Anda di halaman 1dari 24

Inflammatory Bowel Disease

William Alexander Setiawan


102010098, F1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta

Pendahuluan1
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus
gastrointestinal , yaitu penyakit crohn dan kolitis ulserativa. Kedua kelainan tersebut
harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan.
Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam
dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata,
ginjal

hematokrit

dan

gangguan

tumbuh

kembang,

maka

klinisi

harus

memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.


Penyakit crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural
yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. Kolitis
ulserativa yaitu proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul
serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada
kolitis ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan
melibatkan kolon kearah proksimal.
Penyakit crohn dan kolitis ulserativa merupakan 2 kelainan yang berbeda,
akan tetapi memiliki banyak kesamaan gejala klinis dan histopatologi. Penyakit
crohn dan kolitis ulserativa telah dikenal selama satu setengah abad namun proses
inflamasi kronis yang terjadi menimbulkan kerusakan usus dan sampai saat ini
masih belum bisa diketahui penyebab pastinya.

Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik1


Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik,
riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan
kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Yang perlu diketahui dalam
kasus diare ini adalah frekuensi BAB dan juga volumenya, berapa lama keluhan ini
telah diderita, sifat keluhan tersebut apakah cair? Ada darah atau tidak? Ada sakit
perut atau tidak? Kita juga perlu mencari kemungkinan penyebab keluhan utama
seperti kesalahan makan makanan yang dapat menyebabkan diare seperti
makanan terlalu pedas, makanan basi, cari juga kemungkinan food poisoning.
Pemeriksaan

fisik

tanda-tanda

dehidrasi,

status

nutrisi

dan

gejala

ekstraintestinal. Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan


adanya massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan perawatan.
Pemeriksaan Laboratorium1
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
IBD. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan
pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal dan status
nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme feses dilakukan untuk
eksklusi penyakit infeksi.
Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalah
perinuclear

antineutrophil

cytoplasmic

antibody

(pANCA)

dan

antibodi

anti

saccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA ditemukan pada 80% kolitis


ulserativa dan 45% pada penyakit crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada
60-70% penyakit crohn dan 14% pada kolitis ulserativa. Pada 2 penelitian
seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA negatif
mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 88-92%. Sedangkan kombinasi
pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi positif Penyakit Crohn 9596%.

Pemeriksaan Radiologi1,2
Pemeriksaan

radiologi

abdomen

posisi

tegak

dan

terlentang

untuk

mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan ileus,
obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema dapat menilai
karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada
penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan dilatasi
toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium enema
dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik
lesi, deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium
enema

dapat

pseudopoli,

menentukan

striktur

dan

adanya

spasme

pemendekan

pada

IBD.

vili,

hilangnya

Pemeriksaan

haustrae,

radiologi

traktus

gastrointestinal atas dengan follow through sampai dengan usus halus dapat
menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada penyakit crohn, ileum
terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses
inflamasi transmural. Pada kolitis ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis,
berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa
disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan lain dari usus halus
pada kolitis ulserativa.
Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double
contrast kolon penderita IBD adalah:

Gambaran
Gambaran
Gambaran
Gambaran
Gambaran
Gambaran

stove-pipe
rectal sparing
thumbprinting
skip lesion
string sign
collar button

Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT scan.


Pemeriksaan tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra abdomen.
Pemeriksaan Endoskopi1,2
Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa pada
kolon dan ileum terminal merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik

pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko
perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon toksik.
Kelainan mukosa pada penyakit crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada
mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like
appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area).
Pada kolitis ulserativa, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema,
dan erosi mukosa serta pseudopolyp.
Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi.
Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada penyakit crohn dan
injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat membantu
untuk mencegah pembentukan struktur berulang.
Diagnosis Banding
Disentri Basiler (Shigellosis)3
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella
Epidemiologi3
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek,
kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik
infeksi Shigella merupakan 10 15 % penyebab diare pada anak. Sumber kuman
Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah
dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relative
sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi
penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri
biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S.flexnerii merupakan penyebab
infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan Amerika Serikat
prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di
negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyak.
Gejala Klinis3

