Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan

untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi

traktus gastrointestinal, yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua

kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi,

alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis

ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit,

muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh

kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari

gejala klinis IBD (Basson, 2015).

Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan

Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit Crohn

diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan

traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. Wilks dan Moxon telah lebih

dari satu abad mengenal Kolitis Ulserativa sebagai proses inflamasi idiopatik yang

bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum.

Proses inflamasi yang terjadi pada Kolitis Ulserativa relatif homogen pada

mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal

(Basson, 2015).
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum

diketahui jelas. Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif,

penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan

dalam kategori indeterminate colitis (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif merupakan

salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease.

Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua bagian dari traktus

gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat terlihat

dengan colonoscopy. Colitis ulseratif merupakan penyakit seumur hidup yang

memiliki dampak emosional dan sosial pada pasien yang terkena, dan ditandai

dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan remisinya gejala klinik (Basson,

2015).

Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi

kambuhan yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan

menyerang mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi

kapiler, edema, hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muscular

dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus pipa

timah akibat penyempitan usus itu sendiri.Kolitis ulseratif adalah penyakit

inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan

mukosa kolon, dapat ringan, kronis, atau akut (Basson, 2015).


3

B. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan statistik di Amerika Serikat, sekitar 1 juta orang menderita

kolitis ulserativa. Angka kejadian pertahunnya adalah 10,4-12 kasus per 100.000

orang. Tingkat prevalensi adalah 35-100 kasus per 100.000 orang. Kejadian kolitis

ulseratif 3 kali lebih banyak dari penyakit Crohn (Basson, 2015).

Colitis lebih banyak terjadi pada ras kulit putih daripada ras di Afrika,

Amerika atau Hispanik. Kejadian kolitis ulserativa dilaporkan terjadi 2-4 kali

lebih tinggi pada ras Yahudi Ashkenazi. Namun, studi populasi di Amerika Utara

tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini (Basson, 2015).

Kolitis ulseratif umumnya terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.

Penderita kolitis ulseratif terjadi puncaknya pada usia 15-25 tahun dan yang

terendah pada usia 55-65 tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada orang dari segala

usia namun jarang terjadi pada orang di bawah usia 10 tahun . Dua dari 100.000

anak-anak menderita kolitis, namun 20-25% dari semua kasus kolitis ulseratifa

terjadi pada orang berusia 20 tahun atau lebih muda (Basson, 2015).

C. ETIOLOGI

Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit

ini multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor

lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa

anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis

ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit

(Basson, 2015).
4

Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan

antigen yang sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif,

meskipun penemuan ini tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya

HLA-B27 tidak menunjukkan peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis

ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor

sekunder. Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang

telah rusak, sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Basson, 2015).

Sementara penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran

tertentu dari penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal

ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik

(Silvio, 2011).

1. Faktor familial/genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang

kulit hitam dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi

genetik terhadap perkembangan penyakit ini.

2. Faktor infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-

menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha

menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian

diisolasi. Laporan awal isolate varian dinding sel Pseudomonas atau agem

yang ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan

masih dikonfirmasi.
5

3. Faktor imunologik

Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep

bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini

(misalnya arthritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan

bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat

menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-

70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA

(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA

tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis ulseraif, namun ia

dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA negative

lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif (Silvio, 2011).

Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam pathogenesis IBD.

Ada peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal,

terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Colitis ulseratif

dihubungkan dengan meningktanya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan

IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell dependent.

Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan

tumor necrosis factor- (TNF- ), terutama pada aktivasi makrofag di

lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-) menurunkan imun

respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis.

Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor

imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi

superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil,

mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang


6

vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida

yang menyebabkan vasodilatasi dan edema (Ariestine, 2008).

D. PATOGENESIS

Ada bukti aktivasi imun pada (Inflamatory Bowel Disease), dengan

infiltrasi lamina propria oleh limfosit,makrofag dan sel-sel lain,meskipun antigen

pencetusnya belum jelas dan bakteri sudah diperkirakan sebagai pencetus,namun

sedikit yang memdukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.

Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non

pathogen yang normal mengaktivasi repon imun yang abnormal.hasilnya suatu

mekanisme penghambat yang gagal.Pada tikus,defek genetic pada funngsi sel T

atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora

normal kolon.Hipotessi ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu

autoantigen yang dihasillakn oleh epitel intestinal.Pada tikus,defek genetic pada

fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol

pada flora normall kolon.Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD aadalah

suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal.Pada teori ini pasien

menghasilkan respon imun melawan antigen luminal,yang tetap dan diperkuat

karena keasaman antara antigen llumenal dan protein. Hipotesis autoimun ini

meliputi pengrusakan sel-sel epithelial oleh sitotoksisiras seluler antibody-

dependent atau sitotoksisitas sel-mediated secara langsung (Damajanti, 2005).

Imun respon cell mediated juga terlibat dalam pathogenesis IBD. Ada

peningkatan sekresi antibody oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dn

IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan

meningkatnya produksi igG1(oleh limfosit Th2)dan IgG3, subtype yang respon


7

terhadap protein dan antigen T-cell- dependent. Ada juga peningkatan produksi

sitokin proinflamasi (IL-1,IL- 6,IL-8 dan tumor necrosis factor) terutama pada

aktifasi makrofag dilamina propria. Sitokin yang lain(IL-10) menurunkan imun

respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin

juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Factor imun yang lain

dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies

oksigen reaktif yang lain oleh akitivitas netrofil, mediator soluble yang

meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis

netrofil lekotrien dan nitrit oksida yan menyebabkan vasodilatasi dan edema

(Damajanti, 2005).

E. PATOFISIOLOGI

Faktor genetik berpengaruh pada saluran pencernaan, sehingga terjadi

reaksi inflamasi pada lapisan dan di dinding usus sehingga terjadi pembengkakan

dan ulserasi, sehingga menimbulkan kuman untuk berkembang biak dan

mengeluarkan toksin sehingga motilitas (pergearakan) usus dan permeabilitasnya

meningkat dan daya absorsinya kurang.

1. Nutrisi kurang dari kebutuhan karena terjadi diare danm absorbs yang kurang

2. Gangguan eliminasi BAB sehingga terjadi Diare

3. Gangguan istirahat tidur

4. Gangguan aktifitas akibat diare dan rasa nyeri

Diare yang terjadi secara terus menurus menyebabkan kehilangan cairan

dan elekrolit tubuh sehingga masuk dalam tahap dehidrasi sehingga volume cairan

kurang dari kebutuhan,terjadinya dehidrasi menyebabkan konsentrasi CES


8

meningkat,tekanan osmotic turun shingga CES menurun yang dapat menimbulkan

syok, sehingga timbul gangguan perfusi jaringan (Ariestine, 2008).

Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan proses patofisiologinya yaitu

osmotik, sekretarik, inflamasi, dan perubahan motilitas. Diare osmotik terjadi

akibat asupan dari bahan makanan yang tidak dapat diarbsobsi dengan baik, tetapi

bahan tersebut larut dalam air sehingga akan menyebabkan retensi air dalam

lumen usus. Penyebab terbanyak adalah intoleransi laktosa dan penyerapan

antasida yang mengandung magnesium (Ariestine, 2008).

Diare sekretorik terjadi akibat peningkat sekresi ion-ion dalam lumen usus

sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan intralumen. Obat-obatan, hormone dan

toksin dapat menyebabkan aktivitas sekrotik ini (Ariestine, 2008).

