Anda di halaman 1dari 19

Aku Berbeda Dengan Dunianya

Mungkin inilah nasibku, menyukai gadis yang sangat cantik & berbakat, namun bakat itulah yang
memisahkan kita... .

Part 1: Part 1 - Gadis Bermusik

Part 1 - Gadis bermusik


Hai, namaku adalah Hilal Hakim. Aku adalah seorang siswa yang biasa dan kehidupan yang biasa saja.
Mungkin kehidupan SMA ku akan menjadi kehidupan yang sangat biasa. Disinilah, kehidupanku yang biasa
ini diubah menjadi kehidupan yang dramatis & berwarna.

Saat aku baru masuk SMA, aku sudah menyukai gadis cantik nan anggun bernama Rika Christiani. Dia
murid terpandai di sekolah ini. Dia juga sangat berbakat dibidang seni, terutama musik. Aku menyukainya
saat ia memainkan lantunan biola yang indah di ruang musik. Aku tidak sengaja bertemu dengannya, saat
itu, aku disuruh guru untuk mengambil sebuah catatan yang tertinggal disana. Apalah dayaku, seketika
tubuhku kaku, sungguh sangat menghipnotisku di ruang musik itu.

Ketika suara indah itu berhenti, lalu ia menghampiriku.


"Bagaimana dengan penampilanku?" tanyanya.
"Sungguh indah!"
"Benarkah?"
"Ya!"
"Kalau begitu, akan aku tampilkan sekali lagi untukmu saat kejuaraan piano nanti."
Aku tidak percaya, dia mengajakku, padahal kami tidak saling kenal. Lalu ia bertanya,
"Siapa namamu? Kelas berapa?"
"Hilal Hakim. X IPS 2" jawabku.
"Begitu ya, aku nanti akan ke kelasmu dan mengantarkan tiketnya untukmu." Dia pun berlari menuju
kelasnya.

Aku sangat tidak percaya, dia mengajakku! Mungkin aku adalah orang paling beruntung di dunia ini,
kehidupan yang monotone bagaikan kertas putih yang kosong, kini dipenuhi warna. Aku yakin inilah
perasaan yang disebut cinta, aku yakin itu.

Part 2: Part 2 - Melangkah Pergi

Part 2 - Melangkah pergi


Keesokan harinya, dia ke kelasku dan menghampiriku. Teman-teman di kelasku melihat kami dengan penuh
ketidakpercayaan bahwa murid terpandai dan tercantik di sekolah ini datang menghampiriku dengan
membawa kertas kecil.
"Kutunggu nanti hari Minggu, datanglah ke Jakarta Hall City." dan ia pun pergi keluar kelas.

"Hm, kencan ya? Akhirnya kau mendapatkan seorang gadis." kata Mustofa Hariri, salah satu teman
sekelasku dan teman masa kecilku.
"Begitulah!" jawabku dengan penuh rasa senang.

Akhirnya hari Minggu telah tiba. Saatnya aku melihat penampilannya untuk kedua kalinya. Kami pun
bertemu.
"Hai, bagaimana penampilanku?"
"Ca-cantik banget!" dengan penuh muka kemerahan.
"Aku juga membawa kedua temanku."
"Hallo, namaku Aldi Fattah." jawab salah satu temannya.
"Haiii, Hakki!"
"Oee.. Bukannya kamu Rosallia Ellie? Si gadis culun berwajah culun berambut twintail?" kataku. Jelas aku
mengenalnya, dia adalah orang yang menjengkelkan yang selalu menggangguku saat SMP.
"Kejam banget, Hakki!"
"Kau yang lebih tidak jelas dan jangan memanggilku Hakki!"
"Ternyata kalian sudah saling kenal, silahkan masuk." kata Rika.

Saat aku masuk, sungguh luar biasa, tempat yang mewah cocok untuk mendengarkan lantunan musik.
Kulihat Aldi juga mengikuti kompetisi tersebut, lalu Rika dan Aldi meninggalkan kami,
"Dah, aku ke ruang ganti ya!" sahut Rika.
Mereka berjalan, seakan-akan meninggalkanku sendirian, aku ingin menggapainya, namun tanganku tak
sampai. Jangan tinggalkan aku...

Part 3: Part 3 - Pertama


Part 3 - Pertama
Jangan meninggalkanku.. Seperti ayahku meninggalkan ibuku, dari belakang Rosallia menggapaiku dan
memegang bahuku.
"Hei, apa yang kau lakukan? Mau pergi ikut kontes?" kata Rosallia yang menarikku dengan erat.
Ternyata itu khayalanku, saat kecil aku sudah ditinggal oleh ayahku dengan istri barunya. Sungguh itu
sangat menyakiti hatiku dan ibuku. Aku berharap tidak terjadi sedemikian terhadapku.
Aku menunggu penampilan Rika, dengan nomor urut #11. Akhirnya dia muncul, berjalan dengan angkuh,
dengan rambut yang diikat ekor kuda, dan memakai gaun merah yang indah. Sungguh penampilan gaun
merah dan piano yang merenggut jiwaku. Luar biasa! Ia memainkannya dengan penuh irama. Setelah
selesai, banyak penonton bersorak-sorak ria dan bertepuk tangan untuknya. Penampilan yang luar biasa,
hingga aku tak bisa melepas pandanganku terhadapnya.

Selanjutnya penampilan Aldi nomor urut #17.


"Akhirnya dia kembali, kembali di bawah sinar cahaya" kata Rosallia dengan mata yang bercahaya. Aku
tidak tahu apa yang terjadi, tapi kuakui dia memang keren saat bermain piano.

Saatnya penentuan, siapa yang akan masuk ke babak penyisihan. Terlihat di papan , Rika urutan kedua dan
Aldi urutan pertama.
"Cih!" sahut Rika, dia murung dan terlihat sangat kecewa. Aku tidak mengerti, padahal dia lolos kenapa dia
kecewa? Dia pun berlari keluar, aku pun mengejarnya.
"Oee.."

Aku mengejarnya hingga ia berhenti,


"Oee, Rika, ada apa?"
"Aku harus menjadi yang pertama!" jawabnya dengan penuh isak..

