Anda di halaman 1dari 7

Nama : Bunga Suci Romadhona

Tema : Hujan

Judul : DARI HUJAN UNTUK BUMI

***
Langit begitu mendung, seperti hatiku yang tak sanggup lagi membendung.
Jika hujan tumpah, haruskah tangisku pun pecah?
“Sungguh, aku ragu untuk berbagi cerita ini. Bukankah sudah kutegaskan,
bahwa aku hanya berani mengadu pada Tuhan?
Karena aku yakin, Tuhanku Maha Pendengar, Maha Pengampun, lagi Maha
Mengabulkan. Sementara kalian? Bisa saja menikamku dari belakang dan
menjatuhkan.
Namun, menahan beban sendirian rasanya begitu meresahkan. Bisakah
kalian kupercayai untuk merahasiakan keluh kesah? Ah, tapi berkaca pada
pengalaman, terkadang orang-orang terdekatlah yang justru sering mengibarkan
pengkhianatan.”
Aku meneguk susu hangat hingga sisa penghabisan. Memandang jendela
rumahku yang mengembun karena hujan. Sementara dua kawanku yang cantik
dan tampan itu menertawakan apa yang kuutarakan barusan.
“Cloudya, kamu berlebihan!” ujar Antari, “Ceritakan saja, jangan buat kami
penasaran!”
“Tapi kalau kamu keberatan, lebih baik cerita itu kamu simpan. Pendam saja
sendirian. Itupun, kalau kamu tidak menganggap kami kawan.” Surya
menambahkan.
“Baiklah, atas nama persahabatan. Aku percayakan cerita ini pada kalian.”
Aku menghela nafas perlahan, meyakinkan diri bahwa mereka adalah
sahabat terdekat yang bisa memberiku nasihat dan takkan mungkin berkhianat.
“Kalian masih ingat tentang.. Bumi?”
Antari mengangguk, “Teman masa kecilmu itu?”
Surya tertawa sinis, “Cloudya, Cloudya. Kamu masih saja memikirkan dia?”
“Minggu kemarin, dia datang ke rumahku,” aku menunduk resah, “Dia
menemui ayahku.”
“Jangan bilang dia melamarmu?” Surya mulai antusias. Aku mengangguk
lemas.
“Terus, Awan bagaimana?” Pertanyaan Antari menjerumuskanku kembali
pada dilema.
Sebenarnya, akupun masih bingung dengan status hubunganku dengan
Awan. Awan adalah teman sekampusku namun berbeda fakultas. Aku anak
Ekonomi, dia anak Teknik Sipil. Aku mengenal Awan karena Awan bersahabat
dengan Surya, teman sekelasku. Dari awal bertemu, bukannya terlalu percaya diri,
tapi aku merasa dia seperti menyukaiku.
Benar saja, pertengahan semester satu, Awan menungguku pulang karena
ada yang ingin ia sampaikan. Naas, baru saja aku menemuinya, hujan turun kian
deras. Kami pun terjebak hujan di Gazebo kampus.
Awan tiba-tiba mengajakku untuk memiliki ‘komitmen’. Dia bilang,
komitmen berbeda dengan pacaran. Meski hingga kini, aku belum menemukan
perbedaannya.
Dia memintaku untuk menjaga hati hingga dia melamarku nanti. Dia tidak
melarangku untuk berteman dengan siapapun. Sikapnya sangat baik terhadapku.
Dia tak segan mengenalkanku pada keluarga besarnya. Akupun memberanikan
diri mengenalkannya pada keluargaku sebagai bukti bahwa kami sangat serius
dengan ‘komitmen’ ini. Meski aku selalu membisu jika orang-orang bertanya aku
ini siapanya Awan?
Pacar? Bukan. Teman? Lebih.
“Cloudya, jawab pertanyaanku!” Antari membuyarkan lamunanku. Aku
harus bagaimana? Aku pun tak tahu.
“Aku bingung. Awan bilang dia akan melamarku lulus wisuda nanti. Agar
kami bisa fokus kuliah dan bisa bekerja sebelum menikah. Tapi, Bumi teman
masa kecilku. Aku menyukainya dari dulu. Meski, dia tak pernah membalas
