Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kolitis ulseratif masuk dalam kategori Inflammatory Bowel Disease


(IBD)/penyakit inflamasi usus karena penyakit ini merupakan penyakit yang
belum diketahui penyebabnya dengan prevalensi berkisar 10 - 20 x, terjadi pada
usia muda (umur 25 – 30 tahun) wanita dan pria sama tetapi ada perbedaan dalam
geografis dan sosial ekonomi tinggi.

Inflammatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang


melibatkan saluran cerna yang sampai saat ini penyebab pastinya belum diketahui
secara jelas. Secara garis besar IBD terbagi 3 jenis yaitu kolitis ulseratif, chron
disease, dan bila sulit membedakan keduanya, maka dimasukan kedalam kategori
intermediate colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan
penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi,
ischemik dan radiasi. Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi secara
intermitten dan remisinya gejala klinik. (Djojoningrat, 2007)
Insidensi penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per
100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini
diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak kejadian
penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi
dalam setiap dekade kehidupan. (Glickman RM, 2000)
Dari berbagai data kepustakaan didapatkan insiden Kolitis ulseratif di
Indonesia belum jelas tetapi bertitik tolak pada data endoskopi di sub bagian
gastroentologi RSU PN (M Jakarta diperoleh gambaran bahwa terdapat ± 20
kasus. Kolitis ulseratif dari 700 pemeriksaan kolonoskopi atas berbagai indikasi
(tahun 1991–1995) sedangkan tahun 1996 dari 72 kasus didapatkan kasus Kolitis

1
ulseratif 18. Data di masyarakat mungkin lebih tinggi daripada data yang ada di
RS, mengingat sarana endoskopi belum tersedia merata di pusat pelayanan
kesehatan di Indonesia. Dengan mengetahui data di atas dapat diketahui bahwa
dari tahun ke tahun prevalensi Kolitis ulseratif meningkat.

Penyebab pasti dari kolitis ulseratif tidak diketahui, tetapi penyakit ini
tampaknya multifaktor dan polygenic. Terdapat beberapa usulan penyebab
diantaranya faktor lingkungan, disfungsi kekebalan tubuh, dan kecenderungan
faktor genetik. Beberapa berpendapat bahwa anak-anak lahir di bawah berat rata-
rata yang lahir dari ibu dengan kolitis ulseratf memiliki risiko lebih besar terkena
penyakit ini. Kolitis adalah penyakit seumur hidup yang memiliki dampak sosial
dan emosional yang mendalam pada pasien yang terkena. Diagnosis kolitis
ulserativa paling baik dibuat dengan endoskopi dan biopsi mukosa untuk
histopatologi. Studi laboratorium sangat membantu untuk menyingkirkan
diagnosis lain dan menilai status gizi pasien, tapi pertanda serologi dapat
membantu dalam diagnosis penyakit colitis. Pencitraan radiografi memiliki peran
penting dalam hasil pemeriksaan pasien dengan suspect kolitis dan dalam
diferensiasi kolitis ulserativa dengan penyakit Crohn. Perlakuan awal untuk colitis
ulceratif meliputi pemberian kortikosteroid, agen anti-inflamasi, agen antidiare,
dan rehidrasi. Bedah dianggap perlu jika pengobatan medis gagal atau jika
keadaan darurat bedah berkembang. (Adam, 2010)

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana Konsep dari Kolitis Ulseratif ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Kolitis Ulseratif ?

1.3 TUJUAN
1. Tujuan umum

2
Untuk mengurangi angka kesakitan dan meningkatkan derajat kesehatan.
2. Tujuan khusus
·     Memperoleh gambaran mengenai penyakit Kolitis ulseratif.
·     Mampu mengidentifikasi kasus gangguan sistem pencernaan
khususnya colitis ulseratif  sehingga dapat mengatasi masalah keperawatan
yang terjadi.
·     Mampu mengenali pengkajian sampai evaluasi yang sering terjadi pada 
klien dengan Kolitis ulseratif.

