Mungkin inilah nasibku, menyukai gadis yang sangat cantik & berbakat, namun bakat itulah yang
memisahkan kita... .
Saat aku baru masuk SMA, aku sudah menyukai gadis cantik nan anggun bernama Rika Christiani. Dia
murid terpandai di sekolah ini. Dia juga sangat berbakat dibidang seni, terutama musik. Aku menyukainya
saat ia memainkan lantunan biola yang indah di ruang musik. Aku tidak sengaja bertemu dengannya, saat
itu, aku disuruh guru untuk mengambil sebuah catatan yang tertinggal disana. Apalah dayaku, seketika
tubuhku kaku, sungguh sangat menghipnotisku di ruang musik itu.
Aku sangat tidak percaya, dia mengajakku! Mungkin aku adalah orang paling beruntung di dunia ini,
kehidupan yang monotone bagaikan kertas putih yang kosong, kini dipenuhi warna. Aku yakin inilah
perasaan yang disebut cinta, aku yakin itu.
"Hm, kencan ya? Akhirnya kau mendapatkan seorang gadis." kata Mustofa Hariri, salah satu teman
sekelasku dan teman masa kecilku.
"Begitulah!" jawabku dengan penuh rasa senang.
Akhirnya hari Minggu telah tiba. Saatnya aku melihat penampilannya untuk kedua kalinya. Kami pun
bertemu.
"Hai, bagaimana penampilanku?"
"Ca-cantik banget!" dengan penuh muka kemerahan.
"Aku juga membawa kedua temanku."
"Hallo, namaku Aldi Fattah." jawab salah satu temannya.
"Haiii, Hakki!"
"Oee.. Bukannya kamu Rosallia Ellie? Si gadis culun berwajah culun berambut twintail?" kataku. Jelas aku
mengenalnya, dia adalah orang yang menjengkelkan yang selalu menggangguku saat SMP.
"Kejam banget, Hakki!"
"Kau yang lebih tidak jelas dan jangan memanggilku Hakki!"
"Ternyata kalian sudah saling kenal, silahkan masuk." kata Rika.
Saat aku masuk, sungguh luar biasa, tempat yang mewah cocok untuk mendengarkan lantunan musik.
Kulihat Aldi juga mengikuti kompetisi tersebut, lalu Rika dan Aldi meninggalkan kami,
"Dah, aku ke ruang ganti ya!" sahut Rika.
Mereka berjalan, seakan-akan meninggalkanku sendirian, aku ingin menggapainya, namun tanganku tak
sampai. Jangan tinggalkan aku...
Saatnya penentuan, siapa yang akan masuk ke babak penyisihan. Terlihat di papan , Rika urutan kedua dan
Aldi urutan pertama.
"Cih!" sahut Rika, dia murung dan terlihat sangat kecewa. Aku tidak mengerti, padahal dia lolos kenapa dia
kecewa? Dia pun berlari keluar, aku pun mengejarnya.
"Oee.."
Aku pun mengantarnya kembali, dan kami pun sambil mengobrol di jalan,
"Oh iya, saat kami di ruang musik, kenapa kamu langsung memberiku tiket?" tanyaku.
"Sebenarnya aku sudah mengenalmu saat masih kecil. Ketika aku pergi pasar malam, aku berlari dan aku
pun terjatuh. Saat itulah kamu mengulurkan tanganmu untukku, 'Apa kau baik-baik saja? Dimana orang
tuamu, sini kubantu carikan' katamu dulu. Bagaimana aku lupa, kita dua jam mencari orang tuaku."
"Oh saat itu ya, padahal sudah lama, tapi kau masih mengingatku dengan baik."
Berdua, kita berdua. Melangkah kembali ke tempat berbau AC lagi untuk menemui teman-teman. Kita
bercanda dan tertawa, kita menceritakan semua kenangan kita di pasar malam, saat itulah kita pertama kali
bertemu.
