Anda di halaman 1dari 8

A.

LATAR BELAKANG
1. Asam Urat
Kesehatan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan, sehingga tingkat
yang diwakili oleh angka harapan hidup menjadi indikator yang selalu digunakan
dalam indeks pembangunan manusia. Untuk mencapai suatu derajat kesehatan yang
baik, harus dibutuhkan peranan pendidikan kesehatan yang berkelanjutan di dalam
masyarakat (FIP-UPI, 2007). Pada lansia terjadi penyakit degeneratif yang meliputi
athritis gout, hipertensi, gangguan pendengaran, kelainan jantung, penurunan visual,
dan gangguan pada tulang. Penyakit degeneratif tersebut disebabkan oleh adanya
masalah kemunduran fungsi organ, anatomi tubuh dan pola makan (Noorkasihan,
2009).
Dari penyakit tersebut, penyakit gout athritis menjadi keluhan utama pada lansia
karena mengganggu aktivitas sehari - hari, bahkan bisa membuat sulit tidur. Gout
athritis adalah penyakit yang menyakitkan, lama – kelamaan akan mengalami
penumpukan kristal keras mengakibatkan nekrosis sehingga, dibutuhkan tindakan
pembedahan (oprasi) (Wang et al., 2009). Gout athritis sendiri adalah penyakit yang
menyerang bagian sendi yang dikarenakan kelainan metabolism purin (Fitriana,
2015).
Di Amerika sendiri bahwa penyakit gout athritis adalah salah satu penyebab
kecacatan yang paling umum terjadi (MeGuire, 2012). Orang yang menderita
penyakit gout athritis terkadang disertai dengan hipertensi, obesitas dan masalah pada
ginjalnya (Feng et al., 2015). Sedangkan menurut studi di Amerika masyarakat yang
menderita penyakit gout athritis banyak meninggalkan pekerjaannya sebelum pensiun
(College, 2012). Hasil prevalensi menunjukan bahwa laki – laki lebih cenderung
terkena penyakit gout athritis dibandingkan wanita karena asam urat serum secara
statistik signifikan berkorelasi dengan indeks massa tubuh (BMI), sistolik dan
diastolik tekanan darah, high-density lipoproteinkolesterol, trigliserida. Tetapi hal ini
tidak menuntut kemungkinan bahwa hanya laki–laki saja yang mengalami masalah
tersebut sehingga, pencegahan penyakit gout athritis tidak hanya dilakukan oleh laki –
laki saja (Lohsoonthorn et al., 2006).
Pencegahan penyakit gout athritis sendiri adalah menghindari mengkonsumsi
makanan yang tinggi akan purin seperti: makanan jeroan, makanan yang sudah
diawetkan, daging angsa. Sehingga sangat penting bagi lansia untuk mengetahui diet
makan yang seperti apa untuk mencegah atau mengantisipasi terjadinya masalah yang
lebih serius lagi (Fitriana, 2015). Menurut hasil penelitian Diantari & Candra (2013)
bahwa tidak ada pengaruh antara cairan dengan kadar asam urat, dan ada pengaruh
positif asupan purin terhadap asam urat. Menurut Lumunon & Bidjuni (2015)
menunjukkan, ada hubungan antara status gizi dengan gout athritis.
Di dalam masyarakat masih belum tercapainya prilaku sesuai dengan nilai – nilai
kesehatan atau perilaku kesehatan sehingga, masih belum berperan secara optimal
dalam pemberian pendidikan kesehatan. Oleh karena itu para petugas kesehatan dan
calon petugas kesehatan harus memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik
terhadap pendidikan kesehatan sehingga penyampaian dalam pendidikan kesehatan
harus bisa mempengaruhi masyarakat agar tercapainya pendidikan yang optimal
(Wibawati, & Riyanto, 2014).