1.4 MANFAAT
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan agar hasil makalah
ini dapat dipergunakan sebagai:
1.      Kegunaan Ilmiah 
·      Sebagai bahan bacaan  
·      Sebagai salah satu tugas akademik 
2.     Kegunaan Praktis 
Manfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan
pada klien dengan Kolitis ulseratif

3
BAB II
KOLITIS ULSERATIF

2.1 DEFINISI
Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang
usus (IBD) , bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn,
yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis
ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada 10%
pasien. (Gambar 1 dan 2). (Adam, 2010)

Gambar 1 Colitis sebagai divisualisasikan dengan kolonoskop

Gambar 2 Pada foto rontgen dengan single kontras pada pasien dengan kolitis
total menunjukkan radang mukosa dengan berbagai bentuk

4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron.
Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika.
Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia,
mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya
kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif
di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan
tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000
penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35
tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan.
(Glickman RM, 2000)
Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi
dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006
terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien
yang dilakukan endoskopi.( Djojoningrat dkk, 2011)

2.3 ETIOLOGI
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal
ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik.
(Glickman RM, 2000)
 Faktor familial/ genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan
orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali
lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini
menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan
penyakit ini. (Glickman RM, 2000)
 Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha
untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian

5
jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau
agen lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek sitopatik
pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi. (Glickman RM, 2000)
 Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep
bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini
(misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan
bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-
70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA
tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia
dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif
lebih cenderung menjadi HLADR4 positif. (Glickman RM, 2000)
 Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan
seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit
radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka
menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang
atau mengeksaserbasi gejalanya. (Glickman RM, 2000)
 Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif
menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan
risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan
dengan yang bukan perokok. (Glickman RM, 2000)

6
2.4 PATOGENESIS
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria
oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya
belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun
sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.
Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non
patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya
suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada
fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak
terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus
IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori
ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang
tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan
rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh
sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated
secara langsung. (Price , 2005)
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada
peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG
dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan
meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang
respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan
produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α
[TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang
lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini
menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam
penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam
pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang
meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen
kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi
dan edema. ( Djojoningrat dkk, 2011)

7
2.5 KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF
Klasifikasi kolitis ulseratif (Tabel 1) adalah:

a. Kolitis ulserosa dini aktif


Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan
edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi,
menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas
elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi
pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa. (Jugde TA,
2009)
b. Kolitis ulserosa kronik aktif
Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses
penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta
jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan
limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami hiperplasia,
muncul dalam bentuk psedopolip. (Jugde TA, 2009)
c. Kolitis Ulserosa Tenang
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi
kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis
ulserosa sudah berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker.
Itulah alasannya ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma
kolon dan rektum. (Jugde TA, 2009)

8
Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif
Acute Resolving Chronic-healed
  Stage Stage Stage
Vascular congestion ++ +  
Mucin depletion + -  
Cryptitis, crypt abcess ++ +  
Epithelial lost and ulcer ++ -  
PMN, eosinophil and mast
cell ++ +  
Luminal pus ++ -  
Basal plasma cell ++ ++  
Epithelial regeneration - ++  
Expantion of mitotic active
cell - ++  
Architectural distortion:      
• atrophy     ++
• branching     ++
• crypt shortening     ++
• villous surface     ++
Metaplasia pyloric     ++
Metaplasia Paneth cell     ++
Lymphoid hyperplasia     ++
Epithelial displacement     ++
Increased mononucleous     ++
Endocrine cell hyperplasia     ++
Squamous metaplasia     ++
(Judge TA, 2009)

2.6 GAMBARAN KLINIS


Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf
adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu
dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat badan,
pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan, kehilangan cairan tubuh
dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang terganggu,

9
terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis
ulseratf yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam,
diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis
ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata
(uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat
diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir
komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem
immune. Sebagian problem seperti ini tidak jadi masalah jika kolitis dapat
diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar
3 dibawah ini. (Judge TA, 2009)

Gambar3. Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif. (Judge TA, 2009)

Tabel 2. Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit crohn


Kolitis Ulceratif Penyakit Crohn
Hanya usus yang terlibat Panintestinal
Terus-menerus memperluas peradangan proksimal Skip-lesi dengan
dari dubur intervening
mukosa normal

10
Peradangan pada mukosa dan hanya submucosa Peradangan
Transmural
Tidak ada granuloma Noncaseating
granuloma
Perinuclear Anca (PANCA) positif Asca positif
Pendarahan (umum) Hanya sebagian pasien yang Pendarahan
terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang (jarang)
mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang
menderita demam, diarrhea dengan perdarahan,
nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis
ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti
arthritis, radang pada mata (uveitis), hati
(sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini
tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar
dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini
dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu
sistem immune. Sebagian problem seperti ini
Fistula (jarang) Fistula (umum)
(Marc D, 2011)

2.7 DIAGNOSIS
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri
abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus
berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang
setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi
sistemik. (Marc D, 2011)
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya
anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove) ( tabel 3).
Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama
yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap
minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon
yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan
lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis
ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa
dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi

11
radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,
kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran
mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan
tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. (Djojoningrat, 2007)

Tabel 3. Truelove and Witts classification of severity of ulcerative colitis


Activity Mild Moderate Severe

Number of bloody stools per day (n) <4 4–6 >6

Temperature (°C) Afebrile Intermediate >37.8

Heart rate (beats per minute) Normal Intermediate >90

Haemoglobin (g/dl) >11 10.5–11 <10.5

Erythrocyte sedimentation rate (mm/h) <20 20–30 >30


(Marc D, 2011)

2.7.1 Gambaran Fisik Diagnostik


Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat
distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan,
pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi
postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.
Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular
(iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma
gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis
sklerosing primer jarang dijumpai. (Djojoningrat, 2007)
2.7.2 Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat
dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah
kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap
darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan

12
elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya
mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi.
Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris
yang berhubungan. (Djojoningrat, 2007)
Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan,
Escherichia coli O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile
negatif. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces
cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif
dengan penyakit Crohn. (Adam, 2010)

2.7.3 Gambaran Radiologi


1. Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus
pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah
batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput
femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra
menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila
seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat
mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan
kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi
perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya
pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left
lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. (Adam, 2010)
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto
polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium
enema merupakan kontra indikasi. (Marc D, 2011)
2. Barium enema

13
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila
ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema
maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting.
Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan memakan makanan
rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak.
Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast)
yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk
menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast,
walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium
enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan
pasien dengan kolitis ulseratif.. Adapun gambaran kolitis pada pemeriksaan
barium tampak pada gambar 4 dan 5. (Adam, 2010)

Gambar 4 Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa


pada Colitis ulseratif (Adam, 2010)

14
Gambar 5. Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat
hampir menyeluruh di semua colon. (Adam, 2010)

Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif


adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta
kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara
difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit
akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila
ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens)
selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum
dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat,
walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya. (Adam, 2010)

Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka


perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal
menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped
caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut
backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-
button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi
menjadi adenokarsinoma kolon. (Adam, 2010)
3. Ultrasonografi (USG)

15
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan
modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali
merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan
ekstralumen. (Adam, 2010)
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan
saluran pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan
rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24
jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon
diisi dulu dengan air. (Anonim, 2011)
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang
berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan
peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau
pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan
dinding usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus
tersebut. (Marc D, 2011)
4. CT-scan dan MRI
Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung
keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh
mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan
kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah mengevaluasi jaringan lunak
karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
jaringan lunak satu dengan yang lain. . (Marc D, 2011)
Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus
menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka
terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi
dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas
yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan
fistula dan sinus tract-nya. (Anonim, 2011)

16
2.7.4 Gambaran Endoskopi
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan
menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta
didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada rektum dan
rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
seluruh kolon (pan-kolitis). (Anonim, 2011)
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa,
eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas
mukus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam
adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di
rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas
proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun
selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik
penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang
sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang
lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa
terdapat pseudopolip seperti pada gambar 6. (Marc D, 2011)

Gambar 6. Gambaran colitis ulsertatif cronic. (Marc D, 2011)

2.7.5 Gambaran Histopatologi

17
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur
mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur
mukosa meliputi perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta,
gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek).
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta
permukaan villiform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi
penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel
berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan
dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau
kronik/menyembuh. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak,
sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis
mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina propria.
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit kolitis
ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. (Marc D, 2011)
Kriteria mayor kolitis ulseratif:
 Infitrasi sel radang yang difus pada mukosa
 Basal plasmositosis
 Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
 Abses kripta
 Kriptitis
 Distorsi kripta
 Permukaan viliformis
Kriteria minor kolitis ulseratif:
 Jumlah sel goblet berkurang
 Metaplasia sel Paneth
Tetapi pada kolitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat
dibedakan dari kolitis infektif. Dan kolitis ulseratif mempunyai tiga stadium
yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada

18
seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu
sediaan. (Marc D, 2011)

2.8 PERJALANAN KLINIK


Perjalanan klinis kolitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan
menderita relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan
sifat rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi
yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya
gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang. (Marc
D, 2011)

2.9 DIAGNOSIS DIFERENSIAL (Adam, 2010; Marc D, 2011),


 Divertikulitis
 Penyakit crohn
 Polip colon 
 Gastroenteritis bakteri
 Gastroenteritis viral
 Pendarahan gastrointestinal bagian bawah
 Colitis infeksi
 Irritable bowel syndrome
 Tuberkulosis usus

