Anda di halaman 1dari 555

FIRASAT

Ada satu pohon apel yang menjulang kokoh di sebuah sabana yang lapang. Seperti seorang Pangeran dia memikatku. Kudengar ranting-rantingnya gemerisik seperti sedang berbisik, agar aku cepat ke sana Aku datang! Aku berlari kecil menghampirinya. Pohon apel yang rimbun dan teduh. Buah-buahnya yang berwarna merah segar ibarat senyumnya, menyambut dan merayuku supaya lekas memetiknya. Tentu, aku mau memetiknya! Kupanjat batangnya yang kekar, merangkak naik dan berusaha meraih buahnya. Kuulurkan tanganku. Aku harus bisa menggapainya! Tapi tiba-tiba dari balik ranting tepat di depanku, mencuat benda hijau yang bergerak gesit dan Cttt!!! AAAKKKHHHHH. !!! Aku menjerit saat seekor ular tiba-tiba mematuk bibirku! Ular hijau itu menyeringai dan menjulurkan lidahnya. Kudekap bibirku yang terpatuk dengan satu tanganku, tanganku yang lain berpegangan ke ranting menopang badanku yang masih berada di atas pohon. Tapi kemudian ranting-ranting pohon malah kelihatan seperti berputar Daun-daun berubah-rubah warna seperti lampu natal, dan apel-apel beterbangan mengambang di udara, menari-nari seperti bola-bola sirkus! Kepalaku rasanya juga mulai ikut berputar Racun ular itu!!! Masih sempat kulihat ular itu menyeringai, tertawa penuh kemenangan, sebelum akhirnya aku mulai terpelanting Tubuhku lemas, jatuh bebas menuju permukaan tanah

Bukkk! Aduhhh! Aku terperanjat gelagapan. Aku baru saja terguling dari tempat tidurku. Sialan! Mimpi yang aneh! Aku cuma bisa bengong menghadapi alam nyata di mana tubuhku baru saja lengser dari singgasana tidurku. Dan rasanya juga ada yang aneh Mataku agak berkunang-kunang, kepala agak pening. Kupegang keningku Nah! Badanku panas, tapi kulitku merinding, serasa udara jadi lebih dingin dari biasanya. Aku kena demam! Aku naik lagi ke kasur. Kudekap guling kesayanganku. Lalu aku sembunyi di balik selimut tebalku, mirip ayam lagi mengeram Mendekam. Haduhhh Kok tambah meriang gini? Selimutku nggak mempan menangkal hawa dingin! Aku segera turun lagi dari kasur. Sambil menggigil kuboyong selimut dan gulingku menuju ke ruang bawah. Hijrah ke kamar lain Ihh! Ihh! Ngapain sih ngikut tidur sini? Denis setengah nyadar dari tidurnya langsung menyambutku dengan protes. Di kamarku dingin! Itu udah ada selimut juga? Iya tapi masih dingin, aku mau tidur sini aja Kurapatkan badanku ke Denis, mencari kehangatan Kehangatan dalam arti yang sesungguhnya, bukan konotasi! Ihhh! Ini pakai peluk-peluk lagi?! Denis protes lagi sambil menepisku.

Aku kena demam Kedinginan! rengekku sambil merapatkan tubuhku ke Denis lagi. Tapi nggak usah pakai peluk-peluk! Euhhh Lepasin nggak?! Risih tahu! Sapa yang meluk?! aku ganti protes. Enak aja meluk?! Kan cuma nempel dikit aja! Awas lu kalo napsu! ancam Denis. Ehh Kamu tuh udah nggak geer lagi, kamu tuh SARAP tahu nggak?! Kamu pikir aku doyan incest?! tukasku sengit. Elu sakit masih ngomel-ngomel juga?! Kalo beneran sakit ya udah diem! Aku diam. Memang kebiasaanku kalau ngomong nggak mau kalah. Tapi kali ini daripada diusir Denis mending ngalah. Aku kan sakit beneran! Aku meringkuk di samping Denis. Seperti dua anak kucing sedang tidur. Yang penting hangat. Dan bisa tidur pulas. Moga-moga besok udah nggak meriang lagi Tapi Aku tadi habis mimpi mulutku ternyata susah buat tetap diam, malah curhat juga akhirnya. Dipatuk ular Firasat jelek nggak sih? Ular apaan? gumam Denis, ternyata ngasih respon biarpun malesmalesan. Nggak jelas sih Warnanya hijau. Matuk bibirku pas lagi manjat pohon Bukan ularnya cowok kan? Tuh! Dicurhatin malah ngeledek?! tukasku sambil menjitak kepala adik kembarku.

Ohhh Elu lagi curhat yah? Gimana, gimana? kilah Denis malesmalesan. Dipatuk ular, pas lagi mau metik apel! Itu firasat ato nggak? Ooo Mau dapet cewek kali lu Hahhh? CEWEK?!! sontakku kaget. Katanya kalo mimpi dipatuk ular tandanya mau dapet cewek gumam Denis sambil merem. Tapi kok? Beneran tuh? CEWEK? kulikku ragu. Ragu banget! Ohh iya ding Elu doyannya sama cowok kan ya? Ya udah, berarti mau dapet cowok gumam Denis sambil menguap. Huuhhhh! Sodara kembar sialan! Memang Sejak Denis tahu kalau aku suka cowok, di satu sisi aku harus bersyukur karena dia bisa menerima keadaanku. Tapi di sisi lain sebel juga, soalnya malah sering dipakai buat bahan becandaan sama dia! Meski aku tahu dia nggak bermaksud jelek, tapi kan jadi bete juga kalau pas dicurhatin serius malah dibecandain!Kayak sekarang! Sapa tahu, si Erik berubah pikiran Ntar dia balik ngejar elu! celetuk Denis. Tambah gatal kupingku diledek terus! Kalo sekarang aku pikir-pikir, aku pilih kamu aja! aku langsung peluk Denis erat-erat. Aaannjrit!!! Denis langsung gelagapan, buru-buru bangun, meraih bantal dan Bukk! Bukk!!

Aduhhh! Ampuunnn Becanda Becanda!!! aku gantian gelagapan digebukin Denis. Gila lu! Denis bersungut-sungut. Sakit tahu?! Becanda juga! Masa aku milih jadian sama kamu dibanding sama Erik?!! Geer amat?! aku balas ngomel-ngomel. Denis cemberut, ngambeg. Dia balik tidur lagi. Awas kalo reseh lagi, gue lempar keluar lu! dia ngancam kayak anak kecil. Kami pun tidur lagi. Aku masih melihati Denis yang memunggungiku. Sebenarnya makin dia ngambeg, malah makin lucu jadi tambah pingin meluk Hehehe Ahhhh! Tapi daripada nanti dapat perlakuan anarkhis lagi, mending ikut balik badan! Udah! Tidurrrrr!!! Biar cepat sembuh, karena besok lusa SAATNYA MASUK SEKOLAH LAGI!!!

KANTONG 1: Kelas Baru

Tahun ajaran baru di sekolah sudah dimulai. Hari ini adalah hari pertama masuk. Dan hari ini juga bakal jadi hari yang berat. Kenapa? Huhhh Lihat saja nanti! Aku memarkir motorku. Berulang kali kumantapkan dalam hati Siap mental, siap mental! Lalu, whiuuuu Semilir angin pagi membelai wajahku saat kulepas helmku Atmosfer pagi di tengah suasana sekolah, yang cukup kurindukan tapi juga bikin aku gamang! Ngantuk gue bonceng elu, lelet banget! tukas Denis yang juga baru membuka helmnya. Cerewet! Aku lagi punya beban mental tahu nggak?! tukasku. Napa beban mental segala? Ya jelas lah! Kita pasti jadi pusat perhatian! Kemarin aku sekolah nggak pernah bawa kembaran, sekarang tiba-tiba bawa kamu! Ooo, jadi gara-gara kembar elu nganggap gue beban ya? Lebih beban di gue, punya sodara kembar gay Eh anjrittt! Bilang jujur aja kalo kamu malu! tukasku emosi. Lu juga jujur aja kalo malu bawa gue! Aku nggak malu ya! Aku cuma nggak nyaman kalo nanti jadi pusat perhatian! Cuek aja kenapa?!

Kamu bisa cuek! Kamu nggak kenal mereka! umpatku dongkol sambil menggeloyor. Justru karena lu udah kenal mereka, harusnya lu bisa lebih nyantai! Denis masih membalas. Ahhh Pagi-pagi udah ribut! Ngapain juga? Mending jalan, apapun yang terjadi harus dihadapi! Toh kalau dipikir-pikir aku sendiri senang Denis sekarang tinggal di Solo. Dan kami bersekolah di sekolah yang sama, itu mungkin juga pilihan paling logis. Beginilah konsekuensinya! Nah! Benar, sepanjang jalan menuju ke kelas, orang-orang menujukan matanya pada kami berdua! Memandangi dengan ekspresi campuran kaget, heran, ada juga yang tertawa! Denis sih kelihatan nyantai, dia memang serba cuek, ada anjing lewat terus kencing di kakinya aja mungkin juga bakal cuek! Aku yang serba rikuh! Huuhhhh Ribetnya jadi anak kembar dadakan! Ahh, daripada ribet sendiri soal Denis dan respon orang-orang, mending aku memikirkan hal lain saja! Setidaknya di tahun ajaran baru ini ada tiga hal yang menarik untuk diperhatikan! Pertama, kelas baru! Tentu saja aku penasaran, siapa saja yang bakal jadi temanku di kelas baru ini. Di kelas satu kemarin aku memang nggak begitu banyak bergaul, karena teman-teman sekelasku kurang asyik. Rata-rata anaknya serius, aku sendiri juga rada sombong sih kuakui kok. Semoga di kelas baru ini suasananya akan jauh lebih menyenangkan. Yang kedua, aku masuk ke kelas IPS! Itu artinya: bye Fisika, bye Kimia! Matematika? Sialnya, yang satu itu masih! But overall, it will be much better! Yang ketiga MURID-MURID BARU! Cuci mata! Hahaha Sambil jalan aku melihati murid-murid baru kelas satu yang berseliweran. Mereka masih

memakai seragam SMP! Mereka masih diharuskan memakai seragam SMP selama tiga hari, yaitu selama MOS (Masa Orientasi Sekolah) berlangsung. Waktu aku baru masuk kelas satu dulu juga begitu. Lucu juga melihat mereka Perbedaan penampilan yang mencolok banget! Anak-anak putih-biru di lingkungan putih-abu-abu, anak-anak bercelana pendek di lingkungan celana panjang. Nggak berhenti aku memandangi mereka Terutama yang cowok! Pastinya! Hehehe BRUUKKKK!!! Aduh! sentakku kaget. Saking sibuknya memperhatikan murid-murid baru itu, tanpa sengaja aku menabrak seorang guru Dan Ooo my GOD!!! Aku terpaku di tempatku, gugup seketika Jalan jangan sambil melamun!!! Bu Guru itu langsung menjewerku sambil melotot. Iya iya, Bu Maaf! ucapku gugup. Hahaha Denis ketawa. Bu Guru itu langsung ganti menoleh ke Denis dan tambah melotot. Denis langsung bungkam sejuta suara Tapi selanjutnya Bu Guru itu malah kelihatan bingung. Dia memandangi aku dan Denis bergantian dengan ekspresi kaget. Nahhh! Baru tahu kan Bu Guru ini, dua mahluk yang ada di depannya ini kembar! Tapi dengan jaim Bu Guru itu langsung meneruskan langkahnya lagi, tanpa meninggalkan komentar apa-apa. Tapi memang lebih baik begitu! Males banget kalau harus dengar Bu Guru itu berkomentar, apalagi tanya-tanya soal aku dan sodara kembarku ini! Jutek amat tuh Bu Guru? Denis baru berkomentar begitu Bu Guru tadi sudah pergi.

Hati-hati ya kalo sama dia! aku ngasih peringatan ke Denis. Itu Bu Sri Kamtini, dia guru BP paling galak di sini! Kalo udah marah, suaranya bisa lebih keras dari mercon! Jangan cari masalah sama dia! Makanya aku juga langsung grogi habis nabrak dia tadi! Huuuu Untungnya nggak diapa-apain, cuma kena jewer aja Jangan sampai kena kasus sama dia! Hiiii Bisa runyam!!! Mas, anterin gue cari kelas ya. Gue kan belum tahu tempat-tempatnya. Sekalian kalo ada yang nanya-nanya soal kita bisa elu jelasin, mending sekalian aja biar pada tahu daripada ribet di belakang! gumam Denis sambil jalan. Kenapa musti aku yang jelasin? Kalo yang ditanya kamu ya kamu yang jawab! tukasku. Enak aja aku yang disuruh jelasin! Kan gue anak baru di sini?! Elu dong yang harusnya kenalin gue ke temen-temen lu di sini! kilah Denis. Ahh, ribet! Penting amat ngenalin kamu ke teman-temanku?! Aku cuma ngantar aja, kalo kamu yang ditanya-tanya, kamu yang jawab! balasku. Memang di situ repotnya! Kalau sampai banyak yang nanya, siap-siap dower nih mulut! Aku mengantar Denis ke bagian kelas IPA. Jatah kelas diumumkan di selembar kertas yang ditempel di tiap pintu ruang kelas. Nama yang tercantum di situ, berarti menempati ruang kelas itu. Dan ini bikin repot juga! Tiap siswa harus membaca lembar pengumuman dari pintu ke pintu, kertasnya cuma selembar tapi yang baca berjubal! Aku sama Denis sudah mampir ke beberapa kelas. Dan yang aku kuatirkan memang benar! Ampunnn!!! Harus sabar tiap kali dilihati anak-anak lainnya, dengan muka mereka yang heran, kaget, dan kadang kelihatan aneh saat menatap kami berdua! Ujung-ujungnya aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka Lho, kalian kok mirip? Sodara ya?

Iya. Baru pindah ya? Iya. Kalian kembar ya? Iya. Males banget ngasih jawaban yang panjang-panjang! Soalnya

pertanyaannya ya cuma itu-itu aja dan diulang-ulang dari mulut ke mulut! Cuma jawab, Iya, iya, dan iya, gitu aja capek minta ampun!!! Kuping capek dengerin pertanyaan yang sama diulang-ulang, mulut capek ngasih jawaban yang sama diulang-ulang juga, mata capek menghindari pandangan-pandangan mereka yang huuhhh Capek jelasin! Kelas gue di sini, Mas akhirnya Denis menemukan kelasnya. Dia dapat jatah kelas 2 IPA F. Haaaahhhhh Lega!!! Udah capek aku nganterin dia! Ya udah. Kalo gitu aku tinggal ya! Kamu cari teman aja sana! Paling cewek-cewek demen sama kamu cetusku. Ya udah. Elu cari kelas lu sendiri ya. Cari temen juga, paling cowokcowok demen sama elu celetuk Denis. Rarasanya pingin jitak tuh anak! Berani ngeledek aku kayak gitu di depan keramaian! Untung aja dia ngomong pelan, jadi nggak kedengaran anak-anak lainnya. Giliranku cari ruang kelasku. Aku menuju ke bagian kelas IPS. Aku membaca lembar pengumuman yang ada di pintu kelas 2 IPS A. Meneliti namanama yang tercantum di situ, dan Naaahhhhh!!! Ketemu!

Wah, untung! Nggak perlu capek-capek nyamperin kelas lainnya. Udah ketemu di sini. Kelasku 2 IPS A. Tapi Aku baca nama-nama teman sekelasku, cuma sedikit nama yang kukenal. Hmmm Tapi juga bukan masalah besar sih. Siapa tahu malah orang-orangnya lebih asyik! Lihat saja nanti. Yang penting optimis saja! Aku langsung masuk ke ruang kelas. Cari tempat duduk. Aku mencari kursi kosong di deretan agak depan. Males duduk di deretan belakang! Deretan belakang itu biasanya tempat favorit anak-anak bandel, kalau bukan tukang tidur atau tukang ngemil, ya tukang mantengin gambar porno. Makanya deretan belakang itu seringnya jorok. Waktu kelas satu aku sempat duduk di deret belakang, jadi tahu kebiasaan anak-anak yang suka duduk di deret belakang. Dan aku kapok! Kutaruh tasku di laci meja yang telah kupilih, deret nomor dua dari depan. Aku duduk mengamati ruang kelasku sebentar. Lalu sekilas melihat teman-teman baruku yang sebagian sedang ngobrol di dalam kelas. Hmmm Suasananya memang terasa baru. Semoga lebih menyenangkan. Semoga aku juga bisa belajar dengan tenang di sini, nggak ketemu ganjalan gara-gara berita yang sempat menyebar waktu di Bali kemarin. Berita soal aku sama Erik itu Hhhh Itu salah satu harapanku, di kelas baru ini. Baru manyun sendirian di tempat dudukku, tiba-tiba terdengar suara pengumuman dari megaphone Anak-anak, limabelas menit lagi upacara pembukaan tahun ajaran baru 2009/2010 akan dimulai. Untuk itu dimohon segera mempersiapkan diri berbaris di lapangan sesuai dengan kelas masing-masing. Untuk siswa kelas satu, supaya menempatkan barisan di deret sebelah timur dan diatur sesuai kelas masingmasing bla bla bla Jiahhh Ini nih! Satu lagi acara yang bakal ngebosenin. Upacara pembukaan tahun ajaran baru yang pasti akan diisi ceramah puanjaaaang dari Kepala Sekolah. Apalagi panas-panas gini! Bikin males! Tapi mau bolos upacara,

kalau ketahuan guru yang suka menggeledah ruang kelas, ujung-ujungnya malah kena kasus. Hari pertama masuk, masa udah bikin kasus?! Apalagi kalau ketahuan sama Bu Sri Kamtini? Hiii Terpaksa. Hijrah ke lapangan!!! Cabut!

KANTONG 2 : Insiden Kecil

Habis upacara, terus rapat kelas sama wali kelas. Dua-duanya bikin bete! Upacaranya lama. Rapat kelasnya ngalor-ngidul. Memang harus diakui, wali kelasku yang baru ini cantik! Bu Suyanti, guru Bahasa Inggris. Tapi mau cantik kayak Luna Maya juga, aku kan nggak tertarik sama cewek! Jadi ya nggak ngefek buat aku! Ceritanya, hari ini masih difokuskan buat menyusun organisasi kelas. Menyebalkan! Lagi-lagi aku dijadikan Seksi Literatur, tukang catat di papan tulis kalau ada materi pelajaran dari guru. Alasannya klise: tulisanku bagus! Ya memang bagus! Tapi kalau ujung-ujungnya cuma buat memilih aku jadi Seksi Literatur, mending bilang tulisanku jelek aja deh Jadi kayak disuap! Tapi lega sekarang, acara-acara membosankan itu sudah selesai. Dan hari ini juga nggak diisi pelajaran. Jadi sekarang aku nongkrong-nongkrong di bangku di depan taman kelas. Menonton anak-anak kelas satu diplonco sama senior di lapangan Anak-anak kelas satu itu sedang digojlok PBB, Peraturan Baris Berbaris. Lucu! Udah kepanasan, masih dibentak-bentak. Salah sedikit dihukum. Sedangkan para senior cuma dengan alasan capek bisa duduk-duduk di tempat yang teduh sambil minum-minum. Kasihan, tapi lucu juga! Hahaha Kalau melihat cowok-cowok kelas satu yang kebanyakan masih culun itu, dibentak-bentak, dipanasin di lapangan, pikiranku jadi nyasar Udah culun, muka ketakutan, celana pendek, keringetan, disuruh-suruh plus dibentak-bentak Apalagi nggak sedikit anak kelas satu itu yang mukanya lumayan cakep Lamalama aku ngebayangin adegan di lapangan itu akan berlanjut dengan adegan BDSM seperti di bokep-bokep yaoi Hiiiii Merinding! Eitttt!!! Ngeres!!! Nggak boleh ahh! Kasihan anak-anak itu!

Kelas lu mana? tiba-tiba Denis sudah menyusul di sebelahku. Itu, IPS A jawabku sambil menunjuk ruang kelasku. Kamu ngapain nyusul aku ke sini? Nggak dapat teman? Dapat lah! Udah ngobrol-ngobrol malah, tapi masih banyak yang jaim sih Kamu kali yang jaim? Anak barunya kan kamu, harusnya kamu yang lebih open Lha, elu juga ngapain sendirian di sini? Elu kali yang nggak dapet temen?! Kalo aku sih udah biasa Ada yang nyamperin ya aku temenin, kalo nggak ya sendiri aja Nyantai. Kalo gitu caranya ya elu susah dapet temen lah! Ya gimana lagi gumamku pelan. Pikiranku kali ini jadi terasa pesimis lagi. Kayaknya aku udah dapat stigma jelek gara-gara kejadian di Bali kemarin Nanti kalo aku terlalu maksa buat cari teman, takutnya malah disangka yang enggak-enggak Mending aku nyantai aja, biar nggak tambah ribet Aahhh, nggak semua orang juga kali yang mandang elu negatip! Kalo gitu caranya, malah elu sendiri yang mikir negatip ke orang lain kan? balas Denis. Aku jadi berpikir lagi. Iya Benar juga yang dibilang Denis. Yaahhh Selama ini aku memang kurang terbuka buat bergaul, dan sekarang malah di antara anak-anak satu sekolah telanjur tersebar fakta soal masalah pribadiku Soal aku dan Erik Aku sebenarnya pingin lebih terbuka, tapi jadi serba salah juga Tadi gue sempat ngobrol sama Erik lho Tapi habis rapat kelas dia langsung cabut. Ikut panitia MOS dia

Haahhh?!! Kamu sekelas sama Erik??? aku langsung kaget. Iya. Napa? Ngiri ya? ledek Denis. Nggak! aku langsung ngeles. Aku udah putus sama dia! Weee Emang kapan lu jadian sama dia? Bukannya lu ditolak? Maksudku udah putus harapan! Udah nggak ngarep! tukasku kesal. Sumpahhh??? Denis cengar-cengir tambah ngeledek. Tadi dia nanyain elu Nggak percaya! Bener kok! Gue bilang elu habis sakit. Gue ceritain elu sempat kabur gara-gara mau dikerokin Haaaa?!! Kamu ceritain sampe segitunya?!! Aahhhh gila!!! Sengaja malu-maluin aku?!! tukasku langsung menjitak kepala Denis. Sial! Benar-benar monyong bacotnya nih anak! Habisnya dia nanyain kabar elu! Ya gue kasih berita up to date soal elu lahhh Dia juga nitip salam tadi! Alahhh! Salam apaan?!! Basa-basi! Daripada mentok ngarepin dia, aku mending cari target baru! Tuh anak-anak kelas satu, masih seger..! cetusku dengan pede. Astagaaa Mau cari yunior lu?! Buseeettt! Denis melihati aku dengan senyum aneh. Emang kenapa kalo sama yunior? Asal cakep, nggak sengak, nggak gila eksis kayak si Erik sungutku pelan. Oooh Jadi sekarang lu ngatain dia gila eksis? Dulu ngejar-ngejar, sekarang ngata-ngatain gitu? Nggak baik itu, Mas!

Nggak juga. Awalnya memang aku suka dia populer di sekolah! Tapi kayaknya justru itu yang lama-lama bikin gengsinya jadi gede! Dengar komentar miring dikit aja langsung sensi dia. Aku lebih suka kalo dia itu low profile aja Tapi ya gimana lagi? Hampir tiap klub di sekolah dia ikut. Klub musik, klub basket, klub fotografi, klub naik gunung, OSIS, dilahap semuanya! aku nyerocos, uneg-uneg soal Erik tumpah. Hmmm Ya kalo gue punya hobi, terus di sekolah ada klubnya semua, ya pasti gue ikutin semua. Nggak ada salahnya kan kalo memang hobinya itu? Denis masih mencoba menyanggahku. Haha Kamu belum pernah lihat Erik main basket sih! Aku ngelihat dia main basket hampir nggak bisa bedain sama main voli! Aku juga pernah komentar langsung sih di depan dia, dan waktu itu aku masih suka sama dia. Terus dia bilang apa coba? Apa? Dia nggak bilang apa-apa. Cuma ngasih senyum sengak aja! Ya mungkin dia baru belajar kali, terus elu malah ngasih komentar asal jeplak aja! Mending lah dia mau belajar basket, kan keren?! Daripada elu, dari dulu olah raganya cuma kasti aja Jaman sekarang mana ada anak SMA main kasti?! Eh, kamu kok kayaknya jadi ngebelain Erik banget?! Jangan-jangan sekarang ganti kamu yang suka sama dia?! semprotku, langsung nuduh! Anjrit! Lu jangan main fitnah ya! Gue cuma ngerasa kalo Erik tuh asyik-asyik aja anaknya! Elu aja yang kesannya jadi benci gitu sama dia! Itu bukan karena dia udah nolak elu kan? Aku nggak benci! Aku cuma udah nggak ngarep aja! balasku agak sengit.

Ahhh! Kapan hari kemarin, pas lu tidur di kamar gue, elu bilang masih milih Erik? Ya kalo dibandingin kamu, ya jelas aku milih Erik, dodol! Kamu mau kita jadian?!! Ihh! Gila lu! Nggak waras lu! Denis langsung ngedumel. Lagian ngapain kamu ungkit-ungkit soal dia?! tukasku kesal. Gue cuma ngerasa sayang aja, kenapa sih hubungan kalian jadi jelek gini? Kalo dia nolak elu kan itu haknya dia? Tapi apa terus kalian nggak bisa jadi temen lagi? Ya paling enggak, lu jangan jadi serba sinis gini dong sama dia! desah Denis. Aku diam. Hmmhhh Sebenarnya aku maklum Denis bicara seperti itu, dia memang belum tahu semuanya. Dulu yang aku ceritain ke Denis cuma soal Erik yang sudah nolak aku Aku nggak cerita soal tindakan Erik, yang membocorkan identitas gay-ku ke anak-anak lainnya. Yang Denis tahu identitasku itu tersebar karena ada yang menguping omonganku sama Erik waktu aku nembak dia. Ya. Aku nggak sepenuhnya jujur pada Denis. Termasuk pada bagian dimana Erik mengucapkan kata-kata yang nggak bisa aku lupakan sampai sekarang, saat dia bilang, Dimas, kamu itu sakit! Huuhhhhh Aku nggak mau Denis tahu bagian itu Aku nggak mau membakar perasaannya, menyulut kebencian dalam dirinya karena itu nggak akan membuat rasa sakitku jadi lebih baik. Erik kan udah punya cewek. Aku nggak mau gangguin dia akhirnya aku menjawab dengan alasan yang kucari-cari. Dan aku udah kenal Erik lebih lama dibanding kamu, aku lebih tahu soal dia! tambahku. Denis cuma cemberut. Diam dengan bibir dibikin imut. Dasar kebanyakan gaya!

Udah! Pulang aja! akhirnya aku mulai jengah. Aku bangkit dari dudukku. Emang udah boleh pulang ya? Ya boleh lah! Kan hari ini cuma pembukaan aja, nggak ada pelajaran. Tuh sebagian juga udah pada pulang! Cuma anak kelas satu aja yang masih ada MOS Udah puas lu, ngelihatin anak-anak kelas satu itu? Alahh! Capek lama-lama! Lagian besok kan juga masih bisa lihat! Hmmm Ya udah akhirnya Denis juga bangkit dari duduknya. Aku mengambil tasku di kelas. Setelah itu gantian aku sejenak menunggu Denis yang juga mengambil tasnya di kelasnya. Lalu kami pun melangkah, berjalan meninggalkan halaman utama. Meninggalkan anak-anak lainnya yang masih tersenyum-senyum melihati kami. Huuuhhh Beginilah, hari pertama masuk kami jadi pusat perhatian! Semoga cukup hari ini saja, dan besok semua sudah jadi biasa lagi! Aku berjalan sambil melihat kesana kemari. Kuperhatikan sekelompok anak kelas satu yang sedang digojlok senior, disuruh mengumpulkan sampah plastik di lahan dekat taman BRUKKK!!! Aduh, maaf, Kak seorang cowok murid kelas satu langsung kaget saat bertabrakan denganku. Aku sendiri juga kaget! Ini yang kedua kalinya hari ini! Gara-gara mata lihat kesana kemari, nggak fokus sama yang di depan! Kulihat kertas-kertas yang dibawa anak itu jatuh berserakan di tanah. Anak itu kelihatan gugup dan cemas memunguti kertas-kertasnya. Karena aku

juga merasa tadi jalan nggak lihat depan, aku pun membantunya memunguti kertas-kertas yang berserakan itu. Udah dua kali sehari, jalan nggak lihat-lihat! Denis langsung mengomeli aku. Maaf Kak, aku nggak sengaja anak yang kutabrak itu minta maaf lagi, kayaknya dia mengira Denis sedang memarahi dia. Padahal Denis marahnya sama aku. Aku kok yang nggak lihat-lihat ucapku sambil ngasih kertasnya yang aku pungut. Aduhhh anak itu mengeluh saat tahu kertasnya ada yang kotor agak parah, kena air di tanah. Dia kelihatan cemas sekali. Tugas dari senior ya? tanyaku. Iya, hasil kerja kelompok disuruh ngumpulin sekarang jelas anak itu kikuk. Wah, kalo kotor gitu kena hukuman nggak tuh? Denis ikut nimbrung. Moga-moga aja nggak Maaf, Kak buru-buru anak itu segera pergi cepat-cepat, seperti wartawan dikejar deadline. Elu tuh, mata jelalatan kemana aja sih?! Denis memarahi aku lagi. Kayaknya bakal kena hukuman tuh anak gumamku. Aku juga jadi merasa bersalah. Anak tadi kelihatan takut banget. Kami berdua jalan lagi. Kami melewati lagi barisan anak-anak kelas satu yang sedang diinspeksi sama senior. Anak yang tadi nabrak aku juga ikut berbaris di situ. Dan Surprise! Rupanya senior yang sedang menggojlok mereka adalah ERIK!

Lihat sebentar! bisikku ke Denis. Kami berdiri agak jauh, tapi cukup jelas untuk melihat barisan itu. Erik memanggil salah satu nama kelompok. Lalu anak yang tadi menabrakku maju ke depan. Anak itu kelihatan sekali gelisahnya. Dia menyerahkan kertas-kertas hasil kerja kelompoknya itu ke Erik. Ini kenapa kotor seperti ini?!! cecar Erik dengan suara ketus. Maaf, Kak, tadi habis jatuh ke tanah jawab anak itu grogi. Jatuh ke tanah?! Ceroboh kalian! Erik setengah membentak. Maaf, Kak tidak sengaja jawab anak tadi. Kalau kalian serius dengan tugas, pasti tidak akan bertindak ceroboh! Kamu, dan kelompokmu, dihukum! Tulis ulang tugas kalian ini sepuluh kali! bentak Erik galak. Anak-anak satu kelompok yang kena hukuman itu langsung kelihatan kaget, ekspresi mereka lesu seketika. Apalagi anak yang tadi nabrak aku, yang jadi wakil kelompok itu. Kelihatan benar-benar down! Kasihan Kalian tidak boleh pulang sebelum tugas hukuman kalian selesai! seru Erik ketus. Lalu habis bicara begitu, Erik merogoh ke dalam saku celananya sambil sedikit menjauh. Dia mengeluarkan HP-nya, mengangkat sebuah panggilan Haloo? sapa Erik lewat HP-nya. Rik, nggak usah galak-galak lah! cetusku lewat HP-ku. Yang nabrak anak itu tadi aku, sampai kertasnya jatuh Bukan salah dia! Jadi kalo mau ngasih hukuman, kasih aja hukumannya ke aku! Aku lihat di sana, tingkah Erik langsung kelihatan bingung. Dia tengaktengok mencari di mana aku menelponnya. Akhirnya ketemu, dia melihatku. Aku

langsung tersenyum meledek begitu melihat tampangnya yang kikuk. Hehehe Rasain!!! Sok galak sama yunior!!! Kasihan lah sama anak-anak yang nggak salah itu! ucapku lagi. Kasih aja hukumannya ke aku, Denis juga udah siap bantuin kok! tambahku sambil ketawa ngelirik Denis. Denis langsung cemberut menyikutku. Erik langsung menutup HP-nya. Ekspresinya jadi kelihatan malu dan hampir mati kutu di sana. Tapi dia masih mencoba jaim ke anak-anak yang sedang digojloknya itu. Ya sudah, karena ini MOS hari pertama, kesalahan kalian masih dimaafkan. Tapi lain kali, setiap keteledoran dalam melakukan tugas tidak akan ada toleransi lagi! tegas Erik, akhirnya membatalkan hukumannya. Hehehe Anak-anak yang hampir kena hukuman itu langsung kelihatan lega. Aku juga. Aku sama Denis jalan lagi, sambil melempar senyum ke Erik. Erik membalas dengan senyum jaim. Hahaha Makanya jangan galak-galak! Sekilas, aku juga melihat anak yang tadi menabrakku. Dia juga sedang melirik padaku. Mataku kami bertemu. Anak itu segera menarik lirikannya, dan kelihatan tersenyum agak malu. Apa mungkin dia tahu ya, kalau yang meloloskan kelompoknya dari hukuman tadi aku? JGLUKKK!!! Aduh! pekikku kaget satu kakiku terpeleset, nyungsep ke selokan. Erik dan anak-anak kelas satu itu langsung melihatku, dan pipi mereka langsung kembung menahan tawa. Aseeemmmmm!!! Mereka bisa jaim nahan tawa, tapi gimana aku bisa nahan malu?!! Tiga kali! Rasain! umpat Denis. SIAAAAAL!!!

KANTONG 3 : Denis Jadi Manten

Pulang dari sekolah. Aku langsung masuk rumah, diikuti Denis. Dan sampai di ruang tamu kami langsung kaget! Mama sedang bongkar-bongkar kardus di ruang tamu. Ada dua kardus segede gaban yang sedang dibongkar sama Mama. Ini ada paket kiriman dari Tante Hilda, sambut Mama sambil memilahmilah isi kardus. Komputer sama baju-bajunya Denis nih Nahhh Akhirnya! Denis langsung berseru girang. Jadi kamu nggak perlu pinjam laptopku lagi! sahutku. Ahh, dasarnya elu emang pelit! tukas Denis. Denis langsung nguprek-uprek barang-barangnya yang habis dikirim dari Medan. Aku ikut ngobrak-abrik barang yang sebagian masih di dalam kardus. Ikut penasaran, barangnya Denis apa aja. Boxer kamu bagus-bagus, boleh dipinjam nggak nih? kupamerkan boxer-boxer yang aku temukan di dalam tumpukan pakaian Denis. Nggak boleh! Gila lu! Denis langsung merebut boxer yang aku pegang. Iiih, Dimas! Pakaian dalam kok dipinjem-pinjem sih?! Mama ikut komentar. Becanda, Mama! Koleksiku lebih bagus dibanding punya Denis! sahutku enteng. Giliran kaos-kaosnya Denis yang aku jereng-jereng. Kalo kaos boleh dipinjem kan? Lu bikin ribet banget sih?! Jadi berantakan tuh baju-baju gue! Denis ngomel-ngomel.

Udah, dibawa aja sana ke kamar! Nggak sopan ah kalo dibeber di sini! suruh Mama. Kan Mama juga yang bongkarin di sini? sahutku. Ya kan Mama nggak kuat kalo musti ngangkatin kardus-kardus segede ini! Dimas bantuin sana, angkat ke kamarnya Denis! ujung-ujungnya Mama malah nyuruh aku. Tapi Mama bikinin es ya! aku ganti nyuruh Mama. Biar adil dong! Hihhh! Dasar anak suka merintah orang tua! Mama menjewerku. Tapi habis itu berangkat juga ke dapur. Hihihi Denis mengangkat kardus yang berisi komputer, aku mengangkat kardus yang berisi pakaian sama buku-buku. Busettt Berat banget! Untung kamar Denis ada di bawah, nggak di lantai atas! Fiuhhhh Sampai di kamar, Denis langsung memasangi perangkat komputernya di meja. Aku cuma melihat saja. Dia kelihatan senang karena sekarang kamarnya sudah ada komputer. Aku juga senang, soalnya mulai sekarang dia nggak akan pinjam-pinjam laptopku lagi. Ini CD apaan? gumamku sambil membuka sebuah kotak cover yang aku temukan di dalam kardus. Di dalam kotak itu ada satu keping DVD. Kubaca judul yang tertulis di kepingan itu. Keningku berkerut. Resepsi Pernikahan? gumamku penasaran. Denis ikut melihat piringan DVD yang kupegang. Coba aja diputar gumamnya. Rupanya dia juga jadi penasaran. Komputernya udah bisa nyala kan? Putar aja! timpalku sedikit bersemangat.

Denis menyalakan komputernya. Terus dia memasukkan DVD itu ke DVD-Room. Folder menu dibuka, ternyata DVD itu menyimpan data-data video. Ada judul-judulnya. Oh, video Pernikahan Tante sama Om kali? aku langsung menebak. Tapi itu kan udah lama banget? sahut Denis agak ragu. Lalu mataku sedikit terbelalak saat membaca salah satu judul file yang sangat mencolok. Itu kok ada yang judulnya Dimas & Denis? Beneran tuh? aku keheranan. Ada apaan sih? tiba-tiba Mama muncul sambil bawa es sirup dua gelas. Ini nih, ada kiriman video dari Tante. Itu baru mau diputar jawabku. Denis meng-klik file video berjudul Dimas & Denis itu. Layar DVD segera muncul. Dan Astaga benar!!! Aku benar-benar tercengang saat di layar muncul rekaman aku sama Denis WAKTU MASIH KECIL!!! Lohhhh Itu kalian waktu kecil kan??? Mama juga ikut kaget. Ahhh Mama ingat nih! Itu rekaman kalian waktu acara nikahnya Tante Hilda. Waktu itu adiknya Om Frans yang nyuting! Ini pasti convert-an nih, aslinya pasti masih pakai video Betamax! sahut Denis. Iya, kaset video yang bentuknya mirip batu bata itu! Yang asli pastinya disimpan sama Tante lah! Itu juga udah diedit, dipotong-potong, dikasih judul sendiri-sendiri sahutku. Aku, Denis dan Mama terbengong-bengong melihat rekaman itu. Aku benar-benar nggak nyangka pernah direkam waktu masih umur segitu, masih kecil banget! Mungkin itu masih sekitar umur lima tahunan! Aku jadi tersenyumsenyum sendiri, terpukau melihat diriku sendiri terekam di umur yang masih imut

banget itu Di rekaman itu terlihat aku sama Denis lari-larian di tengah suasana pesta yang ramai Lalu scene mulai berganti. Sekarang kelihatan aku sama Denis di-shoot lebih dekat. Di situ Denis bengong menatap ke lensa handycam, sedangkan aku di samping Denis cuek-cuek saja makan Chiki. Aduuuuhhhhh!!! Aku jadi gemes sendiri melihatnya!!! Denis sama Dimas cakepan mana? tiba-tiba terdengar suara orang bertanya di rekaman itu. Kayaknya suaranya yang ngerekam Cakep Denis! jawab Denis kenceng. Aku sama Mama langsung ngakak Kalo Mama sama Tante cakepan mana? Cakep Mama! jawab Denis lagi. Mama tambah ngakak sambil ngucel-ucel rambut Denis. Denis tambah bengong melihat rekaman wawancaranya sendiri! Tapi Tante cakep juga kan? Cakep Mama! Denis ngotot. Denis suka sama pestanya Tante? Suka! Denis pingin nggak jadi manten kayak Tante? Pingin! Denis jadi mantennya sama siapa nanti? SAMA DIMAS!!!

ASTAGAAAA!!! Kaget kayak kesambar petir! Mama ngakak tambah kenceng! Sampai jongkok megangin perut! Loh Kok sama Dimas? Dimas kan kakak sendiri? SAMA DIMAS!!! Denis tetap ngotot. Kalo Denis jadi manten harus sama perempuan SAMA DIMAS!!! teriak Denis sambil memelukku kayak Teletubies. Aku masih cuek ngemil Chiki. Kurang kerjaan nih yang nyuting! Anak kecil ditanyain soal manten!!! Denis langsung mencak-mencak sendiri. Mukanya merah, tengsin abisss! Mama nggak berhenti ketawa. Aduuhhh Nyerah! Mama sampai mau pipis! tukas Mama sambil ngacir, cekikikan ninggalin kamar. Kamu beneran mau jadi manten sama aku? aku malah dapat bahan buat becandain Denis. Sarap lu! Itu gue ngomong apa juga nggak mikir! Namanya anak kecil! Denis langsung bersungut-sungut. Jaim, tengsin, dan sebel, nyampur jadi satu di mukanya. Cemberut. Hihihi Ah, yang bener? aku terus becandain sodara kembarku itu. Gila lu ahh! Udah ah! Bikin lu jadi gede kepala! tukas Denis. Dia langsung mematikan DVD player di komputernya, mengeluarkan DVD tadi. Aku cekikikan melihat tingkah Denis yang ngambeg. Aku yakin dia malu setengah mati, makanya jaim mati-matian! Denis beranjak dari meja komputernya. Keluar! Gue mau ganti pakaian! dia mengusirku. Kita kan udah jadi manten!!! selorohku sambil mendekap Denis. Becanda sok lebay.

Nih manten!!! Nih rasain!!! Denis langsung membantaiku dengan guling. BUKK! BUKK! Ampun! Ampun! aku kewalahan. BRRLLLLLL!!! Tiba-tiba guling Denis ambyar Isinya pecah mengguyur kepalaku! Guling gue!! seru Denis melotot melihat gulingnya ancur. Aseemmm!!! aku langsung mengumpat mendapati badanku belepotan kapuk isi guling. Aku langsung merebut guling di tangan Denis dan gantian menyambiti dia! Rasain pembalasanku!!! pekikku kencang. Perang pun terjadi! Jadi MANTEN??? NGARAAAANGGGG!!!

KANTONG 4 : Misha

Masuk sekolah di hari kedua. Aku berangkat masih berboncengan sama Denis. Gimana lagi, motor di rumah ada dua, yang satu dipakai Mama. Ada Vespa antik milik Papa, tapi takut makainya, takut rusak. Jadi ya praktisnya berboncengan berdua. Sampai sekolah, aku sama Denis misah sendiri-sendiri! Kelas kami beda. Lagian tahu sendiri kalau keseringan terlihat sama dia, pasti jadi pusat perhatian! Males! Aku langsung menuju ke kelasku. Suasana kelas masih agak sepi karena memang masih agak pagi, duapuluh menit sebelum jam pelajaran dimulai. Aku duduk manyun di kursiku. Lalu, seorang murid cewek melangkah masuk ke kelas dan dengan pasti dia langsung menuju ke mejaku Nyantai tapi pede, dia duduk di sebelahku satu meja denganku! Aku duduk sini ya? ujar cewek itu sambil senyum. Iya, sahutku agak bengong. Nama kamu Dimas kan? dia langsung menyebut namaku. Iya. Kok tahu? balasku agak heran. Anak itu tersenyum lagi. Aku mengamatinya. Mungil, putih, berambut ala Dora. Matanya bulat agak mungil Karakter wajahnya seolah -olah dia memang sering tersenyum. Pribadi periang Kemarin aku lihat kursi ini belum ada yang nempatin. Tapi kemarin aku nggak langsung nempatin sih Sekarang juga belum ada yang nempatin kan? ujarnya. Belum menjawab pertanyaanku. Belum. Kenapa kemarin nggak langsung nempatin aja? tanyaku dengan senyum acuh.