Part 4: Part 4 - Pertemuan


Part 4 - Pertemuan
"Oee, Rika, ada apa?"
"Aku harus menjadi yang pertama!" jawabnya dengan penuh isak..
Aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku pun bertanya kepadanya,
"Kau tidak harus menjadi yang pertama, kau harus menjadi yang terbaik, dihadapanmu, teman-temanmu,
keluargamu!"
"Kau tidak mengerti, ini adalah masalah yang memberatkanku." jawabnya. Mungkin bukan saatnya ia
memberi tahu masalahnya karena kami baru saja kenal, lalu aku menenangkannya dan memeluk dirinya.
"Begitu ya.. Aku akan menunggu kau bercerita semua masalahmu padamu, aku akan menjadi tempat jalan
keluar terbaik untukmu. Jangan menangis aku akan selalu ada untukmu." kataku dari dalam hati. Dia pun
manarik erat baju.

Aku pun mengantarnya kembali, dan kami pun sambil mengobrol di jalan,
"Oh iya, saat kami di ruang musik, kenapa kamu langsung memberiku tiket?" tanyaku.
"Sebenarnya aku sudah mengenalmu saat masih kecil. Ketika aku pergi pasar malam, aku berlari dan aku
pun terjatuh. Saat itulah kamu mengulurkan tanganmu untukku, 'Apa kau baik-baik saja? Dimana orang
tuamu, sini kubantu carikan' katamu dulu. Bagaimana aku lupa, kita dua jam mencari orang tuaku."
"Oh saat itu ya, padahal sudah lama, tapi kau masih mengingatku dengan baik."
Berdua, kita berdua. Melangkah kembali ke tempat berbau AC lagi untuk menemui teman-teman. Kita
bercanda dan tertawa, kita menceritakan semua kenangan kita di pasar malam, saat itulah kita pertama kali
bertemu.

Part 5: Part 5 - Keakraban


P
Sesampainya disana,
"Kenapa denganmu, Rika? Ada apa?" tanya Rosallia dengan rasa penasaran. Entah kenapa Aldi dan Rika
menundukkan kepala, kupikir ada masalah di antara mereka, lalu aku mengalihkan pembicaraan,
"Tidak ada apa-apa, tangannya hanya sakit jadi dia keluar. Oh iya, ayo pulang, nanti kalian ke babak
penyisihan kan? Ayo obati tanganmu juga, Rika."
"Oh begitu, ayo pulang!"

Di jalan, kami pun berbincang-bincang,


"Hei, Rosalli, kenapa kamu ikut dengan kami?"
"Karena aku sekelas dengan Rika, kebetulan kami sebangku. Masalah buatmu?" sambil mengejekku.
"Sialan! Hei, Aldi, kau mengenal Rika? Rasanya aku belum pernah melihatmu."
"Oh, aku berteman sejak kecil dengan Aldi, jadi dia bareng kita deh," kata Rika dengan spontanitas.
"Hm, begitu ya."
"Lah Hakki kenapa bareng kita? Sekelas bukan, teman Rika bukan, siapa kamu?" kata Rosallia yang penuh
ejek.
"Heh, aku kenalan Rika dan kami sudah menjadi teman! Dan berhenti memanggilku Hakki!"
"Kapan kita berteman?" kata Rika ikut mengejek.
"Oee.. Rika! Kenapa kau mendukungnya?"
Kami tertawa di tengah jalan, seperti jalannya kami kuasai. Syukurlah, hari Minggu penuh dengan kegiatan
yang menyenangkan.

Part 6: Part 6 - Perasaanku, Perasaannya


Part 6 - Perasaanku, Perasaannya

Sekolah, tempat mengekspresikan bakat, keterampilan, dan pengetahuan. Sejak awal aku tahu, aku seorang
biasa, makanya aku mencari gadis untuk menutupi kekuranganku. Aku di ekskul yang berbeda dengan Rika,
dia memilih seni musik, sedangkan aku memilih olahraga. Bukankah hal yang aneh, seorang atlet
berpasangan dengan seniman? Bagi orang lain mungkin aneh, tapi bagiku itu tidaklah aneh karena satu sama
lain memperkenalkan hal yang tidak diketahui, aku yakin Rika berpikir seperti itu. Hanya melihatnya dari
jauh dan berpikir bagaimanakah aku mengungkapkannya. Kami belum terlihat akrab sama sekali dan dia
masih memanggilku dengan nama belakangku. Salah satu temanku pernah mengatakan ini padaku,
"Jika kau menyukai seseorang, kehidupanmu yang polos seperti kertas putih akan berubah menjadi kertas
yang dipenuhi warna. Kehidupanmu berubah menjadi berwarna dan bermakna." Aku mempercayai kata-
katanya dan menunggu saat yang tepat.

Setelah pelajaran selesai, Rika menghampiri kelasku dan berkata,


"Hakim, mari kita pulang bersama?"
Wajahku penuh bimbang dan juga senang, hatiku berdebar.
Kami pulang berjalan bersama, suasana sunyi mulai menghampiri. Entah kenapa diriku sangat kaku di
dekatnya.
"Anu, Hakim, etto Hilal"
Sulit dipercaya, dia memanggilku dengan nama depanku. Dan terlihat sangat canggung. Apakah dia akan
mengungkapkan perasaannya? Gugup, bimbang, penasaran, semuanya campur aduk tak karuan.

"Aku ingin menyampaikan suatu hal padamu, Hakim."

Part 7: Part 7 - Takdir


Part 7 - Takdir

"Aku ingin menyampaikan suatu hal padamu, Hakim."

"Hah?"

"Sebenarnya.."

"Heh?!"

"Sebenarnya aku.."

"Hah?!?"

"Sebenarnya aku ingin mengungkapkan rahasiaku saat itu padamu!"

"Sudah kuduga kau akan berkata begitu, aku bodoh, bodoh, bodoh!" pikirku. "Silahkan bercerita, aku ingin
mendengarnya!" kataku.

Aku memang bodoh, tidak ada wanita yang baru berkenalan langsung menyampaikan perasaannya. Tapi,
kurasa itu lebih baik. Karena akulah yang akan menyampaikannya...

Setelah dia bercerita panjang lebar, aku terkejut mendengar hal itu. Kehidupan penuh warna sekarang telah
dihapus lagi sehingga di kertas itu terasa kusam. Tapi aku menyadari, bahwa ia tidak mau.

Ia bercerita, saat kompetisi piano kemarin. Dia saat itu sempat marah karena dia tidak dapat mendapat
peringkat pertama. Kukira ia hanyalah gadis yang berambisi, ternyata tidak. Aku mengerti perasaannya. Jika
ia kalah dalam kontes piano, maka ia tidak diperbolehkan lagi bermain. Dia pun menangis. Hatiku hancur
melihat gadis yang kucintai menangis. Tapi kutahan perasaan ini dan mulai memeluknya,

"Jangan khawatir, aku selalu ada untukmu. Aku akan membantumu menjadi juara di babak penyisihan nanti.
Jangab menangis, mari kita pulang?"