2.10 PENATALAKSANAAN
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan,
tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2)
mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4)
meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker (Marc D,
2011)

19
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan
kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 7. Obat-obat kolitis ulserativa
meliputi .( Djojoningrat dkk, 2011)
1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid topikal, dan
2. Immunomodulators

Gambar 7 Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan


lini pertama .( Djojoningrat dkk, 2011)
a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah
digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit
Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk
merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan senyawa 5-ASA,
kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan usus yang
meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti
peradangan yang kuat seluruh tubuh.  Akibatnya, mereka digunakan dalam
mengobati enteritis. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone)
dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada

20
senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka
dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai. (Adam,2010)
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi
pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide
dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada
dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah,
khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon
ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)
mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk
mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara
dengan prednisolon dengan dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi
kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam waktu 8-12
minggu. ( Djojoningrat dkk, 2011)

b. Obat Golongan Asam Aminosalisilat


Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin
merupakan obat yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD,
terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo yang
dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan mesalazine/ 5-ASA. Telah
diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi adalah 5-ASA ini.
Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada
unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan
IBD. (Marc D, 2011)
Rencana tindakan: (a) Preparat murni atau derivatnya (olsalazine:
ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutamakan dibanding
mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir molecule: sulfasalazine dan
blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam lumen usus
halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam
penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis
rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi

21
tercapai yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis
pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat
pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan menurunnya
proliferasi mukosa kolorektal pada IBD. ( Djojoningrat dkk, 2011)

c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif,
bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis
diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan
mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan.
Contoh Immunomodulators termasuk azathioprine, 6-mercaptopurine (6-
MP), siklosporin, dan methotrexate. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu
pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya
sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau
refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi,
kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5
mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan
dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat
dkk, 2011)

d. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah
terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare
dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau
usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui
pembuluh darah. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis
atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien

22
dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir
sebagian besar usus besar diangkat. (Adam, 2010)
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus
besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan.
Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari
usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan
paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-
sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan
menyembuhkan kolitis ulserativa. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah
usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur
pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian
besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan
ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus. (Marc D, 2011)

2.11 KOMPLIKASI
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia 
karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering
menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran
infeksi. (Marc D, 2011)
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding
usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya.
Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan
ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan
menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar
sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak
sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan
jumlah sel darah putih meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera,
kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika perlukaan ini

23
menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko
kematian akan meningkat. (Marc D, 2011)
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat
pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita
telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa
menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur,
terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode
bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk
diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi
kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan
penderita akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)

2.12 PROGNOSIS (Marc D, 2011)


 Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif
berlanjut sebanyak 10%.
 Mortalitas

BAB III

ASKEP PADA KLIEN DENGAN KOLITIS ULSERATIF

I. PENGKAJIAN/PENGUMPULAN DATA

A. Data Biografi: Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan

B. Data Dasar Pengkajian Klien

1. Aktivitas/istirahat

Gejala:

24
• Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah

• Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare

• Merasa gelisah dan ansietas

• Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.

2. Sirkulasi

Tanda:

• Takikardia Crospons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan


nyeri

• Kemerahan area akimonsis (kekurangan vitamin K)

• TD: hipotensi, termasuk postural

• Kulit/membran mukosa, turgor buruk, kering, lidah pecah (dehidrasi


atau malnutrisi)

3. Integritas ego

Gejala:

• Ansietas, ketakutan, emosi, kesal, misalnya perasaan tak berdaya/tak


ada harapan

• Faktor stress akut/kronis, misalnya hubungan dengan keluarga atau


pekerjaan, pengobatan yang mahal

• Faktor budaya peningkatan prevalensi dari populasi Yahudi

Tanda:

25
• Menolak, perhatian menyempit, depresi.

4. Eliminasi

Gejala:

• Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai batu atau berair

• Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hingga timbul, sering tak
dapat dikontrol (sebanyak 20 – 30 kali defekasi/hari)

• Perasaan dorongan/kram (temosmus), defekasi berdarah/pus/mukosa


dengan atau tanpa keluar feses.

• Perdarahan per rectal

• Riwayat batu ginjal (dehidrasi)

Tanda:

• Menurunnya bising usus, tak ada peristoltik atau adanya peristoltik yang
dapat dilihat.

• Hemosoid, fisura anal (25 %), fisura perianal

• Oliguria.

