Anda di halaman 1dari 8

Naskah drama

Proudly present
“ya! Ini keluarga ku”

Disusun Oleh:
Nama: Salwa
Kelas : XI-PSPR

SMK NEGERI 42 JAKARTA


TAHUN AJARAN 2023/2024
Di pagi yang cukup cerah, diselimuti embun yang masih belum beranjak rupanya.
Tidak ada alasan siapapun untuk merubah damai nya energi positif yang
diberikan kali ini. Tetapi tidak dengan keluarga Zahra, mungkin hanya keluarga
ini yang bisa merubah hal itu.

Zahra : “Ayah! Kenapa hanya membangunkanku sekali? Kalau tidak niat, jangan
lakukan!”(nada emosi terdengar lantang seketika Zahra menghampiri ayah &
kakaknya di meja makan)
Ayah : “Bukan maksud ayah, ayah hanya . . .”
Asyraf : “Kakak yang menyuruh ayah. Sudah cukup kamu membentak ayah
seperti itu. Tidak sopan.”
Zahra : “Terus saja kalian seperti ini, seperti bukan keluarga. Seharusnya aku
tidak ikut dengan ayah”
Asyraf : (tertawa kecil) “Seharusnya aku tidak ikut dengan ayah? Sana pergi
kalau kamu menyesal”
Ayah : “Cukup kalian berdua!” (ayah meninggalkan meja makan)
Zahra dan Asyraf terdiam lalu Zahra segera pergi ke sekolah.
Asyraf : “Keluarga ini bukan keluarga karena kamu!”

Berbeda dengan keluarga Zahra yang tidak pernah menikmati tenangnya pagi.
Keluarga Ira adalah sebuah keluarga yang tidak pernah kekurangan kecerahan
dan kebahagiaan apapun yang terjadi.

Ibu : “Bang, kamu sudah bangunkan adikmu?” (ibu masih menggoreng)


Ira : “Aku disini!” (Ira datang mengagetkan ibu di dapur)
Ibu : “MasyaAllah perawan ibu, bikin kaget saja”
Soleh : “Ra, abang sepertinya tidak bisa mengantar kamu ke sekolah. Maaf ya
abang harus segera tiba di kampus pagi ini”
Ira : “Yah.. ya sudah kalau abang memang tidak sempat, aku jalan sendiri saja”
Soleh : “Aduh adik abang yang satu ini memang yang paling paling. Pulang akan
abang bawakan sesuatu untukmu”
Ira : “Tidak perlu bang, lebih baik uangnya disimpan untuk yang lainnya”
Ibu : “Benar itu bang. Ya sudah sana kamu berangkat nanti telat”

Tak lama Soleh meninggalkan rumah, Ira pun berpamitan kepada ibu untuk
berangkat sekolah.
Keluarga Zahra memang tak seharmonis keluarga Ira, tetapi semua pasti akan
berubah, karena ‘tak’ takan selamanya menjadi ‘tak’
Kebetulan Zahra dan Ira bersekolah di sekolah yang sama dan berada di kelas
yang sama. Walaupun begitu mereka berdua jarang sekali bertegur sapa.
(Di ruang kelas)
Dwi : “Ira . . . lihat deh sini”
(Ira segera menghampiri Dwi yang berada di depan papan tulis)
Ira : “Ada apa? Ha? Inikan pembagian kelompok tim belajar untuk 1 bulan”
Dwi : “Iya ra, dan kamu harus lihat ini” (Dwi menunjukan sebuah nama)
Ira : “Zahra? Wah bagus dong kita satu tim sama dia.”
Dwi : “Kok bagus? Ih dia kan sombong banget Ra”
Ira : “Bagus lah jadinya kita bisa lebih kenal dia nantinya. Siapa tahu dia itu
tidak sama yang kamu pikir.”
Dwi : “Tapi kalau dia benar sombong orangnya, terus pasti akan
menyebalkan . . .”
(tiba-tiba Ira menginjak kaki Dwi)
Ira : “Husst . . .”
Ternyata Zahra baru saja masuk ke dalam kelas, dan langsung saja Ira
menghampiri Zahra yang saat itu langsung duduk di bangkunya.

Ira : “Hei Zah, um ternyata kita 1 tim belajar.”


