A. Latar Belakang
Jumlah lansia di Indonesia sebanyak 24,24% dari total jumlah penduduk, dan
Jawa timur menduduki urutan ke 3 setelah Yogjakarta dan Jawa Tengah. Angka
kesakitan lansia tahun 2014 sebesar 25,05 persen menunjukkan bahwa satu dari empat
lansia mengalami sakit (Badan Pusat Statistik, 2015). Keluhan yang sering disampaikan
Lansia adalah nyeri sendi. Nyeri sendi erat kaitannya dengan Gout Arthritis. Angka
kejadian penyakit asam urat di Jawa timur adalah 26,4% (Kemenkes RI, 2013). Studi
pendahuluan pada Paguyuban Lansia Budi Luhur Surabaya didapatkan hasil 65%
mengeluh nyeri sendi dan kadar asam urat di atas kadar normal.
Artritis gout merupakan hasil metabolisme purin didalam tubuh yang kadar
tidak boleh berlebih. Fak-tor pemicu adalah makanan dan senyawa lain yang banyak
mengandung protein. Penatalaksanaan diet untuk Gout Arthritis (GA) masalah diet
rendah purin (Kowalak, 2011). Gejala nyeri yang dirasakan pen-derita dapat
menyebabkan perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap penampilan fisik da
menu-runnya fungsi tubuh pada kehidupan sehari-hari. Penderita GA dapat mengalami
gangguan mobilitas fisik, gangguan tidur, bahkan gangguan interaksi sosial. Sehingga
hal tersebut perlu mendapat pena-nganan segera.
B. Permasalahan di Masyarakat
Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi tentang artritis gout.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, jumlah kasus artritis gout
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan di bandingkan dengan kasus penyakit tidak
menular lainnya. Pada tahun 2007 jumlah kasus artritis gout di Tegal sebesar 5,7%
meningkat menjadi 8,7% pada tahun 2008, dari data rekam medik di RSU Kardinah
selama tahun 2008 tercatat 1068 penderita baik rawat inap maupun penderita rawat
jalan yang melakukan pemeriksaan kadar asam urat 40% di antaranya menderita
hiperurisemia (Purwaningsih, 2009).
D. Pelaksanaan
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
D. Pelaksanaan
E. Monitoring dan Evaluasi
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
D. Pelaksanaan
E. Monitoring dan Evaluasi
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
D. Pelaksanaan
E. Monitoring dan Evaluasi
A. Latar Belakang
Derajat kesehatan masyarakat sebuah negara ditentukan oleh beberapa
indikator. Beberapa indikator yang dianggap signifikan dalam menggambarkan derajat
tersebut antara lain, kematian ibu, kematian bayi, dan status gizi. Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih dianggap sensitif dalam
mendeteksi ada atau tidaknya perbaikan pada sektor pelayanan kesehatan. Angka
Kematian Bayi menggambarkan banyaknya kejadian kematian pada anak usia 0-11
bulan per 1.000 kelahiran hidup di populasi. Indikator ini diperoleh berdasarkan hasil
survey atau sensus yang dilakukan secara periodik pada tahun tertentu. Hasil Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat
Statistik menujukkan peningkatan. Namun demikian peningkatan tersebut masih
dianggap “on track”, yang artinya AKB masih berpeluang dapat diturunkan.
Sejak tahun 1991 sampai 2015 angka kematian neonatal, angka kematian bayi,
dan angka kematian balita menunjukkan kecenderungan penurunan. Kematian bayi dan
balita dapat disebabkan oleh infeksi, asfiksia, dan PD3I.
Salah satu penyakit yang termasuk ke dalam golongan PD3I adalah Campak.
Penyakit Campak dikenal juga sebagai Morbili atau Measles, merupakan penyakit yang
sangat menular (infeksius) dari genus Morbillivirus dan termasuk golongan virus
RNA. Manusia diperkirakan satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi
tetapi tidak berperan dalam penularan. Pada tahun 1980, sebelum imunisasi dilakukan
secara luas, diperkirakan lebih dari 20 juta orang di dunia terkena Campak dengan 2,6
juta kematian setiap tahun yang sebagian besar adalah anak-anak di bawah usia lima
tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak di negara-negara berisiko tinggi
telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga pada tahun 2012 kematian akibat
Campak telah mengalami penurunan sebesar 78% secara global. Indonesia merupakan
salah satu dari negara-negara dengan kasus Campak terbanyak di dunia.
B. Permasalahan
Kegiatan surveilans yang dilakukan setiap tahun melaporkan lebih dari 11.000 kasus
suspect Campak. Hasil konfirmasi laboratorium terhadap kasus tersebut, diketahui
bahwa 12 – 39% di antaranya adalah Campak pasti (confirmed), dan sebanyak 16–43%
adalah Rubella pasti. Dalam kurun waktu tahun 2010-2015, diperkirakan terdapat
23.164 kasus Campak dan 30.463 kasus Rubella. Jumlah kasus ini diperkirakan masih
rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus
yang tidak terlaporkan, terutama dari pelayanan swasta serta kelengkapan laporan
surveilans yang masih rendah. Jumlah kasus Campak yang dilaporkan dapat
dibandingkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dengan menggunakan
Incidence Rate. Incidence Rate Campak diperoleh dengan membagi jumlah kasus
Campak dengan jumlah penduduk di wilayah tertentu lalu dikalikan dengan konstanta
100.000. Incidence rate Campak menggambarkan rate penderita Campak di tiap
100.000 penduduk.
C. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Meskipun Campak sangat menular dan bisa menyebabkan kematian, penyakit
ini dapat dicegah melalui program Imunisasi. Pengendalian Campak di Indonesia
diawali pada tahun 1982. Program Imunisasi Nasional diperluas dan mulai menerapkan
jadwal standar untuk imunisasi rutin yang mencakup dosis vaksin Campak diberikan
pada usia 9 bulan. Cakupan imunisasi Campak semakin meningkat sehingga pada tahun
1990 dapat mencapai lebih dari 90%. Pada tahun 2000, dalam rangka mengatasi KLB
dan memberikan kesempatan kedua bagi anak yang belum diimunisasi atau pun yang
belum terbentuk kekebalannya, maka ditetapkan 3 strategi pengendalian Campak: ·
Crash program Campak untuk anak balita di daerah risiko tinggi · Catch-up campaign
Campak untuk anak sekolah · Introduksi pemberian dosis kedua melalui kegiatan rutin
BIAS untuk kelas satu SD pada tahun berikutnya setelah catch-up campaign. Reduksi
Campak ditargetkan untuk mengurangi kematian akibat Campak hingga 90% pada
2010 berdasarkan perkiraan pada tahun 2000. Setelah tercapai reduksi Campak maka
fase selanjutnya adalah upaya untuk mencapai eliminasi yang telah disepakati akan
dicapai pada tahun 2020. Pada tahun 2014 untuk lebih meningkatkan kekebalan pada
anak-anak, maka dikeluarkan kebijakan pemberian imunisasi Campak lanjutan pada
anak usia 24 bulan dan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun
2017 pemberian imunisasi Campak lanjutan dosis ke-2 diberikan pada anak usia 18
bulan. Selain pelaksanaan imunisasi, salah satu strategi untuk mencapai eliminasi dan
pengendalian Campak di Indonesia adalah pelaksanaan surveilans Campak Rubella
berbasis individu yang dikenal juga dengan CBMS (case based measles surveillance).
Pelaksanaan surveilans ini jika ditemukan setiap satu kasus dengan gejala demam,
rash/bintik merah pada tubuh, disertai salah satu gejala atau lebih batuk/pilek/mata
merah, maka diambil spesimen darah/serum diperiksa di laboratorium rujukan nasional
yaitu Badan Litbangkes Kemenkes, Bio Farma, BBLK Surabaya dan BLK Yogyakarta
untuk memastikan diagnosis Campak atau Rubella.
D. Pelaksanaan
Kegiatan imunisasi campak dilakukan pada hari kamis di minggu ke 4 setiap bulannya,
Hari/Tanggal : Kamis, 28 Maret 2019
Waktu : 08.00 – 12.00 WIB
Tempat : Ruangan KIA di Puskesmas Serang Kota
E. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan dimulai dengan pendaftaran pasien setelah itu anak-anak yang akan di
imunisasi ditimbang dan di cek kesehatannya (cek suhu dan pemeriksaan fisik
sederhana) selanjutnya pasien masuk ke ruangan imunisasi untuk diberikan imunisasi.
Adapun kekurangan dari kegiatan ini yaitu banyaknya ibu-ibu yang datang
untuk membawa anaknya imunisasi namun ruang tunggunya kurang memadai. Dan
kegiatan tersebut juga berbarengan dengan pelayanan KIA yang berlangsung di
ruangan tersebut.
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan mempunyai visi “Indonesia sehat“, diantaranya
dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan oleh puskesmas dan rumah sakit. Puskesmas
adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah kecamatan.
sebagian wilayah kecamatan
Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan
kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satu upaya kesehatan
wajib dalam puskesmas berupa upaya pengobatan dasar yang ditujukan kepada semua
penduduk, tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur.
Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter
berdasarkan temuan-temuan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan
pemeriksaan.
Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah yang dilandasi oleh
pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan intervensi pengobatan yang memberi
manfaat maksimal dan resiko sekecil mungkin bagi pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan
melakukan pengobatan yang rasional. Adapun tujuan pengobatan dasar ini adalah
meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat di Indonesia, yaitu
terhentinya proses perjalanan penyakit yang diderita oleh seseorang, berkurangnya
penderitaan karena sakit, mencegah dan berkurangnya kecacatan, serta merujuk penderita ke
fasilitas diagnosis dan pelayanan yang lebih canggih bila perlu
B. Permasalahan
C. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap pasien yang datang ke poliklinik
umum, serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
D. Pelaksanaan
Telah dilakukan kegiatan poliklinik umum di Puskesmas Panaikang selama periode Juni
2016 - Agustus 2016. Pemeriksaan meliputi anamnesis tentang gejala utama seperti
demam, nyeri kepala, batuk, sesak, mual muntah,nyeri ulu hati, nyeri perut, nafsu
makan, berak encer, gatal, serta keluhan penyerta. Kemudian dilakukan anamnesis tentang
riwayat penyakit, faktor risiko,riwayat keluarga, dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Setelah anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisis berupa inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Dan jika diperlukan, dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium.
Pada anamnesis, didapatkan keluhan terbanyak pasien yang datang berobat ke poliklinik
umum yaitu nyeri ulu hati, demam, batuk, dan sakit kepala. Dari anamnesis tersebut dengan
keluhan nyeri ulu hati, paling banyak dengan diagnosis akhir dyspepsia, keluhan demam,
batuk paling banyak dengan diagnosis ISPA, dan keluhan sakit kepala paling banyak
dengan diagnosis hipertensi.Pasien yang dirujuk ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien
yang tidak dapat ditangani di Puskesmas seperti tumor, katarak dan trauma.