5. Makanan/cairan

Gejala:

• Anoreksia, mual/muntah

• Penurunan berat badan

• Tidak toleran terhadap diet/sensitif misalnya buah segar/sayur

26
• Produk susu makanan berlemak.

Tanda:

• Penurunan lemak subkutan/massa otot

• Kelemahan tonus otot dan turgor kulit buruk

• Membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut

6. Higiene

Tanda:

• Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri

• Stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin

• Bau badan

7. Nyeri/kenyamanan

Gejala:

• Nyeri/nyeri tekan pada kwadran kiri bawah (mungkin hilang dengan


defekasi)

• Titik nyeri berpindah, nyeri tekan (arthritis)

• Nyeri mata, fotofobia (iritis)

Tanda:

• Nyeri tekan abdomen/distensi

8. Keamanan

27
Gejala:

• Riwayat lupus eritoma tous, anemia hemolitik, vaskulitis,.

• Arthritis (memperburuk gejala dengan eksoserbasi penyakit usus)

• Peningkatan suhu 39,6 – 40 ºC (eksoserbasi akut)

• Penglihatan kabur

• Alergi terhadap makanan/produk susu (mengeluarkan histamine ke


dalam usus dan mempunyai efek inflamasi)

Tanda:

• Lesi kulit mungkin ada misalnya: eritoma nodusum (meningkat), nyeri,


kemerahan dan membengkak pada tangan, muka, plodeima gangrionosa
(lesi tekan purulen/lepuh dengan batas keunguan)

• Ankilosa spondilitis

• Uveitis, kongjutivitis/iritis.

9. Seksualitas

Gejala: frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual

10. Interaksi sosial

Gejala:

• Masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi

• Ketidakmampuan aktif dalam sosial

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

28
A. Pengelompokan Data

1. Data Subjektif

- Keluhan nyeri perut, merasa lemah dan lelah

- Nafsu makan kurang, mual dan muntah

- Keluhan cemas dan takut

- Sering BAB encer ada darah (6 – 7 x/hari)

- Keluhan BAB biasa tidak dirasa

2. Data Objektif

- Ekspresi wajah meringis dan sering memegangi perutnya

- Membran mukosa dan kulit kering, turgor kulit menurun, bibir pecah-
pecah

- Penurunan berat badan

- Takikardi > 100 x/menit

- Demam 38 ºC

- Peristaltik 30 x/menit

- Tampak pucat

B. Analisa Data

No. Data Kemungkinan Penyebab Masalah


DS: Motilitas usus meningkat
1.

29
Volume

- Sering BAB encer, cairan

kadang bercampur darah


kurang dari

Kesempatan absorpsi

dan nyeri perut kebutuhan

berkurang

- Mual muntah tubuh

DO:

Diare berlangsung lama

- Membran mukosa dan

kulit kering

Kehilangan cairan dan

- Turgor kulit jelek

elektrolit

- Bibir pecah-pecah

- Keluaran urine sedikit 1

Dehidrasi

ml/jam

30
- Observasi tanda-tanda

vital:

S: 38 ºC

N: 100 x/menit

TD: 100/60 mmHg

P: 20 x/menit
DS: Meningkatnya motilitas
2.
Nutrisi

- Pernyataan tidak ada usus


kurang dari

nafsu makan kebutuhan

- Klien mengeluh mual

Kesempatan absorpsi <<

muntah

DO:

Diare

- Berat badan menurun

- Penurunan lemak subkutan

- Tonus otot buruk

31
- Bunyi usus hiperaktif

- Konjungtiva dan

membran mukosa pucat

- Pasien muntah

DS: Faktor genetik Gangguan


3.
- Defekasi sering dan eliminasi

berair BAB

Reaksi inflamasi di

- Usus berwarna merah

lapisan dan dinding usus

- Nyeri perut tiba-tiba

DO:

Infeksi

- Peningkatan bunyi

usus/peristaltik

Ulserasi

- Veses tampak bercampur

darah

Permeabilitas usus

- Wajah tampak meringis

meningkat

32
Sekresi air dan elektrolit

Gangguan metabolisme

air dan elektrolit di usus

Isi rongga usus >>

C. Prioritas Masalah

1. Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh

2. Resiko tinggi terjadinya gangguan perfusi jaringan

3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4. Resiko tinggi terjadi anemia

5. Nyeri

6. Potensial gangguan integritas kulit: perianal

7. Intoleransi aktivitas

8. Gangguan istirahat tidur

9. Kecemasan

10. Kurang pengetahuan: mengenai keadaan prognosis dan pengobatan

D. Perumusan Diagnosa Keperawatan

1. Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan pemasukan


terbatas.

