Anda di halaman 1dari 14

Malaikat Jatuh

LANGKAHKU tak mantap seperti biasanya. Aku menuju ke tempat yang sebenarnya tak ingin kutuju.
Setiap kumelangkah, kepalaku hanya tertunduk. Bukan karena rasa malu ataupun takut. Hanya enggan
yang terasa berkecamuk, enggan melihat dan enggan terlihat. Setiap sudut pandangku di tengah
keengganan yang nampak hanya hitam dan hitam.

Seketika hatiku terasa bergetar, roda waktu seakan berputar balik membawa pikiranku ke masa-masa
silam. Belasan tahun yang lalu, Tuhan telah mempertemukanku dengan seseorang yang luar biasa
bagiku. Saat itu aku duduk di bangku SMP, di tahun pertama.

***

Namaku Melvin, aku anak yang cukup pintar dan termasuk anak yang supel. Namun ketika aku tidak
suka pada seseorang, maka dengan cara apapun akan susah membuatku untuk bersikap baik terhadap
orang itu. Adalah Denis teman sekelasku, anak yang tampak arogan, konyol dalam bertindak dan
kekanakan ketika menyampaikan apa yg dipikirkannya. Tak jarang aku dibuat jengah melihat tingkah
dan omongannya yang aku cap sebagai bualan. Berkali-kali kami bertengkar, mulai dari perebutan
tempat duduk, Denis yang tanpa sengaja mematahkan penggarisku, protesnya aku setiap kali Denis
berkata kasar saat berbicara di kelas, hingga permainan Basket yang berujung berdarahnya hidungku.
Sebenarnya semua masalah itu sepele. Seandainya orang lain yang bermasalah denganku saat itu, aku
tidak akan mau mengambil pusing, mungkin segalanya akan termaafkan. Tapi lain cerita jika Denis
yang bermasalah denganku, hal sepele sekecil apapun akan kubuat masalah itu sebesar-besarnya. Itulah
aku ... ketika ada orang yang tak kusuka, maka dia akan ter-blacklist dari daftar temanku.

Masuk tahun kedua, sungguh takdir membuat aku dan Denis sekelas kembali. Entah karena pikiranku
yang sudah mulai cukup dewasa untuk tidak meladeni tingkah Denis, atau aku yang terlalu capek dan
malas bermasalah dengannya, entahlah! aku tak tahu pasti. Meskipun demikian aku tetap tak respect
terhadap dia. Setiap ada laporan dari teman-temanku tentang Denis, aku cuma bilang, “Bodo amat ama
dia!” ... “bukan urusan gua,” ... “Terserah dia mau bilang gua apa,” ... atau “orang gila enggak usah
diladeni.”

Suatu ketika, pacarku Dila memutuskan hubungan kami secara sepihak. Meskipun bisa dibilang masih
cinta monyet, entah mengapa saat itu aku merasakan hancur yang berkeping-keping, ataukah mungkin
ini lebih karena harga diri sebagai seorang pria. Dan lebih dari pada itu, tiga hari kemudian yang
membuat aku seperti diinjak-injak, kudengar Dila justru jadian dengan orang yang tak kusuka: Denis.

“Sampah ya pasangannya emang ama bak sampah,” sindirku kasar saat Denis lewat di samping
mejaku suatu hari di jam istirahat sekolah.

Aku melihat Denis berlalu begitu saja di depanku.

“Dia ngerti sindiranku atau dia enggak perduli sih?” batinku.


Namun saat aku sedang menunduk asik menulis, tiba-tiba saja ada yang menabrakkan diri di ujung
mejaku, seketika itu pula sesuatu yang terasa basah jatuh di kepalaku hingga terus jatuh membasahi
buku dan mejaku, sesuatu itu cair berwarna orange.

“Oops! Sorry boy!! Bak sampah menuju TPA, alias Tempat Pembuangan Akhir, hahaaha,” kekeh
Denis sambil memegang botol minuman bersoda.

“Ancriiittt loe!!” teriakku seraya berdiri.

Denis pun sigap mundur menjauh. “Oh ternyata si Mr. Sopan bisa ngomong kasar juga ... Ckckck loe
ga pernah diajarin ya di rumah loe untuk bicara sopan? Ato loe ga punya rumah?” sindir Denis
mengikuti cara bicaraku—memang dulu aku pernah mengatakan hal yang serupa.

Tanpa pikir panjang aku pun la


ngsung menerjang Denis hingga dia tersungkur ke belakang, kesempatan itu lah kugunakan untuk
meninju pelipisnya. Sementara Denis menendang kakiku hingga aku jatuh terduduk. Adu jotos terus
berlanjut diiringi teriakan dari teman-teman, hingga gurupun datang melerai. Dua kancing bajuku
terlepas, sementara lengan kiri baju Denis tampak sobek. Dan tentu saja memar merah dan biru di
wajah dan beberapa bagian tubuh kami.

Hukumanpun datang. Tentu saja orang tua kami dilibatkan dalam masalah ini. Uang jajan dari orang
tuaku ditiadakan untuk beberapa minggu. Sementara pihak sekolah menghukumku membersihkan WC
sekolah selama seminggu, belum lagi Esai yang harus kubuat. Tentang Denis, aku dengar Ayahnya
menghukumnya lebih parah dan dia dipindahkan ke Sekolah lain di luar kota. Kata teman-temanku
Denis memang sudah banyak membuat repot orang tuanya selama ini.