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis
Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat
berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan
berlangsung lama gejalanya menyerupai colitis ulserosa. Pada fase awal pasien
mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang bisa
mencapai 40oC. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah
dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin
didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku
kuduk dan letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari
4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut
biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shifellosis yang intermiten.
Penatalaksanaan3
1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar
pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare
berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak
dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan
beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai
berat,diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di
daerahtersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:
Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau
Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau
Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah
banyak yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan
antibiotik lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada
pasien dengan gejala klinik yang berat. Pengobatan simtomatik, hindari obat yang
dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya karena dapat
mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat
simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetikantipiretik dan antikonvulasi.
Hematochezia4
5

Hematochezia adalah perdarahan yang keluar dari anus dengan warna merah
segar. Ditandai dengan keluarnya darah berwarna merah terang dari anus, dapat
berbentuk gumpalan atau telah bercampur dengan tinja. Umumnya disebabkan
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Hematochezia berbeda dengan melena,
dimana melena terdapat tinja yang bercampur darah berwarna hitam. Warna hitam
pada melena diakibatkan darah bercampur dengan asam lambung sehingga
menjadi warna kehitaman seper titer dan berbau khas.
Etiologi penyakit ini pada dewasa adalah hemoroid, diverticulosis, kanker
kolorektal, polip. Pada dewasa muda adalah inflamatory bowel disease (kolitis
ulserative, penyakit chron). Sedangkan pada bayi adalah necrotizing enterokolitis
dan intususepsi.
Gejala klinisnya antara lain anemia, pusing, pucat, nyeri perut. Pemeriksaan
penunjang yang dapat kita gunakan adalah colok dubur dan kolonoskopi.
Pengobatan yang dapat kita gunakan adalah antibiotika, antiinflamasi, laksatif,
tranfusi, operatif.
Diagnosis5
Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi.
Etiologi1,5
Sampai saat ini etiologi penyakit crohn dan kolitis ulserativa belum jelas.
Namun diduga penyakit ini disebabkan oleh multifaktor, yang meliputi genetik,
pengaruh lingkungan, integritas mukosa, dan faktor imunologis. Beberapa faktor
pencetus seperti infeksi, toksin dapat memicu proses inflamasi dan akan
menyebabkan disregulasi respon imunologi mukosa traktus gastrointestinal pada
individu yang rentan.
Epidemiologi1,5
Insidens IBD lebih tinggi di negara maju dibanding negara berkembang. Di
Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru penyakit crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru kolitis ulserativa pada kelompok usia 10-19

tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki
dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan
terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi
pada penyakit crohn.
Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan kasus paling sering terjadi pada
usia dekade ke-2 dan ke-3. Pada anak, penyakit crohn biasanya dijumpai saat usia
10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20.
Pada populasi anak, penelitian epidemiologi prospektif dan retrospektif telah
dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa insidens penyakit crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan
insidens kolitis ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun.

Patogenesis5
Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah:
1. Faktor Genetik
Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD.
Pada kembar monozigot peluang untuk penyakit crohn sekitar 42%-58% dan
peluang untuk kolitis ulserativa sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan
beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan penyakit crohn dan
kolitis ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15
berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA)
ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21
dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi
agen infeksius dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara
7

agen infeksius sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri
oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian
antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum ada
data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD. Faktor
lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor
makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang
dan zat toksin lingkungan.
3. Faktor Imunolog
Kelainan

respon

kekebalan

telah

diduga

mempunyai

peranan

dalam

patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem
kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap yang
mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting
dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan
interleukin (IL)-2, interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang
merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang
dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma,
merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada penyakit crohn.
Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan
merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan
kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan
pada kolitis ulserativa.
Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya
antibodi, immune-complex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa
kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan tidak
berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel
mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap
pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan
mekanisme kelainan kekebalan. Pada kolitis ulserativa ternyata berhubungan
dengan prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan
ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi,
sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan kekebalan
tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD.
8