Sekolah, tempat mengekspresikan bakat, keterampilan, dan pengetahuan. Sejak awal aku tahu, aku seorang
biasa, makanya aku mencari gadis untuk menutupi kekuranganku. Aku di ekskul yang berbeda dengan Rika,
dia memilih seni musik, sedangkan aku memilih olahraga. Bukankah hal yang aneh, seorang atlet
berpasangan dengan seniman? Bagi orang lain mungkin aneh, tapi bagiku itu tidaklah aneh karena satu sama
lain memperkenalkan hal yang tidak diketahui, aku yakin Rika berpikir seperti itu. Hanya melihatnya dari
jauh dan berpikir bagaimanakah aku mengungkapkannya. Kami belum terlihat akrab sama sekali dan dia
masih memanggilku dengan nama belakangku. Salah satu temanku pernah mengatakan ini padaku,
"Jika kau menyukai seseorang, kehidupanmu yang polos seperti kertas putih akan berubah menjadi kertas
yang dipenuhi warna. Kehidupanmu berubah menjadi berwarna dan bermakna." Aku mempercayai kata-
katanya dan menunggu saat yang tepat.
"Hah?"
"Sebenarnya.."
"Heh?!"
"Sebenarnya aku.."
"Hah?!?"
"Sudah kuduga kau akan berkata begitu, aku bodoh, bodoh, bodoh!" pikirku. "Silahkan bercerita, aku ingin
mendengarnya!" kataku.
Aku memang bodoh, tidak ada wanita yang baru berkenalan langsung menyampaikan perasaannya. Tapi,
kurasa itu lebih baik. Karena akulah yang akan menyampaikannya...
Setelah dia bercerita panjang lebar, aku terkejut mendengar hal itu. Kehidupan penuh warna sekarang telah
dihapus lagi sehingga di kertas itu terasa kusam. Tapi aku menyadari, bahwa ia tidak mau.
Ia bercerita, saat kompetisi piano kemarin. Dia saat itu sempat marah karena dia tidak dapat mendapat
peringkat pertama. Kukira ia hanyalah gadis yang berambisi, ternyata tidak. Aku mengerti perasaannya. Jika
ia kalah dalam kontes piano, maka ia tidak diperbolehkan lagi bermain. Dia pun menangis. Hatiku hancur
melihat gadis yang kucintai menangis. Tapi kutahan perasaan ini dan mulai memeluknya,
"Jangan khawatir, aku selalu ada untukmu. Aku akan membantumu menjadi juara di babak penyisihan nanti.
Jangab menangis, mari kita pulang?"
Dia menggenggam erat genggamanku, aku mengerti perasaanya. Jika aku ahli musik, mungkin aku sudah
membantunya. Tapi, kita sudah ditakdirkan untuk hidup di dunia yang berbeda. Kau dan aku.
Part 8: Part 8 - Kepercayaan
Part 8 - Kepercayaan
Semalaman aku berpikir, bagaimana aku membantunya? Apa yang harus kulakukan untuknya? Dengan
berpikir keras, akhirnya aku memutuskan untuk membantunya. Kita mungkin di dunia yang berbeda, kamu
di dunia musik, sedangkan aku olahraga. Tapi aku akan tetap membantunya. Sebentar lagi, liburan semester
1. Selama itulah aku akan berusaha membantunya!
Persiapan, jadwal sudah kubuatkan secara matang untuknya. Tidak ada waktu lagi, hari demi hari aku
membantunya di ruang musik. Dia bermain untukku, lalu aku mendengarkan untuknya. Berdua.
Semakin lama, semakin baik permainannya. Tempo, dinamika, semuanya sudah sangat teratur. Tinggal
bagaimana dia memainkannya. Mungkin aku sudah memberi latihan yang berat, tapi untuk menjadi yang
terbaik harus bekerja keras.
"Telat, Hakki!"
Benar, wewangian alat musik sudah tercium lagi. Aku pun mulai masuk ke tempat duduk penonton. Saatnya
pertunjukkan dimulai!
Dari 10 peserta, semuanya sangat bagus. Hingga aku takut apakah Rika dapat masuk ke babak final. Tidak,
aku seharusnya mempercayainya bahwa dia pasti lolos. Aku yakin itu.
Itu dia, Aldi Fattah merupakan seorang pemusik jenius. Sejak kecil ia mendapat gelar juara pertama tahun
demi tahun. Meskipun begitu, sungguh ia dibenci semua orang karena bakat yang dimilikinya. Mungkin ada
yang iri dan tidak suka, namun dia memiliki bakat serta kerja kerasnya selama ini. Tak heran ia selalu
mendapat gelar juara. Namun suatu ketika, Rosa berbisik sendirinya,
Aku yang berada di sampingnya tidak tahu apa yang dimaksudnya. Lalu, aku pun bertanya,
"Ada apa?"