***

Setelah menempuh tahun kedua di SMA pada semester pertama, aku terpaksa hijrah ke kota tetangga
bersama orang-tuaku karena Ayah harus dimutasikan dalam pekerjaannya. Jujur aku pindah dengan
berat hati. Ayahku orang yang keras, meskipun awalnya aku protes tapi pada akhirnya keputusan Ayah
untuk pindahpun terpaksa aku turuti.

“Perkenalkan namaku Melvin Alfiano,” aku memperkenalkan diri di depan kelas baruku waktu itu.

“Kenapa pindah ke kota ini?” tiba-tiba ada yang bertanya.

Aku melihat seseorang yang duduk di sudut kiri paling belakang, dan betapa terkejutnya aku karena
ternyata dia adalah orang yang sudah lama ini tak pernah kulihat lagi: Denis. Akupun hanya diam,
enggan meladeni pertanyaannya. Namun semua menatap seakan menunggu jawabanku.

“Melvin,” tegur bu guru, “kenapa tidak dijawab?”

Dengan berat hati, terpaksa aku menjawab pertanyaan Denis, “karena pekerjaan orang tua,” jawabku
tanpa menatap Denis.

“Oh lagi-lagi karena orang tua,” sambar Denis sambil menghela nafas berat.

Apa maksudnya?
Saat jam istirahat. Aku duduk di taman di samping kelasku. Aku duduk sendirian. Aku merasa seperti
terdampar di planet asing, bukannya aku tidak mudah bergaul, hanya saja ini hari pertamaku di sekolah
baru.

Tak lama aku melamun, selang beberapa menit tiba-tiba saja ada yang langsung duduk di sebelahku.

Aku menoleh dan kudapati Denis tersenyum kepadaku.

Aku mengabaikannya.

“Mau?” tawar Denis sambil menyodorkan sebungkus kantong plastik yang berisi makanan.

Aku hanya mengeleng malas.

“Serius?? Ini martabak paling enak disini, martabak sanghai,” promosi Denis sambil terus
memamerkan isi kantong plastik itu.

Aku masih menggeleng sambil berdecak kesal.

“Ya udah! Jangan nyesel ya!” cerocos Denis sambil mengambil makanan itu dari dalam kantong plastik
lalu melahapnya. “Nyam.. Nyam.. Enak buan.. nyeet, sumpe en..nyak,” sambil mengunyah Denis terus
ngomong enggak jelas.

“Udah deh! Loe jangan ganggu gua,” ucapku kasar tanpa melihatnya.

“Loe masih dendam ama gua ya vin?” tanyanya dengan nada serius.

Aku hanya diam, acuh.

“Gua minta maaf atas kenakalan gua dulu.”

Aku merasa dia bersungguh-sungguh. Tapi aku tetap diam.

“Heleeh, loe batu juga ya? Masa pertengkaran masa bocah kita masih loe dendami?”

“OKE! Gua maafin, tapi please tinggalin gua sendiri.”

Tampang bengongnya menatapakku tajam. Dengan wajah yang dibuat konyol, dia mengingatkan aku
dengan betapa muaknya aku dengan wajah itu dulu. Tapi anehnya rasa muak itu tak ada lagi.

“Ya udah gua cabut deh. Nih gua tinggalin martabaknya, tenang enggak gua racunin kok.”

Setelah berdiri, namun sebelum melangkahkan kaki, Denis berkata, “semoga loe kerasan disini! Dan
sekali lagi maaf soal masa lalu.” Denis pun beranjak pergi.

Entah mengapa aku mendengar ketulusan dari ucapannya itu. Ternyata dia sudah dewasa, bahkan lebih
dewasa dari gua, pikirku
***

Sudah masuk minggu ketiga aku di kota ini tapi masih belum kerasan tinggal di sini, selain perumahan
tempat tinggalku yang terasa sepi tidak seramai lingkungan tempat tinggalku dulu, sekolahkupun tidak
dapat menyuguhkan kegembiraan bagiku. Aku rindu teman-temanku, rindu suasana kelasku dulu.
Belum lagi ayah yang kian hari kian sibuk dengan kerjaannya membuat tak ada waktu buat keluarga.
Ketika di rumah yang hadir hanya luapan emosi Ayah: apa yang aku dan adikku lakukan selalu salah di
matanya.

“Maklumi saja Ayah kalian itu. Kasian ... itu pengaruh kelelahan jadi gampang emosi,” ucap ibu
menenangkan kami.

Tapi tak jarang pula aku mendengar Ayah dan Ibu bertengkar setiap malamnya. Dan Akupun sudah
mulai berani membangkang Ayah.

“Kamu ini bodoh atau apa? Sudah sebesar ini masih susah diatur,” bentak ayah padaku suatu hari.

“Justru karena aku sudah besar yah, makanya aku berhak bertindak atas kemauanku.”

“Berani kamu ngomong gitu ke ayah! Selama kamu tinggal sama ayah, kamu harus ikut aturan ayah.”

Tiada hari bagi Ayah untuk tidak memarahiku. Rasa kesalku ke Ayah semakin hari semakin
memuncak, namun aku hanya bisa mengumpat dalam hati saja. Hingga suatu hari aku kabur dari
rumah.

“Ngapain jam segini loe masih nongkrong disini vin?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di
sampingku di halte bus—yang ternyata Denis. “Loe diusir?”