2. Resiko tinggi terjadinya gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan


terjadinya syok

33
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan
absorbsi usus

4. Resiko tinggi terjadi anemia berhubungan dengan perdarahan yang


terus-menerus.

5. Nyeri berhubungan dengan iritasi pada mukosa

6. Potensial gangguan integritas kulit: perianal berhubungan dengan diare


yang terus-menerus.

7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan diare

8. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan diare

9. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan

10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

III. PERENCANAAN

Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Volume Volume - Membran a. Awasi a. Memberikan
cairan kurang cairan mukosa lembab masukan dan informasi tentang
dari kebutuhan adekuat haluaran, karakter keseimbangan
- Turgor kulit
berhubungan setelah dan jumlah feses; cairan, fungsi ginjal,
baik
dengan: pemberian perkirakan dan kontrol penyakit
terapi kehilangan yang usus juga
- Pengisian
- Pemasukan
dalam tak terlihat, merupakan
kapiler baik

34
waktu 1 x misalnya pedoman untuk
terbatas. - Keseimbangan
24 jam berkeringat, ukur penggantian cairan.
intake dan
berat jenis urine,
- Pengeluaran
output dengan
observasi
berlebihan
urine rata-rata 1
oliguria.
b. hipotensi,
ml/menit
Ditandai
takikardi, demam
b. Observasi TTV
dengan:
- Tanda-tanda dapat menunjukkan
(TD, nadi, suhu)
vital respon terhadap dan
- Sering BAB
atau efek kehilangan
encer, kadang
S: 37 ºC
cairan
bercampur
darah dan nyeri N: 80 x/menit
c. Menunjukkan
perut
kehilangan cairan
TD: 120/80
berlebihan atau
- Mual muntah mmHg c. Observasi kulit
dehidrasi.
kering berlebihan
- Membran P: 20 x/menit
dan membran
mukosa dan
mukosa,
kulit kering
penurunan turgor
kulit, pengisian
- Turgor kulit
d. indikator cairan
kapiler lambat.
jelek
dan status nutrisi
d. Ukur BB tiap
- Bibir pecah-
e. diet tak adekuat
hari
pecah
dan penurunan
e. Observasi absorpsi dapat
- Keluaran urine
perdarahan dan menimbulkan
sedikit 1 ml/jam
tes feses tiap hari defisiensi vitamin K
- Observasi untuk melihat dan merusak
tanda-tanda adanya darah koagulasi, potensial
vital: samar. resiko perdarahan.

35
S: 38 ºC f. kolon
diistirahatkan untuk
N: 100 x/menit
penyembuhan dan
untuk menurunkan
TD: 100/60 f. Pertahankan
kehilangan cairan
mmHg pembatasan per
usus.
oral, tirah baring,
P: 20 x/menit
hindari kerja.
g. kehilangan usus
berlebihan dapat
menimbulkan
ketidakseimbangan
elektrolit, misalnya
g. Catat
kalium yang perlu
kelemahan otot
untuk fungsi tulang
atas disritmia
dan jantung.
jantung.

h. Mempertahankan
h. Kolaborasi
istirahat usus akan
cairan parenteral,
memerlukan
transfusi darah
penggantian
bila perlu
cairan untuk
memperbaiki
kehilangan.

i. Menentukan
i. Awasi hasil
kebutuhan
laboratorium:
penggantian dan
elektrolit (kalium,
keefektifan terapi.
magnesium),

36
GDA
2. Nutrisi - BB meningkat a. Berikan fungsi - NPT adalah
Kebutuhan
kurang dari secara bertahap parenteral (NPT) tindakan pilihan
nutrisi
kebutuhan sesuai pesanan bila terjadi
dapat - Tidak ada
tubuh dan intervensi penurunan BB.
dipertahan tanda malnutrisi
berhubungan berikut
kan dalam seperti kulit Klien memerlukan
dengan
3 x 24 jam kering - Ajarkan 45 – 50 kkal, 2 g
- Gangguan perawatan kateter protein/kg/BB/hari.
absorbsi usus akses vena jangka Ini memungkinkan
panjang peningkatan berat
Ditandai
badan kira-kira 8
dengan:
oz/hari

