensi (Tim
Pokja SDKI DPPPPNI, 2017)

3. Intervensi

28
DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI
KEPERAWATAN HASIL

Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi adanya


fisik berhubungan keperawatan dukungan nyeri atau keluhan fisik
dengan mobilisasi selama … kali lainnya.
neuromuskular. pertemuan, diharapkan
b. Identifikasi toleransi
(SDKI D.0054, 2017) mobilitas fisik pasien
fisik melakukan
meningkat dengan kriteria
pergerakan.
hasil :
c. Monitor frekuensi
a. Pergerakan ekstremitas
jantung dan tekanan
meningkat.
darah sebelum memulai
b. Kekuatan otot cukup mobilisasi
meningkat.
d. Fasilitasi melakukan
c. Rentang gerak (ROM) pergerakan.
meningkat.
e. Jelaskan tujuan dan
d. d. Nyeri menurun. prosedur mobilisasi.

e. Kekakuan sendi cukup (SIKI I.05173, 2018)


menurun. f. Kelemahan
fisik cukup menurun.
g. Kecemasan
menurun.

h. Gerakan terbatas cukup


menurun. i. Gerakan tidak
terkoordinasi cukup menurun.
(SLKI I.05042, 2019)

(Sumber : PPNI, Standar Luaran Keperawatan Indonesia, 2019

29
4.Implementasi Keperawatan

Keperawatan Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk


mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga
meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. Pada proses
keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Berdasarkan terminology NIC, implementasi terdiri atas
melakukan dan mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan
keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi (atau
program keperawatan). Perawat melaksanakan atau mendelegasikan tindakan
keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan dan
kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan
dan respons klien terhadap tindakan tersebut (Kozier, 2010).

5.Evaluasi Keperawatan

Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan gangguan mobilitas


fiisk mengacu pada tujuan, yaitu mobilitas fisik meningkat dengan kriteria
pergerakan ekstremitas meningkat, kekuatan otot cukup meningkat, rentang gerak
(ROM) meningkat, nyeri menurun, kekakuan sendi cukup menurun, kelemahan
fisik cukup menurun, kecemasan menurun gerakan terbatas cukup menurun, serta
gerakan tidak terkoordinasi cukup menurun (SLKI, 2019) dan pergerakan pasien
dapat meningkat (NOC, 2016) dengan kriteria gerakan sendi sedikit tergang,
gugerakan otot sedikit terganggu, koordinasi sedikit terganggu, serta
keseimbangan sedikit terganggu. Kemudian, evaluasi pada masalah keperawatan
risiko jatuh melihat pada tujuannya, yaitu tingkat jatuh pasien menurun (SLKI,
2019 dan NOC, 2016). Selanjutnya, pada masalah keperawatan gangguan
integritas kulit atau jaringan dengan tujuan integritas kulit dan jaringan meningkat
(SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Evaluasi yang terakhir yaitu pada masalah
keperawatan kesiapan peningkatan pengetahuan dengan tujuannya, yaitu tingkat

30
pengetahuan membaik (SLKI, 2019) dan pengetahuan perilaku kesehatan
meningkat (NOC, 2016).

Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan :

1. Aktivitas dan mobilitas fisik terpenuhi

 Melakukan ROM secara teratur


 Menggunakan brace / korset saat aktivitas

2. Koping pasien positif

 Mengekspresikan perasaan
 Memilih alternatif pemecah masalah
 Meningkatkan komunikasi
 Mengalami ketidaknyamanan minimal selama aktivitas kehidupan sehari-
hari

3. Tidak mengalami fraktur baru

 Mempertahankan postur yang bagus


 Mengkonsumsi diet seimbang tinggi kalsium dan vitamin D
 Rajin menjalankan latihan pembedahan berat badan (berjalan-jalan setiap
hari)
 Berpartisipasi dalam aktivitas di luar rumah
 Menciptakan lingkungan rumah yang aman
 Menerima bantuan dan supervisi sesuai kebutuhan.

31
32

Anda mungkin juga menyukai