Dia menggenggam erat genggamanku, aku mengerti perasaanya. Jika aku ahli musik, mungkin aku sudah
membantunya. Tapi, kita sudah ditakdirkan untuk hidup di dunia yang berbeda. Kau dan aku.
Part 8: Part 8 - Kepercayaan

Part 8 - Kepercayaan

Semalaman aku berpikir, bagaimana aku membantunya? Apa yang harus kulakukan untuknya? Dengan
berpikir keras, akhirnya aku memutuskan untuk membantunya. Kita mungkin di dunia yang berbeda, kamu
di dunia musik, sedangkan aku olahraga. Tapi aku akan tetap membantunya. Sebentar lagi, liburan semester
1. Selama itulah aku akan berusaha membantunya!

Persiapan, jadwal sudah kubuatkan secara matang untuknya. Tidak ada waktu lagi, hari demi hari aku
membantunya di ruang musik. Dia bermain untukku, lalu aku mendengarkan untuknya. Berdua.

Semakin lama, semakin baik permainannya. Tempo, dinamika, semuanya sudah sangat teratur. Tinggal
bagaimana dia memainkannya. Mungkin aku sudah memberi latihan yang berat, tapi untuk menjadi yang
terbaik harus bekerja keras.

Kini saatnya! Hal yang sudah ditunggu-tunggu oleh kami.

"Maaf telah menunggu."

"Telat, Hakki!"

"Kenapa kau selalu ada di saat kompetisi?"

"Aku diajak Fattah!"

"Aku tidak ingat kapan mengajakmu?"

"Hei, hei sudah waktunya. Ayo masuk."

Benar, wewangian alat musik sudah tercium lagi. Aku pun mulai masuk ke tempat duduk penonton. Saatnya
pertunjukkan dimulai!

Dari 10 peserta, semuanya sangat bagus. Hingga aku takut apakah Rika dapat masuk ke babak final. Tidak,
aku seharusnya mempercayainya bahwa dia pasti lolos. Aku yakin itu.

Part 9: Part 9 - Seorang Jenius

Part 9 - Seorang Jenius

Itu dia, Aldi Fattah merupakan seorang pemusik jenius. Sejak kecil ia mendapat gelar juara pertama tahun
demi tahun. Meskipun begitu, sungguh ia dibenci semua orang karena bakat yang dimilikinya. Mungkin ada
yang iri dan tidak suka, namun dia memiliki bakat serta kerja kerasnya selama ini. Tak heran ia selalu
mendapat gelar juara. Namun suatu ketika, Rosa berbisik sendirinya,

"Akhirnya dia bersinar kembali!"

Aku yang berada di sampingnya tidak tahu apa yang dimaksudnya. Lalu, aku pun bertanya,
"Ada apa?"
"Ti-tidak ada apa-apa!"

Aku tahu dia menutupi rahasia, walaupun begitu kita adalah teman semasa kecil.

"Beritahu aku apa yang terjadi! Kita teman, kamu harus percaya denganku!"

"Ba-baiklah. Sebenarnya, belakangan ini ia tidak menunjukkan wajahnya selama 2 tahun, karena masalah
pembullyan yang dilakukan orang lain. Aku menyuruhnya untuk tetap bermain. Selama ini, aku selalu
melihat penampilan piano dan melihatnya bermain dengan sangat keren. Lalu aku mendekatinya dan
menjadi temannya. Tidak disangka, ia juga berteman dengan Rika."

"Hm, begitu ya."

Lalu terpikirkan sejenak, kenapa saat Aldi tidak ada, Rika tidak mengambil gelar juaranya? Aku bingung.
Sungguh pemikiran Rika yang membuatku bingung. Aku yakin, dia hanya bersaing secara sehat dengan
Aldi, tidak lebih dari itu.

Terkadang terpikirkan olehku, banyak orang yang berbakat dan berkemampuan lalu ia bekerja keras, bahkan
hasilnya lebih maksimal. Aku sangat kagum padanya untuk ketiga kalinya.

Part 10: Part 10 - Kecerobohan


Part 10 - Kecerobohan

Saat Aldi memainkan piano dan memasuki bagian akhir, penampilannya yang luar biasa keren, di akhir
penampilan ia kehilangan partiturnya. Nadanya tidak lagi indah, melainkan dengan keras ia hentakkan piano
tersebut. Bagaikan anak yang disiksa. Apa yang terjadi padanya? Tanyaku dalam hati. Di sisi lain aku
senang, penampilan Aldi yang buruk membuat Rika lebih unggul darinya.
Namun aku sedih, walaupun belum berkata sepatah katapun padanya, ia sudah kuanggap teman. Sebagai
teman, aku mau ia memainkan penampilan terbaiknya. Berhenti di tengah, ia tidak sanggup memegang
piano itu lagi. Sayang sekali, jika peserta berhenti di tengah, ia akan didiskualifikasi.

Kutengok Rosa terlihat sedih melihat Aldi. Bagaimana tidak, seorang yang ia kagumi malah jatuh di
depannya. Tidak ada yang bisa kulakukan, hanya terpaku diam dan membisu memandangi sekumpulan
orang yang bingung melihatnya.

Selesai kompetisi, aku dan teman-temanku melihat pengumuman masuk final. Syukurlah! Rika masuk final,
sedangkan Aldi terpuruk.

"Sabar ya Aldi, semangat masih ada kompetisi lain!" kataku.

"Hm!"

"Kenapa kamu memberikan penampilan burukmu, mana penampilan terbaikmu?" kata Rosa.

"Haha.. Penyakit tendonisis ku kembali kambuh."

"Begitu ya.."

Dia seperti menutupi perasaannya. Kecewa tentu saja. Aku berharap dia selanjutnya lebih baik. I will be
believe my friend.
Part 11: Part 11 - Untuk Apa Kamu Bermain?
Part 11 - Untuk Apa Kamu Bermain?

Kembali ke kisah romantisku, aku menyukai gadis yang cantik & populer. Sekarang, aku hanya menjadi
seorang teman & pelatih untuknya. Selama kompetisi berlanjut, aku putuskan untuk menemaninya latihan.
Kepribadian yang unik, membuatku semakin suka padanya.