Diduga, kelainan kekebalan poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang


beragam pada IBD.
Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga
mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA)
sekretori

atau

fungsi

barier

mukosa

yang

imatur

akan

menyebabkan

meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang


bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap makromolekul
dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri
atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat
lain mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue mengalami
sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian
hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon imun
antibody-dependent cell-mediated.
4. Integritas Epitel
Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan
antigen terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor
inisial pada IBD. Pada penyakit crohn dijumpai adanya gangguan integritas
mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap proteinprotein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi
dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik
terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal
pada penderita penyakit crohn.
Penyakit Chron6
Penyakit Crohn (juga dikenal sebagai kolitis granulomatosa dan enteritis
regional) adalah penyakit inflamasi usus yang dapat mempengaruhi setiap bagian
dari saluran pencernaan dari anus ke mulut, menyebabkan berbagai gejala. Ini
terutama menyebabkan sakit perut, diare (yang mungkin berdarah), muntah, atau
kehilangan berat badan, tetapi juga dapat menyebabkan komplikasi di luar saluran
pencernaan seperti ruam kulit, radang sendi dan peradangan mata. Hal ini dipahami
memiliki komponen lingkungan yang besar sebagaimana dibuktikan dengan jumlah
kasus lebih tinggi di negara-negara industri barat. Pria dan wanita sama-sama
9

terpengaruh. Perokok tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit


Crohn. Penyakit Crohn mempengaruhi antara 400.000 dan 600.000 orang di
Amerika Utara. Estimasi prevalensi untuk Eropa Utara telah berkisar 27-48 per
100.000. Penyakit Crohn cenderung untuk menyajikan awalnya di remaja dan dua
puluhan, dengan yang lain kejadian puncak pada tahun lima puluhan untuk tujuh
puluhan, meskipun penyakit ini dapat terjadi pada semua usia. Pilihan pengobatan
dibatasi untuk mengendalikan gejala, mempertahankan remisi dan mencegah
kambuh.
Insiden penyakit Crohn sudah dipastikan dari studi populasi di Norwegia dan
Amerika Serikat dan mirip pada 6 sampai 7.1:100,000. Penyakit crohn lebih umum
di negara-negara utara, dan menunjukkan dominan lebih tinggi di daerah utara
negara yang sama. Insiden penyakit crohn dianggap serupa di Eropa tetapi lebih
rendah di Asia dan Afrika. Namun, hanya perempuan sedikit lebih dari laki-laki
memiliki penyakit Crohn. Orang tua, saudara atau anak-anak dari orang-orang
dengan penyakit crohn adalah 3 sampai 20 kali lebih mungkin mengembangkan
penyakit. Studi kembar menunjukkan konkordansi yang lebih besar dari 55% untuk
penyakit Crohn.
Inflamasi pada Penyakit Crohn ditandai dengan karakteristik area inflamasi
diskret, ulserasi fokal, aphtae, atau striktur disertai area mukosa yang normal (skip
area). Jika mengenai kolon, sering mengenai kolon ascendens dan jika mengenai
daerah anal sering timbul skin tags, fisura anal, abses serta fistula dan terjadi pada
25% penderita Penyakit Crohn.
Pada Penyakit Crohn terjadi proses inflamasi transmural yang dapat meluas
keseluruh lapisan dinding traktus gastrointestinal dan menyebabkan fibrosis, adhesi
striktur, dan fistula. Perubahan pada mukosa traktus gastrointestinal berupa
kriptitis, dan/atau distorsi striktur kripta. Granuloma nonkaseosus pada lamina
propria atau submukosa dapat ditemukan pada lebih dari 50% penderita.
Ditemukannya fibrosis dan proliferasi histiosit di submukosa spesifik untuk Penyakit
Crohn, walaupun perubahan mukosa tersebut dapat terjadi pada penyakit inflamasi
usus yang lain.
Gejala Gastrointestinal6