“Bukan urusan loe?” hardikku tanpa menoleh ke arahnya.

“Yaelah.. Ditanya baik-baik jawabanya ketus, masih dendam loe?”

Aku hanya diam sambil melipat lengan ke dada.

“Hati-hati loh jam segini duduk di sini sendirian?”

“Masalah ya buat loe, kalo gua duduk disini?” Akhirnya aku menatapnya.

“Yang punya masalah disini kayanya bukan gua deh, tapi elo!” katanya sambil menunjukkan jarinya ke
arahku.

Tiba-tiba terdengar suara berisik di ujung jalan, tiga orang pria berbadan besar tampak sempoyongan
membawa botol minumannya menuju ke arah kami.

“Ya udah kalo gitu, gua cabut dulu,” ucap Denis seraya menaiki motornya dengan terburu-buru. “Hati-
hati ye loe disini!” tambahnya.

“TUNGGU!!!” spontan aku berteriak, “gua ikut!” Tanpa menunggu ijin dari Denis, aku langsung saja
duduk dibelakangnya. Motorpun melaju kencang
Tiba di rumah Denis, dia pun menawariku menginap di rumahnya. Gengsi sih, tapi rasa takutku untuk
tidur di luar lebih besar daripada egoku.

“Jangan merasa menang dulu loe? Gua mau nginep disini bukan berarti—” kalimatku gantung.

“Berarti apa?... Menang?! Emang kita lagi berlomba apa?” tebak Denis, “loe nih ternyata lebih childish
dari yang gua kira, loe masih dendam?” lagi-lagi pertanyaan itu ditanyakan Denis.

Hening beberapa saat. Hingga helaan nafas panjang Denis memecah kehenigan.

“Gua akan bayar biaya nginap gua malam ini, tapi enggak sekarang.”

“Terserah loe!” balasnya seraya mengibaskan tangannya. “Gua ngantuk mau tidur.” Denis menguap
terang-terangan.

Di kamar Denis, gua tidur sekasur dengan dia. Denis tidur menyamping mengarah sisi kasur,
sedangkan aku terlentang menengadah menghadap langit-langit kamar. Aku enggak bisa tidur. Hanya
kebisuan yang terasa, tampaknya Denis sudah terlelap. Namun tiba-tiba kudengar suaranya pelan tapi
jelas.

“Kenapa loe kabur dari rumah?!”

“Bukannya loe bilang gua diusir,” sahutku.

“Hehe sorry soal itu...” tambahnya lalu berbalik ke arahku.

Akupun menceritakan segalanya. Aneh memang, entah mengapa dengan mudahnya keluh kesah keluar
dari bibirku. Yang terpikir olehku mungkin karena sudah beberapa lama tak ada yang mendengar
luapan emosiku, kuakui aku butuh pendengar. Dan begitu herannya aku, ternyata dengan semangat
Denis mendengarnya, seakan siap memberikan telinganya untukku.

***

Esoknya, tanpa terduga aku mendapat kabar yang sangat mengejutkan dari adikku lewat sms.

'Ka, knp tlpnnya ga diangkat? Ayah kena serangan jantung. Plz call balik ka!!'

Denis langsung mengantarku ke Rumah Sakit setelah aku menelepon adikku. Di perjalanan aku
meminta Denis menambah kecepatan motornya, Denispun mengikuti keinginanku tanpa ragu. Fokusku
hanya membayangkan bagaimana keadaan ayahku saat itu. Tubuhku jadi mati rasa. Cemas dan rasa
takut mengabutkan pikiranku... Hingga suara benturan dan teriakan ketakutan memecah kabut itu.
Kesakitan yang kurasa, lalu gelap muncul dalam pandanganku.

Aku terbangun di tempat yang sangat asing, tubuhku terasa kaku, pandanganku kabur. Kuraba kepalaku
yang terasa pusing dan berat, terasa ada yang membalut di sekeliling kepalaku. Kuedarkan
pamdanganku, kulihat seorang wanita yang sudah tak asing lagi bagiku duduk tertidur di kursi.

“Bu...,” panggilku parau.


Ibuku sontak terbangun mendengar panggilanku. Tampak pucat di wajahnya yang lelah. Ibu pun
menghampiriku.

“Oh syukurlah!!” ucap ibu, ada sedikit getir di suaranya.

“Apa yang terjadi bu? Bagaimana Ayah? Kenapa aku disini?”

“Sudah kamu istirahat aja dulu!” belai ibu dikepalaku.

“Tapi bu...” tiba-tiba kepelaku terasa begitu sakit, aku kembali tak sadarkan diri lagi.

Keesokan paginya aku terbangun, setelah aku mendesak akhirnya ibu menceritakan segalanya. Saat
menuju rumah sakit, ternyata di tengah jalan aku dan Denis mengalami kecelakaan. Denis menabrak
trotoar jalan untuk menghindari truk yang juga melaju. Kepalaku terbentur trotoar, akibatnya
penglihatanku sedikit terganggu, pandanganku tidak sejelas biasanya, namun selebihnya aku baik-baik
saja hanya luka ringan luar saja. Sementara Denis, terpaksa tangan kirinya digips karena mengalami
patah tulang, selebihnya aku tak tahu, aku belum bertemu dia. Tapi hal yang paling menyakitkan yang
aku dengar dari ibu, langit seakan meruntuhiku, udara disekelilingku seakan menghimpitku. Aku tak
sanggup bernafas waktu ibu bilang sambil berurai air mata, “Ayahmu sudah meninggal karena
komplikasi.” Aku tak tahu harus bagaimana, aku hanya terdiam mendengar itu. Sedih, marah, rasa
menyesal dan takut bercampur di kepalaku. Aku menyalahkan diriku sendiri atas perginya ayah.