- Penurunan - Pertahankan
- Menurunkan
berat badan, status puasa dan
kebutuhan metabolik
penurunan tirah baring
untuk mencegah
lemak
penurunan kalori.
subkutan/masa
Status puasa
otot, tonus otot
menurunkan
buruk
aktivitas mekanis,
fisik dan kimia usus.
- Bunyi usus
hiperaktif
- status puasa yang
lama mengganggu
- Konjungtiva
baik secara sosial
dan membran
- Berikan maupun psikologis
mukosa pucat
dukungan
- Nafsu makan psikososial dan
kurang, mual, keyakinan selama
muntah pengistirahatan
- Klien yang

37
usus dan NPT menerima NPT
biasanya
b. Sapih klien
memandang NPT
dari NPP saat
diinstruksikan: sebagai penopang
hidupnya. Dengan
- Gunakan
pendekatan ia akan
pendekatan yang
merasa melindungi
konsisten,
alat tersebut.
meyakinkan,
rileks dan
perawatan kateter
NPT. Berikan
dukungan
emosional selama
- Klien umumnya
proses
kehilangan 4 – 5 lb
penyapihan.
cairan
- Yakinkan klien
bahwa penurunan
berat badan
selama minggu I
penghentian NPT
adalah karena
kehilangan - Klien dapat

cairan. memperkirakan
peningkatan BB
- Bantu klien pada pola makan per
membuat harapan oral.
realistik untuk
peningkatan berat

38
badan setelah - Mungkin
penghentian diperlukan suplemen
NPT. diet untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi.
- Dorong
penggunaan
minuman tinggi
protein dengan
makanan.

c. Bantu klien
dalam melakukan - Minuman yang

masukan banyak mengandung

makanan per oral. kalori dapat


membantu
- Berikan mencegah
dorongan malnutrisi,
masukan cairan mencegah serangan
yang akut.
mengandung
kalori daripada
masukan cairan
seperti soda.
Hindari makanan
- Kemampuan untuk
yang
mengabsorpsi
menyebabkan
nutrien harus
kram abdomen.
dievaluasi setiap hari
- Kaji penerimaan
- Bila klien tak dapat
klien dan respons
mentoleransi diet
terhadap
reguler dapat

39
masukan cairan diberikan elemen
per oral. makanan karena
eleman makanan
- Mulai makanan
dapat ditoleransi
formula dalam
karena batas zat sisa,
bentuk yang
nutrisi seimbang.
diencerkan dan
tingkatkan - Diet elemen
mempunyai bau dan
sampai bentuk
rasa tak sedap
terkental yang karena adanya asam
amino.
dapat ditoleransi

- Diperlukan
- Berikan
pengenalan makanan
berbagai rasa
padat secara
elemen makanan
bertahap untuk
dan pertahankan
mengungkap nyeri
agar tetap dingin
dan peningkatan
toleransi .
- Bantu klien
dengan beralih
pada makanan
lunak, saring dan
makanan padat - Makanan dan
rendah sisa dan cairan jenis ini dapat
berikan dorongan mengiritasi saluran
untuk resing GI,
makan tinggi
kalori.

- Ajarkan klien

40
untuk - Mulut yang bersih
dapat meningkatkan
menghindari
rasa makanan.
buah mentah,
- Memberikan
rempah, alkohol,
informasi tentang
makanan kebutuhan
gorengan. diet/keefektifan
terapi.
- Berikan
kebersihan oral

- Timbang berat
badan tiap hari
1. Antikolinorgik
diberikan 15 – 30
menit sebelum
- Kolaborasi
makan memberikan
dengan dokter
penghilangan kram
untuk pemberian
dan diare.
obat

1. Donnatal,
natrium barbital. 2. mencegah atau
mengobati anemia,
oral tidak diberikan
karena gangguan
usus.
2. Beri imeron
injeksi.

3. Gangguan Diare - Penurunan a. Observasi dan a. Membantu


eliminasi BAB tidak frekuensi catat frekuensi membedakan
berhubungan terjadi defekasi defekasi penyakit individu

41
dengan: setelah konsistensi konsistensi dan mengkaji berat
dilakukan kembali normal karakteristik, dan episode
- meningkatnya
tindakan jumlah dan faktor
motilitas usus - Peristaltik
dalam pencetus
normal
jangka
Ditandai
b. Mulai lagi
waktu 2 x
dengan: - Nyeri dan b. Memberikan
memasukkan
24 jam istirahat colon dan
kram abdomen
cairan peroral
- Peningkatan menghilangkan atau
tidak ada
secara bertahap. menurunkan
bunyi
rangsang makanan /
usus/peristaltic cairan, maka
kembali secara
- Defekasi bertahap mencegah
sering dan kram dan diare
berulang.
berair