Kemarin aku ambil duduk agak di belakang. Terus aku lihat kamu duduk sendiri di sini. Aku pikir-pikir, mending pindah sini aja sekalian, soalnya di tempatku kemarin aku juga belum dapat teman semeja jawabnya. Kamu kok udah tahu namaku? aku mengulang pertanyaanku yang belum dia jawab. Cewek itu tersenyum lagi menyipitkan matanya, gelagatnya agak rikuh. Kayaknya kamu memang cukup terkenal kok di sekolah ini Ya aku tahu aja. Terkenal apa? aku tambah penasaran. Sekaligus merasa nggak enak. Hmmm Sorry kalo agak sensitif ya Kamu deket sama Erik kan? ucap anak itu dengan raut agak sungkan. Oohhh Karena itu ya? gumamku pelan. Sebenarnya aku sudah menduga ke arah situ. Tetap saja nggak nyaman jadinya. Aku benar-benar ingin mengubur masalahku sama Erik itu Ingin menganggapnya sudah selesai, tapi ternyata efeknya masih aja kebawa! Yaahhh memang pasti sulit buat melupakan masalah itu begitu saja. Berita itu kemarin lumayan meledak! Huhhhh Tapi kalau anak ini mau duduk satu meja denganku, berarti dia nggak masalah sama aku kan? Yaahhh semoga dia memang nggak mempermasalahkan hal itu. Cuma yaa kira-kira dia punya niat apa? Oh iya, namaku Misha, anak itu akhirnya menyebut namanya. Aku nggak perlu ngenalin namaku lagi kan? ucapku sambil tersenyum, mencoba bersikap lebih santai, membuang prasangkaku. Memangnya berita soal aku sama Erik itu yang kalian dengar gimana? Kok sampai bikin aku terkenal? aku mulai memancing. Ingin tahu cara pandangnya. Hummm Soalnya Erik-nya kan terkenal di sekolah ini, tahu sendiri lah satu sekolah banyak yang ngefans. Banyak yang ngomong sih, katanya kamu

sering posting-posting di Facebook-nya dia. Katanya kamu perhatian banget sama dia Terus yang terakhir, soal kalian waktu di Bali kemarin itu. Katanya kamu nembak Erik ya? ungkap Misha dengan hati-hati. Aku cuma mendehem pelan. Kamu oke-oke aja kalo duduk satu meja sama aku? akhirnya aku memilih sedikit mengalihkan arah pembicaraan. Kalo aku bermasalah sama kamu, ya aku nggak mungkin duduk di sini jawab Misha santai. Diplomatis, aku bisa menebak jawaban seperti itu. Ya sapa tahu aja Kamu kan kemarin udah duduk di kursi lain. Sekarang kamu pindah duduk semeja denganku padahal kamu tahu kalo aku bisa dibilang beda dengan cowok-cowok pada umumnya Sorry kalo aku mikirnya jangan-jangan kamu punya tujuan tersembunyi? ujarku dengan senyum mencibir. Berusaha menunjukkan kalau aku bertanya serius tapi tanpa maksud sensitif. Misha tertawa. Oke, aku nangkep maksud kamu. Sebenarnya, justru aku malah risih kalo teman dudukku adalah orang yang kamu sebut sebagai cowok pada umumnya itu cowok yang doyan cewek! jawab Misha dengan gaya bercanda. Justru karena kamu beda, makanya aku percaya kamu nggak akan usil sama aku. Terus terang, aku juga penasaran sih Nggak papa kan? Aku tersenyum mendengar alasan Misha. Terus terang, aku malah suka kalo ada orang yang mau terbuka bergaul sama aku Asal tujuannya bukan untuk menjadikan aku obyek buat dicari-cari kelemahannya Mengenali manusia nggak kayak mengenali barang, manusia ada perasaannya ucapku agak pelan. Iya, aku ngerti. Aku nggak bermaksud begitu kok. Buat aku, berteman itu justru buat menutupi kelemahan kita jadi menurutku ya nggak fair kalo mengorek kelemahan teman kita sendiri Soalnya bagaimanapun juga tiap orang pasti punya kelemahan gumam Misha mantap. OK. Lihat aja deh balasku dengan senyum santai.

Misha tersenyum menyipitkan matanya lagi. Optimis. Hmmm Meski aku belum ingin berharap banyak soal Misha, tapi setidaknya masih ada yang mau duduk satu meja denganku. Moga-moga aja dia memang tulus dengan niatnya. Kalau melihat orangnya sih, kayaknya dia apa adanya Nggak terasa, kelas sudah mulai ramai. Dan kemudian bel tanda masuk pun berbunyi Jam pertama pelajarannya apa sih? tanyaku. Maklum, masih belum ingat sama jadwal pelajaran soalnya baru hari kedua. Pelajarannya Mr. Cool, Bahasa Indonesia jawab Misha sambil baca jadwal pelajaran yang dia catat di bukunya. Damn! Jam pertama langsung ngantuk nih pasti! keluhku. Harusnya dia jangan dipanggil Mr. Cool! Namanya Sholikul Jayusman kan? Harusnya dipanggil Mr. Jayus aja! Apes, kelas dua kita masih diajar dia lagi! Setuju! Jayus banget! sahut Misha. Kalo ngomong bahasanya EYD banget! Ejaan Yang Dipaksakan banget! tambahku. Tapi biasanya kalo baru masuk gini nggak langsung pelajaran kan? Biasanya masih basa-basi dulu? Tetap aja basa-basinya jayus! timpalku. Lalu, muncullah sosok yang dinanti-nanti! Laki-laki tinggi kurus, kumis gaya mafia film Godfather, rambut belah pinggir dan klimis bak kelebihan stok minyak rambut, masuk ruang kelas dengan gaya sok berwibawa! Selamat pagi, Pak! anak-anak sekelas langsung menyambut. Selamat pagi anak-anak! Mr. Cool menjawab sambil nyengir kuda. Kepada kalian semua yang sudah memiliki buku diktat Bahasa dan Sastra

Indonesia Jilid 2, silakan dikeluarkan dari tas masing-masing kita akan mulai membahas materi pelajaran sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia untuk tahun ajaran 20092010 ANJRIIIITTTTTTTT!!! Baru juga masuk, langsung mau bahas pelajaran?!! Nggak ada basa-basi ramah tamah dan silaturahim?!! NIAT BANGEEEETTTT!!!

KANTONG 5 : Patroli

Akhirnya jam istirahat datang juga. Waktunya ngisi perut! Dengan langkah santai aku menuju ke kantin sekolah. Sampai di kantin, aku langsung pesan bakso sama es teh, jajanan favoritku! Kantinnya lumayan ramai, tapi untung masih dapat meja kosong. Aku duduk, menikmati baksoku. Hai! tiba-tiba ada yang join duduk semeja denganku, dengan membawa bakso dan es tehnya juga. Ben! Gimana kabarnya?!! Kok kemarin aku nggak lihat kamu? Baru nongol hari ini ya? aku langsung menyambut sobatku ini dengan hangat. Baik. Kemarin aku memang belum masuk. Kamu dapat kelas mana? sahut Ben. IPS A. Kamu? IPS F. Kamu nggak ikut panitia MOS? Nggak. Males ah Repot. Lagian aku kan nggak bisa bentak-bentak yunior! cetusku. Kan Erik jadi panitia tuh kayaknya? Kesempatan tuh harusnya! canda Ben sambil makan baksonya. Wewww Kamu dukung aku buat ngejar Erik ya? Hehehe Nggak juga! Memangnya kamu udah nggak tertarik sama dia? Dia kan udah nolak aku. Ya udah! Lagian kan kamu juga udah dengar dia udah bocorin soal aku ke anak-anak lainnya Aku mau berharap apa lagi? tukasku. Hmmm Iya. Sebenarnya aku malah dukung kok, kalo kamu mau berhenti ngejar dia

Kenapa? tanyaku lumayan penasaran dengan sikap Ben. Yaa alasanmu benar. Pertama, dia udah nolak kamu. Kedua, dia malah membocorkan ke orang lain dan mempermalukan kamu itu yang paling parah! Kalo aku jadi kamu, aku pasti udah hajar tuh anak! cetus Ben. Hahaha Itu namanya habis main hati terus main fisik! Nggak usah segitunya lah, nggak bakal nyetop berita yang sudah kesebar. Nanti malah reputasiku bisa tambah jelek kalo sampai main kasar! sahutku. Lagian memangnya kamu bisa berantem? sindir Ben. Huhhh Sialan! tukasku. Ben tertawa. Gabung ya! tiba-tiba ada satu lagi yang nyusul duduk di sampingku, sambil ngucel-ngucel rambutku. Nguntit aja! Nggak dapet temen apa? Nggak di rumah, nggak di sekolah, ngikut terus! tukasku ke Denis yang baru datang. Lho? Ben tercengang, menatap aku sama Denis bergantian. Kalian? Damn! Ternyata masih ada aja yang kaget! Capee deeehhh! Iya, dia adik kembarku! Baru pindah dari Medan! tanpa basa-basi aku langsung bilang. Baru pindah? Ben masih bingung dan terpana melihat Denis. Iya. Dulu dia ikut Tante, sekolah di Medan. Kembar? Kelas dua juga? Iya! Dia masuk IPA! tukasku mulai nggak sabar. Sekelas sama Dimas? Denis nimbrung, bertanya ke Ben.

Nggak. Kemarin waktu piknik aku duduk sama dia Ooo Nama kamu Denis? gumam Ben sambil melirik ke tanda nama yang nempel di seragam Denis. Iya. Elu? Ben! sahutku menyela, sambil tersenyum ke Ben. Panggil Ben aja Lebih gaya! Ben masih terbengong-bengong. Dia melirikku. Dia juga udah tahu soal kamu? bisiknya hati-hati. Udah. Malah dia yang paling dulu tahu dibanding yang lain! cetusku. Hah? Kamu ngaku ke dia? bisik Ben tambah bengong. Nggak! Udah, nggak usah dibahas! Panjang! tukasku pelan. Itu kejadian masa lalu. Denis baca diary-ku dan dia jadi tahu soal aku. Dan saat itu aku marah besar sama dia. Tapi sudahlah, aku udah maafin Denis, jadi nggak usah diungkit lagi. Nggak enak! Ben manggut-manggut. Kayaknya Denis juga menangkap arah

omonganku. Dan dia cuma diam, makan baksonya tanpa menyela. Kamu juga udah tahu soal Erik? tanya Ben ke Denis. Gebetannya Dimas? Dia temenku sekelas kok sahut Denis. Sapa yang gebetan?!! Udah nggak lagi! aku langsung protes. Ben langsung tertawa. Wah Bisa-bisanya kamu punya sodara kayak dia, Mas! Beruntung benget! gurau Ben. Beruntung apanya?! Kalo dia bisa cariin aku pacar yang lebih baek, dan lebih cakep dari Erik, baru aku anggap untung! balasku sambil jitak kepala Denis. Ngapain cari pacar buat elu?! Gue sendiri aja tidur masih sama guling! Mending nyari buat gue sendiri! celetuk Denis.

Kamu suka cowok juga?!! bisik Ben ke Denis, dengan muka makin keheranan. Yeeeee!!! Kapan gue bilang suka cowok?! Denis langsung sewot. Dimas kan minta dicariin cowok? Kamu bilang mending cari buat kamu sendiri, gitu kan? kulik Ben. Nah loh! Belibet! Maksud gue mending cari pacar buat gue sendiri! Dan catat, gue cari pacar cewek! tukas Denis tengsin. Munaaaa! Kamu kan udah jelas-jelas ngaku di video yang kemaren itu?! aku langsung dapat ide buat ikut ngerjain Denis. Ehhh? Video apaan? Ben langsung penasaran. Kemarin habis nonton video rekaman waktu aku sama dia masih kecil. Waktu dia ditanya pingin jadi manten apa nggak, dia jawab pingin tapi harus sama aku! jawabku sambil ngeledek Denis. Ben langsung ketawa ngakak melihati Denis. Aku ikut ketawa waktu tahu muka Denis merah seperti tomat! Gila ah kalian! Pas di video itu jaman masih kecil! Belum ngerti apa-apa! Denis langsung mencak-mencak. Justru anak kecil itu lebih jujur kalo ngomong! aku terus menyudutkan Denis. Senang bisa ngerjain dia!!! Denis memandangiku dengan sebal. Kalo dulu mungkin gue masih tertarik sama elu, dulu lu masih virgin! Sekarang udah nggak! Lu bikin gue trauma sama cowok, sekarang gue cari cewek aja! akhirnya dengan muka jaim dia ganti meledekku. Hahaha Kok kebalik ya? Bukannya yang sering tuh, cowok ngaku jadi gay karena trauma sama cewek? cibir Ben. Lalu dia bisik-bisik ke Denis. Memangnya sama siapa Dimas jadi nggak virgin lagi?

Sama sabun kali celetuk Denis. Apa dia bilang?!! Aku nggak terima sama statementnya! Kuambil botol saos tomat. Crootttt!!! Kusentorkan saos tomat ke baksonya Denis. Nih! Makan tuh! Ehhh anjrittt!!! Nggak bisa, ini musti elu yang bayar baksonya! Denis langsung mencak-mencak baksonya kutumpahi saos. Aku cepat-cepat pindah posisi, mengamankan baksoku. Siapa tahu Denis balas dendam ganti menyentor baksoku pakai sambal! Ya gitu tuh kalo Dimas berantem! Mana bisa berantem beneran?! Denis ngomel ke Ben. Ben cuma ketawa tanpa komentar. Di tengah suasana makan sambil ejek-ejekan di kantin, tiba-tiba Patroli! Patroli! seorang anak melongok ke kantin sambil woroworo. Habis itu, anak-anak yang ada di kantin langsung ribut. Sebagian ada yang langsung ngacir, ngumpet. Sebagian ada yang masih tenang-tenang aja. Yang ngacir jelas anak-anak yang merasa penampilannya nggak beres. Biasa kalau ada patroli BP memang reaksinya begitu. Aku tenang-tenang aja sambil menikmati baksoku. Aku kan siswa yang taat aturan. Tapi saat aku melirik ke Denis yang lagi cuek ngemil jajanan, aku langsung menangkap ada sesuatu yang salah di baju seragamnya! Tapi belum sempat aku ngasih peringatan ke Denis, sudah ada yang lebih dulu Kamu! seorang guru nyamperin Denis. Guru yang paling rajin patroli, siapa lagi kalau bukan Bu Kamtini! Denis cuma bengong menatap Bu Kamti yang sudah melotot di sampingnya, dia masih belum nyadar terhadap bahaya yang sedang dihadapinya!

Aku sama Ben cuma nunduk, pasang ekspresi anak baik-baik nggak berani berkutik. Ini? Atribut seragam tidak lengkap, tidak ada tanda pangkat kelas! Bu Kamti menunjuk bagian lengan di seragam Denis, yang seharusnya di situ ada tanda pangkat kelas. Mampus si Denis! Denis masih bengong saja beberapa saat. Lalu, akhirnya dia mulai cengingisan. Akhirnya nyadar juga! Ketangkap BP! Kamu kelas berapa? tanya Bu Kamti dengan dingin sambil mencatat di buku notesnya. 2 IPA F, Bu jawab Denis gugup. Kamu sekarang bergabung ke ruang BP sama teman-temanmu yang melanggar tata-tertib sekolah. Saya sudah mencatat nama dan kelas kamu, jadi jangan kabur! Ke ruang BP sekarang! cetus Bu Kamti. Habis itu dia langsung pergi lagi dengan jaim, meneruskan patrolinya. Apes kamu gumam Ben sambil tersenyum kecut ke Denis. Rasain! Waktu daftar dulu kan udah dikasih atributnya lengkap! Salah sendiri nggak dipasang! komentarku. Kan tanda yang itu ilang Terus gimana nih? Denis bingung. Ya udah sana, ke ruang BP! Udah ketahuan, nggak usah nambah masalah! sahutku. Denis masih setengah bengong, lalu akhirnya dia menggeloyor dengan lesu ninggalin kantin. Huuuu Bakal diapain dia nanti? Anak pindahan, baru 2 hari masuk, udah kena kasus Tapi memang salah dia sendiri! Nggak kasihan sama adikmu? ujar Ben sambil nyengir padaku.

Ngapain kasihan? Cuma kasus ringan aja. Paling nanti cuma dikasih ceramah sama guru BP Biar jadi pelajaran buat dia! sahutku cuek. Udah yuk, bayar ke kasir! Ben cuma ketawa sambil mengikutiku ke kasir. Berapa Mbak, bakso satu sama es teh? tanyaku ke kasir. Cuma satu? Itu bakso yang satunya sama es jeruk belum dibayar tadi, sama cemilannya juga! balas si Mbak pemilik kantin. Haaahhhhh?!! Baksonya Denis?!! Dia kan langsung pergi tadi ya? Berarti yang bayar aku nih??? Ahh sialan!!! Hahahaha Kakak yang baik sekali-kali nraktir adiknya lah! cibir Ben. Sialan tuh anak! Makanya Denis kualat sama aku, aku kakak yang baik, dia adik yang kurang ajar! sungutku sambil ngasih duit ke kasir. Ternyata tagihan jajannya Denis malah lebih banyak dari aku! Ternyata aku juga apes!!!

KANTONG 6 : Salam

Pulang dari sekolah, nyampai rumah langsung kumasukkan sepeda motorku ke garasi. Begitu aku mau masuk ke rumah, baru nyadar, dari tadi Denis membuntutiku sambil cengingas-cengingis Apa?! tukasku. Mas, jangan bilang Mama kalo gue tadi ketangkep sama BP ya Please, ya Denis memohon sambil cengar-cengir. Oooo Itu rupanya? Nggak urusan! Aku bilangin pokoknya! Kamu kan disetrap BP sampai jam terakhir! Mama harus dikasih laporan! ucapku ketus. Jangan, please Denis langsung memelas sambil menarik-narik tanganku. Ini apaan sih, jadi lebay gini?! Aku bilangin pokoknya! tukasku sambil menepiskan tanganku dan menggeloyor ke kamar. Hahaha Padahal sebenarnya aku sama sekali nggak terpikir buat mengadukan Denis ke Mama! Tapi berhubung dia malah ngomong begitu, aku jadi punya gagasan buat ngerjain dia! Sekarang aku sengaja nakut-takutin dia! Soalnya aku masih kesal sama tingkahnya di kantin tadi, jajan nggak bayar! Apaan sih ngikutin terus?! tukasku melihat Denis masih ngikutin aku ke kamar. Gue ada berita buat elu! Menarik! Berita apa?! Hehehe Penasaran kan? Janji dulu nggak bilang sama Mama soal gue tadi!

Hahahaha Pakai kompromi segala! Aku kan juga nggak niat bilangin dia ke Mama! Aku kadalin si Denis sekarang! Iya, iya! Aku janji! Berita apa? desakku penasaran. Tadi pas di ruang BP, ada anak yang nitip salam buat elu Cowok! Hahh?!! Cowok? Nitip salam?! aku langsung ternganga. Nah Menarik kan beritanya? Siapa tuh? tanyaku penasaran. Hehehe Denis langsung senyum-senyum mencurigakan. Rahasia! Rahasia? Mau aku bilangin ke Mama kalo kamu tadi disetrap BP?! ancamku. Weeeee! Elu kan udah janji?! Dan gue udah kasih tahu beritanya?! Tapi beritanya nggak lengkap! Gue kan nggak janji ngasih tahu semuanya! Kalo mau berita lengkapnya, ya elu harus bikin janji yang lain buat gue? Mau kasih apa lu ke gue? kelit Denis. Lalu dia menggeloyor pergi sambil ketawa-ketawa. Kurang ajar!!! Dia gantian mau ngerjain aku nih ceritanya?! Aku paling nggak bisa dibikin penasaran begini! Apalagi ini soal cowok! Aku langsung cepat-cepat ganti baju, terus segera mencari Denis di kamarnya. Siapa sih, Den, yang nitip salam? aku mendesak Denis yang lagi tiduran di kamarnya. Pijitin dulu dong! gumam Denis sambil tengkurap. Asem! Lebay amat sih, gitu aja minta dipijitin?!! aku jadi tambah gondok!

Buat ketemu orang yang kirim salam ke elu, gue musti disetrap di ruang BP sampai jam terakhir! Hargain dong pengorbanan gue! Capek banget nih! Itu kan salah kamu sendiri! Dan elu dapat untung dari kesalahan gue! Pijitin bentar aja gih! Benar-benar uggghhhh!!! Berani nyuruh-nyuruh aku jadi tukang pijit?!! Tapi aku telanjur penasaran sama cowok yang nitip salam itu!!! Sial! Tapi kamu nggak bohong kan?! kulikku agak curiga. Gue nggak bohong! Dijamin asli! Elu pijitin, gue cerita Adil kan? Akhirnya harga diriku benar-benar kalah sama rasa penasaranku! Aku harus rela jadi tukang pijit! Dengan menahan kesal setengah mati kutarik kaos Denis ke atas Woi woi! Mau ngapain?! Denis langsung salah tingkah saat kaosnya mau aku lucuti. Kan mau pijit? Ya bajunya dilepas! ucapku nyantai. Sengaja aku bikin lebay, biar dia jadi nggak mood buat dipijitin! Salah sendiri, dia juga lebay minta pijit segala! Nggak usah lepas baju! Ntar elu napsu lagi! tukas Denis sambil cemberut kayak marmut. Aku profesional, kalo pijit ya pijit, nggak pakai napsu-napsuan aku masih narik-narik kaos Denis, masih sengaja lebay. Edan lu ah! Masih lebay gue tonjok nih! Denis langsung menunjukkan kepalan tangannya ke mukaku. Udah sana, minggat dari kamar gue! Lho Nggak jadi pijit nih? Nggak! Keluar sana! Denis menyepak-nyepakkan kakinya mengusirku.

Terus cowok yang ngasih salam ke aku itu siapa dong? Bodo! Telanjur males gue buat cerita! Denis ngambeg. Bersungut sungut sambil tengkurap menutupi kepalanya dengan bantal. Hihihi Rasain, gantian aku kerjain sekarang! Tapi nggak bisa kalau cuma sampai begini aja! Aku nggak bakal pergi kalau Denis belum ngasih tahu, siapa cowok yang udah ngasih aku salam! Siapa, Den? aku memijat-mijat, tepatnya mencolek-colek pelan punggung Denis. Hiiihhhh! Denis langsung mengibaskan punggungnya. Risih! Pergi nggak?! bentaknya sambil menyambitku dengan bantal. Habisnya kamu nggak mau cerita! Cerita dong, cerita! aku merengek sambil mendesak-desak badan Denis. Gue nggak cerita kalo lu masih lebay! Malah gue gampar nih lama-lama! tukas Denis ngancam. Ya udah cepetan cerita! Yang ngasih salam siapa? Anak kelas berapa? Namanya siapa? Anak kelas satu! Haahhh? Kelas satu?! Gimana ceritanya? aku langsung terbelalak tambah penasaran. Tadi dia juga kena setrap di BP. Ngobrol sama gue, terus nitip salam buat elu! Dia suka sama aku? celetukku ragu-ragu. Meneketehe?! Kalo dia suka masa mau ngaku ke gue?! Aku terbengong-bengong. Memangnya salamnya gimana? Salam apaan?

Salam kenal! Ooo gumamku manggut-manggut. Cakep nggak? Jangan nanya ke gue soal cakep apa jelek! Gue bukan gay kayak elu! Alaahhh! Gaya! Memangnya kalo cowok menilai fisik cowok lain udah pasti gay? Kalo kamu bilang cakep bukan berarti harus suka sama dia! Pokoknya soal cakep apa nggak jangan minta pendapat gue! cetus Denis ketus. Kalo dia kelas satu, terus dia tahu aku dari mana? Kok bisa nitip salam sama kamu? gumamku bertanya-tanya. Denis nggak jawab. Dia malah balik tengkurap lagi. Woi, ditanyain! Dia kok bisa tahu kita berdua?! kugablok punggungnya Denis. Dia anak kelas satu, yang kemarin lu tabrak sampai kertasnya berantakan! seru Denis dari balik bantal. Aku langsung terbelalak kaget. Langsung teringat kejadian kemarin itu Jadi anak itu?!! Sekarang lu nilai sendiri, dia termasuk cowok cakep apa nggak! tukas Denis. Sapa namanya? tanyaku dengan agak bengong. FANDY! Fandy? Fandy Fandy Fandy Nama itu langsung terngiang berulang kali di dalam kepalaku

Udah keluar sana! Denis mengusirku dan BUKKK! Diikuti dengan gebukan bantal ke mukaku. Oke, oke Silakan usir aku sekarang! Aku keluar dari kamar Denis dengan langkah santai. Begitu sampai di luar kamar aku langsung cuap-cuap MAMAAAAA. TADI DENIS DISETRAP SAMA GURU BP!!!

KANTONG 7 : Kesan

Pelajaran pertama hari ini adalah olah raga. Salah satu pelajaran yang aku benci! Aku nggak suka olah raga. Maksudku, gerak badan sih oke oke aja, tapi kalau sudah dalam rangka mata pelajaran sekolah ini jadi semacam paksaan! Apalagi olah raga kali ini: disuruh lari keliling area sekolahan empat kali! Mampusss!!! Tenagaku terkuras, dan kakiku di balik sepatu sport ini kayaknya mulai lecet-lecet Pinggangku juga sakit banget kayak ditusuk-tusuk! Padahal baru putaran kedua! Mending jalan aja lah, pelan-pelan aja. Dibilang bekicot juga bodo amat! Ngapain maksa?!! Lagian banyak temanku yang lain juga pilih jalan kaki. Jadi juga nggak perlu malu, karena aku bukan satu-satunya yang kelihatan loyo. Lagian kalau niatnya mau bikin sehat, jalan kaki juga bisa bikin sehat! Aku berjalan agak terpisah jauh dari teman-temanku yang lain. Yahhh Bukannya aku nggak mau berbaur, tapi memang rata-rata masih belum pada kenal. Jadi sama-sama saling cuek. Baru sama Misha aja aku mulai akrab, tapi dia juga nggak kelihatan batang hidungnya. Mungkin dia ada di depan, atau di belakang. Enjoy aja lah pokoknya! Langkahku tiba di gang timur sekolahan, dan sesuatu membuatku terkejut! Jantungku rasanya berdegup lebih cepat dari irama langkahku. Aku berpapasan dengan iring-iringan anak kelas satu yang sedang latihan berbaris dan salah satu anak yang berada di baris paling depan itulah yang bikin aku Deg! Berdebar-debar! Aku masih cukup ingat wajahnya Dia cowok yang menabrakku itu! Anak kelas satu yang bernama Fandy!

Aku memperlambat langkahku seraya mengamati wajah anak itu. Dan di saat yang sama, sepertinya dia juga menyadari keberadaanku. Mata kami bertemu! Dan otomatis aku menangkap sorot matanya yang membuatku langsung jadi rikuh dan agak segan Segera kualihkan mataku. Meski tetap saja aku curicuri pandang Ya ampun, jadi serba salah! Makin dekat, makin dekat dan Kami saling melintasi! Mata kami pun bertemu lagi dan dia sekarang tersenyum Canggung. Aku segera menarik mataku lagi dan pura-pura nggak tahu. Dalam lintasan waktu yang singkat, kami saling berlalu Barisan itu lewat. Tapi My God, kenapa aku begini sih?!! Sekarang aku berhenti, berdiri dan terus memandangi barisan yang sudah lewat itu Setelah tadi aku begitu jaimnya, pura-pura nggak tahu saat dia tersenyum padaku, sekarang aku terpaku seperti ini memandanginya dari belakang! Tapi sekarang mana bisa lihat anak itu? Sudah tertutup sama barisan di belakangnya! Huuhhh Anak bernama Fandy itu aku benar-benar dibuatnya penasaran! Terus terang, momen saat aku bertabrakan dengan dia beberapa hari kemarin itu, nggak meninggalkan kesan apa-apa buatku Awalnya. Tapi begitu dia berani main salam-salaman gimana aku nggak penasaran?! Tadi aku bersikap jaim karena aku berpikir sebagai senior, dan dia adalah yunior yang berani nitip salam untukku, jadi kupikir aku perlu menunjukkan eheemmm image yang tinggi! Yaaa Aku memang sombong. Dan sekarang kayaknya aku termakan oleh kesombonganku! Aku jadi kepikiran si Fandy yang sudah lewat itu! Woii Minggir!!! tiba-tiba ada salah satu temanku memberiku peringatan Aku tersadar dari lamunanku dan mendapati

KRIIIIINGGGGG!!! KRIIIINGGGG!!! MINGGIIIRRRR!!! Jangan di tengah jalan!!! seorang penjual cimol berteriak panik mengarahkan sepedanya yang melaju ke arahku Pupil mataku membesar! Gawat!!! Dengan panik aku langsung menyingkir menghindari sepeda penjual cimol yang ugal-ugalan itu dan GRUSAAAKKK!!! Aku sukses terjembab di semak-semak Tahu gang sempit pelan-pelan doonggg!!! teriakku marah-marah ke penjual cimol yang nggak tahu aturan itu! Tukang cimol geblek itu cuek melaju tanpa tahu dosa! Sampai-sampai barisan anak kelas satu tadi juga ikut buyar, pada ngacir ngasih jalan! Wong edannn!!! Kudengar teman-temanku malah ketawa. Makanya, jangan melamun di tengah jalan! cibir salah satu temanku. Aku cuma diam menahan malu, sambil membersihkan daun-daun kering yang menempel di kaosku. Sial! Aku memang salah juga, tapi apa ya waras jualan cimol dengan keranjang gede gitu ngebut di gang sempit?!! Ini jalan punya mbahnya apa?!! Tambah bikin tengsin lagi anak-anak kelas satu yang tadi latihan berbaris itu jadi nyadar kalau ada anak kelas dua habis nyungsep di semak-semak! Mereka ketawa, termasuk senior panitia MOS yang melatih mereka! Dan tentu saja anak bernama Fandy yang sudah bikin aku melamun di tengah jalan itu juga ikut ngakak!!! Aku nggak bisa menyediakan mukaku lagi di depan mereka!!! Cabuttttt!!! Kulanjutkan putaran lariku lagi sambil ngedumel. Sepanjang jalan! Huuhhh Sialnya hari ini! Teman-temanku juga masih ada yang ketawa kalau

melihatku. Kalau yang ngetawain teman-temanku sekelas sih nggak malu-malu amat Tapi anak-anak kelas satu tadi, terutama Fandy, mau ditaruh dimana mukaku kalau ketemu mereka lagi?!! Dan saat yang kucemaskan itu tiba! Di putaran lari yang ketiga, di gang selatan sekolah, aku berpapasan sama barisan itu lagi! Ampuuuunnnn!!! Mereka makin dekat Mukaku makin merah! Ahhhh!!! Memangnya aku bisa menghindar? Nggak bisa!!! Mau nggak mau harus kuhadapi mereka! Senyum saja, se-cool mungkin seolah nggak terjadi apa-apa! Pede saja! Fandy sudah berada tepat di depanku. Kali ini kulihat dia dengan lebih berani. Sekarang dengan cuek gantian aku yang tersenyum lebih dulu! Fandy pun membalas senyumku dengan senyum yang kelihatannya masih menyimpan rasa geli Ahhh! Sialan!!! Tapi by the way, ternyata Fandy itu anaknya cakep juga Ya ampun, Dimas goblok, kenapa baru nyadar sekarang?!! Dan detik-detik ajaib ini pun berlangsung tanpa terasa. Fandy dan barisannya itu sudah berlalu lagi. Kali ini perasaanku tambah jadi! Nggak cuma penasaran, tapi juga pingin lihat mukanya lagi! Ketagihaaaan!!! Tinggal satu putaran lagi! Harus kumanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya! Aku harus mulai berlari lagi!!! Semangaaaaatttt!!! Hahaaaa!!! Gerbang sekolahan pun makin dekat, di situlah garis finish putaran terakhirku! Tapi mana barisannya Fandy tadi? Kok nggak kelihatan? Aku menghentikan lariku dan mulai melangkah lagi dengan pelan, berjalan

selambat mungkin buat mengulur waktu biar dapat kesempatan untuk melihat barisannya Fandy itu nongol lagi. Tapi Kakiku sudah sampai di depan gerbang sekolah, dan barisan itu belum nongol juga Apa jangan-jangan latihan barisnya sudah selesai? Dan anak-anak itu sudah kembali masuk ke kelas? Kecewaaaaa! Benar nih, kenapa aku jadi begini sekarang? Kenapa aku jadi kepikiran terus seperti ini? Kenapa sekarang anak kelas satu bernama Fandy itu sepertinya jadi begitu berkesan? Pertama ketemu kemarin aku nabrak dia, atau dia yang nabrak aku, entahlah Tapi yang pasti saat itu nggak ada kesan apa-apa, selain kesan dongkol gara-gara terperosok ke selokan! Ini tadi malah nyungsep ke semak-semak! Harusnya aku tambah dongkol! Tapi enggak. Yang mengganggu pikiranku sekarang justru adalah apa yang kulihat pada sosok Fandy yang misterius itu, yang ternyata begitu Charming Ya ampun. Apa ini hanya sekedar penasaran, atau aku memang mulai suka? Ahhhh! Nggak ngerti! Bingung! Pikirkan nanti saja! Sekarang saatnya istirahat! Aku capek!

KANTONG 8 : Fandy

Haus. Lari keliling sekolah bikin kerongkonganku terasa sangat kering. Kaki juga jadi pegal-pegal. Aku butuh minum dan istirahat. Dan juga perlu mengeringkan badanku yang penuh keringat. Sumpah, aku nggak betah kalau badan penuh keringat gini. Nggak nyaman! Kubasuh muka dan leherku di wastafel toilet dekat kantin. Habis itu segera menuju ke kantin. Beli es kelapa muda, minuman paling cocok buat mengembalikan kesegaran! Aku duduk di bangku beton yang ada di bawah pohon depan kantin. Udara terasa sejuk di sini, keringat pun jadi cepat kering. Beberapa kali aku masih melihat wajah teman-temanku tampak geli saat melihatku. Huh, pasti gara-gara aku terjembab di semak-semak tadi! Cuek. Acuhkan saja! Sluuurrrpppp Kusedot esku. Nikmat! Sambil memandangi tiap sisi halaman utama sekolahan ini, yang dalam beberapa hari ini biasanya didominasi pemandangan para senior yang sedang menggojlok yunior kelas satu kali ini tampak lengang. Tidak ada aktivitas di lapangan. Mungkin acara MOS sedang berada di dalam kelas. Hanya beberapa gerombol saja anak kelas satu yang nongol, itupun di kantin mungkin sedang istirahat setelah tadi latihan berbaris Ehh Berbaris? Kalau gitu mungkin saja anak yang bernama Fandy itu juga ada di sekitaran kantin? Masa dia nggak ikut istirahat? Mana batang hidungnya? Hai tiba-tiba ada yang memecah lamunanku. Aku menoleh ke orang yang sudah duduk di sampingku itu, dan ASTAGAAAAAA!!! FANDY?!! My God Dia langsung nyamperin aku di sini???

Eehhh Hai sahutku agak gugup. Kak Dimas kan? dia melanjutkan sapanya. Nama kamu Fandy kan? balasku agak canggung. Anak itu tertawa simpul. Iya. Berarti Kak Denis cerita ke Kak Dimas ya? ujarnya. Aku cuma mengangguk pelan, agak kikuk. Habis jatuh ya tadi? seloroh anak itu. Ooufhhh Sialan! Kenapa juga dia nanya yang itu??? Nggak ada basabasi yang lain apa?! Bikin malu! Kamu lihat sendiri kan? balasku, mencoba bersikap cool. Aku nggak boleh kelihatan gugup! Dan juga nggak boleh kelihatan malu! Bersikap saja seolah nggak pernah terjadi apa-apa. Aku kan senior, harus jaga image! Tapi aku nggak tahu kronologisnya Kok bisa jatuh? tanya anak itu lagi. Bahasanya! Pakai istilah kronologis segala, memangnya berita kriminal?! Sebenarnya anak ini mau ramah-tamah, apa mau ngeledek sih?! Cakep cakep tapi nyebelin juga jadinya! Kemarin ketemu sama adikku ya? tanyaku, dengan cuek langsung mengalihkan pembicaraan. Ya, itu lebih penting buat segera diklarifikasi. Iya. Waktu Kak Dimas nabrak aku, Kak Denis juga ada kan Nggak disangka ketemu lagi waktu di ruang BP kemarin. Ngobrol-ngobrol lah jadinya sahut Fandy. Kayaknya bukan aku yang nabrak, tapi kamu yang nabrak kelitku, nggak mau diposisikan sebagai pihak yang salah. Padahal waktu itu jelas-jelas memang mataku yang nggak awas. Sekali lagi, jaga image!

Iya, iya aku yang nabrak ucap Fandy, seolah-olah dia sengaja mengalah. Kurang ajar, dalam hati dia pasti sedang ngeledek aku nih! Siapa yang ngajak ngobrol, Denis apa kamu? tanyaku dengan cuek. Aku sih Terus terang aku penasaran, soalnya mukanya Kak Dimas dan Kak Denis mirip banget. Setelah ngobrol-ngobrol, ternyata benar dugaanku sodara kembar ungkap Fandy dengan senyum terkesan. Cara ngomong Fandy seperti orang yang sudah kenal baik. Aku menggaruk kepalaku dan berpikir-pikir. Sikap sok akrab itu bagus apa jelek sih? Terus, kalau aku jaim gini itu juga bagus apa jelek? Aku kan seniornya dan belum kenal sama dia? Gimana ya enaknya? Kamu ingat ya sama mukaku, sampai-sampai bisa langsung ngebandingin sama mukanya Denis? Aku aja nggak gitu ingat sama muka kamu? balasku masih pura-pura cuek. Padahal sudah jelas, sebenarnya aku sangat penasaran sama anak ini! Menurut Kak Dimas, lebih gampang mengingat yang mana: orang yang nolong, atau orang yang ditolong? balas Fandy, malah ngasih teka-teki. Menarik juga sih Mungkin orang yang merasa pernah ditolong, lebih mengingat wajah penolongnya Tapi itu relatif lah, tergantung orangnya juga! jawabku santai. Lagian aku pernah nolong kamu? Fandy tersenyum mengatupkan bibirnya yang merah dan kelihatan lembut itu. Aku tahu kok, yang nelpon Kak Erik waktu itu Kak Dimas kan? Soalnya aku lihat, pas Kak Erik ngangkat HP, Kak Dimas juga lagi ngangkat HP sambil lihat ke Kak Erik. Habis itu, kelompokku nggak jadi dihukum. Pasti Kak Dimas yang nyuruh kan? terkanya gamblang. Ahhh Fandy Aku nggak nyangka dia bisa berpikir sampai ke situ. Anak ini rasanya makin menarik! Aku makin ingin tahu

Hmmm Soalnya aku udah nabrak sampai kertasmu berantakan gitu, nggak tega aja waktu Erik mau menghukum kamu Makanya aku bilang ke Erik. Sebenarnya sekalian buat ngerjain dia juga sih gumamku, setengah membayangkan kejadian itu lagi. Lhohh? Tadi Kak Dimas ngotot, katanya aku yang nabrak Kok sekarang malah ngaku sendiri kalo Kak Dimas yang nabrak aku? cetus Fandy. Hahhh? Barusan aku bilang gitu ya? ucapku langsung jadi bengong sendiri. Gimana sih? Nggak ingat sama omongan sendiri? O my God! Kena mantra apa aku, sampai ngomongku jadi jujur gini? Gagal jaga image nih? Dimas, kau benar-benar payah!!! Tapi Pokoknya makasih lah, udah nolongin kelompokku ucap Fandy dengan senyum cerah. Damn! Anak ini memang friendly! Dengan wajah kalemnya yang manis itu, sifat ramahnya terpancar seperti tanpa beban. Hangat. Membuatku merasa nyaman tiap kali melihatnya Apalagi kalau sudah tersenyum seperti itu! Wajahnya cuma bernilai 7 kalau dibanding Erik yang aku kasih nilai 9. Tapi senyum Fandy itu dengan bibir merahnya yang kelihatan lembut, dengan wajahnya yang segar dan matanya yang cerah auranya terasa menyenangkan mendongkrak nilainya jadi 7,5! Atau 8 deh Eh, nggak 8,5! Fixed. Inner handsome. Aku rasa itulah yang benar-benar telah menarikku! Kok kamu ada di BP waktu Denis disetrap? Kamu juga disetrap? tanyaku, mulai mencairkan kekakuanku.

Iya. Ikat pinggangku warnanya salah jawab Fandy lugu. Ooo Ngobrol apa aja sama Denis? Cuma ngobrol soal yang kemarin itu kok, waktu Kak Dimas nabrak aku itu Denis nyebelin nggak anaknya? Nggak, dia asyik kok. Lucu orangnya. Biasanya orang disetrap gitu kan bawaannya diam, minder Tapi dia malah ngajak ngobrol terus. Sampai-sampai guru BP-nya juga dibecandain cerita Fandy sambil tersenyum lebar. Tapi Kak Dimas kayaknya lebih kalem ya? Kurang ajar! Ternyata ujung-ujungnya ngebandingin aku sama Denis, di depanku langsung lagi! Tapi nggak apa-apa, dibilang lebih kalem aku anggap pujian aja. Kalem kan bukan berarti lebih jelek! Mungkin aku memang harus lebih hangat kalau ngobrol, nggak soal jaga image aja yang dipikirin By the way, kemarin kok pakai salam-salaman segala sih? tiba-tiba aku mengungkit soal itu, seperti tanpa memikirkannya lebih dulu Fandy menatapku dengan mimik bingung. Salam apaan? dia balik bertanya. Kemarin Denis bilang ke aku, katanya kamu nitip salam? jelasku agak ragu. Aku kok sekarang jadi deg-degan gini?!! Perasaanku nggak enak! Salam apaan ya? Aku nggak ngirim salam apa-apa tuh? Fandy geleng-geleng kepala dengan sorot mata bingung. Tengkukku mulai dingin. Tapi kok kemarin Denis bilang, katanya kamu nitip salam buat aku? Lhohhh? Nggak Beneran! Kemarin aku sama Kak Denis cuma cerita-cerita aja kok, nggak ada salam-salaman ucap Fandy dengan mengernyitkan kening.

