Anda di halaman 1dari 5

Bukan Permainan / Titik awal

“Nisha.” Panggilan itu membuatku menoleh. Aku mendongak untuk bertatapan


dengan lelaki yang berdiri menjulang di hadapanku. “Daniel.” Aku menelan ludah
melihat wajahnya tanpa ekspresi, tatapannya sulit diartikan.

“Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapnya datar.

Aku terpaku. Entah kenapa aku merasa apa yang akan dikatakannya bukanlah
hal yang kusukai. “Kita bisa bicara di sini.” Aku menepuk kursi kosong di sebelahku.

Daniel duduk dengan pandangan lurus ke depan. “Aku sudah mengurus semua
keperluan untuk pertunangan—.”

Aku memotong ucapannya, “bagiku tidak masalah kalau kita bertunangan, tapi
kita bertunangannya setelah pengumuman kelulusan.” Tanpa bisa ditahan senyumku
merekah, sementara tanganku terulur padanya. Bukankah ini berita bahagia? Jadi, aku
ingin menatap wajahnya.

Dia menangkap tanganku. “Kita putus,” ucapnya santai, tanpa rasa bersalah.
“Mulai sekarang, anggap kita tidak pernah saling mengenal,” lanjutnya sebelum
melepaskan tanganku.

Aku memalingkan wajah. “Kenapa?” Banyak yang ingin kutanyakan, namun


hanya kalimat itu yang tersuarakan.

Menatapku, dia menjawab, “Karena aku tidak ingin berpura-pura lagi. Selama
ini kau pasti berpikir bahwa aku sangat mencintaimu, padahal aku tidak memiliki
perasaan apa pun padamu.” Melihat mataku berkaca-kaca, Daniel mengibaskan
tangannya. “Hei! Tidak usah berlebihan. Aku hanya penasaran padamu dan butuh
hiburan, saat hidupku terasa membosankan. Kau bodoh! mudah sekali
memercayaiku.”

Benarkah lelaki di depanku ini, Daniel? Lelaki yang menjadikanku prioritas


utamanya, lelaki yang selalu melindungiku, lelaki yang dua tahun terakhir selalu
memberiku perhatian. Semua yang dia lakukan terlihat tulus. Aku menatapnya tepat
di matanya, berusaha mencari setitik kehohongan, tapi nihil. Aku yang bodoh—
seperti yang dia katakan—atau dia sedang berbohong untuk menutupi sesuatu?

Daniel menyodorkan sebuah undangan. “Ini untukmu. Undangan pertunanganku


dengan Ani. Aku harap kau datang.” Dia berdiri, lalu melangkah pergi.
Aku mengiringi kepergiannya dengan tatapan mata. Cintanya bukan lagi
untukku, jadi untuk apa aku menahannya berlalu. Selama ini lelaki itu hanya berpura-
pura mencintaiku. Sungguh, aku tidak percaya Daniel akan bertunangan dengan
perempuan lain, tapi undangan di tanganku ini terasa nyata, juga derap langkah kaki
Daniel masih terdengar ditelinga. Itu artinya ini bukan mimpi. Ya Tuhan, kenapa
Daniel kejam sekali?

Aku membolak-balik undangan berwarna kuning keemasan. Alih-alih


membuangnya, aku justru membuka undangan yang diberikan Daniel. Nama Daniel
dan Ani memenuhi indra penglihatanku. Mataku terkunci pada tanggal pertunangan
yang tertulis jelas di sana.

Tepat saat aku merasa beruntung sendirian di kelas, bel sekolah berbunyi. Suara
langkah kaki mendekat, memaksaku buru-buru menghapus air mata yang membasahi
pipi. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan, terutama di hadapan Billy.

“Nisha, kamu kenapa?”

“Billy?” aku tidak tahu harus berkata apa. Kenapa tiba-tiba dia sudah duduk di
sampingku?

Billy menatapku penuh selidik, “Ada apa?”

Aku menundukkan kepala, tak berniat merespons. Aku termenung mengingat


ucapannya Daniel. “Hei! Tidak usah berlebihan. Aku hanya penasaran padamu dan
butuh hiburan, saat hidupku terasa membosankan. Kau bodoh! mudah sekali
memercayaiku.”

“Apa karena Daniel?” Dia menyentuh daguku, memaksaku untuk menatapnya.


Aku tidak mampu mengatakan apa pun, tebakannya selalu tepat. Mulutnya sudah
membuka, tapi tertutup kembali. Matanya beralih menatap tanganku lekat, lalu
menatapku penuh tanya. Aku memaksakan senyum, kemudian menggeleng tidak
memberi penjelasan.

***

“Apa yang kau sukai dari dirinya? Apa yang membuatku kalah darinya?
Bukankah dia selalu menyakitimu? Bukankah aku yang lebih memahamimu?” Dia
melontarkan serentetan pertanyaan.

Aku tersenyum tipis seraya menoleh ke arahnya. Aku menatapnya tanpa


berkedip. “Perlukah alasan untuk menyukai seseorang?” Aku balik bertanya.
Dia mengangguk. Aku berpaling dan menghela napas pelan. “Aku menyukai
wangi parfumnya yang menenangkan ketika aku menghirupnya. Aku menyukai ketika
dia menatapku dengan penuh cinta. Aku menyukai suara lembutnya ketika dia
memanggil namaku. Aku menyukai senyuman manisnya, senyuman yang membuat
hatiku berdebar dengan kencang. Aku menyukai bibirnya, bibir yang selalu
mengatakan hal-hal yang aku sukai. Aku menyukai semua yang ada pada dirinya.

“Kau memiliki alasan lebih dari cukup untuk dicintai, tapi cinta masalah hati.
Hatiku memilih dia. Meskipun dia sering menyakitiku, tapi aku tidak bisa begitu saja
berpaling darinya. Aku masih mencintainya.”

Percakapan dengan Billy pagi tadi—sebelum bel berbunyi—melintas di


kepalaku. Tatapan kecewanya, membuatku membenci diri sendiri.

“Benarkah cinta tidak harus memiliki, bukankah itu hanya perkataan manusia
untuk menghibur dirinya sendiri?” Lagi. Suaranya memenuhi indra pendengaranku.
Aku memukul kepalaku, berharap ingatan tentangnya pergi. Ah! Aku benci rasa ini.
Akhir masa sekolah seharusnya indah, bukan dipenuhi perasaan bersalah.

Seandainya pindah ke lain hati semudah membalikkan telapak tangan, aku ingin
membalas cinta Billy. Pria yang selalu bisa memahamiku, meskipun aku tidak
mengatakan apa yang kuinginkan. Ya, seandainya, tapi aku tidak ingin berandai-andai

Aku tidak ingin menyakiti Billy, juga tidak mau membohonginya dengan
mengatakan bahwa aku mencintainya. Bersahabat dengan Billy sejak kecil
membuatku terbiasa menerima perhatiannya, terlalu nyaman, hingga tidak menyadari
perasaannya sudah berubah. Ternyata perhatiannya bukan lagi sebagai sahabat,
melainkan rasa cinta yang ditujukan pada wanita yang disuka.

Jam dinding sudah berdentang 12 kali. Namun, mataku enggan terpejam,


padahal besok harus bangun pagi. Aku miring ke kiri, justru wajah Billy muncul
seakan menghantui. Aku masih ingat kalimat terakhir yang diucapkan Billy tadi siang.
“Maaf, jika perasaanku membuatmu merasa terbebani. Aku tidak bisa menghentikan
cinta ini. Bukankah hati punya aturannya sendiri?”

Billy benar, cinta tidak bisa dihentikan dan hati memang tidak punya aturan,
seperti hatiku yang masih mengharapkan Daniel. Aku menghela napas, kemudian
bangkit berdiri sebelum otakku memutar ulang kisah cintaku yang menyedihkan.
Tidak ada gunanya memaksakan mata tertutup rapat, lebih baik aku belajar untuk
persiapan ujian akhir.
Perhatianku teralih pada ponsel yang bergetar, layarnya berkedip-kedip. Satu
pesan teks dari Billy.

Nisha, maafkan aku. Lupakan aku pernah mengatakan perasaanku yang


sebenarnya padamu. Aku tetap sahabatmu.

Jemariku bergerak cepat membalas pesan. Hanya butuh hitungan detik pesan
sudah terkirim. Aku bisa membayangkan wajah Billy yang berdecak kesal, tapi aku
yakin dia tidak akan menolak. Aku baru sadar Billy tidak pernah menolak
permintaanku. Berbeda sekali dengan Daniel, tidak semua permintaanku diturutinya.

Aku tidak bisa mencegah diriku membandingkan Billy dan Daniel. Tatapan
teduh dan suara lembut Billy, berganti tatapan dingin Daniel.

***

Aku merasa ada yang aneh. Dimulai dari aku melangkah memasuki gerbang
sekolah, semua orang memandangiku dengan tatapan yang entah ....

Aku melangkah cepat. Namun, langkahku terhenti di depan papan


pengumuman. Aku tidak tertarik pada mereka yang berkerumun, netraku hanya
tertuju pada satu titik; Daniel. Kenapa lelaki bertubuh tinggi tegap itu ikut berdesak-
desakan hanya untuk melihat pengumuman? Biasanya dia tidak pernah mau melihat
pengumuman kalau lagi ramai seperti sekarang.

Begitu sampai di kelas, Billy menyambutku dengan senyum terulas. “Selamat


pagi, Nisha!” sapanya ceria.

Sebelah alisku terangkat bingung, aku sudah terbiasa dengan sapaan Billy, tapi
kali ini ada yang berbeda, semua teman sekelas menyapaku sambil berkata, “Selamat
ya.”

“Kamu belum lihat pengumuman?” tanya Romi, si ketua kelas.

Aku menggeleng. “Belum,” jawabku singkat.

Romi menepuk jidatnya. Ada yang menggeleng-geleng tak percaya, sementara


Billy hanya tersenyum penuh arti.
“Kamu salah satu murid SMK Negeri 1 Lempuing Jaya yang diterima di
Universitas Sriwijaya. 13 orang yang diterima, tapi hanya empat orang yang diterima
tanpa biaya kuliah, asalkan IPK memenuhi syarat, Minimal 2,... ,” jelas Romi panjang
lebar.

Aku manggut-manggut. “Siapa aja yang diterima? Apa aku terpilih kuliah
gratis?” tanyaku penasaran. Apa Daniel termasuk salah satu murid yang diterima?

“Lihat sendiri.” Billy menyodorkan selembar kertas yang dirobeknya dari papan
pengumuman. Aku langsung membacanya. Bibirku tertarik membentuk lengkung
senyum, saat mataku tertumbuk pada satu nama. Daniel.

Aku bahagia bisa melanjutkan pendidikan di Universitas kebanggaan kota


Palembang, Dan kebahagiaanku semakin bertambah karena aku satu-satunya murid
yang diterima tanpa biaya.

***

“Billy, apa kita tidak salah alamat?” Netraku berkeliling mengamati gedung
tempat acara pertunangan Daniel dan Selli. Sepi. Tidak ada kendaraan terparkir, juga
tidak ada suara apa pun yang terdengar.

“Kalau bukan karena persyaratan darimu agar mau memaafkanku, aku tidak
mau malam-malam mengendarai motor hanya berdua. Bahaya. Ayo turun!” Dia
bergegas meninggalkanku. Aku mengikutinya dengan langkah ragu.

karya : zeetha / sita zain

Anda mungkin juga menyukai