Kelas : XI IPA 5
Hitam Putih
Zahra menahan napas ketika sampai di depan pintu kelasnya. Pak Rafi pasti sudah
masuk. Matilah dia. Lalu, dengan pelan, ia membuka pintu kelas. Bersamaan
dengan itu, seisi kelas menjadi hening. Ia mengernyit tak mengerti. Pintu sudah
terbuka sepenuhnya. Mata Zahra langsung berkeliaran mencari guru dan
menemukan Pak Rafi yang sedang bersidekap dan menatapnya tajam. Zahra
meringis kemudian melangkah masuk.
Zahra menghela napas lega. Pikirnya Pak Rafi akan menghukumnya di depan kelas seperti yang
dilakukannya pada Tama kemarin.
Pak Rafli : “Azzahra Levina” (ulangnya dengan suara yang cukup keras).
Zahra dengan wajah herannya mengangkat tangan ragu. Bukankah dia sudah
menjawabnya tadi? Tapi kenapa Pak Rafi memanggilnya lagi? Apa suaranya kurang
keras? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
Seisi kelas makin bingung. Namun tak urung, Jaya yang dekat dengan saklar lampu
bergerak memencetnya dan kelas menjadi lebih terang karena di luar memang
agak mendung. Mungkin akan turun hujan setelah ini dan Zahra tidak membawa
payung. Ia mendesah dalam hati. Zahra tak suka hujan. Meski ia tak mengelak
kalau dia suka dengan bau petrichor. Rasanya menenangkan sekali.
Pak Rafli : “Nah, kalau begini kan terang.”(Pak Rafi mengambil kembali buku
absen kelas, melanjutkan mengecek daftar hadir kelas.)
Pak Rafli : “Azzahra Levina.”( Pak Rafi memanggilnya, lagi. Bahkan ini sudah
ketiga kalinya.)
Zahra : (Akhirnya karena kesal, Zahra mengacungkan tangannya dan
berteriak) “Hadir!”
Pak Rafli : (Pak Rafi melihatnya dengan wajah terkejut) “Oh.. Di sana toh
ternyata.”
Zahra : (Tanpa bisa dicegah, Zahra bertanya) “Kenapa pak?”
Pak Rafli : (Pak Rafi tertawa kemudian berkata) “Maaf, habis mendung. Jadi
ngga kelihatan.”
Sontak semuanya langsung tertawa, kecuali Zahra. Gadis itu justru sangat marah.
Saking marahnya, ia sampai ingin menangis. Namun sebisa mungkin Zahra
menahannya. Ia tak ingin mereka semakin puas menertawainya.
Zahra memilih memalingkan mukanya ke jendela. Muak melihat Pak Rafi dan
teman-temannya yang terpingkal-pingkal dengan ia sebagai bahan tertawan.
Hanya karena ia hitam, mereka seenaknya mengolok-oloknya. Ini bukan pertama
kalinya Zahra mendapat perlakuan seperti itu. Namun, ia tak bisa berbuat banyak
dan hanya diam menyimpan semua amarahnya.
Bertepatan dengan matanya yang menatap langit abu, hujan turun tanpa gerimis.
Seakan langit sedang menumpahkan semuanya. Tak peduli dengan orang-orang di
bawah sana yang merutukinya karena kedatangannya yang tiba-tiba. Ia hanya
sedang bersedih dan menumpahkan segalanya. Kaca jendela di hadapannya
menjadi berembun. Mengaburkan pandangannya yang masih asyik menatap hujan.
Tak peduli kalau di depannya, Pak Rafi sedang menjelaskan materi. Ia hanya
sedang berpikir mengenai segala hal yang terjadi di kehidupannya hingga saat ini.
Melihat hujan dengan derasnya mengahantam bumi, Zahra jadi ingin seperti hujan
yang menumpahkan segala perasaannya tanpa peduli orang-orang di sekelilingnya.
Ternyata saat bel pulang sekolah sudah berbunyi, hujan di luar sana masih tetap
berlanjut. Bahkan makin deras. Zahra hanya diam sambil menatap hujan. Teman-
teman sekelasnya sudah pulang. Di depan sekolah hanya tinggal dirinya dan
beberapa anak yang bernasib sama sepertinya.
Zahra masih diam berdiri menatap rintik hujan. Hingga tangannya terulur
menyentuh rintik itu. Ia memejamkan matanya. Menikmati sensasi dingin di
telapak tangannya sebelum merambat naik dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Ini
menyegarkan. Zahra tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Zahra menerobos hujan.
Membiarkan rintik demi rintik air menimpa kepalanya. Membasahi tubuhnya.
Mengalirkan hawa dingin yang menyejukkan. Ini sedikit menghiburnya. Ia pun
memejamkan matanya sekali lagi. Merasakan hujan merasuki tubuhnya. Menguak
lukanya. Membuatnya menumpahkan segala perasaannya di bawah hujan. Ikut
menangis bersama hujan.
Hari sudah malam. Bulan sudah menggantung di langit. Tak lupa bintang-bintang
yang berpendar di sekelilingnya. Membuat malam menjadi sedikit gemerlap. Di
kamarnya yang temaram, Zahra terdiam di atas kasur. Berbaring telungkup sambil
menyembunyikan wajahnya di bantal. Sejak pulang dari sekolah ia tak keluar dari
kamar, kecuali mandi, makan, dan salat.
Suara ketukan pintu menarik perhatiannya. Ternyata itu ibunya yang datang
mengabarkan kalau temannya, Wati datang ke rumah. Dengan malas, Zahra turun
dari kasur minionsnya. Mengambil jaket yang tersampir di dinding lalu
memakainya.