"Ti-tidak ada apa-apa!"
Aku tahu dia menutupi rahasia, walaupun begitu kita adalah teman semasa kecil.
"Beritahu aku apa yang terjadi! Kita teman, kamu harus percaya denganku!"
"Ba-baiklah. Sebenarnya, belakangan ini ia tidak menunjukkan wajahnya selama 2 tahun, karena masalah
pembullyan yang dilakukan orang lain. Aku menyuruhnya untuk tetap bermain. Selama ini, aku selalu
melihat penampilan piano dan melihatnya bermain dengan sangat keren. Lalu aku mendekatinya dan
menjadi temannya. Tidak disangka, ia juga berteman dengan Rika."
Lalu terpikirkan sejenak, kenapa saat Aldi tidak ada, Rika tidak mengambil gelar juaranya? Aku bingung.
Sungguh pemikiran Rika yang membuatku bingung. Aku yakin, dia hanya bersaing secara sehat dengan
Aldi, tidak lebih dari itu.
Terkadang terpikirkan olehku, banyak orang yang berbakat dan berkemampuan lalu ia bekerja keras, bahkan
hasilnya lebih maksimal. Aku sangat kagum padanya untuk ketiga kalinya.
Saat Aldi memainkan piano dan memasuki bagian akhir, penampilannya yang luar biasa keren, di akhir
penampilan ia kehilangan partiturnya. Nadanya tidak lagi indah, melainkan dengan keras ia hentakkan piano
tersebut. Bagaikan anak yang disiksa. Apa yang terjadi padanya? Tanyaku dalam hati. Di sisi lain aku
senang, penampilan Aldi yang buruk membuat Rika lebih unggul darinya.
Namun aku sedih, walaupun belum berkata sepatah katapun padanya, ia sudah kuanggap teman. Sebagai
teman, aku mau ia memainkan penampilan terbaiknya. Berhenti di tengah, ia tidak sanggup memegang
piano itu lagi. Sayang sekali, jika peserta berhenti di tengah, ia akan didiskualifikasi.
Kutengok Rosa terlihat sedih melihat Aldi. Bagaimana tidak, seorang yang ia kagumi malah jatuh di
depannya. Tidak ada yang bisa kulakukan, hanya terpaku diam dan membisu memandangi sekumpulan
orang yang bingung melihatnya.
Selesai kompetisi, aku dan teman-temanku melihat pengumuman masuk final. Syukurlah! Rika masuk final,
sedangkan Aldi terpuruk.
"Hm!"
"Kenapa kamu memberikan penampilan burukmu, mana penampilan terbaikmu?" kata Rosa.
"Begitu ya.."
Dia seperti menutupi perasaannya. Kecewa tentu saja. Aku berharap dia selanjutnya lebih baik. I will be
believe my friend.
Part 11: Part 11 - Untuk Apa Kamu Bermain?
Part 11 - Untuk Apa Kamu Bermain?
Kembali ke kisah romantisku, aku menyukai gadis yang cantik & populer. Sekarang, aku hanya menjadi
seorang teman & pelatih untuknya. Selama kompetisi berlanjut, aku putuskan untuk menemaninya latihan.
Kepribadian yang unik, membuatku semakin suka padanya.
Suatu hari saat latihan aku mengajaknya ke taman bermain, Dufan. Untuk menyegarkan fisik dan mentalnya
menghadapi final, ia butuh refreshing. Tentu, ia pergi bersamaku. Kuanggap ini merupakan kencan untukku
dan untuknya. Sikap aslinya akhirnya keluar saat melihat berbagai macam atraksi permainan, keanak-
anakan.
Membuatku tertawa melihatnya, dia adalah pemusik profesional, namun sekarang ia berubah menjadi gadis
biasa. Sungguh gadis yang menarik!
Hari pun sudah mulai gelap dan taman bermain pun sudah waktunya tutup. Namun kami masih meminum
jus di tempat duduk dekat zebra cross.
"Kenapa?"