10

Nyeri perut bisa menjadi gejala awal dari penyakit Crohn. Hal ini sering
disertai dengan diare, terutama pada mereka yang telah menjalani operasi. Diare
mungkin atau mungkin tidak berdarah. Orang-orang yang telah menjalani operasi
atau beberapa operasi sering berakhir dengan sindrom usus pendek dari saluran
pencernaan. Sifat dari diare pada penyakit Crohn tergantung pada bagian dari usus
kecil atau usus besar yang terlibat. Ileitis biasanya hasil bervolume besar kotoran
berair. Kolitis dapat mengakibatkan volume yang lebih kecil dari kotoran frekuensi
yang lebih tinggi. Konsistensi tinja dapat berkisar dari padat ke cair. Dalam kasus
yang parah, seorang individu mungkin memiliki gerakan usus lebih dari 20 per hari
dan mungkin perlu untuk terjaga di malam hari untuk buang air besar. Terlihat
perdarahan dalam tinja kurang umum pada penyakit Crohn daripada kolitis ulseratif,
tapi dapat dilihat dalam pengaturan kolitis Crohn. Penyakit Crohn juga dapat
dikaitkan dengan primary sclerosing cholangitis, jenis peradangan pada saluran
empedu.
Perianal ketidaknyamanan mungkin juga menonjol dalam penyakit Crohn.
Gatal atau sakit di sekitar anus dapat sugestif dari peradangan, fistulization atau
abses di sekitar daerah anal inkontinensia tinja dapat menyertai penyakit perianal
Crohn. Pada ujung saluran pencernaan, mulut mungkin akan terpengaruh oleh nonpenyembuhan luka (borok aphthous). Jarang, kerongkongan, dan perut mungkin
terlibat dalam penyakit Crohn. Ini dapat menyebabkan gejala termasuk kesulitan
menelan (disfagia), nyeri perut bagian atas, dan muntah.
Gejala Sistemik6
Penyakit Crohn, seperti banyak lainnya kronis, penyakit inflamasi, dapat
menyebabkan berbagai gejala sistemik. Demam juga dapat hadir, meskipun lebih
besar dari 38,5 demam C (101.3 F) jarang terjadi kecuali ada komplikasi seperti
abses orang dengan penyakit usus yang luas kecil juga mungkin memiliki
malabsorpsi karbohidrat atau lemak, yang selanjutnya dapat memperburuk
penurunan berat badan.
Gejala Ekstraintestinal6
Selain

keterlibatan

sistemik

dan

pencernaan,

penyakit

Crohn

dapat

mempengaruhi banyak sistem organ lainnya. Peradangan bagian bagian dalam


11

mata, yang dikenal sebagai uveitis, bisa menyebabkan nyeri mata, terutama ketika
terkena cahaya (fotofobia). Peradangan juga mungkin melibatkan bagian putih mata
(sclera), suatu kondisi yang disebut episkleritis. Kedua episkleritis dan uveitis dapat
menyebabkan hilangnya penglihatan jika tidak diobati.
Penyakit Crohn dikaitkan dengan jenis penyakit rematologi dikenal sebagai
spondyloarthropathy seronegatif. Kelompok penyakit ini ditandai oleh peradangan
dari satu atau lebih sendi (arthritis) atau insersi otot (enthesitis). Arthritis dapat
mempengaruhi sendi besar seperti lutut atau bahu atau secara eksklusif dapat
melibatkan sendi-sendi kecil dari tangan dan kaki. Arthritis mungkin juga
melibatkan tulang belakang, mengarah ke ankylosing spondylitis jika seluruh tulang
belakang yang terlibat atau hanya sakroiliitis jika hanya tulang punggung bagian
bawah yang terlibat. Gejala-gejala dari arthritis termasuk menyakitkan, hangat,
bengkak, sendi kaku dan kehilangan mobilitas sendi atau fungsi.
Penyakit Crohn juga dapat melibatkan kulit, darah, dan sistem endokrin.
Salah satu jenis manifestasi kulit, eritema nodosum, hadir sebagai nodul merah
biasanya

muncul

pada

tulang

keringnya.

Eritema

nodosum

adalah

karena

peradangan pada jaringan subkutan yang mendasari dan ditandai oleh septum
panniculitis. Lain lesi kulit, pioderma gangrenosum, biasanya nodul ulserasi
menyakitkan.