sedikitpun perasaanku. Dia bahkan menolakku di hadapan semua teman-temanku
saat aku masih SMA. Dari sejak itu, aku berusaha untuk move on dan fokus
memikirkan masa depanku. Sekarang, setelah aku memiliki komitmen dengan
pria lain, dia tiba-tiba datang melamarku? Yang benar saja!
Bumi adalah sarjana Pendidikan Agama Islam. Dia juga Hafidz Quran. Dia
pria sholeh. Jika aku menolaknya, sama saja aku merendahkan harga diriku
sendiri, bukan? Aku harus bagaimana?”
Antari dan Surya terdiam tanpa kedip. Kami membisu, merenungkan solusi.
***
“Bumi?”
Aku terkejut mendengar ayahku berkata bahwa Bumi sudah mengungguku
di depan rumah. Bumi meminta Ayahku untuk mengizinkannya mengobrol
sebentar denganku. Aku tak mau, tapi ayahku meyakinkan bahwa Bumi takkan
mungkin mencelakaiku.
Dan tibalah kami di taman ini, taman masa kecil kami yang hingga kini
masih terjaga. Ayunan, jungkat-jungkit, tanaman hias, lampu taman, dan fasilitas
di taman dekat rumah kami ini masih terpelihara dengan baik.
“Hampir empat tahun aku tidak ke sini. Ternyata malah makin indah.”
“Apa?”
“Kamu,” Bumi berayun, “Kapan lulus?”
“Tahun depan. Semoga,” aku pun ikut berayun.
“Aku dengar, kamu sudah punya pacar.”
Aku menghentikan ayunanku, “Siapa yang bilang?”
“Teman-temanmu. Mereka menghubungiku, lalu bilang kalau kamu akan
menikah dengan.. Awan?”
Itu pasti ulah Antari dan Surya, awas saja mereka!
“Syukurlah kalau kamu tahu,” aku kembali berayun.
Giliran Bumi yang menghentikan ayunannya, “Apa dia sudah bertemu
dengan orang tuamu?”
“Sudah.”
“Melamarmu?”
Aku diam, tak mampu menjawab.
Bumi tersenyum, “Berarti aku masih punya harapan.”
Kemudian hening. Kami hanya terdiam menikmati belai angin. Langit
nampak mendung. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun.
“Bumi, kenapa tiba-tiba kamu melamarku? Bukannya dari dulu kamu tidak
menyukaiku?”
“Maka terima lamaranku, aku akan memberikan jawabannya.”
“Berhenti bermain-main, Bumi! Kita sudah dewasa, tidak pantas
mempermainkan pernikahan!”
“Karena kita sudah dewasa, makanya aku berani melamarmu.”
“Tapi sekarang aku sudah punya komitmen dengan pria lain, kamu jangan
mengganggu hubunganku dengannya!”
“Apa jaminan dia akan menikahimu?”
“Dia sudah berjanji! Bahkan orang tua kami sudah saling mengenal!”
“Itu bukan jaminan. Aku tahu kamu masih menyukaiku, aku yakin kamu
hanya menyukaiku.”
“Siapa bilang? Hati manusia mudah berubah!”
“Tapi perasaan tak mudah dibohongi.”
Ah! Aku malas mendebatnya lagi. Lebih baik aku pergi.
Gerimis menyertai langkahku. Hingga aku tersadar bahwa Bumi sedari tadi
mengikutiku.
“Cloudya, calon suamimu belum selesai bicara.”
Aku tak peduli dia mau berkata apa, yang jelas aku hanya ingin pergi dari
tempat ini. Tapi gerimis kini berganti hujan yang kian menderas. Seakan tak
mengizinkanku untuk meninggalkan tempat itu. Tak ada pilihan lain selain
berteduh.
“Cloudya, kenapa kamu masih suka hujan-hujanan? Bukannya kamu yang
bilang kita sudah dewasa? Kenapa kamu bertindak seperti anak kecil?” Bumi
menyampirkan jaketnya padaku. Aku tak peduli.
Aku mengulurkan lenganku, membiarkannya dibasahi hujan. Merasakan
rintik-rintik kecilnya menyentuh kulitku. Rasanya menenangkan.
“Kamu masih seperti dulu,” ujar Bumi. Diam-diam dia memperhatikan
