Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit peradangan
menahun pada usus yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan
melibatkan reaksi sistem imun tubuh terhadap saluran pencernaan.
Inflammatory bowel disease terdiri atas dua tipe, yaitu kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn. Sesuai dengan namanya, kolitis ulseratif hanya mengenai
kolon sedangkan penyakit Crohn dapat mengenai semua segmen saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus.
Penyakit Crohn adalah peradangan menahun pada dinding usus.
Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi
pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat
terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai
anus, dan bahkan kulit sekitar anus.
Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus
besar mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah,
kram perut dan demam. Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak
selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai
usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung
bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus
besar.
B. Epidemologi
Insiden inflammatory bowel disease dianggap tinggi di negara maju dan
rendah di negara berkembang. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang
yang berkulit putih. Rasio terjadinya penyakit ini pada laki-laki dan perempuan
hampir sama. Penyakit ini lebih umum ditemukan pada orang dewasa muda
hingga umur tiga puluhan.

1
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Inflamatory Bowel Disease
2. Untuk mengetahui etiologi dari Inflamatory Bowel Disease
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Inflamatory Bowel Disease
4. Untuk mengetahui Patogenesis dari Inflamatory Bowel Disease
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari Inflamatory Bowel Disease
6. Untuk mengetahui diagnosis dari Inflamatory Bowel Disease
7. Untuk mengetahui komplikasi dari Inflamatory Bowel Disease
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Inflamatory Bowel Disease
9. Untuk mengetahui pengobatan dari Inflamatory Bowel Disease
10. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada Inflamatory
Bowel Disease

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah sejenis penyakit idiopatik,
disebabkan oleh imunasi badan terhadap usus sendiri.Inflamasi ini adalah
kronic dan dihasilkan daripada ketidaksesuaian dan keaktifan imunasi mucosa
yang berpanjangan disebabkan oleh kehadiran flora lumen yang biasa.
Inflammatory bowel disease terdiri atas dua tipe, yaitu kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn. Sesuai dengan namanya, kolitis ulseratif hanya mengenai
kolon sedangkan penyakit Crohn dapat mengenai semua segmen saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus.
Penyakit Crohn adalah peradangan menahun pada dinding usus.
Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi
pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat
terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai
anus, dan bahkan kulit sekitar anus.
Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus
besar mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah,
kram perut dan demam. Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak
selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai
usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung
bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus
besar.

B. Etiologi
Usus merupakan bagian tubuh yang selalu berhubungan dengan
lingkungan pencernaan yang berbahaya. Hal-hal yang bisa membahayakan
usus, yaitu pH yang ekstrim, trauma mekanik, infeksi bakteri dan virus
pathogen serta toksin. Penyebab inflammatory bowel disease belum diketahui.
Penyakit ini mungkin terjadi akibat satu atau lebih faktor lingkungan yang

3
dipicu oleh predisposisi genetic. Penyakit Crohn pada ileum teminalis
dihubungkan secara genetic dengan mutasi gen NOD2, yang mungkin
merupakan reseptor intraseluler terhadap komponen dinding sel bakteri,
diperlihatkan pada monosit dan sel Paneth.
C. Patogenesis
Patogenesis terjadinya inflammatory bowel disease masih diteliti. Akibat
akhir yang umum terjadi adalah inflamasi mukosa, yang menyebabkan ulserasi,
edema, perdarahan, serta kehilangan cairan dan elektrolit. Penelitian terbaru
yang dilakukan menemukan bahwa pada kromosom 16 (gen IBD1) yang
memastikan identifikasi gen NOD2 (sekarang disebut CARD 15) sebagai gen
pertama yang benar-benar berhubungan dengan IBD (sebagai gen yang rentan
pada penyakit Crohn). Penelitian ini juga memberikan perhatian besar dengan
gen yang rentan terhadap IBD pada kromosom 5 (5q31) dan 6 (6p21 dan 19p).
NOD2 atau CARD 15 merupakan gen polimorfik yang berperan pada system
imun bawaan. Gen ini memiliki lebih dari 60 variasi. Tiga dari variasi gen
tersebut berperan pada 27 % penderita penyakit Crohn, terutama pada penyakit
ileum.

D. Manifestasi Klinis
1. Kolitis ulseratif
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare
hebat, demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut).
Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi
adalah serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki
keinginan untuk buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut
bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas
pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan
kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum
keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah
putih. Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul.
Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita

4
buang air besar sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami
kram perut yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai
keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala
ini tidak berkurang. Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan
lendir. Yang paling sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya
berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun
dan berat badannya berkurang.
2. Penyakit Crohn
Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun,
nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat
badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada
perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan. Komplikasi yang sering
terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran penghubung
yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa
menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. Fistula juga bisa
menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan
kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus halus
(perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika
mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. Setelah beberapa
tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat. Sekitar sepertiga
penderita penyakit Crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama
fistula dan lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit Crohn
dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti
batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan penumpukan amiloid
(amiloidosis).
Gejala-gejala penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda,
tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu :
 Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan
 Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang
dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan
muntah-muntah

5
 Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang
menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun
 Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi
nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa
dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan.

E. Patofisiologi
Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada
mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan,
kemudian hilangnya air dan elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang
telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediatormediator ini memiliki
peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini.
Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada
berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang
berbeda, kemudian menghasilkan efekefek autokrin, parakrin, dan
endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai
tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan
TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak
mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.