"2 tahun yang lalu, Aldi tidak bermain piano. Lalu, kenapa kau tidak merebut gelar juaranya saat itu?"
semakin heningnya suasana.
"Kau tahu, dia adalah seorang yang kukagumi. Bahkan, yang memperkenalkan musik untukku adalah dia.
Aku ingin mengejarnya, meskipun aku sudah tertinggal jauh di belakangnya.''
"Aku mau bertanya sekali lagi, untuk apa kamu bermain, dan untuk siapa kamu bermain? Apakah
untuknya?"
Pasti ada mengganjal pikirannya saat aku bertanya tadi. Ia pun mulai tergerak menjawab,
Tanpa pikir panjang ia menarik tanganku. Tidak ada tanda-tanda jawaban atas pertanyaanku tadi. Kukira itu
adalah pertanyaan konyol sampai Rika tidak menjawab. Aku ingin ia bermain untukku. Terpikir olehku,
apakah hanya ini keinginanku? Apa masih ada lagi? Sungguh aku muak dengan masa remajaku. Labil,
bimbang, galau, kacau balau di hatiku.
Kami pun mulai terpisah di jalan, arah rumah kami berbeda arah. Aku mulai berpikir, sepertinya kami
banyak menghabiskan waktu bersama. Kenangan ini takkan pernah terlupakan. Dari awal masuk sampai
sekarang kami sudah sangat dekat. Kita sudah mempunyai ikatan satu sama lain. Mungkin, aku dan dia
takkan bisa terpisahkan. Aku pun menatap lagit yang dipenuhi bintang-bintang. Aku dan Rika pasti bisa
seperti bintang, takkan terpisahkan walaupun siang dan malam terus menerus berganti. Aku sudah
menemukan kehidupanku yang baru. Apa dia bisa membalasnya ya? Apa aku bisa mengubah dunianya ya?
Dunia yang ia miliki berwarna, tapi akan kubuat lebih berwarna.
"Hah? Kau yakin sepadat ini? Sebentar lagi UAS semester ganjil lho!"
Hanya selang 2 bulan lagi menuju final, lalu dipotong seminggu untuk UAS. Semoga jadwalnya bisa
membantu. Aku akan meluangkan waktuku lagi untuk membantunya, meskipun aku tidak terlalu mengerti
tentang musik apalagi piano.
Final, lagunya pun sudah ditentukan, yaitu, Piano Concerto No. 21 in C Major. Aku sama sekali tidak
mengerti soal musik.
"Kebanyakan lagu Mozart itu sulit bagiku dan seperti biasa kau selalu memakai lagu Chopin, apa kau bisa
memainkannya?"
"Tidak, maksudku.."
Ia meyakinkan seakan-akan aku tidak boleh khawatir dengannya. Tapi, aku sudah percaya dengannya, jadi
tidak perlu khawatir.
Hari demi hari, kami pun berlatih. Tentu saja aku menemaninya. Menunggunya di ruang musik adalah hal
yang menyenangkan. Kepribadian yang unik, rupa yang cantik, dan sikap yang kekanak-kanakan,
membuatku tertawa sendiri. Dia sangat lucu, tapi ketika bermain dia sangat cantik dengan pianonya.
Seandainya dari dulu aku belajar musik, aku pasti sudah bersamanya.
"Harus fokus dulu ke pelajaran, kamu sekarang selama seminggu tidak berada di bawah pengawasanku lho.
Jangan campurkan musik dengan pelajaran!"
"Baik!"
Tetapi, saat di sekolah, setelah aku ke kantin, aku mendekati ruang musik, terdengar suara musik klasik.
Aku mulai mendekatinya, jarinya memerah dan buku-buku pelajaran berserakan dimana-mana. Aku
mengerti, cara belajar efektifnya begitu ya. Aku memberikan blezerku padanya, karena sekarang sudah
memasuki musim penghujan. Aku di sampingnya, dia tidur di sampingku, sambil memakan makanan yang
sudah kubeli dari kantin. Akhirnya kita berdua lagi, di ruang musik.
"Mesum!"
"Eh, sudah kubil-..." kami pun bertengkar di ruang musik, dan guru membuka pintu dan menghampiri kami.
"Maafkan kami.."
"Gara-gara kamu!"