Ini salahku, ini dosaku. Batinku berteriak.

***

Hari ketiga aku di rumah sakit. Ada yang berdiri di ambang pintu dengan tangan menggantung di
lehernya. Wajahnya yang pucat membuat dia tampak berbeda.

“Hai!” sapa Denis, “boleh gua masuk?”

Aku mengangguk, tanda mengiyakan.

“Gimana keadaan loe?” tanyanya setelah duduk di samping ranjangku.

“Yah loe liat sendiri!” jawabku datar, “loe sendiri gimana? Gua dengar tangan loe patah?”

“Enggak separah itu kok, paling 2-3 bulan kata dokter tangan gua udah oke,” kata Denis meyakinkan.

Kemudian hening tanpa kata.

“By the way, gua minta maaf.” Mata Denis terlihat lelah saat mengucapkan itu.

“Buat apa?” tanyaku masih dengan nada yang sama.

“Maaf udah membuatmu seperti ini. Aku dengar kamu terpaksa harus memakai kaca-mata. Sungguh
gua nyesel udah buat kita kayak gini.”
“Eh. Udahlah! Loe ga salah, justru gua yang salah,” sahutku dengan nada yang mulai bersahabat, “gua
minta loe ngantar gua dan parahnya gua nyuruh loe ngebut.”

“Tapi lebih dari pada itu, gua minta maaf gak bisa ngantar loe sampai tujuan, gua gak bisa buat loe
ngeliat bokap loe untuk terakhir kali.”

Tiba-tiba tanpa terkontrol air mata membanjir di mataku.

“Sorry sorry! Bukan maksud gua,” ucap Denis tampak tak enak, ekspresinya sedikit gelagapan.

“Ini salah gua! Seandanya gua gak membangkang, seandainya gua nurutin dia—” ucapku di tengah
isakan. “Gua harusnya mati, itu hukuman yang pantas buat gua.”

“Jangan ngomong sembarangan!! Kalau kematian jadi hukuman yang pantas, loe gak akan diberi
kehidupan saat ini sama Tuhan ... Jika loe emang merasa bersalah, harusnya loe bersyukur dikasih
kesempatan untuk memperbaiki yang loe anggap salah ... Loe enggak mikir apa gimana perasaan
nyokap loe, keluarga loe, kalo loe juga mati,” ucap Denis berapi-api.

Aku hanya diam mendengar ucapan Denis, aku enggak menyangka seorang Denis yang aku remehkan
selama ini justru menyadarkanku, mengingatkanku kalau ada seseorang yang lebih hancur hatinya
daripada aku, yaitu ibu.

“Kamu beruntung, masih punya nyokap dan adik yang sayang sama loe. Setiap hari mereka nemani loe
disini, sedangkan gua...”

Denis menceritakan kisahnya padaku. Denis dibesarkan dari keluarga yang broken-home, ayah dan
ibunya bercerai ketika Denis baru 5 tahun. Kakaknya yang laki-laki dibawa oleh ayahnya, sementara
kakaknya yang perempuan tinggal bersama dia dan ibunya. Hingga Denis berumur 10 tahun, ibunya
menikah lagi. Bukan kebahagian yang dibawa pria itu tapi penderitaan yang tiap kali dia rasakan. Ayah
tirinya acap kali menyiksanya, namun ibunya tak pernah melakukan apa-apa. Entah karena ibunya
terlalu cinta pada ayah tirinya atau karena dia takut ditinggal menjanda lagi, Denis bilang ibunya tidak
ingin kelaparan lagi, tidak ingin menderita karena kemiskinan akibat ditinggal ayah kandung Denis.
Sebenarnya Denis ingin kabur dari rumah, tapi ia tidak bisa meninggalkan kakak perempuannya yang
menyandang Autis, belum lagi jantung kakaknya sangat lemah. Dia berjanji pada kakaknya, terutama
pada dirinya sendiri untuk terus menjaga kakaknya. Aku iba mendengar kisahnya. Sekarang aku
mengerti kenapa sikap Denis menjadi menyebalkan buatku, ternyata dia haus kasih sayang, dia haus
perhatian. Atau mungkin itu bentuk sikap berontaknya pada ayah tirinya.

Dari apa yang diceritakan Denis, aku jadi empati terhadapnya, ternyata dia anak yang luar biasa, dia
anak yang tegar, dia anak yang rela menahan pahit demi kakak tersayangnya. Dia mengajarkanku arti
ketegaran dalam kesedihan.

***

Sungguh ironis aku dan Denis yang semasa dulu sering bertengkar, kini menjadi sepasang sahabat yang
tak terpisahkan. Walaupun ada pertengkaran kecil namun kisah kami berlanjut di saat-saat aku
membutuhkannya dan di saat-saat dia membutuhkanku sebagai sahabat. Di saat aku tertawa dia pun
tertawa. Dan di saat ku bersedih dia memaksaku untuk tertawa. Denis membenci kesedihan dan air
mata, baginya bersedih adalah tindakan yang kejam bagi diri sendiri, masih banyak hal positif yang
bisa kita lakukan untuk menyesali kesalahan, itu yang selalu dikatakannya.