Keringatku dingin tapi darahku mulai mendidih! Berarti DENIS NGERJAIN AKU!!! KURANG AJAARRRRR!!! Aku sudah telanjur nanya ke Fandy!!! Mau ditaruh di mana nih mukaku sekarang?!! Kenapa, Kak? Kok kayaknya gimana gitu? Nggak apa-apa kan? Fandy menatapku dengan raut agak rikuh. Nggak, nggak apa-apa kok jawabku, kata-kataku hampir nggak bisa keluar. Ya Tuhan Semoga Fandy nggak menganggapku ke-geer-an! Jelas saja aku malu sama dia dan juga sama diriku sendiri! Tadi aja sok jaim, nggak tahunya sekarang Anjriiittttt!!! Benar-benar geregetan setengah mati sama Denis, rasanya pingin nginjak-injak si Monyong itu!!! Memangnya salam apaan sih? tanya Fandy, dengan mimik penasaran. Si Denis tuh Dia bilang katanya kamu nitip salam buat aku! Salam kenal ucapku lesu. Oohhh Buat becanda kali? sahut Fandy. Dia sedikit tersipu. Ya, pasti memang nggak enak juga buat dia, dituduh ngirim salam ke orang! Sesama cowok lagi! Becandanya kelewatan. Orang nggak kirim salam dibilang kirim salam Bikin bingung aja! aku bersungut-sungut sendiri, menutupi malu. Ya namanya aja becanda, nggak usah diseriusin gumam Fandy ringan. Lagian, kalo salam kenal ya nggak papa lah Aku kan udah kenalan sama Kak Denis, mungkin maksud dia biar aku juga kenalan sama Kak Dimas Kita kan jadi punya bahan buat ngobrol, seperti sekarang

Iya ya Jadi dapat bahan buat ngobrol, selain kejadian nyungsep di semak-semak ucapku, menyindir diri sendiri. Yaahhh Memang aku benarbenar konyol hari ini! Fandy cuma ketawa. Manis. Tapi aku menggumam lagi dengan sangsi. Kalau dipikir-pikir lagi sih, yang nyamperin aku duluan kan kamu? Jangan-jangan sebenarnya kamu memang ngirim salam, tapi nggak mau ngaku? aku mulai menyelidik dan menatap Fandy dengan curiga. Fandy langsung kelihatan gugup. Ahhh? Nggak kok! Kak Dimas kok malah nuduh aku gitu? Ngaku aja lah! aku mulai menyudutkannya dengan sikap jengah. Fandy terdiam. Raut gundah langsung menguasai wajahnya. Dia tersenyum kecut. Jujur aja, aku memang mau berteman tapi sumpah aku nggak pernah nitip salam apa-apa ucapnya masam. Aku diam memalingkan mukaku. Tanpa mengulangi ucapanku, aku tetap bersikukuh bahwa Fandy sebaiknya mengaku saja kalau dia memang mengirim salam untukku! Yaa kalo Kak Dimas nggak percaya ya udah gumam Fandy kikuk. Kak Dimas marah? Aku tetap diam tak menjawab. Dan aku tahu dengan jelas gelagat Fandy yang jadi kikuk dan salah tingkah. Jadi gelisah menghadapiku. Beberapa saat lamanya kami cuma saling membisu. Emmhhh Gimana yahh? Ya udah lah Maaf kalo udah ganggu Kak Dimas ujar Fandy dengan senyum kecut. Lalu pelan-pelan dia mulai berdiri. Mau pergi

Hyaaaa! Kenaaaa!!! Hahahaha aku langsung tertawa keras sambil menarik tangan Fandy untuk duduk lagi. Becanda! Duduk lagi dong, gitu aja ngambeg! Kak Dimas yang ngambeg! Dasar! sentak Fandy dengan muka tersipu merah. Lucu jadinya! Hahahaha Mau temenan kok gitu aja nyerah?!! Yang pede dong! selorohku sambil menepuk-nepuk pundak Fandy, masih tertawa-tawa. Akhirnya aku bisa ngerjain anak ini! Masih MOS nih, apa-apa kalo ada yang salah selalu yunior yang kena sasaran! gerutu Fandy kelihatan jengkel sekaligus malu. Iya, iya! Aku cuma ngetes kok Sebenarnya aku salut sama kamu! Biasanya selama MOS itu anak-anak kelas satu masih pada minder, apalagi sama senior. Tapi kamu berani nyamperin aku. Paling enggak kamu lebih pede dibanding yang lain! Aku kan udah kenal Kak Denis, nggak ada salahnya kan aku kenal Kak Dimas juga?! Iya, nggak salah. Aku juga senang kok dapat teman. Makanya nyantai aja! selorohku dengan senyum geli yang masih tersisa di bibirku. Fandy masih tampak kesal gara-gara aku kerjain. Ya ampun Dia malah kelihatan tambah cute Soal salam palsu hasil karangan Denis itu memang awal dari rasa penasaranku pada Fandy, tapi sekarang soal salam itu rasanya memang nggak penting lagi. Berkenalan dengan anak kelas satu yang cakep dan friendly ini, apa ruginya? Kak Dimas akrab sama Kak Erik ya? tiba-tiba Fandy melontarkan pertanyaan yang cukup mengejutkanku

Erik??? Huhhhh Aku jadi agak kurang enak sekarang Ngapain dia tanya soal hubunganku sama Erik? Yaa Biasa aja. Kenapa? aku balik bertanya dengan agak enggan. Nggak kayaknya Kak Dimas akrab aja sama Kak Erik. Kalo nggak akrab, nggak mungkin kan telpon-telponan waktu Kak Erik lagi tugas kemarin? Lagian Kak Erik kan orangnya galak, kalo nggak kenal baik nggak mungkin Kak Erik nurut gitu aja sama Kak Dimas Hmmm Soal galak, ya memang benar Erik itu galak. Tepatnya sengak! Tapi kalau soal nurut Wooowwww!!! Erik NURUT sama aku?!! Hihihi Jadi ngebayangin kalau Erik nurut sama aku Aku teriak, Erik, bikinin maem! dan Erik pun nurut. Erik, bikinin mimik! dia juga nurut. Erik, lantainya disapu! dia nurut lagi. Erik, cepetan mandi! dan dia pun berangkat mandi. Terus Erik, aku ikut mandi! Hiyahahahaha!!! Eissss!!! Pikiranku kok jadi lebay gini sih?! Sempat-sempatnya aku masih ngebayangin Erik?!! Gini nih kalau ada yang ngungkit-ungkit, jadi kebayang lagi! Padahal sudah saatnya masa lalu itu kulupakan! Sebenarnya senior-senior yang galak itu cuma pura-pura aja kok. Kalo nggak akting galak gitu, nanti malah diremehkan yunior. Habis MOS nanti pasti keliatan kok, kalo mereka itu sebenarnya baik-baik jelasku, kembali ke jalur pembicaraan. Kak Erik jadi favorit lho di kelasku! celetuk Fandy. Nggak heran gumamku datar. Kamu ngefans sama dia? pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutku.

Yaa dibanding senior yang lain, aku lebih suka dia gumam Fandy. Aku mengangguk-angguk pelan. Hmmm Kalo aku juga jadi panitia MOS, kamu pilih aku ato Erik? Eiiitttt!!! Pertanyaanku kok tiba-tiba nekat gitu?!! Ya ampun Itu tadi pertanyaan yang memalukan!!! Fandy langsung memandangiku dengan senyum agak rikuh. Benar-benar, aku kepedean bertanya seperti itu! Fan, nggak usah kamu jawab aja deh, Fan Kak Dimas kayaknya lebih baik orangnya Lucu, ramah, nggak galak celetuk Fandy Haahhh? Pyuuuuurrrrrr!!! Aku langsung melihat malaikat-malaikat kecil

bersayap menari-nari di seputar kepalaku sambil menebarkan bintang kerlapkerlip Lalu bintang-bintang itu jatuh menjadi bunga-bunga di hatiku Kepalaku pun sepertinya mulai membesar Ahahaha Aku lebih baik, aku lebih lucu, aku lebih ramah!!! FANDY MEMILIH AKUUU!!! Tapi kalo senior paling cakep tetep Kak Erik lah, jadi milih dia aja! Ehhh Apa? Byooonggg Kalimat Fandy yang terakhir langsung mengusir malaikatmalaikatku Sekarang rasanya gantian ada kodok sebesar kambing jatuh di kepalaku dan bersendawa keras sekali!!! Bencana harga diriiiiii!!! Ya udah, kalo gitu cari si Erik aja sana, ngobrol aja sama dia! tukasku. Lhoo Kok Kak Dimas ngambeg gitu? Becanda kok seloroh Fandy sambil ketawa. Ya udah aku milih dua-duanya, Kak Dimas sama Kak Erik Adil kan?

Fandy sekarang tambah berani cengengesan, mentang-mentang aku ramah dan baik hati! Dasar! Tapi kok jadi tambah sering ungkit-ungkit soal Erik gini?! Fandy nggak tahu sih, hubunganku dengan Erik seperti apa Hancur! Ehhh Kamu kan cowok, kok idolamu bukan senior yang cewek aja? Kok kayaknya Erik terus yang diomongin? gumamku, lama-lama menangkap gelagat yang agak mencurigakan. Wajah Fandy langsung kelihatan agak bingung. Kalo aku mengidolakan senior cewek, kesannya aku suka cewek yang lebih tua balasnya. Weeee Alasannya masuk akal! Tapi aku kok masih ragu ya? Kamu nggak suka cewek yang lebih tua? Jadi sukanya cowok yang lebih tua? aku memancing lagi, lebih berani. Kok Kak Dimas nyambungnya ke situ? kelit Fandy gugup seperti kena skak. Memang arah pembicaraan kita ke situ kan? Tadi kamu bilang aku lebih baik dari Erik, lebih ramah tapi kamu lebih milih Erik karena dia lebih cakep. Kok kayaknya kamu suka menilai sesama cowok secara fisik gitu? balasku makin menjurus. Aku cuma kagum aja kok. Dia orangnya tegas, disiplin biar galak tapi dia masih termasuk baik orangnya! jawab Fandy memberi alasan. Baik dan cakep kan? Jadi Kak Dimas juga menganggap Kak Erik cakep? Lhooo? Dia malah balik nanya ke aku?! Yaaa Cakep sih jawabku dengan nada santai, meski dalam hati rada maksa.

Jadi buat Kak Dimas sendiri, sah-sah aja kan kalo cowok menilai sesama cowok secara fisik? Kan juga cuma sebatas kagum aja? balas Fandy. Weeee Pintar juga dia bikin manuver perdebatan! Ya boleh-boleh aja akhirnya aku harus mengakui kepandaian Fandy dalam meloloskan diri dari cecaran interogasiku. Lagian aku kan cuma becanda? timpal Fandy lagi. Iya, iya, percaya! sahutku agak geli. Ahhh Dari tadi cuma Erik aja yang diungkit! Saatnya topik yang lain! MOS-nya cuma tiga hari kan? Berarti ini hari terakhir ya? tanyaku, memulai topik pembicaraan yang lain. Iya. Besok udah mulai pelajaran. Besok juga udah nggak pakai seragam SMP lagi, gumam Fandy tampak menyiratkan rasa senang. Aku melihati penampilan Fandy yang masih pakai seragam SMP. Celana pendek warna biru Terbayang pada diriku sendiri waktu dulu juga ikut MOS, malu banget masih pakai celana pendek di lingkungan anak-anak SMA yang celananya panjang. Tapi sekarang, begitu aku merasakan posisi sebagai senior bercelana panjang, aku melihat Fandy yang bercelana pendek itu seperti melihat mahluk manis yang polos, imut, lugu, dan dan Aduhhh Sorry, Fan Aku hampir saja membayangkan yang bukanbukan! Hahaha Mas tiba-tiba ada suara memanggilku. Aku menoleh, dan kulihat Misha yang berdiri di seberang, agak jauh di pinggir koridor ruang kelas Bentar lagi ganti jam pelajaran lho, kamu nggak ganti baju? seru Misha dari tempatnya.

Ooohhh Iya, bentar lagi! balasku. Keasyikan ngobrol jadi lupa sama waktu! Ehh Mis, sini bentar dong! panggilku ke Misha. Misha beranjak dari tempatnya, berjalan menghampiriku. Ada apa? tanyanya. Tolong ambilin foto dari HP-ku bisa? pintaku seraya menyodorkan HPku ke Misha. Mau foto apaan? tanya Misha. Foto aku sama dia nih! jawabku sambil menepuk-nepuk bahu Fandy yang sedang duduk di sampingku. Lho? Buat apaan? Malu ahh Fandy mencoba menolak. Nggak papa, buat kenang-kenangan aja! Nggak, nggak Aku kan masih pakai seragam SMP! Justru itu tujuannya! Besok kamu udah nggak pakai seragam itu lagi! tandasku. Dengan agak ragu, akhirnya Fandy mau juga. Secara terpaksa. Agak jauh dikit, Mis Biar keliatan sampai kaki! aku mengarahkan Misha yang kusuruh mengambil foto. Misha mencari angle, aku sama Fandy duduk manis di atas bangku beton sambil berusaha pasang muka yang kira-kira enak dilihat. Dan nggak lama kemudian Crrkkk Kamera dijepret! Sippp! Thanks ya, Mis! seruku. Misha menyerahkan HP-ku lagi. Dan dengan bersemangat aku langsung melihat hasil fotoku sama Fandy.

Nih, lihat! Bagus kan?! sodorku, ngasih lihat foto itu ke Fandy. Fandy cuma tersenyum saja melihat foto itu. Ya udah. Aku cabut dulu ya, Fan Lain kali kita ngobrol lagi! Iya deh. Aku bentar lagi juga ganti sesi jawab Fandy disertai senyum simpul. Oke! See you next time sahutku. Aku dan Fandy berpisah. Aku melangkah meninggalkan bangku di bawah pohon itu. Mengembalikan gelas sebentar ke kantin dan membayar minumanku. Lalu mulai berjalan ringan menuju ke kelas, bersama Misha. Sesaat aku menoleh lagi ke bangku itu. Fandy masih di sana Dari tempatnya, dia tersenyum padaku. Aku juga membalas senyumnya. Perkenalan yang berkesan Siapa tadi? sambil jalan Misha bertanya. Teman jawabku singkat. Iya tahu, kalo bukan teman masa ngobrol-ngobrol sih? Maksudku dia kan kelas satu, kalian kenal di mana? Misha rupanya bukan penanya yang bodoh. Dia tahu bagaimana seharusnya sebuah pertanyaan dijawab! Dia sepupuku jawabku berbohong. Ooo gumam Misha sambil mengangguk-angguk. Dia cute juga celetuknya. Kamu suka?! tukasku. Nggak ahh Takut rebutan sama sepupunya! cibir Misha sambil tersenyum.

A apaa??? REBUTAN?!!!

KANTONG 9 : Berantem Lagi

Bukkk! Aduh! aku langsung terbangun gelagapan saat sebuah gebukan dijatuhkan ke kepalaku. Setengah sadar, sambil mengucek mata kulihat Denis sedang berdiri di dekat tempat tidurku. Dia pasang muka marah sambil memegang gulingku di tangannya. Lalu guling itu mendarat lagi di kepalaku Bukkk! Apaan sih, Nyet?! Gangguin orang tidur! umpatku kesal. Sialan lu! Itu komputer gue lu kasih apaan?! bentak Denis. Hahh? aku bengong mengingat-ingat. Lalu menguap lebar. Apa sih? Lupa Lu pasang gambar najis tuh di desktop gue! sentak Denis uring-uringan. Aku mengingat-ingat lagi Tadi pulang sekolah, Denis mampir ke rumah temannya, aku pulang sendiri Terus aku ke kamarnya Denis main komputer Ohhh iya! Aku tadi pasang wallpaper gambar om-om telanjang di komputernya Denis Hahaha Baru ingat. Maksud lu apaan?! Untung Papa sama Mama nggak ngecek bisa mampus gue! Denis ngomel sambil melotot. Iseng gumamku sambil menguap lagi. Kelewatan lu isengnya! Mau muntah gue lihatnya! Habisnya kamu usil duluan Gue usil apaan?!! Kurebut gulingku, dan Bukkkk! Ganti kusambitkan ke Denis!

Kemarin kamu bilang Fandy ngasih salam, itu apaan coba? Kamu bohong kan?! Itu nggak usil?! sekarang gantian aku mulai ngomel. Denis langsung bengong. Kenapa bengong?! aku gantian membentak. Lu udah ketemu dia? tanya Denis. Sekarang dia ganti berlagak pilon! Nggak cuma ketemu, aku udah kenalan sama dia! Sampai malu aku sama dia! Kenapa malu? Jelas aja malu, Monyong! Aku tanya ke dia, tapi dia bilang nggak pernah ngirim salam apa-apa! Dia pasti ngira aku kegeeran sama dia! Tiba-tiba Denis malah ketawa sambil nunjuk mukaku Malah ketawa?! seruku gondok, kusambitkan lagi gulingku ke mukanya tapi Denis berhasil menangkap dan merebut gulingku lagi, dan Bukkk! Denis balik menggebukku sambil terbahak-bahak Lu yang konyol! Kenapa juga ditanyain ke dia?! Kalo ada salam tuh dibalas, bukan dibahas! Yang ada malah dianya malu buat ngaku! Payah lu! Hahahaha Denis keluar dari kamarku sambil ketawa cekikikan. Ninggalin aku yang bengong dalam keadaan menahan emosi Nggak habis pikir, dia yang bohong tapi malah ngatain aku payaahhh??? Sudah sampai di ambang pintu, Denis menengok lagi padaku. Tapi gue emang bohong sih, Mas Jadi impas ya! Awas kalo macam-macam lagi sama komputer gue! cetusnya meledekku. Lalu dia menghilang di balik pintu. Kuremas gulingku, kutinju-tinju, kubanting-banting Kesal! Sengit! Ujung-ujungnya bilang impas, padahal udah gebuk-gebuk kepalaku sampai

kebangun gini! Lain kali pasti aku kerjain lagi tuh anak! Nggak urusan sama ancamannya! Aku turun dari tempat tidur. Sekilas melirik jam di meja, waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Waktunya mandi! Aku menuju ke kamar mandi. Aku mau berendam! Kubuka kran bath tube. Kutuangkan sabun ke dalamnya. Begitu air sudah cukup berbusa, segera kulepas semua pakaianku. Dan nyebur! Segeeeeerrrr! Dengan santai aku berbaring tenang di bath tube. Mandi berendam seperti ini akan membuat saraf-saraf jadi rileks, pikiran jadi fresh lagi. Stres pun hilang. Hampir saja aku tertidur lagi Ckreeekkk Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, Denis nyelonong masuk WOOOIIII!!! AKU LAGI MANDI!!! spontan aku berteriak!!! Shock!!! OOOHH!!! Sorry, sorry Gue nggak tahu! Cuma mau ngambil karbol, yang di bawah habis! Denis langsung berjingkat cepat menyambar botol karbol di pojokan, terus ngacir keluar lagi sambil ketawa AAARRGGGHHH!!! Kok aku bisa lupa mengunci pintu sih?!! Fatal!!! Untung saja ada banyak busa yang nutupin area private-ku! Semoga tadi Denis nggak lihat!!! Memalukan!!! BAAAA!!! tiba-tiba kepala Denis nyembul lagi dari balik pintu, nyengir melihatku! Astagaaa!!! NGAPAIN LAGIII?!! teriakku.

Nggak papa Cuma pingin lihat aja celetuk Denis tanpa dosa. KELUAR!!! perintahku makin emosi. Bukannya pergi, Denis malah masuk lagi ke dalam DAMN!!! Kamu mau ngapain?!! aku makin gugup melihat Denis maju mendekatiku. Naluriku makin kacau!!! Serasa aku sedang diincar orang yang mau memperkosaku!!! Mana? Katanya punya elu panjang? Lihat dong cengir Denis tambah jahil. PERGI!!! bentakku makin salah tingkah merapat di bath tube. Kucipratkan air buat mengusir Denis, tapi dia malah ngeledek, menghindar sambil cengengesan Gue foto dulu ya Denis mengeluarkan HP-nya Emosiku mentok. Buntu, nggak bisa memikirkan cara lain lagi buat mengusir Denis, akhirnya tanganku nekat menyambar tangannya Kugeret dia ke bath tube sekalian! Eeeee Mas Mass!!! Denis langsung gelagapan begitu aku nekat menariknya! KITA MANDI BARENG AJA SEKALIAANNN!!! SINIII!!! kukorbankan martabatku, bunuh diri bareng Denis sekalian!!! Byuuuurrrr!!! Pantat Denis nyebur lebih dulu ke dalam bath tube OOOIIII!!! GILA LUUU!!! KAMPRET LUUU!!! Denis meronta sejadi-jadinya. MAMAAAAA DIMAS USIL MAAAAA!!! Nggak usah cengeng! Jadi cowok yang berani tanggung jawabbbb!!! seruku sambil terus menarik Denis ke dalam bath tube

Denis terus melawan sambil teriak-teriak gelagapan. Tapi karena tanganku licin bercampur sabun, Denis berhasil lolos Dia berhasil hengkang dari bath tube, dengan celana dan sebagian bajunya yang sudah basah kuyup. Ngacir tanpa pamit! CEMEEENNN!!! teriakku keras-keras. Akhirnya berhasil juga membuat Denis kabur. Tapi dengan mengorbankan harga diri! Buat bikin dia malu, aku harus berani malu duluan! Sekarang tinggal merasakan sisa-sisa martabatku Bagaimanapun aku sudah kecolongan, mandi digangguin Denis Monyong itu!!! SIALAAAANNNN!!! Kubanting-banting air bath tube sampai menciprat kemana-mana! Aku benar-benar marah!!! Nggak mood lagi buat mandi!!! Ckreekkk Tiba-tiba kepala Denis nongol lagi di pintu Dimas, busanya jangan dipakai buat BLAAKKKKK!!! Botol samphoo setengah liter lebih dulu mendarat keras di pintu! Anak sialan itu langsung ngacir lagi sambil ketawa-ketawa! Air di bath tube rasanya ikut mendidih! Sekali lagi Denis berani nongol, bakal kukejar dia sampai ketangkap!!! Terus akan ku akan kuu AAARRRRGGGGHHHHH!!! AKU BENCI SODARA KEMBARKUUUU!!!

KANTONG 10 : Makan Malam

Belum waktunya tidur. Tapi aku nggak ada ide apa-apa lagi malam ini selain mendekam di kasur. Nggak ada mood buat ngelakuin yang lain. Gara-gara berantem sama Denis, gara-gara lupa ngunci kamar mandi, gara-gara dipermalukan! Pintu kamarku pelan-pelan terbuka. Ada yang masuk ke kamarku, mengendap-endap. Lalu dia duduk di tepi tempat tidurku. Aku tahu, tapi aku nggak menggubris! Mas Aku tetap diam. Mas Marah ya? Setelah dia bikin aku malu sama Fandy, setelah dia mengganggu tidurku hari ini, setelah dengan santainya dia menerobos privasiku di kamar mandi Apa pertanyaannya itu masih perlu kujawab?! Nggak punya perasaan!!! Elu masih marah, Mas? Kalau aku udah nggak marah, pastinya aku udah jawab dari tadi! Punya hati nggak sih?!! Lama-lama aku malah jadi tambah marah! Maafin gue dong, Mas Denis mulai merajuk. Aku tetap diam, meringkuk tanpa menggubris. Kurapatkan selimutku, makin kupeluk gulingku. Dan Sial!!! Denis malah ikut tiduran di sampingku! Dia menaruh kepalanya di punggungku ANAK INI MAUNYA APA SIHHH?!! Aku harus apakan dia?!! Iya, gue emang jahil. Gue tuh bukannya nggak nyadar kalo lu sering sebel sama gue. Gue tahu! Tapi gue tetep aja pingin jahil, pingin ngerjain,

becandain Gimana lagi, sodara gue cuma elu Kalo gue musti peluk ato cium elu, ntar lu bilang lebay terus terang buat gue juga lebay sih Jadi ya gini cara gue perlakukan elu, jahil, usil itu karena gue senang punya sodara kayak elu Denis malah curhat Lebay! dengusku spontan. Bagian mana yang lebay? Kata-kata gue ya? gumam Denis. Biarin. Yang penting lu maafin gue Nggak gampang maafin kamu! Yang mana yang paling susah? Waktu gue masuk kamar mandi? Aku diam. Denis lalu bergerak turun dari tempat tidurku Ya udah, gue tebus deh. Lu marah karena gue lihat lu lagi mandi kan? ujar Denis tanpa aku melihatnya. Sekarang gantian lu boleh lihat gue Nih gue lepasin baju sama celana gue! Prukkk Dua onggok pakaian jatuh di hadapanku Aku ternganga kaget dan gugup seketika! Denis benar-benar melakukannya??? Telanjang??? Dan Bwekkk Gue masih pakai baju! Hahaha Denis menjulurkan lidahnya meledekku. Aku gondok menelan kejengkelan! Rupanya Denis masih pakai kaos rangkapan dan celana pendek! Kemakan lagi sama tipuannya!!! Pokkkk! Kulemparkan pakaian Denis ke mukanya! Lagian aku nggak napsu lihat kamu! tukasku ketus. Berharap Denis jadi ekshibitionis di depanku? Moralku udah sekarat apa?! Spontan aku langsung bangun dan menoleh

Iya, iya, gue percaya lu kakak yang baik Lu nggak mungkin napsu sama gue lah! Maafin gue ya Denis langsung merajuk lagi dengan lebay, sambil memakai pakaiannya lagi. Ada syaratnya! Apa syaratnya? Aku diam sebentar menatap Denis yang manyun. Lalu kujatuhkan lagi kepalaku di bantal, tiduran lagi. Beliin nasi goreng Aku lapar! cetusku sambil memeluk gulingku. Hahh..? Denis masih nggak tanggap. Masih bengong?! Cepat pergi sana, beli nasgor! Yang pedes! Nggak pakai pete! Nggak pakai jeroan! sentakku galak, bak tuan yang lagi nyuruh pembantu, pakai tuding jari ke arah pintu. Huhhh Syarat lu lebay juga jadinya gerutu Denis sambil beranjak dari kamarku. Nggak pakai komentar! seruku dari balik guling. Lalu aku pun sendirian lagi di kamar Hmmhhh Dalam hati sebenarnya masih dongkol. Tapi entah kenapa aku akhirnya luluh juga sama Denis! Apa dasarnya aku ini memang nggak tegaan? Gampang marah tapi juga gampang kasihan. Lagian, yaahhh memang beginilah aku sama Denis. Ada aja bahan buat berantem. Tapi akhirnya selalu baikan. Memangnya harus gimana lagi? Beberapa waktu, melewati menit-menit yang sunyi di kamar. Lama-lama penat juga. Aku bangun lagi, beranjak keluar dari kamarku. Turun ke lantai bawah, menyadari betapa sepinya rumah ini. Papa belum pulang. Mama?

Mama ke mana sih, Bik? tanyaku ke Bik Marni yang sedang menutup jendela ruang depan. Katanya tadi arisan Mas Dimas, sudah dari tadi. Paling sebentar lagi pulang sahut Bik Marni. Lho? Terus itu yang di dapur siapa? tanyaku saat mataku melirik ke arah dapur dan kayaknya di sana ada orang Yang di dapur Mas Denis jawab Bik Marni. Lho? Denis? Kan tadi dia kusuruh beli nasi goreng? Sudah balik ya? Dengan penasaran segera kuarahkan langkahku ke dapur, dan ternyata Denis memang ada di situ. Dengan celemek di bajunya Mana nasi gorengnya? tagihku. Ini baru mau bikin jawab Denis sambil sibuk nguleg bumbu. Lhoo? Aku kan nyuruh beli? Mending bikin sendiri. Nasi goreng sih gampang bikinnya! jawab Denis santai. Gampangnya sih gampang, tapi belum tentu enak! tukasku. Sok jago amat masak sendiri?! Ya ntar lu cobain sendiri aja rasanya! Tiba-tiba Mama nongol masuk ke dapur dan langsung berseloroh, Wah wah Ini pada ngapain sibuk di dapur? Bikin nasi goreng jawab Denis. Nasi goreng? Kamu bisa ya? Aaaa Iya ya, Si Hilda kan jago masak! cetus Mama, takjub memandangi Denis yang lagi sibuk.

Ahhh, iya! Aku juga baru ingat! Tante Hilda kan pengusaha katering, pasti pintar masak lah! Masuk akal kalau Denis bisa masak juga. Tapi Masa sih, Denis yang rada urakan gini mau belajar memasak? Dimas nggak bantuin? lontar Mama padaku. Aku kan nggak bisa masak! kilahku enteng. Lagian, kan Denis bikin nasi goreng buat menebus kesalahannya padaku? Ngapain aku harus ikut repot bikin nasi gorengnya?! Mama melepas tas yang dari tadi dia jinjing, meletakkannya di meja. Terus menggulung ujung lengan bajunya agak ke atas. Sini, Mama bantuin ya! Ini nasinya ditambahin, biar Papa nanti kebagian! Pasti senang tuh Papa! Mama langsung semangat berpartisipasi di acara masak-memasaknya Denis. Dimas ambil sosis di kulkas, tadi pagi Mama habis belanja tuh! Nah kan! Aku jadi kecipratan disuruh-suruh juga! Gini nih kalau Mama udah ikutan! Huuhhh Jadinya ini malah bukan hukuman buat Denis, tapi acara masak-memasak keluarga! Dimas, itu sosisnya dipotongin! perintah Mama. Aku nurut dengan malas-malasan. Kurajang sosisnya jadi potongan kecilkecil. Iya, Dimas bagian sosisnya aja Dia kan suka sosis ya, Ma? celetuk Denis sambil meringis meledekku. Kurang ajar!!! Aku tahu, sosis yang dia maksud itu pasti maksudnya sosis dalam tanda kutip tuh!!! Sengaja mau ngerjain aku lagi tuh anak!!! Iya, si Dimas suka sosis tuh Mama menimpali DEG! Jantungku langsung tercekat mendengar komentar Mama Apa maksud Mama sosis dalam tanda kutip juga??? Kulihat Denis tambah

meringis cekikikan di belakang Mama. Sialan tuh anak!!! Kuacungkan kepalan tanganku padanya. Andai nggak ada Mama di sini, pasti sudah kujejalkan semua sosis ini ke mulutnya! Kemarin sosis baru dua hari Mama beli tiba-tiba habis, dihabisin sama Dimas! imbuh Mama sambil mengaduk bumbu di wajan. Lalu Mama menoleh sekilas padaku dengan mimik judes. Itu Mama baru beli lagi sosisnya, jangan dihabisin! Buat persedian lauk tuh! Oooo Syukurlah, sosis yang dibahas Mama ternyata bukan sosis dalam tanda kutip! Tapi sosis beneran! Tandanya Mama nggak curiga apa-apa soal selentingan Denis tadi! Sreeeeng! Mama menuangkan sambal ke wajan. Baunya langsung menggelitiki hidung, bikin bersin-bersin. Denis mengaduk-aduk sambalnya sebentar, lalu Mama memecah empat biji telur, ditumpahkan ke wajan. Dimas, nasinya Mama ngasih komando lagi. Kucurahkan nasinya ke wajan. Mama mengaduk-aduk. Denis nambahin kecap sama saus tomat, dan juga garam sama lada. Baunya mulai hmmmm sedap! Sosisnya ya! aku mulai berinisiatif sendiri tanpa menunggu perintah Mama. Kutuangkan sosis ke dalam wajan. Nasi diaduk lagi, bareng sama sosisnya Baunya sedap nihh! decak Mama. Coba nyicip sahut Denis. Denis dan Mama menyolek sedikit nasi goreng yang hampir jadi. Aku juga ikut mengambil sedikit. Nyicip rasanya

Hmmm Enak juga! Aku pernah makan yang lebih enak sih, tapi ini juga termasuk enak lah komentarku, sebuah pujian. Jujur, memang enak sih Nggak nyangka Denis bisa bikin nasi goreng beneran, nggak cuma bisa-bisaan! Pinter juga Denis bikin bumbunya! Masih enakan ini lah dibanding bikinan Bik Marni! Mama ikut memuji dengan bangga. Kayaknya buat urusan masak di rumah, mending Denis aja, Ma Bik Marni buat urusan bersih-bersih aja celetukku. Enak aja! Emang berani bayar berapa? tukas Denis. Ide bagus tuh! Mama langsung nimbrung. Nanti kalo Denis capek kan Dimas yang bagian mijitin Nah, itu baru adil! Berarti ntar malam lu musti mijitin gue, Mas! Keenakan Mama dong! Mama kebagian kerja apaan di rumah?! aku ganti menyerang Mama. Eeee Berani nyerang Mama! Memangnya siapa yang beliin kalian baju, celana, pulsa?! Mama langsung ngoceh. Itu kan udah tanggung jawab orang tua celetukku enteng bak tanpa dosa. Hehehe Udah tuh nasinya cepetan diangkat! Gosong ntar! sela Denis, balik lagi ke nasi goreng. Nasi goreng diangkat dari atas kompor, lalu ditaruh di piring besar. Aromanya menyeruak sedap. Nyammm Perutku tambah lapar rasanya! Bik Marni kasih bagian juga, biar sekalian belajar bikin nasi goreng yang enak! seloroh Mama sambil menciduk nasi goreng, dan menaruhnya di piring tersendiri. Sambil menenteng lodong kerupuk Mama cuap-cuap memanggil Bik Marni. Bik, tolong bantuin nyiapin piring-piring!

Meja makan pun segera ditata. Piring, gelas, sendok, garpu, air putih, dan tentu saja menu utamanya, nasi goreng! Semua selesai disiapkan di atas meja. Dan nggak jeda lama, suara mobil Papa terdengar memasuki halaman. Waahhhh Pas banget! Aku sama Denis sudah duduk duluan di ruang makan. Mama nungguin Papa di depan pintu. Cepetan Pa, udah ditungguin tuh! sambut Mama sambil menarik tangan Papa masuk ke rumah. Ihh, jadi kayak anak kecil gitu Mama, gayanya manja banget! Begitu melihat ruang makan, Papa langsung tercengang. Surprise! Wah, ada apa nih? Pesta ya? decak Papa agak terbengong-bengong. Denis yang bikin nasi gorengnya, Pa! cetus Mama penuh semangat. Bukan kok, yang bikin bertiga! Mama sama Dimas kan juga ikut bikin! sahut Denis. Waaahhhh Kok tumben banget? Apa ada yang ulang tahun sih, Ma? Kayaknya nggak ada kan? decak Papa masih terheran-heran. Nggak ada. Ya nggak tahu deh, tuh anak-anak bisa aja pada bikin acara masak-masakan kayak gini sahut Mama sambil cekikikan. Semua duduk menghadapi meja makan. Mama menciduk nasi goreng buat Papa, lalu mengambil jatahnya sendiri juga. Denis juga mengambil bagiannya. Dimas, kenapa bengong? Cepetan ambil! Denis memecah keheninganku yang dari tadi cuma bengong meresapi suasana di meja makan ini. Kok malah melamun? timpal Papa. Nggak apa-apa kok. Cuma Ternyata asyik ya kalo bisa makan-makan bareng gini Padahal ini bukan hari istimewa gumamku pelan.

Sebenarnya aku terharu. Papa, Mama, dan Denis menatapku. Sejenak suasana jadi hening Bukan hari istimewa sih gumam Denis pelan. Tapi nasi gorengnya sebenarnya istimewa buat Dimas Buat Dimas? sahut Mama agak heran. Iya. Tadi Denis bikin salah sama Dimas Makanya, nasi goreng ini sebenarnya buat minta maaf sama Dimas Nggak tahunya malah Mama sama Dimas sendiri ikutan masak ucap Denis agak malu. Papa sama Mama terpana. Aku juga Sodara berantem itu biasa. Biasanya nggak perlu minta maaf juga baikan sendiri. Papa baru tahu, kalo anak-anak Papa mau baikan aja musti bikin nasi goreng Tapi justru itu kan, yang bikin kita bisa makan bareng? sindir Papa. Mama tersenyum rapat. Pokoknya terserah kalo kalian sukanya berantem, Mama udah capek nasehatin! Berantem boleh deh, asal jangan musuhan! Sebenarnya nggak usah pakai acara maaf-maafan, besok juga aku sama dia udah baikan sendiri! sahutku sambil garuk-garuk kepala. Udah ah! Mau dingin nih nasinya! lanjutku sambil menciduk nasi goreng bagianku. Akhirnya, malam ini kami sekeluarga makan bersama. Papa, Mama, Denis, dan aku Makan malam adalah hal kecil yang menyenangkan. Keluarga, adalah hal yang lebih besar dan menurutku, di situlah maknanya. Hal yang kecil sekalipun akan terasa indah, kalau itu dibagikan di tengah hangatnya sebuah keluarga. Thank God for my family. I love them all

Malam ini kayaknya aku akan tidur sangat lelap. Udah nggak ada beban lagi yang mengganggu kepalaku. Lega dan ringan. Kuatur bantalku, lalu segera berbaring. Damai Ckrekkk Tiba-tiba pintu kamarku terbuka lagi dan Denis masuk dengan muka merah padam Sialan lu!!! Denis marah-marah lagi! Kenapa sih? lontarku santai. Denis menyodorkan HP-nya ke mukaku. Aku melotot memandangi layar HP-nya, lalu ketawa keras-keras melihat wallpaper bergambar cowok telanjang Hahaha Tadi waktu kamu cuci piring, HP-mu ketinggalan di meja makan sih balasku tanpa rasa bersalah. Arrgggghhhh!!! Denis murka. Dia naik ke kasurku dan langsung menggebukiku dengan guling! Nggak jadi tidur nyenyak. KAMI BERANTEM LAGI!

KANTONG 11 : Becak

Hari baru lagi. Berangkat sekolah lagi Cepetan, Den! seruku ke Denis. Seperti biasa, berangkat sekolah boncengan sama dia. Sabar kenapa? Nggak kesiangan juga sahut Denis sambil duduk di boncengan. Begitu siap, tancap gas. Motorku turun ke jalan, meluncur menembus gang-gang di antara perumahan. Menuju ke sekolah! Tadi sempat hujan. Udara basah, becek, dan dingin. Denis merapatkan tangannya ke punggungku, kurasakan tangannya menggigil. Dia aja kedinginan, apalagi aku! Posisi di depan jadi tadah angin, yang aku rasakan jelas lebih dingin! Lewat di jalan raya yang lebar bawaannya jadi pingin ngebut, tapi otomatis anginnya jadi tambah kencang juga. Kalau jalan pelan, bisa bikin ribet kendaraan yang lain Serba salah, belok saja masuk jalan kampung! Lewat kampung mau nggak mau jalannya agak pelan. Mending nyantai, yang penting nyampai! Psssstttt Tiba-tiba motorku terasa oleng dan berat jalannya Aduhhh Bocor nih kayaknya! seruku agak panik. Langsung kuhentikan motorku. Yahhh Bener, ban depan kempes abis tuh sahut Denis saat dia turun dari boncengan dan melongok ban motorku. Mampus!!! umpatku shock. Selama beberapa saat, aku sama Denis cuma bisa bengong menghadapi ban motor yang kempes Nggak pas banget, mau berangkat sekolah malah kena sial gini!

Gimana nih? desahku bingung. Aku celingukan, lalu melihat ada tanda yang agak jauh di depan, agak tertutupi tanaman. Itu di sana kayaknya ada tukang tambal? tunjukku. Ya udah, lihat aja dulu cetus Denis. Kutuntun motorku menuju ke tempat itu, yang sepertinya kios tambal ban. Dan ternyata ahhh syukurlah! Itu memang kios tambal ban! Jadi sedikit lebih lega Pak Tukang Tambal masih ngantuk-ngantuk melihatku, malas-malasan di kursi panjang sambil mendekap sarung. Udah buka belum, Pak? tanyaku ke Pak Tukang Tambal itu dengan harap-harap cemas. Pak Tukang itu tersenyum nyengir, pamer gigi peraknya dua biji. Sebenarnya ya belum! Tapi ndak papa lah Pagi-pagi gerak badan! Mana yang bocor? ujarnya sambil turun dari kursinya. Tapi bisa cepetan nggak, Pak? Mau ke sekolah nih! desakku. Ya setengah jam lah kira-kira. Jangan dicepet-cepetin, tambalannya malah nggak jadi nanti! sahut Pak Tukang. Setengah jam?! Mampus!!! Bisa telat sampai sekolah nih! Tapi mau gimana lagi? Kalau nggak ditambal juga nggak mungkin sampai ke sekolah?! Aku garuk-garuk kepala, bingung. Gimana nih, Den? aku nengok ke Denis minta pertimbangan, tapi Lho? Mana Denis? Nggak tahunya, ada becak jalan ke arahku. Dan Denis udah cengar-cengir duduk di dalam becak itu What?!!