Suatu hari saat latihan aku mengajaknya ke taman bermain, Dufan. Untuk menyegarkan fisik dan mentalnya
menghadapi final, ia butuh refreshing. Tentu, ia pergi bersamaku. Kuanggap ini merupakan kencan untukku
dan untuknya. Sikap aslinya akhirnya keluar saat melihat berbagai macam atraksi permainan, keanak-
anakan.

"Hei! Ayo kita naik roller coaster!"

"Berbahaya untukmu, Rika!"

"Ayo main, ayo!"

Membuatku tertawa melihatnya, dia adalah pemusik profesional, namun sekarang ia berubah menjadi gadis
biasa. Sungguh gadis yang menarik!

Hari pun sudah mulai gelap dan taman bermain pun sudah waktunya tutup. Namun kami masih meminum
jus di tempat duduk dekat zebra cross.

"Hei, aku mau berkata sesuatu padamu."

"Kenapa?"

"2 tahun yang lalu, Aldi tidak bermain piano. Lalu, kenapa kau tidak merebut gelar juaranya saat itu?"
semakin heningnya suasana.

"Kau tahu, dia adalah seorang yang kukagumi. Bahkan, yang memperkenalkan musik untukku adalah dia.
Aku ingin mengejarnya, meskipun aku sudah tertinggal jauh di belakangnya.''

"Aku mau bertanya sekali lagi, untuk apa kamu bermain, dan untuk siapa kamu bermain? Apakah
untuknya?"

Dia sempat terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Mengganjal di pikirannya.

Part 12: Part 12 - Berwarna


Part 12 - Berwarna

Pasti ada mengganjal pikirannya saat aku bertanya tadi. Ia pun mulai tergerak menjawab,

"Kring Kring.." bunyi telepon terdengar

"Maaf, aku mengangkat teleponku dulu."

Setelah lama menunggu, dia menghampiriku.


"Tadi ibuku menelponku dan bertanya, mengapa aku pulang selarut ini. Ayo kita pulang, keluarga sudah
menunggu."

Tanpa pikir panjang ia menarik tanganku. Tidak ada tanda-tanda jawaban atas pertanyaanku tadi. Kukira itu
adalah pertanyaan konyol sampai Rika tidak menjawab. Aku ingin ia bermain untukku. Terpikir olehku,
apakah hanya ini keinginanku? Apa masih ada lagi? Sungguh aku muak dengan masa remajaku. Labil,
bimbang, galau, kacau balau di hatiku.

"Kalau begitu, sampai jumpa.." katanya.

"Ya, hati-hati ya!"

Kami pun mulai terpisah di jalan, arah rumah kami berbeda arah. Aku mulai berpikir, sepertinya kami
banyak menghabiskan waktu bersama. Kenangan ini takkan pernah terlupakan. Dari awal masuk sampai
sekarang kami sudah sangat dekat. Kita sudah mempunyai ikatan satu sama lain. Mungkin, aku dan dia
takkan bisa terpisahkan. Aku pun menatap lagit yang dipenuhi bintang-bintang. Aku dan Rika pasti bisa
seperti bintang, takkan terpisahkan walaupun siang dan malam terus menerus berganti. Aku sudah
menemukan kehidupanku yang baru. Apa dia bisa membalasnya ya? Apa aku bisa mengubah dunianya ya?
Dunia yang ia miliki berwarna, tapi akan kubuat lebih berwarna.

Part 13: Part 13 - Berlatih Bersama!


Pagi hari, aku terbangun dan mulai mengatur jadwal baru sebelum final nanti. Kompetisi yang menentukan
pemusik remaja terbaik di Indonesia. Dari ratusan yang mengikuti audisi, puluhan yang masuk penyisihan,
tidak kusangka Rika masuk di 3 besar, yaitu final.

"Saatnya kubuat jadwal baru untukmu, Rika!"

"Hah? Kau yakin sepadat ini? Sebentar lagi UAS semester ganjil lho!"

"Ini latihan kubuat setelah UAS!"

"Oh begitu ya, baiklah."

Hanya selang 2 bulan lagi menuju final, lalu dipotong seminggu untuk UAS. Semoga jadwalnya bisa
membantu. Aku akan meluangkan waktuku lagi untuk membantunya, meskipun aku tidak terlalu mengerti
tentang musik apalagi piano.

Final, lagunya pun sudah ditentukan, yaitu, Piano Concerto No. 21 in C Major. Aku sama sekali tidak
mengerti soal musik.

"Kebanyakan lagu Mozart itu sulit bagiku dan seperti biasa kau selalu memakai lagu Chopin, apa kau bisa
memainkannya?"

"Tentu saja! Kau meremehkanku ya?"

"Tidak, maksudku.."

"Jangan khawatir kau harus percaya padaku."

Ia meyakinkan seakan-akan aku tidak boleh khawatir dengannya. Tapi, aku sudah percaya dengannya, jadi
tidak perlu khawatir.
Hari demi hari, kami pun berlatih. Tentu saja aku menemaninya. Menunggunya di ruang musik adalah hal
yang menyenangkan. Kepribadian yang unik, rupa yang cantik, dan sikap yang kekanak-kanakan,
membuatku tertawa sendiri. Dia sangat lucu, tapi ketika bermain dia sangat cantik dengan pianonya.
Seandainya dari dulu aku belajar musik, aku pasti sudah bersamanya.

Part 14: Part 14 - Semakin Dekat


Akhirnya sudah bulan Desember, saat-saat ujian pun mulai datang. Kami pun libur seminggu. Aku juga
fokus dulu ke pelajaran. Aku sudah memberi pesan padanya,

"Harus fokus dulu ke pelajaran, kamu sekarang selama seminggu tidak berada di bawah pengawasanku lho.
Jangan campurkan musik dengan pelajaran!"

"Baik!"

Tetapi, saat di sekolah, setelah aku ke kantin, aku mendekati ruang musik, terdengar suara musik klasik.

"Sudah kubilang jangan bermain selama seminggu, masih saja bandel!"

Lalu aku bergegas ke ruang musim, sudah kupersiapkan cubitanku di kepalanku.

"HEI! SUDAH KUBIL-... Apa, ternyata dia tidur."

Aku mulai mendekatinya, jarinya memerah dan buku-buku pelajaran berserakan dimana-mana. Aku
mengerti, cara belajar efektifnya begitu ya. Aku memberikan blezerku padanya, karena sekarang sudah
memasuki musim penghujan. Aku di sampingnya, dia tidur di sampingku, sambil memakan makanan yang
sudah kubeli dari kantin. Akhirnya kita berdua lagi, di ruang musik.