F. Diagnosis
1. Kolitis ulseratif
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil
pemeriksaan tinja. Pemeriksaan darah menunjukan adanya : anemia,
peningkatan jumlah sel darah putih, dan peningkatan laju endap
darah. Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) akan memperkuat
diagnosis dan memungkinkan dokter untuk secara langsung
mengamati beratnya peradangan. Bahkan selama masa bebas
gejalapun, usus jarang terlihat normal. Contoh jaringan yang
diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukan suatu
peradangan menahun. Rontgen perut bisa menunjukan berat dan

6
penyebaran penyakit. Barium enema dan kolonoskopi biasanya
tidak dikerjakan sebelum pengobatan dimulai, karena adanya resiko
perforasi (pembentukan lubang) jika dilakukan pada stadium aktif
penyakit. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran
penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker. Peradangan
usus besar memiliki banyak penyebab selain kolitis ulserativa.
Karena itu, dokter menentukan apakah peradangan disebabkan oleh
infeksi bakteri atau parasit. Contoh tinja yang diperoleh selama
pemeriksaan sigmoidoskopi diperiksa dibawah mikroskop dan
dibiakkan. Contoh darah dianalisa untuk menentukan apakah
terdapat infeksi parasit. Contoh jaringan diambil dari lapisan rektum
dan diperiksa dibawah mikroskop. Diperiksa apakah terdapat
penyakit menular seksual pada rektum (seperti gonore, virus herpes
atau infeksi klamidia), terutama pada pria homoseksual. Pada orang
tua dengan aterosklerosis, peradangan bisa disebabkan oleh aliran
darah yang buruk ke usus besar. Kanker usus besar jarang
menyebabkan demam atau keluarnya nanah dari rektum, namun
harus dipikirkan kanker sebagai kemungkinan penyebab diare
berdarah.
2. Penyakit Crohn
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang
terasa nyeri dan diare berulang, terutama pada penderita yang juga
memiliki peradangan pada sendi, mata dan kulit. Tidak ada
pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyakit Crohn, namun
pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya: anemia, peningkatan
abnormal dari jumlah sel darah putih, kadar albumin yang rendah,
dan tanda-tanda peradangan lainnya. Barium enema bisa
menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit Crohn pada usus
besar. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan
kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk
memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di

7
dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak
digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik awal.

G. Komplikasi
Inflammatory bowel disease dapat menyebabkan timbulnya gejala-
gejala di luar saluran pencernaan, seperti : peradangan sendi (artritis),
peradangan bagian putih mata (episkleritis), luka terbuka di mulut
(stomatitis aftosa), nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki
(eritema nodosum) dan luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma
gangrenosum). Jika Inflammatory bowel disease tidak menyebabkan
timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita masih bisa
mengalami : peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa),
peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis), peradangan di dalam mata
(uveitis) dan peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis
primer). Komplikasi penyakit ini, yaitu : perdarahan yang menimbulkan
anemia, kolitis toksik, dan kanker kolon.

H. Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk membantu mengurangi peradangan
dan meringankan gejalanya. Kram dan diare bisa diatasi dengan obat-obat
antikolinergik, difenoksilat, loperamide, opium yang dilarutkan dalam
alkohol dan codein. Obat-obat ini diberikan per-oral (melalui mulut) dan
sebaiknya diminum sebelum makan. Kortikosteroid (misalnya
prednisone), bisa menurunkan demam dan mengurangi diare,
menyembuhkan sakit perut dan memperbaiki nafsu makan dan
menimbulkan perasaan enak. Tetapi penggunaan kortikosteroid jangka
panjang memiliki efek samping yang serius. Biasanya dosis tinggi dipakai
untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian dosisnya
diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin.

8
I. Pengobatan
Langkah pertama dalam terapi pengobatan biasanya adalah
aminosalicylates. Beberapa keuntungan telah ditunjukkan untuk agen
tertentu baik untuk kolitis ulserativa maupun penyakit Crohn. Untuk
penyakit Crohn, metronidazole atau siprofloksasin kadang-kadang
digunakan, terutama untuk penyakit perianal atau peradangan massa.
Kebutuhan dosis mesalamine beberapa kali sehari baru-baru ini
dipertanyakan.
Sebuah studi oleh Sandborn dkk membandingkan efektivitas dan
keamanan Mesalamine 400 mg dengan dosis dua kali sehari untuk
pemeliharaan remisi. Saat 6 bulan terapi, 90,5% dari pasien yang
menerima dosis sekali sehari berhasil mempertahankan remisi klinis,
dibandingkan dengan 91,8% dari mereka yang menerima dosis dua kali
sehari. Saat 12 bulan terapi, kedua kelompok memiliki tingkat
perawatan klinis identik 85,4% (Molodecky. 2010).
Ketika IBD gagal merespon aminosalicylates, langkah kedua
adalah kortikosteroid. Kortikosteroid cenderung memberikan remisi
cepat gejala dan penurunan yang signifikan dalam peradangan tetapi
dibatasi oleh efek sampingnya, terutama untuk penggunaan jangka
panjang. Konsensus tentang pengobatan dengan kortikosteroid adalah
bahwa mereka harus di-tappering-off secepat mungkin. Kortikosteroid
tidak memiliki peran dalam mempertahankan remisi. Jika pasien
mengalami kesulitan mengurangi dosis kortikosteroid, IBD refrakter
terhadap terapi kortikosteroid, atau memiliki flare yang sering dan
memerlukan terapi kortikosteroid.
Langkah ketiga untuk pengobatan adalah salah satu agen
imunomodulator baik 6-MP atau azathioprine. Agen ini tidak
digunakan untuk flare akut karena waktu dari awal pengobatan untuk
terjadinya tindakan yang signifikan mungkin selama 2-3 bulan. Respon
untuk agen-agen ini mungkin tergantung dosis. Dilakukan pemantauan

9
jumlah sel darah untuk melindungi pasien dari toksisitas hematologi
yang terkait dengan agen ini.
Langkah ketiga alternatif yang tersedia adalah infliximab, yaitu
antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor (TNF)-alpha.
Pemberiannya secara intravena melalui infus. Obat ini umumnya
diberikan dalam 3 dosis selama 6 minggu, yaitu pada minggu 0, 2, dan
6, diikuti dengan regimen pemeliharaan. Pemberian obat setiap 8
minggu telah terbukti efektif untuk mempertahankan remisi. Infliximab
memiliki tingkat respon yang sangat baik untuk penyakit Crohn (>
80%) sedangkan laju respon untuk kolitis ulseratif telah berkurang
(sekitar 50%).
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui
prednisone, budesonide, dan infliximab untuk pengobatan penyakit
Crohn. Infliximab juga disetujui FDA untuk pengobatan kolitis
ulserativa. Imunomodulator thiopurine tunggal atau dengan kombinasi
obat lain memiliki efek yang tahan lama dan positif terhadap kualitas
hidup pasien IBD ( Bastida et al. 2010). Langkah terakhir untuk
pengobatan IBD melibatkan agen yang memiliki tingkat keberhasilan
yang kurang baik. Untuk penyakit Crohn, methotrexate 12,5-25
mg/minggu termasuk dalam kategori ini. Untuk kolitis ulseratif,
siklosporin A (biasanya dimulai secara intravena) dan patch nikotin
juga termasuk dalam kategori ini. Akhirnya, sejumlah uji klinis agen
biologis dan diet yang sedang dilakukan dapat menunjukkan
kemanjuran pada orang dengan IBD.
Beberapa pasien melaporkan gejala seperti diare, kejang/nyeri,
ketidaknyamanan epigastrium dan peradangan sehingga perlu obat-
obatan simptomatik untuk mengurangi gejala-gejala
tersebut. Pengobatan ini termasuk terapi dengan agen antidiare, agen
pengikat asam empedu, antispasmodik, dan penekan asam sesuai
kebutuhan. Obat-obat ini bukan tanpa komplikasi dan kehati-hatian
diperlukan. Indikasi absolut untuk pemberian besi intravena mencakup