Udah, tinggal aja motornya! Pasti lama kalo nambal. Naik becak aja! seru Denis dari dalam becak. Aku masih terbengong-bengong Udah naik sini! Motornya diambil ntar siang aja! tukas Denis lagi. Aku masih ragu dengan solusi alternatif ini, tapi Ya udah, Pak, motornya aku tinggal aja. Nanti habis sekolah aku ambil, bisa kan? tanyaku ke Pak Tukang Tambal. Bisa, bisa. Kuncinya dibawa aja, sahut Pak Tukang. Kucabut kunci motorku yang masih nyantol di motor. Ya udah, Pak, makasih ya sahutku ke Pak Tukang. Mengejar waktu, nggak bisa lama-lama lagi! Aku segera bergabung dengan Denis Naik becak! Aku jarang banget naik becak. Ya iya lah! Secara aku anak cowok, udah gede, lucu kalau pakai becak-becakan! Ini aja kalau nggak terpaksa nggak mungkin aku mau naik becak! Kebayang, bakal malu sampai di sekolah nanti! Dua cowok kembar naik becak ke sekolah nggak banget! Tapi gimana lagi, kayaknya memang ini solusi terbaik. Nggak ada angkot yang lewat kampung ini, dan posisi kami juga lumayan jauh dari jalan raya. Ahh, untung becak ini juga nggak lelet jalannya. Dan lama-lama, aku juga mulai menemukan sensasi tersendiri Melewati suasana kampung yang mulai ramai dengan aktivitas pagi: orang-orang jogging, menyapu halaman, belanja di warung, anak-anak yang mau berangkat ke sekolah menyatu jadi nuansa tersendiri yang perlahan-lahan mulai kunikmati dari atas becak ini Rasanya, jadi lebih hidup aja pagi ini. Aku juga jadi ingat sama masa kecil, waktu masih belum ada malunya buat naik becak. Sekarang udah gede gini, akhirnya malah jadi nostalgia

Jadi ingat sama jaman kecil ya, Mas? celetuk Denis. Nyambung aja sama yang aku rasakan! Kamu nggak malu kalo nanti dilihat teman-teman? Ngapain malu? Malah bisa buat gaya! Sekali-sekali tampil beda dong! sahut Denis santai. Lain kali kenapa nggak ke pasar aja sekalian, belanja sayur, alat dapur? celetukku asal. Gila lu. Pergi aja sendiri! Lama-lama memang geli sendiri naik becak berdua sama sodara kembar gini. Hihihi Kukeluarkan HP-ku, memutar sebuah mp3: Becak Fantasy-nya Jubing. Finaly, funny morning! Hahaha 8) Mas, coba lihat ke belakang deh Mas! bisik Denis. Kenapa? Lihat aja deh! Aku pun melongok ke belakang. Dan Pemandangan utama di belakang adalah: selangkangan Mas Tukang Becak!!! Jendolan di balik celana cekak dan bergoyang di atas sadel!!! Suka, Mas? celetuk Denis. Sialan!!! aku langsung menjitak Denis. Pagi-pagi udah jorok! Denis cekikikan. Becak sudah keluar dari kampung. Sekarang mulai melintasi jalan yang lebih besar, jalan kota yang lebih ramai. Kendaraan, anak-anak sekolah, semua lebih ramai. Sebenarnya kalau mau lebih cepat bisa turun di sini terus naik angkot. Tapi nanggung juga. Sudah lebih dari separuh perjalanan. Mending diterusin aja

naik becaknya. Lagian juga telanjur asyik, suasana pagi kota Solo jadi lebih eksotis! Eehhh Lihat tuh! tiba-tiba Denis menunjuk ke trotoar. Aku melihat yang ditunjuk Denis anak berseragam SMA yang lagi jalan kaki di trotoar. Dan mataku pun langsung berbinar!!! Anak itu? Berhenti, berhenti dulu, Bang! seru Denis ke Mas Tukang Becak. Becak pun berhenti. Ngapain, Den? aku ragu Fan Fandy! Woi, sini bareng kita aja! seru Denis dari dalam becak. My GOD!!! Aku sudah menduga! Fandy bengong waktu melihat kami. Jelas aja surprise melihat cowok kembar di dalam becak! Aku sendiri agak sungkan dengan ide Denis, tapi Sini gabung! Daripada jalan kaki! ajak Denis lagi. Tampak ragu, akhirnya Fandy beranjak juga menghampiri kami. Kok naik becak? tanyanya dengan senyum terheran-heran. Udah sini naik! Cepetan! paksa Denis. Akhirnya daripada ikut bengong, kutarik sekalian tangan Fandy yang masih ragu. Sini! Threesome! selorohku. Akhirnya Fandy naik juga ke becak, duduk di tengah. Jadi lah sekarang! Satu becak berjubal tiga orang brondong berseragam SMA! Wah Sekarang udah pakai celana panjang nih! godaku ke Fandy. Jadi makin cakep si Fandy ini! Senyum Fandy sedikit tersipu. Kok naik becak sih? dia bertanya -tanya lagi.

Ban motorku bocor. Kamu sendiri ngapain jalan kaki? balasku. Biasanya juga jalan kaki. Nggak terlalu jauh kok dari rumah ke sekolah ujar Fandy. Wajahnya kelihatan masih agak sungkan dan malu, duduk bertiga di dalam becak seperti ini. Memangnya rumahmu daerah mana? tanyaku cuek. Masih daerah Manahan sini. Sebenarnya rumah Om-ku sih jelas Fandy. Rumah Om? Memangnya kamu aslinya mana? tanyaku penasaran. Fandy tertawa tipis. Rumahku di desa. Di Sragen Sragen-nya mana? kulikku. Desa! seloroh Fandy malu-malu. Ooo Anak desa nihhh? celetuk Denis. Di balik pundak Fandy tanganku langsung menjitak Denis. Aduhhh! sentak Denis menerima jitakan dariku. Desanya mana? aku terus mengulik tanpa menggubris Denis. Hehe Tanon. Tahu nggak? sahut Fandy. Tanon?! timpalku agak kaget. Tahu ya? Waktu SMP aku pernah anjangsana Pramuka ke sana Daerahnya agak kering gitu seingatku ujarku sedikit mengenang. Kok sekolah sampai jauhjauh sini? Kan cuma SMA, belum kuliah? Ngapain jauh-jauh? Di Solo kan sekolahnya lebih bagus. Kalo di Sragen nanggung jadinya, dari Tanon ke Sragen Kota juga jauh. Mending di Solo aja sekalian. Rencananya tiap Sabtu-Minggu aku pulang ke Sragen, jelas Fandy.

Hmmm Kapan-kapan keluyuran ke rumahmu di desa enak kali ya? gumamku termangu-mangu, membayangkan main ke desa bareng cowok semanis Fandy Ahahaha Di desanya pasti Fandy jadi salah satu cowok tercakep! Tanon itu seingatku daerah desa yang kering dan panas, wajarnya orang-orang yang tinggal di sana kulitnya jadi cenderung agak hitam Tapi kok Fandy ini bisa putih gini kulitnya? Dan juga kelihatan bersih. Tampang kota banget! Ditambah gayanya yang agak culun, tapi cool Memang menarik Perlahan, kuletakkan tanganku di punggung Fandy. Fandy rupanya tahu. Dia menoleh padaku sekilas, tersenyum tipis sebentar lalu kembali menatap ke depan. Tapi kemudian dia malah merapatkan punggungnya, lenganku pun jadi makin rapat di bahunya, merasakan tubuhnya yang hangat. Lekuk-lekuk punggungnya terasa di tanganku, menggeliat lembut Aku jadi ingin memeluknya lebih erat Ya Tuhan, entah kenapa Pagi yang tadi dingin, jadi lebih hangat. Seolah Fandy sengaja membiarkan tubuhnya tetap bersandar di tanganku. Ahh jangan memikirkannya lagi! Rasakan saja, nikmati saat-saat ini bersamanya di dekatnya! Karena ini adalah pagi yang indah, yang mungkin nggak akan terulang! Ssstttt Lihat tuh, di belakang tiba-tiba Denis yang dari tadi banyak diam, sekarang berbisik-bisik. Aku dan Fandy serentak menoleh ke belakang, dan Damnnnn! Lagi-lagi selangkangannya si Mas Tukang Becak! Makin ngeden menggenjot becaknya gara-gara ketambahan satu muatan!!! Parah!!! Gilaaa!!! umpatku ke Denis yang cekikikan. Satu jitakan lagi di kepalanya!

Jorok! Fandy ketawa dengan tampang agak kesal. Cuci mata, cuci mata! seloroh Denis sambil ketawa cengengesan. Cuci mata mbahmu!!! tukasku. Mbah gue kan mbah elu juga! balas Denis enteng. Kesal, romansaku barusan dengan Fandy jadi buyar! Ahhhh Nggak terasa juga, kami sudah sampai di depan gerbang sekolah. Becak-becakan selesai! Dan seperti yang aku duga, anak-anak yang melihat kami langsung pada ketawa. Huhhh! Ketawa aja sana! Sampai dower! Eh bentar, bentar! Jangan turun dulu! cegah Denis. Tapi dia sendiri malah turun dari becak. Bang, pinjam becaknya bentar ya! ujar Denis pada Mas Becak. Lalu dia menghampiri Pak Satpam yang sedang jaga di depan gerbang sekolah. Ngapain lagi? seruku. Denis lalu segera balik lagi naik ke becak. Aku, Fandy dan Denis duduk di jok becak, sedangkan Pak Satpam dengan senyam-senyum mengarahkan Kamera HP-nya Denis. Ya ampun Mau foto-foto?!! Senyum dong! Pak Satpam bisa-bisanya ngasih komando segala. Kami bertiga senyum. Dan Crrkkk! Aku, Fandy dan Denis, terabadikan dalam sebuah foto: TERSENYUM NAIK BECAK

KANTONG 12 : Diskusi Di Perpus

Jam istirahat pertama, aku meninggalkan kelas dan berjalan menuju perpus. Ada buku yang harus kucari buat bahan tugas pelajaran Sejarah. Buku Sejarah Nasional Indonesia. Aku ingat bukunya super tebal, dan kayaknya perpus nggak punya banyak stok buku babon seperti itu. Lebih baik aku lekas cari sebelum kehabisan. Kebetulan perpus nggak begitu ramai. Jadi bisa leluasa hunting dari rak ke rak, ngoprek-ngoprek buku tanpa rebutan dengan anak lain. Dan Ketemu juga buku yang aku cari! Buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II yang sama tebalnya dengan novel Harry Potter! Segera kubawa buku di tanganku ke meja petugas, mengurus peminjaman. Selagi menunggu bukuku selesai dicatat oleh petugas perpus, aku melirik kesana kemari. Ruangan agak lengang, cuma ada beberapa anak dan sepertinya rata-rata anak kelas satu Ooohhh Dan salah satunya adalah Fandy. Ketemu lagi! Begitu bukuku selesai dicatat oleh petugas, aku segera menghampirinya. Dia lagi asyik membaca di salah satu meja, di deretan yang agak longgar. Memisah dari anak-anak lainnya. Sepertinya dia juga nggak menyadari kedatanganku Dor! aku menepuk pundak Fandy. Ehhh! Fandy menoleh agak kaget. Dia juga langsung buru-buru menutup buku yang dia baca. Satu telapak tangannya menutupi sampul buku, yang lain menyisip ke dalam halaman yang tadi dia baca. Hayo, hayoo Baca apaan tuh?! selidikku langsung curiga. Nggak apa-apa! kelit Fandy.

Aku mengambil kursi dan duduk di sebelah Fandy. Dia melihatiku dengan wajah agak grogi. Aku jadi tambah curiga Kayaknya kamu baca yang enggak-enggak tuh, sampai grogi gitu? sentilku. Enggak-enggak apanya? Fandy masih berkelit. Kenapa bukunya pakai ditutupin segala? Porno ya? Mana ada buku porno di sini?! Siapa tahu bawa sendiri? celetukku. Lalu nekat kuangkat tangan Fandy yang menutupi sampul buku itu. Coba lihat! Dan terlihatlah judul buku itu: Pendidikan Seks Untuk Remaja! Halahh! Hahaha Nggak jauh-jauh juga ternyata! aku langsung ketawa. Huhh Dasar jahil! gumam Fandy kelihatan kesal sekaligus agak malu. Ngapain malu-malu segala?! Biasa aja kali! Kamu baru akil baliq? godaku. Fandy merengut jutek. Memangnya kelihatannya gimana? Hmmm aku memandangi muka Fandy yang mulus dan agak tersipu itu. Kayaknya belum tuh Masih culun! Kak Dimas sendiri juga culun! balas Fandy cuek. Aku tertawa geli melihat raut muka Fandy yang jadi lucu kalau sedang cemberut. Tambah cute Soalnya kamu tuh gumamku sedikit ragu dan akhirnya nggak jadi meneruskan ucapanku

Aku kenapa? gumam Fandy, memandangiku dengan sorot matanya yang polos Kamu hhmmm aku jadi bingung sendiri buat meneruskan katakataku. Spontanitas yang menjerumuskan Aku malah jadi kikuk sekarang! Kenapa sih? Fandy malah makin penasaran. Kamu itu menyenangkan gumamku pelan. Ahhh, lepas juga kalimatku Jujur tapi tetap tersirat. Nggak lugas! Fandy tertawa pelan mendengar ucapanku. Nggak berkomentar. Tapi sepertinya dia jadi agak emmhhh mungkin dia juga malu, karena aku baru saja menyanjungnya Makin lama, memang kayaknya sikapku makin menjurus Perlahan Fandy mulai membuka halaman bukunya lagi, yang dari tadi dia sisipi dengan telapak tangannya. Mataku juga ikut menuju ke isi halaman itu Lho Baca soal itu? gumamku. Mau nggak mau jadi ketawa lagi. Fandy langsung menutup bukunya lagi, seolah-olah tadi dia nggak sadar waktu membukanya. kecolongan! Kamu belum pernah? kulikku iseng. Ngapain sih diomongin? tukas Fandy dengan gaya ngeles. Dan sedikit malu. Kalo udah ya normal-normal aja gurauku dengan tawa geli. Terus Kak Dimas sendiri termasuk normal apa nggak?! Fandy ganti membalasku dengan cuek. Aku? Kelihatannya gimana? gantian aku memancing. Fandy sekarang tersenyum-senyum. Sorot matanya jadi jahil Wajah cute-nya yang jutek benar-benar ekspresi

Kelihatannya sih Maniak! cetus Fandy. SIALAN!!! umpatku, menabok pundaknya dengan buku tebalku. SSSTTTTTTTT!!! Jangan berisik! tiba-tiba petugas perpus melongok ke arahku dan menegur dengan wajah sengak. Tuh Dimarahin kan?! bisik Fandy. Kulihat anak-anak lainnya ikut menoleh ke arahku. Asem!!! Segera kupalingkan mukaku. Malu! Begini nih akibat ngomong nggak lihat-lihat situasi! Habisnya spontan aja tadi Kamu juga sih! Enak aja nuduh! ucapku ngedumel. Kalo bukan maniak, ngapain interogasi orang lain segitunya? kilah Fandy dengan raut geli. Senang bisa membalasku! Ah, ngeles aja dari tadi! Udah lanjutin aja baca bukunya, nggak usah sok malu-malu! sungutku geregetan. Fandy ini aslinya pasti nggak sepolos mukanya! Fandy ketawa cengengesan. Akhirnya dia buka lagi halaman yang dari tadi dia tutupi. Dan mulai membacanya lagi. Kok di buku ini, dianggap nggak wajar ya? celetuk Fandy kemudian. Bisik-bisik, dengan raut sungkan dan malu-malu. Nggak wajarnya gimana? aku balik bertanya. Sebenarnya canggung juga sih ngomonginnya Definisinya dijelasin, mengeluarkan sperma dengan tidak sewajarnya Berarti dianggap nggak wajar kan? Emmhhh Yang ngarang bukunya pasti berpendapat kalo sperma harusnya dikeluarin cuma melalui hubungan seks, atau lewat wet dream aja. Yang lainnya, dianggap bukan cara alami. Tapi aku nggak setuju sih kalo itu

dianggap nggak wajar tandasku. Sedikit agak malu membahasnya, hehehe Rada privat! Nggak setujunya kenapa? Kayaknya tiap orang tuh kalo udah puber pasti punya dorongan seksual, dan itu butuh disalurkan! Kenyataannya tiap orang belum tentu punya pasangan. Jadi mungkin itu memang nggak alami, tapi nggak alami bukan berarti nggak wajar Nggak alami bukan berarti nggak wajar? Fandy merenung-renung, mengulang kalimatku. Lalu dia tersenyum agak blushing. Iya juga sih Ibaratnya, ada orang sakit yang harus minum obat dan obatnya adalah obat yang sering diiklankan di TV itu, obat yang dibikin di pabrik dengan bahan kimia buatan. Jadi nggak alami. Tapi meskipun itu bukan obat alami, masa kita mau menyebut orang minum obat sebagai sesuatu yang nggak wajar? Aku tertawa mendengarnya. Logis! Ya, selama nggak pakai cara yang aneh-aneh dan nggak kecanduan, maka harusnya tetap dianggap wajar! komentarku, terkesan sama pendapat Fandy. Bagus juga kamu bikin perbandingan! Ayahku dokter sahut Fandy. Ooo aku terpana. Pantesan, tahu soal obat Fandy cuma tersenyum tipis. Lalu dia kembali fokus membaca bukunya tanpa suara. Aku diam dengan tenang menemaninya. Kulipat tanganku di atas meja, kuletakkan daguku di atas lenganku. Berdua berbagi bilik meja yang nggak terlalu besar ini. Atmosfer ruang perpus terasa tenang dan lengang. Suasana seperti ini adalah suasana yang bisa dengan mudah menidurkanku Kepalaku sudah mulai berat rasanya. Dekat di sebelah Fandy, aroma tubuhnya yang segar dan lembut terhirup hidungku, masuk ke syaraf-syarafku

Apakah ini chemistry? Reaksi kimiawi yang rumit, tapi menghasilkan satu hal sederhana: perasaan nyaman saat berada di dekatnya Kak? Kak Dimas? Suara membuatku Ahhh! Aku terperangah dan seketika mengangkat kepalaku Sadar sepenuhnya, terlihat jelas aku sedang berada di mana. Ruangan besar dengan banyak rak berisi buku, deret-deret meja baca yang tenang, beberapa anak yang sedang membaca tanpa suara Aku masih di sini, di perpus Berapa lama aku tertidur? Kok bisa sampai ketiduran? Fandy tersenyum heran. Aku masih agak gugup. Iya Nggak nyadar, nggak terasa Tiba-tiba aja ketiduran Kurang tidur ya semalam? Nggak juga Suasananya aja yang sleepy banget gumamku sedikit kikuk. Kulirik jam tanganku, ini masih di jam istirahat Tidurku jelas cuma beberapa menit, tapi rasanya aku benar-benar hanyut! Ya ampun! Bisa-bisanya aku ketiduran?! Cari wastafel dulu sana, cuci muka! ujar Fandy sedikit mengolokku. Nggak usah. Aku udah cakep kok celetukku cuek. Fandy terdengar lamat-lamat. Kemudian makin jelas

Fandy tersenyum lagi memamerkan gigi putihnya. Terserah lah. Aku mau balik ke kelas nih Sebentar lagi udah selesai jam istirahatnya ujarnya sambil menutup buku yang tadi dibacanya. Ya udah, sekalian aja. Aku juga mau balik ke kelas, sahutku masih setengah bengong. Tapi aku mau ke petugas sebentar, bukunya mau aku pinjam, ujar Fandy. Aku mengangguk. Kami berdua segera beranjak dari tempat duduk, melangkah ringan menuju ke meja petugas. Aku menunggu Fandy mengurus peminjaman bukunya. Nggak lama. Lalu kami pun melanjutkan langkah, keluar meninggalkan perpus. Oh, iya, besok Sabtu ada pensi inagurasi MOS. Kak Erik katanya mau nyanyi lho cerita Fandy sambil jalan. Paling-paling sama band-nya. Band-nya Erik kan official band di sekolah ini. Paling dia dapat jatah nyanyi paling banyak nanti sahutku acuh. Gitu ya? Pasti suaranya bagus ya? celetuk Fandy. Yaa gitu lah komentarku agak malas. Memangnya band-nya cuma satu aja? tanya Fandy lagi. Nggak juga sih. Ada banyak yang ngeband di sini. Tapi yang jadi official band ya cuma band-nya Erik. Dapat pembinaan, fasilitas, jatah latihan tetap, terus kalo ada event antar sekolah biasanya dipakai buat perwakilan jelasku agak panjang. Wah, enak banget! Tapi kok kesannya jadi nggak adil gitu ya? Jadi seperti di-anakemas-kan Nggak juga sih. Band-nya Erik itu kan bentukan lewat audisi. Personelnya udah pilihan semua. Di sini tiap tahun pasti ada audisi personel band.

Soalnya personel yang kelas tiga udah nggak boleh ikut lagi, jadi harus ada audisi buat regenerasi. Kamu mau ikut ngeband? Nggak kok Aku nggak pinter main musik. Cuma suka dengerin sama lihat aja ucap Fandy sambil nyengir. Tapi sebenarnya pingin nggak? Ya pingin lah! Misalnya bisa ikut audisi, misalnya lolos kayaknya asyik ngeband sama Kak Erik Band-nya pasti keren! gumam Fandy dengan wajah cerah, berandai-andai. Begitu aku dengar jawaban Fandy, ada rasa entahlah Kayaknya Fandy begitu memuja Erik. Terasa dari jawabannya tadi. Aku agak kecewa. Tapi nggak mungkin juga aku ngelarang-larang dia. Memangnya aku siapanya dia? Saat pertama kali kenalan, aku tahu Fandy mengagumi Erik. Saat itu aku nggak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang? Oohh Apa aku sedang cemburu??? Aku belok sini ya, Kak cetus Fandy. Fan cegahku sesaat. Kenapa? Ummhh Kalo manggil aku, nggak usah pakai Kak bisa? Terus? Aku tersenyum tipis. Langsung namaku aja Dimas! Ahhh Nggak enak lah, Kak Dimas kan lebih tua? Kita ini selisih umur berapa sih? Paling cuma setahun! Nggak usah terlalu formal lah!

Hmmm Oke. Aku panggil Mas aja. Itu bisa berarti Dimas, tapi juga bisa berarti hehe tahu sendiri lah! jawab Fandy dengan senyum cerdik, dengan rautnya yang menggemaskan! Aku tertawa sambil meninju pelan bahu Fandy. Aku tetap akan anggap itu namaku! 8) Fandy tersenyum nyengir. Ya udah, Kak ehhh Sorry! Mas hehehe Aku belok sini ya?! celetuknya tambah bikin uggghhhh Minta digendong sama Mbah Surip nih anak! Atau aku aja yang gendong, terus aku umpetin di kamarku satu malam! Gemes!!! Oke, deh See you. Lain kali kita naik becak lagi ya! sahutku menahan rasa gemasku. Sippp! balas Fandy sambil mengacungkan jempolnya. Sama Kak Denis juga ya! Halahhh! Pakai sama Denis segala?! Dia sih nggak usah diajak, nanti malah jadi nggak romantis lagi! Kupandangi perginya Fandy sampai sosoknya hilang di tengah kerumunan anak-anak lainnya. Ya ampun Aku jadi suka sama dia! Makin suka! Apa aku bisa menyebut perasaan ini sebagai Cinta? Ahhh Sudahlah! Dijalani saja dulu, apa adanya! Baru dua hari mengenalnya, terlalu dini kalau aku membuatnya rumit! Bel tanda berakhirnya jam istirahat, terdengar menggema dari sudut-sudut sekolahan. Langkahku mengayun ringan menuju ke kelasku Huuhhh Saatnya menyambut pelajaran lagi!

Kamu dari mana aja? Misha menyambutku dengan pertanyaan begitu aku sampai di tempat dudukku di kelas. Kenapa? Tadi ada yang nyariin kamu. Kamu jadi Most Wanted! Haa? Most Wanted? aku sedikit tertegun. Kamu tadi dicariin di kelas, terus di kantin, habis itu dicariin di kelas lagi! Kamu kemana aja? Nyamperin anak baru yang kemarin itu ya? cerocos Misha. Sembarangan! Aku dari perpus kok. Nih, habis pinjam buku! tukasku sambil menjebleskan buku Sejarah Nasional Indonesia yang tebal itu ke atas meja. Tapi tebakan Misha memang nggak 100% salah sih, aku kan memang habis nyamperin Fandy di perpus! Hehehe Memangnya siapa yang nyariin aku? tanyaku penasaran. ANITA! Tahu kan? ANITA??? Ngapain dia nyariin aku? kali ini aku langsung grogi, firasatku langsung nggak enak. Aku mau diapain nih??? Jangan-jangan Jam istirahat kedua, dia mau nyariin kamu lagi! pesan Misha dengan nada menakut-nakuti. Ooo My God! Dia mencariku!!! Tolong beri tahu aku AKU HARUS SEMBUNYI DIMANA???!!!

KANTONG 13 : Di Ruang Masa Lalu

Jam istirahat kedua, saat-saat genting dimana aku harus segera meninggalkan kelas, cari tempat buat sembunyi! Nggak mungkin ke kantin, jelas gampang ketahuan kalau aku ngumpet di sana. Perpus? Tadi aku belum dicari di sana, jadi spekulasiku mengatakan besar kemungkinannya perpus akan jadi target lokasi pencarian berikutnya! Di tengah langkah yang bingung dan terburu-buru, ide tempat persembunyian yang tercetus di benakku adalah sebuah tempat yang nggak mungkin dipakai kalau jam sekolah belum usai! Sebuah tempat yang biasanya sepi di jam-jam segini karena nggak mungkin ada yang ngeband di sana! Ya. Studio Musik! Aku sampai di depan ruang studio, dengan sedikit mengendap-endap kubuka pintunya. Aku cukup tahu situasi di sini karena dulu aku pernah menjadi salah satu pengguna aktif ruangan ini, ya waktu aku masih ngeband sama Erik. Jadi aku juga tahu kalau pintu ruangan ini jarang sekali dikunci, hampir nggak pernah! Ruang studio ini dibagi tiga bagian. Ruang tunggu ada di bagian paling depan, ruang kontrol dan ruang latihan ada di sebelah dalam. Cuma bagian ruang kontrol dan ruang latihan saja yang selalu dikunci kalau sedang nggak ada band yang latihan. Kalau ruang tunggu ini, biasanya baru dikunci kalau jam sekolah sudah usai dan nggak ada yang latihan band. Di sinilah aku sekarang, duduk di ruang tunggu yang suram, agak pengap, di sofa yang sudah agak butut. Sendirian. Lengang dan was-was Huhhh Anita. Dia orang yang harus kuhindari saat ini! Dia adalah wartawan Mading di sekolah ini. Entah ada berapa wartawan Mading di sekolah ini, tapi semua murid di sini pasti setuju kalau Anita adalah yang paling eksis! Pencari

berita yang ambisius. Suka menjadikan gosip ataupun isu personal orang lain sebagai komoditas Mading-nya. Ibarat kucing mencium bau ikan, setiap berita heboh di sekolah pasti bakal dia buru habis-habisan buat bahan beritanya! Dia nggak akan terang-terangan menulis soal gossip atau isu personal seseorang di Mading-nya, dia cukup cerdik atau lebih tepatnya licik untuk memolesnya menjadi wacana yang lebih sopan. Ya, mana mungkin dia akan terang-terangan menggunjingkan orang di media milik sekolah?! Mungkin nggak semua anak di sekolah ini peka dengan hal itu, tapi aku mencermatinya! Aku masih hafal dengan track records-nya, yang bagiku adalah bad records! Suatu ketika dia pernah menulis wacana tentang bahaya free sex. Awalnya membahas sisi ilmiahnya, dampak-dampak negatif dari berbagai segi. Ya, tampak seperti sebuah artikel yang berbobot. Tapi di akhir narasi ternyata dia juga menulis, kurang lebih: Salah satu teman kita sudah mendapat pengalaman buruk dari free sex, so jangan ikut-ikutan! Dan dengan kalimat seperti itu, gampang banget buat menebak siapa yang sedang disinggung, karena waktu itu ada siswi kelas dua yang hamil di luar nikah dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah! Hmmm Aku mengibaratkannya seperti tombak, sisi ilmiahnya adalah gagang yang bisa dipegang tapi pada kesempatan yang sama mata tombaknya menusuk salah satu dari teman kami sendiri. Aku bukannya sok suci, tapi secara pribadi aku nggak bisa menyetujui sikap seperti itu! Contoh lain, dia juga pernah menulis tentang bahaya narkoba. Sama, sebuah artikel ilmiah yang berbobot, pada kesan awalnya. Ujung-ujungnya mucul juga pesan moral: Kita harus belajar dari pengalaman nyata salah satu teman kita yang hampir meninggal karena overdosis, jangan coba-coba! Anita memang nggak menyebut nama, tapi semua orang di sekolah ini pasti dengar dan tahu berita apa yang sedang hangat digunjingkan waktu itu, yaitu salah satu murid yang saat itu masuk rumah sakit dan hampir meninggal karena overdosis. Aku sangat tahu! Dia adalah: BEN anak yang sekarang jadi teman baikku!

Pembaca mengambil hikmahnya, tapi bukankah di saat yang sama menohok perasaan orang yang mereka gunjingkan? Nggak adil buat Ben! Aku bisa membayangkan posisi Ben di tengah berita tentang dirinya itu. Begitu juga siswi yang hamil itu Karena aku sendiri sudah merasakan seperti apa sakitnya diolok-olok. Nggak ada orang yang sempurna, bahkan melihat kelemahan orang lain itu hal yang lebih mudah daripada merenungkan kelemahan diri sendiri! Tiap orang bisa jatuh pada suatu kesalahan. Apa menggunjingkan, mengolok-olok, terlebih lagi membuat gosip adalah hal yang lebih berperasaan? Lebih bermoral? Dan di situlah letak masalahku sekarang. Anita sampai mencariku, jelas ada hubungannya dengan bahan berita! Berita heboh apa yang ada hubungannya denganku? Aku mungkin bisa menduganya tapi aku nggak mau membayangkannya! Feeling-ku tetap mengatakan ini bukan tanda yang baik! Di ruang studio yang sepi senyap ini, dengan terpaksa akan kuhabiskan jam istirahat keduaku. Kutahan perutku yang lapar. Akhirnya hari ini nggak ada waktu buat mengisi perut di kantin Demi bisa menghindari Anita. Pokoknya aku nggak mau berurusan dengannya! Ckreekk Tiba-tiba gagang pintu bergerak Aku terkesiap dan jantungku berdesir kencang seketika. Pintu itu dibuka dari luar dan seseorang masuk ke dalam Aku mendapati sosoknya di depanku. Aku makin terkesima. Ya Tuhan Dimas? Ngapain di sini? dia menyapaku dengan wajah kagetnya. Aku pun belum berhenti bengong dalam kegugupanku menghadapi kedatangannya Halo? dia mengerling mengintip mukaku, mengulang sapanya dengan mimik heran.

Eh Aku cuma main aja kok, Rik jawabku kikuk dan enggan. Main? Mau ngeband? tanya Erik masih tampak heran. Nggak, nggak Cuma mampir aja di sini tandasku gugup. Damn! Kupikir Anita yang telah menemukanku! Ternyata yang datang adalah orang yang nggak kalah mengejutkanku! Aku jadi gugup dan bingung, harus bagaimana berhadapan dengan Erik di sini? Berdua di ruang yang lengang ini?! Oohh cuma itu yang digumamkan Erik. Dia juga kelihatan canggung bertemu denganku di tempat ini. Kulihat tangan Erik menggenggam seikat kunci, lalu dia mulai membuka pintu ruang latihan. Terbuka, Erik masuk ke dalam. Hhhhh Aku nggak heran, anak band kesayangan sekolah seperti dia pasti gampang mendapatkan kunci ruangan ini. Berangsur-angsur aku mulai mengendalikan kegugupanku. Yaa Dia orang yang kukenal, dan dia juga orang yang mengenalku. Masa lalu di antara kami memang sebuah beban bagiku. Tapi bukan berarti aku nggak bisa mengatasinya. Bagaimanapun kami telah bertemu di sini, tanpa sengaja. Aku harus bisa menghadapinya! Perlahan aku beranjak dari tempat dudukku, menyusul masuk ke ruang latihan. Kulihati ruang latihan yang dipenuhi alat-alat musik, dengan udara lembab dan cuma diterangi satu lampu neon yang masih menyisakan suasana suram. Segera terbayang, aku dulu pernah latihan di tempat ini saat aku masih satu band dengan Erik Sudah lama sekali. Dan sekarang aku berada di sini lagi, bersama Erik lagi. Berdua, cuma berdua Mau latihan, Rik? tanyaku basa-basi, meredakan ketegangan. Nanti habis sekolah. Ini cuma ngecek alatnya dulu aja jawab Erik sambil sibuk memeriksa alat-alat yang ada di dalam ruang latihan.

Latihan buat pensi Sabtu besok ya? lontarku lagi. Yup. Buat acara inagurasi MOS sahut Erik. Aku manggut-manggut. Kulirik gitar akustik yang ditaruh di sudut ruang. Kuambil gitar itu. Sambil duduk di kursi aku memetiknya pelan-pelan. Kamu nggak pernah ngeband lagi? tanya Erik, masih sambil memeriksa alat-alat. Nggak. Sama kamu dulu, itu pertama dan terakhir gumamku dengan tawa masam. Kenapa nggak ngeband lagi, sama yang lain? Yaaa aku masih suka musik, tapi kayaknya nggak ada mood lagi buat ngeband Erik lalu duduk di atas box ampli, sambil memandangiku. Kamu ngeband cuma karena aku? tanyanya dengan raut sayu. Aku menatap Erik, dan berusaha setegar mungkin untuk tetap menatapnya. Kamu mau bicara soal masa lalu? aku balik bertanya, dengan tawa masam lagi. Erik kelihatan ragu. Bibirnya menekan-nekan seolah susah buat bicara. Kulihat dirinya itu Badan tegapnya, rambut spike-nya, dan wajah tampannya. Erik yang dulu mengesankan di mataku karena kepribadiannya yang selalu kelihatan cool, fresh dan chic entah kenapa sekarang dia terlihat lebih muram? Sorot matanya sudah berubah, seperti memancarkan jiwa yang letih dan kusut. Dulu dia nggak pernah terlihat sepayah ini. Apa dia memang sudah berubah? Atau cuma perasaanku sendirilah yang berubah? Termakan rasa kecewa atas sikapnya, membuatnya terlihat nggak lagi seindah waktu aku masih memujanya? Ahh Sudahlah!

Kuhentikan

tatapanku

pada

Erik.

Mulai

kupetik

gitarku

lagi.

Menggumamkan lagu yang spontan terngiang di benakku Spend for Theres and I a its need all your some hard, some seep me be time that reason, at the distraction, from empty, waiting, would to feel end for that make not of beautiful my and second it good the chance, okay. enough, day. release. veins. weightless,

break always

Memories Let

And maybe Ill find some peace tonight In the arms of the angel,

fly away from here, from this dark, cold hotel room, and the endlessness that you feel. You are pulled from the wreckage, of your silent reverie. Youre in the arms of the angel, may you find some comfort here Lagu yang bagus gumam Erik. Matanya merenung terpaku, bibirnya tersungging dengan senyum tipis. Aku hampir lupa kalo aku pernah satu band dengan orang yang jago main gitar akustik, dan juga punya suara bagus ucapnya setengah mencibir. Tapi kamu nggak lupa kan, kalo dulu aku dikeluarkan dari band justru karena bisanya cuma main akustik? Dulu aku dikeluarkan, tapi sekarang kamu memujiku? balasku ganti menyindir. Erik tersenyum pahit. Menurutmu itu salahku atau bukan, kalo kamu nggak pernah ngeband lagi karena satu-satunya alasanmu ikut band cuma buat mendekati salah satu personelnya? balasnya. Aku sedikit tertegun. Tertampar. Bukan salah kamu. Tapi aku juga nggak mau disalahkan. Sesuatu bisa membuat seseorang jadi bersikap naif! desahku pahit.

Sesuatu? gumam Erik. Aku terdiam nggak menanggapi bagian yang diulangnya. Dia pasti sudah tahu maksudku. Memang kadang susah. Nggak cuma saat kita mencintai orang lain. Dicintai, kadang juga bikin serba salah gumam Erik dengan sedikit tertunduk. Yah, begitulah masa lalu kita. Dan sebenarnya aku nggak mau mengungkitnya! ucapku gundah. Aku tahu Aku bisa menerima kalo sekarang kamu membenciku ucap Erik dengan sorot mata lesu. Aku nggak benci kamu! Udah, please, jangan bahas itu lagi! cetusku makin jengah. Ya ampun Kenapa dia ingin mengungkit masa lalu itu? Aku nggak benci dia, nggak semudah itu berbalik dari cinta jadi benci! Tapi terus terang aku juga belum bisa berhenti merasakan kekecewaanku, sakit hati karena sikapnya dulu! Dan dia harusnya juga tahu itu! Kami berdua terdiam. Persaanku sendiri rasanya makin senjang darinya. Huhhhh! Rasanya ini bukan pertemuan yang bisa kuhadapi, nggak bisa kalau cuma untuk mengungkit ingatan-ingatan yang pahit itu! Kuletakkan gitarku. Aku ingin pergi dari tempat yang salah ini! Sorry, Rik Aku duluan pamitku pada Erik tanpa melihat padanya, dan tanpa menunggu jawaban. Aku melangkah meninggalkan ruangan, menuju ke pintu keluar. Kuhadapi pintu ruang depan, kupegang gagangnya dan segera menariknya Ckrkkkk Pintu terbuka, tapi harapan untuk keluar dari ruang musik ini seketika pupus begitu yang kutemui di hadapanku adalah Cewek jangkung berambut

kriwil, berbando merah dan berkacamata bundar, yang tertawa meledak tepat di hadapanku! DIMASSSS!!! Thank you udah buka pintu sebelum aku ketuk! Good sign for me! Kita udah ketemu jadi jangan bilang kamu nggak punya waktu sekarang! seru cewek itu seraya menyeruak masuk dan menyeret tanganku. Anita!!! Aku memang nggak punya waktu! protesku disela-sela rasa kaget yang belum hilang. Cuma orang malas yang selalu bilang nggak punya waktu! Sini, kita ngobrol sambil duduk! cerocos Anita, dia duduk di sofa sambil menarik tanganku buat ikut duduk. Dia langsung menyiapkan blocknote dan pulpen di tangannya. Dan masih ditambah lagi, mini recorder! BENCANA!!! Mau pergi dari Erik, malah disusul mahluk infotainment ini! Mampus!!! Kamu mau cari berita kan?!! Sorry, pokoknya sorry banget, aku nggak mau dijadiin bahan berita di Mading kamu!!! aku langsung melakukan penolakan habis-habisan! Kenapa nggak mau? Pokoknya nggak mau! Tanpa alasan? Invalid! Kamu nggak bisa menolak gitu aja, aku udah cari kamu kemana-mana dan orang-orang juga butuh pencerahan?!! Apaaa??? Pencerahan apaan? Lihat matahari sana, cerah! Metafora yang bagus! Mading, itulah mataharinya! Memberi wacana itu tugas mulia, buku pelajaran nggak cukup, dunia berputar dan berkembang tiap hari! Nggak ada orang hidup tanpa berita dan wacana!

O My God, Anita ini ngomong apaan?!!!

Wacana ilmiah itu mulia, tapi gosip itu nista! Tulisanmu tuh ujungujungnya gosip! Wacana mulia apanya?! dampratku tanpa tedeng aling-aling. Mata Anita mendelik seketika. Mulut cerewetnya sejenak bungkam Kamu nggak bisa seenaknya menuding tulisanku gossip!!! suara Anita tiba-tiba meledak. Terserah. Fakta di lapangan, orang habis baca berita kamu pasti ngegosip! Beritaku ilmiah! Asal tahu ya, kalo niatku cuma bikin gosip aku nggak perlu repot-repot cari narasumber langsung dari orang yang bersangkutan, aku cukup dengar sana dengar sini, tulis, selesai jadi berita burung! Aku nggak perlu repot-repot cari kamu di kelas, di kantin, di perpus, di toilet, dan kecapekan sampai studio ini cuma buat dengar kamu bilang tulisanku adalah gosip!!! Aku menulis dengan tanggung jawab! pekik Anita dengan suara cemprengnya. Aku melongo Aku seperti baru saja melihat tukang obat nyasar di sekolah ini Anita tadi ngomong apaan sih??? Apa? Masih mau bilang tulisanku gosip?!! Anita melotot. Kalo akhir dari tulisanmu cuma buat bilang: kita harus belajar dari teman kita yang bla bla bla yang kena kasus ini, kena kasus itu, aku tetap akan bilang tujuanmu adalah bikin bahan gunjingan! Atau gosip, whatever! aku tetap ngelawan. Pembaca butuh contoh moral yang nyata! Anita masih ngeles. Tapi habis baca wacana muliamu itu mereka akan mulai menggunjingkan teman mereka sendiri yang kamu sebut contoh moral itu! tandasku tegas. Oke!!! Kamu punya formula yang lebih baik?!!

Punya. Nggak usah mendompleng kasus yang dialami murid-murid di sini, mereka itu teman kita sendiri! Kamu sendiri bilang tulisanmu adalah ilmiah, ngapain pakai mengungkit masalah pribadi orang lain? tukasku. Semua produk harus punya gimmick! Kalo pakai formulamu, pembaca akan kehilangan sensasi waktu baca Mading Mading akan balik lagi menjadi pigura besar yang menempel di dinding dengan tulisan-tulisan yang membosankan! desis Anita sambil mengusapkan telapak tangannya di kening, dengan mata melirik ke atas. Setidaknya, pembaca akan dapat pesan moral yang lebih baik: berhenti menggunjingkan orang! Kita nggak bisa menghakimi orang seenaknya! ucapku tetap tegas dengan pendapatku. Kamu masih ingat, waktu kamu menyinggung kasus salah satu murid di sekolah ini yang hampir meninggal karena overdosis? Semua orang di sini juga udah pada tahu siapa dia kan?! Sejak kamu nulis berita itu, anak-anak di sekolah ini banyak yang ngomong miring soal dia. Padahal sebenarnya dia ingin berubah lebih baik, tapi anak-anak di sini telanjur menganggap dia junkies! Ya, efek dari gunjingan-gunjingan itu, membuat stigma, menghakimi tanpa punya perasaan! Aku bisa bicara begitu, karena dia temanku! Teman baikku dan dia nggak seburuk yang digunjingkan orang-orang! Pernah nggak kamu mikir sampai situ? Anita menatapku terbelalak, mencerna kata-kataku. Menggosip itu watak orang. Bukan aku yang harus merubahnya. Karena aku bukan guru atau orang tua mereka. Aku penulis berita. Tanggung jawabku adalah menulis berita, tanpa bikin kebohongan Itulah kenapa aku selalu mencari sumber berita yang jelas, dari kejadian nyata yang nggak dibuat-buat! Kadang memang sad but true! Aku mendesah. Huhhhh Capek! Mungkin memang bukan tugasku untuk membuat cara pikir Anita ini berubah, dikasih tahu kesalahannya tapi masih saja ngeles!

Sekarang kamu nyari aku, mau bikin bahan gosip apa lagi sekarang? Tapi jangan salah sangka ya! Aku cuma mau tahu apa menariknya masalah pribadiku, sampai kamu mau jadiin aku bahan berita?! Bukan berarti aku mau! tukasku sinis. Anita tersenyum, kelihatan liciknya. Oke. Aku kasih tahu. Sejak acara piknik di Bali, banyak anak di sekolah ini ngomongin kalo kamu gay. Aku ingin menulis soal gay Aku rasa kamu narasumber yang tepat! Urat syaraf di kepalaku rasanya ketarik kencang. Aku menghela nafas panjang-panjang menahan diri biar nggak sampai meledak kepalaku! Anita Kamu bisa dapat informasi tentang gay lewat internet atau apa saja, sekarang banyak yang ngebahas soal itu. Tapi jangan minta aku membicarakannya! Kenapa? Itu masalah pribadiku. Aku nggak akan menyinggung nama kamu di tulisanku, seperti biasa aku tetap punya etika. Aku cuma butuh referensi dari orang yang menjalani kehidupan gay secara langsung Biarpun kamu nggak menulis namaku, tetap saja pembaca akan tahu! Sekolah ini nggak selebar daun kelor! Kamu sendiri bilang, anak-anak di sini banyak yang ngomongin aku! Nggak perlu namaku ditulis mereka juga udah pada tahu arah tulisanmu mengacu ke siapa! Kamu kira aku nyaman?!! Oke. Aku janji aku nggak akan nulis: belajarlah dari teman kita bla bla bla di akhir tulisanku, karena aku tahu itu bagian yang kamu benci. Aku nggak akan menyinggung siapapun. Biar pembaca merenungkan semuanya secara objektif menurut cara pikir masing-masing Adil kan?! Bagusnya memang begitu! Dan aku tahu kamu juga cukup cerdas buat cari sumber lain soal gay, nggak harus aku!