Part 15: Part 15 - Kebersamaan Dengannya


Saat ia terbangun dan menatapku, ia terkejut kenapa aku bisa di sampingnya.

"Hei! Apa yang kau lakukan padaku?" sambil memukulnya

"Woi, cuma salah paham, aku cuma menemanimu!"

"Mesum!"

"Eh, sudah kubil-..." kami pun bertengkar di ruang musik, dan guru membuka pintu dan menghampiri kami.

"Kalian! Ini sudah waktunya belajar, kalian malah bolos!"

"Maafkan kami.."

"Gara-gara kamu!"

"Sudah kubilang ini salah paham!"

Pelajaran sudah usai, aku langsung bergegas ke kelasnya Rika.

"Kau masih marah?"


Dia tidak menjawab pertanyaanku malah memalingkan wajahnya.

"Maaf ya? Aku hanya di ruang musik untuk melihatmu karena terdengar musik klasik dan ternyata kamu
tidur. Makanya, aku di sampingmu bahkan aku memberikanmu blezerku untuk selimutmu."

Dia menoleh wajahnya kepadaku dan tersenyum,

"Aku tahu itu dan pasti menghampiriku. Sebenarnya ini sengaja, agar aku tidak selalu ke kelasmu." dengan
senyum liciknya.

"Dasar kau ya! Aku akan menghukummu!" sambil mencubitnya pipinya dengan kedua tanganku. Kami
belum pacaran, tapi sudah seperti pacaran. Bahagia dengan seseorang, tidak berarti pacaran 'kan? Itu kata-
kata yang sering kudengar dan sekarang malah merasakannya.

Part 16: Part 16 - Kami Tidak Pacaran!


Akhirnya, selesai juga UAS! Sekarang masa-masa free class dan menjelang pembagian rapot.

Tapi disaat classmate, aku malah berduaan dengan Rika di ruang musik.

"Ayo berlatih lagi!"

"Heh? Padahal baru selesai UAS!"

"Jangan malas-malasan! Ayo berlatih, tidak ada waktu! Sebentar lagi mulai!"

Semakin lama semakin bisingnya suara piano hingga menarik pendengar salah satu teman sekelasku,
Mustofa Hariri.

"Bruk...." suara pintu terdengar.

Kami terkejut dan pandangan kami ke pintu dengan reaksi cepat.

"Aduh, salah masuk ruangan nih, ada orang lagi pacaran. Hehehe," kata Hariri sambil mengejek kami

"KAMI TIDAK PACARAN!" dengan suara spontanitas.

"Selamat melanjutkan, hihihi" ia pun menutup pintu. Kuharap tidak ada gosip yang tersebar.

"Ada apa dengan temanmu?" berkata dengan malu sampai wajahnya memerah.

"Dia hanya orang iseng dan juga jangan berkata seperti orang gugup, aku juga ikutan gugup! Ayo
lanjutkan!" kataku juga dengan wajah yang memerah.

Setiap free class aku selalu berada di ruang musik. Mengabaikan setiap acara sekolah dan fokus ke latihan
Rika. Ini hanya yang terbaik yang bisa kulakukan. Kamu, bukan, kami akan memberikan hasil yang terbaik
di final nanti.

Part 17: Part 17 - Hujan


Akhirnya liburan musim penghujan datang juga, pembagian rapot juga sudah dilewati. Saatnya fokus ke
latihan Rika.
"Bagaimana hasil ujianmu?" kataku.

"Memuaskan. Kalau kamu?"

"Lumayan. Akhirnya fokus juga ke latihan. Aku akan meluangkan waktu untuk terus ke rumahmu ya!"

Kebetulan, orang tua Rika setiap hari saat siang bekerja jadi aku dengan mudah mampir ke rumahnya.

Setiap hari kami selalu bersama terus-menerus. Seperti tidak ada yang menghalangi kami untuk terus
bersama. Saat aku mau pulang sore, hujan tiba-tiba mengguyur.

"Yah hujan." kataku.

"Tidak ada pilihan lain, ini kupinjamkan payungku. Sekalian aku antar."

"Boleh nih?"

"Ya, tentu."

Kami berdua berjalan menelusuri hujan yang mengguyur setiap langkah kami dan Rika terdiam dan berkata
dengan pelan,

"Jika aku sudah sukses, maukah kamu menungguku?" dengan suara pelan.

"Apa? Aku tidak mendengar!" karena hujan yang semakin deras.

"Tidak ada apa-apa. Aku ingin bermain air!" ia mulai melemparkan payungnya dan loncat-loncat di tengah
lebatnya hujan.

"Hei, jangan hujan-hujanan nanti sakit!" kataku berteriak.

"Aku tidak peduli, ayo main!" sambil menarikku hingga payungku terjatuh.

"Nikmatnya! Hahahaha!" sambil tertawa menikmati dinginnya hujan.

"Tentu! Hehe" aku pun mulai tertawa. Kami pub tertawa di tengah lebatnya hujan seperti orang gila.
Mengabaikan setiap anak kecil yang mulai memperhatikan kami. Tidak ada yang peduli. Berdua lagi di
tengah hujan. Sungguh menyenangkan!

Part 18: Part 18 - Hasil Terbaik


Keesokan harinya, aku mulai flu karena bermain hujan kemarin. Aku mulai menelepon Rika,

"Halo?"

"Halo? Uhuk.. uhuk"

"Kamu kenapa? Sakit? Sudah kubilang kemarin jangan bermain hujan-hujanan!"

"Ini hanya flu ringan, kamu juga menikmatinya. Bukan salahku dong? Suaramu agak serak, pasti karena
kemarin ya? Kamu meneleponku pasti minta izin untuk libur karena sakit."
"Tepat sekali, hebat kamu mengetahuinya. Lain kali aku tidak lagi mengizinkanmu main hujan-hujanan
lagi!"

"Baik, baik, pelatih!" dia menutup telponku.

Memang benar aku menikmati derasnya hujan kemarin, tapi sepertinya dia mengucapkan sesuatu, seperti
menunggu. Apa sih maksudnya? Apa aku salah dengar ya? Aku tidak mendengar ucapannya sama sekali,
tapi semoga itu bukanlah hal yang buruk.