10
anemia berat, intoleransi atau besi oral, penyakit usus berat, atau
penggunaan agen perangsang eritropoietik ( Muñoz. 2009).

11
J. ASUHAN KEPERAWATAN

Tn. S datang ke RS dengan keluhan nyeri di perut kuadran kanan bawah disertai diare sudah selama 4 hari . turgor kulit tampak
menurun Dari hasil pengkajian didapatkan bahwa skala nyeri disertai kram 7, terkadang BAB disertai lendir. Pasien terlihat lemah,
lemas pucat disertai anoreksia mual dan muntah . Dari pengkajian pula didapatkan TTV dengan TD : 130/80, RR : 24x/menit, S :
38,5 C, N : 98x/mnt.

No. Analisa Data Dx. Keperawatan NOC (Outcomes) NIC (Intervensi)


1 DS : Domain 12 : kenyamanan - Domain 4 : pengetahuan - Domain 1 : fisiologis :
P : nyeri diperut Kelas 1 : kenyamanan kesehatan & perilaku dasar
Q: seperti kram fisik - Kelas Q : perilaku kesehatan - Kelas E : promosi
R: perut di kuadran 00133 : nyeri kronik - 1605 : kontrol nyeri kenyamanan fisik
kanan bawah - 1400 : manajemen nyeri
S:7 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Aktivitas :
T: selama 1 jam.  Lakukan pengkajian nyeri
Kriteria hasil yang diharapkan : secara komprehensif
DO: pasien tampak  160502 : mampu mengenali awal termasuk lokasi,
lemah dan lemas dan rasa sakit (2-4) karakteristik, durasi,
pucat  160511 : melaporkan bahwa nyeri frekuensi, kualitas, dan

12
berkurang (2-4) faktor presitipasi
 Observasi reaksi non verbal
dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
 Kaji kultur yang
mempengaruhi respon
nyeri
 Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau
 Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan lain
tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
2 DS : Pasien mengeluh Domain 2 : Nutrition Domain II : Physiologic Health Domain II : Physiological
diare selama 4hari Class G : Fluid & Electrolytes Complex
0602 - Hydration Class G: Electrolyte And Acited-

13
Class 5 : Hydration Setelah dilakukan tindakan selama lebih Base Management
DO : 00027 : Kekurangan dari 15 menit. 2080 - Fluid Management
- turgor kulit menurun volume cairan  060201 : Turgor kulit (2-3) Aktivitas :
- pasien terlihat lemah  060215 : Pengeluaran urin (2-3)  Pantau status cairan
dan lemas , pucat  060218 : Masukan cairan (2-3) (membrane mulut)
 Pantau monitor berat badan
harian
 Pantau tanda-tanda vital harian
Pantau status nutrisi
3 DS : pasien mengeluh - Domain 2 : Nutrition Domain 2 : Physiologic Health Domain 1 : Physiologic basic
anoreksia , mual, muntah - Class : Ingestion Class K : Digestion nutrition Class D : Nutrition support
00002 : Imbalanced 1004 - Nutrition status 1100 – Nutrition Managrment
Nutrition: Less Than Setelah dilakukan tindaan keperawatan Aktifitas :
Gody Reguirements selama 31-45 menit, kriteria hasil yang  tentukan status gizi pasien dan
DO: pasien terlihat diharapkan : kemampuan untuk memenuhi
lemah, lemas  100401 : Nutritien intake (2-4) kebutuhan gizi
 100402 : Food intake (2-4)  instrusikan pasien tentang
 100408 : Flud intake kebutuhan gizi
 100405 : Weight/height ratio  Tentukan jumlah nutrisi dan

14
kalori yang di butuhkan untuk
memenuhi persaratan gizi

15
BAB III
JURNAL

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan perubahan dari asam
lemak rantai pendek (SCFAs) dalam tinja penyakit inflamasi usus (IBD)
pasien dibandingkan dengan subyek sehat. SCFAs seperti piruvat, laktat,
asam format, asetat, propionat, isobutryc dan asam butirat dianalisis
dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Studi ini
menunjukkan bahwa tingkat asetat, 162,0 umol / g feses basah, butirat,
86,9 umol / g feses basah, dan asam propionat, 65,6 umol / g feses basah,
penurunan sangat dalam sampel feses IBD bila dibandingkan dengan yang
dari individu yang sehat, 209,7, 176,0, dan 93,3 umol / g feses basah
masing-masing. Sebaliknya, asam laktat dan piruvat menunjukkan tingkat
yang lebih tinggi dalam sampel feses dari IBD dari pada subyek sehat.
Dalam konteks tingkat asam butirat, studi ini juga menemukan bahwa
rasio molar asam butirat lebih tinggi dari asam propionat di kedua sampel
feses. Hal ini mungkin disebabkan karena asupan tinggi pati dari beras
antara penduduk Malaysia. Disimpulkan bahwa tingkat SCFAs berbeda
sangat antara sampel feses pada subyek sehat dan pada pasien IBD
memberikan bukti bahwa SCFAs lebih mungkin memainkan peran penting
dalam patogenesis IBD.