Dimas, itu pasti. Aku akan cari data dari berbagai sumber, tapi kamu tetap salah satunya! Kenapa harus aku?!! seruku dengan nada keras. Emosi! Oke Aku harus jelasin lagi rupanya. Karena kamu siswa di sekolah ini, yang sudah positif gay, setidaknya dari pembicaraan ini aku nggak menangkap kesan kalo kamu menyangkal hal itu. Dan menurutku kamu punya fakta-fakta yang menarik dan unik. Kamu punya sodara kembar, kamu pernah nembak cowok yang jadi idola di sekolah ini, dan kamu sendiri hahaha mungkin kamu nggak tahu kalo kamu juga cukup diidolakan cewek-cewek kelas tiga ujar Anita cengengesan. Apa?!! Mataku membesar, ludahku tertelan. Kamu juga mewawancarai adik kembarku?!! cekatku terkesiap. Oh, nggak! Aku nggak tahu apakah sodara kembarmu sudah tahu kalo kamu gay. Seandainya dia belum tahu, aku nggak mau dia jadi tahu gara-gara aku. Biarpun aku bersemangat tapi aku nggak pernah ceroboh, jangan terus berprasangka buruk padaku! cetus Anita dengan senyum lebar, seolah-olah ada yang sedang dia banggakan. Oh, iya Soal cewek-cewek kelas tiga yang suka sama kamu, mereka patah hati lho waktu dengar kabar kamu nembak Erik Hahaha Sooo, fakta-fakta kamu itu menarikkkk!!! Cewek-cewek kelas tiga? Patah hati? Aassshh nggak penting!!! Bukan itu yang bikin aku gerah saat ini! Berita soal aku udah nyebar. Begitu kamu menulis di Mading, pasti akan tambah dibicarakan! Aku cuma ingin bersekolah dengan tenang Sampai lulus! Masalah pribadiku biar jadi urusanku desahku, makin capek dengan perdebatan ini. Apa kamu merasa malu jadi gay? gumam Anita dengan lirik mata yang mengulikku.

Jadi gay bukan jadi mahluk terhebat atau terhina di muka bumi! Ini bukan soal malu atau bangga! Ini soal menjalani hidup sebagai diriku sendiri, tanpa harus dicampuri tujuan-tujuan nggak penting seperti gosip di majalah dinding! cetusku sengit. Oke aku garis bawahi Anita langsung menggerakkan pulpen di atas blocknote-nya. Astaga!!! Kapan wawancaranya dimulai?!! Kurang ajar!!! Anita, si licik sialan!!! Terus gimana tanggapanmu waktu jatidirimu sebagai gay diungkap orang lain? Orang-orang tahu bukan karena statementmu sendiri kan? Anita yang nggak tahu diri itu terus mengulik. Tanggapanku?!! Sama seperti waktu wartawan Mading yang nggak tahu sopan santun mengorek masalah pribadiku!!! Kamu pikir perasaanku gimana?!! dampratku ke Anita, emosiku memuncak! Anita Sudah, jangan maksa dia! tiba-tiba Erik yang dari tadi ada di dalam ruang latihan muncul keluar, datang menyela Anita langsung menoleh ke Erik dan seketika kaget seperti balon pecah! EEEEE!!! Kamu di sini juga, Rik?!! lonjak Anita salah tingkah. Dari tadi! dengus Erik kesal. Ganti kacamatamu! tukasku sengak ke Anita. Sorry, sorry Aduhhh!!! Aku nggak tahu kalo kamu ada di sini juga! Kamu dengar yang tadi?! Anita gelagapan sekarang. Rasain! Semuanya! Setahuku, dunia jurnalistik manapun nggak bisa maksa orang yang nggak mau jadi narasumber! tukas Erik. Kelihatan serius, ikut nggak nyaman karena secara nggak langsung Anita juga mengungkit-ungkit dia.

Aku nggak maksa! Aku tadi sebenarnya udah mau pergi, tapi Dimas akhirnya mau komentar, jadi aku anggap dia akhirnya mau diwawancara! Anita ngeles. Kurang ajar, malah ngebalikin ke aku?!! Aku tadi bicara bukan buat Mading-mu! Tapi buat bungkam mulutmu yang nggak bisa berhenti ngomongin urusan pribadiku! Mulai sekarang udah! Aku nggak mau ngeladenin kamu lagi! tukasku ke Anita, sengit setengah mati! Lho kok gitu? Aku janji nggak akan ungkit-ungkit nama kamu di tulisanku, dan aku juga nggak akan menyudutkan siapa pun! Aku akan bikin jadi wacana yang benar-benar netral Anita! Kamu tuh udah maksa?! Nyadar nggak sih?! tukas Erik, kali ini lebih ketus. Anita langsung mendelik ke Erik. Yang mau aku wawancarai itu Dimas, bukan kamu! Aku cuma peringatkan kamu, Dimas udah bilang nggak mau! Jangan memperburuk reputasimu! balas Erik. Aku nggak mau! Titik! sahutku, menekankan suaraku Anita melongo, melihati aku dan Erik bergantian. Skak matt sekarang! Oke, oke Ya sudah. Aku nggak akan tanya lagi. Aku sudah bisa menyimpulkan sendiri dari semua yang kamu bilang ujar Anita akhirnya slow down. Dia mengemasi pulpen dan blocknote-nya dengan tenang. Lalu dia menatapku sambil mengembangkan senyum yang menyebalkan. Baik, aku cuma ingin ngasih gambaran seperti apa kira-kira yang akan kutulis setelah aku wawancara sama kamu tadi. Aku sangat excited dengan statement-mu bahwa gay itu bukan soal malu atau bangga, aku rasa itu artinya kamu nggak mau dinilai berdasarkan kondisimu sebagai gay. Tapi ingin dirimu dinilai dari ukuran yang lain mungkin dari prestasi Yah, agak klise memang, tapi aku rasa memang itulah yang fair. Its ok. Soal masalahmu sama Erik, aku sudah tahu

ceritanya. Aku kira kamu jadi benci dan nggak berhubungan lagi dengannya, tapi ternyata kalian masih bisa berdua di sini. Dan Erik juga membelamu. Hahaha Semoga itu sisi positif dari konflik kalian, bahwa patah hati bukan alasan buat jadi musuh. Aku salut! Dimas, aku tahu kamu cuma ingin menjalani hidupmu dengan nyaman. Itu memang hakmu. Dan semua orang juga seperti itu. Dari semua itu, mungkin kesimpulan yang bisa kutulis adalah bahwa gay itu cuma warna lain dari sesuatu yang manusiawi Setidaknya kamu mewakili itu Aku terbengong-bengong. Aku nggak bisa berucap apa-apa begitu mendengar kalimat-kalimat panjang yang diucapkan Anita. Aku sulit percaya dia bisa menganalisa dan bicara secepat itu Erik pun ikut terdiam, tercengang Di sekolah, tiap orang punya hal yang mereka cintai. Erik dengan bandnya. Dimas, pasti juga ada yang kamu cintai di sekolah ini, entah itu apa Dan bagiku, Mading-lah yang kucintai. Hal yang kita cintai mungkin memang beda, tapi persamaannya adalah: kita pasti akan melakukan yang terbaik untuk sesuatu yang kita cintai ujar Anita mengendap. Dia menghela nafas sejenak, emosinya yang tadi menggebu kini seolah-olah hilang sama sekali. Aku tahu, nggak semua yang kutulis bisa menyampaikan pesan secara sempurna. Tapi sejujurnya, aku nggak pernah berniat menghakimi siapapun. Dan aku akan pegang janjiku, aku nggak akan mengungkit namamu! Lalu Anita beranjak dari duduknya. Dengan tenang dia melangkah menuju pintu, meninggalkan aku dan Erik. Makasih ya! ucap Anita lantang sambil melambaikan blocknote-nya ke atas. Lalu dia menghilang keluar lewat pintu itu, disambut suara bel sekolah tanda jam istirahat telah habis. Cewek aneh bernama Anita itu sudah pergi Sulit dimengerti. Dia sudah bikin aku habis-habisan menahan emosi sejak dia muncul. Tapi sesaat sebelum pergi, akhirnya dia meninggalkan kalimat-kalimat terakhir yang bisa kusetujui

Jam istirahat udah habis. Kamu nggak ke kelas? tanya Erik sambil mengunci ruang latihan. Rik, apa tadi kamu memang membelaku? tanyaku dengan sisa-sisa gundah. Erik melangkah menuju pintu keluar. Dia berhenti di muka pintu lalu menoleh padaku dengan raut wajah gelisah. Mas, kamu tahu nggak, apa yang akan diucapkan ketika harus menolak seseorang? Biasanya mereka akan bilang, aku nggak bermaksud nyakitin kamu atau kalimat lain yang kurang lebih sama artinya. Aku ingat, aku juga mengatakan itu waktu aku menolakmu Keningku berkerut resah saat menyimak kata-kata Erik. Maksud kamu apa sih, Rik? Maksudku Waktu aku bilang aku nggak bermaksud nyakitin kamu saat itu cuma sekedar basa-basi buat nolak kamu Tapi begitu aku tahu apa yang kamu tanggung sejak malam itu aku baru sadar kalo aku benar-benar udah nyakitin kamu ujar Erik terbata-bata. Mungkin kata maaf nggak cukup buat memperbaiki semuanya itu. Tapi aku tetap minta maaf, Mas Aku menyesal udah menjerumuskan kamu Aku terkesima tanpa bergeming menatap Erik. Hatiku rasanya gemetar mendengar ucapannya. Dan cuma hening yang bisa kukirim buat mengiring perginya Erik dari hadapanku Aku tertinggal sendiri lagi di ruang ini. Ruang yang segera kembali sunyi dan kosong. Rasanya ingin kuteriakkan kebingungan ini, kebimbangan terhadap masa lalu yang telah mempermainkan perasaanku! Erik Semarah apapun diriku, aku tahu bahwa nggak akan mudah buat melupakan kamu. Seperti halnya nggak mudah melupakan sakit hati ini, meski aku sudah memaafkanmu Aku tahu, itu karena aku pernah mencintaimu Dan cinta itu masih tersisa

KANTONG 14 : Beban

Bel berbunyi Kelas pun segera riuh, semua bersiap pulang. Di saat sedang kukemasi buku-buku dan pulpenku, HP di saku celanaku bergetar. Kubuka sebuah SMS dari nomor tanpa nama Apapun yg ditny Anita, jgn ksih dia ks4an buat jtuhin PLU di skul ini. U bkn satu2nya gay dsini! Tanganku langsung dingin. Apa maksudnya SMS ini??? Aku jadi waswas Kesan yang kutangkap, yang mengirim SMS ini adalah anak dari sekolah ini juga, dan dia juga gay Dan dia bisa tahu kalau hari ini aku punya urusan sama Anita, dan kalimat di SMS-nya ini kesannya seperti Intimidasi! Dari siapa ini??? Aduhhh!!! Kenapa masalah tambah berbelit begini?!! Mas, nggak pulang? tanya Misha yang masih duduk di sampingku. Eh, iya sahutku gugup. Kututup lagi HP-ku. Pikir nanti saja! Aku berdiri dari dudukku, diikuti Misha. Kami meninggalkan kelas, berjubal dengan anak-anak lainnya menuju pintu keluar. Kulihat Denis sudah duduk menunggu di serambi depan kelasku. Mukanya kusut, kayak keset habis diinjak-injak orang satu kompi! Ahhh Mungkin mukaku sekarang ini juga sama kusutnya dengan dia! Wah, adikmu tuh, Mas bisik Misha yang jalan di sampingku. Hmm gumamku malas.

Traktir jajan dong, Mas, gue laper nih! Duit gue habis buat becak tadi pagi! Denis langsung nodong, mukanya dibikin memelas. Yang punya ide naik becak kan juga kamu sendiri?! balasku. Kalo nggak gitu emang kita bisa sampai di sekolah? Lagian tadi lu udah janji mau nraktir gue, gue tungguin dua kali istirahat nggak nongol-nongol?!! Kalian ke sekolah naik becak?! Misha langsung nimbrung dengan mimik terheran-heran.. Ide si Monyet nih! gerutuku sambil jitak Denis. Kenalin nih, belum kenalan sama dia kan? aku mengenalkan Denis ke Misha, sambil jalan bertiga di koridor sekolahan. Misha langsung senyum-senyum. Tanpa ragu-ragu ngulurin tangannya ke Denis. Denis membalas jabat tangan Misha sambil senyum-senyum juga, tapi dengan gaya lebih cuek. Misha Sodaranya Dimas balas Denis. Sableng nih orang! Misha sebutin nama, kamu juga sebutin nama, Monyong! Kenalan gaya mana tuh, songong amat?!! aku memarahi Denis. Misha cuma ketawa. Adik kamu lucu ya! Lagian aku juga udah tahu namanya, kan kamu udah cerita! sahutnya. Ya lucu lah! Dimas aja udah jayus, kalo gue ikut jayus bakal sepi rumah! celetuk Denis. Ayo dong, Mas, laper nih gue! dia mulai merengekrengek lagi. Iya, nanti! Makan di luar aja! tukasku. Kantin aja! Keburu laper gue! Udah, diturutin dong, sama adek juga?! Misha langsung memihak Denis.

Bener! Toss! Denis langsung toss sama Misha. Memangnya cuma kamu yang lapar?!! Aku juga lapar nih! Masalahnya jam segini di kantin tinggal ampas! Mau, jilatin kuali?! omelku. Denis cemberut. Mukanya dibikin memelas lagi. Dasar! Kalian jadinya pulang naik apa nih? Aku mau belok ke parkiran, bawa motor soalnya ujar Misha. Naik delman! sahut Denis asal. Ngaco! tukasku sambil jitak Denis lagi. Jalan kaki kayaknya, Mis, tadi motorku dititipin ke tempat tambal ban. Bocor bannya jawabku ke Misha. Oh, gitu ceritanya. Ya udah aku belok sini ya?! Yoi! balasku. Kapan-kapan ikut naik becak sama kita yaa! celetuk Denis. Misha cuma tersenyum geli. Dia lalu melambaikan tangannya dan berbelok ke samping, menuju tempat parkir. Aku sama Denis meneruskan langkah menuju ke gerbang depan. Tangan Denis mulai usil rangkul-rangkul Ini apaan sih?! tukasku menepis tangan Denis dari pundakku. Nggak tau nih anak, kayaknya siang ini jadi manja banget?! Kamu tuh gaya aja dari tadi?! Tadi ngomong apa sama Misha? Ngajak satu becak sama kita? Pantes apa?! Kalo dia salah sangka gimana, dikiranya kita nganggap dia cewek apaan?! Elu tuh yang mikirnya kejauhan! balas Denis menjitakku. Misha juga udah jelas ngerti kalo gue becanda, tadi aja dia malah ketawa! Lagian elu nggak usah munafik, Mas, lu juga senang kan pas Fandy satu becak sama kita tadi pagi?! Aku tersentak. Aliran darah di mukaku rasanya berdesir-desir, kulit mukaku meremang

Maksud kamu?! Nggak usah nutup-nutupin! Bego lah kalo gue sampe nggak tahu, elu tadi meluk-meluk Fandy waktu di becak! cetus Denis, pelan tapi nampar! Mampus!!! Kurang ajar! Nguntit aja sih matanya Denis?!! Siapa yang meluk?! Cuma rangkul aja! Rangkul beda sama peluk! aku langsung ngeles. Tapi kalo misalnya tadi nggak ada gue, ya pasti elu bakal meluk dia beneran! Ngaku aja, pengen kan lu?! tukas Denis. Aku nggak bisa membalas lagi. Berasa sepiring spaghetti tumpah di mukaku! Sekarang aku jadi ngerasa bego, bisa-bisanya melancarkan aksi romantis ke Fandy di saat Denis jelas-jelas ada di tempat yang sama!!! Ketahuan kan jadinya!!! Nggak usah malu, Mas! Gue ngerti kok elu tuh udah gede, udah ngerti romantis-romantisan, udah nyadar kalo kebutuhan orang hidup nggak cuma sandang, pangan, papan sama pendidikan Tapi juga selangkangan Ehh, anjritt! Kalo aku megang dia emang iya, tapi aku nggak niat mesum ya!!! lama-lama aku makin geram sama ocehan Denis. Ya biasanya memang gitu. Awalnya petting lama-lama Bacot lagi aku tonjok!!! umpatku langsung ngancam. Nggak betah! Denis akhirnya berhenti ngoceh. Aku benar-benar tinggal satu langkah lagi buat naik pitam. Mukaku kayaknya sudah bukan merah lagi, tapi sudah jadi ungu! Nggak tahunya sampai gerbang depan emosi ini malah tambah berantakan, karena Ketemu Fandy lagi!!!

NGGAK PASSS!!! Baru saja disindir Denis habis-habisan, sekarang malah ketemu di sini! Mulutnya Denis pasti jadi gatel lagi! Hai! sapa Fandy dengan santainya. Halo balasku agak enggan. Langsung pulang ya? tanya Fandy. Iya nih, jawabku. Ohh Fandy manggut. Eh iya, boleh minta nomor HP-nya, Mas? tanyanya sambil ngeluarin HP. Akhirnya dia beneran manggil aku Mas! Sebenarnya aku sendiri juga udah mau minta nomornya Fandy sejak kemarin, cuma aku masih ragu aja. Sekarang dia malah minta duluan Boleh. Simpan aja sahutku, lalu kusebut nomor HP-ku. Fandy menyimpan nomorku. Lalu dia miscall ke HP-ku. Itu nomorku, Mas Oke! ucapku sambil menyimpan nomor Fandy yang masuk ke HP-ku. Mas Denis nomornya berapa? Fandy gantian minta ke Denis. Eittt Fandy manggil Denis pakai Mas juga? Jiahh! Belibet gini malahan? Huuu Cape deh! Nggak usah. Ntar gue minta ke Dimas aja, ntar gue miscall Denis nolak. Huhh! Dasar belagu! Tapi nanti aku jangan dikerjain ya! gurau Fandy. Jelas dikerjain lah! Hehehe Denis cengengesan. Udah tenang aja. Dia nggak bakal aku kasih nomor kamu. Nanti aku aja yang kasih tahu nomornya Denis. Kamu aja yang kerjain dia! aku skak si Denis. Rasain!

Ayo, Fan, naik becak lagi! ajak Denis. Nah Kayaknya mau mulai lagi nih bacotnya?! Siap-siap jitak! Aduh sorry, aku nggak langsung pulang nih ganti Fandy yang nolak sekarang. Hahaha Sip! Kalau naik becak cukup berdua sama aku aja. Denis biar ke laut aja! Lagian kita nggak naik becak kok. Mau jalan kaki aja! timpalku. Ya kan bisa jalan kaki bertiga? Denis masih ngeyel. Memangnya masih ada acara apa, Fan? tanyaku ke Fandy, nggak menggubris celotehnya Denis. Tadi ada yang bilang, habis ini ada yang latihan band. Aku mau balik lagi ke dalam, pingin nonton! sahut Fandy. Di kepalaku langsung nyantol satu hal. Gampang ditebak. Tadi Erik bilang habis jam pelajaran mau latihan Huhhh! Fandy pasti mau melihat Erik! Tapi biar lah, aku nggak akan mengungkitnya. Ya udah, met nonton! ucapku tanpa maksa. Oke. Aku ke dalam dulu ya! ujar Fandy. Udah sana! cetus Denis sambil mendorong pundak Fandy. Fandy akhirnya berlalu Mataku mengawang memandangi perginya. Apakah dia itu hanyalah seorang adik kelas yang ramah, dan sedang kagum sama bintang sekolahan? Atau apa Fandy itu juga gay sepertiku? Dan dia lebih tertarik pada Erik? Kuingat kejadian tadi pagi saat berangkat ke sekolah, saat Fandy menyandarkan punggungnya dan aku bisa mendekapnya Dan juga saat aku tertidur di sampingnya ketika di perpus rasanya menyenangkan. Rasa suka nggak bisa dipaksa, aku mulai menyukai Fandy dengan sendirinya. Dan sekarang

rasa penasaranku menemukan sisi yang membingungkan dari dirinya. Dan sepertinya aku juga mulai cemburu Euugghhh! Kenapa jadi begini?! Awalnya seperti hari yang indah. Tapi sekarang, ini bukan hari yang menyenangkan lagi. Crash sama Anita, Erik yang mengungkit masa lalu, SMS aneh, lalu Fandy yang makin membingungkan hatiku Semua seperti dengan cepat menumpuk menjadi beban pikiran yang menindih kepalaku! Aahhh Aku capek memikirkan semuanya! Aku dan Denis berjalan keluar dari lingkungan sekolahan. Menyusur trotoar, berdua melintas di tengah keramaian siang melewati sisi kota yang terik dan padat. Udara panas dan gerah. Isi kepalaku terasa kumuh, dan sengatan matahari membuatnya seperti mau meledak. Hahhhh Stress! Jenuh, penat! Mas, ayo dong makan! Denis berhenti, berdiri di tengah trotoar menatap warung makan di seberang jalan. Dia kelihatannya memang sudah kelaparan. Mukanya berkeringat agak pucat, sedikit meringis dengan tangan memegang perut. Ya udah sahutku akhirnya. Kuatir kalau Denis tiba-tiba pingsan garagara telat makan. Belum ada sejarahnya sih, tapi daripada nyadarnya telat? Yang gotong aku juga kalau dia pingsan! Lagian, aku sendiri juga lapar! Aku dan Denis menyeberang. Menghampiri warung kecil yang kelihatan teduh di bawah pohon trembesi. Mungkin memang perhentian yang baik. Mengisi perut, dinginkan kepala Sotonya dong, Pak Sama es teh Denis langsung pesan. Sama, Pak aku ikut pesan.

Nggak lama, soto segera terhidang di atas meja. Es tehnya juga. Aku dan Denis langsung makan tanpa banyak bicara. Gimana mulut mau bicara?! Perut saja lebih kencang suaranya! Selahap, dua lahap, dan seterusnya. Nggak butuh banyak menit buat mengosongkan mangkok soto. Sotoku dan sotonya Denis ludes. Habis terlahap. Rokoknya, Pak. Sebatang aja lontar Denis. Aku tertegun! Memusatkan mataku ke gerak-gerik Denis yang mengambil sebatang rokok lalu menancapkan rokok itu ke sela-sela bibirnya Den? Kamu ngerokok?! tanyaku kaget. Lagi pingin aja gumam Denis. Aku nggak mau bayarin kalo buat rokok! tegurku ketus. Baru tahu aku kalau Denis merokok!!! Kalo ini pakai duit gue sendiri kok! balas Denis datar. Rasanya aku sulit menerima Denis melakukan yang satu ini. Tapi mau melarang? Apa aku juga harus sekeras itu mengatur Denis? Aku bimbang Dia mulai menyalakan korek api, disulutkan ke ujung rokoknya. Lalu asap pun mulai mengepul lewat mulutnya. Aku makin sulit menghadapi dirinya seperti ini! Biarpun pakai duit kamu sendiri, toh itu yang ngasih Papa sama Mama kan? Pastinya kamu dikasih duit bukan buat beli rokok gumamku berat hati. Papa pasang internet buat lu, juga bukan buat buka situs porno kan? sahut Denis. Aku tercekat lagi. Makin nyeri mendengarnya

Aku cuma berniat ngasih nasehat, tapi Ahhh!!! Anita, Erik, Fandy Dan sekarang Denis! Semua bikin beban!!! Kugenggam erat tanganku yang gemetar di atas meja Tolong, aku nggak mau emosiku meletus di sini! Sorry Sorry, Mas tiba-tiba Denis gugup dan raut mukanya berubah drastis. Gue nggak maksud Nggak, kamu bener kok ucapku pelan menelan emosi dalam-dalam. Denis diam tertunduk dengan wajah masam Oke! desahnya kemudian, diikuti tangannya mencampakkan

rokoknya ke tanah. Lalu dia menginjaknya, menggerusnya seperti sesuatu yang dia benci. Aku menatap Denis. Mencerna wajah kalutnya itu dengan batinku yang sudah kusut Kamu pasti ada masalah! gumamku menghela nafas dalam-dalam, merentang kesabaran. Denis masih terdiam. Kamu tuh mending ngomong kalo lagi ada masalah! desakku. Denis lalu memandangiku dengan wajah seperti menyimpan geram. Mas Gue dengar anak-anak ngomongin elu ucapnya lirih. Aku tercekat. Ngomongin apa? tanyaku kecut. Soal elu. Tahulah maksud gue! Ngomongin gimana?! Denis memandangiku makin geram. Semua gara-gara Erik, kan?! Ternyata dia yang ngasih tahu ke teman-temannya soal elu?! sergahnya tajam

Seketika jantungku seperti lenyap dari rongga dadaku. Keresahanku makin goncang Kenapa lu nggak cerita semuanya?! cecar Denis gusar. Nggak perlu desahku gundah. Gue lebih suka dengar dari lu sendiri daripada lewat mulut orang lain! Aku nggak mau ngungkit-ungkit kesalahan dia di depan orang lain! Di depan gue maksudnya? Jadi lu nganggap gue orang lain?! Bukan itu maksudku! Den, please! Aku nggak mau masalah ini muter terus! Biarin mereka mau ngomong apa soal aku Aku udah capek! Itulah masalahnya! Elu udah nanggung sampai stress kayak gini! Gampang banget Erik bikin lu jadi kayak gini?! Sedang dia sendiri tenang-tenang aja, nggak peduli lu dikata-katain banci, homo, maho sama orang-orang di sekolah! Rasanya gue pingin hajar tuh si Erik, pingin gue pecahin mulutnya yang ember itu! Tapi yang gue paling heran kenapa lu malah nutupin itu dari gue?!! Aku makin kalut mendengar cecaran Denis yang parau penuh kemarahan, menatap matanya yang berapi-api penuh dendam Ya Tuhan, kenapa masalah ini nggak bisa selesai?!! Salah satu alasan kenapa aku nutupin itu dari kamu karena aku nggak mau kamu bertindak gila! cetusku gundah. Aku nggak mau kamu nambah masalah! Mas, lu sodara gue! Gue nggak malu sama keadaan elu! Karena itu gue nggak terima kalo ada orang lain ngerendahin elu! Kamu bisa hajar Erik. Dan kamu akan ngerasa puas buat sesaat! Habis itu masalah akan bertambah! Dan aku lagi yang menanggung semuanya! tandasku berusaha membuka pikiran Denis. Aku tahu kamu selalu berpihak buat

aku, aku nggak pernah ragu itu dan aku hargai itu! Karena itu, aku nggak mau kamu berbuat bodoh! Denis terdiam. Sorot matanya goyah di tengah wajah kusutnya Aku nggak bermaksud nganggap kamu orang lain, Den, mana mungkin? Kamu sodara yang bisa nerima aku. Aku bersyukur! Aku nggak mau mengungkit kesalahan Erik, karena aku ingin berusaha maafin dia Lagian kalau aku terus mengungkitnya, itu nggak akan bikin keadaan jadi lebih baik! Aku berusaha maafin dia, dan aku ingin melupakannya! Denis geramnya Tolong kamu ngerti! pintaku dengan rasa kalut. Oke Gue akan coba sabar. Bukan karena gue maafin Erik, tapi karena lu yang minta ucap Denis akhirnya Ada sedikit kelegaan dalam senyum pahitku. Makasih, aku hargai itu ucapku lirih. Tapi aku tetap berharap kamu juga bisa maafin dia Denis bangkit dari duduknya, lalu diam berdiri di muka pintu warung. Wajahnya masih menyisakan perasaan buruknya. Tercenung kecut Ntar gue aja yang setir motornya. Elu capek banget kayaknya gumam Denis pelan. Aku tersenyum mengangguk. Sudah, Pak, berapa semua nih? aku setengah berseru memanggil Pak Penjual Soto yang menghilang entah kemana. Pak Penjual Soto muncul dari belakang warung. Sudah? Apa saja tadi? sahutnya. menekan bibirnya rapat-rapat. Masih memancarkan rasa

Soto dua, es teh dua Tahu dua Rokok sebatang gumamku menyebut satu per satu. Pak Penjual Soto menghitung sejenak. Tiga belas ribu sebutnya kemudian. Kuulurkan uang limabelas ribu padanya. Lalu pada saat yang bersamaan terlintas sesuatu di benakku. Sesaat aku masih ragu, tapi kemudian Kalo rokoknya tambah dua lagi berapa? tanyaku. Plus korek Pas! cetus Pak Penjual Soto. Oke, tambah dua lagi! sahutku. Lalu dua batang rokok dan sekotak kecil korek api berada di tanganku. Aku melangkah menyusul Denis di luar Den! panggilku. Denis menoleh. Dan kulempar sebatang rokok ke dia Weee! Denis langsung menangkap rokok yang kulempar itu dengan agak kaget. Dia memandangi rokok itu sebentar lalu menaruh rokok itu di bibirnya sambil tersenyum Ajarin! cetusku sambil menyulutkan sebatang korek api ke rokoknya Denis. Denis menghisap rokoknya sampai ujungnya menyala. Lalu asap dikeluarkan dari hidungnya Cucuk aja ke sini! Denis mengarahkan ujung rokoknya padaku. Kucucukkan ujung rokok yang sudah kupasang di bibirku, mengambil api dari ujung rokoknya Denis. Kuhisap rokokku sampai ikut terbakar ujungnya Uhuuukkkk!!! Aku langsung batuk-batuk Dada terasa sesak!

Hahaha Biasanya memang gitu kalo baru pertama! Denis ketawa. Lalu dia langsung mencomot rokokku, dia lempar ke tanah bersama rokoknya juga. Udah! Siapa bilang rokok bisa ngobatin stress?! Aku berjalan pelan masih sambil batuk-batuk. Kalo gitu kenapa kamu sendiri ngerokok? tukasku. Denis nyengir masam. Dulu di Medan temen-temen gue ngerokok semua Sering? Nggak juga. Cuma kalo lagi bareng temen aja buat iseng-iseng jelas Denis sambil jalan. Aku pikir dengan iseng bisa ngelupain stress timpalku masih menahan sesak. Gue juga sering mikir gitu tapi lama-lama nyadar juga kalo itu cuma pelampiasan sesaat aja, Mas. Iseng kadang memang asyik, tapi nggak mungkin lah cuma dengan rokok semua masalah jadi selesai! Lu nggak usah ikutan kalo nggak yakin manfaatnya! Jadi sekarang kamu bisa nasehatin aku soal rokok?! Awas kalo kamu ngerokok lagi! Kan gue bilang, iseng itu kadang memang asyik! Manfaatnya tetap ada kali, tapi nggak penting-penting juga Denis lalu tertawa. Aku juga, mulai bisa tertawa lagi Hmmhhh Kejenuhan memang selalu dekat dengan pelampiasan. Aku cuma ingin tahu dan sepertinya sudah cukup. Melanggar prinsip, sedikit improvisasi, mencari cara untuk bisa merasa lepas walau sesaat Dan akhirnya aku yakin bahwa pelarian memang nggak akan menyelesaikan masalah. Tapi aku

tetap setuju satu hal: bahwa meski ada beban, kita tetap harus punya waktu untuk tersenyum! Melangkah lebih ringan menyusur trotoar kota. Kali ini aku nggak menepis tangan Denis yang ada di pundakku Hard deals. Head-ache But I know, I always have a brother! Suck day, better day Just go on!

KANTONG 15 : Curhat

U sapa? Tau drmn soal Anita? Kukurim SMS-ku ke nomor asing yang masuk ke HP-ku tadi siang. Aku nggak yakin dia mau jawab. Tapi harus dicoba dulu! Oohhh SMS-ku ternyata dibalas! Bsok qta ktmu di skul. Aq jlasin smuany! balasnya. Aku reply lagi, Mksd u soal PLU di sklh apa? U PLU jg? Nggak lama kemudian SMS-ku dibalas lagi, Ksian ya, jd gay gk pny radar. N u jg bdoh, crboh bkin org pd tau klo u gay! Dia ngatain aku bodoh?!! Oke, aku memang mengaku ke Erik. Nggak mungkin aku bisa mengungkapkan perasaanku tanpa mengakui kalau aku gay. Tapi bukan aku yang bilang ke semua orang kalau aku gay! Ngapain orang ini ngatain aku bodoh?! Siapa yang minta pendapatnya?!! Huuuhhh! Sebenarnya aku nggak terima dengan kata-katanya di SMS ini! Tapi ngapain juga ngikutin emosi cuma gara-gara orang nggak penting yang aku nggak kenal ini?!! Aku nggak akan reply lagi. Besok aja akan kulihat sendiri siapa dia, dan apa tujuannya mencampuri urusanku! Kututup HP-ku. Kuletakkan di atas kasur. Kusandarkan kepalaku ke bantal, merenggangkan urat syaraf. Aku butuh rileks! Mas, pinjem laptopnya, mau googling! Denis tiba-tiba masuk kamarku, pinjam laptop. Tuh! Di meja. Sekalian copot aja kabel charger-nya ujarku malas.

Biarpun Denis udah punya komputer sendiri di kamarnya, tapi di sana nggak ada saluran internet. Jadi kalau mau buka internet tetap aja pinjam laptopku. Bawa sini aja deh laptopnya, aku juga mau browsing! sambungku. Mending ikut main internet aja sekalian, buat obat stress! Denis membawa laptopku ke atas tempat tidur. Dia duduk di sampingku bersandar bantal, sambil memangku laptop. Dia buka Google. Mau cari apa? tanyaku. Bahan tugas Kimia. Maniak tuh guru Kimia, baru minggu pertama udah ngasih tugas seabreg! gerutu Denis. Salah sendiri masuk IPA, Ikatan Pelajar Apes, pusing terus mikirin tugas! Daripada IPS, Ikatan Pelajar Stress! Kayak elu sekarang tuh, stress! Iya nih, lagi stress! Pingin cuci mata. Pingin lihat cowok Gila lu! Ntar lu aja sendiri, kalo gue udah selesai! Gue nggak mau ikutan! Cakep-cakep lho Masa nggak pingin lihat? Cowok-cowok Thailand tuh cakep-cakep celetukku. Nggak urusan! gumam Denis ngedumel. Hehehe Senang aja kalau bisa ngusilin Denis. Soalnya dia sendiri juga sering ngusilin aku. Itung-itung, becanda bisa ngurangin stress juga. Kuambil gitar yang ada di lantai sebelah tempat tidurku. Buat iseng biar nggak bete, dan bisa bantu pikiran buat rileks Bentar, putar Winamp dulu aku menyela Denis. Kubuka file lagu-lagu New Age koleksiku dan memutarnya. Sambil mendengarkan, aku mengikuti chordnya dengan gitarku. Sound-therapy Nggak

terpikir berapa lamanya, terus hanyut dengan gitarku sementara Denis sibuk cari data di internet. Sini pinjem gitarnya! tiba-tiba Denis memecah keasyikanku. Udah selesai browsingnya? Udah. Pakai aja nih! Denis gantian mengulurkan laptopku. Nggak jadi. Udah nggak niat gumamku malas. Niat angin-anginan, tadi pingin tapi sekarang jadi males gitu aja. Kuulurkan gitarku ke Denis, lalu aku pilih rebahan menyamankan diriku. Denis memegang gitarku. Lalu dia mengganti laguku di Winamp dengan lagu lain, terus dia gantian bermain gitar sambil ngikutin lagu yang dia putar. Lagu dengan bahasa yang aku nggak ngerti artinya. Tapi kayaknya sih lagu Batak Enak juga Tapi lama-lama ngantuk Lagu apaan sih itu, Den? Jadi ngantuk Emang lagu tidur! Lagu tidur??? Oalahhh Pantas, aku jadi ngantuk beneran! Ada di Flashdisk-mu ya? Aku minta file-nya! sahutku sambil meraih mouse.. Eeiiitt! Bentar! Sini biar gue yang copy! sergah Denis langsung merebut mouse dari tanganku. Aku memandangi Denis, menangkap gelagat yang rada aneh. Kayak ada yang disembunyiin? gumamku curiga. Ntar lu salah ngopy! tukas Denis. Hmmm Salah ngopy koleksi bokepmu? sindirku.

Diem lu! gerutu Denis. Hahaha Benar tuh, kayaknya dia memang menyimpan bokep di Flashdisk-nya! Mungkin foldernya nyampur atau gimana Ketahuan! Tiba-tiba HP-ku berbunyi lagi. SMS masuk AHAAAA!!! Dari FANDY! Segera kubuka dan kubaca M4z Dm4z giE ap? Aduuuuhhhh Kepalaku tiba-tiba pusing!!! Tulisan model gini??? Fandy kayak gini??? Ya ampuuunnnn!!! Alay detected!!! Kamu pusing nggak baca tulisan kayak gini?!! kutunjukkan SMS Fandy ke Denis. Denis melihat tulisan SMS Fandy dan langsung ketawa. Yiaa hahaha Alay nih gayanya! Iya! SMS-nya Fandy! decakku jadi agak dongkol. Paling males kalau baca tulisan kayak gini! Nggak nyangka, Fandy yang anaknya cool itu ternyata jari-jarinya bisa bertingkah kayak gini! Cieee Denis malah kedip-kedip ke aku. Ditanyain lagi apa, dijawab aja napa? Jadi males. Keseringan baca tulisan kayak gini bisa kejepit syaraf mataku! Kamu nggak pusing bacanya? gerutuku. Halah! Cuma gitu aja sengak amat? Ya biarin lah, gaya ngetik kayak gitu kan emang lagi ngetrend! timpal Denis cuek. Gue bilangin ya, orang berteman itu pasti akan saling mengenali sifat masing-masing. Kalo makin kenal, nggak cuma makin tahu kelebihannya, tapi juga makin tahu kekurangannya. Nggak ada orang yang sempurna! Saran gue, terima aja kekurangannya, selama nggak fatal! Cuma soal tulisan aja!

Denis sok ngasih nasehat. Seperti biasa, kalau lagi kumat cerewet ya gitu, kayak jangkrik dikasih cabe! Untung omongannya ada benarnya, kalau nggak pasti sudah kusumpal mulutnya pakai mouse! Harapan lu apa sih, sama Fandy? lontar Denis. Menurutmu apa? aku balik bertanya. Kalo gue nebak sih, dari cara lu peluk-peluk dia di becak itu, kayaknya ngarah ke yaaa kayak lu sama Erik dulu kan? Cuma nebak lho! Aku tercenung dan menghela nafas. Hhhh Anaknya nyenengin sih Dan buatku sih cakep juga Ya gitu lah gumamku sedikit membayangkan sosok Fandy di benakku. Tapi aku bingung juga

tersipu,

sama sikapnya. Dia itu kayaknya pengagum Erik Darimana lu tahu kalo dia kagum sama Erik? Dia sering nanya soal Erik. Sering ngebahas. Sering komentar ujarku lesu. Padahal aku mau Erik itu jadi masa lalu, dan pinginnya Fandy itu jadi perasaan yang baru Tapi malah nyampur gini Bingung aku! Tapi emangnya lu tahu, Fandy itu gay apa nggak? Gimana kalo nggak? Kalo dia bukan gay kayak elu, mau gimana-gimana juga, dia nggak mungkin balas perasaan elu, Mas Itu juga bikin aku kepikiran terus. Kalo dilihat dari luar sih kayaknya dia memang lebih condong bergaul sama cowok Dia bergaul sama kita, ngomongin Erik juga Padahal sebelumnya kita nggak ada hubungan apa-apa sama dia kan? Tiba-tiba aja dia datang kenalan sama kita. Feeling-ku sih dia juga tertarik sama cowok. Tapi belum tentu juga dia punya perasaan yang sama denganku! gumamku gelisah. Apa lu punya rencana buat nyampein perasaan lu ke dia? tanya Denis.

Aku berpikir-pikir ragu. Dihitung-hitung, aku tuh baru dua hari kenal dia! Sedangkan di sekolah udah banyak yang tahu soal aku Ditambah Fandy itu gelagatnya pingin kenal sama Erik, cepat atau lambat kayaknya dia bakal tahu juga soal hubunganku sama Erik! Dia bakal tahu kalo aku Oohhh Ya ampun! Memikirkan masalah ini seperti menyulam dengan benang kusut! Bikin bingung dan kalut! Kalo Fandy tahu, entah dengan cara gimana, terus dia nggak bisa terima kondisi lu lu siap? Denis melontarkan pertanyaan yang membuat gundahku makin jadi. Itulah yang bikin aku bingung! Terus terang aku tertarik sama dia! Tapi aku takut kejadian yang dulu terulang lagi, waktu aku sama Erik! Makan hati! apa! Ngambeg sama keadaan yang rumit ini!!! Denis ketawa melihat tingkahku. Iya, bener itu! Usia kawin aja belum, ngapain stress mikirin cinta?! Tapi juga nggak usah pakai ngambeg gitu dong! Cup, cup Yang penting lu tetap tunjukin aja kalo lu tuh bisa jadi teman yang baik buat dia Paling enggak, moga-moga dia tetap respect sama elu! ujarnya sambil merapikan rambutku yang habis kuucal acak-acakan. Cinta itu didapat dengan sabar. Percaya deh Mendengar nasehat-nasehat panjang dari Denis, lama-lama aku jadi terpikir pada satu hal! Den, memangnya kamu pernah pacaran? Denis memandangiku dengan ekspresi tanpa dosa. Belum Gubraaaakkkk!!! desahku kalut. Kuremas-remas rambutku sampai acak-acakan. Aahhh! Capek mikirnya, ribet! Mending jalani aja dulu, entah nanti jadinya

Dasar belagu! Sok arif bijaksana! Pacaran aja nggak pernah, sok nasehatin aku soal cinta! dampratku, dan Bukkk!!! Satu gebukan bantal aku daratkan ke muka Denis! Yeee Nyinyir lu! Apa guru Fisika harus jadi awak Enterpraise biar bisa ngajar soal tata surya?!! Guru sejarah lu udah pernah ketemu Pithecantrophus Erectus?! Biar gue belum pernah pacaran, teori cinta-cintaan udah canggih gue! Ahhh Sok tahu!!! sungutku kesal. Dasar belagu! Udah! Dibales tuh SMS-nya Fandy! Ditanyain baik-baik juga, balas bentar aja males?! suruh Denis. Aku ngedumel sambil meraih HP-ku lagi. Ini br mau tdr, udh ngantuk.. U sndr lg apa? ketikku, lalu kukirimkan ke Fandy. Nggak lama kemudian Fandy membalas lagi. Siap-siap pusing Ia dEh, M4z.. mEt bubu Aq jg d4h mo bubu.. Heuuuuhh Untung balasannya nggak panjang! Lagian, kalau dilihatlihat lagi aku pernah baca yang lebih parah dari ini. Nggak apa-apa lah, mungkin nanti aku juga bisa kasih saran biar dia mau merubah cara ngetiknya itu. Mas, lu sama sekali udah nggak tertarik sama cewek ya? celetuk Denis tiba-tiba. Aku jadi tertegun. Kenapa sih masih nanyain itu?! decakku bete. Lihat nih! Denis menunjukkan padaku video bokep yang dia putar di laptopku! Bokep straight! Kulihat video itu, adegan cewek sama cowok sedang ML. Nggak mungkin itu bokep punyaku, pasti koleksinya Denis yang dia simpan di Flashdisk-nya. Tadi aja sok jaim ngumpetin bokepnya, sekarang malah memutarnya di depanku! Maunya apa sih?!

