Anda di halaman 1dari 11

Nama : Bunga Suci Romadhona

Tema : Friendzone

Judul : WARNING! FRIENDZONE DETECTED

***

Gadis berkacamata yang sedang menulis cerita ini di perpustakaan ditemani


guyuran hujan dan setumpuk buku pelajaran itu adalah aku.

Di bagian kiri seragamku tersemat badge nama bertuliskan Kayra Almahira.


Itu adalah namaku. Panggil saja aku Kay.

Lalu, lelaki yang bilangnya mau diajari Biologi tapi malah terlelap ke alam
mimpi itu adalah temanku sebangku, namanya Rafka.

Di samping Rafka, ada bangku kosong yang baru saja diduduki gadis berjas
abu-abu, sebut saja dia Fira. Pengurus baru OSIS dari kelas sepuluh. Dia juga
sekelas denganku.

“Kay, abis UAS nanti ada Class Meeting Semester Genap, temanya
“Language of Love” yang diadakan OSIS. Ada Pekan Olahraga dan Seni antar
Kelas. Di kelas kita semua cabang lomba udah ada yang ikut, kecuali Musikalisasi
Puisi.”

“Terus?”

“Kamu kan pintar merangkai kata, kamu ikutan, ya! Please?”

“Aku? Ikut lomba? Musikalisasi puisi?”

Fira menangguk-angguk dengan tangan memohon.

“Sorry, gak minat.”

“Please, Kay?”

“Ada apa sih ribut-ribut?” Rafka menguap.


“Nah, Kebetulan! Raf, kamu kan gak ikut lomba apa-apa, kamu sama Kayra
ikut lomba musikalisasi puisi, ya!”

Menyebalkan. Gagal membujukku, Fira sekarang merayu Rafka. Strategi


yang cerdik.

“Ok,” jawab Rafka.

“NO!” aku menolak.

“YES!” Rafka mendesak.

“Pokoknya deal, ya! Kalian ikut lomba musikalisasi puisi. Ada waktu dua
minggu buat latihan. Ingat, temanya ‘Language of Love’. Kalau kalian butuh
pemain gitar, aku ajak si Syahdu buat gabung. Thank you, Rafka, Kayra.
Semangat!” Fira pun kabur.

Aku kesal? Sangat! Dari dulu aku selalu menghindar tiap ditawari lomba
yang mengharuskanku tampil di depan banyak orang. Jika hanya menulis dan
mengarang, aku masih sanggup. Lah ini, Musikalisasi puisi? Sudah mengarang,
menulis, membacakan, menyanyikan, membuat instrumen, ah siksa aku sekalian,
Fira!

“Sensei, belajar Biologinya nanti saja. Sekarang kita buat puisi,” Rafka
menyingkirkan tumpukan buku Biologi ke pinggir meja. Ia membuka buku
catatan.

“Aku gak ada waktu buat buang-buang waktu,” kumasukkan semua buku
pelajaranku ke tas.

“Mau kemana?”

“Pulang!”

“Eh, tunggu!” Rafka buru-buru merapikan buku. Ia membawa buku dan


tasnya kemudian mengikutiku.

“Jangan membuntutiku!”
“Aku mau ke parkiran.”

“Parkiran di sana, Anda amnesia?”

“Ya sudah, nih!” Rafka menyerahkan jaket padaku.

“Gak butuh! Cepat pergi sana!”

“Buat nutup rok belakang kamu.”

Aku memeriksa belakang rokku. Ya ampun, bocor! Ini hari keduaku


menstruasi. Sedang banyak-banyaknya, mulas-mulasnya. Tak ada pilihan lain.
Aku menerima jaket yang diberikan Rafka lalu mengikatnya di pinggang.

“Mau pulang bareng?” tanya Rafka.

“Gak usah.”

“Oh, ya sudah,” Rafka berjalan menuju parkiran. Membawa motornya


kemudian berpamitan, “Aku duluan,” pekiknya lalu melaju.

Dasar cowok gak peka! Kalau cewek bilang enggak apa susahnya dibujuk?

***

Malam itu, grup WhatsApp kelasku begitu berisik. Aku sampai harus
membisukan notifikasinya agar tak membuat error handphoneku.

Tiba-tiba ada panggilan masuk dari Syahdu.

“Buka chat, lihat videonya!”

Yang menelpon Syahdu tapi yang bicara Rafka? Ok, ini mencurigakan.

Kumatikan panggilan lalu kubuka chat dari Syahdu yang berisi sebuah
video.

‘Hallo Kay, ini puisi kita. Keren, sumpah! Dengar, ya!’


Rafka yang bicara di video itu. Syahdu kemudian mulai memetik gitar
dengan jemari lentiknya, begitu merdu. Rafka pun mulai menyanyi diselingi
pembacaan puisi.