Diare inflamasi atau eksudat terjadi akibat, perubahan mukosa usus

sehingga proses absorbsi terganggu dan menyebabkan peningkatan protein dan zat

lain dalam lumen usus disertai retensi cairan. Adanya darah atau leukosit dalam

tinja biasanya mengindikasikan proses inflamasi. Diare dari peradangan pada usus

misalnya colitis ulseratif adalah diare akibat proses inflamasi. Kolitis ulseratif

mempengaruhi mukosa superfisisal kolon dan dikarakteristikkan dengan adanya

ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan deskuamasi atau pengelupasan

epitelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut,

yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuti lesi yang lainnya. Proses

penyakit mulai pada rectum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon.

Akhirnya usus menyempit, memendek dan menebal akibat hipertrofi muskuler

dan deposit lemak (Basson, 2015).


9

Ulserasi menimbulkan lesi pada mukosa, terbentuk abses dan pecah,timbul

iritasi mukosa menyebabkan nyeri.Iritasi yang berkelanjutan menimbulkan tukak

yang meluas sehingga terjadi perdarahan yang terus- menerus maka dapat terjadi

anemia. Tukak yang meluas dan ada pengobatan masuk dalam tahap kronik

menimbulkan psikologis sehingga timbul masalah cemas( Price dan Sylvia, 2005).

F. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala klinis

Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri

abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada

kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang

setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi

sistemik. Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan

ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya

anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove) (Edy,

2013).
10

Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan

pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara

gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan

panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang

yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon

tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran

mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan

tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. Perjalanan klinis colitis

ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia relaps dalam waktu 1

tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit.

Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya

dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan

luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang (Ariestine, 2008).

Pada Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan

tanda klinis yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan

gangguan sistemik.

Prodromal (<5%) Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum,

occult fecal blood. Peningkatan LED, nyeri perut tidak khas, atau

perubahan pola defekasi.

Ringan (50-60%) Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada

gangguan sistemik.

Sedang (30%) Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness


11

Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan,

anemia ringan.

Berat (10%) Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan

atau tanpa distensi, takikardia, panas badan, penurunan berat badan,

anemia yang signifikan, lekositosis dan hipoalbuminemia.

2. Gambaran Laboratorium

Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan

derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang

mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan

darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju

endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.

Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.

Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan

biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang ulserasi.

Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit

hepatobiliaris yang berhubungan (Silvio, 2011).

Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan,

Escherichia coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile

negative. Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA (antibody

Saccharomyces cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit

colitis ulseratif dengan penyakit Crohn (Ariestine, 2008).


12

3. Gambaran Radiologi

Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung

terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit

ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis

avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan

struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada,

sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan

terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen.

Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon)

yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan

emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat

dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi

tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak

(Edy, 2013).

Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk

melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto

polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium

enema merupakan kontra indikasi (Edy, 2013).


13

4. Gambaran Endoskopi

Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang

melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum

dan menyebar /progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di

Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi colitis ulseratif adalah 80% pada

rectum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8%

melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). Pada colitis ulseratif, ditemukan

hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus, kerapuhan mukosa, dan

seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan nanah. Kerapuhan

mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa

yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah mukosa

normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi

landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan

colitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis

ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa

memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa

menunjukkan penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip

(Ariestine, 2008).
14

Berikut ini adalah perbedaan gambaran lesi endoskopik IBD pada

colitis ulseratif dengan Crohns Disease (Djojoningrat, 2006) :

Gambaran Colitis ulseratif Chorn diseases


Lesi inflamasi (hiperemia, +
ulserasi, dll) +++
Bersifat kontinu adanya +++
skip area (adanya mukosa 0
normal di antara lesi)
Keterlibatan rectum +
+++
+++ +
Lesi mudah berdarah
Cobblestone appearance / +++
pseudopolip +
Sifat ulkus :

Terdapat pada mukosa +


yang inflamasi +++
Keterlibatan ileum ++++
0

Bentuk ulkus :
+ +++
Diameter
+ +++
Dalam
+ +++
Bentuk linear(longitudinal)
Keterangan : 0 = tidak ada, ++++ = sangat diagnostik (karakteristik)

5. Gambaran Histopatologi

Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur

mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan

arsitektur mukosa, perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta,

gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek).

Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya

sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel
15

inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina propria. Gambaran

khas untuk colitis ulseratif adalah adanya abses kripti, distorsi kripti,

infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di lamina propria

(Djojoningrat, 2006).

Keterangan :

1. Panah biru menggambarkan abses kripte

2. Panah hijau menggambarkan sebukan padat sel radang di lapisan

muskularis mukosa

3. Panah merah muda menggambarkan kelnjar yang melebar.

Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik

penyakit colitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-

kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis

ulseratif.

Kriteria minor colitis ulseratif :

1. Jumlah sel goblet berkurang

2. Metaplasia sel Paneth


16

Kriteria mayor colitis ulseratif :

1. Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa

2. Basal plasmositosis

3. Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa

4. Abses kripta

5. Kriptitis dan Distorsi kripta

6. Permukaan viliformis

H. DIAGNOSIS

A. Anamnesa

Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala

sistemik, riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan

perkembangan dan kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal.

Biasanya pada anamnesis keluhan utama pasien adalah perut terasa sakit.

Perut dirasakan seperti keram. Selain itu, tiap kali buang air besar pasien

selalu mengeluhkan terdapat darah pada fesesnya, tetapi darah tidak

menetes. Kemudian tidak terdapat benjolan saat buang air besar. Buang air

besar cair. Badan terasa demam (Glickman, 2000).

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala

ekstraintestinal. Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen

dan adanya massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan

perawatan. Biasanya kurang spesifik, bisa terdapat distensi abdomen atau

nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik


17

akan normal, Demam, takikardia, dan hipotensi postural biasanya

berhubungan dengan penyakit yang lebih berat (Glickman, 2000).

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah dalam batas

normal, nadi normal, suhu tubuh agak tinggi, frekuensi nafas normal. Pada

pemeriksaan bagian abdomen didapatkan nyeri abdomen pada seluruh

lapang perut. Pada kasus yang berat dimungkinkan juga adanya penurunan

berat badan. Hasil colon in loop : terdapat penebalan dinding usus, haustra

tidak tampak pada kolon desenden, terdapat gambaran pipe like sign,

dengan kesan kolitis kolon desenden (Glickman, 2000).

C. Pemeriksaan Laboratorium

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik

untuk IBD. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai

keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis

ekstraintestinal dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan

mikroorganisme feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi

(Djojoningrat, 2006).

Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut

adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan

antibodi anti saccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA

ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada Penyakit Crohn.

Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit Crohn dan

14% pada Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian seroepidemiologi

menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA negatif

mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%. Sedangkan


18

kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi

positif Penyakit Crohn 95-96% (Djojoningrat, 2006).

D. Pemeriksaan Endoskopi

Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa

pada kolon dan ileum termminal merupakan pemeriksaan yang paling

sensitif dan spesifik pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis

yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan menginduksi

megakolon toksik. Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi

diskret atau aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan

gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat

daerah mukosa yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan

mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta

pseudopolyp (Priyanto,2009).

Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan

terapi. Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada

Penyakit Crohn dan injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg

pada 4 kuadran) dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur

berulang (Priyanto,2009).

I. DIAGNOSIS BANDING

Gejala klinis dan ektraintestinal yang beragam menyebabkan diagnosis

Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa sulit ditegakkan. Beberapa kelainan yang

menyerupai IBD adalah Chronic inflamatory-like intestinal disorder seperti

enterokolitis karena infeksi (bakteri dan parasit, kelainan sistem imunitas (seperti

gastroenteritis eosinofilik), kelainan vaskular (seperti vaskulitis sistemik, Henoch-


19

Scholein Purpura, sindrom hemolitik-uremik) dan kolitis Hisrchsprung serta

limfoma intestinal, serta keganasan (McQuaid, 2005).

J. PENATALAKSANAAN

Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya

lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan

adanya faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik

pada kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara

pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja

usus dan perubahan pola dietetic (Fauci, 2009).

Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi

pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama mengandung komponen 5-

acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun

topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat

imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat),

anti-TNF (infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi,

perdarahan masif, ileus karena stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan

intervensi surgikal (Djojodiningrat, 2006).

1. Terapi medikamentosa

Medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat

dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk

mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah

komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan

bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya

inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu:


20

Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis

dan dapat dicapai dengan terapi topical

Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura

lienalis dan memerlukan terapi sistemik.

Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang

mempunyai efek antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan

remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan. Berguna

untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal

pada kolon untuk menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik

menghambat sintesis prostaglandin. Temuan klinis pada colitis

ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis luas pada mukosa

kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena diberikan pada

pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis (Basson, 2015).

Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin.

Karena histamin terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast dan

nervus intramural pada traktus gastrointestinal, yang menstimulasi

sekresi asam lambung, beberapa cairan dan mucus, mempengaruhi

motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat dan respon

inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta

meningkatkan pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi

melalui reseptor H1, H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada

mukosa dan submukosa merupakan karakterisitik dari IBD kronik.

Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan

meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel, 2005).


21

2. Terapi bedah

Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah:

Megakolon toksik

Perdarahan yang masif/tidak terkontrol

Perforasi

Prolonged corticostreoid dependent

Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif

Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi

Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan

Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa

Striktur

Prosedur ini adalah abdominal colectomi yang dilakukan dengan membuat

anastomosis antara kantong (pouch) distal ileum dengan rektum distal (cuff).

Biasanya diverting ileostomy dilakukan juga untuk memungkinkan pouch dan

anastomosis menyembuh dalam beberapa bulan. Operasi ini disebut ileoanal

pullthrough atau ileal pouch-anal anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini

dilakukan dengan rectal mucosectomy dimana anastomosis dari ileal pouch ke

rectum distal mendekati bagian atas linea dentate (1-4 cm). anastomosis ileal

pouch distal rectum ini lebih mudah dikerjakan terkadang tanpa harus dilakukan

lagi diverting ileostomy (McQuaid, 2005).


22

K. KOMPLIKASI

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus

yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik

(terutama pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna.

Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat,

2006).

L. PROGNOSIS

Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi.

Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3

bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi

dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding

10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit

lebih ekstensif dikemudian hari (Damajanti, 2005).

Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal

meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma

adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis

(pankolitis > left-sided colitis > proktitis) (Damajanti, 2005).


23

Daftar Pustaka
Arisetine, Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek
Etiologi, Klinik dan Patogenesa.
Basson, M. D. 2015. Ulcerative Colitis.
http://emedicine.medscape.com/article/183084-overview.
Damajanti V, dkk.2005. Inflammatory Bowel Diseease,colitis Ulseratif
dan Penyakit Crohn. Jakarta : Pusat informasi dan penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis
dan Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi ke-
IV. Hal. 384-388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Edy, M. F. 2013. Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan
IBD. CDK-203/Vol. 40 no 4.
Fauci, Anthony S., et all. 2009. Inflammatory Bowel Disease. Harrisons
Manual of Medicine 17th Edition. Hal. 836-840. United States of America :
Mc.Graw Hill.
Fogel, W.A., et all. 2005. The Role of Histamine in Experimental
Ulcerative Colitis in Rats. Inflammation Research Volume 54.
Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan
Penyakit Chron). Dalam : Asdie AH,editor. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 4 Edisi 13. Jakarta :EGC.
McQuaid, K. R. 2005. Alimentary Tract in Current Medical Diagnosis &
Treatment, 44th ed. Mc Graw-Hill companies.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Priyanto, A, Sri L. 2009. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta : Penerbit
Salemba Medika.
Silvio Danese, M. D., and Claudio Fiocchi, M.D. N Engl J Med 2011;
365:1713-1725 DOI: 10.1056/NEJMra1102942.

Anda mungkin juga menyukai