Anda di halaman 1dari 15

Radang Usus (Colitis Ulseratif) Bisa Menjadi Kanker

D INFLAMATORY Bowel Disease (IBD) adalah penyakit organik saluran cerna bagian bawah, yang manifestasinya berupa peradangan yang bukan akibat infeksi dan berlangsung kronik. Penyakit ini selalu menarik untuk dibicarakan karena tidak mudah mendiagnosis penyakit ini. Tidak ada gambaran klinis khas, gambaran endoskopik (pemeriksaan teropong usus) tidak spesifik, begitu juga gambaran histopatologiknya (pemeriksaan jaringan). IBD terbagi atas 2 macam yaitu colitis ulseratif dan penyakit Crohn. Banyak ditemukan di Amerika dan Eropa dengan kondisi penderitaan pasien makin lama makin berat. Di Asia termasuk Indonesia prevalensi dan insiden IBD masih rendah namun cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati bisa berkembang menjadi kanker kolon yang dapat merenggut nyawa. Meluasnya penggunaan alat endoskopi membuat pasien IBD di Indonesia, lebih banyak ditemukan. Diduga peningkatan ini ada hubungan dengan membaiknya sanitasi dan meningkatnya tingkat sosial ekonomi masyarakat. Penelitian yang dilakukan salah satu RS di Jakarta mendapatkan hampir 20% kasus IBD dari 107 pasien datang dengan keluhan diare kronik non infeksi. Insidens colitis ulseratif 6,8% dan penyakit Crohn 5,5%. MANIFESTASI KLINIK Secara umum penyakit pasien datang dengan keluhan demam, nyeri perut, diare, berat badan turun, malnutrisi dan perdarahan per anus. Perbedaan penyakit Crohn dan Kolitis ulseratif didasarkan pada gambaran klinik yang berbeda pada kedua kelompok penyakit ini. Pasien dengan penyakit Crohn biasanya datang dengan keluhan awal adanya fistula (lubang tembus) pada anus, selain itu ditemukan massa pada perut. Dilihat dari lokasi yang terkena, kolitis ulseratif hanya mengenai kolon (usus besar), sedang penyakit Crohn dapat mengenai kolon dan usus halus terutama ileum (bagian akhir dari usus halus) dan lambung. Dari sudut komplikasi yang terjadi, pada kolitis ulseratif kemungkinan menjadi kanker lebih besar dibandingkan pada penyakit Crohn. Komplikasi berupa penyempitan umum dijumpai pada penyakit Crohn, sedang pada kolitis ulseratif tidak. FAKTOR RESIKO Meski patogenesis IBD sangat kompleks dan multifaktorial, tapi diyakini disebabkan hasil interaksi antara lingkungan, genetik, mikroba dan faktor imunitas. Hubungan merokok dengan penyakit Crohn serta hubungan tidak