Di akhir video, Rafka berkata, “Mulai besok, tiap pulang sekolah, kita
latihan di taman belakang sekolah. Kayra, kamu hafalkan bagianmu yang cuma
sebait itu dan JANGAN KABUR!”

Hah, baiklah. Aku harus menghargai jerih payah mereka.

***

“Izinkan aku melirihkan satu nama.

Perkenankan aku mengungkapkan satu rasa

Entah namamu, entah rasaku, keduanya satu.. I love you.”

Rafka begitu fasih melafalkan puisinya. Petikan gitar Syahdu tak kalah
menghanyutkan perasaan.

Jujur, aku terbawa suasana. Beruntung otakku cepat mengambil kendali


hati. Aku sadar kini giliranku berpuisi.

"I love you? Itu hanya sebuah bahasa.

I love you! Apa bisa bahasa menerjemahkan rasa?

I love you hanya kata-kata, rasaku lebih kaya, tak terhingga ujungnya."

Seketika gemuruh tepuk tangan para siswa membahana. Sensasi akustik


gitar Syahdu menambah efek romantis saat itu.

Rafka melantunkan lagi puisi. Ia begitu menghayati.

“Aku tak ingin ikatan pacaran

Terlalu singkat untuk cinta abadi.

Aku ingin ikatan suci untuk cinta hakiki.


Kayra, will you marry me?”

Rafka menekuk satu lutut, kepalanya menengadah. Di tangan kanannya,


sekuntum mawar merah mengangkasa.

Para remaja berseragam putih abu-abu di sana saling menggigiti jari, gemas,
gregetan sendiri. Rafka menutup persembahannya seiring denting gitar nada G
mayor Syahdu.

“Kutunggu jawabanmu.. pada saatnya nanti. Jaga dirimu. Tunggu


khitbahku. Kan kupantaskan diri untukmu.”

Jeritan para siswi menggema. Para seksi keamanan OSIS kewalahan


menenangkan kegaduhan. Dua ibu guru bahasa Indonesia selaku juri Lomba
Musikalisasi Puisi pun takjub dengan histeria yang tercipta.

Bukan apa-apa. Aku hanya tak percaya. Setelah dipaksa berlatih oleh Rafka
dan Syahdu selama seminggu, kami yang notabene masih kelas sepuluh, mampu
meraih juara 1 terfavorit Class Meeting 2017 yang diadakan OSIS! Ini sungguh di
luar dugaan.

***

“Kayra, kan?” seru seorang lelaki gagah berjas abu-abu saat aku sedang
menunggu bus di halte.

“Eh, Kak Farhan?”

Kak Farhan, Ketua OSIS sekolahku yang tinggi dan tampan, yang dari awal
masuk sekolah sangat aku idolakan. Sungguh, dia mengenalku?

“Pertunjukan kamu dan teman-teman tadi sangat keren. Salut. Selamat, ya.”

“Terimakasih, Kak,”

Bus pun tiba.

Saat aku hendak naik, ternyata Kak Farhan pun ikut naik. Kami bertubrukan
lalu tertawa ringan.
“Silakan, duluan,” Kak Farhan mempersilakan.

Aku mengangguk kemudian masuk. Di dalam, aku duduk berdampingan


dengan Kak Farhan. Ini sungguh menakjubkan.

***

Jika Spongebob berkata hari ini adalah hari terbaik, maka aku sangat setuju.
Begitu banyak keberuntungan menyertaiku. Rasanya aku ingin membagikan
kebahagiaanku ini. Tapi pada siapa?

Handphoneku berdering. Ada panggilan suara dari Rafka. Ah, dia menelpon
pada waktu yang tepat!

“RAFKA!”

“Sekali lagi kamu teriak, aku congkel bulu hidung kamu!”

“Eh Rafka, aku mau cerita!”

“Kayra aku mau bicara,”

Kami berbicara bersamaan.

“Kamu mau cerita apa?”

“Kamu mau bicara apa?”

Lagi-lagi bersamaan. Kami pun tertawa.

“Yaudah, aku ngalah,” ujar Rafka.

“Raf, tadi aku pulang bareng Kak Farhan!”

“Kok bisa?”

“Bisalah, aku kan cantik,”

“Gak nyambung, Maemunah,”

“Ah, pokoknya hari ini aku bahagia. Eh, tadi kamu mau bilang apa?”

“Gak jadi,”
Tiba-tiba Rafka memutuskan panggilan. Kenapa dia? Dasar bocah aneh!

***

Tak terasa, semester baru telah tiba. Kini aku telah naik level menjadi kelas
sebelas.