PENGANTAR

asam lemak rantai pendek (SCFAs), adalah asam karboksilat dengan 1


sampai 6 atom karbon yang mencakup kelompok fungsional lainnya yang
berbeda, seperti hidroksil atau dicarboxyl. Pada manusia, SCFAs timbul
dari fermentasi bakteri dari karbohidrat, protein, peptida dan glikoprotein

16
prekursor [1, 2].SCFAs seperti asetat, asam propionat dan butirat terutama
terbentuk selama fermentasi mikroba karbohidrat dalam usus [3, 4]. Peran
paling penting dari SCFAs dalam fisiologi kolon adalah efek trofik mereka
pada epitel usus. Misalnya, Sakata melaporkan bahwa kehadiran SCFAs di
usus tikus menstimulasi proliferasi mukosa [5]. Pada manusia, produksi
SCFAs dari inulin tipe fruktan dapat meningkatkan aktivitas metabolik,
menunjuk ke efek trofik untuk colonocytes [6].

Sekitar 80-90% dari SCFAs, yang dihasilkan dari pemecahan makanan


diet, diserap di usus sedangkan sisanya diekskresikan dalam tinja
[7]. SCFAs konten dalam tinja dapat digunakan sebagai biomarker untuk
proses fisiologis dalam organisme serta untuk efek intervensi gizi
[1]. Tingkat kandungan SCFA dalam sampel feses telah terbukti
berhubungan dengan beberapa penyakit seperti radang usus, sindrom
iritasi usus (IBS), penyakit kardiovaskular (CVD), diare [8], dan kanker
[9]. Misalnya, menurunnya tingkat asam butirat dalam colonocytes telah
disarankan untuk berkontribusi asal-usul kolitis ulserativa (UC) [10]. Ia
juga melaporkan bahwa peningkatan asam laktat dapat memodulasi diare
di UC [11]. Selain itu, SCFAs feses, asam asetat dan propionat, pada
pasien dengan IBS diare-dominan yang ditemukan dari tingkat yang lebih
rendah dari pada orang sehat [12, 13].

Oleh karena itu, telah ada peningkatan bukti bahwa mayoritas SCFAs
memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan mukosa
kolon. Namun, butirat, asetat, dan asam propionat terutama telah
ditekankan.Secara khusus, asam butirat ditujukan untuk menjadi lebih
bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan kolon dan lebih efektif untuk
merangsang proliferasi sel mukosa usus dari asam asetat dan propionat
[5].asam butirat juga merupakan substrat energi utama untuk colonocytes
[14] dan telah diusulkan untuk memainkan peran penting dalam
pencegahan dan pengobatan distal UC [10], penyakit Crohn (CD) [15],

17
dan kanker [16] . Selain itu, asam butirat tampaknya menginduksi
diferensiasi sel tumor [17]. Beberapa metode yang digunakan untuk
menganalisis SCFAs feses pada tikus dan sampel manusia.Misalnya,
metode cepat dan handal kromatografi gas (GC) telah dikembangkan dan
divalidasi oleh Zhao et al. untuk menentukan delapan SCFAs, dalam
sampel kolon dan feses tikus dan manusia [18]. Selain itu, metode seperti
ultrafiltrasi vakum diikuti oleh GC, kromatografi ion (IC) [19], dan IC
dengan ekstraksi fase padat [20] digunakan untuk penentuan SCFAs dalam
sampel feses. Selanjutnya, Scheppach et al. SCFAs diukur dengan
kromatografi gas-cair menggunakan kolom kapiler setelah memurnikan
sampel feses dengan transfer vakum asam dan konsentrasi dengan basa
beku-kering [21]. Selain GC, kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) juga
telah diterapkan pada analisis SCFAs feses pada manusia [22, 23] dan
tikus [24]. HPLC nyaman untuk kuantifikasi SCFAs, dan kurang
memakan waktu [25]. Selain itu, tidak memerlukan langkah-langkah pre-
pemurnian bila dibandingkan dengan GC [26].

Di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia, IBD telah tidak sangat umum


tetapi kejadian penyakit baru-baru ini meningkat. Berdasarkan dua jenis
IBD, UC telah ditemukan lebih umum daripada CD [27]. Sampai saat ini,
data kasus IBD di Asia Tenggara masih langka di bahwa sangat sedikit
penelitian, jika ada, dilakukan pada isi dan peran SCFAs di kotoran sehat
dan IBD mata pelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat SCFAs feses (piruvat, laktat, asetat, format, propionat,
butirat dan asam isobutirat) pada pasien IBD dengan menggunakan
metode HPLC. Tingkat masing-masing feses SCFA dibandingkan dengan
sampel rekan dari individu yang sehat.

BAHAN DAN METODOLOGI Kimia dan Reagen


asam format, 98-100%, dan asam asetat, 100%, diperoleh dari Merck
(Merck, KGaA, Darmstadt, Jerman), asam piruvat, 99%, dan asam

18
propionat, 99%, diperoleh dari Merck (Merck, DHG , Hohenbrunn,
Jerman), asam isobutirat, 99%, diperoleh dari Sigma (Sigma-Aldrich, St.
Louis, CA, USA), asam laktat, 100%, dan asam butirat, 99,5%, yang dibeli
dari Fluka (Cheniou, Gmblt, Jerman). Studi Kependudukan dan feses
Sampel sampel feses diperoleh dari 50 subyek sehat (laki-laki = 18,
perempuan = 32) dan 8 IBD (laki-laki = 6, perempuan = 2) mata pelajaran
dari Maret 2007 sampai Desember 2008 di Selangor, Malaysia. Usia
pasien yang diteliti berkisar 34-68 tahun dan usia untuk mata pelajaran
yang sehat berkisar 22-55 tahun.Enam pasien IBD berada di fase remisi
kecuali untuk 2 UC berada di fase aktif; Namun demikian, semua pasien
yang terlibat tidak menunjukkan gejala diare dalam waktu 2 minggu
sebelum waktu sampling.Status gizi pasien yang terlibat adalah dalam
rata-rata dan pasien tidak mengubah kebiasaan gizi mereka selama
sampling. Sampel IBD dikumpulkan dari pasien yang telah didiagnosis
sebagai CD (n = 2) dan UC (n = 6). Diagnosis IBD dikonfirmasi dalam
semua kasus oleh colonoscopy dan histologi. Gejala utama pasien IBD
terlibat dalam bulan lalu adalah: untuk UC, mencret (1 pasien), kelas
rendah lebih sedikit (2 pasien), diare ringan dengan noda darah (1 pasien),
nyeri perut (1 pasien), dan distensi abdomen (1 pasien), untuk CD, pasien
tidak memiliki gejala yang luar biasa. Selanjutnya, pasien IBD tidak
mengalami manifestasi ekstra-intestinal. Hal ini penting untuk
menyebutkan bahwa pasien IBD dan relawan sehat tidak menerima
antibiotik, probiotik, prebiotik dan satu bulan sebelum pengumpulan
sampel. Selain itu, pasien IBD tidak menerima Mesalazin 2 minggu
sebelum sampling.
Sampel feses dikumpulkan ke dalam wadah steril bersih. Mereka langsung
dibawa ke laboratorium dan terus beku di -20oC untuk analisis. Berurusan
dengan subyek manusia dilakukan dalam lingkup prinsip-prinsip etika
penelitian biomedis. Etika Komite Rumah Sakit Universitas Putra
Malaysia dan Serdang dan semua mata pelajaran yang terlibat
menandatangani persetujuan tertulis resmi. Persiapan Sampel untuk