Kami bersahabat walaupun jarak sering tak kenal kompromi. Karena ibuku tak mampu membiayai
kuliahku, aku melanjutkan kuliahku di kota lain, kota dimana adik ayahku berada, beliau membiayai
kuliahku sebagai imbalan aku yang membantu bisnis garmennya. Sementara Denis yang tidak dapat
meninggalkan kakaknya, tidak dapat ikut serta ke kota yang kutuju. Ia melanjutkan kuliah di jurusan
yang kami idam-idamkan yaitu desain grafis, sementara aku terpaksa mengikuti keinginan paman
untuk kuliah di bidang bisnis. Tujuannya agar gelarku kelak dapat membantu bisnisnya. Akupun setuju
tanpa berdebat, aku belajar untuk bersikap memakai logika.

Denis sering mengunjungiku, sedangkan aku hanya setiap akhir semester dapat mengunjunginya
sekaligus bertemu ibu dan adikku. Banyak kisah yang sering kami ceritakan setiap kali bertemu, kami
seperti sepasang kekasih yang akhirnya bertemu. Aku jadi ingat waktu awal-awal persahabatan kami
waktu SMA di tahun ketiga, banyak yang mengejek kami sebagai pasangan gay, kami tak ambil
pusing, toh kenyataannya tidak seperti itu.

Denis bercerita bagaimana susahnya dia menjalani kuliah di jurusan desain grafis, bagaimana
kehidupannya. Tampaknya dia bahagia, karena dia tidak pernah lagi menceritakan kerumitan dalam
keluarganya. Akupun menceritakan bagaimana hidupku yang berjalan biasa-biasa saja, kulalui hari
dengan kuliah dan bekerja sehingga untuk urusan cinta aku tak pernah sempat, walaupun ada gadis
yang aku sukai bernama Lila.

Hari berganti hari kisah persahabatan kami tak pernah luntur, meskipun semakin jarang bertemu. Setiap
hari tak pernah kami tak berbagi sms, saling telepon, mengirim email atau chating di internet.

'Nis, loe lg dmana?' smsku kepada Denis suatu hari.

Tak lama Denis membalas, 'gw lg di kampus, ada apa bos?'

'Gw udh jadian ma Lila. Sumpah gw girang', balasku lagi.

Lama aku menunggu balasan sms dari Denis, tapi tak kunjung ada. Mungkin Denis ada mata kuliah
kali ya, pikirku.

Hingga malam akupun belum menerima sms balasan dari Denis, jadi aku coba sms Denis sekali lagi.
'Nis, loe udh pulng blom? Kok sms gw td siang ga diblz?'

Beberapa menit kemudian nada sms ponselku baru terdengar,


'Sorry vin, td HP gw mati. Selamat ya bos bwt jadianny, jgn lupa traktiranny.'

Akupun membalas, 'Makanya kesini biar bisa gw traktir, skalian gw kenalin ke Lila.'

Lagi-lag aku harus menunggu lama, namun Denis sama sekali tak membalas sms-ku, mungkin dia
tertidur, toh aku pun mulai merasa kantuk.

***
Hari demi hari aku semakin jarang berkomunikasi dengan Denis, setiap kali aku ingin memperkenalkan
Denis ke Lila selalu saja tak kesampaian. Denis selalu saja mempunyai alasan agar kami tak bertemu:

'Sorry vin, gw ga jd ke sana. Kaka-gw sakit.'


'Sorry vin, laen kli ja ya, gw msh sibuk kul.'
'Sorry vin, gw lg bokek ni. Kaga bisa ke tempat loe.'

Aku semakin bingung dengan tingkah Denis yang seperti berusaha menjauhiku. Hingga suatu hari, Lila
kuajak ke kotaku, ke rumahku untuk kuperkenalkan dengan ibu dan adikku.

Pada saat di rumah, kutinggallkan sebentar dia di ruang tamu sementara aku ke dapur untuk membantu
ibuku menyiapkan minuman. Dan saat aku kembali, betapa terkejutnya aku karena tiba-tiba dia
menghilang begitu saja. Kutanyakan ibu dan adikku mereka tak tahu. Aku panik, aku hubungi
ponselnya tapi tak diangkat. Lalu tiba-tiba dia mengirim sms,
'Jangan ganggu aku lg, semua udh berakhir. Kita PUTUS.'

Aku bengong menatap ponselku, aku tak mengerti apa yang terjadi. Aku coba menghubungi dia lagi,
tapi selalu ditolaknya.

Hingga penjelasan kudapatkan ketika aku ke rumah Lila.

“Aku enggak mau berhubungan sama orang sakit seperti kamu!” katanya dengan tatapan yang nanar.

“Apa maksudmu? Aku enggak ngerti. Siapa yg sakit?”

“Enggak usah pake alasan, aku udah tau semuanya. Dasar MUNA!!”

Aku hanya diam terbengong, masih tak mengerti arah pembicaraan Lila.

“Aku liat foto album masa SMAmu waktu aku ke rumahmu, itu udah ngejelasin semua. DASAR
HOMO!”