merokok dengan kolitis ulseratif telah diketahui, meski mekanismenya belum jelas. Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian nikotin pada pengobatan kolitis ulseratif. Perubahan lingkungan, seperti perumahan yang lebih bersih, nutrisi yang baik, higienitas yang lebih baik serta penggunaan antibiotik yang luas telah menyebabkan penurunan prevalensi penyakit infeksi. Pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit alergi dan penyakit autoimun, termasuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (obat anti radang) dan tindakan appendectomy (operasi usus buntu) dini, menyebabkan gangguan barrier usus yang menyebabkan penurunan insidens kolitis ulseratif. Berbagai penelitian menunjukkan, risiko absolut IBD mencapai 7% diantara anggota keluarga tingkat pertama. Risiko mengalami IBD pada orang tua/saudara kandung adalah 8,9% untuk anak, 8,8% untuk saudara dan 3,5% untuk orang tua. Berbagai pengamatan menunjukkan faktor genetik berkontribusi pada kerentanan individu terhadap IBD, yang menyebabkan variasi dalam insidens dan prevalensi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif pada berbagai populasi. Kemungkinan IBD disebabkan oleh infeksi kuman belum bisa sepenuhnya disingkirkan. Lesi IBD lebih sering muncul di lokasi dengan densitas bakteri yang padat, seperti di valvula ileosekal (katup yang menghubungkan usus halus dan usus besar) dan kolon. Imunoregulasi dalam usus merupakan hal yang sangat kompleks dalam patofisiologi jenis IBD, seperti kolitis ulseratif dan penyakit Crohn yang menimbulkan profil imunologis yang berbeda. Ini berakibat pada pengobatan yang semestinya diberikan sesuai dengan patogenesis masing-masing IBD. DIAGNOSIS Tidak adanya gambaran klinis yang khas pada IBD menyulitkan untuk didiagnosis. Gejala klinis penyakit ini adalah nyeri dan kejang perut, diare kronis bercampur darah, suhu badan meninggi, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan anemia (kurang darah) akibat kehilangan darah yang kronis. Peranan pemerikasaan radiologi penting untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit ini. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema (zat kontras yang dimasukkan melalui anus), masih merupakan pemeriksaan utama pada kasus-kasus penyakit kolon. Pemeriksaan dengan barium enema memberi gambaran pasti untuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Pada penyakit Crohn, awalnya akan terlihat penebalan pada dinding usus halus pada bagian distal (bagian akhir) dan kolon. Secara khas penebalan usus bisa mencapai 5 15 mm. Pemeriksaan ini juga sangat baik untuk mendeteksi adanya edema (pembengkakan karena terisi cairan) mesenterium, fistula, abses dan pembesaran kelenjar getah bening. Endoskopi memegang peranan penting, bukan saja untuk melakukan diagnosis, tetapi juga tatalaksana dan pengawasan untuk penyakit IBD. Endoskopi dapat menyingkirkan kemungkinan lain dari IBD seperti keganasan atau TBC usus. Pemeriksaan endoskopi dapat membedakan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif didasarkan bentuk lesi yang ditemukan, lokasi lesi, bagian kolon atau usus halus yang terlibat serta luasnya lesi. Melalui edoskopi juga bisa melakukan biopsi untuk mendapatkan sampel dari

jaringan yang terkena, untuk evaluasi histopatologi (pemeriksaan jaringan). PENATALAKSANAAN Malnutrisi merupakan problem klinis yang penting pada pasien IBD. Berat badan pasien sering turun, hipoalbuminemia (kekurangan kadar protein albumin dalam darah), anemia (kurang kadar Hb/Hemoglobin darah), dan defisiensi vitamin D. Terapi nutrisi merupakan salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan IBD. Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien IBD yaitu mengobati defisiensi nutrisi dan mengurangi radang. Defisiensi beberapa nutrien spesifik bisa diatasi dengan memberikan suplemen berupa zat besi per oral (melalui mulut) atau parenteral (melalui infus) penting diberikan pada pasien dengan perdarahan usus. Suplementasi khusus dengan kalsium, magnesium, zinc, vitamin B12, D dan K dibutuhkan bila ada manifestasi klinis/biokimiawi dari defisiensi. Makanan tertentu yang merangsang, dan yang menimbulkan keluhan atau eksaserbasi (kekambuhan) seperti nyeri perut atau diare, sebaiknya dihentikan. Bila ada intoleransi (tak tahan) laktosa, sebaiknya menghindari susu sapi. Pasien striktur harus menghindari makanan yang tinggi serat dan residu seperti kacang-kacangan, pop corn dan sereal. Suplementasi asupan per oral dengan diet formula khusus, dapat mencegah atau memperbaiki malnutrisi. Diet formula khusus dapat diberikan per oral atau dengan pipa nasogastrik. Beberapa pasien IBD memerlukan nutrisi parenteral, misalnya pada obstruksi (sumbatan) usus halus kronik yang tidak dapat dioperasi atau pada pasien setelah (pemotongan) usus halus dalam jumlah besar. Operasi atas indikasi yang tepat akan sangat menurunkan angka kematian karena komplikasi seperti megakolon toksik, perforasi (usus bocor), sepsis (panas tinggi karena infeksi berat yang menyebar lewat darah keseluruh tubuh) dan komplikasi akut lainnya seperti striktur dan perdarahan hebat. Operasi yang biasa dilakukan adalah proktokolektomi dan ileostomi. Penelitian menunjukkan bahwa resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan lamanya penyakit IBD. Terdapat 2% insiden kanker setelah 10 tahun, 9% setelah 20 tahun dan 19% setelah 30 tahun. Karena resiko berkembangnya kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan berjalannya waktu, direkomendasikan untuk melakukan proktokolektomi total untuk pasien IBD lebih dari 8 10 tahun.

