Anda di halaman 1dari 4

Melalui sebuah tempat, sebuah percakapan, bahkan sebuah lagu, kita bisa mengingat

banyak hal. Hal-hal yang tidak kita sangka akan kita rindukan.

***

Hhmm .... Sudah begitu lama rasanya, aku tidak menikmati udara pekarangan
sekolah seperti ini. Apa memang sejak dulu bangku taman di sekolahku senyaman ini, ya? Ha
... ha. Padahal kalau diingat-ingat, rasanya tidak banyak yang berubah sejak aku pergi.
Gedung ini masih sama, bahkan catnya yang berwarna toska pun sepertinya belum dipugar.
Kantin masih beraroma sedap seperti biasa dan warung soto langgananku pun masih buka.
Bahkan si satpam tua galak masih siaga berjaga di gerbang. Ya, sepertinya memang tidak
ada yang berubah selama setahun ini.

Pandanganku menangkap dua orang siswi yang berjalan melintasiku, sepertinya


mereka hendak menuju ke kantin. Ah, siswa yang bolos jam pelajaran rupanya. Mereka
berjalan bergandengan sambil asyik berbisik-bisik tanpa memedulikanku. Sepertinya
mereka adik kelas, ya, batinku menebak-nebak.

Salah seorang dari siswi itu bertanya, “Ras, kamu sudah tahu belum, di sekolah kita
ada acara pensi bulan depan?”

“Oh, ya?” sahut temannya yang lain. “Aku sudah tak sabar ingin datang ke acara
pensi. Pasti banyak kakak kelas tampan,” imbuhnya sambil terkikik geli.

Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. (jika kalimat ini masih satu
rangkaian atau sebuah reaksi dari dialog di atas, dijadikan paragraf sendiri. Pensi? Ah ...
merupakan action yang lain dari sang tokoh. Maka sebaiknya dipisah dari kalimat Aku
tersenyum mendengar percakapan mereka)

Pensi? Ah, ingatan mengenai pensi tahun lalu pun mulai berdenyar di kepalaku.
Tahun lalu, band yang beranggotakan aku, Juna, Billy, dan Ghani menampilkan salah satu
lagu ciptaan kami dan tembus sebagai juara pertama lomba band pada malam itu. Bahkan
tanpa sadar, aku pun mulai menyenandungkan bagian reff-nya yang masih kuingat.

Darling, promise to you …

I will always be your valentine ...

“Lagu ini kupersembahkan untuk kekasih hati sekaligus ketua kelasku, Sheina.”

Tepuk tangan membahana terdengar dari barisan penonton malam itu, bahkan
beberapa orang bersiul mendengar kalimat penutupku yang amat romantis tersebut. Ya,
lagu itu memang untuk Sheina, kekasihku. Kutuliskan liriknya dari lubuk hatiku yang
paling dalam. Sheina Pradipta Putri, gadis kesayanganku. Malam itu ia terlihat begitu cantik
di bawah sana, memandangku dengan binar mata kekaguman dan pipinya yang bersemu
merah dari balik kursi penonton.

Sungguh, rindu ini menyesakkan

Dan cemburu ini menjengkelkan

“Sheina, tungguin dong!”

Sebuah teriakan membahana dari seberang lapangan, lantas membuat lamunanku


akan malam pensi itu pun buyar. Nama yang dipanggil oleh wanita itu sama persis dengan
seseorang yang sedang kutunggu sejak tadi. Aku pun segera mengikuti arah sumber suara
itu dan menemukan dua sosok perempuan sedang berjalan keluar dari sebuah ruang kelas.
Yang satu aku kenali sebagai teman lamaku saat kelas 10, Rere namanya. Sedangkan yang
satu lagi adalah gadis berambut pirang sepinggang yang kukenali sebagai …

“Sheina …,” bisikku pelan, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa gadis yang
berada di hadapanku saat ini adalah gadis yang baru saja aku khayalkan.

“Makanya, jalan tuh jangan lambat kayak siput,” omel Sheina pada gadis berambut
kuda yang tadi kukenali sebagai Rere.

“Emangnya kenapa sih kita harus buru-buru? Santai aja kali.” Rere menarik napas
dalam-dalam setelah barusan lari mengejar Sheina.
“Aku ada urusan sore ini. Urusan yang nggak bisa diganggu gugat.”