Sontak aku kaget, namun aku pun langsung mengerti dan mulai tertawa, “Hahahahahaa.. Rupanya itu
alasannya, kamu jangan cemburu gitu dong sama Denis, aku dan Denis hanya sahabat. Emang banyak
yang ngejek kami seperti pasangan gay, ditambah lagi cara kami berfoto di album kenangan itu. Tapi
tenang, kami normal. Hahaha kamu buat aku sakit perut aja,” ucapku sambil terus tertawa.

“Kamu pikir aku bodoh apa, berhenti bohongnya!” bentak Lila. “Aku kenal siapa Denis.”

“Kenal? Kamu kenal Denis?” tanyaku penasaran.

“Jelas aku kenal sama orang yang menghancurkan hidupku, hidup keluargaku,” jelas Lila yang mulai
terisak-isak.

“Aku masih enggak ngerti.”

“Kamu masih aja pura-pura enggak tahu siapa Denis. Denis itu GAY... Aku pernah mergoki dia
berbuat mesum dengan ayahku, dia GAY yang dibayar ayahku. Dan melihat kemesraan kalian, aku
yakin kamu pasti pasangannya ... Berengsek!! Sudah cukup kalian berdua menghancurkan hidupku,”
nafas Lila turun naik saat mengatakannya, “PERGI dari hidupku!” teriaknya sambil membanting pintu
dihadapanku.

Aku hanya bisa mematung, tak bisa mempercayai semua yang dikatakan Lila. “Ini semua pasti salah,
ini pasti cuma lelucon, ini semua pasti salah paham,” batinku menenangkan. Namun hatiku tetap
berkecamuk, kata-kata Lila terus terngiang di telingaku. Denis pasti bisa menjelaskan semuanya.

Tak butuh penjelasan dari Denis lebih lama lagi, dengan mata kepalaku sendiri Denis bercumbu dengan
pria lain. Mau muntah rasanya melihat kejadian itu, sahabat yang selama ini dekat denganku ternyata
seorang yang menakutkan, dia tak lebih dari makhluk yang berpenyakit.

Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu Denis, karena aku tak ingi, tak pernah mau tahu lagi tentang
Denis. Meskipun dia pernah mengirim email kepadaku. Namun baru baris pertama aku baca, kalimat
yang menyatakan bahwa dia tak memungkiri jika dia memang seorang Gay sudah membuatku malas
membacanya. Melanjutkan membaca emailnya itu membuatku semakin jijik, tak bisa aku bayangkan
kalimat-kalimat apa lagi yang ditulisnya. Aku segera menutup akun email-ku. Lembaran kisahku
bersama Denispun aku tutup.

***

Kulalui hari sebagaimana mestinya. Aku lulus kuliah, meneruskan usaha pamanku. Tentu saja bisnis
kami berkembang pesat, bahkan konsumen kami hingga ke mancanegara, kuboyong ibu dan adik untuk
tinggal bersamaku. Dan akhirnya kutemukan cinta sejatiku. Yona namanya, gadis lembut yang sering
kali membimbingku, memberiku saran meski tak terkesan menggurui. Aku mencintainya dan aku yakin
dia takdirku.

Cobaan masih saja datang menghampiriku, kecelakaan kecil di pabrik membuat mataku yang sudah
rusak pada awalnya akibat kecelakaan beberapa tahun lalu bersama Denis menjadi bertambah parah.
Aku divonis mengalami kebutaan permanen, bola mataku rusak fungsi. Anehnya dalam situasi ini aku
justru mengingat Denis, dulu dia mengajarkanku untuk tegar dalam situasi sesulit apapun.

Yona tetap setia meskipun kini aku mengalami kebutaan. Aku bersyukur memilikinya. Dia yang kini
menjadi mata bagi duniaku, dia yang menuntunku, membacakan setiap apa yang harus aku baca.
Termasuk email-email yang dikirim untukku. Seharian Yona mengobrak-abrik akun email-ku hingga
dia bertanya kepadaku tentang email yang berjudul 'maafkan aku sobat'. Entah karena angin apa aku
meminta Yona membacakan email kiriman Denis yang belum kelar aku baca itu.

Dear sobat,
Gua akuin kalo gua emang GAY. Tapi loe juga mesti akuin kalo gua juga sahabat loe. Gua rela ketika
orang lain mengejek gua seolah-olah gua monster, tapi gua sakit waktu loe memandang jijik ke gua.

Tentang bokap Lila, itu pertama dan terakhir yang gua lakukan. Gua terpaksa, gua lakukan untuk
biaya transplantasi jantung kakak-gua yang sangat mahal, tapi malam itu tak seperti yang Lila lihat,
gua sama sekali tak melakukan apa-apa dengan bokapnya. Gua langsung pergi malam itu juga.

Gua enggak pernah meminta untuk terlahir seperti ini, kalo seandainya saja gua bisa memutar waktu,
gua ingin melarang nyokap cerai dengan bokap kandung gua, gua ingin melarang nyokap nikah sama
orang yang benar-benar biadap itu. Orang yang telah membuat gua jadi seperti ini. Dengan buasnya
ketika gua kecil menganiyaya gua secara mental bahkan seksual. Gua diperkosa oleh bokap tiri-gua.
Gua sangat takut saat itu, tak satupun yang bisa gua ajak bicara. Gua hanya bisa bertahan namun
pada akhirnya gua melahirkan sisi lain dari diri gua, akibat ulah bokap tiri gua. Gua menjadi seorang
gay

Hingga akhirnya gua ketemu elo, orang pertama yang dengar keluh kesah gua. Loe jadi special di hati
gua. Gua senang mengenal loe, gua senang akhirnya kita bersahabat. Namun seiring waktu gua takut
loe akhirnya tau gimana gua, gua takut seperti saat ini bagaimana loe mengganggap jijik gua. Gua
takut kehilangan sahabat yang baik seperti loe. Dan ternyata ketakutanku itu terjadi. Tapi
bagaimanapun loe menganggap gua, gua akan tetap menganggap loe sebagai sahabat yang terbaik.