Bulan Januari sudah tiba. Sepertinya tidak ada waktu lagi, walaupun sekarang masih awal Januari. Fluku
sudah mulai mereda dan sekarang mulai latihan lagi. Seperti biasa latihan mulai dilakukan kembali.

"Sudah tidak ada waktu lagi ya! Jangan bermalasan lagi!"

"Baiklah!"

Terdengar di telingaku, nada-nada yang tadinya berantakan sudah terdengar lebih rapih. Temponya juga
tidak terlalu terburu-buru. Penampilan yang indah sudah memikat hati. Akhirnya, tidak ada kata sia-sia
untuk kerja keras. Kerja keras membuahkan hasil. Bakat dan kerja keras akan menghasilkan penampilan
yang sempurna!

Part 19: Part 19 - Hening Dalam Gelap


Tidak terasa sudah masuk sekolah. Liburan yang panjang kini sudah berakhir. Bel sekolah kini sudah mulai
terdengar lagi. Jam pelajaran yang membuatku mengantuk setiap saat mulai muncul kembali. Inilah
kehidupan sekolahku kembali.

"Sudah masuk sekolah dan sebentar lagi bulan Februari. Jangan bolos latihan karena alasan sakit ya!"

"Iya.. Pelatih"

Seperti biasa ia memanggilku pelatih saat latihan. Aku melatihnya hari demi hari. Dari liburan sampai
sekolah, kami selalu berdua setiap saat. Tapi, firasatku mengatakan tidak akan seperti ini lagi. Kuyakin ini
hanya feeling-ku saja.

"Hei, Hilal, saat aku menjadi juara nanti, aku ingin berkata sesuatu padamu," dengan wajah seriusnya,
membuatku makin penasaran apa yang ingin dikatakannya.

"Apa yang ingin ia katakan ya? Tumben sekali dengan wajah seriusnya." kataku dalam hati.

Kita berlatih terus hingga larut malam di ruang musik. Ditemani terangnya cahaya bulan yang di kelilingi
bintang-bintang.

"Yah, kita pulang larut malam lagi. Kau adalah anak gadis, jadi akan kuantar dengan sepedaku ya ke
rumahmu."

"Baik."

Melihat terangnya bulan dan bintang, ia berkata kepadaku,


"Hei, kenapa bulan dan bintang selalu terang benderang?"

"Karena ia menerima cahaya dari matahari" kataku.

"Itu artinya, walaupun mereka dalam satu tata surya, mereka tidak bisa bertemu satu sama lain?"

Dia berkata seperti mengucapkan selamat tinggal padaku, terdiam dalam renungku.

Part 20: Part 20 - Jawaban yang Memuaskan


Saat kuterdiam saat malam itu, ia mulai bernyanyi..

Twinkle twinkle little star.


How I wonder what you are?
How up above you what so high?
Like a diamond in the sky.
Twinkle twinkle little star.
How I wonder what you are?

Ia menyanyikan salah satu lagu dari Wolfgang Amadeus Mozart itu. Lagu yang menyentuh yang ditemani
hangatnya keindahan bulan dan bintang. Lalu aku mulai menjawab pertanyaannya,

"Jika matahari tidak bisa bertemu bulan, bukankah ia juga menyampaikan sinarnya ke bulan? Itu berarti,
bulan dan matahari tidak terpisahkan hanya karena jarak. Mereka saling menyampaikan, melengkapi. Bulan
yang tidak memiliki cahaya sendiri, ia lebih memilih menerima cahayanya dari matahari."

Jawabanku yang asal temu itu membuat puas perasaannya. Ya, walaupun aku tidak begitu mengerti. Lalu
aku juga ikut bernyanyi Twinkle Twinkle Little Star. Kami bernyanyi di gelapnya malam, tak mempedulikan
sekitar kami, bersepeda berdua menyusuri jalan yang sepi, ditemani cahaya lampu yang menerangi, serta
bulan & bintang. yang selalu menemani kami. Berdua lagi.

Akhirnya aku sampai di kediaman Rika.

"Akhirnya sudah sampai di kerajaan putri. Selamat beristirahat tuan putri."

Ia membalas senyum padaku,

"Sampai jumpa lagi!"

"Ya, sampai jumpa. Semangat untuk kompetisinya ya!"

Aku mulai mengayuh sepedaku di malam itu. Rika melambaikan tangannya untukku. Aku mengayuh sepeda
dan bulan terus mengikutiku. Keindahan di malam hari serta udara dingin yang mulai menusuk kulit.
Indahnya.

Part 21: Part 21 - Memori


Hari-hari yang indah bersamanya sudah kulalui. Penuh tawa dan kesedihan, inilah kehidupanku. Tak terasa
bulan Februari sudah dirasakan. Bagaimana tidak dengan keceriaan bersamanya? Final kini sudah di depan
mata, saatnya kami menunjukkan hasil yang terbaik dari pelatihan selama ini. Hari ini adalah hari ulang
tahunku saat final ini, kuharap hadiahku dari Rika berupa kemenangannya.
"Apa kau sudah siap?"

"Tentu saja."

"Kau harus menghasilkan hasil yang terbaik seumur hidup lho ya..!"

"Ya, sebelumnya terima kasih untuk mendukungku saat ini."

"Ya, sama-sama. Ini saatnya, pergi ke tempat banyaknya sorot cahaya yang mengelilingimu. Semua orang
memperhatikanmu, ini saatnya menunjukkannya! Semangat!"

Aku memberikannya semangat, tak segan juga memberikan support untuk kerja kerasnya selama ini. Aku
meminta untuk memberikan hadiah ulang tahun yang indah untuk tahun ini.

Aku pun tiba di bangku penonton, lalu Rosa dan Aldi menyapaku.

"Hei, Hakki! Kau hadir juga ya?"

"Tentu saja, dari awal aku sudah mendukung Rika. Lalu, kenapa kamu disini? Apa yang kamu lakukan?"

"Tentu saja mendukungnya!"

"Terima kasih, Rosa & Aldi yang sudah datang couple-an dengan repot-repot kesini!"

"Kuharap ini bukanlah hal yang buruk untukmu, Hilal." kata Aldi dengan suara pelan. Apa maksudnya ya?

Nomor urut 1 & 2 akhirnya selesai, sebentar lagi saatnya penampilan Rika..

Kutunggu penampilan Rika yang tampil urutan 3, penutup yang pas buat para penonton. Lalu, Aldi berkata
sesuatu hal yang aneh lagi padaku.

