Pendahuluan1
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus
gastrointestinal , yaitu penyakit crohn dan kolitis ulserativa. Kedua kelainan tersebut
harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan.
Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam
dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata,
ginjal
hematokrit
dan
gangguan
tumbuh
kembang,
maka
klinisi
harus
fisik
tanda-tanda
dehidrasi,
status
nutrisi
dan
gejala
antineutrophil
cytoplasmic
antibody
(pANCA)
dan
antibodi
anti
Pemeriksaan Radiologi1,2
Pemeriksaan
radiologi
abdomen
posisi
tegak
dan
terlentang
untuk
mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan ileus,
obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema dapat menilai
karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada
penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan dilatasi
toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium enema
dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik
lesi, deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium
enema
dapat
pseudopoli,
menentukan
striktur
dan
adanya
spasme
pemendekan
pada
IBD.
vili,
hilangnya
Pemeriksaan
haustrae,
radiologi
traktus
gastrointestinal atas dengan follow through sampai dengan usus halus dapat
menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada penyakit crohn, ileum
terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses
inflamasi transmural. Pada kolitis ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis,
berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa
disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan lain dari usus halus
pada kolitis ulserativa.
Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double
contrast kolon penderita IBD adalah:
Gambaran
Gambaran
Gambaran
Gambaran
Gambaran
Gambaran
stove-pipe
rectal sparing
thumbprinting
skip lesion
string sign
collar button
pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko
perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon toksik.
Kelainan mukosa pada penyakit crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada
mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like
appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area).
Pada kolitis ulserativa, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema,
dan erosi mukosa serta pseudopolyp.
Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi.
Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada penyakit crohn dan
injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat membantu
untuk mencegah pembentukan struktur berulang.
Diagnosis Banding
Disentri Basiler (Shigellosis)3
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella
Epidemiologi3
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek,
kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik
infeksi Shigella merupakan 10 15 % penyebab diare pada anak. Sumber kuman
Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah
dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relative
sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi
penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri
biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S.flexnerii merupakan penyebab
infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan Amerika Serikat
prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di
negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyak.
Gejala Klinis3
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis
Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat
berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan
berlangsung lama gejalanya menyerupai colitis ulserosa. Pada fase awal pasien
mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang bisa
mencapai 40oC. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah
dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin
didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku
kuduk dan letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari
4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut
biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shifellosis yang intermiten.
Penatalaksanaan3
1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar
pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare
berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak
dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan
beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai
berat,diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di
daerahtersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:
Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau
Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau
Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah
banyak yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan
antibiotik lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada
pasien dengan gejala klinik yang berat. Pengobatan simtomatik, hindari obat yang
dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya karena dapat
mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat
simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetikantipiretik dan antikonvulasi.
Hematochezia4
5
Hematochezia adalah perdarahan yang keluar dari anus dengan warna merah
segar. Ditandai dengan keluarnya darah berwarna merah terang dari anus, dapat
berbentuk gumpalan atau telah bercampur dengan tinja. Umumnya disebabkan
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Hematochezia berbeda dengan melena,
dimana melena terdapat tinja yang bercampur darah berwarna hitam. Warna hitam
pada melena diakibatkan darah bercampur dengan asam lambung sehingga
menjadi warna kehitaman seper titer dan berbau khas.
Etiologi penyakit ini pada dewasa adalah hemoroid, diverticulosis, kanker
kolorektal, polip. Pada dewasa muda adalah inflamatory bowel disease (kolitis
ulserative, penyakit chron). Sedangkan pada bayi adalah necrotizing enterokolitis
dan intususepsi.
Gejala klinisnya antara lain anemia, pusing, pucat, nyeri perut. Pemeriksaan
penunjang yang dapat kita gunakan adalah colok dubur dan kolonoskopi.
Pengobatan yang dapat kita gunakan adalah antibiotika, antiinflamasi, laksatif,
tranfusi, operatif.
Diagnosis5
Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi.
Etiologi1,5
Sampai saat ini etiologi penyakit crohn dan kolitis ulserativa belum jelas.
Namun diduga penyakit ini disebabkan oleh multifaktor, yang meliputi genetik,
pengaruh lingkungan, integritas mukosa, dan faktor imunologis. Beberapa faktor
pencetus seperti infeksi, toksin dapat memicu proses inflamasi dan akan
menyebabkan disregulasi respon imunologi mukosa traktus gastrointestinal pada
individu yang rentan.
Epidemiologi1,5
Insidens IBD lebih tinggi di negara maju dibanding negara berkembang. Di
Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru penyakit crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru kolitis ulserativa pada kelompok usia 10-19
tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki
dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan
terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi
pada penyakit crohn.
Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan kasus paling sering terjadi pada
usia dekade ke-2 dan ke-3. Pada anak, penyakit crohn biasanya dijumpai saat usia
10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20.