- Veses c. Identifikasi
berwarna merah makanan dan c. Menghindari

cairan yang iritan, meningkatnya


- Nyeri perut istirahat usus.
mencetuskan
tiba-tiba
diare misalnya:
bumbu-bumbu,
- Wajah tampak
produk susu.
meringis

d. Observasi
d. Tanda bahwa
demam,
toksik megakolon
takikardi, letargi,
oleh perforasi dan
leukositosis,
peritonitis akan
penurunan protan
terjadi/telah terjadi
serum.
memerlukan
intervensi medik

42
e. Berikan segera.
kesempatan
e. Adanya penyakit
untuk
dengan penyebab
menyatakan
tidak diketahui sulit
frustasi sampai
untuk sembuh dan
dengan proses
yang memerlukan
penyakit.
intervensi bedah
dapat menimbulkan
stress.
f. Tingkatkan
tirah baring, f. Iistirahat
berikan alat-alat menurunkan
di samping motilitas usus juga
tempat tidur. memerlukan laju
metabolisme bila
infeksi dan
perdarahan sebagai
komplikasi. Defekasi
tiba-tiba dapat
terjadi tanpa terasa
dan gejala
peningkatan resiko
inkotinensia/jatuh
bila alat-alat dalam
jangkauan tangan.
g. Kolaborasi
untuk pemberian
obat seperti:

- Antikolinergik,

43
atropine, - Menurunkan
belladonna motilitas GI yang
menurunkan sekresi
- Sulfasalazin
digestik.
(azulfidine)
- Pengobatan
- Psillium eksasorbasi ringan
dan sedang.
(Metamucil)
- Mengabsorbsi air
meningkatkan bulk
feses
- Steroid
misalnya: ACTH
- Untuk menurunkan
prodrisolom
proses inflamasi

- Antibiotik

- Mengobati infeksi
supuratik lokal.

IV. IMPLEMENTASI

Implementasi dilakukan sesuai dengan jumlah intervensi yang ada.

V. EVALUASI

1. Setelah 1 x 24 jam tujuan dan kriteria diagnosa tercapai

2. Setelah 3 x 24 jam tujuan belum tercapai dengan kriteria:

- Berat badan masih rendah (BB normal belum tercapai)

- Tonus otot sedang

- Konjungtiva dan membran mukosa masih pucat

- Klien hanya menghabiskan ½ porsi makanan yang disiapkan

- Mual muntah masih ada tapi sudah berkurang

44
Rencana tindakan dilanjutkan

3. Dalam 2 x 24 jam tujuan dan kriteria tercapai tetap observasi dilanjutkan

BAB III
SIMPULAN

Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar


mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut
dan demam. Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya

45
dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa
tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah
mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon
sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau
seluruh usus besar.
Pengobatan kolitis ulseratif memiliki tujuan adalah untuk
1) menginduksi remisi,
2) mempertahankan remisi,
3) meminimalkan efek samping pengobatan,
4) meningkatkan kualitas hidup, dan
5) meminimalkan risiko kanker
Prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon
terhadap pengobatan konservatif

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam Schoenfeld. 2010. http://www.medicinenet.com/ulcerative_colitis


/article.htm. akses pada 22 mei 2011

2. Anonim. 2016. http://medicastore.com/penyakit/488/Kolitis_Ulserativa.


html. Akses pada 13 April 2016

46
3. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hal. 384-88.

4. Djojoningrat D dkk editor. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D,
dkk. Jakarta: Interna Publishing; 2011

5. Glickman RM. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit


Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2000. hal. 1577-91.

6. Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman


SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment
in Gastroenterology. 2nd ed. International ed.: McGraw-Hill; 2009. p. 108-
30.

7. McQuaid KR. Gastrointestinal Disorders . In : McPhee SJ, Papadakis MA


editors Current Medical Diagnosis & Treatment 2009.: McGraw-Hill;
2009.

8. Marc D Basson. 2011.http://emedicine.medscape.com/article/183084-


overview. Akses pada 22 mei 2011

9. Price, Sylvia anderson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses proses


Penyakit Edisi 6.: EGC ; 2005

10. Wasson J et all. a–z Common Symptom Answer Guide. McGraw-Hill;


2004

11. '95 Carpenitu, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


Edisi 2, EGC, Jakarta, 1999.

12. Doengoes, dkk., Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,


Jakarta, 2000.

Pathway

47
Sumber : Glickman RM, 2000,

Marc D, 2011,

Djojoningrat dkk, 2011

48

Anda mungkin juga menyukai