Dari hasil wawancara di rumah masyarakat 4 orang mengatakan mengerti akan
penyakit gout athritis (asam urat), tetapi terkait diet gout apa saja yang boleh
dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi oleh penderita penyakit gout athritis belum
sepesifik mengerti karena kurangnya pengetahuan terkait diet gout dan sering
terjadinya kekambuhan penyakit asam urat. Dan mereka juga mengatakan mengerti
akan penyakit gout athritis dan sedikit mengerti jenis – jenis makanan yang tidak
boleh dikonsumsi bagi penderita penyakit gout athritis, akan tetapi responden
mengatakan kadang – kadang mereka mengkonsumsi makanan yang tinggi akan
kandungan asam urat karena mereka beranggapan bahwa mengkonsumsi makanan
tersebut dengan jumlah yang tidak seberapa tidak akan berpengaruh terhadap
tingginya asam urat. Kemudian 1 orang lagi mengatakan bahwa mengerti akan
penyakit asam urat tetapi dalam diet rendah purin belum teratur. Oleh karena itu,
perlu untuk diberikan pendidikan kesehatan tentang diet gout terhadap pengetahuan
penyakit gout athritis.
2. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus atau penyakit kencing manis (Morrison et al., 2010).adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan adanya peningkatan kadar
gula (glukosa) darah secara terus menerus (kronis) akibat kekurangan insulin baik kuantitatif
( kehilangan insulin , pola naik turun sekresi insulin ) maupun kualitatif (pengurangan massa
sel sel β) ( ADA, 2004).
Menurut ADA (2005) diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh. Ada
beberapa jenis diabetes mellitus, yaitu tipe I, yang sering disebut Diabetes Mellitus
Tergantung Insulin (DTMI) atau disebut Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), dan
tipe 2 sering disebut Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau NIDDM (non
insulin dependent diabetes mellitus) (Mahmud, 2005). DM tipe I atau yang biasa disebut
diabetes yang tergantung pada insulin adalah DM akibat kekurangan insulin dalam darah
karena adanya kerusakan sel beta pankreas, sedangkan DM tipe 2 atau yang biasa disebut
DM tidak tergantung insulin, terjadi karena insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik
( Soegondo, 2013 )
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang banyak diderita oleh
masyarakat Indonesia. Menurut penelitian epidemiologi yang telah dilaksanakan di
Indonesia, prevalensi diabetes tipe 2 berkisar antara 1,4%-1,6% (Karyadi, 2011). Berdasar
perkiraan tahun 2020 prevalensi diabetes akan meningkat sebesar 86 % – 138 %
dibandingkan kenaikan penduduk Indonesia pada periode yang sama hanya 40 %
( Suyono,2004 )
Penyakit DM merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif yang tidak dapat
disembuhkan akan tetapi penderita DM dapat hidup normal sepanjang hidupnya jika
mematuhi empat pilar utama penanganan penderita DM yang meliputi : edukasi,
pengaturan makan, latihan jasmani dan obat – obatan anti diabetik (Perkeni, 2006).
Pengaturan makanan dan diit untuk penyembuhan penyakit bukanlah merupakan tindakan
yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan upaya
perawatan dan pengobatan untuk penyembuhan penyakit pasien. Pengaturan makan,
perawatan penyakit dan pengobatan, ketiganya merupakan satu kesatuan dalam proses
penyembuhan penyakit. Oleh karena itu tanggung jawab pengaturan makan bagi orang sakit
bukanlah semata-mata tanggung jawab seorang ahli gizi, akan tetapi merupakan tanggung
jawab bersama dari keempat unsur yang berperan dalam proses penyembuhan penyakit,
yaitu dokter, perawat, ahli gizi, dan pasien (Puspita,2011).
Meskipun dokter telah menetapkan diit yang tepat bagi penderita dan diit disiapkan
dengan baik dalam bentuk sajian makanan namun jika makanan tersebut tidak dikonsumsi
oleh penderita maka diit tersebut tidak ada manfaatnya (Miron et al., 2010). Oleh karena itu
bagi seorang pasien, pengetahuan tentang peranan makanan dan penggunaan makan dalam
penyembuhan penyakit, sama pentingnya dengan pengetahuan tentang peranan kegunaan
obat bagi penyembuhan penyakit. Bahkan setelah penderita sembuh sekalipun, pada waktu
akan meninggalkan rumah sakit, ahli gizi masih harus selalu memberikan petunjuk
bagaimana harus mengatur makanannya di rumah, sesuai dengan diit dan penyakit yang
dideritanya ( Puspita, 2011). Kegiatan konseling gizi pasien bisa dilakukan dengan media
leaflet yang memudahkan pasien memahami materi konseling yang disampaikan. Menurut
Notoatmodjo (2005 ) media leaflet yang diberikan kepada pasien DM meliputi bentuk
penyampaian informasi melalui lembar yang dilipat, lembar pengaturan diit DM dan lembar
bahan makanan penukar. Pemberian leaflet yang terpisah akan beresiko pada kehilangan
salah satu leaflet yang telah diberikan pada pasien. Disamping itu materi leaflet lebih sedikit
karena hanya memuat tentang pengaturan makan dan penukar bahan makanan, hal ini
belum dapat memotivasi penderita DM untuk mematuhi diet yang diberikan.
Menurut Adawiyani, (2013) selain media leaflet , pemberian booklet juga membantu
ahli gizi terkait pemberian informasi diet pasien, karena booklet lebih terperinci dan jelas
karena lebih banyak mengulas tentang diet yang akan disampaikan kepada pasien. Booklet
tidak hanya dibaca oleh pasien saja tetapi juga dapat dipelajari oleh anggota keluarga yang
lain sehingga dapat membantu meningkatkan pengertian keluarga tentang DM dan cara
pengaturan makanan pada penderita DM ( Funnell, 2009 ). sedangkan kelemahannya adalah
gambar ilustrasi yang disajikan dan isi pesan terlalu banyak sehingga pasien atau keluarga
pasien enggan untuk membaca keseluruhan.
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular, penyakit degeneratif ini
banyak terjadi dan mempunyai tingkat mortalitas yang cukup tinggi. Persentase penderita
hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil
riskedas tahun 2018 meyatakan bahwa prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran
pada penduduk umur >18 tahun adalah 34,1%. Dari data kemenkes, hipertensi menjadi
peringkat pertama PTM yang didiagnosa di fasilitas kesehatan dengan jumlah kasus
mencapai 185.857. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah 140/90
mmHg atau lebih untuk usia 13 – 50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg ntuk
usia diatas 50 tahun. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama yang
menyebabkan serangan jantung dan stroke yang menyerang sebagian besar penduduk
dunia (Saputra, 2013).
Menurut (Adib, 2011) penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi
primer dan sekuder, hipertensi primer tidak diketahui penyebabnya dan ada kemungkinan
karena faktor keturunan atau genetik (90 %). Hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat
dari adanya penyakit sistemik lainnya seperti kelainan pembuluh ginjal dan gangguan
kelenjar tiroid, penggunaan obat-obatan tertentu (penggunaan pil KB) dan karena penyakit
kelebihan kadar gula atau diabetes mellitus.
Penyakit hipertensi tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan. Pengendalian
hipertensi dapat dilakukan dengan cara merubah gaya hidup, melakukan pemeriksaan rutin
tekanan darah yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut serta
pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001). Salah satu
cara untuk mengontrol hipertensi adalah dengan melakukan pengaturan pola makan
dengan metode diet DASH. Diet DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) merupakan
diet sayuran serta buah yang banyak mengandung serat pangan (30 gram/ hari) dan mineral
(kalium, magnesium serta kalsium) sementara asupan garamnya di batasi.