Penyakit

Crohn

juga

meningkatkan

risiko

pembekuan

darah,

pembengkakan yang menyakitkan kaki bagian bawah dapat menjadi tanda


trombosis vena dalam, sementara kesulitan bernapas mungkin akibat emboli paru.
Anemia hemolitik autoimun, suatu kondisi di mana sistem kekebalan tubuh
menyerang sel-sel darah merah, juga lebih sering terjadi pada penyakit Crohn dan
dapat menyebabkan kelelahan, pucat, dan gejala umum lainnya pada anemia.
Clubbing, deformitas dari ujung jari, mungkin juga akibat dari penyakit Crohn.
Akhirnya, penyakit Crohn dapat menyebabkan osteoporosis, atau penipisan tulang.
Individu dengan osteoporosis akan meningkatkan risiko patah tulang.
Penyakit Crohn juga dapat menyebabkan komplikasi neurologis (dilaporkan
dalam hingga 15% dari pasien). Yang paling umum ini adalah kejang, stroke,
miopati, neuropati perifer, sakit kepala dan depresi.
Kolitis Ulserativa6,7

12

Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar


mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut
dan demam. Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya
dimulai antara umur 15-30 tahun. Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa
tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai
usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung
bawah dari ususbesar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus
besar. Sekitar 10% penderita hanya mendapat satu kali serangan. Proktitis
ulserativa merupakan peradangan dan perlukaan di rektum. Pada 10-30%
penderita, penyakit ini akhirnya menyebar ke usus besar. Jarang diperlukan
pembedahan dan harapan hidupnya baik.
Pada Kolitis Ulserativa, proses inflamasi terbatas pada lapisan mukosa rektum
dan kolon. Inflamasi terbatas pada mukosa dan dan secara kontinyu sepanjang
kolon dengan berbagai macam derajat ulserasi, perdarahan, edema, dan regenerasi
epitel. Selain itu pada Kolitis Ulserativa, terjadi kriptitis, abses kripta, dan terjadi
distorsi kripta serta hilangnya sel goblet. Kelainan pada rektum hampir terjadi pada
seluruh penderita Kolitis Ulserativa. Inflamasi dapat terjadi sampai daerah sekum
dan mungkin terjadi pada ileum terminal (backwash ileitis).
Pada Kolitis Ulserativa yang berat, setelah epitel mukosa dihancurkan, proses
inflamasi melibatkan daerah submukosa selanjutnya ke bawah menuju daerah
muskularis daerah yang terlibat akan membentuk jaringan pulau-pulau yang
dinamakan Pseudopolyps. Penebalan dan fibrosis dari dinding usus besar sangat
jarang terjadi, namun dapat terjadi pemendekan kolon dan striktur fokal dikolon
pada penyakit yang berlangsung lama. Tidak terjadi pembentukan granuloma dan
fibrosis.
Gejala Kolitis Ulserativa6,7
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat,
demam tinggi,sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan,
penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah serangannya
dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk buang air besar yang
sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir. Jika
penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau
13

keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum
keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala
umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit
menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak
10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada
rectum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat.
Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer dan
mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah tinja
yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam, nafsu
makannya menurun dan berat badannya berkurang.
Gejala Klinis6,7
Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala
klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis
gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa
abdomen dan kelainan perianal. Onset klinis IBD dapat terjadi perlahan (insidious),
dengan gejala klinis tidak spesifik gastrointestinal atau gejala ekstraintestinal
seperti gagal tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat diagnosis atau
diagnosis yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD.
Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses inflamasi
traktus gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan akibat penyakit pada
tumbuh kembang harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnosis.
Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan),
kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang
paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum
terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh
mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn.
Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi
pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan
berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika.
Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17%
terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang
menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk
14

defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari
bagian kolon yang mengalami inflamasi.
Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan
rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan
(insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia.
Sekitar 30% anak dengan gejala sistemik dan disertai diare berdarah, kram, urgensi
anoreksi, penurunan berat badan dan demam. Sebagian dari anak dengan derajat
berat

akan

mengalami

kolektomi

karena

tidak

berespon

terhadap

terapi

medikamentosa.
Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis
ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:

Tempat

Manifestasi

Kulit

Eritema nodusum, pioderma gangrenosum

Hati

Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis, kolelitiasis

Tulang

Osteopenia, aseptik nekrosis

Sendi

Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis

Mata

Uveitis, episkleritis, kerastitis

Ginjal/urologi

Nefrolitiasis,

hidronefrosis

obstruktif,

fistula

glomerulonefritis
Hematologi

Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12)