“Ya udah, iyaa. Siap, Bu Ketos.”

Lantas aku pun mengikuti ke mana arah perjalanan mereka. Tak kusangka rupanya
mereka berbelok menuju café yang ada di persimpangan jalan dekat sekolah. Aku terus
mengikuti mereka tanpa membuat suara sedikit pun. Kalau dlihat-dilihat dari belakang
seperti ini, nampaknya Sheina jauh lebih kurus dari terakhir kali yang kulihat.

“Di sini, kan café-nya?” tanya Sheina sambil membuka ponselnya dan mengetik
pesan entah kepada siapa.

“Betul, kok,” sahut Rere yang juga mengeluarkan ponselnya, seperti sedang melihat
jam.

“Masuk dulu, yuk,” ajak Rere sambil mengedikkan (dipahami artinya) dagu ke arah
pintu masuk café. (jika dialog Betul, kok, dan Masuk dulu, yuk, bukan merupakan satu aksi,
dipisahkan dalam paragraf yang berbeda.)

Keduanya lantas segera memasuki pintu café dan memilih tempat duduk yang tak
jauh dari jendela. Aku bisa melihat jelas Sheina dari balik kaca etalase café ini. Dia sama
sekali tidak menyadari aku sedang menatapnya.

Rere pergi ke counter untuk memesan minuman dan makanan ringan. Sementara
Sheina mulai mengeluarkan notebook dari dalam tasnya. Terlihat gelang yang kuhadiahkan
(ku+kata kerja penulisannya digabung. Tidak berlaku untuk kata kerja yang mendapat
imbuhan di depan, misalnya kumemberi, kumemohon, sebaiknya ditulis, aku memberikan,
aku memohon) padanya saat kencan pertama kami, masih melingkar manis di pergelangan
tangan gadis itu. Aku tersenyum, merasa girang di dalam hati. Selang tak lama, Rere pun
kembali dengan membawa satu nampan berisi makanan dan minuman yang mereka pesan.

Rere mengunyah sandwich pesanannya. Sementara Sheina asyik berkutat dengan


layar notebook-nya. Kemudian kulihat Rere menunjuk ke arah pintu masuk dan aku segera
mengikuti arah tangan Rere. Di sana (di + menunjuk tempat, penulisannya dipisah. Di +
kata kerja, penulisannya digabung) berdiri (jika ditulis berdirilah, akan dibaca terlalu
berlebihan. Sebaiknya gunakan kata baku yang biasa saja) seorang pria dengan perawakan
tubuh bak model pria, jangkung dan modis. Ia mengenakan jaket baseball yang menutupi
seragam sekolahnya.

“Cih,” desisku muak. Jelas sekali aku masih mengingat siapa pria itu. Namanya
Lucas. Dia sudah menyukai pada Sheina sejak SMP, begitulah yang kutahu. Tapi tentu saja
ia tidak memiliki kesempatan barang sedikit pun untuk memiliki hati Sheina selama ada
aku di sisinya. Ya, setidaknya dulu seperti itu. Sekarang aku tidak paham mengapa Sheina
menemuinya di café.

Catatan :

Istilah asing, dicetak miring.

Sering-sering buka KBBi onlline. Kata yang sering diucapkan masyarakat, mis.
Sandwich, band, dll, belum masuk dalam kbbi.

Imbuhan pun tidak semua boleh digabung (aku kirim lewat wa apa aja yang boleh
digabung dalam imbuhan pun).

Perhatikan tata letak dialog. Jikalau tokoh itu melakukan dua dialog secara
bersamaan, tapi dengan aksi yang berbeda, sebaiknya dipisah menjadi paragraf
baru.

Perhatikan kalimat penghubung.

Posisikan diri sebagai pembaca. Apakah jika kamu menulis seperti itu, dengan tanda
baca seperti itu, atau tanpa tanda baca, temanmu akan enak membacanya?

Masih ada kalimat yang tidak efektif dan terlalu cerewet. Mis. Band-band yang terdiri
dari, aku, ....... Jika itu menunjuk untuk satu kelompok, tulis saja band. Tetapi, jika
tetap menggunakan band-band, itu bisa berarti bahwa tokoh aku punya band
sendiri, Ghani punya band sendiri, dsb.

Anda mungkin juga menyukai