Diet DASH didesain mengikuti panduan pemeliharaan kesehatan jantung untuk
membatasi lemak jenuh dan kolesterol, dan membatasi natrium yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Diet DASH ini tidak hanya mengontrol tekanan darah agar mencapai dalam
kisaran normal atau terkontrol, namun juga berperan dalam pencegahan hipertensi (Andry,
2013 dalam Apriana, 2017). Namun pada kenyataannya, banyak pasien yang belum
mengetahui tentang diet DASH. Kebanyakan pasien mengetahui bahwa pengurangan garam
adalah salah satu cara mengatasi hipertensi. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat
tentang penyakit hipertensi masih rendah, hal ini dibuktikan dengan masyarakat lebih
memilih makanan cepat saji yang biasanya rendah serat, namun tinggi lemak, gula dan
garam. Hal ini yang dapat menyebabkan tingginya risiko terjadinya kekambuhan hipertensi 3
(Austriani, 2008).
Oleh karena itu perlu adanya pengenalan diet DASH pada pasien hipertensi melalui
konseling gizi. Konseling gizi merupakan salah satu cara untuk lebih memahami masalah
kesehatan yang terjadi pada seseorang. Pasien melakukan konseling gizi agar dapat
mengenali masalah kesehatan yang terjadi pada dirinya, memahami penyebab dan cara
pengendalian serta membantu pasien dalam memecahkan masalah sehingga terjadi
perubahan sikap dan perilaku agar dapat menerapkan diet yang sesuai dengan kondisi
pasien (Cornelia, 2013).
Menurut (Notoatmodjo, 2007), adanya intervensi konsultasi diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan. Karena pada hakekatnya konsultasi gizi merupakan
serangkaian proses belajar untuk mengembangkan pengertian dan sikap positif terhadap
makanan agar penderita dapat membentuk dan memiliki kebiasaan makan yang baik dalam
kehidupan sehari-hari (Pratami, 2016). Tingkat pengetahuan yang baik tentang diet DASH
diharapkan dapat mempermudah terjadinya perubahan perilaku. Berdasarkan penelitian
(Harahap, 2017) menunjukkan bahwa diet dan konseling berperan dalam menurunkan
tekanan darah (117/96 mmHg) pada subyek dengan prahipertensi. Hasil penelitian lain yang
dilakukan oleh Pratiwi (2011) terdapat perbedaan pengetahuan, sikap dan tekanan darah
(sistolik dan diastolik) sebelum dan sesudah diberi konseling gizi.

4. ASI EKSKLUSIF
Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat
dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial
dan pemerataan pelayanan kesehatan. Salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah meningkatnya status kesehatan dan
gizi ibu dan anak.
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih
menghadapi masalah kekurangan gizi, kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita
tangani dengan serius. Hasil Riskesdas dari tahun 2007 ke tahun 2013 menunjukkan fakta
yang memprihatinkan dimana underweight meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%, stunting
(pendek) juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara wasting (kurus) menurun
dari 13,6% menjadi 12,1%. Riskesdas 2010 dan 2013 menunjukkan bahwa kelahiran dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) <2500 gram menurun dari 11,1% menjadi 10,2%.
Untuk status gizi remaja, hasil Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi remaja usia
13-15 tahun yang pendek dan amat pendek adalah 35,2% dan pada usia 16-18 tahun
sebesar 31,2%. Sekitar separuh remaja mengalami defisit energi dan sepertiga remaja
mengalami defisit protein dan mikronutrien.
Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan
pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang
maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan.
Untuk mengatasi stunting, masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi
ibu hamil dan anak balita, dan Indonesia fokus kepada 1000 Hari Pertama Kehidupan yaitu
terhitung sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun.
Salah satu rekomendasi dalam Global Strategy on Infant and Child Feeding, pola
pemberian makan terbaik bagi bayi dan anak sejak lahir sampai umur 24 bulan sebagai
berikut : (1) Menyusui segera dalam waktu satu sampai dua jam pertama setelah bayi lahir
(Inisiasi Menyusu Dini/IMD), (2) Menyusui secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berumur 6
bulan, (3) Mulai memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang baik dan benar sejak
bayi berumur 6 bulan; dan (4) Tetap menyusui sampai anak berumur 24 bulan atau lebih.