Ruang kelas baru namun masih dengan teman-teman lama. Karena semua
teman sekelasku telah memiliki pasangan sebangkunya masing-masing kecuali
Rafka, dengan sangat terpaksa aku harus kembali sebangku dengannya.

“Sial banget harus sebangku lagi sama kamu,” aku menghempaskan tasku
ke meja.

“Manusia tidak tahu berterimakasih, dasar Malin Kundang!” Rafka


mengeluarkan penggaris 30 cm lalu menyimpannya di tengah-tengah meja.

“Ini perbatasan. Jangan masuk ke kawasanku!”

Dia melakukan hal yang sama seperti saat kami kelas sepuluh.
Menyebalkan!

Syahdu tiba-tiba menghampiriku. “Kay, boleh aku duduk sebangku dengan


Rafka?”

“Apa?” Aku hanya tak percaya, gadis secantik Syahdu mau-maunya duduk
sebangku dengan bocah tengil seperti Rafka?

“Boleh, ya?” dia nyengir.

“Boleh banget malah,” aku memelototi Rafka sebelum enyah dari bangku
itu. Akupun duduk bersama Nada, teman sebangku Syahdu sebelumnya.

“Syahdu dan Rafka pacaran,” bisik Nada.

“Wah?” Aku terperangah.

***
Kian hari, kulihat Rafka dan Syahdu semakin dekat. Apa benar yang
dikatakan Nada? Tapi, kenapa Rafka tak cerita?

Ah, aku lupa. Memangnya, aku siapa? Hanya mantan teman sebangkunya.
Tapi kenapa aku merasa.. kehilangan?

Tiada lagi yang menemaniku belajar di perpustakaan. Tiada lagi orang


menyebalkan yang sering ketiduran saat pelajaran. Tiada lagi yang sering
menjahiliku, menyulut amarahku, menggangguku, menelponku untuk saling
bertukar cerita ini-itu.

Ah, ada apa denganku?

Untuk apa aku memikirkan lelaki itu?

“KAY, AWAS!”

Seseorang menarik tubuhku. Aku terperanjat.

“Kalau jalan hati-hati! Lihat kanan-kiri!” Rafka menceramahiku.

“Emang tadi ada apa?”

“Eng.. gak ada apa-apa sih,” dia nyengir kuda.

“Mana Syahdu?”

“Mana kutahu.”

“Masa gak tahu, dia kan pacarmu?”

Rafka tertawa, “Cie, cemburu?”

Aku mengerlingkan mata. Menyesal aku sudah memikirkan dia.

Hingga tiba di halte, Rafka masih mengikutiku, “Mana motormu?”

“Gak dibawa.”

“Terus pulang gimana?”

“Naik bus.”
“Tumben?”

“Untuk melindungi kamu dari godaan kakak kelas yang terkutuk.”

Tawaku pecah. Setelah bus tiba dan kami duduk berdampingan, barulah
tawaku mereda.

“Kay, kamu dan Kak Farhan gimana?”

“Apanya yang gimana?”

“Syahdu bilang kamu pacaran sama Kak Farhan.”

“Ngaco! Kak Farhan tipe cowok yang memprioritaskan masa depan! Gak
kayak kamu, bocah ingusan, bucin, bukannya belajar yang benar malah sibuk
pacaran!”

“Jadi kamu sama Kak Farhan gak ada hubungan special?”

“Spesial, emangnya martabak?”

“Syukurlah.”

Rafka perlahan memejamkan mata. Tak lama, ia pun tertidur. Kepalanya


bersandar di pundakku.

Ini aneh. Kenapa aku senyum-senyum sendiri?

Aku harus menahan perasaan. Kami hanya teman. Kami hanya teman.

Camkan itu, Kay!

***

RABUN DEKAT

(Bunga Suci Romadhona)

Mungkin hatimu rabun dekat

Pada yang jauh kau terpikat

Pada yang dekat kau tutup hati rapat-rapat


Maaf, aku bukan penimbun rasa yang hebat

Bukan penunggu yang berbakat

Karena seikat kata sahabat membuatku terjerat

Akankah rasaku kau sambut atau kau biarkan wafat?

Patut kau catat

Hatiku tak mungkin salah alamat

Ia selalu tahu kemana harus mendarat

Ingat, sahabat bukan akhir dari segala ikat

Bila sempat, coba kau lihat lagi lekat-lekat

Saat pujaanmu berpaling, siapa tempatmu berpulang?

Pada siapa curhatmu tertuang kala kau lelah berjuang?

Tak usah jauh-jauh

Aku selalu utuh saat kau butuh

Semoga saja kau luluh.

Bandung, 07 Oktober 2020

#Day_06

#FriendZone
#SiapBerkarya

#SiapMenulisDenganImajinatif

#penabuana_

#ChallangeDay7HWritePenaBuana_

Anda mungkin juga menyukai