Vaskular

Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal

Pankreas

Pankreatitis

Lain-lain

Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual


Table 1. Gejala Klinis Ekstra intestinal pada IBD 5

Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok:

15

enterovesikal,

Kelompok 1 : Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus


gastrointestinal, biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal

(seperti demam dan anemia)


Kelompok 2 : Tidak berhubungan

gastrointestinal (seperti sclerosis cholangitis)


Kelompok 3 : Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi

uretra)
Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis)

dengan

aktivitas

kelainan

traktus

Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,
peripheral

form

(10%

penderita)

umumnya

mengenai

sendi

besar

(lutut,

pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan


dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa
ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak.
Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan
petunjuk pada Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema
nodusum, eritema sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan
perianal lebih sering terjadi pada penyakit Crohn dibanding Kolitis Ulserativa berupa
skin tags, abses perianal, atau fisura dan fistula yang tidak nyeri. Artritis dapat
terjadi pada 11% kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut dan
pergelangan kaki atau poliartritis migran tanpa disertai kerusakan sendi atau
deformitas. Artritis sering terjadi pada penderita dengan kelainan kolon dan
cenderung berhubungan dengan aktifitas penyakit. Eritema nodusum terjadi pada
5% kasus dan berhubungan dengan aktivitas penyakit terutama inflamasi pada
kolon. Uveitis yang terjadi berupa simtomatik pada 3% anak dan asimtomatik pada
30% anak. Gagal tumbuh terjadi pada 87% anak, dan disertai dengan osteoporosis
serta gangguan maturasi seksual.
Seperti halnya pada penyakit Crohn, pada Kolitis Ulserativa terjadi gejala
klinis ekstraintestinal. Gejala ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis
sendi besar, lesi kulit pioderma gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering
pada Penyakit Crohn) dan gagal tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier
pada Kolitis Ulserativa mencapai 5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah
sclerosing cholangitis.

16

Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu:


1. Ringan-sedang
Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut,
massa abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10%
2. Sedang-berat
Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam
menetap, penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan
muntah intermiten (tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan.
3. Berat-fulminan
Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau
penderita dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal,
kaheksia atau abses intra abdominal.
Pada Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang
berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.
1. Prodromal (<5%)
Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood.
Peningkatan LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi.
2. Ringan (50-60%)
Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik.
3. Sedang (30%)
Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness. Gangguan sistemik
berupa anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan.
4. Berat (10%)
Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa
distensi, takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang
signifikan, lekositosis dan hipoalbuminemia.
Penatalaksanaan7
Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah
komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status
nutrisi dan kualitas hidup.
Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada
penderita IBD.

Tujuan dari

dukungan

nutrisi

adalah pemulihan hemostasis

metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses;


kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan

17

penyembuhan.

Sampai

saat

belum

diketahui

zat

makanan

tertentu

yang

menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi


proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam
proses inflamasi pada Kolitis Ulserativa.
1. Terapi Medikamentosa
Medikamentosa

yang

digunakan

untuk

induksi

remisi,

mempertahankan remisi, mencegah dan mengurangi relaps adalah:


Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis
tinggi digunakan untuk induksi remisi.
Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat
ditingkatkan sampai 75 mg/kg
Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal

3,2g/hari)
Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak

mempertahankan remisi.
Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi
Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan

berperan

dalam

remisi.
Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal
6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal
Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi
infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa.
Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl
fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk
Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan
dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering
diikuti pemberian setiap 8 minggu. Data penggunaan infliximab

pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn.


Antibiotika
Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3

dosis.

Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn


Terapi medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat
dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan
proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah

18

relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan
mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu:

Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan

dapat dicapai dengan terapi topical


Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis
dan memerlukan terapi sistemik

Pada

Penyakit

Crohn

sampai

saat

ini

belum

ada

terapi

definitif,

penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi.


Sampai saat ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi
outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu, medika mentosa
digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi frekuensi serangan
eksaserbasi.
2. Terapi Bedah
Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat
penyakit. Tujuan terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn
berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total
kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn
dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut
sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif.
Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah:

Obstruksi traktus gastrointestinal


Fistula
Abses
Perdarahan yang tidak terkontrol
Megakolon toksik
Perforasi
Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa
Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang
terbatas (localized disease)

Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah:

Megakolon toksik
Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
Perforasi
19

3. Peran

Prolonged corticostreoid dependent


Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif
Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi
Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan
Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa
Striktur
Probiotik dan Prebiotik
Peranan probiotik dan prebiotik pada IBD masih belum jelas. Akhir-

akhir ini banyak penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita
IBD.

