Anda di halaman 1dari 4

TRIONO

Riono, Wirna, Ara

Tidak ada yang bisa menghalangi prosesnya tubuh manusia selama menuju kedewasaan.

Kita sering kali menyebutnya dengan masa pubertas, adalah salah satu kenormalan yang

wajib dimiliki setiap manusia. Berbeda dengan Riono, seorang remaja tekun yang kerap

kali melakukan rutinan membaca cerita-cerita tak panjang sebelum jam pelajaran. Ara

yang sudah menjadi sobat karibnya sedari dulu, selalu saja terbiasa dengan sikap Riono

yang sangat pendiam dan berbeda dengan remaja lain.

“Mungkin sisi keremajaan Riono masih belum tumbuh. Dia tidak pernah tertarik dengan

siapapun. Padahal, kecantikan para gadis di kelas ini sangat tidak bisa dipungkiri.” Ara.

Bukan sebuah kesalahan, jika Ara telah menyimpan rasa suka kepadanya. Bagaimanapun

juga, telah sekian tahun lamanya mereka berdua menjalani setiap suka dan duka

bersama-sama. Riono yang sama sekali tidak pernah menampakkan apapun kecuali buku

dan kepintaran, hal ini membuat Ara menjadi sabar senantiasa menanti kesadaran Riono

akan cintanya.

Terdengar langkah sepatu sedang menuju kelas mereka, suasana seketika menjadi

hening disaat seorang ibu guru memasuki kelas bersama seorang murid baru. Terkagum,

para penghuni kelas mulai berkata dengan saling berbisik.

“Dia sangat tampan”

Anak itu memperkenalkan diri menggunakan pita suara emasnya dan berusaha tampil

penuh pesona. Riono yang biasanya tidak pernah menghiraukan peristiwa, hari itu adalah

pertama kali dia dibuat meleleh dengan kedatangan sang tampan Wirna. Lebih lagi,

bangku kosong di sebelah Riono adalah satu-satunya tempat yang bisa dia duduki. Wirna

adalah anak yang tajir, tampan, dan berbakat bermain gitar. Dari sekian banyak siswa,

Wirna lebih memilih berteman dengan Riono dan Ara saja. Itulah yang membedakan,

Wirna tidak memiliki kesombongan sama sekali dalam dirinya.

Seperti biasanya, taman perpustakaan adalah tempat favorit mereka bertiga bergurau

bercanda dan saling membicarakan hal-hal receh yang hanya bisa dimengerti oleh

mereka saja. Sikap Riono belakangan ini berubah, dan mulai menunjukkan jiwa remaja

dalam dirinya. Rajin olahraga, rambut berlapis gel yang rapi, aroma parfum yang

memikat, dan segala sikapnya sangat berubah secara totalitas seperti sedang dimabuk

cinta. Setiap kali ke perpustakaan, Ara yang bertubuh pendek selalu saja ada Wirna
yang membantu mengambil dan mengembalikan buku. Ketika Ara sedang libur sekolah

karena sakit, hanya Wirna yang berusaha membuat tugas-tugasnya selesai. Riono

memang bukan siswa yang peduli, namun dia tidak bisa menolak jika Wirna meminta

contekan untuk penugasan. Tanpa boleh diketahui Riono, semua tugas Ara yang dia

kerjakan adalah bersumber dari Riono.

“Aku tidak akan bisa menolakmu, Wirna.” Riono.

“Apa? Apa yang kamu bicarakan?” Wirna.

“Oh, Wirna. Kamu akan segera mengetahuinya” Riono.

Semenjak hari itu, Riono semakin menggila akhir-akhir ini. Tindakan-tindakan perhatian

dan tebar pesona hanya terus diutarakan kepada Wirna. Buktinya, nilai Wirna semakin

hari semakin bagus. Bukanlah karena rajinnya dalam belajar, tetapi ada campur tangan

Riono yang selalu menyempatkan untuk mencuri buku tugasnya yang telah dikumpulkan

untuk mengganti semua kesalahan tugasnya. Sedangkan Ara sama sekali tidak tergubris

olehnya, Riono adalah remaja yang memang benar-benar sedang dimabuk cinta sekarang.

Setiap selesai jam olahraga, sebuah minuman dingin masih bersegel tergeletak di bangku

sebelah tasnya Wirna. Tanpa merasa janggal dan meragukan, Wirna langsung menyangka

bahwa semua ini adalah Ara. Mata jernih Wirna selama ini tidak pernah luput perhatian

kepadanya.

“Iya, aku selalu mendapatkan kejutanmu. Surat cinta tanpa nama yang terselip di dalam

laci kemarin, adalah yang paling manis menurutku. Terimakasih sayang.” Wirna berbisik

di samping telinga Ara.

Ara yang sebenarnya sudah mengetahui akan semua hal itu, dia hanya mengangguk

senyum seolah-olah memang dia yang melakukannya, bukan Riono. Hal itu tidak membuat

Ara merasa lemah dan putus asa. Keteguhan hati bahwa Riono adalah cinta sejatinya

sudah menjadi tonggak semangat dan dirinya telah diselubungi dengan perasaan itu.

Semua yang dilakukan Riono kepada Wirna selalu dia ketahui. Hingga pada suatu hari Ara

mengintip Riono yang sedang meletakkan sebuah lipatan kertas buram di laci meja

Wirna. Iya, Riono masih kurang pandai dalam hal menyembunyikan sesuatu. Ara bergegas

mengambilnya dan membuka sebuah surat setelah Riono pergi.