Maafin gua sobat, enggak bisa jadi sempurna seperti yang loe mau.

Air mata tak terbendung, begitu deras keluar dari mataku. Namun hati ini lebih keras lagi menangis. Ini
pertama kalinya aku menangis di hadapan Yona, aku yakin dia menatapku lembut penuh arti meskipun
aku tak bisa melihatnya.

“Lalu, apa kamu tau dimana Denis? Bagaimana Denis sekarang?” tanya Yona memecah kebisuan.

Aku hanya menggeleng lemah. Lalu hening sejenak. “Aku tau kamu akan mengganggapku bodoh,”
kataku akhirnya.

Lalu tiba-tiba jemari lembut menyentuh dan menggengam jari-jariku yang terbuka. Hal yang selalu bisa
membuatku tenang. “Kalau begitu aku pun orang yang bodoh, karena telah mencintai orang yang
bodoh,” ucapnya lembut, “tak terhitung aku telah melakukan kesalahan, dan tentu saja kamu pernah
melakukan kesalahan juga. Tapi aku tetap mencintaimu, dan aku yakin kamu pun tetap mencintaiku
bukan?”

Aku pun mengangguk.

“Itulah CINTA. Aku enggak akan meninggalkan kamu, sebesar apapun kesalahan ataupun
kekuranganmu. Mungkin akan menghakimi, mungkin akan memprotes. Tapi untuk meninggalkan...
tidak!”

“Ya aku tau, buktinya kau masih ada hingga sekarang di sisiku meskipun aku buta.”

“Nah sekarang kamu ngertikan? Mungkin aku tak mengenal baik Denis, aku tak tau pasti masalah
kalian apa. Tapi setelah membaca email itu dan tentu saja melihat air mata ini, aku yakin begitu
dalamnya persahabtan kalian. Cinta tidak melulu tentang aku dan kamu, ada cinta dalam persahabatan.
“Hal yang sama harusnya kamu lakukan. Meskipun dia melakukan kesalahan atau memiliki
kekurangan seperti yang kamu kira, harusnya kamu enggak meninggalkan dia. Sahabat harusnya selalu
ada di saat seperti apa pun.
“Kamu boleh memarahinya, kamu boleh memukulnya ataupun kamu boleh meludahinya. Tapi jangan
pernah tinggalkan dia,” jelas Yona, meski terdengar lembut tapi ada ketegasan dalam kata-katanya.

Aku membisu, menyadari kesalahanku selama ini ... “Sekarang aku tau kenapa aku ditakdirkan buta,
itu sebagai cerminan betapa butanya hatiku. Tuhan pasti menghukumku.” Aku terisak.
“Bukan kah kamu pernah bilang ke aku, jika kamu masih diberi kehidupan berarti kamu masih diberi
kesempatan untuk memperbaiki yang salah,” lanjut Yona.

Aku ingat, itu nasehat yang juga pernah dikatakan Denis kepadaku.

***

Beberapa hari kulalui untuk mencari Denis. Di tengah keterbatasanku yang tak dapat melihat lagi,
untungnya ada Yona yang selalu setia di sisiku untuk membantu. Sayangnya hasilnya tak seperti yang
aku harapkan. Dari kabar yang kudengar Denis dan kakak-nya pindah ke luar negeri, Denis telah
menjadi Designer Grafis yang sukses, selebihnya aku tak mengetahui dimana tepatnya Denis dan
akupun tak dapat mengontaknya.

Hingga suatu hari, Yona melihat ada akun ID baru yang muncul di akun email-ku. Dia pun mulai
membacakan email itu untukku.

Apa kabar sobat?

Lama banget ya kita gak berkomunikasi, loe masih ingat gua gak? Ato jangan-jangan loe udah lupa
sama gua.

Tapi gua tetap mengingat loe sebagai sahabat terbaik. Bagaimana kabar loe? Gimana kabar ibu dan
adek-loe? Loe pasti sekarang jadi bussinesman yang sukses, kan?

Gua sekarang tinggal di luar negeri, tak lain ini usaha gua untuk tetap membuat kakak-gua menjadi
sehat. Ternyata hidup disini tak semudah gua bayangkan, jungkir balik gua bekerja untuk mencari
uang demi kehidupan gua dan kakak-gua disini. Ditambah lagi untuk biaya operasi kakak-gua yang
selangit. Namun akhirnya gua bisa melalui semua itu, operasi kakak-gua pun berjalan lancar. Gua
berhasil ngumpuli uang dengan hasil jerih payah gua sendiri. Suer! Enggak ada uang hasil jual diri
disini. Gua udah tenang sekarang, akhirnya kakak-gua bisa terus bertahan hidup seperti yang kami
inginkan. Tapi gua tetap merasa kosong, hidup gua enggak lengkap. Gua kangen negara gua, terlebih
lagi gua kangen loe meskipun gua tau loe pasti gak ingin ketemu gua.