Zahra : “Ya? Siapa saja?”
Dwi : “Aku!”
Zahra : “Oh ya sudah. Kita bicarakan nanti saja.”

Tanpa panjang lebar Zahra langsung beranjak dari bangkunya dan meninggalkan
mereka berdua.

Dwi : “Oh. Sang putri berbicara seperlunya dia . . . lihat kan di seperti itu Ra”
Ira : (hanya tersenyum) “Ya sudah kita ke kantin?”

Dwi dan Ira menuju kantin. Dan seperti itulah sikap Zahra kepada teman-
temannya. Entah karena apa dia seperti itu.
Bel pulang sekolah pun tiba, semua anak-anak sudah mulai ber gerombol keluar
dari pintu gerbang. Terlihat juga Ira dan Dwi yang sedang terburu-buru untuk
menghampiri Zahra.

Dwi : “Zah! Kamu mau kemana? Kita kan mau mulai tim belajarnya.”
Ira : “Iya zah, bagaimana jadinya, di rumah siapa?”
Zahra : “Ya sudah di rumah aku saja.” (Zahra berjalan dengan acuh)
Dwi : “Ra. Hmm aku rasa aku tidak sanggup seperti ini selama 1 bulan”
Ira : “Hahaha kita ikuti saja maunya anak sombong yang satu ini.”

Tiba tiba terdengar suara yang memanggil nama Ira, dan itu ternyata Soleh.
Soleh memang abang yang penuh perhatian. Beda sekali dengan Asyraf.

Soleh : “Iraaaaa . . .”
Ira : “Abang? Ada apa?” (menghampiri Soleh)
Soleh : “Abang mau menjemput adik yang satu ini lah”
Ira : “Aduh abang telat, aku mau belajar kelompok dirumah teman.”
Soleh : “Yah, padahal abang mau mengganti waktu yang tadi seharusnya abang
mengantarkan kamu ke sekolah”
Ira : “Maaf ya bang, besok saja abang menggantinya. Sudah ya aku buru-buru,
mereka sudah menunggu” (menunjuk kearah Dwi dan Zahra)
Soleh : “Oke. Hati hati kamu.”

Dari kejauhan Zahra hanya bisa terdiam dan terhanyut, dalam hatinya dia
berharap kakaknya bisa seperti itu, dan lalu dia berpikir seandainya Asyraf bisa
berubah menjadi Soleh.
Sampailah di rumah Zahra yang bisa dibilang rumah yang begitu besar tetapi
sangat berbanding terbalik dengan jumlah penghuninya.

Zahra : “Kalian tunggu disini saja. aku tinggal sebentar.”


Tak lama kemudian Asyraf pun datang,
Asyraf : “Assalam..mualaikum (keheranan) temannya Zahra? Zahra punya
teman juga.”
Tiba-tiba Zahra datang
Zahra : “Kenapa kak? Tidak suka?”
Asyraf hanya tersenyum dan meninggalkan ruangan yang saat itu hanya
berisikan Dwi, Ira dan Zahra.

Zahra : “Maaf ya.”


Ira : “Ha? Kenapa maaf?”

Zahra tidak menjawab pertanyaan Ira, dia hanya tersenyum. Lalu setelah cukup
lama mereka belajar, masuklah seorang lelaki paruh baya, ya itulah ayah Zahra

Ayah : “Zahra? Temanmu?”


Ira dan Dwi langsung memberikan salam pada ayahnya Zahra.

Ayah : “Kalian teman sekelas? Kalian anak darimana? Kalian . . .”


Zahra : “Ayah tahu tidak, ayah hanya mengganggu kalau ayah bertanya seperti
itu. Bisa ayah meninggalkan ruangan ini?”
Dwi : “Tidak kok Zah, ayah kamu tidak mengganggu”
Ayah : “Ayah minta maaf ya Zahra. Ayah hanya ingin . . .”
Zahra : “Aku bilangnya ayah meninggalkan ruangan ini. Bukan untuk melanjutkan
ucapan ayah.”

Asyraf pun datang, karena mendengar suara adiknya itu. Dan sepertinya dia
sudah tahu apa yang dilakukan Zahra.