Pada populasi anak, penelitian epidemiologi prospektif dan retrospektif telah
dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa insidens penyakit crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan
insidens kolitis ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun.
Patogenesis5
Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah:
1. Faktor Genetik
Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD.
Pada kembar monozigot peluang untuk penyakit crohn sekitar 42%-58% dan
peluang untuk kolitis ulserativa sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan
beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan penyakit crohn dan
kolitis ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15
berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA)
ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21
dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi
agen infeksius dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara
7
agen infeksius sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri
oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian
antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum ada
data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD. Faktor
lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor
makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang
dan zat toksin lingkungan.
3. Faktor Imunolog
Kelainan
respon
kekebalan
telah
diduga
mempunyai
peranan
dalam
patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem
kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap yang
mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting
dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan
interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang
merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang
dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma,
merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada penyakit crohn.
Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan
merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan
kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan
pada kolitis ulserativa.
Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya
antibodi, immune-complex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa
kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan tidak
berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel
mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap
pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan
mekanisme kelainan kekebalan. Pada kolitis ulserativa ternyata berhubungan
dengan prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan
ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi,
sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan kekebalan
tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD.
8
atau
fungsi
barier
mukosa
yang
imatur
akan
menyebabkan
10
Nyeri perut bisa menjadi gejala awal dari penyakit Crohn. Hal ini sering
disertai dengan diare, terutama pada mereka yang telah menjalani operasi. Diare
mungkin atau mungkin tidak berdarah. Orang-orang yang telah menjalani operasi
atau beberapa operasi sering berakhir dengan sindrom usus pendek dari saluran
pencernaan. Sifat dari diare pada penyakit Crohn tergantung pada bagian dari usus
kecil atau usus besar yang terlibat. Ileitis biasanya hasil bervolume besar kotoran
berair. Kolitis dapat mengakibatkan volume yang lebih kecil dari kotoran frekuensi
yang lebih tinggi. Konsistensi tinja dapat berkisar dari padat ke cair. Dalam kasus
yang parah, seorang individu mungkin memiliki gerakan usus lebih dari 20 per hari
dan mungkin perlu untuk terjaga di malam hari untuk buang air besar. Terlihat
perdarahan dalam tinja kurang umum pada penyakit Crohn daripada kolitis ulseratif,
tapi dapat dilihat dalam pengaturan kolitis Crohn. Penyakit Crohn juga dapat
dikaitkan dengan primary sclerosing cholangitis, jenis peradangan pada saluran
empedu.
Perianal ketidaknyamanan mungkin juga menonjol dalam penyakit Crohn.
Gatal atau sakit di sekitar anus dapat sugestif dari peradangan, fistulization atau
abses di sekitar daerah anal inkontinensia tinja dapat menyertai penyakit perianal
Crohn. Pada ujung saluran pencernaan, mulut mungkin akan terpengaruh oleh nonpenyembuhan luka (borok aphthous). Jarang, kerongkongan, dan perut mungkin
terlibat dalam penyakit Crohn. Ini dapat menyebabkan gejala termasuk kesulitan
menelan (disfagia), nyeri perut bagian atas, dan muntah.
Gejala Sistemik6
Penyakit Crohn, seperti banyak lainnya kronis, penyakit inflamasi, dapat
menyebabkan berbagai gejala sistemik. Demam juga dapat hadir, meskipun lebih
besar dari 38,5 demam C (101.3 F) jarang terjadi kecuali ada komplikasi seperti
abses orang dengan penyakit usus yang luas kecil juga mungkin memiliki
malabsorpsi karbohidrat atau lemak, yang selanjutnya dapat memperburuk
penurunan berat badan.
Gejala Ekstraintestinal6
Selain
keterlibatan
sistemik
dan
pencernaan,
penyakit
Crohn
dapat
mata, yang dikenal sebagai uveitis, bisa menyebabkan nyeri mata, terutama ketika
terkena cahaya (fotofobia). Peradangan juga mungkin melibatkan bagian putih mata
(sclera), suatu kondisi yang disebut episkleritis. Kedua episkleritis dan uveitis dapat
menyebabkan hilangnya penglihatan jika tidak diobati.
Penyakit Crohn dikaitkan dengan jenis penyakit rematologi dikenal sebagai
spondyloarthropathy seronegatif. Kelompok penyakit ini ditandai oleh peradangan
dari satu atau lebih sendi (arthritis) atau insersi otot (enthesitis). Arthritis dapat
mempengaruhi sendi besar seperti lutut atau bahu atau secara eksklusif dapat
melibatkan sendi-sendi kecil dari tangan dan kaki. Arthritis mungkin juga
melibatkan tulang belakang, mengarah ke ankylosing spondylitis jika seluruh tulang
belakang yang terlibat atau hanya sakroiliitis jika hanya tulang punggung bagian
bawah yang terlibat. Gejala-gejala dari arthritis termasuk menyakitkan, hangat,
bengkak, sendi kaku dan kehilangan mobilitas sendi atau fungsi.