Cowoknya lumayan gumamku cuek. Ceweknya? Cantik. Tapi aku nggak tertarik ngelihat dia Tapi kok dulu lu masih nyimpan bokepnya Miyabi? Kenang-kenangan cetusku. Kenang-kenangan apa? Denis memandangiku rada heran. Aku menghela nafas jengah. Kenang-kenangan waktu masih bingung! Aku jadi gay nggak kayak orang habis bangun tidur langsung bilang dengan enteng Okey, Im gay! Butuh proses! Harus denial, pura-pura beberku dengan agak bete. Bukannya dulu aku udah cerita ke kamu? Kirain udah ngerti! Denis menekan-nekan punggungnya ke bantal, menghela nafas. Mas soal gay itu bener ato salah, jujur aja, gue belum nemuin alasan yang pasti. Satunya-satunya alasan gue nerima elu, karena lu tuh sodara gue. Lu lebih penting dari perdebatan soal gay itu bener ato salah! Di sekolah banyak yang ngomongin elu, tapi kalo lu emang udah yakin berarti gue nggak perlu setengahsetengah belain elu ujar Denis pelan. Akhirnya pengakuan Denis mengetuk dadaku. Aku jadi terharu mendengarnya Aku sadar, bukan cuma aku saja yang menanggung beban stigma soal gay. Denis sebagai sodaraku, sodara kembar, aku tahu dia pasti juga nggak luput dari gunjingan Jadi ngapain kamu kasih lihat video itu ke aku? tanyaku. Karena gue tahu, cowok di video itu lumayan celetuk Denis sambil tersenyum curang padaku. Ngeles lagi!!! langsung kegebuk lagi kepala Denis dengan bantal. Tadi kamu nyuruh aku ngelihatin yang cewek kok?!!

Denis ngakak. Dasar kurang ajar, berani-beraninya mencobai aku! Huuhhh! Kubenamkan mukaku ke guling. Kutinggalkan Denis sendirian menonton bokepnya. Aku nggak tertarik. Aku mau tidur saja! Awas, jangan coli di sini ya! celetukku dari balik guling. Ihhh! Mulut lu tuh!!! Ngaku lebih tua, ngomong nggak sopan!!! gerutu Denis, dia gantian menggebuk kepalaku. Kamu tuh yang nggak sopan, baru bokep gitu aja dipamerin! balasku cuek. Ujung-ujungnya, Denis malah mengeraskan volume suara laptopku. Terdengar makin jelas suara-suara khas bokep dengan kalimat wajibnya, oh yes, oh no!, disertai teriakan-teriakan mesum yang provokatif dan hiperbola Bikin kupingku jadih gatal! Kecilin! bentakku bangun dari tiduranku. Kalo nggak matiin! Hehehe Denis cengengesan tanpa dosa sambil mengecilkan suara laptop. Aku balik tiduran lagi, menyambut gulingku OH YESS! tiba-tiba volume dibesarkan lagi! Gondok! Kuraih mouse laptopku. Denis cekikikan menghalangi tanganku. Aku sama Denis jadi kucing-kucingan tangan aku mau matiin video, dia mau mempertahankan tontonannya! Tiba-tiba Kreeekkkk! Pintu kamarku terbuka dan Mama nyelonong masuk ke kamarku Astaga!!!

Dimas, Mama pinjam obat nyamuk electrik-nya dong! seloroh Mama sambil langsung ngoprek-ngoprek kamarku. Tapi Mama segera kelihatan tanggap akan sesuatu yang lain melirik ke arah kami dengan ekspresi curiga! Oh yes, oh noo suara dari laptop masih terdengar, video masih terputar! AAAAHHHHHH!!! Aku langsung sigap merebut mouse laptopku Aku klik tombol close di ujung layar video Tapi Media Player-nya malah macet! Gambar adegan nungging masih nyangkut di layar Not Responding!!! Mampussss!!! Itu apa? selidik Mama, dengan mengendap-endap mulai menghampiri kami GAWAAATTTT!!! Nonton kartun, Ma! jawabku bohong sekenanya! Iya, Ma sahut Denis gugup dengan muka bego! Kartun? tukas Mama, nada suaranya datar tapi menegangkan Iya, kartun! tandasku. Tengkukku dingin. Aku mencoba tenang, tapi tetap saja merinding! Tanganku gemetar mencengkeram mouse Aduhhh!!! Masa ketahuan Mama sih, kalau lagi muter bokep?!! Rencana pamungkas buat kondisi darurat, mau nggak mau aku harus men-shutdown laptopku dengan paksa! Biarpun Mama bisa saja malah tambah curiga, tapi paling nggak buktinya terhapus! Kalau Mama masih maju mendekat, beneran aku akan matikan laptopku dengan paksa! Mama, please jangan ke sini! Mata Mama masih mendelik kelihatan curiga. Tapi akhirnya perlahanlahan membalikkan badannya lagi, kembali sibuk mencari obat nyamuk electrik Huuaaahhhhh Hampir!!! Udah, cepat pergi dong, Maaaaa!!!

Kok gambarnya masih macet aja? bisik Denis. Aku cuma bisa pasrah. Mataku terus mengawasi gerak-gerik Mama dengan was-was. Obat nyamuk elektrik sudah ada di tangannya, tapi aku tetap bersiaga kalau saja tiba-tiba Mama nekat menghampiri dan melihat laptopku! Mama bawa obat nyamuknya ke bawah ya ujar Mama sambil menggeloyor pergi, meninggalkan kamarku. Ahhhhh Akhirnya!!! Dan setelah situasi tegang berlalu layar Media Player di laptopku akhirnya menutup dengan sendirinya AAAHHHH Dasar lelet!!! Ngerjain aku nih laptop!!! Bikin deg-degan aja! Sekarang layar laptopku sudah kembali full-wallpaper bergambar apel Nggak ada lagi gambar nungging yang nyangkut! Kamu tuh, bikin masalah aja! aku langsung marah-marah ke Denis. Untung nggak ketahuan sama Mama! Bisa disita laptopku kalo ketahuan! Denis cuma cengar-cengir. Kucabut Flashdisk-nya, lalu segera menshutdown laptopku. Udah sana keluar, aku mau tidur! kuusir Denis sambil menendang kakinya. Gue tidur sini aja Nggak! Udah punya kamar sendiri juga! Sana! aku tetap mengusir Denis. Nggak mau. Gue tidur sini! Denis ngeyel, malah langsung tengkurap di kasurku. Hiiihhh! Dasar Nyebelin!!! Masa bodo! Kubalikkan badanku, mendekap gulingku lagi. Kupejamkan mata Tinggalkan semua emosi dan beban pikiran Marah, Mas? Jangan marah dong

Kudengar Denis merajuk. Aku diam, nggak peduli. Aku pingin cepat tidur! Lalu perlahan mulai kudengar suara petikan gitar di dekatku. Dentingdenting sederhana yang melantunkan lagu yang rasanya aku kenal Ya, aku memang mengenalnya. Lagu berjudul Winter Light, dari film klasik berjudul The Secret Garden Lagu yang sebagus filmnya. Kami punya videonya, dulu kami sekeluarga sering menontonnya Setelah lama nggak mendengar dan hampir melupakannya, sekarang lagu itu menjelma dalam petikan gitar yang dimainkan oleh jari-jari Denis. Bikin hati jadi tenang Lu ingat lagu ini nggak, Mas? gumam Denis. Kalo ingat nyanyi dong! Aku diam. Pura-pura sudah tidur. Akhirnya Denis berhenti bermain gitar. Pelan-pelan dia turun dari tempat tidurku Mau kemana? aku langsung berbalik melongoknya. Denis kaget, mengira aku sudah tidur. Mau tidur, di kamar gue! sahutnya. Nggak boleh! kutarik tangan Denis sampai dia jatuh lagi ke kasur. Tidur sini aja! Biar jahil, usil, tengil, aku sayang Denis! Mainin lagi gitarnya!

KANTONG 16 : Aldo

Jam istirahat datang. Teman-temanku sudah menyebar keluar dari ruang kelas. Tapi aku masih di sini, di kursiku duduk melamun. Ke kantin yuk, Mas? ajak Misha, yang juga masih duduk di sampingku. Nggak tahu nih, tumben hari ini aku nggak lapar Nanti aja kayaknya, Mis, jam istirahat kedua balasku malas. Mas tiba-tiba Denis nongol ngagetin aku di depan mejaku. Waaah! Ada kunjungan dari sodara nih? Misha di sebelahku langsung menyahut. Iya, dong! Gue sama dia kan sodara yang baik! sahut Denis sambil duduk di pinggiran mejaku. Nih, tanda-tanda nggak beres! Kalau Denis mulai sok gaya seperti ini pasti ada maunya! Gitu ya? Misha menimpali sambil pasang muka penuh perhatian. Iya. Kita mandi aja berdua kok! Hahhh? Beneran?!! sentak Misha langsung ternganga! Iya. Dulu waktu kecil sahut Denis. Ekspresi Misha langsung surut lagi. Hummm Kirain! tukasnya. Kenapa? Kecewa?! Puas ngebayangin aku mandi sama Denis?!! aku langsung sengit mendamprat Misha. Yeee Nggak ya! Gila, geer amat sih?! Masa aku ngebayangin kalian, aneh aja! kelit Misha jaim.

Tetap aja mukamu kelihatan kecewa! tukasku ke Misha. Sekarang aku ganti melotot ke Denis. Ngapain?! hardikku galak. Denis langsung cengengesan. Hehehe Pinjem duit, pingin makan nih gue Tuh kan?!! Udah aku duga, pasti ada maunya! Nggak! Kamu kan udah dikasih jatah sendiri sama Mama! tolakku. Tadi duit gue buat bayar buku! Pinjem lah, ntar di rumah gue ganti! rengek Denis. Ogah gumamku cuek sambil cutik-cutik kuku. Mana Kakak yang Baik? Pelit gitu?! komentar Misha. Gue pinjem elu aja deh, Mis, sumpah lapar banget nih! Denis ganti minta ke Misha. Eehhh! Dasar muka tembok! aku langsung gampar bahu Denis. Aku yang tengsin kalau dia sampai pinjam duit sama orang lain! Udah nih! Sampai rumah harus balikin! terpaksa kukeluarkan juga duitku, kucelan limaribuan. Hehehe Makasihhh! Duitku aman deh cetus Misha berakting lega. Kita makan bareng yuk, Den?! akhirnya dia ngajak Denis. Yuk! sahut Denis semangat. Aku pinjam adikmu ya, Mas! seloroh Misha sambil berdiri. Bawa pulang aja sekalian! cetusku cuek. Denis langsung cengar-cengir menyambar duitku.

Alaahhh Ntar lu sedih kalo nggak ada gue?! cibir Denis sambil menowel daguku. Lalu cekikikan sama Misha meninggalkan kelas. Sompret tuh anak! Tiba-tiba kurasakan HP-ku bergetar dan berbunyi. SMS masuk Qta ktmu di blkng aula skrg! Huhhh! Aku sebenarnya ragu buat ketemu sama tukang SMS aneh ini. Kalau ketemu kayaknya cuma akan nambah masalah, secara dia ngungkit-ungkit urusanku sama Anita! Ngatain aku bodoh lagi kemarin! Tapi terus terang aku juga penasaran sama orang ini. Soalnya dia juga bawa-bawa soal gay selain aku di sekolah ini Apa maunya, dan apa tujuannya? Akhirnya aku berdiri juga dari dudukku. Aku bergegas menuju aula. Kuputuskan buat menemui anak ini!

Tiba di gedung aula yang letaknya di salah satu sudut sekolah, hatiku lumayan deg-degan! Tempat ini sangat sepi, seperti biasa kalau sedang nggak ada kegiatan. Dengan sedikit mengendap-endap aku berjalan menuju ke sisi belakang Nggak ada orang lain selain aku, dan satu orang lagi kulihat seorang siswa cowok sedang duduk di ceruk jendela aula. Kakinya menggantung diayunayunkan. Posturnya tegap, rambut pendek disisir belah pinggir agak acak Wajahnya serius Matanya sayu tapi terkesan agak sinis melihatku. Bibir tipisnya mengembang datar, seolah sedang berkata padaku, Kamu nggak nyangka kan? Ya, aku nggak nyangka! Meski aku nggak kenal, tapi aku sudah familiar dengan sosoknya dan juga popularitasnya. Bahkan, mungkin satu sekolahan pasti juga familiar dengannya! Nama kamu Aldo kan? sapaku.

Nggak salah. Nggak harus kenal buat tahu namaku, kan? Nggak jauh beda sama kamu, nggak perlu kenal sama kamu buat tahu nama gay paling eksis di sekolah ini! balas Aldo dengan senyum sinis. Sindiran yang nggak enak banget! Lalu dia turun dari ceruk jendela, dan berdiri tegap berhadapan denganku. Popularitas memang ada konsekuensinya! lontarnya. Semua hal ada konsekuensinya, sanggahku datar. So? Hahaha Apa jadi gay yang dikenal orang satu sekolahan

konsekuensinya menyenangkan? Diolok-olok, diteriakin homo? Enak? sahut Aldo dengan senyum congkak. Tiba-tiba aja jadi berasa pingin nonjok mukanya! Dia beruntung, yang dia hadapi ini bukan orang yang suka berantem! Kamu tahu nomorku dari siapa? tanyaku, berusaha nggak menggubris semua cibirannya. Nggak usah dibahas, nggak penting! Bukan private number kan? Oke. Kalo gitu to the point aja. Darimana kamu tahu soal aku sama Anita? Dan maksud kamu apa? Aku sekelas sama Anita. Dia cerdas tapi juga gampang ditebak! desis Aldo dengan raut remeh. Sebenarnya aku lebih senang kalo kamu tuh lebih cerdas dari dia, jadi nggak perlu susah buat menebak maksudku! Beuhhh! Berbelit-belit nih anak?!! Sok cerdas lagi?!! Benar, aku pingin nonjok mukanya! Ya udah, aku memang nggak cerdas. Sekarang cepat jelasin maksudmu, jam istirahat nggak lama! cetusku sambil melirik ke jam tanganku. Aku minta kamu nggak usah melayani Anita, nggak usah ngasih statement apapun ke dia! Jangan bantu dia buat bikin sensasi soal gay! Itu yang dia cari dari kamu kan?! tegas Aldo.

Hmmm Jadi itu maksudmu? aku menggumam dengan sedikit menahan senyum. Sebenarnya aku geli sama maksud kamu itu. Kenapa kamu pikir aku mau bantuin Anita? Aku sudah tahu dia itu seperti apa Ngelihat yang sudah-sudah, kamu itu ceroboh! Jadi aku rasa kamu perlu dikasih peringatan! Kali ini jangan sampai kecerobohanmu bikin gay yang lain jadi ikut kena getahnya! Ceroboh? Entah ceroboh atau memang bodoh! cetus Aldo pedas. Oke, simple-nya gini kalo kamu belum tahu Erik itu straight, berarti kamu bodoh, payah! Tapi kalo sebenarnya kamu sudah tahu dan masih tetap nekat nembak dia, berarti kamu ceroboh, naif! Entah kamu ceroboh atau bodoh, ya akhirnya sih tetap sama: kamu jadi bahan cacian! Iya kan? Alasanku suka sama Erik bukan karena dia gay atau straight, suka ya suka aja! Memangnya kalo kamu suka sama seseorang, kamu mau memendamnya selamanya? balasku menahan emosi. Perasaan bukan sesuatu yang nggak bisa dikendalikan! Bagiku, kalo nggak mungkin jadi, maka nggak perlu diterusin! Harapan boleh tinggi, tapi harusnya tetap nyadar sama kenyataan! Ngejar cowok straight itu mimpi! cibir Aldo ketus. Udah, kamu nggak usah ikutan ngolok-ngolok soal itu! Yang nanggung konsekuensinya juga aku sendiri. Kalo sekarang aku jatuh, memangnya kamu ikut sakit? tukasku. Oke, whatever! Soal kamu sama Erik memang bukan urusanku. Tujuanku cuma mau ngasih peringatan agar mulai sekarang kamu lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Seperti sudah aku bilang, bukan cuma kamu yang gay di sini! Biarpun identitas mereka nggak ketahuan tapi bukan berarti mereka senang gay jadi bahan ejekan di sini! Anita sepertinya mau memperkeruh situasi, jangan sampai kamu malah bantuin dia!

Hei, sebenarnya kalo maksud kamu mau mengingatkan, itu juga udah telat! tukasku jengah. Aku sudah ketemu Anita. Dan aku menolak wawancaranya! Tapi kamu harus faham, kalo Anita nggak harus bergantung sama pendapatku. Kalo dia mau, dia bisa menulis dengan pendapatnya sendiri! Jadi kalo nanti dia tetap menulis soal gay, itu bukan karena statement-ku. Aku sendiri cuma bisa berharap, apapun yang dia tulis semoga nggak menyulitkan posisi siapapun Jadi, aku rasa reaksimu padaku terlalu berlebihan! ujarku berusaha meluruskan perdebatan. Aku nggak berlebihan! Sadar please! Gay itu belum diterima di sini, dan sialnya di sekolah ini ada gay yang telanjur ketahuan! Anita jelas tahu itu, dan dia ingin pakai itu buat berita heboh di sini! Komentar-komentar miring bakal tambah ramai! Tekanan mental akan tambah berat buat gay yang ada di sini! Kamu tahu itu semua berawal dari mana? Sejak statusmu ketahuan karena kecerobohanmu sendiri! Aku nggak bisa kayak kamu, aku nggak bisa cuma berharap Aku harus peringatkan kamu! Kupingku panas mendengarnya. Tapi hatiku lebih panas! Aku benar-benar sedang diintimidasi! Sampai sekarang gay selalu dipandang rendah, biarpun kita selalu berusaha jadi orang baik! Bayangkan, jadi orang baik aja masih dicemooh, apalagi kalo punya kelakuan jelek! tambah Aldo. Memangnya siapa yang berkelakuan jelek? aku tambah tertegun. Nggak nyadar? Yang kuajak ngomong cuma kamu! Eeeh Wait! Maksudmu aku yang punya kelakuan jelek?! Yaa mungkin memang secara subjektif. Lihat dirimu kemarin, ngejarngejar idola sekolah, cari perhatian di Facebook-nya, lalu nembak dia di acara piknik sekolah! Kamu bisa ngeles dengan bilang bahwa bagi orang yang jatuh cinta itu adalah tindakan wajar. Tapi kamu harus ingat dan nyadar kalo buat mereka: GAY ITU NGGAK WAJAR! Mungkin sekarang kamu udah nggak

ngejar Erik lagi, tapi apa kamu bisa menghentikan orang-orang yang telanjur senang mengejek kamu homo? Kamu nggak nganggap cacian itu berkat kan?! Aku ingin kamu sadari itu! Jauhi apapun yang bisa bikin situasi tambah buruk! Aku tertunduk. Perasaanku bergumul antara rasa gusar, sakit hati, dihakimi, dan juga sadar diri Meski kata-kata Aldo itu pedih tapi dia memang ada benarnya Apa banyak gay selain kita di sekolah ini? gumamku lirih. Aldo lagi-lagi tersenyum sinis. Asah radarmu! Kamu harus belajar untuk tahu dengan kemampuanmu sendiri. Soalnya nggak akan ada yang mau ngaku. Dan aku rasa mereka juga akan berpikir dua kali buat bergaul sama kamu, karena mereka jelas nggak mau identitas gay mereka ikut terbongkar! Terlalu beresiko! Terus kenapa kamu mengambil resiko buat ketemu aku? Cuma untuk sekali ini saja, agar aku bisa peringatkan kamu! Sama sekali aku nggak ada niat buat bergaul sama kamu. Sorry, aku harap kamu ngerti kalo alasanku logis. Sebenarnya kalo kecerobohanmu nggak akan berimbas pada perasaan gay yang lain, aku juga nggak akan repot-repot memperingatkan kamu Tapi kenyataannya kamu sendiri sudah tahu posisimu. Kamu sudah jadi sorotan dan bahan omongan di sini! Kejelekan yang dibicarakan orang soal kamu, akan jadi generalisasi terhadap gay yang lain! tukas Aldo. Aku mencoba tetap tenang meski dalam hati ingin memaki-maki. Kupandangi Aldo, dan lama-lama malah ingin ketawa. Kamu berulangkali ngatain aku bodoh dan ceroboh. Tapi bukannya kalo kamu berani ketemu aku artinya kamu percaya sama aku? Percaya kalo aku nggak akan membocorkan identitasmu? lontarku menahan geli dalam hati. Kamu ngatain aku ceroboh karena nggak bisa menjaga rahasia statusku Kalo rahasiaku sendiri aja aku nggak bisa menjaganya, kenapa kamu masih nekat percaya kalo aku bisa menjaga rahasiamu?

Wajah Aldo tampak meremang seperti mau menyemburkan api, terdiam tanpa jawaban saat aku membalik kata-katanya. Dia memandangiku dengan tajam. Aku balas menatapnya tanpa gentar. Terus terang aku nggak suka dengan caramu menekanku. Jadi berharaplah rasa kesalku segera hilang, supaya aku nggak perlu jual rahasiamu pada Anita cetusku lirih dan tajam. Soalnya Anita pasti akan lebih tertarik dengan fakta bahwa anak Kepala Sekolah adalah seorang gay Justru itulah aku ingin kamu tahu bahwa aku serius! desis Aldo dengan raut dingin yang memerah. Kamu sendiri sudah tahu posisimu Orangorang belum tentu percaya kalo kamu mau bicara soal identitasku, karena reputasimu sendiri sudah telanjur buruk. Sebaliknya, sebaiknya kamu faham kalo kamu berulah maka ayahku bisa mengeluarkanmu dari sekolah ini ucapnya dengan sungging senyum sinis. Aku tertawa kecut. Kamu sendiri pasti tahu bahwa reputasi Anita juga buruk, tapi orang-orang tetap percaya omongannya. Dan aku sendiri, setidaknya aku sudah mulai beradaptasi dengan reputasiku sekarang. Dan terus terang saja nggak semua orang membenciku, ada dari mereka yang tetap menerimaku. Tapi kamu? Apa kamu lebih siap dari aku seandainya rahasiamu terbongkar? Akui saja kamu juga cuma bisa berharap dalam situasi seperti ini! cetusku tanpa ragu-ragu. Mata Aldo terlempar tanpa arah, dadanya sesaat membusung menghisap nafas banyak-banyak Rahangnya tampak menekan, kedua tangannya terkepal Emosi. Berang. Marah. Tanpa bisa melampiaskannya! Ohhh Apa gurauanku tadi terlalu pedas??? Hahaha Santai, santai! Aku cuma becanda kok! aku langsung mengakhiri aktingku dengan geli. Mungkin aku memang bodoh dan ceroboh. Tapi aku bukan orang jahat. Aku juga ingin kamu tahu kalo bebanku sudah berat. Kamu menekanku buat jaga sikap, memintaku dengan ketus supaya nggak

bikin resah gay lainnya intinya aku diminta menjaga kenyamanan kalian Begitu kan? Pertanyaannya apa memang aku, yang harus mengemban tanggung jawab itu?! Lalu waktu aku dicemooh, kalian di mana? Apa kalian membelaku? Jadi maksudmu semua gay di sekolah ini harus ngaku bahwa mereka gay, lalu berdiri di sebelahmu buat membelamu? Gitu? Kamu bisa nggak membayangkan yang sebaliknya? Seandainya yang ketahuan gay adalah anak lain, kamu sendiri masih aman dengan identitasmu, apa kamu mau ngaku dan maju demi membela dia?! Nggak juga kan? Nggak usah munafik! tukas Aldo sengit. Hei! desahku tercekat. Tawa pahit terlepas lagi dari mulutku. Bagian mana di kalimatku yang nyuruh kalian buat ngaku? Dan tentu saja identitas kalian aman! Tapi kenapa malah ikut menekanku? Kalo kalian nggak bisa membelaku, nggak usah datang hanya untuk ikut ngolok-olok aku! Jadi siapa yang munafik? Akulah yang menanggung reputasiku, bukan kamu, bukan kalian! Jadi aku minta kamu simpan keangkuhanmu! Kamu ingin situasi nggak bertambah buruk, tapi kenyataannya kamu juga nggak membuat situasi jadi lebih baik! Wajah Aldo semakin merah padam. Lagi-lagi tanpa jawaban, tanpa menatapku. Tegak dengan angkuhnya. Tapi terlihat olehku apa yang ada di balik keangkuhannya itu. Kerapuhan! Suasana sekarang hening. Diam tanpa kelumit perdebatan lagi. Kebisuan yang menyimpan kobaran api! Persinggungan yang runcing. Prasangka, gusar dan resah bergumul jadi satu dalam egoku! Di sela-sela suara burung yang samar di pepohonan, bunyi bel terdengar. Jam istirahat berakhir Kamu nggak perlu resah terlalu berlebihan seperti ini desahku di akhir perdebatan.

Aldo menatapku sesaat dengan sorot matanya yang tajam. Thanks, ucapnya kemudian. Buat apa? Buat usahamu mempengaruhi cara pikirku! sahut Aldo seraya membalikkan badannya, mengambil langkah meninggalkanku. Lalu sekilas dia menengok lagi padaku. Sorry, bagiku itu tetap terlalu naif! Aku terkesima tanpa ucapan apa-apa, menatap sosok Aldo hilang di balik gedung aula Huuuuhhhh Ya ampun! Dengan langkah gundah, kutinggalkan gedung aula yang sepi itu. Semoga apa yang kuhadapi barusan nggak akan jadi masalah berkepanjangan. Aku sudah capek! Hatiku terlalu berharga untuk digerogoti masalah yang dicari-cari seperti ini! Kapan semua perkara ini akan selesai?

KANTONG 17 : Aku Tahu Pilihanku

Aku sedang berada di sebuah mall, Solo Grand Mall. Salah satu mall terbesar di Solo. Kalau mau belanja, nonton bioskop, atau jajan makanan, mall satu ini termasuk lengkap. Tapi kalau mau cari bokep gay bajakan, kayaknya nggak bakal dapat sih. Hehehe Aku sudah agak lama berdiri di sini, menyandar di pagar balkon lantai foodcourt. Sendirian di tengah keramaian, melihat orang-orang yang ramai berlalu-lalang. Yahhh Siapa tahu dengan cuci mata, pikiranku bisa jernih lagi. Refreshing nggak selalu harus di tempat yang sepi kan? Sejak dari tadi sebenarnya aku curiga sama cowok yang berdiri nggak jauh di sebelahku. Dia kelihatannya seumuran denganku. Brondong bergaya chic, dengan baju dan celana warna cerah tapi rada norak, modis tapi ehemmm ya gitu deh Tiap aku ngelirik ke dia, entah sengaja atau enggak dia juga pas sedang ngelirik aku. Lalu habis itu dia buang muka sambil cemberut. Lagaknya! Jangan-jangan ke-geer-an dia? Aku ngelirik karena penasaran ya, bukan naksir! Huuhhh Mending cari obyek lain aja! Aku melangkah jalan-jalan di depan jajaran kedai foodcourt. Pingin jajan makanan, tapi bingung mau makan apa saking banyaknya kedai dan menu yang ditawarkan. Akhirnya cuma muter-muter aja, berjubal dengan pengunjung lainnya yang ramai dan bising Nggak kerasa, setelah muter-muter langkah kakiku sampai lagi di depan cowok brondong tadi, dan lagi- lagi dia cemberut sok imut ngelihatin aku. Gosh! Gini nih, kalau jalan nggak ada tujuan! Serba nggak jelas arahnya! Aku balik lagi menyandar di pagar balkon, berdiri manyun kayak anak ilang. Kali ini aku cuek sama anak cowok di sebelahku yang sok gaya itu. Nggak urusan!

Tapi kemudian terjadi sesuatu yang menarik perhatianku Seorang om-om datang menghampiri brondong di sebelahku itu. Om tadi menyapa anak itu. Lalu mereka ngobrol, entah apa yang diomongkan aku nggak dengar. Tapi terkesan sekali kalau mereka baru berkenalan Mereka ngobrol sebentar, habis itu mereka berdua jalan ninggalin balkon. Tangan Si Om menempel di pinggang anak itu Ooo Sekarang aku mulai berpikir, kayaknya di tempat ini nggak

cuma buat jajan makanan, tapi juga jajan brondong! Yaahhh Ada wajarnya sih, pusat belanja dan hiburan yang ramai kayak mall ini akhirnya jadi lokasi kencan! Dari segala usia, dari segala motif! Sebenarnya hal seperti itu sudah nggak asing juga sih Hei seseorang menyapaku. Aku menoleh agak kaget Hai, Bro! sambutku hangat. Ngapain bengong di sini? tanya Ben sambil toss. Nggak ngapa-ngapain. Baru nggak jelas aja nih! sahutku masam. Kamu sendiri ngapain? Nih habis cari DVD, ujar Ben sambil menunjukkan bawaannya. Udah makan? Belum. Kenapa? Mau nraktir? candaku. Enggak! Aku mau makan nih, kalo kamu nggak ada duit temenin aku aja ya! ujar Ben sambil jalan ke kedai foodcourt. Pelit! ejekku sambil ngikut.

Ben mampir ke kedai Bento. Dia pesan paket Chicken Teriyaki. Tadi aku bingung mau makan apa, tapi sekarang berhubung ada teman jadi ngikut aja Aku pesan Beef Yakiniku. Kurogoh dompetku Ini aja, cegah Ben sambil menyodorkan duitnya duluan ke kasir. Nggak usah, aku bayar sendiri! sahutku sambil ikut menyodorkan duitku ke kasir. Aku bayar sendiri, Mbak! ujarku ke penjaga kasir. Duitku diterima sama penjaga kasir itu sambil tersenyum-senyum. Katanya minta ditraktir? celetuk Ben. Becanda kali! tukasku. Nggak enak lah, ketemunya kebetulan kok minta ditraktir?! Kecuali kalau sudah kencan dari rumah dan yang ngajak dia, baru dia wajib nraktir! Aku sama Ben duduk menghadapi meja foodcourt. Harus menunggu 15 menit buat menu yang kami pesan. Suara dentum house musik, celoteh orangorang yang makan di meja foodcourt, dan wara-wiri orang yang lewat, jadi suasana di mall yang megah ini. Aku bengong lagi di depan meja makanku, melewatkan suasana yang masih terasa mengambang Kamu lagi cari apa? pertanyaan Ben mengulik kerancuanku. Nggak tahu, aku juga bingung. Dari tadi cuma jalan-jalan aja gumamku datar. Stress? cetus Ben disertai tawa kecil. Aku cuma menggumam dengan senyum mengawang Kenapa nggak nonton film aja? cetus Ben. Filmnya nggak ada yang bagus. Lagian ke sini memang nggak niat. Asal belok aja tadi sahutku. Memangnya sebelum ke sini kamu dari mana?

Dari sepedaan. Nggak jelas juga Wahhh Stress berat nih kayaknya? Ada masalah apa? tanya Ben kelihatan penasaran. Banyak sih. Sebenarnya kalo dibilang berat banget sih enggak juga. Cuma masalahnya melibatkan banyak orang aja. Lumayan menekan kalo dipikir terus. Makanya aku pingin nyantai aja, main-main ke sini jelasku sedikit lesu. Hmmm Ben menggumam. Dia melipat tangan di balik kepalanya, duduk sambil mengayun-ayunkan kursi. Senyum kecil menghias bibirnya, senyum yang straight banget! Masalah cowok? tebaknya dengan sorot mata agak jahil. Hahaha Salah satunya! sahutku agak malu. Ben langsung ketawa juga. Kenapa? Baru naksir atau udah ditolak? Udah ada rasa suka sih. Tapi kamu ngerti lah situasiku, gimana-gimana nggak semudah hubungan cowok sama cewek ujarku pelan. Iya sih, aku bisa ngebayangin. Salah-salah, bukannya dapat pacar malah dapat malu. Yang ini masih dengan yang dulu itu? cetus Ben. Sama Erik? Bukan! Aku udah nggak ada urusan sama dia! gumamku sambil mencomot isi kantong plastik yang dibawa Ben, iseng-iseng melihati DVD yang barusan dia beli. DVD musik semua, band-band yang aku nggak kenal. Symphony X, Angra Metal semua nih kayaknya Berarti baru lagi nih? selidik Ben lagi. Iya desahku dengan senyum agak malu. Menurutmu, aku tuh konyol nggak sih, Ben? pancingku kemudian, sambil memasukkan lagi DVD-nya Ben ke dalam plastik. Konyol? Dalam hal apa? Cowok suka cowok. Konyol ya?

Nggak sahut Ben sambil tersenyum masam. Menurutku nggak ada hal yang konyol, selama dijalanin dengan serius. Tapi aku nggak nyangka juga sih, kamu bisa dapat gebetan baru. Lumayan cepat! Hahaha Memang perasaan kayak gini nggak bisa ditebak. Aku juga nggak pernah punya rencana habis ditolak Erik musti cepat-cepat cari pengganti nggak, nggak ada rencana! Pas ketemu ngerasa cocok aja, terus jadi suka. Nggak tahu juga nantinya bakal gimana, aku pingin mengalir aja Terus, masalahnya di mana? Ya itu, aku sih pinginnya mengalir. Tapi jalan buat mengalirnya itu yang ribet! Di sekolah kan udah banyak yang tahu soal aku, bisa aja kan kalo lamalama dia juga dengar? Rasanya nggak rela kalo dia tahu dari kasak-kusuk orang lain, tapi kalo aku sendiri yang bilang ke dia saat ini juga masih terlalu cepat! Sekarang kondisinya lebih susah dibanding waktu aku sama Erik dulu. Sekarang udah banyak yang tahu soal aku, jadi lebih kerasa bebannya! desahku lesu. Waktu kamu masih suka Erik, sebenarnya kamu juga udah tahu resikonya kan? Kamu harus berani dong! Kalo cuma diolok-olok sih cuekin aja! Namanya juga anjing menggonggong! Kalo soal diolok-olok sih lama-lama aku juga udah biasa. Kebal sendiri. Tapi yang aku pikirkan justru posisi cowok yang aku sukai itu bisikku pelan. Tapi aku cuek kok temenan sama kamu. Aku nggak malu atau gimanagimana! sahut Ben. Ya memang dasarnya kamu tuh cuek orangnya! Lagian posisi antara aku sama kamu juga beda. Kalo aku sama anak itu, karena aku ada rasa ke dia, ada motivasi yang mengarah ke ya kamu tahu lah maksudku! Disukai sama cowok yang sering dicaci di sekolah, pasti jadi beban mental juga buat dia kan? Aku tahu Erik dulu juga gitu, ngerasa jengah tiap kali aku dekati soalnya anakanak lain suka ngolok-olok! Akhirnya aku ditolak sama Erik Aku cemasnya

yang sekarang juga begitu, karena beban mental yang dia hadapi pasti nggak gampang jelasku. Heuuhhhh Akhirnya curhat panjang lebar. Aku masih ingat sama kata-kata Aldo waktu di sekolah tadi pagi, nggak mungkin lupa. Anak-anak yang sesama gay aja akan berpikir dua kali buat bergaul sama aku, malu dan takut kalau orang lain tahu bahwa mereka sama sepertiku Apalagi Fandy, yang belum tentu dia gay sepertiku, kalau orangorang pada tahu aku suka sama dia, itu bisa jadi beban buat dia Aku nggak boleh menyamakan semua orang seperti Ben atau Denis, atau Misha yang bisa enjoy bergaul sama aku! Sebenarnya intinya, kamu bingung dia bisa nerima kamu atau nggak kan? tanya Ben. Ya iya! Untuk tahu dia bisa nerima aku apa nggak, otomatis dia perlu tahu kondisiku Entah lewat pengakuanku sendiri atau dari omongan orang lain, baru dia akan ngasih respon kan? Memangnya selama ini dia gimana? Kira-kira bisa nerima kamu apa nggak? Aku juga nggak tahu. Aku juga nggak bisa nebak, apa dia itu sama kayak aku atau enggak keluhku. Kuakui sekarang, betapa radarku memang payah! Ribet ya Tapi, kenapa mikirnya musti seberat itu? Kalo misalnya sama yang ini kamu ditolak jadi pacar, bukan berarti kamu udah nggak punya kesempatan buat menemukan yang lain kan? Kalo kamu juga ditolak jadi teman, aku yakin kamu juga masih punya teman yang lain Aku menatap Ben yang berusaha memberiku semangat. Iya, aku tahu gumamku seraya tertawa pahit. Tapi, aku tetap punya harapan sama dia. Meskipun nggak terlalu tapi tetap berharap Yaaahh setidaknya, misalnya nggak bisa jadi boyfriend, dia tetap mau berteman denganku

Ben mengangguk dengan senyum tipis. Sorot matanya seolah menegaskan kalau dia ada di pihakku. Ya, aku tahu itu. Maaf, Mas, pesanannya agak lama sapa Pramusaji yang menghampiri kami, sambil meletakkan menu pesanan kami di atas meja. Silakan ucap Pramusaji itu, kemudian dia segera berlalu lagi. Lumayan gumamku sambil ngelirik ke cowok pramusaji tadi. Ahhhh! Jelalatan! tukas Ben sambil mengaduk bumbu Teriyaki-nya. Hehehe Memangnya kamu nggak gitu kalo sama cewek? balasku. Biasa aja! cetus Ben. Aku mencicip Yakiniku milikku sambil tertawa kecil. Kamu pernah pacaran nggak sih, Ben? tanyaku. Pernah. Kenapa? Nggak. Cuma nanya aja. Sama cewek kan? Ben langsung ngelirik aku dengan mata judes. Ya iya lah! Kenapa? Ngarep aku sama cowok? tukasnya agak ketus. Enggak gumamku sambil cengengesan. Masih jalan? Udah putus. Udah jaman SMP dulu Wahhh Ternyata kamu eksis juga ya, SMP udah pacaran?! Biasa aja lah. Jaman sekarang anak SD aja juga udah tahu pacaran! Betul! gumamku sambil mengunyah nasi Yakiniku di mulutku. Siapa sih gebetan barumu itu? tiba-tiba Ben balik bertanya seputar masalahku tadi. Palingan kamu juga nggak kenal. Anak kelas satu

Anak baru? Hmmm Ben mengangguk-angguk sambil mengunyah makanannya. Kenal juga belum ada seminggu. Tapi anaknya nyenengin sih Makanya aku bisa cepat suka sama dia gumamku sambil membayangkan Fandy anak yang menyenangkan, sesekali menggemaskan juga! Pasti asyik kalau bisa jalanjalan sama dia, terus makan-makan sambil ngobrol seperti sekarang ini Ahhh! Tapi kalau dirasa-rasa, sebenarnya terlalu banyak berkhayal seperti inilah yang bikin orang jadi terlalu berharap! Pikiran itu memang memiliki ruang jebakan, kita dimanjakan untuk bermain imajinasi di sana, lalu terjebak dengan harapan-harapan yang muluk! Makin tinggi menaruh harapan, saat jatuh semakin mungkin untuk hancur! Eughhh!!! Memang rumit! Suka sama seseorang selalu bikin serba salah! Kamu kenapa sih? tanya Ben memandangiku. Nggak papa! gumamku jutek. Aku sedang termakan kebingungan! Mukamu itu, kayak orang yang kebelet punya pacar! cibir Ben. Enak aja! Bukan kebelet ya! Kalo kebelet aku pasti udah nembak dia! tukasku kesal. Enak aja dibilang kebelet?! Kamu terpikir buat nikah nggak sih, suatu saat? celetuk Ben. Moga-moga jawabku cuek. Tapi soal seks nggak nunggu nikah kan? Aku hampir keselek nasi gara-gara omongan Ben Kenapa? Kok mukamu tambah aneh gitu? tanya Ben sok polos. Omonganmu rusak juga ya! Itu urusanku! tukasku ketus. Aku bukan orang yang nggak bisa mengendalikan diri!

Iya, iya Gitu aja sewot! gumam Ben cengengesan sambil mengunyah makanannya. Masalah yang lain apa lagi? Masalah cowok cuma salah satunya kan? Ahh Ntar aja lah, biar jelas dulu. Terus terang aku belum tahu masalahmasalah ini mau bermuara ke mana Masih belum bisa kutebak tandasku lesu. Di sela-sela aku mengunyah makanan sambil merenung, mataku sekilas menangkap lagi sosok Om dan Brondong tadi masih dengan bergandengan sambil menenteng plastik besar berlogo department store terkenal. Aku terpana mengamati dua orang itu, yang melintas seolah tanpa peduli dengan ramainya orang di sekitar mereka. Aku di sini dengan perasaanku yang jungkir balik, sedangkan di luar sana sepertinya mereka bisa mencari kesenangan dengan begitu mudahnya, meski mungkin cuma untuk sesaat Entahlah, aku nggak bermaksud menilai sebuah film dari posternya, tapi begitulah yang sekedar terbayang dalam pikiranku. Aku tahu banyak orang yang berprinsip lebih baik hubungan sesaat tanpa ikatan, yang penting menguntungkan Daripada hubungan serius tapi sering makan hati, dan akhirnya kandas juga. Ya, seperti perasaanku terhadap Erik dulu Apa memang naif, kalau aku masih percaya sama cinta? Boleh tahu, gimana Denis bisa nerima kondisi kamu? tiba-tiba Ben memecah lamunanku. Emmmhhh aku menggumam, agak kikuk berpikir. Yaahhh Dia bilang selama aku yakin ini bisa bikin aku bahagia, its OK Kurang lebih, mungkin sama seperti yang kamu bilang, nggak ada pilihan yang konyol selama dijalani dengan sungguh-sungguh Aku segera terpekur lagi, merenungkan apa yang sudah mampu kuucap barusan

Kamu beruntung punya sodara kayak dia gumam Ben pelan. Aku mengangguk. Gimana dengan sodara-sodaramu? aku balik bertanya. Ben menatapku dengan senyum tipis. Aku anak tunggal jawabnya. Aku tercekat. Memandangi Ben tanpa berucap apa-apa. Sekejap, sesuatu segera menggugah pikiranku lagi Aku kadang memang mendapat cacian. Tapi mereka yang mencerca bukan siapa-siapa! Bukankah yang seharusnya lebih penting untuk kupedulikan adalah sodara dan juga sahabat yang menerimaku dengan tulus? Pandanganku kembali terlontar pada sosok Om dan Brondong tadi. Mereka sedang duduk berdua menghadapi salah satu meja makan di foodcourt. Ahhh Apapun yang mereka jalani, mereka pasti berdiri di atas pilihan mereka, prinsip mereka. Dan aku, dengan keluarga di mana aku masih memiliki harapan, dengan teman-teman yang masih setia menerimaku, di situlah tempatku berdiri! Kurasa kesenangan yang mereka cari, bukanlah yang aku cari. Sekarang senyum-senyum sendiri! sindir Ben memecah lamunanku lagi. Hahaha aku cuma tertawa masam sambil meneruskan makanku. Lalu HP-ku berbunyi, SMS masuk Mas, titip beliin srabi donk SMS dari Denis. Biasanya aku paling malas kalau dimintai titip atau duitku dipinjam. Tapi sekarang, rasanya kok malah pingin beliin dia oleh-oleh yang banyak? Beliin kue srabi sekilo sekalian! Hihihi Ada yang kangen sama aku, gumamku sambil tertawa kecil. Kangen sama oleh-olehku maksudnya Adekmu ya?