Kepmenkes No. 450/2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif pada Bayi di
Indonesia terdiri atas lima ketetapan termasuk penetapan mengenai pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai dengan usia anak 2 tahun dengan
pemberian makanan tambahan yang sesuai. Juga ditetapkan bahwa tenaga kesehatan agar
menginformasikan kepada ibu mengenai anjuran ASI eksklusif. Pemberian informasi
dianjurkan untuk mengacu pada 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM).
Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997-2007 memperlihatkan terjadinya
penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32%
pada tahun 2003 dan 2007. Alasan yang menjadi penyebab kegagalan praktek ASI eksklusif
bermacam-macam seperti misalnya budaya memberikan makanan pralaktal, memberikan
tambahan susu formula karena ASI tidak keluar, menghentikan pemberian ASI karena bayi
atau ibu sakit, ibu harus bekerja, serta ibu ingin mencoba susu formula.Salah satu
keberhasilan ASI eksklusif adalah inisiasi menyusui dini (IMD). Peran tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinan dalam proses IMD adalah vital.
Pemberian makan yang baik sejak lahir hingga usia dua tahun merupakan salah satu
upaya mendasar untuk menjamin pencapaian kualitas tumbuh kembang sekaligus
memenuhi hak. Menurut World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s
Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan
dua per tiga diantara kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang
kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini dalam satu
jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat
diberikan. Keadaan ini akan membuat daya tahan tubuh lemah, sering sakit dan gagal
tumbuh. Oleh karena itu, upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak
balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar, menjadi agenda
penting demi menyelamatkan generasi masa depan.

5. MP-ASI
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung
zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi
selain dari ASI. MP-ASI berfungsi untuk mengenalkan bayi dari ASI ke makanan keluarga
(Kasumayanti, 2016). MPASI diberikan berupa makanan padat maupun cair secara bertahap
sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi. Menurut Kemenkes RI (2014), pada usia 6-24
bulan ASI hanya menyediakan ½ kebutuhan gizi bayi. Pada usia 12- 24 bulan ASI
menyediakan 1/3 dari kebutuhan gizinya, sehingga MP-ASI harus diberikan pada saat bayi
berusia enam bulan.
MP-ASI harus dilakukan pada saat yang tepat karena fase ini sangat berpengaruh untuk
mencapai bayi yang sehat dan tumbuh optimal. Manfaat pemberian MP-ASI untuk
melengkapi zat gizi yang kurang karena kebutuhan gizi bayi yang semakin meningkat sejalan
dengan bertambahnya umur bayi, mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima
bermacam-macam bentuk, tekstur dan rasa makanan (Sitompul, 2014). Sedangkan, jika MP-
ASI diberikan pada bayi usia dibawah enam bulan dapat berdampak pada sistem
pencernaannya, karena pada bayi belum memiliki enzim untuk mencerna makanan sehingga
dapat memperberat sistem kerja pencernaan dan ginjal bayi, selain itu dampak lainnya yang
akan muncul antara lain diare, dehidrasi, alergi dan gangguan tumbuh kembang (IDAI,
2014).
Dampak pemberian MP-ASI yang paling sering ditemukan di masyarakat yaitu
peningkatan angka kejadian diare, dimana hal tersebut sesuai dengan penelitian
Kasumayanti (2016), menjelaskan bahwa pemberian MP-ASI dini akan meningkatkan
kejadian diare pada bayi 0-6 bulan. Peningkatan tersebut di pengaruhi dari pemberian MP-
ASI dini yang meningkat. Hal tersebut di dukung dengan data cakupan pemberian MP-ASI di
Indonesia bahwa, pemberian MP ASI usia 0-6 bulan mencapai 46. 7 % (Kemenkes RI, 2016).