19
Analisis The SCFAs sampel feses diekstraksi seperti yang dijelaskan oleh
Lee et al. Metode [28] dengan sedikit modifikasi. sampel feses berat 0,2 g
digunakan dan diencerkan dengan perbandingan 1: 4 sampai 1: 8 (w / v)
dalam air suling steril. Sampel kemudian vortex selama 1 menit dan
homogenat disentrifugasi pada 10.000 g selama 10 menit. Supernatan
SCFA mengandung disaring melalui membran selulosa asetat dengan
ukuran pori 0,2 um (GyroDisc CA; Oranye Ilmiah) dan disimpan di suhu
20oC sampai analisis HPLC. Penentuan Asam Organik
SCFAs analisis dilakukan dengan menggunakan HPLC. Secara singkat, 40
ml ekstraksi sampel feses yang disuntikkan langsung ke HPLC System
(Shimadzu LC-10AD Liquid Chromatography) dengan Shimadzu SPD-6A
detektor UV-VIS (Shimadzu, Kyoto, Jepang). SCFA dalam sampel feses
dipisahkan menggunakan resin pertukaran ion, kolom Aminex HPX-87H,
(Aminex HPX-87H, 300 x 7,8 mm, Bio-Rad Laboratories, Richmond,
USA) di 65oC. Senyawa Target terdeteksi menggunakan detektor UV
diatur pada panjang gelombang 210 nm. Disaring 0,01 N H2SO4, melalui
0,45 pM membran nilon, digunakan sebagai fase gerak pada laju alir 0,6
ml/menit.Persiapan Kalibrasi Standar Curve Kuantifikasi SCFAs dalam
sampel feses dilakukan dengan menggunakan kalibrasi eksternal metode
kurva standar. Tujuh standar kalibrasi dibuat pada enam tingkat
konsentrasi mulai dari 0.005M untuk 0.03M untuk asam piruvat, 0,01 M
untuk 0.06M untuk asam format dan asam asetat, dan 0.02M untuk 0.12M
untuk asam laktat, asam propionat, asam butirat isobutryc dan AC
id. Sampel referensi disuntik berulang kali untuk sembilan kali untuk
mengukur waktu retensi. Kurva kalibrasi dibangun dengan memplot area
puncak relatif versus molaritas larutan. konsentrasi feses SCFA dinyatakan
sebagai mean umol per gram tinja berat basah menggunakan persamaan
berikut seperti yang dijelaskan oleh Hoshi et al. [29] dengan modifikasi.

20
Feses SCFA (umol / g) = [asam organik dalam isi feses (mmol / ml) X Vd
(ml) X 1000] / tinja berat basah (g)
Sedangkan: Vd = Total Volume dari Dilusi
Analisis statistik .
Analisis data dilakukan dengan menggunakan MINITAB versi 14
(Minitab Inc., PA, USA). Normalitas data diperiksa menggunakan uji
Anderson Darling sebelum analisis statistik dilakukan. Perbedaan antara
sarana konsentrasi SCFA antara kelompok yang sehat dan IBD dianalisis
dengan menggunakan t-test berpasangan Student. Sarana dianggap
signifikan secara statistik pada P <0,05. Data itu diungkapkan dalam mean
± SEM (umol / g feses basah).
HASIL
Validasi Retensi Waktu untuk Metode Analytical
Standar acuan dalam konsentrasi yang berbeda dianalisis pada tiga hari
yang berbeda untuk menunjukkan waktu retensi. Karena standar eksternal
digunakan untuk kalibrasi, metode ini membutuhkan teknik analisis yang
tepat dan membutuhkan bahwa sensitivitas detektor harus konstan dari
hari ke hari jika kurva kalibrasi adalah untuk tetap berlaku [30]. Sampel
disuntikkan sembilan kali dalam konsentrasi yang berbeda dan rata-rata
waktu retensi (Rt) digunakan. Dari analisis tersebut, Rt untuk piruvat,
laktat, asam format, asetat, propionat, isobutryc dan asam butirat adalah
9,28, 12,07, 13,38, 14,60, 17,28, 19,49, dan 21,82 menit masing-masing.
Rantai pendek Asam Lemak di Sampel feses

Konsentrasi rata-rata SCFA dalam sampel feses yang sehat dan IBD mata
pelajaran ditunjukkan pada Tabel 11. Dari tabel, hasil menunjukkan bahwa
konsentrasi rata-rata butirat dan asam propionat, 86,9 dan 65,6 umol / g
feses basah, masing-masing dalam sampel feses IBD lebih rendah dari
pada subyek sehat, 176,0 dan 93,3 umol / g feses basah masing-masing (P
<0,05 ). asam asetat juga lebih rendah pada sampel feses pasien IBD

21
daripada subyek sehat tetapi perbedaannya tidak begitu signifikan (p =
0,16).
Tabel 1
Tabel 1
SCFA di feses Sampel dari IBD Pasien dan Subyek Sehat