Iya. Kapan-kapan aku pingin main ke rumahmu, Ben Aku aja yang ke rumahmu, kan lebih rame ada si Denis juga. Oke, tapi kapan-kapan aku tetap ke rumahmu! sahutku. Gampang lah! gumam Ben santai. Kulihati meja makan kami. Mangkok, piring dan botol softdrink yang sudah nggak ada apa-apanya lagi. Ludes! Habis ini kamu pulang? tanya Ben. Dia kelihatan sudah bersiap-siap. Yoi. Paling mampir buat beli titipan bentar ujarku. Aku mau langsung pulang Oke. Bareng! Kami berdiri dari tempat duduk, melangkah meninggalkan meja kami. Berjalan ringan menyusur lantai, menuju escalator. Sekilas masih sempat kutengok Om dan Brondong tadi mereka kelihatan masih asyik ngobrol sambil makan, dengan sepasang tangan mereka saling memegang di atas meja Aku cuma tersenyum melihatnya. Hanya mereka yang tahu apa yang sedang mereka jalani. Yang aku tahu, setiap orang ingin berdiri pada pilihan masing-masing. Begitu juga aku.

KANTONG 18 : Pensi

Hari ini ada inagurasi MOS siswa-siswi kelas satu. Aku ingat dulu waktu jaman aku kelas satu juga ada acara seperti itu, berkumpul di aula mendengar pidato-pidato panjang dari guru dan sebagainya, yang intinya sebenarnya cuma ngasih selamat karena MOS sudah diikuti sampai tuntas. Tapi habis acara ngomong-ngomong yang membosankan itu, ujungnya adalah Pentas Seni! Nah asyiknya kalau sudah sampai situ! This is the day! Sekolah pun dibebaskan dari jam pelajaran karena sebagian besar guru sibuk mengurusi acara itu. Bebas jam pelajaran, ada tontonan pula! Were happy! Termasuk aku, langsung semangat menuju aula!!! Homo, mau kemana? Agak kaget saat sekecap ejekan dilempar ke telingaku. Aku tengok sekilas, anak-anak kelas sebelah ketawa-ketawa ngelihatin aku. Ketawa ngejek. Lamalama aku mulai hafal anak-anak yang suka mengejek itu. Ya itu-itu aja orangnya! Huhh, nggak usah dipikirin, nggak penting! Ketawa aja terus, sampai kering gigi kalian! Kudengar suara musik sudah mulai menggebrak di aula. Berarti pidatopidato, serah terima piagam, pesan kesan, dan tetek bengek formal lainnya itu sudah selesai. Sekarang tinggal acara hiburan, Pentas Seni! Anak-anak lainnya juga sudah berduyun-duyun berangkat ke aula So, cmon! Percepat langkah! Sampai di aula, sudah penuh banget! Aku awalnya pingin ikut masuk tapi begitu membayangkan suasana di dalam aula yang sumpek tanpa AC itu pasti seperti terbakar rasanya! Jadi ragu buat masuk ke sana. Tapi band-nya kedengarannya asyik dan suasana di dalam sana meriah?!

Aku celingak-celinguk di depan aula yang ramai dan gaduh. Mataku segera tersita pada mistar serambi yang rendah, yang biasanya buat dudukduduk Misalnya dipakai buat berdiri, pasti bisa melongok pentas yang ada di dalam sana lewat jendela! Tapi nggak ada yang berdiri di situ, kayaknya nggak ada yang berani soalnya kalau ketahuan guru pasti dimarahi! Ah, cuek! Coba saja dulu! Kunaikkan kakiku ke mistar serambi yang tingginya sepaha Huppp! Aku berdiri sekarang, dan benaarrr!!! Aku melongok lewat jendela dan bisa kulihat pentasnya dengan jelas!!! Nah, kalau begini kan nggak perlu ikut gerahgerahan di dalam aula! Band yang sedang main di pentas adalah band anak-anak kelas satu. Lumayan juga! Audience di dalam sana banyak yang ikut nyanyi, tepuk-tepuk, sorak-sorak, jingkrak-jingkrak Sambutan yang positif! Ehh, sini, sini, sini! tiba-tiba ada segerombolan ibu-ibu, eh cewekcewek kelas tiga yang badannya lumayan pedaging semua, tergopoh-gopoh menginvasi tempatku berdiri Busettt! Badan pada bigsize gitu mau nangkring di atas sini?!! Eh, ikut berdiri sini ya salah satu dari mereka langsung naik ke atas mistar, dengan susah payah Lalu disusul teman-temannya yang lain. Dan begitu mereka sudah berhasil berdiri di atas, langsung ribut! Hahaha Waahh, asyik nih pas depan jendela! Ahhh, tapi cupu bandnya! Nggak ahh, imut kaleee! Nyadar dong! Kalo imut emang matching sama body kita?! Hahahahaha!!!

Berisik!!! Jadi terusik sama kedatangan mereka! Dan kayaknya jadi nggak sedap dilihat nih kalau aku berdiri berjajar sama cewek-cewek gendut urakan ini aku cowok sendiri, langsing sendiri, pendiam sendiri Kontras sama mereka!!! Dan tanda-tandanya mereka bakal betah nonton dari atas sini! Terpaksa harus pindah tempat nih! Ehh, sorry ya, jadi kegusur! seloroh salah satu dari gank cewek gemuk tadi sambil cekikikan. Nggak papa. Malah kalo temboknya rubuh aku nggak perlu ikut tanggung jawab balasku cuek sambil menghindar. Ih, kok sengak gitu sih?! cewek tadi langsung menyahut dengan judes sambil komat-kamit nggak jelas. Biarin! Memang aku kesal daerahku direbut! Apalagi sekarang anak-anak lainnya juga ikut-ikutan naik berdiri di atas mistar, sepanjang serambi penuh dipakai buat berdiri! Aku sebagai pencetus ide malah tersingkir! Sialan! HEIII!!! Siapa yang mulai ini?!!! Ayo turun!!! tiba-tiba terdengar suara galak menggelegar. OMG!!! Entah datang dari mana, Bu Kamti sudah melotot di

belakang anak-anak yang berdiri di atas mistar Otomatis, BUBAR!!! Semua langsung turun dan sebagian lekas-lekas ngacir Nahh! Paling ribet jelas saja cewek-cewek gemuk tadi! Kondisi fisik mereka jelas mengakibatkan hambatan teknis untuk turun dari mistar yang tingginya sepaha itu. Gimana enggak? Buat ngangkang enampuluh derajat aja belum tentu sukses tanpa bikin rok mereka robek! SUKUUUURRRR!!! Masyaallah! Siapa tadi yang mulai?!! seru Bu Kamti pada cewekcewek gemuk yang masih susah payah turun dari mistar itu.

Siapa yang mulai???

Instingku langsung nggak enak! Aku segera

menyelip-nyelip ke tengah kerumunan, kabur diam-diam Kalau cewek-cewek tadi menunjukku bisa mampus aku berurusan sama Bu Kamti! Mending kabur! Secara darurat aku terpaksa masuk ke dalam aula, menceburkan diri ke kolam manusia yang benar-benar bikin HUAAAHHHH!!! Gerah!!! Suara musik berdengung-dengung jadi satu dengan suara gaduh anak-anak yang menonton. Aku bingung, berulang kali kakiku tersandung kursi yang tersebar nggak rapi! Berulang kali juga tersenggol kesana kemari oleh anak-anak yang berjoget Ugghhh!!! Bisa-bisanya mereka enjoy dengan tempat seperti ini?!! Baru saja masuk, rasanya aku sudah pingin keluar saja dari ruangan ini! Kubayangkan, ini baru pentas kecil gimana kalau konser gede?!! Aku pasti semaput, nggak kuat menahan gerah dan bau keringat! Ampunnn! Kayaknya aku memang lebih cocok nonton dari luar saja!!! Aku kembali menyusup menembus kerumunan berusaha mencapai pintu keluar di sisi seberang. Dengan susah payah, akhirnya sampai juga aku di depan pintu keluar Im coming, free air!!! Mas! tiba-tiba ada yang menarik tanganku, menghentikan langkahku yang sudah berada di ambang pintu. Aku langsung menengok, dan Fandy tersenyum di belakangku, tanganku masih dipegangnya Mau kemana? sapa Fandy. Eh, mau keluar Nggak kuat aku di dalam sini! seruku. Suasana ramai seperti ini ngomongnya juga harus keras biar kedengaran! Kenapa? tanya Fandy. Gerah! keluhku sambil mengibaskan kerah kemejaku.

Baru seru, masa mau keluar?!! Sini aja dulu! Fandy malah menarikku masuk lagi. Jadi berat juga buat menolak yang satu ini Lihat dong, siapa yang mengajak!!! Akhirnya aku kembali ke tengah keruman di dalam aula ini. Tentu saja karena yang Fandy yang mengajakku! Seruuuu! Aku baru sekali ini nonton pensi di sekolah! cetus Fandy dengan senyum lebarnya. Dia kelihatan sangat senang, sesekali ikut bersorak, tertawa Dan aku di sini menemaninya, nggak peduli lagi betapa panasnya ruang ini, betapa bisingnya di sini, ada bahagia tersendiri saat berada di sampingnya Kok kalem-kalem aja, Mas? seloroh Fandy padaku. Aku cuma tersenyum membalasnya. Hmmmhhh Demi dia aku mau tetap di sini, dan melihat wajahnya yang tampak senang aku juga merasa senang. Perasaanku makin jelas, kalau Fandy memang punya arti lebih bagiku Lagu demi lagu, band bergantian, waktu terus berjalan di tempat yang riuh ini Tapi sekarang aku hampir nggak peduli lagi dengan itu semua karena ada dia di dekatku! Dialah yang selalu menjadi perhatianku Tapi kepalaku lama-lama mulai pening. Ruang sepertinya makin sesak, badanku terus tersenggol kesana kemari, pendengaranku berdengung Lalu lama-lama seperti mulai berhenti mendengar Kulihat Fandy sedang menatapku dan seperti sedang bicara, tapi aku nggak dengar Ya ampun Nafasku sesak Pemandangan berputar Dan tiba-tiba badanku seperti melayang

Mas Dimas Lamat-lamat aku mendengar namaku dipanggil. Sinyal pendengaranku perlahan-lahan mulai peka. Kemudian indra penciumanku juga mulai aktif, ada bau minyak angin di ujung hidungku Dan akhirnya, radar penglihatanku siuman, mataku terbuka melihat berkeliling Pemandangan yang kulihat seperti dipenuhi kunang-kunang. Tapi lama-lama jadi makin terang dan jelas Hahhh? desahku kikuk. Ada sekumpulan orang yang sedang memandangiku. Fandy Lalu Denis Terus Ben Misha Lhoooo? Semuanya duduk mengelilingiku, dan aku sendiri sedang berada di Lhohh? Kok aku tiduran di sini??? sentakku tertegun. Haiyah! Nyadar ya sekarang? Lu habis pingsan tadi! cetus Denis. PINGSAN??? Aku terbelalak, makin siuman dan sadar dengan tempat di mana aku berada sekarang Ini seperti ruang UKS?! Air, air! seloroh Misha. Aku bangun, duduk di atas kasur. Ben mengulurkan segelas teh hangat padaku. Kupegang gelas yang dikasih Ben, tapi nggak langsung kuminum. Masih bingung Kepalaku juga masih agak berat. Udah diminum dulu! suruh Ben. Aku kok bisa pingsan? tanyaku terbengong-bengong. Kamu ngerasanya gimana tadi? Misha ganti bertanya.

Aku mengingat-ingat. Yaa tadi terasa pusing gitu, terus nggak ingat, nggak sadar! Ingatnya tadi aku kegerahan, terus nafas sesak Kepanasan tuh, kurang oksigen! cetus Ben. Sekitar setengah jam kamu pingsan! Mas Dimas belum makan kali? Atau baru sakit? Fandy ikut menimpali. Aku udah makan kok. Kayaknya sih memang nggak kuat sama sumpeknya tadi jawabku sambil memegangi kepalaku yang masih pening. Yaaah Hot dikit aja nggak kuat lu, Mas! celetuk Denis. Kamu nggak prihatin apa, aku pingsan? Malah ngeledek! sungutku sambil ngemplang Denis. Yeee Manjanya kumat! Ini juga gue tungguin elu! balas Denis. Misha yang dari tadi kelihatan tenang-tenang saja, nggak tahu dapat dari mana tiba-tiba sudah ada kipas plastik di tangannya. Lalu dia ngipasin aku Biar nggak kegerahan lagi cibir Misha. Ini lagi! Ikut ngeledek ya?! tukasku. Idihh, sewot amat sih?!! Udah dibaik-baikin juga! balas Misha cemberut. Sini, sini! Denis merebut kipas plastik dari tangan Misha. Lalu Denis ngasih kipas itu ke Fandy. Nih! Lho, kok dikasih ke aku? tanya Fandy rada bengong. Pakai nanya lagi! Tadi lu yang cerita, Dimas tuh udah mau keluar dari aula terus elu yang ngajak dia masuk lagi! Dia pingsan gara-gara nemenin elu di dalam! Tanggung jawab sekarang, kipasin tuh! suruh Denis.

Glek! Aku menelan ludah Ini Denis gimana sih? Mau mengeksploitasi rasa bersalah orang? Fandy juga langsung nurut-nurut aja ngipasin aku sambil pasang muka polos Yang lain langsung pada senyum-senyum Udah nggak usah! kurebut kipas yang dipegang Fandy dengan sebal. Kamu tuh dikerjain Denis mau aja! malah kumarahi sekalian dia. Habisnya memang aku yang salah sih gumam Fandy dengan muka kecut. Nggak salah! Denis aja tuh yang bawaannya ngusilin orang mulu! balasku. Eh! Nggak sadar sih lu, tadi yang gotong elu dari aula sampe sini tuh gue! Berdua nih, sama Ben! balas Denis nggak mau kalah. Kok kamu tahu aku pingsan di aula? kulikku. Tadi gue nyusul elu yang lagi asyik sama Fandy, tiba-tiba malah lu pingsan! tukas Denis. Tadi aku sama Denis nyusul kamu ke aula tambah Ben. Sama Misha juga! tambah Denis. Oooo Aku jadi termangu-mangu. Gitu ceritanya? Sekarang gimana, udah baikan? Misha bertanya. Masih agak pening dikit. Agak lemes juga Tapi paling bentar lagi juga baikan, gumamku lesu. Kukipasi diriku sendiri dengan kipas yang tadi dipakai Fandy. Tapi lamalama aku duduk di atas dipan gini sambil kipas-kipas, dan dikelilingi banyak orang berasa kayak juragan aja ya? Ben, balik ke aula yuk Dimas paling bentar lagi udah kuat tuh Nggak usah dimanjain! Denis mengajak Ben.

Nggak papa ditinggalin? balas Ben. Alahhh nggak papa! Biar Fandy aja yang nemenin Dimas di sini! sahut Denis sambil ngelirik jahil ke Fandy. Mau kan nemenin Dimas di sini? Kan tadi Dimas udah nemenin elu? ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Fandy. Kurang ajar, usil lagi!!! Kamu jangan asal nyuruh-nyuruh ya! Nggak punya perasaan! tukasku memarahi Denis sambil nabokin dia pakai kipas. Fan, kamu kalo mau ke aula nggak papa kok Aku kan udah nggak pingsan, ditinggal juga nggak papa ujarku ke Fandy. Nggak apa-apa kok, aku nemenin di sini aja jawab Fandy. Tuh Fandy-nya aja mau! Ya udah, kita balik yuk Ben? sahut Denis sambil kedip-kedip ke Ben Tanda sekongkol! Ya udah jawab Ben kompak sama Denis. Misha ikut aja sekalian! Denis juga mengajak Misha. Oke! Misha mengangguk setuju. HEBAAATTT!!! Mereka sekongkol ngerjain aku sama Fandy! Kurang ajaarrr!!! Baik-baik ya, Mas ujar Ben sambil ngasih senyum misterius padaku. Jangan-jangan sekarang dia sudah tahu tentang aku sama Fandy?! Bye Misha mendadahkan tangannya. Sorot matanya kayaknya juga paham akan sesuatu Jagain Dimas ya, Fan! ujar Denis ke Fandy. Mereka bertiga lalu keluar dari UKS Benar-benar! Aku ditinggal berdua sama Fandy di sini!

Bukannya aku mau munafik menyangkal perasaanku pada Fandy, tapi bukan berarti aku senang kalau dikerjai seperti ini! Kupandangi Fandy dengan agak kesal Kamu dikerjain Denis kok nurut aja? gumamku menahan rasa dongkol. Bukan gitu, Mas Mas Dimas pingsan gara-gara aku, jadi aku harus tanggung jawab lah jawab Fandy dengan senyum polos. Tanggung jawab? Aku kan cuma pingsan biasa, bukan epilepsi! Ini juga udah sadar, kalo kamu mau balik ke aula aku nggak papa kok! tukasku pelan. Lho Kok malah ngambeg gitu sih, Mas? Aku malah jadi tambah nggak enak Kamu tuh sebenarnya nggak salah, tapi akhirnya malah jadi ngerasa bersalah! Kamu tuh dikerjain Denis! Atau Mas Dimas nggak suka, kalo aku nemenin di sini? dengan polosnya Fandy malah menohokku. Oh, God! Jelas aja aku senang ditemani sama dia! Tapi aku nggak mau kalau dia menemaniku hanya karena merasa dipojokkan! Soalnya masa sih, Fandy nggak pingin balik ke aula? Bukannya nanti Erik mau tampil di sana? Bukankah Fandy mengidolakannya? Sebenarnya nggak perlu Mas Denis yang nyuruh, aku pasti tetap nemenin Mas Dimas di sini gumam Fandy, seakan dia mendengar apa yang bergumul dalam batinku. Ya ampun, anak ini! Aku benar-benar jatuh hati sama dia Kamu nggak pingin lihat Erik di pentas? lontarku pelan. Mas Erik kan pasti tampil lagi lain waktu. Kalo Mas Dimas, belum tentu lain waktu pingsan lagi balas Fandy santai.

Sekarang kamu berani ngeledek aku ya?! tukasku pelan, menahan rasa gemasku. Fandy tertawa. Habisnya, Mas Dimas itu terlalu ribet mikirnya! Aku bukannya nggak berterima kasih udah kamu temenin di sini Aku cuma nggak mau ngerepotin kamu aja. Semua orang di sini pingin lihat Pensi. Kamu pasti juga kan? gumamku. Fandy melipat tangannya di tepi kasur, kemudian menaruh kepalanya di atas lengannya. Sambil duduk dia menidurkan kepalanya. Hmhhh Aku capek, Mas desah Fandy, cuma itu yang dia ucap. Entah capek yang dia maksud itu apa Capek buat lihat Pensi, atau capek sama aku yang ribet ini? Mungkin itu artinya, aku jangan bertanya lebih banyak lagi Aku dan Fandy terdiam. Suara gema dari aula terdengar sampai kemari, di ruang UKS yang kecil ini. Terdengar sayup suara pentas yang sepertinya seru. Kami cuma terpaku berdua di sini, diam di tempat masing-masing. Aku boleh ikut naik nggak? tiba-tiba Fandy bertanya. Ehh? Naik? Kemana? aku balik bertanya dengan gugup. Naik ke dipan. Pingin ikut tiduran aja Hah? decakku terbengong-bengong Fandy pingin tidur sama aku? Eh, anu tiduran maksudnya?!! O my God! Cukup nggak sih? tanya Fandy dengan polosnya. Cukup, cukup! ucapku gugup, sambil menggeserkan badanku ngasih tempat buat Fandy. Serius?!! Dan Ampuuunnnn Fandy naik beneran!!! Satu kasur berdua!!! Hihhhhh!!! Gugup sekaligus gemas, minta aku apain anak ini?!!!

Suntuk, Mas gumam Fandy dengan santainya, seolah nggak ngerasa berdosa sudah bikin hati orang di sampingnya ini berdegup kencang bak irama dugem! Aku benar-benar bingung Fandy benar-benar belum tahu situasi yang bisa terjadi seandainya ada orang yang melihat aku dan dia tiduran berdua seperti ini! Tapi di sisi lain aku juga ingin diriku ini bahagia! Nggak munafik! Biarpun cuma semenit atau lebih sedikit, berada di dekatnya seperti sekarang bagaimana aku bisa menampiknya?!!! Perlahan-lahan, aku menoleh ke wajah Fandy, hati-hati mengamatinya Dia sedang terpekur, matanya yang sayu menerawang ke langit-langit. Leher putih yang jenjang, dada ramping yang naik turun memompa nafas Pinggang yang langsing, terbalut seragam SMA Perut dan AAAAHHHH!!! Kupalingkan lagi kepalaku. Dalam pikiranku jadi timbul keinginan buat ngapa-ngapain, gara-gara terpaku memandangi Fandy yang tanpa dosa berbaring tepat di sampingku! Buang! Berhenti! Jangan main-main dengan imajinasi, karena bisa memancing niat yang enggak-enggak! Nanti kalo ada yang lihat gimana? bisikku was-was. Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain?! tukas Fandy cuek. Ngapa-ngapain? Ngapa-ngapain gimana yang dibayangkan Fandy? Hehehehe Jelas aja kita ngapa-ngapain! Kita kan tiduran berdua!!! Ya semoga aja, kalo ada yang lihat kita mereka nggak berpikir macammacam sahutku. Jangan cuma mengharapkan orang lain untuk berpikir positip, kita sendiri juga harus berpikir positip dong! gumam Fandy.

Ahhh Iya Ya ampun, Fandy benar! Kata-katanya langsung menamparku. Aku takut orang lain berpikir macam-macam, padahal aku sendiri sempat berpikiran ngeres sama Fandy! MUNAFIKNYA DIRIKUU!!! Mas Dimas sama Mas Denis tuh banyak akurnya atau banyak berantemnya sih? tiba-tiba Fandy sudah mengalihkan pembicaraan. Yaa Gimana ya? Sebenarnya kalo berantem tuh tanda aku akrab sama dia. Soalnya berantemnya juga nggak serius Malah berasa nggak afdol kalo nggak berantem! jawabku runtut. Kok tiba-tiba nanya soal Denis? Hahaha Nggak apa-apa. Lucu aja kalo ngelihat Mas Dimas sama Mas Denis Apanya yang lucu? Yaa, kompaknya Usilnya! Yang usil tuh Denis! Aku nggak pernah ngusilin orang! tukasku. Fandy tertawa pelan. Oh iya, Mas Aku nanti sore pulang ke desa lho ujarnya beralih ke topik lain lagi. Hari ini? Iya. Kan ini akhir pekan. Aku mau pulang kampung. Besok Minggu sore aku balik ke sini lagi. Mas Dimas pernah bilang mau main ke rumahku di desa kan? Ehh, nagih ya?! cetusku agak kaget. Kalo sekarang nggak siap nih Haha Ya nggak perlu sekarang lah. Kapan-kapan juga boleh. Cuma kalo Mas Dimas ke sana sekarang, ada pasar malam di sana! Pasar Malam? Iya. Ada rombongan keliling, tiap tahun selalu mampir ke desaku. Ada komidi putar, kincir raksasa, dan mainan-mainan gitu lah Minggu kemarin udah

mulai dipasang. Biasanya dibuka sekitar seminggu sampai dua minggu cerita Fandy. Pasar Malam? Di desa? Segera terbayang di dalam kepalaku, suasana sebuah desa di pelosok yang tenang, dengan orang-orang yang ramah, lalu di sana ada komidi putar, kereta halilintar, kereta kelinci keliling desa, orang jual jajanan tradisional Alangkah itu sebuah nuansa yang eksotis! Tapi kalo buat Mas Dimas, kayaknya nggak menarik ya? Di sini kan sudah ada Sri Wedari yang buka tiap malam Hiburan yang lain juga jauh lebih banyak di sini Fandy buru-buru mengalihkan persuasinya. Tapi dari semua tempat hiburan yang ada di Solo, tetap ada satu hal yang nggak bisa kita temukan! sanggahku. Apa? Suasana desa! Suasana desa? Ya! jawabku mantap. Dan itu yang bikin aku jadi tertarik buat ke sana! Lhoo? Mungkin tahun depan aja Mas Dimas ke sana Kan ini habis pingsan, dijagain dulu kesehatannya! tukas Fandy menasehatiku. Sekarang aja ah! sahutku dengan semangat bulat. Jangan dipaksa dong, kondisi Mas Dimas kan baru nggak baik?! Jadi nyesel aku cerita ujar Fandy, setengah mengeluh. Nggak usah pura-pura! Tadi kamu cerita soal Pasar Malam buat apa? Kamu pingin ngajak aku kan?! tudingku ketus.

Ya tadinya sih gitu, tapi begitu ingat kalo Mas Dimas baru sakit jadi nyesel aku! kelit Fandy. Aku sakit apaan sih?! Ini tadi baru pingsan?! Gara-gara kegerahan, sekarang kan udah baikan! Kok jadi ngotot gitu sih Mas Dimas? Aku bisa dimarahi Mas Denis nanti, Mas Dimas habis pingsan malah aku ajak ke desa?! kelit Fandy makin bikin geregetan. Aku bangun dari rebahanku. Udah! Denis nanti urusanku! Sekarang kamu jawab aja, kamu seneng nggak aku main ke tempatmu?! Fandy menatapku kebingungan. Ya seneng-seneng aja, tapi Kalo seneng ya udah, nggak usah pake tapi! sahutku langsung memotong tapinya Fandy. Aku pingin jalan-jalan ke Pasar Malam di tempatmu! Nanti kan malam Minggu, jadi pas! tandasku penuh semangat. Tapi Mas Denis? Udah aku bilang, Denis urusanku! tukasku ngotot. Terus kalo malam Mas Dimas pulangnya gimana? tanya Fandy. Pulang malam? Oh, iya ya? Gimana ya? Kalo aku menginap di rumahmu boleh nggak? tanyaku ragu-ragu. Menginap? Fandy juga bertanya-tanya dengan ragu. Iya. Menginap ulangku dengan berharap-harap. Ummmhh Ya nggak apa-apa sih jawab Fandy akhirnya. AKHIRNYAAAA!!!

ASYIIIKKKK!!! seruku kegirangan, dan spontan tanpa rencana menjatuhkan diri memeluk Fandy Aduhh! Fandy kaget dan spontan DOEEEENGGGG!!! Fandy yang bermaksud menghindariku malah terguling jatuh dari dipan, menimpa kursi kaleng! AAAHHHH!!! MAAF MAAF!!! sontakku begitu sadar aksi spontanku telah mendatangkan bencana! Aku langsung turun dari dipan dan menghampiri Fandy yang terduduk di lantai memegangi keningnya. Nimpa kursi rintih Fandy sambil meringis, menahan sakit Maaf, maaf Aku nggak sengaja ucapku diiringi sejuta penyesalan dan rasa malu. Kulihat kening Fandy yang memar agak biru. Habisnya kebawa kebiasaan kebiasaan becanda sama Denis YEEEEE Gue dibawa-bawa!!! tiba-tiba tampang Denis sudah ada di jendela. APAAAA???!!! HEIII!!! Ngapain kamu di situ?!!! aku langsung menghardik Denis dengan rasa kaget setengah mati! Gue mau ambil HP, ketinggalan tuh di meja! tuding Denis ke meja, di situ ada HP-nya yang ketinggalan. Ya sekalian aja mau ngintip kalian berdua Hehehe Malu, gengsi dan maraaAARRGGHHHH!!! Dasar tukang bikin rusak suasana!!! Aku langsung berdiri dan bergerak sigap Menangkap Denis yang masih cekikikan di muka jendela!

Nggak usah ketawa! bentakku, sambil mencengkeram leher Denis dengan kedua tanganku dan menyeretnya masuk ke dalam UKS. Mas, ampun, Mas!!! Denis meronta-ronta mau lari. Nggak bisa lari!!! Kujatuhkan Denis di lantai, dan Gini nih kalo aku sama dia berantem!!! seruku ke Fandy yang terbengong-bengong. Lalu aku menggulat Denis, dan menggelitikinya!!! AAAAAAAA!!! Kapok kapok!!! Denis meronta-ronta. Fandy tertawa terpingkal-pingkal. Aku terus berantem sama Denis di lantai, kursi-kursi kaleng terhempas gedombrengan! Ampuuunnnn!!! Denis terus meronta sejadi-jadinya. NGGAK ADA AMPUUUUNNN!!! Momen romatisku sama Fandy buyaaaarr!!!

KANTONG 19 : Menginap?

Pokoknya nggak boleh! Mama menolak dengan tegas. Cuma semalam, Maaa! aku memohon-mohon. Nggak boleh! Mama nggak kasih ijin! Selama ini aku kan nggak pernah macem-macem! Kalo main pasti ke tempat yang bener kok! Iya, tapi kalo pakai menginap segala Mama nggak kasih ijin! Mama nggak mau nanti kamu jadi kebiasaan, kayak nggak punya rumah aja! Sekali ini aja lah, Maa! Mama memandangiku dengan galak. Nggak boleh! Udah, Mama nggak mau dibantah lagi! tegas Mama sambil berlalu dari depanku. AAAAARRRRRGGGGGHHHH!!! sekencangnya! Biar atap rubuh sekalian!!! Gini nih yang bikin aku kesal sama Mama! Aku ini cowok, udah gede, masa mau main menginap sehari aja nggak boleh?! Aku kan main juga tujuannya jelas! Mau refreshing, main ke desa, ke rumahnya Fandy Entah Mama kuatir atau curiga, tapi tetap aja berlebihan! Memang dari dulu Mama paling ribet kalau soal perijinan. Kalau dulu waktu Denis belum balik ke rumah ini, aku bisa ngerti kalau Mama super protektif sama aku, karena aku jadi anak satu-satunya di rumah ini. Tapi sekarang kan di rumah sudah ada Denis! Aku juga bukan anak kecil lagi yang harus dikekang terus di dalam rumah! Lagian aku juga pasti bisa jaga diri! Kesal! Rasanya pingin teriak

Aku Blammm!!!

masuk

ke

kamar.

Kututup

keras-keras

pintu

kamarku

Ngapain kamu di sini? Minggir! tukasku ke Denis yang enak -enakan mendekam di tempat tidurku. Lalu aku terjun ke kasur dan segera membenamkan mukaku di balik bantal. Nggak dikasih ijin ya sama Mama? cibir Denis. Sudah tahu juga, masih nanya! Denis pasti dengar waktu aku ribut sama Mama di bawah tadi! Kenapa nggak nekat aja kalo emang pingin ke rumah Fandy? cetus Denis. Nekat, nekat! Asal aja kalo ngomong! balasku sengit. Daripada cuma bisa marah-marah sendiri di kamar? Masalahnya nggak se-simple itu! Masalahnya tuh simple kok. Mama tuh cuma kuatir kalo elu kenapa-napa selama pergi. Kalo lu bisa pulang selamat, paling dimarahin sebentar habis itu Mama juga udah lupa Lupa apanya?! Bisa-bisa malah nggak dikasih duit jajan seminggu! Atau malah sebulan! Elu tuh nggak berani main strategi sih Kalo nggak dapat uang jajan, ya nggak usah masuk sekolah! Uang jajan kan buat ke sekolah celetuk Denis enteng. Namanya ortu di mana-mana tuh cuma pingin anaknya baik-baik aja, makanya awalnya dilarang ini dilarang itu Tapi kalo anaknya bisa buktiin nggak pernah macam-macam, lama-lama ortu pasti juga percaya. Makanya ini saatnya elu buktiin, kalo elu nekat tapi punya tanggung jawab!

Ngomong gampang! Kalo ada akibat, aku yang nanggung! Bukan kamu! balasku sengit. Ngomong sama Denis bukannya terhibur malah tambah dongkol! Ya udah, kalo elu mau nurut sama Mama, turutin dengan ikhlas dong! Jangan marah-marah di belakang kayak gini! Manusiawi! Mau marah yang penting nggak bantingin apa-apa! Tapi kalo kamu nggak bisa diam lama-lama kamu yang aku banting! Denis akhirnya mau diam juga. Cemberut sok imut. Lagian, nggak dimintai pendapat aja cerewet! Dasar adik bawel! Kuraih HP-ku. Kuketik SMS Sorry bgt, Fan Aku gk jd ikt ke rmh u. Gk diksh ijin sm ortu Sorry ya kuketik SMS-ku, lalu kukirim ke Fandy. Nggak lama kemudian Fandy membalas SMS-ku, Gpp, MaZ.. LaEn wkT Ja.. LgiaN BiZ sKiT kaN..? Huuuffff Baru ingat sama tulisannya Fandy yang alay Tapi aku rela pusing sebentar membacanya. Habisnya tadi siang aja aku ngebet banget, sampai berapi-api mau menginap di rumah dia segala. Nggak tahunya sekarang aku harus bilang nggak jadi. Aku bisa saja dicap sebagai orang yang nggak konsisten. Tapi syukurlah, kayaknya dia bisa mengerti. Makasih ya.. Ati2 di jln ketikku, lalu kukirimkan lagi. Kudekap gulingku sambil merenung. Sedih Nuansa indah di desa yang kubayangkan akan jadi akhir pekan menyenangkan bersama Fandy, aku harus mengucapkan selamat tinggal sebelum sempat menyaksikannya Kalo nggak bisa sekarang, kenapa nggak besok siang aja nyusul ke sana? celetuk Denis memecah lamunanku. Besok siang? Pasar Malam, siang-siang?

Yang dilarang sama Mama cuma menginapnya aja kan? Jadi lu pulang rada malam nggak apa-apa, yang penting nggak menginap tambah Denis santai. Kecuali tujuan utama lu emang mau menginap! Kalo gitu, gue sendiri juga harus curiga sama elu Bisa jadi lu mau macam-macam sama Fandy! Macam-macam apa?!! seruku rada tersinggung. Ya elu kan doyan cowok! Ya macem-macemin Fandy lah! Kamu nuduh aku mau cabul sama dia?!! Kalo lu ngebet pingin menginap! Siapa tahu lu pingin grepe-grepe dia waktu tidur? Kepalaku seperti teko di atas kompor MENDIDIH! Seandainya iya, terus kenapa?! tantangku. Kalo iya, maka gue setuju sama Mama buat ngelarang elu! lagak Denis mulai mirip Mama. Kita tuh masih nebeng orang tua, Mas Kewajiban kita sekarang sekolah! Biarpun lu nggak akan bikin dia hamil, tetap aja belum waktunya buat main gituan! Ngelantur!!! Yang mau gituan siapa???!!! seruku marah. Kurajam Denis pakai bantal! Emosi!!! Kalo aku mau ngelakuin itu, aku juga nggak perlu minta ijin sama kamu! Lagian kalo niatku mau begituan, nggak usah pakai menginap segala juga bisa! teriakku berang. Denis melotot. Jadi lu memang niat mau gituan?!!! Dodol! tukasku nunjuk kening Denis. Fandy tuh suka cowok apa enggak juga belum jelas! Kamu kira aku mau nekat merkosa dia? Kamu tuh yang mikirnya kebablasan!!!

Denis bengong sekarang. Rasain, nggak bisa ngomong kan sekarang?! Makanya nggak usah sok tahu! Prasangka dia sendiri tuh yang cabul! Kamu tuh jangan-jangan cemburu aku dekat sama Fandy?! tudingku gantian curiga. Muka Denis langsung merah tomat. Apa lu bilang???!!! dia gantian murka. Secepat kilat Denis gantian mencekikku sambil menghujamkan bantal bertubi-tubi ke mukaku! Sampai aku gelagapan! Gede kepala lu! teriak Denis ngamuk. Lu mau ke desa kek, mau ke jurang kek, gue nggak peduli lagi sama lu!!! Denis turun dari kasurku sambil bersungut-sungut. Pergi ninggalin kamarku Ngambeg tanda cemburu!!! Besok aku pasti nyusul Fandy! Aku mau senang-senang sama dia!!! teriakku puas. Hahahaha Ehhh, tapi masa sih Denis cemburu? Denis yang aneh, atau pikiranku yang aneh? Pikiranku kali ya? Hahaha bisa bikin dia tengsin! Kuraih lagi HP-ku. Mengirim SMS lagi Fan, aku jd k rmh u Tp aku nysul bsok yaa?! Nggak lama kemudian Fandy membalas Iya, Mas. See u tomorrow ^_^ Yes! Of course, Ill see him tomorrow! Pasti menyenangkan! Terserah deh! Yang penting akhirnya

Ehh, tapi Sebentar, sebentar! Kubuka lagi HP-ku, dan kubaca lagi SMS Fandy yang terakhir Kok ada yang aneh ya?

KANTONG 20 : Ke Rumah Fandy

Aku duduk manyun di atas motor, sendirian di depan sebuah terminal di daerah bernama Gemolong. Sebuah daerah yang kering dan agak gersang, tapi cukup ramai sebagai daerah yang nggak bisa dibilang kota. Mungkin karena ini daerah transit dari tiga kabupaten: Sragen, Karanganyar, dan Boyolali, jadi biarpun jauh dari pusat kota tapi ramai dan padat penduduk. Tanahnya bercampur dengan gamping yang bikin debu terasa panas di hidung. Apalagi ditambah asap hitam kendaraan Uuhhh Tambah gerah! Sekitar limabelas menit aku menunggu di sini Lalu, tampak seseorang menghampiriku dengan sebuah motor hybrid berwarna hijau. Saat dia berhenti di depanku dia segera membuka helmnya. Bak air sejuk buat mulut kering, dia segera menyegarkan mataku yang sudah sejak tadi pedih menahan debu jalanan! Sudah lama, Mas? sapa Fandy dengan senyum cerahnya. Aku masih bengong melihatnya, karena dia tampak beda dari yang biasa kulihat Waaahhh.! Selama ini yang biasa kulihat cuma sosoknya sebagai

cowok yunior yang culun berseragam sekolah, tiap ketemu juga nggak jauh-jauh dari lingkungan sekolah Sekarang, di depanku dia tampil dengan V-necked TShirt warna putih dibalik jaket blazzer coklat lumut, dengan jeans pensil hitam gelap yang berkerut ketat, berpadu sandal gunung triple-belt yang terlihat gaya Duduk menopang motor hybridnya, dia benar-benar kelihatan bedaaaa.! Fandy yang cute itu kelihatan lebih gagah! Ya Tuhan Hatiku sepertinya meleleh di balik dadaku! Mas? Kok bengong aja? Udah lama nunggunya? Fandy mengulang sapanya.