Kolitis Ulsoratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa Oleh

Dr. Dina Aprillia Ariestine

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN MEDAN 2008 Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 1 KOLITIS ULSERATIF DITINJAU DARI ASPEK ETIOLOGI, KLINIK DAN PATOGENESA Dina Aprillia Ariestine PENDAHULUAN Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis. 1 Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik. Insiden penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kirakira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. 2 Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap dekade kehidupan. 3

ETIOLOGI 3 Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik. 1. Faktor familial/genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan orang Cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan orang non Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini. 2. Faktor infeksi Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi. Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 2 3. Faktor imunologik Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif. 2 4. Faktor psikologik Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya. 5. Faktor lingkungan 2 Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.

KLINIK Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik. 3 Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 3 Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. 1 Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. 3 Tabel 1. Truelove and Witts? classification of severity of ulcerative colitis Activity Mild Moderate Severe Number of bloody stools per day (n) <4 4?6 >6 Temperature (?C) Afebrile Intermediate >37.8 Heart rate (beats per minute) Normal Intermediate >90 Haemoglobin (g/dl) >11 10.5?11 <10.5 Erythrocyte sedimentation rate (mm/h) <20 20?30 >30 GAMBARAN FISIK DIAGNOSTIK Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi

abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat. 3 Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular (iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis sklerosing primer jarang dijumpai. 4 Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 4 GAMBARAN LABORATORIUM Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan. 3 Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negatif. 2,6 Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn. 4 GAMBARAN RADIOLOGI 5,6 1. Foto polos abdomen Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses

tidak akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 5 ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi. 2. Barium enema Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan kolitis ulseratif. Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum

selalu terlibat, walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya. Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon. 3. Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen. Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 6 Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran cernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air. Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut. 4. CT-scan dan MRI Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CTscan adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain. Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target

sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya. GAMBARAN ENDOSKOPI Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). 1 Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 7 mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip. 3 GAMBARAN HISTOPATOLOGI 7 Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa meliputi perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek). Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta permukaan villiform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti

banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina propria. Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit kolitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. Kriteria mayor kolitis ulseratif: ? Infitrasi sel radang yang difus pada mukosa ? Basal plasmositosis ? Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa ? Abses kripta ? Kriptitis ? Distorsi kripta ? Permukaan viliformis Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 8 Kriteria minor kolitis ulseratif: ? Jumlah sel goblet berkurang ? Metaplasia sel Paneth Tetapi pada kolitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan dari kolitis infektif. Dan kolitis ulseratif mempunyai tiga stadium (lihat tabel), yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan. Tabel 2. Acute Stage Resolving Stage Chronic-healed Stage Vascular congestion Mucin depletion Cryptitis, crypt abcess Epithelial lost and ulcer PMN, eosinophil and mast cell Luminal pus Basal plasma cell Epithelial regeneration Expantion of mitotic active cell Architectural distortion: ? atrophy ? branching ? crypt shortening

? villous surface Metaplasia pyloric Metaplasia Paneth cell Lymphoid hyperplasia Epithelial displacement Increased mononucleous Endocrine cell hyperplasia Squamous metaplasia ++ + ++ ++ ++ ++ ++ + + + ++ ++ ++

++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 9

PERJALANAN KLINIK 3 Perjalanan klinis kolitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan menderita relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang. PATOGENESA 8 Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesamaan antara antigen lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung. Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-? [TNF-?], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-?) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam

pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 10 permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema.

Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 11 Dina Aprillia Ariestine : Kolitis Ulseratif Ditinjau Dari Aspek Etiologi, Klinik Dan Patogenesa, 2008 USU e-Repository ? 2008 12 KEPUSTAKAAN

1. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal. 386-90. 2. Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd ed. International ed.: McGraw-Hill; 2003. p. 108-30. 3. Glickman RM. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. hal. 1577-91. 4. Choon-Jin O. Inflammatory Bowel Disease. In: Guan R et al., editors. Management of Common Gastroenterological Problems: A Malaysia & Singapore Perspective. 4th ed. Singapore: Ezyhealth (Singapore) Pte Ltd.; 2006. p. 11622. 5. Murna IW. Gambaran Radiologi Pada Inflammatory Bowel Disease (IBD). Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in Gastroenterology 2005. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. hal. 70-9. 6. Avunduk C. Inflammatory Bowel Disease. Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 239-56. 7. Damajanti V, dkk. Gambaran Histoparologi Inflammatory Bowel Disease, Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn. Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in Gastroenterology 2005. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. hal. 80-4. 8. Yamada T. Inflammatory Bowel Disease. Handbook of Gastroenterology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 357-73.

Anda mungkin juga menyukai