Awal bulan depan gua akan balik ke indonesia. Gua harap kita bisa ketemu, gua ingin liat loe.
Setidaknya melihat untuk terakhir kali jika kamu emang enggan mengenalku lagi. Please!!

Denis

***

Email dari Denis memberikan kesenangan tersendiri buatku. Ternyata Tuhan masih memberikanku
kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku sebagai sahabat. Aku dan Denis sepakat untuk bertemu di
acara reuni alumni SMAku bulan depan. Aku sudah tak sabar menunggu hari itu, namun ada
kekhawatiran yang tiba-tiba mengusik, aku bukanlah Melvin seutuhnya seperti dulu, aku sudah tak
dapat melihat apa-apa lagi. Aku cacat!!

“Aku yakin, Denis tidak akan mengejekmu. Kau lebih tau siapa Denis sebenarnya.” Yona berusaha
menenangkanku.
“Denis yang dulu mungkin tidak, tapi siapa yang tau dengan Denis yang sekarang. Dia bisa saja
berubah,” kataku khawatir.

“Yang aku tau dia ingin bertemu denganmu,” kata Yona lembut.

“Sungguh ironis, aku yang dulu mengganggap rendah tentang bagaimana dirinya. Sekarang bisa saja
dia mengganggap rendah diriku yang cacat,” kataku seraya meraba mataku.

Yona pun melingkarkan lengannya ke tubuhku, menyandarkan kepalanya ke dadaku seraya berkata.
“Apa pun nanti yang terjadi, setidaknya kamu berusaha memperbaiki keadaan. Jadilah sahabat yang
baik, jangan menuntut yang baik kepada sahabat!!”

“Kamu benar. Harusnya aku memberikan segala yang terbaik untuk sahabat, bukannya malah
memintanya memberikan yang terbaik buatku.... Terima kasih,” ucapku seraya membelai rambut Yona.

***

Menjelang hari saat aku akan bertemu dengan sahabat-lamaku semakin dekat. Namun entah mengapa
semakin hari mataku ini semakin perih, membuat kepalakupun sering pusing. Hingga saat hari yang
aku tunggu-tunggu, setelah aku siap untuk pergi ke acara reuni itu, tiba-tiba saja aku jatuh tersungkur
karena pusing yang begitu hebatnya. Yang aku dengar hanya teriakan Yona memanggil namaku.

Aku terbangun entah dimana, meskipun aku tak bisa melihat tapi aku yakin ini rumah sakit. Dan
anehnya ada perban yang menutup mataku.

“Sudah jangan dipegang, istirahat saja dulu!” terdengar suara yang tak asing bagiku. Dari suaranya
Yona terdengar begitu lelah.

“Ada apa denganku? ... Kenapa ada perban di mataku? ... Ehhh bagaimana dengan acara reuni-nya?
Bagaimana dengan Denis? Dia pasti menungguku dan ternyata aku tidak datang.. Bagaima—”

“Sttt... Jangan banyak tanya dulu!” potong Yona. “Kamu harus istrirahatkan pikiranmu dulu.” Yona
memperbaiki selimutku.

“Tapi.. Denis???”

“Tenang!! Denis udah tau kalau kamu disini,” Yona menenangkan.

“Benarkah?” tanyaku.

“Iya,” jawabnya singkat

“Kemana dia sekarang?”

“Nanti juga dia akan menjengukmu, sekarang istirahat saja dulu!” pinta Yona.

***
Roda waktu memutar ke arah yang benar membawaku kembali dari lamunanku, kembali ke masa kini
meninggalkan masa lalu. Ternyata warna hitam masih di sekelilingku dan ini bukan mimpi seperti yang
kuharapkan.

Kuhelakan nafas panjang untuk sekedar meyakinkan diri. Langkahku terhenti ketika pandanganku
tertuju pada tumpukan tanah basah, tanah basah yang telah mengubur sahabatku untuk selamanya ...
Dia kini pergi. Dia kini meninggalkan dunia, meninggalkan aku sebelum aku sempat mendengarnya
berkisah, sebelum aku meminta maaf atas kelemahanku sebagai sahabat.

Ya... Denis telah menyambut tangan Tuhan yang menjemputnya. Dari yang kudengar dia mengalami
kecelakaan saat dia mengendarai mobilnya menuju ke rumah sakit tempatku dirawat. Dalam
kepergiannya, sahabat yang pernah kubuang ini malah memberikanku sebuah hadiah. Hadiah yang kini
membuatku dapat melihat, dia mendonorkan matanya sebelum dia meninggal. Rupanya Denis tahu aku
mengalami kebutaan, dalam keadaan kritispun dia masih mengingatku, masih peduli padaku. Betapa
bodohnya aku yang tak pernah menjadi sahabat yang baik bagi sahabat terbaik, sahabat yang luar biasa
yang mau mengorbankan apa saja pada orang yang sombong dan angkuh ini.

Sahabatku Denis... Kini, aku dan kamu akan melihat dunia ini selalu bersama-sama. Akan kupandang
dunia seperti kau memandangnya. Sahabatku... Kau memberi ketegaran di saat kuterjatuh, aku akan
selalu mengingat mu dalam setiap ketegaranku. Sahabatku... Maafkan aku!!!

Anda mungkin juga menyukai