Probiotik

dapat

mengubah

flora

traktus

gastrointestinal

dengan

mekanisme kompetitif, menghasilkan zat antimikroba, atau mempengaruhi


respon kekebalan lokal. Ada juga yang mengatakan bahwa interaksi probiotik
dengan sel epitel dapat mempercepat penyembuhan proses inflamasi. Efek
prebiotik dapat ditingkatkan dengan pemberian prebiotik yang dapat
merangsang pertumbuhan probiotik.
Pada anak, penelitian probiotik

pada

IBD

menunjukkan

bahwa

pemberian Lactobacillus casei strain GG pada Penyakit Crohn meningkatkan


respons kekebalan IgA traktus gastrointestinal. Penelitian lain menunjukkan
bahwa probiotik dapat memperbaiki gejala kllinis dan permeabilitas traktus
gastrointestinal pada pada penyakit Crohn. Penelitian pemberian prebiotik
dan probiotik (sinbiotik) pada penderita Kolitis Ulserativa mempercepat
perbaikan gejala klinis.
Komplikasi8
Inflamasi

transmural

dari

lapisan

mukosa

hingga

serosa

merupakan

penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi


adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan
bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa
keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan,
enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan enterovesikal.
Komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik
dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan
megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat
bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi
berupa striktur dan keganasan.
20

Prognosis9
Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi.
Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3
bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi
dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding
10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit
lebih ekstensif dikemudian hari.
Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah
didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami
respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit
Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah didiagnosis.
Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal.
Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis
Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal
meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma
adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis
> left-sided colitis > proktitis).
Kesimpulan9
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus
gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan
tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan
keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal
yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepatobilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus
memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.
Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: Penderita IBD mempunyai faktor
predisposisi genetik, faktor Lingkungan (stres psikososial, faktor makanan, seperti

21

pajanan susu sapi atau pengawet makanan, asupan serat kurang dan zat toksin
lingkungan), faktor imunologi, integritas epitel.
Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di
Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19
tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki
dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan
terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi
pada Penyakit Crohn. . Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16
tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20>
Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala
klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis
gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa
abdomen dan kelainan perianal
Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,
peripheral

form

(10%

penderita)

umumnya

mengenai

sendi

besar

(lutut,

pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan


dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa
ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak.
Inflamasi

transmural

dari

lapisan

mukosa

hingga

serosa

merupakan

penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, komplikasi Kolitis


Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus
kegawatan medis dan kegawatan bedah
Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi.
Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah
komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status
nutrisi dan kualitas hidup.
Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada
penderita IBD.

Tujuan dari

dukungan
22

nutrisi

adalah pemulihan hemostasis

metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses;


kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan
penyembuhan
Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan
Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal
meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma
adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis
> left-sided colitis > proktitis).

23

Daftar Pustaka
1. Brunner, Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal bedah vol2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. Hlm: 274-276
2. Price S, Wilson L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. Hlm: 356-359
3. Andrianto P. Terapi mutakhir conn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008. Hlm: 455-457
4. Santoso, Budi. Panduan diagnosa keperawatan nanda. Jakarta: Prima Medikal;
2007. Hlm: 743-747
5. Smeljer, Susani C. Keperawatan medikal bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010. Hlm: 355-359
6. Kathleen A, Daniel J. Pediatric gastroenterology and hepatology. Edisi 3.
Boston: Blackwell; 2007. Hlm: 859-879
7. Hyams J, Richard EB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 17. Philadelphia:
Saunders; 2004. Hal 1248-1255
8. William
A
Rowe.
Inflammatory

Bowel

Disease.

Dikutip

dari:

Http://www.emedicine.com diunduh 10 Mei 2012


9. Gregory F, Daniella A. Management of inflammatory bowel disease. Dikutip
dari: http//www.aafp.org/ diunduh pada 10 Mei 2012

24

Anda mungkin juga menyukai