Konsentrasi feses asam format, isobutirat, laktat dan asam piruvat juga
ditentukan dan dibandingkan antara kelompok yang sehat dan IBD. Asam
format hanya terdeteksi di lima mata pelajaran yang sehat dan asam
isobutirat hanya terdeteksi di dua sampel dari kelompok yang sehat
sementara tidak ada deteksi asam formiat dan isobutirat ditemukan dalam
sampel feses pasien IBD. Sebaliknya, konsentrasi feses dari laktat dan
piruvat asam lebih rendah pada subyek sehat, 24,5 umol / g dan 0,5 umol /
g masing-masing, dibandingkan pada pasien IBD, 73,5 umol / g dan 2,1
umol / g masing-masing, tetapi perbedaan ini tidak signifikan (P> 0,05).
Rasio molar Main SCFA di Sampel feses
Belum ada laporan tentang rasio molar SCFAs utama dalam sampel feses
dalam mata pelajaran Malaysia.Oleh karena itu, rasio molar asetat,
propionat dan butirat asam dihitung. Dari penelitian ini, rasio molar asetat:
propionat: asam butirat pada sampel feses dari subyek sehat yang 45:20:38
dan dalam sampel feses dari IBD adalah 49:20:27. Temuan ini
menunjukkan bahwa rasio molar asam butirat dan propionat adalah 1,5
dan 1,35 di sehat dan IBD mata pelajaran, masing-masing.

DISKUSI
Dalam studi ini, itu menunjukkan butirat itu dan asam propionat
mengalami penurunan secara signifikan dalam mata pelajaran
IBD. Temuan ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Takaishi et al. [22]
yang mengungkapkan bahwa konsentrasi butirat dan asam propionat yang
menurun secara signifikan pada pasien IBD daripada kelompok kontrol
yang sehat. Selain itu, Vernia et al. [11] dan Hallert et al. [31] melaporkan

22
setara tren penurunan asam butirat pada pasien UC. Namun, penelitian lain
melaporkan bahwa meskipun ada tingkat asam butirat menurun pada aktif
UC, perbedaannya tidak signifikan antara sehat dan pasien kelompok
[32]. Tingkat penurunan asam butirat bisa disebabkan asumsi bahwa
distribusi perubahan mikrobiota usus pada pasien IBD [22]. Selain itu,
dilaporkan bahwa proporsi feses asam butirat pada pasien dengan UC
meningkat setelah mengkonsumsi oat bran [3]. Hal itu dinyatakan bahwa
peningkatan kadar asam butirat mungkin memiliki keuntungan untuk
memainkan peran dalam pencegahan UC [10]. Selain itu, ia menyarankan
bahwa ketika asam butirat rendah pada pasien UC, risiko meningkat
kanker usus besar [33]. Di sisi lain, asam propionat meningkat telah
terbukti berhubungan dengan penurunan kolesterol serum dalam darah
[34].

Membandingkan konsentrasi asam asetat antara sampel feses yang sehat


dan IBD, Takaishi et al. juga melaporkan bahwa asam asetat dalam tinja
IBD tidak secara signifikan lebih rendah dari pada kontrol yang sehat dan
mereka menemukan bahwa konsentrasi asam asetat dalam CD lebih
rendah daripada di UC [22]. Laporan ini konsisten dengan yang dilaporkan
oleh Stein et al. [35] bahwa jumlah asam asetat dalam sampel feses dari
CD lebih rendah (135,9 umol / g feses kering, n = 8) dari pada subyek
sehat (161,9 umol / g feses kering, n = 10). Selanjutnya, Nilsson et
al. melaporkan bahwa tingkat rata-rata asam asetat pada subyek sehat (n =
20) sebelum memberikan diet oat bran adalah 54,2 umol / g feses basah
mulai dari 19,5 umol / g untuk 126,2 umol / g feses [36]. Mereka
menunjukkan bahwa, setelah 8 minggu memberikan oat bran, tingkat rata-
rata asam asetat meningkat 77,2 umol / g feses basah mulai 22,9-125,6
umol / g feses (P <0,001). Dan penyerapan asam asetat di usus besar telah
terbukti meningkatkan sintesis kolesterol.Namun, penambahan propionat
untuk asetat mengakibatkan tidak ada kenaikan signifikan dalam kolesterol
[37]. Temuan ini didukung oleh Wong et al. [38] bahwa asetat: rasio

23
propionat dapat mengurangi lipid serum dan mungkin mengurangi risiko
penyakit kardiovaskular.
Sehubungan dengan asam laktat, penelitian ini menghasilkan hasil yang
mirip dengan laporan sebelumnya yang menyatakan bahwa konsentrasi
asam laktat yang lebih tinggi ditemukan pada kedua feses UC dan CD
sampel dari pada subyek sehat [8]. Konsentrasi tinggi dari asam laktat
dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari peradangan diare dan
mukosa [2]. Sebelumnya, sebuah studi melaporkan bahwa laktat feses
meningkat pada pasien dengan acidorrhea [39]. Pentingnya konsentrasi
asam laktat yang rendah dalam sampel feses dari subyek sehat masih
belum diketahui. Namun, asam laktat dapat lebih dimetabolisme oleh
Propionibacteria untuk asam propionat dan asam asetat [40]. asam butirat
dapat juga dihasilkan dari asam laktat melalui jalur asetil-CoA [41].

Dalam studi ini, asam format feses hanya terdeteksi di lima mata pelajaran
yang sehat. Kuantifikasi asam format dalam sampel feses selalu tidak
memuaskan dan sering pada tingkat yang sangat rendah atau tidak
terdeteksi [42]. Ini mungkin dikaitkan dengan fakta bahwa asam format
telah diyakini dibentuk oleh mikroorganisme di usus besar hanya pada
tahap awal fermentasi makanan [43]. Selanjutnya, asam format adalah
produk setengah jadi, bukan produk akhir, fermentasi bakteri dan
dikonversi mudah untuk CO2 dan air [44]. Selanjutnya, asam format
mungkin dimetabolisme oleh enzim bakteri selama inkubasi pada 50 °
C.Selain itu, hal ini sangat stabil dan kerugian tidak dapat dihindari selama
persiapan sampel. Untuk alasan ini asam format dalam tinja jarang
terdeteksi[42].
Takaishi et al. [22] dan Vernia et al. [8] menunjukkan bahwa asam piruvat
dan suksinat dalam feses IBD lebih tinggi dari pada subyek sehat dan
mereka menemukan bahwa konsentrasi asam piruvat pada pasien dengan
UC secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada pasien dengan
CD. temuan mereka mirip dengan penelitian ini bahwa asam piruvat lebih

24
tinggi pada feses IBD dibandingkan dengan kelompok sehat. Namun,
kenaikan ini tidak berbeda secara signifikan.

