Anda di halaman 1dari 4

Cerpen Karangan: Raihan Khaira

Kategori: Cerpen Bahasa Daerah, Cerpen Budaya, Cerpen Remaja


Lolos moderasi pada: 3 February 2019

Pemuda itu duduk bersila seraya menyenderkan kepalanya di salah satu sisi rangkang. Ia menarik
nafas, lalu dihembuskan perlahan. Wajahnya menunjukkan ketertarikannya dengan udara segar
pagi ini. Sang surya bersinar cerah, namun cahayanya dihalangi oleh hamparan awan-awan putih
gading yang rapi tersusun di bawahnya. Ditambah dengan suara merdu desiran ombak yang
seirama, beserta deretan kepiting yang kelihatan sangat sibuk berkejar-kejaran. Tak henti-
hentinya pemuda itu bertasbih. Betapa bersyukur dirinya merasakan semua keindahan ini.

“Bi..”

Pemuda itu membantu anaknya menaiki rangkang, dan didudukkan di sebelahnya. Bocah kecil itu
menunjukkan sebuah benda berbentuk seperti tempayan yang di bagian atasnya tertutup kulit.
Pemuda itu menerimanya, lalu mulai memukulnya perlahan. Benda tersebut akan menghasilkan
suara degungan yang besar jika dipukul di tengah-tengah, dan akan menghasilkan suara yang
nyaring dan tajam jika dipukul pada bagian pinggir. Ia menghayati setiap pukulannya sampai
matanya terpejam santai, lalu mulai melantunkan sebuah syair.

Meunyo ka hana raseuki


Nyang bak bibi rhot u lua
Bek susah sare bek seudeh hate
Tapike laen tamita
Mmmm ~

Bocah kecil itu menikmatinya. Biarpun terkadang abinya melupakan sedikit bagian dari syair
tersebut, itu tetap enak di pendengarannya. Ia menghayati setiap katanya, biarpun tidak dapat
dipahami otaknya. Suasana pagi ini sangat sesuai dengan syair-syair lembut dan dentuman benda
itu. Ingin rasanya merasakan hal ini sepanjang hari.

Fais tersadar ketika setitik air mata jatuh dan mengalir di pipinya. Betapa kini ia merindukan
kehadiran abi di sampingnya. Sudah bertahun-tahun ia lalui tanpa abi yang selalu
mengantarkannya ke sekolah, yang sering meminta bantuannya untuk menyiram tanaman di
kebun, yang selalu memarahinya jika menyisakan makanan. Sangat banyak kenangan yang Fais
lalui bersama abi. Termasuk syair-syair indah di pagi hari yang selalu abi nyanyikan serta
dentuman hangat benda itu yang masih sangat jelas diingatannya.

“Benda ini namanya rapai. Ada sebuah tarian etnis Aceh yang menggunakan rapai seperti ini,
disebut Tari Rapai Geleng. Gerakan tarian tersebut awalnya lambat, lalu semakin cepat sesuai
dengan syairnya, diikuti dengan gerakan tubuh yang meliuk ke kiri dan ke kanan dengan posisi
duduk bersimpuh. Semakin cepat syairnya dinyanyikan, maka gerakannya juga semakin cepat.
Begitupun sebaliknya. Pada setiap titik puncaknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh
nyanyian syair. Nah, supaya menghasilkan suara, rapai ini harus dipukul,” abi melanjutkan dengan
memukul rapai itu dan menyanyikan syair-syairnya.

“Beu reujang rayek banta sidang, jak tulong prang musoh nanggroe..” Fais terbawa suasana
hatinya. Salah satu syair itu terlantunkan begitu saja dari mulutnya. Rindu pada abi yang selalu
menyanyikan syair itu sebelum Fais tidur dan bahkan sampai Fais berpetualang di alam mimpinya.

Fais, murid SMA yang jauh dari desa, tinggal dengan umi dan adiknya. Bertahun-tahun sudah umi
menjadi single parent setelah abi kembali kepada Allah. Untungnya, rezeki seperti tak pernah
berniat untuk meninggalkan mereka. Setelah mereka ditimpa kesedihan dan kepedihan, berbagai
mukjizat tak henti-hentinya datang. Umi diajak bergabung di sebuah perusahan sukses,
sementara Fais dan adiknya lulus beasiswa sekolah terbaik di kota.

Ya, disinilah Fais sekarang. Sebuah kota yang sangat modern dengan berbagai fasilitas yang
sudah canggih. Gedung tinggi dimana-mana. Kota yang selalu berpasangan dengan suara berisik
kendaraan. Kota yang ingin bersahabat dengan oksigen, tetapi sudah direbut karbondioksida. Kota
yang setiap paginya selalu diramaikan dengan karyawan-karyawan kantor yang terburu-buru
berangkat kerja.

Rumah berlantai dua milik keluarga Fais berada di tengah-tengah kota itu, sangat jarang
berpenghuni karena selalu disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Rumah yang indah
biarpun tidak memiliki taman di halamannya. Rumah itu luas dan memiliki banyak kamar.