gerak-gerikku, sepertinya.
“Sebenarnya, untuk apa kamu datang lagi? Sudah bagus kamu pergi. Lebih
baik tak usah kembali,” aku meliriknya sinis.
“Aku mau memenuhi janjiku. Dulu aku berjanji, tak akan berpacaran
sebelum aku sukses. Karena sekarang aku sudah merasa mampu, jadi aku berani.
Bukan berpacaran, tapi menikah. Bukan mendatangimu, tapi mendatangi ayahmu.
Apa pernyataanku sudah cukup jelas?”
“Belum,”
“Biar kupermudah. Cloudya, aku menyukaimu, dari dulu. Tapi dulu aku tak
berani karena aku masih sekolah, masih meyusahkan orang tua. Aku pikir kamu
benar-benar serius menyukaiku. Aku pikir kamu akan menungguku. Ternyata aku
keliru.”
“Kamu.. serius?”
“Aku belum pernah seserius ini dalam hidupku.”
Aku terharu? Jelas. Laki-laki yang kukira takkan pernah melirikku kini
dengan lantang menyampaikan perasaannya padaku. Tapi apalah dayaku? Sesuka
apapun aku padanya, aku takkan mungkin menerimanya. Aku sudah berkomitmen
dengan pria lain.
“Cloudya, terimalah lamaranku.”
“Maaf, aku tak bisa.”
Bumi tersenyum sinis, “Apa kamu mau balas dendam padaku? Dulu aku
menolakmu, dan sekarang kamu menolakku?”
“Aku bukan pendendam.”
“Lalu apa susahnya kamu menerimaku?”
Petir menggelegar, langit bergemuruh seakan menyoraki perdebatanku dan
Bumi hari ini.
“Maaf Bumi, aku tidak bisa!”
“Maka cobalah. Buka hatimu. Jujurlah pada diri sendiri. Aku tahu, kamu
masih punya perasaan padaku.”
“Aku sungguh tidak bisa. Aku bilang, AKU TIDAK BISA!”
“Kenapa?”
“AKU SUDAH TIDAK SUCI! Puas, kamu?”
Aku berlari menembus hujan, menjatuhkan jaket yang tadi Bumi sampirkan.
Aku malu pada diriku sendiri, aku malu pada Bumi, aku malu pada Tuhanku.
Aku tak tahu bagaimana Bumi akan memandangku nanti. Aku tak peduli.
Semoga dia memahami. Aku tidak seperti dulu lagi. Aku telah berubah. Dan aku
tak pantas bersanding dengan lelaki sebaik dia.
***
Mengapa hujan selalu menyertai tangisan?
Malam ini aku menyendiri di kamar. Merenungkan kejadian yang akhir-
akhir ini terjadi. Aku merasa seperti awan penghujan, yang menahan beban
sendirian. Kemudian bertemu angin, lalu angin menumpahkan beban yang lain.
Hingga pada saatnya, awan tak mampu membendung beban lagi. Tumpahlah
hujan. Tumpahlah tangisan.
Aku harus belajar pada hujan. Meski hujan begitu mencintai bumi, ia harus
menerima bahwa ia harus kembali pada awan. Bumi hanyalah tempatnya
bersinggah. Bumi hanyalah masa lalunya.
Aku harus menerima takdirku. Biarlah aku menikmati beban hidupku.
Beban yang terakhir kali kuceritakan pada orang lain.
Karena kejadian ini, aku takkan lagi menceritakan bebanku pada siapapun
selain Tuhan.
***
Dari Bumi untuk Hujan

Berteduhlah, selagi gerimis tangis masih tipis


Ada hati terbuka di depanmu,
Singgah dan bersandarlah
Ringankan sejenak bebanmu di bahuku

Jangan tumpahkan duka dalam rintik hujan


Mungkin tangismu tak berjejak
Isakmu tak berisik
Tapi aku terusik
Haruskah beringinku tumbang tak berangan
Oleh beban batin yang tak berkesudahan?

Kemari, hadapkan wajahmu


Berhentilah menjadi bayang-bayang
Kemarin mungkin aku tak penting
Sekarang, jadikan aku tempatmu berpulang
Dan nanti, tiada lagi hujan selain kebahagiaan
Mata, bahu, dan Maha Penciptaku adalah saksinya

Anda mungkin juga menyukai