Tidak ada yang bisa menghalangi prosesnya tubuh manusia selama menuju kedewasaan.
Kita sering kali menyebutnya dengan masa pubertas, adalah salah satu kenormalan yang
wajib dimiliki setiap manusia. Berbeda dengan Riono, seorang remaja tekun yang kerap
kali melakukan rutinan membaca cerita-cerita tak panjang sebelum jam pelajaran. Ara
yang sudah menjadi sobat karibnya sedari dulu, selalu saja terbiasa dengan sikap Riono
“Mungkin sisi keremajaan Riono masih belum tumbuh. Dia tidak pernah tertarik dengan
siapapun. Padahal, kecantikan para gadis di kelas ini sangat tidak bisa dipungkiri.” Ara.
Bukan sebuah kesalahan, jika Ara telah menyimpan rasa suka kepadanya. Bagaimanapun
juga, telah sekian tahun lamanya mereka berdua menjalani setiap suka dan duka
bersama-sama. Riono yang sama sekali tidak pernah menampakkan apapun kecuali buku
dan kepintaran, hal ini membuat Ara menjadi sabar senantiasa menanti kesadaran Riono
akan cintanya.
Terdengar langkah sepatu sedang menuju kelas mereka, suasana seketika menjadi
hening disaat seorang ibu guru memasuki kelas bersama seorang murid baru. Terkagum,
Anak itu memperkenalkan diri menggunakan pita suara emasnya dan berusaha tampil
penuh pesona. Riono yang biasanya tidak pernah menghiraukan peristiwa, hari itu adalah
pertama kali dia dibuat meleleh dengan kedatangan sang tampan Wirna. Lebih lagi,
bangku kosong di sebelah Riono adalah satu-satunya tempat yang bisa dia duduki. Wirna
adalah anak yang tajir, tampan, dan berbakat bermain gitar. Dari sekian banyak siswa,
Wirna lebih memilih berteman dengan Riono dan Ara saja. Itulah yang membedakan,
Seperti biasanya, taman perpustakaan adalah tempat favorit mereka bertiga bergurau
bercanda dan saling membicarakan hal-hal receh yang hanya bisa dimengerti oleh
mereka saja. Sikap Riono belakangan ini berubah, dan mulai menunjukkan jiwa remaja
dalam dirinya. Rajin olahraga, rambut berlapis gel yang rapi, aroma parfum yang
memikat, dan segala sikapnya sangat berubah secara totalitas seperti sedang dimabuk
cinta. Setiap kali ke perpustakaan, Ara yang bertubuh pendek selalu saja ada Wirna
yang membantu mengambil dan mengembalikan buku. Ketika Ara sedang libur sekolah
karena sakit, hanya Wirna yang berusaha membuat tugas-tugasnya selesai. Riono
memang bukan siswa yang peduli, namun dia tidak bisa menolak jika Wirna meminta
contekan untuk penugasan. Tanpa boleh diketahui Riono, semua tugas Ara yang dia
Semenjak hari itu, Riono semakin menggila akhir-akhir ini. Tindakan-tindakan perhatian
dan tebar pesona hanya terus diutarakan kepada Wirna. Buktinya, nilai Wirna semakin
hari semakin bagus. Bukanlah karena rajinnya dalam belajar, tetapi ada campur tangan
Riono yang selalu menyempatkan untuk mencuri buku tugasnya yang telah dikumpulkan
untuk mengganti semua kesalahan tugasnya. Sedangkan Ara sama sekali tidak tergubris
olehnya, Riono adalah remaja yang memang benar-benar sedang dimabuk cinta sekarang.
Setiap selesai jam olahraga, sebuah minuman dingin masih bersegel tergeletak di bangku
sebelah tasnya Wirna. Tanpa merasa janggal dan meragukan, Wirna langsung menyangka
bahwa semua ini adalah Ara. Mata jernih Wirna selama ini tidak pernah luput perhatian
kepadanya.
“Iya, aku selalu mendapatkan kejutanmu. Surat cinta tanpa nama yang terselip di dalam
laci kemarin, adalah yang paling manis menurutku. Terimakasih sayang.” Wirna berbisik
Ara yang sebenarnya sudah mengetahui akan semua hal itu, dia hanya mengangguk
senyum seolah-olah memang dia yang melakukannya, bukan Riono. Hal itu tidak membuat
Ara merasa lemah dan putus asa. Keteguhan hati bahwa Riono adalah cinta sejatinya
sudah menjadi tonggak semangat dan dirinya telah diselubungi dengan perasaan itu.