Asyraf : “Sudah ayah langsung ke kamar saja. Hiraukan anak tak berguna
ini”
Zahra : “Aku rasa sampai disini saja belajar kita. Sampai jumpa”

Karena tidak mau ikut campur dalam urusan keluarga Zahra, Ira dan dwi segera
meninggalkan rumah Zahra.

Asyraf : “Tidak punya rasa malu kamu, berprilaku seperti itu di depan teman
mu sendiri?”
Zahra : “Bukan aku yang mempermalukan diriku sendiri, tapi kakak dan ayah
yang mendorong aku untuk melakukan ini”
Asyraf : “Omong kosong! Kamu hanya bisa menyalahkan orang lain tanpa
mau menyalahkan dirimu sendiri.”
Zahra : “Aku seperti itu karena . . . kalian yang tidak pernah mengerti aku.”
Asyraf : “Sepertinya kamu yang harus mengerti dirimu sendiri sebelum
orang lain yang lakukan itu.”

Zahra sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Dia langsung bergegas menuju
kamarnya

Keesokan harinya Ira berniat mengajak Dwi dan Zahra untuk belajar dirumahnya.
Dan yang lainnya menyetujuinya. Sesampainya dirumah Ira, Dwi dan Zahra
disambut dengan hangat oleh Ibunya Ira.
Ibu : “Kalian sudah datang, ayo segera masuk ibu sudah membuat makanan
special hari ini”
Ira : “Aduh Ibuku ini, pasti lezat . . .”
Dwi : “Iya nih tante, terlalu repot”

Zahra hanya tersenyum melihat Ibunya Ira. Entah mengapa dia tidak
mengeluarkan sedikit kata pun. Apa dia mulai merasakan perbedaan?

Ibu : “Ini siapa namanya Ra? Ibu baru melihat”


Zahra : “Aku Zahra Tante, salam kenal.”
Tak lama kemudian Soleh tiba, dan bergabung dengan mereka.

Ira : “Abang bawa apa itu?”


Soleh : “Ini yang sudah abang janjikan untuk kamu”
Ibu : “Leh, kamu memang yang paling perhatian dengan adikmu”
Soleh : “Iya pasti bu. Hanya dia adik yang aku punya kalau bukan aku, siapa lagi
yang akan memperhatikannya.”

Mendengar perbincangan keluarga Ira barusan, bagaikan sebuah petir kilat yang
seketika menyambar perasaan Zahra. Rasanya dia ingin menangis, rasanya ingin
sekali dia bertukar keluarga. Tapi itu mustahil, dan akhirnya karena tidak kuat
menyaksikan ke harmonisan keluarga Ira, Zahra memutuskan untuk berpamitan
untuk pulang lebih dahulu. Melihat sikap Zahra membuat Ira teringat sesuatu,
kejadian kemarin dirumah Zahra. Dia merasa tidak enak jadinya dengan Zahra.
Ibu : “Kamu yakin mau pulang nak? Tidak makan malam dulu bersama kami?
Zahra : “Tidak usah bu, umm aku sudah ditunggu dirumah. Aku permisi
assalamualaikum.”

Saat Zahra baru mau masuk kedalam mobilnya, tiba-tiba Ira memanggilnya

Ira : “Zah . . . maaf ya”


Zahra : “tidak perlu minta maaf.”
Ira : “Aku tidak keberatan jika kamu mau sedikit bercerita kepadaku.”