SCFAs lain seperti iso-butirat, n-valerat, iso-valerat dan asam n-kaproat


disajikan dalam jumlah kecil dalam usus besar manusia. Demikian pula,
dilaporkan bahwa semua SCFAs ini terlalu rendah untuk dideteksi
[45]. asam lemak rantai bercabang (BCFA), iso-butirat dan iso-valerat
asam terutama dihasilkan dari katabolisme protein terutama dari bercabang
amino asam fermentasi [46]. Peningkatan BCFA cenderung diamati hanya
ketika karbohidrat dibatasi [47].
Kira-kira, SCFAs ini merupakan 90 sampai 95% dari total asam
lemak. Dari SCFAs, produk utama adalah asetat, asam propionat, dan
butirat yang biasanya ditemukan dalam proporsi sekitar 60:20:20 (asetat:
propionat: butirat) [1, 38]. Namun, rasio ini sangat jarang untuk mencapai
dalam praktek. Pola-pola rasio molar SCFA awere ttributed ke spesies
bakteri ini. Selain itu, juga dipengaruhi oleh komposisi diet dan jenis
karbohidrat dicerna [3]. Selain itu, rasio molar butirat dan asam propionat
adalah 1,5 dan 1,35 di sehat dan IBD mata pelajaran yang mungkin
disebabkan karena asupan tinggi pati dari beras antara orang-orang
Malaysia.
Mungkin mekanisme anti-inflamasi SCFAs, yaitu propionat, butirat, dan
asam asetat, masih belum diklarifikasi secara memadai. Namun, penelitian
terbaru menunjukkan bahwa asam propionat dan butirat yang equipotent,
sedangkan asam asetat kurang efektif, untuk menekan NF-kappaB
aktivitas reporter, ekspresi gen yang terkait peradangan-dan pelepasan
sitokin in vitro. Oleh karena itu, temuan ini menunjukkan bahwa asam
propionat dan asetat, selain asam butirat, dapat berguna dalam pengobatan
gangguan inflamasi, termasuk IBD [48]. Selain itu, itu menunjukkan
bahwa asam butirat menekan aktivasi faktor-kappaB nuklir melalui
reseptor GPR109A di lini sel usus normal dan kanker serta dalam usus
tikus normal. Studi ini menunjukkan bahwa GPR109A menengahi efek

25
tumor-penekanan dari produk fermentasi bakteri, asam butirat dalam usus
[49]. Selain itu, itu menegaskan bahwa SCFA, nukleotida adenin, dan
fosfolipid dapat memodulasi mekanisme perbaikan epitel usus. Mengingat
bahwa kerusakan dan cedera dari permukaan usus berulang adalah fitur
kunci dari berbagai gangguan usus termasuk penyakit radang usus, SCFA
sangat penting untuk perbaikan konstan epitel usus [50].

KESIMPULAN
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat SCFAs mungkin
memainkan peran penting dalam patofisiologi dan / atau perkembangan
IBD. Studi saat ini menunjukkan bahwa tingkat SCFAs berbeda sangat
antara sampel feses dari subyek sehat dan pasien tersebut
IBD. Dibandingkan dengan subyek sehat, asetat, butirat dan asam
propionat menurun drastis dalam sampel feses dari IBD serta asam format
dan isobutirat tidak terdeteksi dalam sampel feses dari IBD sementara
tingkat asam asetat dan piruvat meningkat pada feses pasien IBD. Dalam
penelitian ini, rasio molar asam butirat juga menunjukkan proporsi yang
lebih tinggi dari asam propionat dalam sampel feses dan mungkin
disebabkan karena asupan tinggi pati dari beras antara Malaysia. Namun,
studi masa depan membutuhkan ukuran sampel yang lebih besar untuk
menentukan lebih tepatnya distribusi SCFAs antara pasien IBD di wilayah
Asia Tenggara. Hubungan antara konsumsi beras dan pengurangan
kejadian IBD juga perlu ditentukan sejak kejadian IBD di wilayah Asia
Tenggara masih tidak sangat umum.

26
REFERENCES
1. Garcia A, Olmo B, Lopez-Gonzalvez A, Cornejo L, Rupérez FJ, Barbas C.
Capillary electrophoresis for short chain organic acids in faeces. References
values in a Mediterranean elderly population. J. Pharmaceut. Biomed. Anal.
2008;46:356–361. [PubMed]
2. Cummings JH, Macfarlane GT, Englyst HN. Prebiotic digestion and
fermentation. Am. J. Clinic. Nutr. 2001;73:415S–420S. [PubMed]
3. Henningsson AM, Björck IM, Nyman EM. Combinations of indigestible
carbohydrates affect short-chain fatty acid formation in the hindgut of rats. J.
Nutr. 2002;132:3098–3104. [PubMed]
4. Cummings JH. The Large Intestine in Nutrition and Disease. 2nd. Bruxelles:
Institut Danone; 2001.
5. Sakata T. Stimulatory effect of short-chain fatty acids on epithelial cell
profeliration in the rat intestine: a possible explanation for trophic effects of
fermentable fibre, gut microbes and luminal trophic factors. Br. J. Nutr.
1987;58:95–103. [PubMed]
6. Sauer J, Richter KK, Pool-Zobel BL. Products formed during fermentation of
the prebiotic inulin with humangut flora enhance expression of biotranformation
genes in human primary colon cells. Br. J. Nutr. 2007;97:928–937. [PubMed]
7. Ruppin H, Bar-Meir S, Soergel KH, Wood CM, Schmitt MG Jr. Absorption of
short-chain fatty acids by the colon. Gastroenterology. 1980;78:1500–1507.
[PubMed]
8. Venter CS, Vorster HH, Cummings JH. Effects of dietary propionate on
carbohydrate and lipid metabolism in healthy volunteers. Am. J. Gastroenterol.
1990;85:549–553. [PubMed]
9. Floch MH, Hong-Curtiss J. Probiotics and functional foods in gastrointestinal
disorders. Curr. Treat. Options Gastroenterol. 2002;5:311–321. [PubMed]
10. Cummings JH. Short-chain fatty acid enemas in the treatment of distal
ulcerative colitis. Eur. J. Gastroenterol. Hepatol. 1997;9:149–153. [PubMed]