"Maaf ya? Aku hanya di ruang musik untuk melihatmu karena terdengar musik klasik dan ternyata kamu
tidur. Makanya, aku di sampingmu bahkan aku memberikanmu blezerku untuk selimutmu."
"Aku tahu itu dan pasti menghampiriku. Sebenarnya ini sengaja, agar aku tidak selalu ke kelasmu." dengan
senyum liciknya.
"Dasar kau ya! Aku akan menghukummu!" sambil mencubitnya pipinya dengan kedua tanganku. Kami
belum pacaran, tapi sudah seperti pacaran. Bahagia dengan seseorang, tidak berarti pacaran 'kan? Itu kata-
kata yang sering kudengar dan sekarang malah merasakannya.
Tapi disaat classmate, aku malah berduaan dengan Rika di ruang musik.
"Jangan malas-malasan! Ayo berlatih, tidak ada waktu! Sebentar lagi mulai!"
Semakin lama semakin bisingnya suara piano hingga menarik pendengar salah satu teman sekelasku,
Mustofa Hariri.
"Aduh, salah masuk ruangan nih, ada orang lagi pacaran. Hehehe," kata Hariri sambil mengejek kami
"Selamat melanjutkan, hihihi" ia pun menutup pintu. Kuharap tidak ada gosip yang tersebar.
"Ada apa dengan temanmu?" berkata dengan malu sampai wajahnya memerah.
"Dia hanya orang iseng dan juga jangan berkata seperti orang gugup, aku juga ikutan gugup! Ayo
lanjutkan!" kataku juga dengan wajah yang memerah.
Setiap free class aku selalu berada di ruang musik. Mengabaikan setiap acara sekolah dan fokus ke latihan
Rika. Ini hanya yang terbaik yang bisa kulakukan. Kamu, bukan, kami akan memberikan hasil yang terbaik
di final nanti.
"Lumayan. Akhirnya fokus juga ke latihan. Aku akan meluangkan waktu untuk terus ke rumahmu ya!"
Kebetulan, orang tua Rika setiap hari saat siang bekerja jadi aku dengan mudah mampir ke rumahnya.
Setiap hari kami selalu bersama terus-menerus. Seperti tidak ada yang menghalangi kami untuk terus
bersama. Saat aku mau pulang sore, hujan tiba-tiba mengguyur.
"Tidak ada pilihan lain, ini kupinjamkan payungku. Sekalian aku antar."
"Boleh nih?"
"Ya, tentu."
Kami berdua berjalan menelusuri hujan yang mengguyur setiap langkah kami dan Rika terdiam dan berkata
dengan pelan,
"Jika aku sudah sukses, maukah kamu menungguku?" dengan suara pelan.
"Tidak ada apa-apa. Aku ingin bermain air!" ia mulai melemparkan payungnya dan loncat-loncat di tengah
lebatnya hujan.
"Aku tidak peduli, ayo main!" sambil menarikku hingga payungku terjatuh.
"Tentu! Hehe" aku pun mulai tertawa. Kami pub tertawa di tengah lebatnya hujan seperti orang gila.
Mengabaikan setiap anak kecil yang mulai memperhatikan kami. Tidak ada yang peduli. Berdua lagi di
tengah hujan. Sungguh menyenangkan!
"Halo?"
"Ini hanya flu ringan, kamu juga menikmatinya. Bukan salahku dong? Suaramu agak serak, pasti karena
kemarin ya? Kamu meneleponku pasti minta izin untuk libur karena sakit."
"Tepat sekali, hebat kamu mengetahuinya. Lain kali aku tidak lagi mengizinkanmu main hujan-hujanan
lagi!"
Memang benar aku menikmati derasnya hujan kemarin, tapi sepertinya dia mengucapkan sesuatu, seperti
menunggu. Apa sih maksudnya? Apa aku salah dengar ya? Aku tidak mendengar ucapannya sama sekali,
tapi semoga itu bukanlah hal yang buruk.
Bulan Januari sudah tiba. Sepertinya tidak ada waktu lagi, walaupun sekarang masih awal Januari. Fluku
sudah mulai mereda dan sekarang mulai latihan lagi. Seperti biasa latihan mulai dilakukan kembali.
"Baiklah!"