Dengan ekspresi yang sesaat lagi ingin turun hujan, dengan pasrah Zahra
menceritakan semuanya kepada Ira.
Zahra : “Aku benci sama ayah ku ra, karena ayah Ibuku meninggal, ayah yang
membuat aku seperti ini. Seandainya waktu mereka berpisah aku tinggal bersama
Ibuku, mungkin aku masih bisa merawat Ibu yang sedang sakit.”
Ira : “Hanya itu? Kenapa kamu berpikirnya seperti itu?”
Zahra : ‘’Iya Ra, aku awalnya hanya kecewa, tetapi semakin lama karena sikap
Ayah dan Kak Asyraf aku menjadi merasa jauh dari mereka”
Ira : “Maaf ya Zah, mungkin kamu yang membuat jarak itu sendiri.”
Ternyata percakapan itu di dengar oleh Ibunya Ira
Ibu : “Maaf ibu menguping, tetapi Ibu merasa terpanggil untuk memberikan
beberapa nasihat kepadamu nak. Tidak baik membenci orangtua kita, apapun
alasannya. Boleh kita kecewa tetapi jangan sampai membenci.”
Zahra : “Tapi bu selama ini aku hanya menungggu tindakan ayah, bagaimana Ayah
bisa mendekatkan dirinya lagi dengan aku. Tapi yang terjadi malah berbeda.”
Ibu : “Ibu yakin semua ada alasannya, kamu saja melakukan ini semua ada
alasannya kan? Berarti ayahmu juga mempunyai alasan tertentu . . .”
Zahra : “Entahlah bu, aku merasa masalah ini sungguh berat”
Ibu : “Berat itu katamu”
Zahra : “Tapi memang aku sudah merasa tidak ddapat merasakan kebahagiaan
pada keluargaku sendiri.”

Ibu : “Kebahagiaan yang kita peroleh tidak harus berasal dari segala sesuatu
yang terbaik, tetapi cukup dari hal kecil yang dapat membuat kita tersenyum”

Lagi-lagi Zahra hanya terdiam. Dia merenungkan semua petuah dari Ibu nya Ira.
Apa benar yang dikatakan Ira?

Ibu : “Memaafkan adalah kebaikan. Segala yang bersumber dari kebaikan dan
bertujuan untuk kebaikan, akan berujung kebahagiaan.”

Malam ini berujung hening untuk Zahra, dan perasaan itu masih dibawanya
sesampainya dia dirumah.

Ayah : “Kamu baru pulang? Bagaimana belajarnya?”

Saat itu di ruang tamu sedang ada Ayah dan asyraf, dan Zahra tanpa
mengeluarkan satu kata pun langsung meninggalkan ruangan

Asyraf : “Zah, kesini sebentar kamu . . .”


Zahra menghampiri kakaknya itu.

Zahra : “Ada apa? Aku lelah ingin istirahat”

Asyraf : “Kamu sekarang mau apa? Jujur kakak sudah tidak sanggup melihat
ayah yang selalu menangis melihat sikapmu, sudah cukup kamu menyalahkan
Ayah atas semua yang telah terjadi.”

Zahra : “Aku rasa kakak sudah tahu apa mau ku”

Asyraf : “Kamu yakin? Coba sekarang kamu lihat Ayah, apa tidak ada rasa
saying lagi dengan ayahmu. Dia selama ini diam hanya karena tidak ingin
nantinya dia malah hanya akan membentakmu dengan sikapmu yang seperti ini.”

Zahra : “Ayah! Bicara padaku, coba ayah bentak aku”

Ayah : “Ayah tidak bisa Zah.”

Zahra : “Kenapa?”

Asyraf : “Cukup Zah.”

Zahra : “Ini yang aku maksud, kalian tidak pernah mengerti, dan kakak jangan
membalikan semuanya. Sebelum kakak membaliknya kenapa kakak tidak melihat
sebelumnya, tapi kakak langsung membalikannya.”

Ayah : “Zahra ayah minta maaf, sekarang semuanya ada ditanganmu, kalau kamu
mau pindah dari tempat ini, kamu boleh memilih dimana saja. Semua agar kamu
bahagia.”

Zahra : “Bukan itu kak, yah! Aku cuma ingin kalian disini bersama aku. Aku yang
seharusnya meminta maaf, karena aku yang sudah membuat jarak diantara kita.”

Ayah : “Kita satu atap, tidak seharusnya kita membuat atap ini rusak dan terlihat
oleh orang lain.”

Ternyata petuah dari Ibu Ira membuahkan hasil. Dan akhirnya Zahra mulai bisa
menyadari semua kesalahannya, haknya dan kewajibannya. Begitu pula dengan
Ayah dan Asyraf. Suatu atap akan terlihat indah apabila sang pemiliknya dapat
meraatnya dengan baik, atap yang mempunyai harga yang tinggi yang terlihat
bagus tidak menjamin keutuhan atap itu, tapi atap yang murahan juga bisa terlihat
bagus kalau yang sang pemilik mampu merawatnya dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai