Aku terpaku. Entah kenapa aku merasa apa yang akan dikatakannya bukanlah
hal yang kusukai. “Kita bisa bicara di sini.” Aku menepuk kursi kosong di sebelahku.
Daniel duduk dengan pandangan lurus ke depan. “Aku sudah mengurus semua
keperluan untuk pertunangan—.”
Aku memotong ucapannya, “bagiku tidak masalah kalau kita bertunangan, tapi
kita bertunangannya setelah pengumuman kelulusan.” Tanpa bisa ditahan senyumku
merekah, sementara tanganku terulur padanya. Bukankah ini berita bahagia? Jadi, aku
ingin menatap wajahnya.
Dia menangkap tanganku. “Kita putus,” ucapnya santai, tanpa rasa bersalah.
“Mulai sekarang, anggap kita tidak pernah saling mengenal,” lanjutnya sebelum
melepaskan tanganku.
Menatapku, dia menjawab, “Karena aku tidak ingin berpura-pura lagi. Selama
ini kau pasti berpikir bahwa aku sangat mencintaimu, padahal aku tidak memiliki
perasaan apa pun padamu.” Melihat mataku berkaca-kaca, Daniel mengibaskan
tangannya. “Hei! Tidak usah berlebihan. Aku hanya penasaran padamu dan butuh
hiburan, saat hidupku terasa membosankan. Kau bodoh! mudah sekali
memercayaiku.”
Tepat saat aku merasa beruntung sendirian di kelas, bel sekolah berbunyi. Suara
langkah kaki mendekat, memaksaku buru-buru menghapus air mata yang membasahi
pipi. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan, terutama di hadapan Billy.
“Billy?” aku tidak tahu harus berkata apa. Kenapa tiba-tiba dia sudah duduk di
sampingku?
***
“Apa yang kau sukai dari dirinya? Apa yang membuatku kalah darinya?
Bukankah dia selalu menyakitimu? Bukankah aku yang lebih memahamimu?” Dia
melontarkan serentetan pertanyaan.
“Kau memiliki alasan lebih dari cukup untuk dicintai, tapi cinta masalah hati.
Hatiku memilih dia. Meskipun dia sering menyakitiku, tapi aku tidak bisa begitu saja
berpaling darinya. Aku masih mencintainya.”
“Benarkah cinta tidak harus memiliki, bukankah itu hanya perkataan manusia
untuk menghibur dirinya sendiri?” Lagi. Suaranya memenuhi indra pendengaranku.
Aku memukul kepalaku, berharap ingatan tentangnya pergi. Ah! Aku benci rasa ini.
Akhir masa sekolah seharusnya indah, bukan dipenuhi perasaan bersalah.
Seandainya pindah ke lain hati semudah membalikkan telapak tangan, aku ingin
membalas cinta Billy. Pria yang selalu bisa memahamiku, meskipun aku tidak
mengatakan apa yang kuinginkan. Ya, seandainya, tapi aku tidak ingin berandai-andai
Aku tidak ingin menyakiti Billy, juga tidak mau membohonginya dengan
mengatakan bahwa aku mencintainya. Bersahabat dengan Billy sejak kecil
membuatku terbiasa menerima perhatiannya, terlalu nyaman, hingga tidak menyadari
perasaannya sudah berubah. Ternyata perhatiannya bukan lagi sebagai sahabat,
melainkan rasa cinta yang ditujukan pada wanita yang disuka.
Billy benar, cinta tidak bisa dihentikan dan hati memang tidak punya aturan,
seperti hatiku yang masih mengharapkan Daniel. Aku menghela napas, kemudian
bangkit berdiri sebelum otakku memutar ulang kisah cintaku yang menyedihkan.
Tidak ada gunanya memaksakan mata tertutup rapat, lebih baik aku belajar untuk
persiapan ujian akhir.
Perhatianku teralih pada ponsel yang bergetar, layarnya berkedip-kedip. Satu
pesan teks dari Billy.
Jemariku bergerak cepat membalas pesan. Hanya butuh hitungan detik pesan
sudah terkirim. Aku bisa membayangkan wajah Billy yang berdecak kesal, tapi aku
yakin dia tidak akan menolak. Aku baru sadar Billy tidak pernah menolak
permintaanku. Berbeda sekali dengan Daniel, tidak semua permintaanku diturutinya.
Aku tidak bisa mencegah diriku membandingkan Billy dan Daniel. Tatapan
teduh dan suara lembut Billy, berganti tatapan dingin Daniel.
***
Aku merasa ada yang aneh. Dimulai dari aku melangkah memasuki gerbang
sekolah, semua orang memandangiku dengan tatapan yang entah ....
Sebelah alisku terangkat bingung, aku sudah terbiasa dengan sapaan Billy, tapi
kali ini ada yang berbeda, semua teman sekelas menyapaku sambil berkata, “Selamat
ya.”
Aku manggut-manggut. “Siapa aja yang diterima? Apa aku terpilih kuliah
gratis?” tanyaku penasaran. Apa Daniel termasuk salah satu murid yang diterima?
“Lihat sendiri.” Billy menyodorkan selembar kertas yang dirobeknya dari papan
pengumuman. Aku langsung membacanya. Bibirku tertarik membentuk lengkung
senyum, saat mataku tertumbuk pada satu nama. Daniel.
***
“Billy, apa kita tidak salah alamat?” Netraku berkeliling mengamati gedung
tempat acara pertunangan Daniel dan Selli. Sepi. Tidak ada kendaraan terparkir, juga
tidak ada suara apa pun yang terdengar.
“Kalau bukan karena persyaratan darimu agar mau memaafkanku, aku tidak
mau malam-malam mengendarai motor hanya berdua. Bahaya. Ayo turun!” Dia
bergegas meninggalkanku. Aku mengikutinya dengan langkah ragu.