Ada satu kamar yang baru kali ini Fais sadari kehadirannya. Ruangan yang luas, tapi berisi
barang-barang tak terpakai, atau bisa disebut gudang. Wajar saja, dulu saat pindah ke sana, Fais
tengah disibukkan dengan ujian nasional, yang membuatnya tidak dapat membantu umi dan
adiknya memberesi rumah. Nah, disitulah Fais sekarang. Di dalam gudang yang dipenuhi debu dan
sarang laba-laba. Di tangannya kini terdapat sebuah rapai yang penuh kenangannya bersama abi.
Air mata jatuh setitik lagi dari sudut matanya. Buru-buru ia menyapunya, dan membersihkan debu
yang terdapat di rapai itu.

Rapai itu dipukul sekali. Fais merasa betapa tenang hatinya saat ini. Dilanjutkan pukulan kedua,
ketiga, dan seterusnya. Pukulan yang berlanjut itu menghasilkan sebuah musik yang pas. Pita
suaranya mulai bergetar menghasilkan syair-syair lama yang penuh makna. Permainan itu terus
berlanjut. Fais menikmatinya sendiri.

”Nanggroe Aceh nyoe teumpat lon lahe


Bak ujong pante pulo Sumatra
Dilee baroe kon lam jaroe kaphe
Jinoe hana le ka aman seuntosa..”
Permainannya terhenti karena ia menyadari kehadiran umi di sebelahnya. Umi tersenyum, lalu
Fais berjalan keluar mengikuti uminya.

“Mendadak umi sangat rindu abi. Melihatmu memainkan rapai itu, umi ingat pada abi yang tak
pernah libur memainkannya setiap hari. Pagi-pagi selalu umi lewati dengan syair-syair yang abi
nyanyikan diiringi dentuman rapai. Abi pernah berangan-angan, ingin terus mengiringi bumi Aceh,
nusantara, bahkan dunia dengan suara pukulan rapai lima puluh tahun atau seratus tahun
kedepan. Sangat ingin dirinya melestarikan rapai ini, sampai ke cucu-cucunya nanti,” umi lalu
tersenyum hangat, membayangkan kembali kejadian yang sudah lama itu.
Umi menarik nafas, lalu membuangnya perlahan. Tiba-tiba saja senyumnya menghilang, diikuti
raut wajah yang menunjukkan kesedihan. Ia melanjutkan perkataannya, “Tapi mustahil rasanya.
Di zaman yang sangat modern ini, tidak ada lagi yang memainkan rapai. Mungkin saja mereka
bahkan tidak mengetahui bagaimana rapai itu. Rapai sudah dianggap sangat kuno, apalagi dengan
munculnya banyak alat musik yang lebih canggih. Dulu sekali, menjelang maulid begini, suara
pukulan rapai terdengar dimana-mana. Ingin rasanya umi mendengarkannya lagi,”
“Umi, doakan Fais supaya bisa mewujudkannya!” kata Fais penuh semangat.
“Kamu yakin, neuk?”

Fais masih ingat apa yang telah abi ajarkan. Bagaimana cara memainkan rapai agar terdengar pas
jika dimainkan berbarengan. Ia masih ingat saat abi mengajaknya ke acara maulid di desanya
dulu. Sekitar lebih kurang sebelas pemuda dua puluh tahunan memainkan rapai dengan sangat
kompak. Banyak masyarakat yang menontonnya. Disetiap puncak tarian yaitu ketika sedang
dalam gerakan yang cepat dan syair yang dinyanyikan cepat pula, lalu tiba-tiba berhenti, disitulah
suara riuh tepukan tangan penonton terdengar.

Umi wajar saja merindukan hal itu. Pasti di luar sana ada juga beberapa orang yang merindukan
hal yang sama. Termasuk Fais sendiri. Ntah kenapa tiba-tiba saja di kepalanya terpikir untuk
menarikan rapai geleng bersama teman-temannya. Apa salahnya mencoba?
“InsyaAllah umi, Fais akan mencoba,”

Ternyata, tidak mudah mengajak teman-temannya bergabung. Sesuai dugaan, mereka


menolaknya karena dianggap terlalu kuno. Hampir semua teman-temannya sudah diajak, tapi
belum ada seorangpun yang berminat. Beberapa orang yang menolak bergabung, mendukung
Fais. Benar, usahanya belum gagal. Fais memutuskan untuk terus mengajak.

Banyak pertanyaan yang diajukan kepada Fais. Sebelumnya, Fais sudah menduga teman-
temannya akan bertanya banyak hal. Jadi ia sudah menyiapkan segala jawaban, agar membuat
teman-temannya tertarik. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi. Rasa putus asa sudah
menghampirinya.