27
11. Vernia P, Gnaedinger A, Hauck W, Breuer RI. Organic anions and the
diarrhea of inflammatory bowel disease. Dig. Dis. Sci. 1988;33:1353–1358.
[PubMed]
12. Treem WR, Ahsan N, Kastoff G, Hyams J. Fecal short-chain fatty acids in
patients with diarrhea-predominant irritable Bowel syndrome: in vitro studies of
carbohydrate fermentation. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1996;23:342–374.
[PubMed]
13. Mortensen PB, Andersen JR, Arffmann S, Krag E. Short-chain fatty acids and
the irritable bowel syndrome: the effect of wheat bran. Scand. J. Gastroenterol.
1987;22:185–192. [PubMed]
14. Roediger WEW. Utilization of nutrients by isolated epithelial cells of the rat
colon. Gastroenterology. 1982;83:424–429. [PubMed]
15. Di Sabatino A, Morera R, Ciccocioppo R, Cazzola P, Gotti S, Tinozzi FP,
Tinozzi S, Corazza GR. Oral butyrate for mildly to moderately active Crohn's
disease. Aliment. Pharmacol. Ther. 2005;22:789–794. [PubMed]
16. Scheppach W, Bartram HP, Richter F. Role of short chain fatty acids I
prevention of colorectal cancer. Eur. J. Cancer. 1995;31:1077–1080. [PubMed]
17. Barnard JA, Warwick G. Butyrate rapidly induces growth inhibition and
differentiation in HT-29 cells. Cell Growth Differ. 1993;4:495–501. [PubMed]
18. Zhao G, Nyman M, and ÅkeJönsson J. Rapid determination of short-chain
fatty acids in colonic contents and faeces of humans and rats by acidified water-
extraction and direct-injection gas chromatography. Biomed. Chromatogr.
2005;20:674–682. [PubMed]
19. Chen HM, Lifschitz CH. Preparation of fecal samples for assay of volatile
fatty acids by gas-liquid chromatography and high-performance liquid
chromatography. Clin. Chem. 1989;35:74–76. [PubMed]
20. Horspool LJ, McKellar QA. Determination of short-chain fatty acids in equine
caecal liquor by ion exchange high performance liquid chromatography after solid
phase extraction. Biomed. Chromatogr. 1991;5:202–206. [PubMed]

28
21. Scheppach WM, Fabian CE, Kasper HW. Fecal short-chain fatty acid (SCFA)
analysis by capillary gas-liquid chromatograph. Am. J. Clin. Nutr. 1987;46:641–
646. [PubMed]
22. Takaishi H, Matsuki T, Nakazawa A, Takada T, Kado S, Asahara T, Kamada
N, Sakuraba A, Yajima T, Higuchi H, Inoue N, Ogata H, Iwao Y, Nomoto K,
Tanaka R, Hibi T. Imbalance in intestinal microflora constitution could be
involved in the pathogenesis of inflammatory bowel disease. Int. J. Med.
Microbiol. 2008;298:463–472. [PubMed]
23. Al-Tamimi MAHM, Palframan RJ, Cooper JM, Gibson GR, Rastall RA. In
vitro fermentation of sugar beet arabinan and arabinooligosaccharides by the
human gut microflora. J. Appl. Microbiol. 2006;100:407–414. [PubMed]
24. Morita T, Kasaoka S, Oh-hashi A, Ikai M, Numasaki Y, Kiriyama S. Resistant
proteins alter cecal short-chain fatty acid profiles in rats fed high amylase
cornstarch. J. Nutr. 1998;128:1156–1164. [PubMed]
25. Ewaschuk JB, Zello GA, Naylor JM, Brocks DR. Metabolic acidosis:
separation methods and biological relevance of organic acids and lactic acid
enantiomers. J. Chromatogr. B. 2002;781:39–56. [PubMed]
26. Jham GN, Fernandes SA, Garcia CF, Silva AA. Comparison of GC and HPLC
for the quantification of organic acids in coffee. Phytochem. Anal. 2002;13:99–
104. [PubMed]
27. Ouyang Q, Tandon R, Goh KL, Ooi CJ, Ogata H, Fiocchi C. The emergence
of inflammatory bowel disease in the Asian Pacific region. Curr. Opin.
Gastroenterol. 2005;21:408–413. [PubMed]
28. Lee JH, Lee SK, Park KH, Hwang IK, Ji GE. Fermentation of rice using
amylolytic Bifidobacterium. Int. J. Food Microbiol. 1999;50:155–161.
29. Hoshi S, Sakata T, Mikuni K, Hashimoto H, Kimura S. Galactosyl-sucrose
and xylosylfructoside alter digestive tract size and concentrations of cecal organic
acids in rats fed diets containing cholesterol and cholic acid. J. Nutr.
1994;124:52–60. [PubMed]
30. Rounds M.A, Nielsen S.S. In: Food Analysis. 2nd. Nielsen S.S, editor. New
York: Kluwer Academic/Plenum Publishers; 1999. p. 505.

29
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah sejenis penyakit idiopatik,
disebabkan oleh imunasi badan terhadap usus sendiri.Inflamasi ini adalah
kronic dan dihasilkan daripada ketidaksesuaian dan keaktifan imunasi mucosa
yang berpanjangan disebabkan oleh kehadiran flora lumen yang biasa.
Inflammatory bowel disease terdiri atas dua tipe, yaitu kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn. Sesuai dengan namanya, kolitis ulseratif hanya mengenai
kolon sedangkan penyakit Crohn dapat mengenai semua segmen saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus
b. Saran
 Untuk mahasiswa :
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan
manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan
dengan klien yang mengalami inflammatory bowel disease.
 Untuk kampus :
Agar lebih peka terhadap mahasiswa yang cukup bahkan amat banyak di
kampus StikesYatsi Tangerang, dan untuk sistem pembelajarannya coba
untuk mengeksplor lagi sumber – sumber buku yang ada di perpustakan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Rowe W. Inflammatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/. Diakses :


14 Juli 2016
2. Anonim. Penyakit Crohn. http://www.medicastore.com/. Diakses : 14 Juli 2016
3. Anonim. Kolitis Ulserativa. http://www.medicastore.com/. Diakses : 14 Juli
2016
4. Keshav S. The Gastrointestinal System at a Glance. London : Ashford Colour
Press. 2004

31
32

Anda mungkin juga menyukai