Wati : (Wati tersenyum). “Ngga ada. Aku cuman mau ngajak kamu lihat
kembang api.”
Zahra : “Hah? Emangnya udah lebaran ya?”
Wati : (Wati tertawa. Tangannya melambai). “Bukan. Anak-anak beli
kembang api. Jadi aku ngajak kamu daripada di rumah mulu.”
Zahra : (Zahra mengangguk paham). “Oh..”
Wati : “Jadi, gimana? Yuk langsung aja. Kasihan anak-anak sudah pada
nunggu.”
Zahra : “Eh.. gimana ya Ti.”
Wati : “Udah ikut aja. Lagian kamu ngga ngapa-ngapain kan di rumah?
Mending main sama kita aja. Apalagi sejak masuk SMA, kamu jadi sering ngurung
diri di rumah. Jarang main lagi sama aku dan anak-anak yang lain.”
Setelah berpikir untuk yang kesekian kalinya, Zahra memilih bermain di luar
bersama temannya karena ia bosan di kamar saja. Game di gadgetnya pun tak bisa
menghiburnya. Mungkin, dengan bermain bersama teman-temannya malam ini bisa
membunuh rasa bosannya. Semoga.
Zahra : “Wati.”
Wati : “Hm..” (Wati hanya bergumam. Ia terlalu asyik dengan kembang api
di tangannya.)
Zahra : “Maaf.” (ucapnya sangat lirih)
Zahra bahkan tak yakin kalau Wati mendengarnya. Tapi, lagi-lagi ia salah.
Zahra menoleh. Menatap Wati yang sedang tersenyum manis padanya. Seakan
gadis itu baik-baik saja atas apa yang selama ini diperbuatnya. Itu membuatnya
makin merasa bersalah. Zahra menundukkan kepalanya, tak kuat melihat wajah
Wati.
Zahra : “Tapi aku sudah egois selama ini. Aku juga menganggap kalian tidak
penting. Aku berubah, Ti. Aku jahat.”
Wati : “Iya, kamu memang jahat.”
Zahra yang mendengarnya terkejut. Ia mendongak menatap Wati yang sedang
melihat kembang api berpendar di langit. Zahra ikut memandangnya.
Malam semakin gelap. Teman-teman yang lain pun berangsur pamit pulang. Hanya
tinggal beberapa orang saja. Termasuk dirinya dan Wati serta Oman yang masih
asyik menyalakan kembang api. Zahra dan Wati duduk menatap kembang api di
langit. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Hening. Hening yang nyaman.
Mereka hanya sedang menikmati indahnya malam. Zahra mengetatkan jaketnya
ketika angin malam menusuk kulitnya. Sedangkan Wati nampaknya tak terusik
sama sekali. Masih diam menatap langit malam yang kini tak lagi terdapat warna-
warni kembang api. Melihat langit hitam di atasnya, Zahra jadi teringat sesuatu.
Tanpa sadar menghela napasnya. Wati yang melihat hal itu pun bertanya,
Wati tak langsung menjawab. Bahkan sampai 3 menit kemudian, ia hanya diam
menatap langit. Hingga membuat Zahra berasumsi kalau Wati tak mendengarnya
atau bahkan tak mempedulikannya. Namun, dugaannya meleset ketika mendengar
jawaban yang keluar dari mulut Wati.
Wati : “Kamu lihat langit itu, Ra? Dia hitam. Kamu lihat bulan dan bintang itu
Ra? Mereka cerah. Mereka indah. Bahkan tampak kerlap-kerlip, mengagumkan
siapa pun yang melihatnya. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana jadinya mereka
tanpa langit malam?”
Zahra : (Zahra diam.)
Wati : “Mereka ngga akan pernah ada. Mereka tak nampak indah di mata
orang. Mereka hanyalah sebuah benda angkasa. Tak ada istimewanya.”
Zahra : “Kok bisa?”
Wati : (Wati tersenyum sebelum melanjutkan), “Menurutmu, mengapa bulan
dan bintang tampak mengagumkan?”
Zahra : “Karena mereka indah?”
Wati : (Wati menggeleng kemudian matanya kembali menatap langit
malam). “Bukan. itu karena adanya langit malam. Bintang dan bulan tak akan
terlihat indah bila tak ada kegelapan yang mendasarinya. Karena sesuatu yang
mencolok adalah yang bersinggungan dengan apa yang menurut mereka anggap
buruk, jelek, tak berguna. Tanpa adanya warna hitam di dunia ini, mungkin warna
putih tak akan pernah ada. Bahkan warna lainnya sekalipun. Mereka saling
berhubungan, tak dapat dipisahkan. Kalau di dunia ini hanya ada sekumpulan
benda indah. Maka tak ada yang benar-benar indah. Karena semuanya sama-sama
indah.”
Zahra : “Maksudmu, warna hitam hanyalah untuk keuntungan bulan dan
bintang saja?”
Wati : (Wati mengangguk). “Ya. Sebenarnya di sini yang paling
membutuhkan adalah bulan dan bintang. Jadi, bersyukurlah atas apa yang
dianugerahkan Tuhan kepadamu. Sudah pasti itu yang terbaik untukmu.”
Malam itu, Zahra tersadar atas semua perilaku buruknya dan persepsi mengenai
dirinya sendiri selama ini. Ia akhirnya mengerti makna dari kata hitam itu sendiri
dan tak lagi membenci dirinya. Tak lagi marah akan perbedaan yang dimilikinya.
Biarlah orang lain memandangnya remeh. Mereka tak lebih dari sekedar penonton
yang tidak mengetahui keistimewaan dalam dirinya. Cukup dia dan Tuhan yang
tahu betapa berharganya ia.