Terdengar di telingaku, nada-nada yang tadinya berantakan sudah terdengar lebih rapih. Temponya juga
tidak terlalu terburu-buru. Penampilan yang indah sudah memikat hati. Akhirnya, tidak ada kata sia-sia
untuk kerja keras. Kerja keras membuahkan hasil. Bakat dan kerja keras akan menghasilkan penampilan
yang sempurna!
"Sudah masuk sekolah dan sebentar lagi bulan Februari. Jangan bolos latihan karena alasan sakit ya!"
"Iya.. Pelatih"
Seperti biasa ia memanggilku pelatih saat latihan. Aku melatihnya hari demi hari. Dari liburan sampai
sekolah, kami selalu berdua setiap saat. Tapi, firasatku mengatakan tidak akan seperti ini lagi. Kuyakin ini
hanya feeling-ku saja.
"Hei, Hilal, saat aku menjadi juara nanti, aku ingin berkata sesuatu padamu," dengan wajah seriusnya,
membuatku makin penasaran apa yang ingin dikatakannya.
"Apa yang ingin ia katakan ya? Tumben sekali dengan wajah seriusnya." kataku dalam hati.
Kita berlatih terus hingga larut malam di ruang musik. Ditemani terangnya cahaya bulan yang di kelilingi
bintang-bintang.
"Yah, kita pulang larut malam lagi. Kau adalah anak gadis, jadi akan kuantar dengan sepedaku ya ke
rumahmu."
"Baik."
"Itu artinya, walaupun mereka dalam satu tata surya, mereka tidak bisa bertemu satu sama lain?"
Dia berkata seperti mengucapkan selamat tinggal padaku, terdiam dalam renungku.
Ia menyanyikan salah satu lagu dari Wolfgang Amadeus Mozart itu. Lagu yang menyentuh yang ditemani
hangatnya keindahan bulan dan bintang. Lalu aku mulai menjawab pertanyaannya,
"Jika matahari tidak bisa bertemu bulan, bukankah ia juga menyampaikan sinarnya ke bulan? Itu berarti,
bulan dan matahari tidak terpisahkan hanya karena jarak. Mereka saling menyampaikan, melengkapi. Bulan
yang tidak memiliki cahaya sendiri, ia lebih memilih menerima cahayanya dari matahari."
Jawabanku yang asal temu itu membuat puas perasaannya. Ya, walaupun aku tidak begitu mengerti. Lalu
aku juga ikut bernyanyi Twinkle Twinkle Little Star. Kami bernyanyi di gelapnya malam, tak mempedulikan
sekitar kami, bersepeda berdua menyusuri jalan yang sepi, ditemani cahaya lampu yang menerangi, serta
bulan & bintang. yang selalu menemani kami. Berdua lagi.
Aku mulai mengayuh sepedaku di malam itu. Rika melambaikan tangannya untukku. Aku mengayuh sepeda
dan bulan terus mengikutiku. Keindahan di malam hari serta udara dingin yang mulai menusuk kulit.
Indahnya.
"Tentu saja."
"Kau harus menghasilkan hasil yang terbaik seumur hidup lho ya..!"
"Ya, sama-sama. Ini saatnya, pergi ke tempat banyaknya sorot cahaya yang mengelilingimu. Semua orang
memperhatikanmu, ini saatnya menunjukkannya! Semangat!"
Aku memberikannya semangat, tak segan juga memberikan support untuk kerja kerasnya selama ini. Aku
meminta untuk memberikan hadiah ulang tahun yang indah untuk tahun ini.
Aku pun tiba di bangku penonton, lalu Rosa dan Aldi menyapaku.
"Tentu saja, dari awal aku sudah mendukung Rika. Lalu, kenapa kamu disini? Apa yang kamu lakukan?"
"Terima kasih, Rosa & Aldi yang sudah datang couple-an dengan repot-repot kesini!"
"Kuharap ini bukanlah hal yang buruk untukmu, Hilal." kata Aldi dengan suara pelan. Apa maksudnya ya?
Nomor urut 1 & 2 akhirnya selesai, sebentar lagi saatnya penampilan Rika..
Kutunggu penampilan Rika yang tampil urutan 3, penutup yang pas buat para penonton. Lalu, Aldi berkata
sesuatu hal yang aneh lagi padaku.