Penyakit Crohn juga dapat melibatkan kulit, darah, dan sistem endokrin.
Salah satu jenis manifestasi kulit, eritema nodosum, hadir sebagai nodul merah
biasanya
muncul
pada
tulang
keringnya.
Eritema
nodosum
adalah
karena
peradangan pada jaringan subkutan yang mendasari dan ditandai oleh septum
panniculitis. Lain lesi kulit, pioderma gangrenosum, biasanya nodul ulserasi
menyakitkan.
Penyakit
Crohn
juga
meningkatkan
risiko
pembekuan
darah,
12
keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum
keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala
umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit
menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak
10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada
rectum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat.
Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer dan
mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah tinja
yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam, nafsu
makannya menurun dan berat badannya berkurang.
Gejala Klinis6,7
Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala
klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis
gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa
abdomen dan kelainan perianal. Onset klinis IBD dapat terjadi perlahan (insidious),
dengan gejala klinis tidak spesifik gastrointestinal atau gejala ekstraintestinal
seperti gagal tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat diagnosis atau
diagnosis yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD.
Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses inflamasi
traktus gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan akibat penyakit pada
tumbuh kembang harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnosis.
Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan),
kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang
paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum
terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh
mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn.
Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi
pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan
berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika.
Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17%
terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang
menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk
14
defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari
bagian kolon yang mengalami inflamasi.
Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan
rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan
(insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia.
Sekitar 30% anak dengan gejala sistemik dan disertai diare berdarah, kram, urgensi
anoreksi, penurunan berat badan dan demam. Sebagian dari anak dengan derajat
berat
akan
mengalami
kolektomi
karena
tidak
berespon
terhadap
terapi
medikamentosa.
Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis
ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:
Tempat
Manifestasi
Kulit
Hati
Tulang
Sendi
Mata
Ginjal/urologi
Nefrolitiasis,
hidronefrosis
obstruktif,
fistula
glomerulonefritis
Hematologi
Vaskular
Pankreas
Pankreatitis
Lain-lain
15
enterovesikal,
uretra)
Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis)
dengan
aktivitas
kelainan
traktus
Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,
peripheral
form
(10%
penderita)
umumnya
mengenai
sendi
besar
(lutut,
16
Tujuan dari
dukungan
nutrisi
17
penyembuhan.
Sampai
saat
belum
diketahui
zat
makanan
tertentu
yang
yang
digunakan
untuk
induksi
remisi,
3,2g/hari)
Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak
mempertahankan remisi.
Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi
Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan
berperan
dalam
remisi.
Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal
6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal
Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi
infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa.
Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl
fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk
Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan
dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering
diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab
dosis.
18
relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan
mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu:
Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan
Pada
Penyakit
Crohn
sampai
saat
ini
belum
ada
terapi
definitif,
Megakolon toksik
Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
Perforasi
19
3. Peran
akhir ini banyak penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita
IBD.
Probiotik
dapat
mengubah
flora
traktus
gastrointestinal
dengan
pada
IBD
menunjukkan
bahwa
transmural
dari
lapisan
mukosa
hingga
serosa
merupakan
Prognosis9
Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi.
Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3
bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi
dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding
10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit
lebih ekstensif dikemudian hari.
Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah
didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami
respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit
Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah didiagnosis.
Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal.
Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis
Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal
meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma
adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis
> left-sided colitis > proktitis).
Kesimpulan9
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus
gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan
tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan
keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal
yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepatobilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus
memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.
Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: Penderita IBD mempunyai faktor
predisposisi genetik, faktor Lingkungan (stres psikososial, faktor makanan, seperti
21
pajanan susu sapi atau pengawet makanan, asupan serat kurang dan zat toksin
lingkungan), faktor imunologi, integritas epitel.
Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di
Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19
tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki
dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan
terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi
pada Penyakit Crohn. . Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16
tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20>
Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala
klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis
gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa
abdomen dan kelainan perianal
Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,
peripheral
form
(10%
penderita)
umumnya
mengenai
sendi
besar
(lutut,
transmural
dari
lapisan
mukosa
hingga
serosa
merupakan
Tujuan dari
dukungan
22
nutrisi
23
Daftar Pustaka
1. Brunner, Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal bedah vol2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. Hlm: 274-276
2. Price S, Wilson L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. Hlm: 356-359
3. Andrianto P. Terapi mutakhir conn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008. Hlm: 455-457
4. Santoso, Budi. Panduan diagnosa keperawatan nanda. Jakarta: Prima Medikal;
2007. Hlm: 743-747
5. Smeljer, Susani C. Keperawatan medikal bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010. Hlm: 355-359
6. Kathleen A, Daniel J. Pediatric gastroenterology and hepatology. Edisi 3.
Boston: Blackwell; 2007. Hlm: 859-879
7. Hyams J, Richard EB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 17. Philadelphia:
Saunders; 2004. Hal 1248-1255
8. William
A
Rowe.
Inflammatory
Bowel
Disease.
Dikutip
dari:
24