“Dear Wirna. Selama ini telah aku lakukan segalanya untukmu. Demi cinta ini, kurelakan

apapun yang aku punya untuk bisa mendapatkanmu. Kamu sangat tampan, keren, memikat,

wangi, itu semua membuatku merasa ingin selalu berada di pelukanmu. Malam ini pukul 8

malam, temui aku di rumah. Jl Pelangi no.22, rumahku pagar besi hitam tepat di sebelah
kafe. Orang tuaku sedang pergi keluar kota selama beberapa hari. Datanglah, habiskan

malam ini bersamaku.” Isi surat yang dibaca Ara.

Malam telah tiba, bukan berarti surat itu tadi tidak terbaca oleh Wirna. Bukan berarti

Wirna mengetahui siapa pengirim surat itu sebenarnya. Namun, Ara juga tidak akan

tinggal diam dengan meratapi sebuah tangis sendirian di depan meja belajarnya.

“Aku harus sampai ke rumahnya sebelum Wirna”. Ara dengan bergegas berjalan cepat

menuju rumah yang ada di alamat surat tadi. Tentu saja ini bukan rumahnya Riono

seperti yang biasanya ia kunjungi. Langkah demi langkah dia ayuh secepat mungkin,

hingga tak terasa sudah sampai di tempat persis seperti alamat yang tertulis.

Bel rumah

Tidak pernah disangka sebelumnya, betapa terkejutnya Riono ketika pintu dibuka dan

seorang Ara sahabatnya sedang berdiri di hadapannya.

“Sedang apa kau di sini?” Riono.

“Menepati janji suratmu, tentu” Ara.

“A a apa?” Riono terbata.

“Iya, Riono. Kamu salah. Ada apa dengan dirimu?” Ara.

“Apa yang m m mau kau bi bicarakan?” Riono tegang.

“Akan kujelaskan jika sofamu bersedia aku duduki” Ara meminta masuk rumah untuk

menjelaskan.

“Riono, tidakkah kau sadar? Kamu cowok, dan kamu tidak boleh melakukan ini. Kamu

bukan homo, kamu bukan gay. Aku lah yang sebenarnya harus kau cintai, bukan Wirna”

Ara menjelaskan.

“Ada apa denganmu, Ara. Ini adalah hidupku. Hidupku yang sebenar-benarnya dalam

diriku. Aku mencintainya, ketampanannya, lekuk ototnya, suaranya, itu semua membuatku

penuh akan gairah jika aku melihatnya. Lagi pula, kapan aku bisa menyatakan cinta

kepadamu? Sama sekali tidak pernah kurasakan sebuah cinta untuk dirimu, walaupun

sebenarnya aku sudah mengetahui kesetiaanmu menunggu. Siapa yang mau hidup dengan

jalang miskin sepertimu” Riono berdiri membelakanginya.

Ara yang langsung merasa tertikam mendengar perkataan itu, hal ini membuat pikirannya

menjadi hitam dan mengeluarkan pisau barunya yang tajam dan sedikit panjang. Semua

ingatannya tentang persahabatan telah sirna termakan oleh ungkapan tadi. Sekarang

adalah waktunya untuk melanjutkan apa yang sudah direncanakan sejak dia mengurung
diri dikamarnya tadi. Dengan rintik air mata yang sangat deras, Ara telah nekad menjadi

pembunuh tanpa saksi seseorangpun.

“jleb….”

Tidak ada keraguan lagi, leher adalah incaran utama untuk memutus selang udara. Riono

yang sudah sekarat dengan sekali tusukan tidak bisa berbuat apa-apa selain jatuh

tengkurap dan gemetaran. Masih kurang puas, Ara menggunakan kakinya untuk

membuatnya telentang.

“jleb..jlebb”

Tidak mungkin ada kepuasan jika kedua mata juga saling ditusuk secara bergantian.

Aliran darah bukan lagi sebuah gambaran. Ini semua sedang benar-benar terjadi. Dalam

isak tangisnya, rumah tua ini menjadi saksi bisu atas kriminal yang terjadi malam ini.

Tidak tahan diri melihat apa yang telah terjadi, Ara pingsan tak sadarkan diri.

“Tempat apa ini? kenapa aku ada di sini?” Ara sudah mulai membuka mata.

“Wirna? Ba bagaimana? Apa semua ini?” Ara terkejut dengan posisi tidur di sebuah

ranjang rumah sakit.

“Ara, jangan takut. Aku mengetahui semua ini. Tenang ya, tadi polisi datang ketika

ayahku melihatnya. Aku datang bersama ayah, dan kami sudah mengetahui semua yang

terjadi” Wirna.

Ara kembali menangis dengan ingatannya itu.

“Iya, kamu akan ada di penjara selama beberapa tahun. Tenang, ini semua akan baik-baik

saja. Kami semua tahu masalahnya, dan aku akan selalu menjengukmu setiap hari.

Percayalah, Ara. Cinta hanya tumbuh pada manusia normal. Dan pula aku, kini sedang

bersamamu. Kamu perempuan baik. Ayah dan ibumu sangat bangga mempunyai anak

sepertimu. Tunggu saja nanti, kita akan membuktikan cinta ini kepada mereka.” Wirna

memeluk dan mengatakannya dengan penuh harap.

Anda mungkin juga menyukai