Permulaan yang bagus! Ayo tunjukkan kemampuan padaku Rika! Ayo buat penampilanmu sebagai kado
terindah untukku, Rika!
Dalam memasuki pertengahan, Hilal mulai mendenguskan nafas. Dia seperti ingin berbicara padaku.
"Heh?"
"Sebenarnya
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.''
Aku mulai mendengarkan kalimat yang dikeluarkannya dan mulai menghiraukan permainan Rika. Aku
mulai mematung dan mengerutkan alisku. Terkejutku mendengarnya. Inikah hadiah terindah yang
kuperoleh? Dia bahkan tidak memberitahuku sebelumnya? Air mata mulai berlinang di sekujur pipiku
sambil menyaksikan penampilan yang super indah di hadapanku. Kuberubah pikiran. Galau hatiku, pedih,
perih, kesal pun hadir di benakku.
Kisah cintaku akan berakhir seperti ini. Tanpa diduga & disangka, kenyataannya seperti itu. Dia akan
meninggalkanku seperti ayah meninggalkan ibuku.
Aku masih duduk di kursi penonton dan mendengarkan pemenang dari kompetisi ini.
Rika Christiani!"
Begitu kudengar pengumumannya, hatiku terasa sesak. Sakit sekali. Tepuk tangan pun mulai mengisi
keheningan gedung. Rasa sakitnya sampai tepuk tangan tak terdengar lagi.
Kudengar itu, hatiku mulai merasa sakit seperti ada yang menusuk. Kau tidak memberitahuku sebelumnya,
malah orang lain yang memberitahuku. Aku pun mulai meninggalkan tempat dan pesan sudah menggetarkan
ponselku.
"Ada apa?"
"Hah?"
"Aku mendengar bahwa pemenang dari kompetisi ini akan mendapat beasiswa dan akan dipindahkan
sekolahnya di Inggris dan lulusannya akan bekerja disana, apa itu benar? Itu artinya kau meninggalkanku
sendirian? Kau bahkan belum memberitahuku soal ini. Padahal aku menyukaimu, kau harusnya sadar
tentang itu. Tapi, tapi kenapa?" suaraku merintih sambil menangis penuh isak. Tanpa ada satu kata pun
jawaban darinya. Dia terdiam.
Sudahlah, sudah cukup. Aku muak dengan semuanya! Aku muak dengan bakat! Aku muak dengan iringan
musik! Semuanya telah memisahkan antara aku dan dia. Semuanya hilang. Memang benar, aku seharusnya
sudah menyadarinya bahwa aku sudah berbeda dengan dunianya tapi masih mengharapkannya. Sungguh
bodoh diriku.
"Aku tahu kecewa, aku sangat tahu itu. Akhirnya kau mengungkapkan segalanya, menumpahkan isi hatimu
padaku. Aku bahagia. Ini hari ulang tahunmu tapi memberikan kabar buruk untukmu. Kami sudah melewati
hari-hari bersama berdua. Dari sepulang kompetisi, pelatihan, hujan, di bawah sinar bulan sambil bernyanyi.
Itu semua menyenangkan bukan? Itu sudah berati banyak bagiku ketika kamu sering menemaniku, padahal
kita baru beberapa bulan ini kenal. Aku sudah senyaman-nyamannya denganmu. Aku ingin bersamamu lebih
lama lagi. Kita sudah di dunia yang berbeda, dimana bakat memisahkan kami. Tapi kali ini, aku tidak akan
meninggalkanmu.
Oh ya, aku juga menyiapkan jawaban dari pertanyaanmu. Aku bermain untukku. Aku yakin kau dapat
merasakannya. Dalam pikirku aku, semoga perasaan melalui lagu ini bisa menyampaikannya. Apakah
sampai kepadanya? Semoga sampai padanya, itu yang selalu terngiang di kepalaku. Aku bermain untukmu.
Maukah kamu menungguku hingga lulus dari sana dan mulai membawamu pergi bersamaku dan tinggal di
kehidupan Eropa? Aku ingin menikah denganmu disana. Maaf, sebenarnya hal inilah yang mau
kusampaikan tapi sudah terungkap pula. Maaf hari ulang tahunmu kacau. Maaf dan terima kasih atas
segalanya. Aku besok akan pergi ke Inggris, cepat datang ke bandara ya besok? Kutunggu."