Menurut Ekasari (2018), mengemukakan bahwa faktor pemberian MP-ASI secara dini
salah satunya yaitu dukungan keluarga, peran keluarga dalam melarang pemberian MP-ASI
dini sangat dibutuhkan, pemberian MP-ASI dini biasanya karena anjuran orang tua, alasan
umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui dan akhirnya diberi susu
formula, air putih, teh manis dan lain-lain. Sedangkan menurut (Darmawan, et al (2015),
menjelaskan bahwa selain faktor-faktor diatas, perilaku juga berperan dalam mempengaruhi
pemberian MP-ASI. Perilaku dimana dalam pemberian MPASI yang tidak tepat dilihat dari
usia dan cara pemberian MP-ASI yang tidak tepat.
B. TUJUAN KONSULTASI
1. Asam Urat
1) Memperbaiki dan mempertahankan gizi optimal dan mempercepat penyembuhan.
2) Mengurangi/menghindari bahan makanan tinggi purin.
3) Menurunkan berat badan jika penderita gemuk.
2. Diabetes Mellitus
3. Hipertensi
1) Memberikan penjelasan pada keluarga tentang diet yang sesuai untuk penderita
hipertensi yaitu diet rendah garam, rendah lemak, dan kolesterol.
2) Menganjurkan pada keluarga untuk mengonsumsi makanan sesuai dengan diet
hipertensi.
3) Menganjurkan kepada keluarga memeriksakan pasien secara teratur.
4. ASI Eksklusif
1) Meningkatkan pengetahuan tentang makanan bergizi dan seimbang untuk ibu
menyusui
2) Untuk mempertahankan ASI Eksklusif
3) Merubah pola makan menjadi pola makan yang baik dan seimbang.
5. MP-ASI
1) Menggapai zat gizi ASI yang sudah berkembang.
2) Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan
dengan berbagai bentuk dan rasa.
3) Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.
C. MANFAAT KONSULTASI
1. Asam Urat
1) Bagi institusi pendidikan
Memberikan masukan kepada institusi pendidikan khususnya dalam bidang
perpustakaan dan diharapkan menjadi suatu masukan dan referensi yang berarti
serta bermanfaat bagi institusi dan mahasiswa.
2) Bagi mahasiswa
Diharapkan menjadi lahan untuk pengembangan pengetahuan dan aplikasi
pengetahuan yang didapatkan selama berada di bangku kuliah.
3) Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan tentang asam urat, mengetahui pola makan yang baik
untuk penyakit asam urat.
2. Diabetes Mellitus
1) Mengenali masalah kesehatan dan gizi yang dihadapi
2) Memahami penyebab terjadinya masalah
3) Mencari alternatif pemecahan masalah
4) Memilih cara pemecahan masalah yang paling sesuai baginya.
5) Membantu proses penyembuhan penyakit melalui perbaikan gizi klien
3. Hipertensi
1) Menurunkan angka kejadian penyakit hipertensi pada warga lansia.
2) Mencegah ataupun menangani secara dini komplikasi yang terjadi akibat penyakit
hipertensi.
3) Meningkatkan derajat dan kualitas kesehatan masyarakat secara optimal.
4. ASI Eksklusif
1) Bagi Puskesmas
Sebagai salah satu bahan masukan bagi pihak puskesmas untuk dapat ditindak
lanjuti dengan membuat kebijakan untuk meningkatkan cakupan pemberian ASI
Eksklusif di Desa Kampung Belakang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten
Aceh Barat.
2) Bagi Masyarakat
Sebagai masukan bagi ibu bekerja yang mempunyai bayi tentang tujuan dan
manfaat dari ASI Eksklusif, sehingga ibu mempunyai kesadaran untuk
memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif dan dilanjutkan sampai bayi
berumur 2 tahun.
3) Bagi Mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan ibu
tidak memberikan ASI Eksklusif pada ibu menyusui bayi usia 0-6 bulan di Desa
Kampung Belakang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.
5. MP-ASI
1) Untuk menambah wawasan tentang sikap ibu dalam pemberian makanan
pendamping pada bayi usia 6-12 bulan serta sebagai bahan dasar

Anda mungkin juga menyukai