“Kamu kenapa?” beberapa siswa menghampirinya. Dari seragamnya, terlihat mereka dari sekolah
yang berbeda. “Kamu terlihat sangat murung. Ada apa? Ceritakan pada kami. Mungkin kami dapat
membantumu,”
Fais baru menyadari dirinya sudah terduduk sangat lama di halte bus sendirian. Beberapa orang
itu terlihat tulus ingin membantunya. Mereka lalu berkenalan. Mereka adalah Thariq, Abrar, Ikram,
dan Ibrahim, beruntungnya lagi mereka sebaya dengan Fais. Fais pun mulai menceritakan
segalanya. Kenangannya bersama abi yang mengajarkannya bermain rapai, saat ia menemukan
kembali rapai itu di sudut gudang rumahnya, tentang tekadnya yang ingin mewujudkan impian
abi, dan rasa putus asanya ketika teman-temannya tak ada yang berminat bergabung bersamanya
menarikan rapai geleng. Fais terkadang berhenti, menarik nafas, dan menghela panjang ketika
menceritakannya. Wajahnya menerawang. Teman-teman barunya terus mendengar tanpa
mengomentari sedikit pun. Sampai akhirnya Fais selesai bercerita.
“Fais, apakah kamu tidak keberatan jika kami semua bergabung denganmu?” tanya Ikram. “Aku
pribadi sih, tertarik dengan rapai geleng setelah mendengar cerita darimu. Aku juga ingin
mengetahui dan merasakan bagaimana memainkan rapai. Sejauh ini, aku tidak pernah bermain
alat musik lain selain gitar dan piano, apalagi alat musik tradisional. Jadi aku sangat penasaran.
Bagaimana?”

Tentu saja Fais tidak keberatan. Fais sangat bersyukur bertemu dengan Ikram dan teman-
temannya. Mereka bahkan tidak keberatan membantunya mengajak teman-teman yang lain. Ini
semua diluar dugaannya. Ia tidak berpikir masih ada orang yang memiliki rasa ingin tahu terhadap
alat musik lama itu. Mentari yang awalnya sedikit mendung, mendadak cerah seolah ikut
bersemangat. Akhirnya sudah berjumlah sebelas orang. Mereka memutuskan untuk berlatih di
setiap hari minggu, dan akan segera menampilkannya di acara maulid yang diadakan di kantor
walikota.

Hari ini acara maulid diadakan. Langit cerah dan berawan ikut memeriahkan. Suasana kantor
walikota sudah sangat ramai dengan anak-anak yang sudah ditinggal oleh orangtuanya. Nasi
kotak sudah tersusun rapi di atas meja. Suara-suara lantunan zikir kepada nabi SAW dilantunkan.
“Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya Rasul Salam ‘Alaika..”

Tiba saatnya penampilan rapai geleng diperkenalkan ke seluruh masyarakat. Fais dan teman-
teman berdiri bersaf di atas panggung. Ibrahim sebagai syeh bersiap dengan mikrofonnya. Fais
memukul rapai sekali sebagai pertanda untuk hormat, lalu mereka duduk berbanjar. Ibrahim mulai
menyanyikan sebait syair yang berisi puji-pujian kepada Allah.

Alhamdulilah pujoe keu Tuhan


Nyang peujeuet alam langet ngon donya
Teuma seulaweuet ateueh janjongan
Pang ulee alam rasul ambiya

Rapai dipukul mengikuti syair. Gerakan badan juga sesuai dengan tempo syair dinyanyikan. Badan
penari meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan, tapi masih tetap dalam posisi duduk. Kepala diangguk-
anggukkan sesuai dengan tempo. Saat tempo sedang cepat, diikuti gerakan yang cepat pula, lalu
tiba-tiba syair berhenti dinyanyikan, dan penari juga ikutan berhenti gerakan. Sesaat terdengar
suara gemuruh tepukan tangan penonton dari bawah panggung. Fais mencoba menyembunyikan
senyumnya, tapi bibirnya tetap memaksa untuk tersenyum. Saat syair kembali dinyanyikan,
mereka kembali menari.

Suara tepukan tangan dan teriakan-teriakan penonton mengakhiri pertunjukan rapai geleng. Fais
dan teman-temannya disambut dengan hangat oleh sang walikota. “Kalian hebat! Teruslah
lestarikan budaya Aceh, saya sangat bangga pada kalian!” serunya. Ia memeluk Fais dan teman-
temannya, serta memberi mereka penghargaan, yang pastinya tidak pernah akan bisa Fais
lupakan. Fais lalu memeluk uminya yang sedari tadi menontonnya dengan penuh keharuan, “Umi
bangga dengan Fais, terima kasih neuk!”

Walikota dengan semangat yang menggebu-gebu mengajak seluruh masyarakat untuk menjadi
seperti Fais dan teman-temannya, yang memainkan alat musik kuno di zaman yang sudah modern
ini. Alangkah kayanya Aceh akan budaya, tapi sudah banyak ditinggalkan karena pengaruh
globalisasi. Pasti diantara banyak penonton tadi, hanya beberapa yang mengetahui tentang
kesenian rapai geleng. Ini adalah hal yang bagus dicontoh sebagai generasi penerus nanggroe.
Lestarikanlah semua budaya yang berasal dari daerah kita, baik kesenian, tradisi, makanan, dan
lain-lain, agar anak cucu kita dapat ikut merasakannya.

Cerpen Karangan: Raihan Khaira


Blog / Facebook: Raihan Khaira Syakilah

Anda mungkin juga menyukai