Semua yang dilakukan Riono kepada Wirna selalu dia ketahui. Hingga pada suatu hari Ara
mengintip Riono yang sedang meletakkan sebuah lipatan kertas buram di laci meja
Wirna. Iya, Riono masih kurang pandai dalam hal menyembunyikan sesuatu. Ara bergegas
“Dear Wirna. Selama ini telah aku lakukan segalanya untukmu. Demi cinta ini, kurelakan
apapun yang aku punya untuk bisa mendapatkanmu. Kamu sangat tampan, keren, memikat,
wangi, itu semua membuatku merasa ingin selalu berada di pelukanmu. Malam ini pukul 8
malam, temui aku di rumah. Jl Pelangi no.22, rumahku pagar besi hitam tepat di sebelah
kafe. Orang tuaku sedang pergi keluar kota selama beberapa hari. Datanglah, habiskan
Malam telah tiba, bukan berarti surat itu tadi tidak terbaca oleh Wirna. Bukan berarti
Wirna mengetahui siapa pengirim surat itu sebenarnya. Namun, Ara juga tidak akan
tinggal diam dengan meratapi sebuah tangis sendirian di depan meja belajarnya.
“Aku harus sampai ke rumahnya sebelum Wirna”. Ara dengan bergegas berjalan cepat
menuju rumah yang ada di alamat surat tadi. Tentu saja ini bukan rumahnya Riono
seperti yang biasanya ia kunjungi. Langkah demi langkah dia ayuh secepat mungkin,
hingga tak terasa sudah sampai di tempat persis seperti alamat yang tertulis.
Bel rumah
Tidak pernah disangka sebelumnya, betapa terkejutnya Riono ketika pintu dibuka dan
“Akan kujelaskan jika sofamu bersedia aku duduki” Ara meminta masuk rumah untuk
menjelaskan.
“Riono, tidakkah kau sadar? Kamu cowok, dan kamu tidak boleh melakukan ini. Kamu
bukan homo, kamu bukan gay. Aku lah yang sebenarnya harus kau cintai, bukan Wirna”
Ara menjelaskan.
“Ada apa denganmu, Ara. Ini adalah hidupku. Hidupku yang sebenar-benarnya dalam
diriku. Aku mencintainya, ketampanannya, lekuk ototnya, suaranya, itu semua membuatku
penuh akan gairah jika aku melihatnya. Lagi pula, kapan aku bisa menyatakan cinta
kepadamu? Sama sekali tidak pernah kurasakan sebuah cinta untuk dirimu, walaupun
sebenarnya aku sudah mengetahui kesetiaanmu menunggu. Siapa yang mau hidup dengan
Ara yang langsung merasa tertikam mendengar perkataan itu, hal ini membuat pikirannya
menjadi hitam dan mengeluarkan pisau barunya yang tajam dan sedikit panjang. Semua
ingatannya tentang persahabatan telah sirna termakan oleh ungkapan tadi. Sekarang
adalah waktunya untuk melanjutkan apa yang sudah direncanakan sejak dia mengurung
diri dikamarnya tadi. Dengan rintik air mata yang sangat deras, Ara telah nekad menjadi
“jleb….”
Tidak ada keraguan lagi, leher adalah incaran utama untuk memutus selang udara. Riono
yang sudah sekarat dengan sekali tusukan tidak bisa berbuat apa-apa selain jatuh
tengkurap dan gemetaran. Masih kurang puas, Ara menggunakan kakinya untuk
membuatnya telentang.
“jleb..jlebb”
Tidak mungkin ada kepuasan jika kedua mata juga saling ditusuk secara bergantian.
Aliran darah bukan lagi sebuah gambaran. Ini semua sedang benar-benar terjadi. Dalam
isak tangisnya, rumah tua ini menjadi saksi bisu atas kriminal yang terjadi malam ini.
Tidak tahan diri melihat apa yang telah terjadi, Ara pingsan tak sadarkan diri.
“Tempat apa ini? kenapa aku ada di sini?” Ara sudah mulai membuka mata.
“Wirna? Ba bagaimana? Apa semua ini?” Ara terkejut dengan posisi tidur di sebuah
“Ara, jangan takut. Aku mengetahui semua ini. Tenang ya, tadi polisi datang ketika
ayahku melihatnya. Aku datang bersama ayah, dan kami sudah mengetahui semua yang
terjadi” Wirna.
“Iya, kamu akan ada di penjara selama beberapa tahun. Tenang, ini semua akan baik-baik
saja. Kami semua tahu masalahnya, dan aku akan selalu menjengukmu setiap hari.
Percayalah, Ara. Cinta hanya tumbuh pada manusia normal. Dan pula aku, kini sedang
bersamamu. Kamu perempuan baik. Ayah dan ibumu sangat bangga mempunyai anak
sepertimu. Tunggu saja nanti, kita akan membuktikan cinta ini kepada mereka.” Wirna