Part 22: Part 22 - Terhempas Kemarahan


Penampilan Rika pun mulai tedengar..

Permulaan yang bagus! Ayo tunjukkan kemampuan padaku Rika! Ayo buat penampilanmu sebagai kado
terindah untukku, Rika!

Dalam memasuki pertengahan, Hilal mulai mendenguskan nafas. Dia seperti ingin berbicara padaku.

"Apa kau yakin akan melepaskannya?"

"Heh?"

"Jika dia keluar sebagai pemenang, apa kau senang?"

"Tentu saja, aku memintanya untuk memberikan kado terbaik untukku."

"Mungkin ini adalah awal yang buruk bagimu."


"A-apa maksudnya?" tanpa memperhatikan penampilan Rika demi memuaskan rasa penasaranku terhadap
pertanyaan Aldi.

"Sebenarnya
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.''

Aku mulai mendengarkan kalimat yang dikeluarkannya dan mulai menghiraukan permainan Rika. Aku
mulai mematung dan mengerutkan alisku. Terkejutku mendengarnya. Inikah hadiah terindah yang
kuperoleh? Dia bahkan tidak memberitahuku sebelumnya? Air mata mulai berlinang di sekujur pipiku
sambil menyaksikan penampilan yang super indah di hadapanku. Kuberubah pikiran. Galau hatiku, pedih,
perih, kesal pun hadir di benakku.

Kisah cintaku akan berakhir seperti ini. Tanpa diduga & disangka, kenyataannya seperti itu. Dia akan
meninggalkanku seperti ayah meninggalkan ibuku.

Part 23: Part 23 - Dia Meninggalkanku?


Dia akan meninggalkanku seperti ayah meninggalkan ibuku.

Aku masih duduk di kursi penonton dan mendengarkan pemenang dari kompetisi ini.

"Pemenang kompetisi adalah......

Rika Christiani!"

Begitu kudengar pengumumannya, hatiku terasa sesak. Sakit sekali. Tepuk tangan pun mulai mengisi
keheningan gedung. Rasa sakitnya sampai tepuk tangan tak terdengar lagi.

Kudengar itu, hatiku mulai merasa sakit seperti ada yang menusuk. Kau tidak memberitahuku sebelumnya,
malah orang lain yang memberitahuku. Aku pun mulai meninggalkan tempat dan pesan sudah menggetarkan
ponselku.

Hilal? Aku menang lho, kamu dimana?

Aku di taman. Aku akan menunggumu kemari.

5 menit kemudian, ia pun datang..

"Apa yang kamu lakukan disaatku menang?"

"Hei, aku ingin berbicara denganmu."

"Ada apa?"

Suasana sepi dan rasa kesedihanpun tiba..

"Kau.. Kau akan meninggalkanku sendirian kan?"

"Hah?"

"Aku mendengar bahwa pemenang dari kompetisi ini akan mendapat beasiswa dan akan dipindahkan
sekolahnya di Inggris dan lulusannya akan bekerja disana, apa itu benar? Itu artinya kau meninggalkanku
sendirian? Kau bahkan belum memberitahuku soal ini. Padahal aku menyukaimu, kau harusnya sadar
tentang itu. Tapi, tapi kenapa?" suaraku merintih sambil menangis penuh isak. Tanpa ada satu kata pun
jawaban darinya. Dia terdiam.

Sudahlah, sudah cukup. Aku muak dengan semuanya! Aku muak dengan bakat! Aku muak dengan iringan
musik! Semuanya telah memisahkan antara aku dan dia. Semuanya hilang. Memang benar, aku seharusnya
sudah menyadarinya bahwa aku sudah berbeda dengan dunianya tapi masih mengharapkannya. Sungguh
bodoh diriku.

Part 24: Part 24 - Menyakitkan Hati!


Aku menangis penuh isak dan perlahan mulai meninggalkannya. Dari belakang ia mulai menarik tanganku.

Dia mulai menangis perlahan dan mulai menjawab..

"Aku tahu kecewa, aku sangat tahu itu. Akhirnya kau mengungkapkan segalanya, menumpahkan isi hatimu
padaku. Aku bahagia. Ini hari ulang tahunmu tapi memberikan kabar buruk untukmu. Kami sudah melewati
hari-hari bersama berdua. Dari sepulang kompetisi, pelatihan, hujan, di bawah sinar bulan sambil bernyanyi.
Itu semua menyenangkan bukan? Itu sudah berati banyak bagiku ketika kamu sering menemaniku, padahal
kita baru beberapa bulan ini kenal. Aku sudah senyaman-nyamannya denganmu. Aku ingin bersamamu lebih
lama lagi. Kita sudah di dunia yang berbeda, dimana bakat memisahkan kami. Tapi kali ini, aku tidak akan
meninggalkanmu.

Aku juga mencintaimu, Hilal Hakim.

Oh ya, aku juga menyiapkan jawaban dari pertanyaanmu. Aku bermain untukku. Aku yakin kau dapat
merasakannya. Dalam pikirku aku, semoga perasaan melalui lagu ini bisa menyampaikannya. Apakah
sampai kepadanya? Semoga sampai padanya, itu yang selalu terngiang di kepalaku. Aku bermain untukmu.

Maukah kamu menungguku hingga lulus dari sana dan mulai membawamu pergi bersamaku dan tinggal di
kehidupan Eropa? Aku ingin menikah denganmu disana. Maaf, sebenarnya hal inilah yang mau
kusampaikan tapi sudah terungkap pula. Maaf hari ulang tahunmu kacau. Maaf dan terima kasih atas
segalanya. Aku besok akan pergi ke Inggris, cepat datang ke bandara ya besok? Kutunggu."

Dia mulai mengendurkan tarikannya. Aku mulai menoleh padanya, ia pun tersenyum padaku. Tangisanku
sudah berhenti. Kini dialah yang pergi meninggalkan langkahnya. Perasaan yang baru saja terungkap. Masih
ada rasa kecewa dan marah di lubuk hatiku hingga aku tak bisa berucap. Aku ingin menggapainya, namun
tak sampai. Inikah nasibku?

Part 25: Part 25 - Monotone


Hari perpisahan yang menyakitkan kemarin. Ini hari Minggu. Sekarang sudah pagi ya? Tidak ada lagi yang
dapat kukerjakan, tak bisa lagi di ruang musik. Kehidupanku berwarna kembali menjadi berwarna abu-abu
polos. Sepi, hampa, dan tak berwarna. Kehidupan monotoneku kembali lagi.

Ponselku mulai berdering, ternyata Rosa menelponku.

"Ada apa Rosa?" lesu berucap.

"APA YANG KAU LAKUKAN, HAKKI! DATANG KE BANDARA CEPAT!"

"Malas ah." dengan jawaban singkatku.

"Bila tidak mau, akan ku.."

Telpon mulai mati dan terdengar seseorang mendobrak pintuku dan ternyata Aldi. Dia menarikku.
Rambutku masih berantakan, dia memaksaku masuk mobil.

"Akhirnya bisa kuculik dirimu, Hakki!"

"Apa sih? Licik banget kalian membawaku pergi tanpa izin!"

"Maafkan aku karena sudah memberitahu hal itu." Aldi meminta maaf padaku.

"Tidak apa, kau tak salah."

"Oke, kecepatan penuh ke bandara, tancap gas! Maju!"

Di bandara,

"Sudah kuduga dia tak kunjung datang. Dia masih marah padaku. Maaf Hilal, sampai jumpa." Rika yang
sedang menunggu pesawat keberangkatannya.

Di tempat Hilal,

"Akhirnya kita sudah sampai, Hakki!"

"Oh begitu, baiklah aku pulang naik taksi."

"Bo-bodoh, cepat kejar Rika! Ini perpisahanmu bukan?" kata Aldi.

"Apaan sih kalian?"

Lalu seketika, Rosa menamparku.


Part 26: Part 26 - Mengejarnya
"Apa yang kau lakukan? Dia sedang menunggumu dan kau merengek hanya karena dia meninggalkanmu
sebentar? Cowok bodoh! Sifatmu kekanak-kanakan belum gentleman! Dia sudah mengungkapkan
perasaannya bukan? Lalu apa yang kaulakukan dan tidak memberi jawaban apa-apa? Kenangan yang kalian
nikmati akan hilang hanya dengan keegoisanmu itu!"

Kalimat yang dibuat Rosa seakan-akan membangunkanku. Dia benar, aku kekanak-kanakan. Aku akan
mengejarnya!

"Terima kasih, Rosa!" berdiri tegak dan mulai berlari mencari Rika.

"RIKA? RIKA? KAMU DIMANA?"

Sementara itu, Rika mulai melangkahkan kakinya ke tempat pesawat.

Aku tidak menemukannya, sial! Ponselku kemudian berdering pertanda SMS masuk.

Dia ada di barat daya bandar. Cepat kamu kesana! 5 menit lagi akan berangkat!

Terima kasih, Rosa! Aku mulai berlari kencang ke arah yang disebutkan. Akhirnya bertemu dengannya.
Berlari berlari berlari tak mempedulikan orang-orang sekitar yang memerhatikan.

"RIKAAAA!!!!" berlari dan langsung memeluknya dengan erat.

"Ada apa? Kau langsung memelukku di depan umum."

"Aku sudah putuskan, aku akan menunggumu! Maaf telah bersikap seperti anak kecil. Aku juga mau
menjadi pengantin priamu. Akan kutunggu kau."

Jawaban yang memuaskan tiba, dia tersenyum. Aku memberikan sebuah cincin padanya.

"Nih, cincin untukmu. Untuk jaga-jaga agar lelaki bejat tak menyentuhmu sama sekali disana."

"Wah, indahnya. Terima kasih, Hilal!" lalu dia mencium pipiku. "Dengan ini aku tak khawatir lagi. Selamat
tinggal, eh, sampai jumpa! Tunggu aku ya!"

"Tentu." menganggukkan kepala.

Part 27: Part 27 - Aku Berbeda Dengan Dunianya


Akhirnya ia meninggalkanku. Sekarang, kehidupan sekolahku tak sibuk. Tak mengurusi lagi jadwal
pelatihan. Tidak mampir lagi ke rumahnya. Tidak beristirahat lagi di ruang musik sambil mendengar
permainannya. Hampa dan sepi di sekolah.

Kita tidak bisa merasakan lagi hujan lebat, daun-daun yang mengelilingi, taman bermain yang
menyenangkan, bahkan bersepeda berdua di malam hari.

Kubuka pintu ruang musik dan kembali mengenang ketika kita pertama bertemu di SMA. Hari-hariku
bersamanya sudah tidak ada lagi. Tapi, aku lega akan jawabannya. Dalam hati, dalam pikirku hanya
terngiang dengan kata-katanya bahwa ia akan kembali padaku. Dia tidak meninggal, melainkan hanya
berpergian sementara untuk mendapat pelajaran tentang bakatnya. Dunia memang tak adil. Rika yang
beprofesional ditarik keluar, sedangkan aku tidak. Benar, dunia ini berbeda. Dunia hanya membutuhkan
orang yang berbakat sepertinya. Tidak sepertiku.

Aku membantunya agar ia selalu bermain bersama dengan permainan yang indah. Aku yakin, inilah yang
diinginkan orang tua Rika.

Sadar dengan kemampuan, bakat, yang akhirnya memisahkan kita. Kita mungkin hidup seperti matahari dan
bulan. Tapi, dalam kehidupanmu, aku akan hidup sebagai bintang.

Dia orang yang berbakat, sedangkan aku hanyalah seorang yang biasa saja.

Hidup memang tak adil.

Kita hidup di dunia yang berbeda.

Semoga kita saling melengkapi perbedaan kita.

Aku, aku, akan terus menunggumu, meski di dunia yang berbeda. Aku harap kau kembali kepadaku. Jangan
pernah meninggalkanku seperti ayah meninggalkan ibuku. Kau hanya pergi sebentar kan? Akan kutunggu
kau disini, Rika. I Love You!

TAMAT

Part 28: Epilog


Epilog

Kisah di antara laki-laki yang menunggu dan perempuan yang berlatih untuk sukses di bidangnya demi
kembali ke pria itu.

Ending yang mungkin menggantung. Tapi, semoga cerita ini bisa menemani aktivitas luang Anda. Terima
kasih. Maaf bila ada kesalahan kata, typo, EYD berantakan, dan SPO yang kadang kebalik.

Terima kasih para readers! Tunggu seri buatanku, berikutnya ya!

Indah Sri Rejeki


Intagram: @indahedogawasan
Facebook: Indah Sri Rejeki (Ndah)
Link www.facebook.com/IndahSriRejeki.OfficialAccount
Twitter: @IndahSriRejek
Ask.fm: @IndahSri

Anda mungkin juga menyukai