Dia mulai mengendurkan tarikannya. Aku mulai menoleh padanya, ia pun tersenyum padaku. Tangisanku
sudah berhenti. Kini dialah yang pergi meninggalkan langkahnya. Perasaan yang baru saja terungkap. Masih
ada rasa kecewa dan marah di lubuk hatiku hingga aku tak bisa berucap. Aku ingin menggapainya, namun
tak sampai. Inikah nasibku?
Telpon mulai mati dan terdengar seseorang mendobrak pintuku dan ternyata Aldi. Dia menarikku.
Rambutku masih berantakan, dia memaksaku masuk mobil.
"Maafkan aku karena sudah memberitahu hal itu." Aldi meminta maaf padaku.
Di bandara,
"Sudah kuduga dia tak kunjung datang. Dia masih marah padaku. Maaf Hilal, sampai jumpa." Rika yang
sedang menunggu pesawat keberangkatannya.
Di tempat Hilal,
Kalimat yang dibuat Rosa seakan-akan membangunkanku. Dia benar, aku kekanak-kanakan. Aku akan
mengejarnya!
"Terima kasih, Rosa!" berdiri tegak dan mulai berlari mencari Rika.
Aku tidak menemukannya, sial! Ponselku kemudian berdering pertanda SMS masuk.
Dia ada di barat daya bandar. Cepat kamu kesana! 5 menit lagi akan berangkat!
Terima kasih, Rosa! Aku mulai berlari kencang ke arah yang disebutkan. Akhirnya bertemu dengannya.
Berlari berlari berlari tak mempedulikan orang-orang sekitar yang memerhatikan.
"Aku sudah putuskan, aku akan menunggumu! Maaf telah bersikap seperti anak kecil. Aku juga mau
menjadi pengantin priamu. Akan kutunggu kau."
Jawaban yang memuaskan tiba, dia tersenyum. Aku memberikan sebuah cincin padanya.
"Nih, cincin untukmu. Untuk jaga-jaga agar lelaki bejat tak menyentuhmu sama sekali disana."
"Wah, indahnya. Terima kasih, Hilal!" lalu dia mencium pipiku. "Dengan ini aku tak khawatir lagi. Selamat
tinggal, eh, sampai jumpa! Tunggu aku ya!"
Kita tidak bisa merasakan lagi hujan lebat, daun-daun yang mengelilingi, taman bermain yang
menyenangkan, bahkan bersepeda berdua di malam hari.
Kubuka pintu ruang musik dan kembali mengenang ketika kita pertama bertemu di SMA. Hari-hariku
bersamanya sudah tidak ada lagi. Tapi, aku lega akan jawabannya. Dalam hati, dalam pikirku hanya
terngiang dengan kata-katanya bahwa ia akan kembali padaku. Dia tidak meninggal, melainkan hanya
berpergian sementara untuk mendapat pelajaran tentang bakatnya. Dunia memang tak adil. Rika yang
beprofesional ditarik keluar, sedangkan aku tidak. Benar, dunia ini berbeda. Dunia hanya membutuhkan
orang yang berbakat sepertinya. Tidak sepertiku.
Aku membantunya agar ia selalu bermain bersama dengan permainan yang indah. Aku yakin, inilah yang
diinginkan orang tua Rika.
Sadar dengan kemampuan, bakat, yang akhirnya memisahkan kita. Kita mungkin hidup seperti matahari dan
bulan. Tapi, dalam kehidupanmu, aku akan hidup sebagai bintang.
Dia orang yang berbakat, sedangkan aku hanyalah seorang yang biasa saja.
Aku, aku, akan terus menunggumu, meski di dunia yang berbeda. Aku harap kau kembali kepadaku. Jangan
pernah meninggalkanku seperti ayah meninggalkan ibuku. Kau hanya pergi sebentar kan? Akan kutunggu
kau disini, Rika. I Love You!
TAMAT
Kisah di antara laki-laki yang menunggu dan perempuan yang berlatih untuk sukses di bidangnya demi
kembali ke pria itu.
Ending yang mungkin menggantung. Tapi, semoga cerita ini bisa menemani aktivitas luang Anda. Terima
kasih. Maaf bila ada kesalahan kata, typo, EYD berantakan, dan SPO yang kadang kebalik.