Ohh! sentakku mulai nyadar. Belum lama kok Sampai sini tadi aku kan langsung nelpon kamu Iya. Sekitar limabelas menit ya nunggunya? Nggak kelamaan kan? Harusnya kamu yang nungguin aku di sini, aku kan udah jauh-jauh dari Solo! Capek nih! tukasku, langsung kebawa manja Wah jadi lebay nih bawaannya! Gara-gara kepincut, rasanya baru sekarang aku 100% terpesona sama penampilannya! Fandy tersenyum lebar dengan bibir merahnya. Ya udah yuk, mau langsung ke rumahku kan? ajaknya. Iya jawabku masih setengah tercengang. Lalu aku mulai menstarter motorku, mengikuti Fandy yang sudah siap jalan. Hahaaaa Ngikutin cowok cakep! Semangat! Aku dan Fandy dengan motor masing-masing segera menempuh perjalanan lagi. Aku sempat melihat papan penunjuk jalan di depan perempatan, arah lurus ke Purwodadi, arah kiri ke Boyolali, dan kami membelok ke arah kanan menuju daerah Tanon. Jalan aspal hotmix, rumah-rumah di sepanjang pinggiran jalan berselang-seling antara gaya desa dan gaya kota. Lumayan ramai ya! Masih jauh nih rumahmu? tanyaku sambil menyetir motorku agak pelan di samping Fandy. Sekitar lima kilo lagi lah, Mas. Kalo ini kan masih dekat sama daerah transit, jadi ramai Coba nanti kalo udah dekat sama rumahku Lihat aja! ujar Fandy sambil melebarkan senyum. Memangnya gimana? lontarku. Ndeso! seloroh Fandy. Aku tertawa, Fandy juga

Kulihat jam tanganku, jam sepuluh lewat sedikit. Semilir angin pagi yang menjelang siang rasanya nyaman di wajahku, hangat tapi segar. Makin lama udara di hidungku juga terasa makin bersih, serasi dengan pemandangan yang mulai berganti sedikit demi sedikit Mulai terlihat petak-petak sawah hijau yang luas, dan makin banyak rumah-rumah kayu khas pedesaan. Iring-iringan pengendara sepeda kumbang dengan caping di kepala dan cangkul di boncengan, para petani yang entah habis pulang atau baru mau berangkat ke sawah Kami melaju, mendahului gerobak berdinding anyaman bambu yang ditarik dua ekor sapi Yaaa! Akhirnya terasa juga suasana pedesaan yang sudah kubayangkan sejak dari rumah! Sebuah pemandangan yang jarang kulihat selama hidup di jantung kota. Bisa kurasakan keunikannya, mengagumkan! Ini udah ndeso kan? selorohku. Iyaa! sahut Fandy cerah. Menyenangkan! Dan Fandy ada di sampingku, biarpun dia di atas motornya sendiri tapi tetap nggak bisa kuelakkan perasaan ini Rasa bahagia yang menyertai perjalanan ini! Aku mengikuti Fandy yang membelokkan motornya ke sebuah gang tanah yang berbatu-batu. Sebuah perkampungan, berseling dengan kebun dan ladang. Beberapa orang yang kami lewati melempar senyum dan sapaan ke Fandy. Membuatku menduga, kami sudah dekat dengan rumahnya! Dan akhirnya, kuikuti motor Fandy yang perlahan masuk ke sebuah pekarangan lebar dengan paduan rumput jepang, tanah cokelat dan batu kerikil. Kami berhenti di halaman sebuah rumah beratap joglo dengan dinding kayu jati coklat tua. Lumayan besar. Pintunya terdiri dari dua daun pintu dari kayu jati juga, dengan sedikit ukiran di pinggirannya. Terasnya panjang terbuka berlantai keramik kuning gading. Rumah ini kelihatan berwibawa karena gaya tradisionalnya

Ini rumahku, Mas ujar Fandy begitu mematikan motornya. Heee gumamku setengah bengong, belum berhenti terkesima memandangi rumah Fandy dan pekarangannya. Kenapa, Mas? tanya Fandy dengan senyum malu-malu. Hehehe Jangan dibandingin sama rumah-rumah di kota, rumahku jadul banget! Bukan jadul, tapi antik! Antik itu jadul tapi berkelas! selorohku kagum. Halahhh Nggak ahh! Dibilangin! Jujur rumah kamu cantik! Fandy cuma ketawa pelan. Kirain cuma cewek sama payung yang bisa dibilang cantik! timpalnya. Rumahnya cantik penghuninya cakep gumamku. Kamu muji siapa, Mas? tanya Fandy langsung menyahut dengan senyum samar. Ehhh Nggak Aku ngomong apa sih tadi? kelitku berlagak pilon, rada salah tingkah. Keceplosan memuji Fandy! Wajah Fandy tampak agak bersemu. Udah ahh, ayo masuk! ajaknya kemudian. Hahaha Kayaknya Fandy memang tahu kalau aku tadi memujinya! Lebay juga sih aku, memuji di depan orangnya?! Aku turun dari motorku, mengikuti Fandy. Kulepas sepatuku, lalu kupijakkan kakiku di atas keramik teras. Adem rasanya Ya, mungkin karena udaranya jauh dari polusi asap mesin, jadi biarpun daerah kering tapi rasanya tetap sejuk. Dan di sekitar pekarangan juga ada beberapa pohon, nggak besar tapi lumayan rindang. Aku duduk di dipan bambu yang ada di teras, termangu-mangu

oleh suasana Rumah desa yang benar-benar nyaman, rasanya aku langsung betah! Ayo masuk ke rumah, kok malah di teras aja? ajak Fandy lagi. Di sini aja dulu. Enak suasananya! Lagian nggak papa kalo aku masuk? Ya nggak papalah, namanya tamu dari jauh! Tapi aku kok rada grogi ya kalo nanti ketemu ortumu? lontarku agak ragu. Kenapa grogi? Ortuku nyantai kok, tadi aku udah kasih tahu kalo ada teman yang mau datang ujar Fandy. Akhirnya dia malah ikut duduk di sampingku, di dipan bambu. Kamu bilang gimana? Teman sekolah gitu? tanyaku penasaran. Iya lah, dari Solo kalo bukan teman sekolah terus teman apa? Aku bilang Mas Dimas kakak kelasku jelas Fandy. Aduuuuhhhh! Kok bilangnya kakak kelas sih?!! desahku jadi agak cemas. Lho, memangnya kenapa? Mas Dimas kan memang kakak kelasku? Bukannya agak aneh kalo baru seminggu kamu sekolah, terus yang datang ke rumahmu kakak kelas? Harusnya kamu bilang aja aku teman sekelas, jadi nggak gitu aneh tandasku agak sangsi. Tadi aku juga sempat ditanya sih Aku bilang ke ortuku kalo Mas Dimas senior pendamping kelasku waktu MOS, yang baik hati dan suka bantuin jelas Fandy sok yakin dengan gaya memuji, tapi entah dia bercanda atau serius! Tapi tetap saja aku tersanjung! Hehehe

Senior pendamping kelasmu kan si Erik! tukasku. Aku juga bilang Mas Dimas pingin lihat Pasar Malam tambah Fandy. Iya, memang. Tapi kalo aku jadi ortumu, aku akan balik nanya, bukannya di Solo udah banyak Pasar Malam? Udah ada Sri Wedari juga? Gimana hayoo? gumamku sambil garuk-garuk kepala. Kayaknya kita harus siap-siap banyak bohong ya? Hmmhhh Mulai nih, Mas Dimas tuh kejauhan kalo mikir! Udah lah, nyantai aja! Ortuku aja nyantai kok! tukas Fandy agak sebal. Ortuku malah senang kalo ada temanku yang datang. Soalnya selama ini jarang banget ada teman yang main ke rumahku Iya, iya Percaya! sahutku akhirnya. Lagian mereka juga sedang nggak di rumah, lagi pada pergi tambah Fandy. Iya! anggukku lagi. Kulihat di tepi pekarangan, ada bangunan kecil beratap asbes dan ada bekas ban mobil di tanahnya. Itu pasti garasi, tapi mobilnya nggak ada. Ya, pasti dipakai ortunya Fandy buat pergi. Lalu mataku tersita mengamati benda besar di sudut teras. Sebuah batang besar berwarna coklat tua di pojok teras. Sebesar batang kelapa! Kenthongan-mu gede amat? lontarku mengomentari benda besar itu. Fandy ketawa. Iya. Di desa memang banyak kenthongan yang gede! Aku juga punya kenthongan, tapi kecil gumamku. Yang kecil biasanya yang bentuknya bengkok gitu kan? Di sini juga banyak sih sahut Fandy.

Nggak kok, punyaku lurus. Kecil tapi rada panjang ujarku, sambil mengingat kenthongan di rumahku yang berbentuk lombok warna merah. Memang kalah jauh ukurannya kalau dibandingin sama punya Fandy. Ehhh Ini yang kita omongin kenthongan beneran kan? celetuk Fandy tiba-tiba Spontan mataku mengembang. Ya iyalah! Memangnya kamu mikir

kenthongan yang mana? tukasku terkesiap. Yyyaa Kenthongan beneran! jawab Fandy kikuk. Kutuding muka Fandy dengan senyum jahil. Bohong Ngeres kan?! tudingku. Kok malah ngomongin kenthongan sih?! Ayo lah, masuk dulu! kelit Fandy sambil berdiri, beranjak ke dalam rumahnya. Yeeee Ngelessss! selorohku sambil ngikut Fandy. Kelihatan tadi muka Fandy rada merah. Hahahaha Diam-diam Fandy mesum juga pikirannya! Padahal sumpahhhh, aku tadi nggak niat ngomongin kenthongan yang lain! Pikiranku bersih kok! Saat aku ikut masuk ke dalam, aku kembali terpana. Bagian dalam rumah Fandy nggak kalah mencengangkan! Atapnya dilapisi lembar-lembar anyaman bambu yang dipernis kekuningan, dengan bingkai ruas-ruas kayu bercat biru pastel. Ruang tamunya cukup luas dan longgar. Tempat duduknya bukan sofa, tapi satu set kursi kayu yang mirip dengan yang biasa dipakai buat tempat duduk manten, bantalannya kain bludru merah hati. Di atas ruang tamu ada lampu gantung antik dengan kuncup kaca yang warnanya kuning gading. Di dua sudut bagian depan ada buffet besar berisi benda-benda keramik dan pernak-pernik bernuansa Jawa, dan juga tampak buku-buku ditata rapi di bagian rak bawah. Di dinding-dinding yang sebagian besar dari papan kayu jati dipajangi foto-foto keluarga, dan juga beberapa gambar wayang Antik benar!

Masuk ke rumah ini, berasa aku nggak sedang hidup di abad 21, tapi rasanya kayak hidup di jaman Rano Karno masih jadi brondong terganteng di Indonesia! Masih capek, Mas? tanya Fandy. Lumayan sih Mata agak pedes aja nahan debu di jalan tadi jawabku sambil nggak henti-henti memandangi rumah Fandy. Sini ajak Fandy sambil melangkah menuju ke salah satu kamar di sebelah kanan. Dia membuka pintu kamar itu. Sini, Mas! Dengan agak ragu aku mengikuti Fandy, memasuki sebuah kamar yang lumayan besar. Ada satu tempat tidur berukuran dua orang, lekat menyiku ke dinding yang berjendela. Sprei berwarna hijau dengan motif daun-daun sederhana, menambah kesan teduh kamar ini. Di sebelah tempat tidur ada meja belajar, di situ ada buku-buku, laptop dan mini-compo mungil, semua tertata rapi. Di sudut lain ada lemari yang nggak begitu besar. Di atas lemari itu ada boneka Naruto Waitttt Boneka??? Hmmm Kalau bonekanya Dora sih mungkin aku langsung positip yakin, Fandy gay! Gay bottom! Tapi berhubung bonekanya Naruto, mungkin sih Fandy masih straight Nggak cowok nggak cewek kan memang banyak yang suka Naruto. Atau mungkin Fandy gay, tapi top? Jiahhh Gara-gara boneka aja jadi ribet gini mikirnya?! Aku duduk di tepi tempat tidur, masih sambil memandangi berkeliling. Ini pasti kamarmu! tebakku. Memang sudah jelas sih! Di dinding ada fotonya Fandy segede 15R. Foto yang cute! Ya iyalah, masa aku bawa Mas Dimas ke kamar ortuku! Aku kirain kamu bawa aku ke kamar khusus tamu

Nggak ada kamar khusus tamu, kalo Mas Dimas capek istirahat sini aja dulu! balas Fandy. Capeknya nggak terlalu sih. Tapi kamar kamu ini hawanya bener-bener bikin ngantuk sahutku sedikit menggeliat. Kurebahkan badanku ke kasur yang sejuk. Bertepatan dengan angin dari luar yang masuk lewat jendela. Gemerisik daun dan dahan pohon juga terdengar, berselingan dengan suara burung dan suara ayam. Benar-benar menyatu dengan alam. Diam di sini lima menit saja, sumpah aku pasti ketiduran! Fandy melepas jaketnya, menyampirkannya ke gantungan yang ada di dinding. T-shirt yang lekat di badannya melekuk bersama garis badannya kerah V di lehernya menambah kesan yang Aahhhh! Jantungku jadi berdesir-desir lagi menatapnya Apalagi Aku juga capek nih desah Fandy sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur, tepat di sampingku! Mata polosnya Bibir merahnya Lekuk di pangkal lehernya, lekuk lengannya, wangi tubuhnya yang lembut tapi sporty Terbaring pasrah!!! CUMA BERDUA DI KAMAR INI!!! Dimas, TUNGGU APA LAGIIII?!!! TINDIH!!! TINDIH!!! Mas Denis kok nggak ikut? lontar Fandy, pertanyaan yang segera memecah imajinasiku. Ahh? Denis? ulangku kikuk. Denis? Ooo Denis? Kemarin aku ribut sama dia dan dia bilang

Dimas, jangan macem-macem sama Fandy! Elu tuh masih nebeng ortu! Belum waktunya main gituan bla bla bla! Semua ocehan Denis beserta gayanya yang mirip emak-emak ceramah langsung terngiang dan terbayang lagi di kepalaku. Aku segera bangun dari rebahan, duduk menepi dan kuusap-usap mukaku! Membersihkan isi kepala dari pikiran mesum! Mas Ditanyain?! Mas Denis kenapa nggak ikut? Fandy mengulang pertanyaannya sambil tiduran. Dia baru kecapekan jawabku singkat dan agak kikuk. Kecapekan? Memangnya habis ngapain? Fandy bertanya lagi. Ngapain ya..? Paling dia cuma lagi males aja jawabku sekenanya bikin alasan. Sebenarnya sih, aku memang sengaja nggak ngajak Denis! Kalau dia ikut nanti malah bikin reseh! Kangen ya sama Denis? lontarku. Hahaha Kan baru kemarin ketemu, lebay banget ah kalo kangen! Cuma nanya aja kok sahut Fandy sambil meluk bantal. Ini yang di rumah cuma kamu sendiri? Kok sepi banget kayaknya? tanyaku mulai heran dengan suasana rumah yang dari tadi terasa sepi. Nggak, di belakang ada si Mbok, Pembantu rumahku jawab Fandy. Ooo Kamu punya sodara nggak sih? aku bertanya lagi. Ingin tahu tentang keluarga adik kelasku yang cute ini! Punya, tapi sedang nggak ada di rumah semua. Yang paling tua kakakku cowok, udah kerja di Surabaya. Satunya lagi cewek, kuliah di Semarang. Minggu ini nggak pulang jelas Fandy. Sekilas kulihat wajahnya jadi agak murung, entah kenapa

Kalau keingintahuanku.

ortumu

kerja

di

mana?

aku

masih

meneruskan

Bapakku dokter, dinas di Puskesmas. Kalo ibuku di rumah aja sahut Fandy. Wah Dokter ya?! Biasanya anak dokter tuh cita-citanya sama dengan ortunya! decakku. Jadi dokter? Nggak ahh! jawab Fandy sedikit tertawa. Aku belum mikirin cita-cita. Belum jelas. Tapi yang pasti bukan dokter, soalnya aku paling nggak tahan sama bau obat Hmmmm Kalau Fandy yang cakep ini jadi dokter, pastinya bakal banyak yang antri minta disuntik! Hahaha Katanya kemarin Mas Dimas nggak dikasih ijin sama ortu ya? Ini datang ke sini nggak nekat kan? tanya Fandy berganti topik. Kemarin itu dilarang gara-gara ada rencana mau menginap. Ini nanti aku juga nggak boleh pulang kemalaman. Jadi nanggung juga sih waktunya desahku agak kecewa. Ya udah, istirahat aja dulu. Kalo udah ilang capeknya nanti main ke Pasar Malam. Sini, tiduran dulu ujar Fandy sambil menggeser badannya ke samping, menawariku ruang di sampingnya. Fandy nyuruh aku tidur di sampingnya! Di kamarnya! Yang cozy dan romantis ini! Ya ampun, godaan yang satu ini benar-benar manis!!! Tuhan, Engkau niat banget ya menguji naluriku???!!! Pasar Malam-nya mulai jam berapa? Sore udah buka? tanyaku berusaha tenang, masih duduk di pinggiran dipan meski bantal kosong di samping Fandy sudah melambai-lambai.

Ini kan hari Minggu, Pasar-nya buka mulai siang kok Makanya Mas Dimas istirahat aja dulu. Aku juga rada ngantuk soalnya, semalam kurang tidur bujuk Fandy sambil menguap dan menggeliat. Melihat Fandy yang sudah terkulai, dan berulangkali mengajakku untuk tidur di sampingnya lama-lama aku pun luluh! Pelan-pelan tubuhku merunduk, dan akhirnya jatuh juga ke atas kasur. Berbaring di sebelah Fandy yang sudah lebih dulu terkulai Beneran nih, ngantuk gumam Fandy sambil beralih menelungkupkan badannya. Memiringkan wajahnya yang terkulai tepat di samping wajahku Imajinasi dan dorongan yang macam-macam, bertubi-tubi

merangsangku! Tapi melihat wajah polosnya yang terpulas itu lama-lama membuatku bercermin pada perasaanku sendiri, dan akhirnya kutemukan satu kesimpulan Adakah orang yang nggak pernah tergoda oleh sosok yang disukainya? Kuakui, aku tergoda. Tapi jika aku memang menyukainya, jika aku memang menyayanginya maka kurasa aku juga harus bisa menghormatinya Entahlah apa dia juga menyukaiku, tapi melihat wajah damainya yang terlelap di sisiku aku tahu bahwa dia menerimaku di tempat yang dekat dalam dirinya. Dan aku nggak boleh merusaknya Kurapatkan diriku lebih dekat. Meletakkan tanganku di atas tubuhnya yang bergerak lembut dalam ayunan nafas. Terhanyut menghirup aroma segarnya di hidungku Hmmhhh Godaan ini memang manis. Maka aku akan memperlakukannya dengan manis pula Perlahan mataku segera ikut terpejam. Bersamanya, damaiku ikut terlarut.

Pulas di sisinya

KANTONG 21 : Petualangan Di Desa

Mataku berkedip-kedip melihat langit-langit. Lalu aku bangun, duduk di atas kasur sambil sedikit menguap dan mengucek mata. Kuhitung menurut jam tanganku, mungkin sekitar satu jam aku tidur. Sekarang jam setengah duabelas siang Oh iya dimana Fandy? Bukannya aku tadi tidur di sampingnya? Dia pasti bangun duluan, entah sekarang kemana Di tengah bengong sendirian, mataku mengerling ke meja yang ada di samping tempat tidur. Iseng-iseng aku mulai mengamati lebih detail barangbarang Fandy yang ditaruh di situ. Yang paling menyita perhatianku adalah bukubuku miliknya. Gila! Rabindranath Tagore, Kahlil Gibran, Anthony de Melo, W.S. Rendra, Y.B. Mangunwijaya Bacaan Fandy semua ini??? Ternyata sastra banget anak itu?! Aku juga jadi terpikir, Fandy yang selera bacanya sastra banget ini, ternyata juga punya tabiat mengetik kalimat dengan huruf besar-kecil campur aduk yang nggak jelas maksudnya! Di satu sisi punya selera elegan, tapi di sisi lain malah rada norak. Kok kayaknya nggak matching ya??? Aku curiga, janganjangan dia memang sengaja! Crkkk Tiba-tiba pintu kamar terbuka, mengagetkanku yang sedang terbengong-bengong Udah bangun ya? Sampai lupa dari tadi aku nggak nyuguhin apaapa! ujar Fandy yang masuk ke kamar, sambil bawa dua cangkir. Nih, kopi susu, Mas Biar hilang ngantuknya! Satu cangkir kopi susu ditaruh Fandy di atas meja, cangkir satunya masih dia pegang di tangannya, dan srrrrpppp Fandy meminumnya. Diminum! ulang Fandy padaku.

Iya Makasih! sahutku sambil meraih cangkirku. Hmmm Nikmat banget kopi susunya, mataku langsung terasa terang! Setelah minum aku kembali memandangi Fandy dengan agak tercengang-cengang. Bacaanmu gila ya! Sastra tinggi semua tuh! lontarku kagum. Kok bisa bilang sastra tinggi? balik Fandy sambil tersenyum melirik buku-bukunya. Berarti Mas Dimas juga pernah baca kan? Hahaha Aku cuma tahu nama-namanya aja! Aku pernah baca beberapa buku Gibran, tapi nggak pernah selesai. Cuma iseng aja gumamku agak malu. Itu sebenarnya buku-buku milik kakakku. Karena udah nggak dibaca lagi, jadi gantian aku yang baca. Itu juga belum selesai semua bacanya, soalnya kadang aku juga malas buat baca. Sama kayak Mas Dimas lah, cuma buat iseng aja ulas Fandy. Ahhh! Kayaknya Fandy cuma merendah tuh! Kalau dia memang nggak suka baca buku-buku itu, nggak mungkin dia pinjam dari kakaknya dan kemudian ditaruh di mejanya sampai penuh dan tetap terawat rapi gitu. Dia pasti memang menyukai buku-buku itu! Oh, iya Aku mau nanya nih! lontarku kemudian. Tanya apa? Aku rada heran sama kebiasaanmu yang suka ngetik SMS pakai huruf besar-kecil itu cetusku agak hati-hati. Terus terang, aku rada pusing kalo baca tulisan kayak gitu. Sebenarnya gaya kayak gitu maksudnya apa sih? Fandy langsung tersenyum rapat, diam sesaat dan matanya tampak mengerling agak tersipu. Itu cuma iseng aja sih, Mas ucapnya kemudian. Iseng? Hmmm Iya sih, sebenarnya aku juga agak kurang percaya kalo itu bagian dari karaktermu sindirku sambil tersenyum kecut. Soalnya kemarin kamu juga keceplosan ngetik SMS pakai huruf normal!

Fandy langsung menggaruk kepalanya, tersenyum malu. Masa sih? Iya! Jadi maksudnya apa tuh, ngetik-ngetik pakai huruf besar-kecil yang campur aduk itu?! Aku bisa salah baca kalo tulisannya kayak gitu! tukasku gemas. Sebenarnya cuma mau ngerjain aja sih Ngerjain?! Hahaha Fandy tertawa renyai. Gini ceritanya Dulu waktu aku ngobrol sama Mas Denis di Ruang BP, kebetulan ada temanku yang SMS ke HPku pakai huruf alay gitu. Aku kasih lihat ke Mas Denis, nyuruh dia baca soalnya aku sendiri bingung bacanya. Mas Denis sih nyantai, tapi dia komentar kalo Mas Dimas paling sebel sama tulisan kayak gitu Ooooo! Dari situ terus kamu dapat ide buat ngerjain aku?! tukasku terbelalak. Langsung kesal seketika! Hahaha Sorry, Mas Nggak ada maksud apa-apa kok Yahhh, cuma ngerjain aja sahut Fandy dengan senyum malu-malu yang bikin aku geregetan! Terus kamu juga jadi suka sama gaya ngetik kayak gitu?! Nggak kok Cuma iseng aja! Lama-lama aku juga ngerasa aneh sendiri ngetiknya Hmmm Kalo gitu jangan diulangi ya! Nggak cocok sama seleramu yang sastra tinggi gitu! cetusku sambil mencibir. Fandy cuma mengatupkan tawa dengan bibir merahnya. Hiiiihhhh Dasar bikin gemes!!! Dan dengan fakta baru bahwa ternyata dia bukan cowok alay, ya ampuuunnn status daya tariknya jadi nambah lagi di mataku! Tambah mahal!!! Tambah suka

Gimana, Mas enak tidurnya? Fandy sekarang merubah arah pembicaraannya. Kali ini gantian aku yang langsung kikuk Pertanyaannya membuatku jadi tersipu dalam hati Soalnya aku ingat sekarang, tadi saat tidur aku sempat menumpangkan tanganku di tubuhnya Bisa dibilang, itu artinya beda tipis dengan MEMELUKNYA!!! Hahaha Masih ditanya enak apa enggak??? Ya jelas enak!!! Kamarnya nyaman, jelas betah tidurnya! jawabku membelokkan alasan. Membahas kamarnya, bukan tubuhnya! Masa mau bilang terus terang sih? Malu! Semoga Fandy juga nggak berpikiran negatif, semoga dia benar-benar sudah tidur waktu tanganku mendekap tubuhnya Fandy menaruh cangkirnya di sebelah cangkirku. Sekarang udah nggak capek kan? Jadi ke Pasar Malam? lontarnya. Hmmm Tapi kok agak mendung ya? gumamku sambil mengintip langit lewat jendela. Kan malah nggak panas kalo agak mendung gini? Moga-moga aja nggak sampai hujan Iya, ya Mending berangkat sekarang aja kalo gitu! Ya udah. Yuk! ajak Fandy tampak bersemangat. Aku turun dari tempat tidur. Kuminum lagi kopi susu yang ada di atas meja, habiskan sebelum berangkat! Lho, itu kan cangkirku, Mas? cegah Fandy sesaat. Oohhh sentakku, mengamati cangkir yang kupegang lalu kutunjukkan ke Fandy. Yaahhh Telanjur aku habisin Haha Ya udah, nggak papa ucap Fandy nyantai.

Nih, gantian habisin aja punyaku! kusodorkan cangkirku ke Fandy. Fandy tersenyum simpul. Tanpa bicara langsung menghabiskan kopi susu di cangkirku YESSS! SENGAJAAA!!! Aku dapat bekas bibirnya Usil Fandy! dikit Memang aku

Hahaha!

boleh

lah!

SEMANGAAAATTTT!!! Aku dan Fandy meninggalkan kamar, melangkah keluar rumah. Jalan kaki aja ya, nggak terlalu jauh kok ujar Fandy. Iya. Sekalian jalan-jalan malah! sahutku santai. Kami berjalan santai menyusuri jalan perkampungan, melewati rumahrumah penduduk desa yang dominan terbuat dari kayu. Berpapasan dengan orangorang desa, tetangga Fandy. Ada yang lagi ngurus kambing di ladang, ada yang baru jemur gabah di pelataran, ada yang lagi duduk-duduk di serambi sambil ngerumpi. Mereka ramah-ramah, suka ngasih senyum. Ada mbok-mbok yang cuma pakai kutang sama kemben, kelihatan nyantai-nyantai aja pas aku sama Fandy lewat di depan rumahnya. Waaaahhhh Di kota nggak ada yang kayak gini! Jadi ngarep ketemu mas-mas atau paling nggak sesama brondong, yang shirtless dengan badan bagus ngasih sapaan atau senyuman Bakal aku jepret pakai kamera pastinya! Hahaha Tapi sempat rusak juga pemandangannya, waktu lewat di depan salah satu rumah semua jemuran dipajang di depan kayak lagi bazaar pakaian. Masalahnya beberapa jemuran itu adalah kolor-kolor butut yang udah bolong-bolong! Seolaholah malah bangga bisa pamer! Ya, mungkin memang beginilah yang namanya desa Semua itu memperlihatkan keluguan dan terbukanya mereka dalam bertetangga, sampai pakaian dalam yang sudah butut nyantai saja dipamerkan. Hahaha Hidup memang penuh warna!

Senang bisa jalan-jalan kayak gini Udaranya segar, orang-orangnya pada ramah. Suasananya benar-benar beda sama kota. Jadi refresh selorohku. Desa ya kayak gini, Mas Hampir nggak ada gengsi-gengsian, soalnya tetangga ibaratnya sudah seperti keluarga! sahut Fandy. Tapi kamu nggak ikutan jemur kolor di depan rumah kan? bisikku, jahil sedikit. Yeee! Tadi kan bisa lihat sendiri, nggak ada jemuran di depan rumahku! Jemurannya di belakang! Fandy langsung agak sewot. Tapi jujur aja ya, cd yang bolong masih kamu pakai nggak? candaku usil. Nggak lah! Fandy sewot lagi. Katanya orang desa nggak gengsi-gengsian? Hahaha Lagian cd bolong juga nggak bakal kelihatan asal nggak dijemur di depan rumah! celetukku. Kok kedengarannya malah kayak nyaranin aku buat pakai yang bolong sih? tukas Fandy. Ya, iya lah! Kalo nggak bolong, gimana kakinya bisa masuk? sahutku enteng. Fandy melirikku dengan senyum kesal. Dasar pintar alesan! cetusnya. Hahaha Bercanda sambil menyusuri desa, terasa lepas dan

menyenangkan! Semoga nggak terlalu dini buat mengatakan, bahwa ini hari yang indah! Waktu jadi terasa makin berharga saat bersamanya Di ujung gang, kami mulai masuk ke jalan yang lebih besar. Jalan raya desa yang dilalui bus-bus kecil angkutan pedesaan Masih jauh Pasar-nya? Kok belum kelihatan? tanyaku.

Udah dekat kok, itu di depan sana! tunjuk Fandy. Nanti juga kelihatan, Mas Setelah berjalan sekitar 100 meter di jalan raya desa, akhirnya mulai kelihatan! Mataku pun terpana! Sebuah pusat keramaian di sebuah lapangan yang

nggak begitu besar, tapi sangat riuh dan meriah! Orang-orang berkerumun di antara kios-kios tenda, panggung-panggung pertunjukan, wahana mainan komidi putar, kereta kelinci, dan kincir raksasa Suara musik dangdut, deru atraksi motor, bercampur aduk dengan bisingnya diesel dan gaduhnya orang Suasana keramaian yang sangat hidup! Hahaha aku tertawa lepas. Nggak tahu harus ngomong apa saat memasuki suasana pesta rakyat yang meriah ini! Gimana? lontar Fandy. Ternyata rame juga! Seru..!!! selorohku penuh semangat di tengahtengah keramaian yang berjubal-jubal. Nggak asyik kalo nggak nyoba! balas Fandy nggak kalah semangat. Nyoba apa? Apa saja, masa ke sini cuma jalan-jalan?! Sebenarnya aku udah pernah naik mainan-mainan kayak gitu! Tapi yang bikin beda tuh suasananya! Di desa gini jadi unik, seru! selorohku girang. Lalu aku melirik ke deretan kios makanan. Aku langsung ingat dengan salah satu maskot Pasar Malam! Nyoba Arum Manis! cetusku, dengan berbinar menghampiri salah satu kios.

Ya, Arum Manis. Sejenis kembang gula. Makanan dari gula yang diolah menjadi berbentuk seperti kapas. Berwarna-warni, ada yang putih, merah, dan kuning Aku langsung beli dua buah, satu aku kasih ke Fandy! Wah, makanan anak kecil ini! cetus Fandy, menerima Arum Manis yang aku kasih dengan senyum malu-malu. Buat iseng aja, sambil jalan-jalan! sahutku ikut tersenyum malu. Hahaha Memang jadi mirip anak kecil. Anak kecil yang merasa bebas mencari kesenangan! Berdua kembali menyusuri keramaian, menembus celahcelah di antara kios-kios yang penuh kerumun orang, sambil makan Arum Manis yang sebenarnya nggak jelas rasanya. Tapi yang penting senang! 8) Mas Denis dibeliin oleh-oleh! ujar Fandy sambil jalan di sampingku. Oleh-oleh apa? Ya apa lah, makanan gitu Ada yang jual Srabi nggak ya? Wah, nggak tahu ya Martabak aja, banyak tuh! sahut Fandy. Martabak telur? Di rumah nggak ada yang doyan. Aku juga nggak suka, telur bebeknya itu terlalu amis! ujarku sambil melihat-lihat kesana kemari, hanyut dalam riangnya keramaian. Lalu kami berhenti di depan sebuah bangunan panggung hiburan yang cukup besar. Besar tapi agak sepi dibanding panggung hiburan lainnya. Kami berdiri bengong memandanginya, Panggung Wayang Orang Masih ada ya ternyata, Wayang Orang? gumamku takjub. Yaahhh Hari gini, kebanyakan orang lebih suka nonton panggung hiburan yang lebih modern. Biarpun selama ini aku juga nggak pernah nonton

Wayang Orang, tapi melihat panggung ini masih bisa berdiri di tengah era dugem dan bioskop XXI, aku jadi terharu juga Di desa kan masih banyak orang-orang tua yang suka wayang, Mas ujar Fandy. Di Solo aja, pertunjukan Wayang Orang yang ada di Sri Wedari udah sepi. Yaahhh Aku sendiri juga belum pernah nonton ke sana sih gumamku. Padahal slogannya Solo kan Spirit Of Java ya? celetuk Fandy diikuti tawa pelan. Aku juga sih, cerita wayang nggak gitu ngerti Aku baca judul lakon yang dipajang di depan loket yang masih tutup, Srikandi Senapati Aku langsung mengerling sesuatu dalam benakku Kamu tahu nggak tentang Srikandi? tanyaku melirik ke Fandy. Fandy merenung-renung. Dia cewek yang jago memanah kan? Kalo nggak salah Srikandi itu istrinya Arjuna jawabnya agak ragu. Iya. Tapi selain itu Srikandi juga seorang cross-dresser lho! tambahku. Hah? Maksudnya? Fandy bertanya agak bingung. Dari yang pernah aku baca, Srikandi itu cewek yang suka berpenampilan cowok. Pada waktu Pandawa mengungsi ke kerajaan lain, semua menyamarkan identitasnya. Arjuna menyamar jadi cewek. Terus ketemu sama Srikandi yang berpenampilan cowok. Dan lucunya, mereka sama-sama tertarik! Fandy kelihatan terbengong-bengong. Berarti waktu Arjuna tertarik sama Srikandi, dalam bayangannya Srikandi itu cowok? lontarnya tampak heran. Atau sebaliknya, Srikandi tertarik pada Arjuna dengan asumsi Arjuna itu cewek. Entahlah Tapi akhirnya mereka sama-sama tahu, kalo Arjuna itu cowok dan Srikandi cewek. Jadilah mereka suami istri

Jadi kisahnya agak menjurus ke homoseksual gitu ya? komentar Fandy ragu. Yaahhh Ambigu sih. Lagian namanya juga cerita wayang banyak versinya! cetusku dengan tawa masam. Ahhh Sebenarnya nggak cuma Arjuna dan Srikandi, tapi antara aku dan Fandy juga ambigu! Dengan menyinggung cerita seperti ini, aku tetap masih saja bimbang buat menebak pribadi Fandy Aku mencoba meraba saat dia berkomentar, tapi aku tetap masih belum menemukan kesimpulan tentang arah kepribadiannya. Apakah dia itu sama sepertiku, atau bukan? Mengerjaiku dengan ketikan-ketikan di SMS-nya, berbaring satu dipan di ruang UKS, lalu mengajakku tidur di kamarnya dan semua perjalanan yang penuh keakraban ini Isyarat apakah semuanya ini? Sekali lagi, apakah dia memang sepertiku? Ataukah ini semua hanyalah tanda dari sebuah pertemanan yang akrab, persahabatan nggak lebih? Masih ambigu Atau memang aku sendiri yang terlalu ragu untuk menyimpulkan? Sudahlah. Yuk! ujarku dengan sedikit lesu, mengalihkan roda pikiranku yang mulai tergelincir pada hal yang rumit. Kugapai bahu Fandy, mengajaknya beranjak. Apa yang mau kita coba nih? lontar Fandy sambil jalan. Kami meninggalkan panggung Wayang Orang, dan sekarang telah tiba di depan bangunan pertunjukan lainnya Coba itu aja yuk! cetus Fandy sambil menunjuk. Mataku langsung nanar

Kucampakkan batang Arum Manis-ku yang sudah habis, jantungku seketika berdegup tegang! Perasaanku langsung jadi lain saat menatap tempat yang ditunjuk Fandy Sebuah bangunan pertunjukan yang berdiri di tengah kerumunan orang, dengan eksterior penuh gambar Pocong, Tuyul, Sadako RUMAH HANTU!!! Suara berisik yang keluar dari toa yang dipasang di atas bangunan itu seketika bikin nyawaku serasa ciut! Suara-suara hantu, dan serigala mengaung Haaaaauuuuuuu. Xhiiihihihihihihiiii Suara ituuuu!!! Bikin kulitku merinding Sialan!!! Gimana, Mas? tantang Fandy sambil menatapku dengan sorot jahil. Aku menelan ludah. NGGAK! tolakku mentah-mentah. Kuusap-usap mukaku yang dingin, jangan sampai kelihatan pucat! Kenapa? Takut ya? cibir Fandy dengan senyum jahil. Aku nggak suka hantu-hantuan ah! jawabku ketus. Haduuuhhh sialan, kenapa tadi harus lewat sini sih?!! Malu lah kalau aku sampai kelihatan ketakutan di depan Fandy! Buat seru-seruan aja! desak Fandy. Kan udah jelas yang jadi hantunya tuh orang, apanya yang seru?! kelitku. Kalo udah tahu yang jadi hantunya orang, berarti nggak perlu takut kan? balik Fandy. My God!!! Aku malah salah ngomong! Kurang ajar nih Fandy, makin lama dia makin pintar ngerjain aku! Ya ampunnnn, Tuhan Toloooong! Tengkukku mulai dingin!

Ya, udah kalo kamu nantangin! Aku berani kok! tukasku gondok. Aku sudah nggak bisa berkelit lagi! Hehehe Beneran ya! Fandy langsung semangat jalan duluan menuju loket Rumah Hantu. Aku desperate dalam hati, melihat Fandy begitu semangat beli karcis Rumah Hantu! Ya ampun Aku hanya bisa bungkam, berdiri diam menunggu dengan tegang datangnya saat-saat yang pasti bakal menyebalkan di dalam sana!!! Ayo, Mas! ajak Fandy penuh semangat. Oke, siapa takut? balasku dengan nada heroik Please, gimana caranya biar seperti Aragorn waktu menghadapi pasukan hantu di Lord of the Rings?! Mana pedang Anduril-ku??? Mau kubantai tuh hantu-hantu, yang udah bikin aku mati kutu di depan Fandy! Serem lho hantunya Hati-hati! celetuk salah seorang di antara kerumunan yang ada di sekitar Rumah Hantu Apaan sih?!! Nggak penting nakut-nakutin! Memperkeruh suasana!

Kuikuti Fandy dari belakang dengan hati dongkol setengah mati! Mau nggak mau ikut masuk ke Rumah Hantu sialan ini! Bangunan yang kami masuki dibuat dari papan-papan triplek Dindingnya dibentuk semacam lorong-lorong Gelap, dipendari berkas-berkas lampu neon warna violet yang minim Suara berisik hantu-hantuan dari toa yang ada di luar menggema sampai ke dalam sini Dan buseettt!!! Ada bau menyan juga! NIAT AMAT SIH BIKIN KAYAK GINI?!!! Niat banget sih kita?! keluhku langsung menyesali keputusanku yang sok berani ini. Baru masuk rasanya udah pingin kabur aja!

Aku meraba-raba karena gelap. Fandy yang ada di depanku cuma kelihatan samar-samar bayangannya. Tanganku mulai merayap, memegangi pundak Fandy Nggak kelihatan nih, Fan! Kalo nggak pegangan ntar kepisah! keluhku cari alasan. Kalo kepisah juga nggak bakal kesasar lah Bangunannya sama rumahku aja masih gede rumahku! bisik Fandy sambil cekikikan. Asem nih anak, masih bisa nyantai aja!!! Aku nggak bisa membalas omongan lagi Kalau kebanyakan merengek nanti malah ketahuan aku takut! Cuma bisa bungkam dengan pasrah, sambil terus jalan biarpun kaki gemetaran! Tiba-tiba, ada sinar menyala di tangan Fandy Sini, Mas! Fandy menuntunku. Aku segera sadar, sinar menyala di tangannya itu cahaya LCD dari HP-nya AAAHHHHH!!! Kenapa aku nggak pakai HP-ku juga sih?!!! Bodohnya aku!!! Langsung kuhidupkan LCD HP-ku. Sekarang jadi berasa seperti Frodo yang bawa lampu peri di Lord of the Rings Huhhh, lagi-lagi LOTR! Pelan-pelan dong, kakiku kesandung-sandung nih! tukasku sambil mengarahkan cahaya dari HP-ku buat membantu menerangi jalan. Lalu begitu melewati belokan pertama, mulai terlihat Bilik-bilik yang disoroti sinar neon remang-remang, dan PENUH HANTU DI DALAMNYA.!!! Anjriiitttt!!! racauku gemetaran. Aku bergidik nggak karuan melihat ada benda putih berkuncir nampang di bilik yang ada di depanku! Tanganku mencengkeram pundak Fandy makin kencang Tenang, Mas! Itu cuma mainan kok bisik Fandy.

Mainan atau bukan nggak pentiiiinnggg!!! Yang jelas tuh bentuknya POCONG!!! Hantu apa aja aku nggak takut, asal bukan yang dibungkus itu!!! aku meracau campur aduk Dibungkus? Dibawa sekalian aja gimana? Buat oleh-oleh Fandy malah ngajak bercanda! Cerewet! tukasku sambil nonjok punggungnya Fandy. Bercanda di situasi kayak gini?!! Hihihihi Fandy malah ketawa. Nggak usah ketawa..! tukasku tambah gondok mendengar Fandy ketawa. Suara setan ketawa yang ada di luar saja masih kencang kedengaran, bisa-bisanya Fandy ikutan nambah ketawa! Kayaknya bunyi apa pun bisa bikin aku tambah stress di tempat kayak gini! Seperti perjalanan di neraka, dipenuhi dengan setan meskipun gadungan! Susah payah jalan tersandung-sandung di lorong gelap, zig-zag, haduuuuhhhhh!!! UDAHAN DOOOOONG!!! Pleaseeee HAAARRRRRGGGGGGHHHHHH!!! tiba-tiba sesosok mahluk bungkusan putih berkuncir melompat di sampingku HUAAAAAAAAAA.!!! aku spontan teriak!!! Spontan juga kudorong mahluk itu sekuat tenaga!!! Mahluk sialan berkuncir itu terpelanting ke dinding, dan KRAAAKKKK!!! Dinding triplek ambrol! Mahluk itu terjembab, nyungsep ditimpa triplek-triplek yang rubuh Juancooookkkk!!! mahluk itu misuh-misuh Lari, Masss! Fandy langsung menarik tanganku!

Tanpa pikir panjang aku ambil langkah seribu, nggak peduli gelap, nggak peduli mahluk yang marah-marah itu Adrenalinku meledak! Kuterobos semua lorong Rumah Hantu sialan ini Kaburrrr!!! Hantu Pocong itu masih berteriak marah-marah. Aku dan Fandy makin ngibrit, menabrak sana sini di sepanjang lorong yang gelap! Hingga akhirnya AKHIRNYA AKU KELUAAARRRRR!!! BEBAAAASSSS!!! Sinar matahari langsung menyambutku dengan sorot silau! Dan juga kerumunan orang-orang, keramaian pasar yang meriah Cepat lari! seruku terus berlari. Siapa tahu dia ngejar! Nekat lah dia kalo ngejar kita! sahut Fandy masih ikut berlari di sampingku. Hingga akhirnya kami sudah jauh dari Rumah Hantu itu Kami berhenti. Terengah-engah, duduk membentang kaki di atas tanah. Tawa kami pun meledak! Hahahaha! Fandy memegangi perutnya. Tahu rasa tuh Pocong gadungan!!! umpatku, ikut tertawa tersenggalsenggal. Sentimen banget sih, Mas?! Habisnya bikin kaget! Hampir jantungan aku tadi pas dia tiba-tiba nongol!!! Spontan aku dorong dia Hampir aku tendang juga sekalian! Kasihan tuh Kan dia kerja cari duit! seloroh Fandy. Resiko dia lah! tukasku terengah-engah. Aku sama Fandy ketawa lagi. Haduuuuhhh Tadi aja pas masuk ke sana aku gemetaran setengah mati! Tapi begitu kejadian berantem sama Pocong di

Rumah Hantu sialan itu, dan akhirnya berhasil meloloskan diri, langsung berasa seru! SERU BANGETTTT!!! Hahahaha! Mas Dimas hebat, bisa ngalahin Pocong! seloroh Fandy. Lain kali udah nggak takut kan kalo masuk ke Rumah Hantu lagi?! Siapa yang takut?!! tukasku, berkelit lagi sekarang. Tadi takut kan?! Waktu Mas Dimas megang pundakku, kerasa kok tangannya gemetar! cibir Fandy terbahak-bahak. Sialan! tukasku keki. Malu sekaligus gemas setengah mati! Aku memiting leher Fandy, kujatuhkan pelan ke tanah yang berumput. Dia masih belum berhenti ketawa! Kami bergumul di tanah, bercanda, bergulat diiringi senda tawa! Keriangan jiwa muda ini serasa mengalir makin bersemangat, dan penuh gairah! Menghadirkan bahagia yang begitu lepas dan begitu indah Ya Tuhan Hari ini benar-benar menyenangkan! Melepas lelah setelah puas dengan canda tawa, kami kini duduk terpekur. Kembali memandangi ramainya pesta rakyat ini Mendengarkan suara riuhnya yang menggema. Suara dangdut, suara kereta kelinci, deru diesel dan derit besibesi mainan semua berbaur menjadi irama yang campur aduk tapi terasa hidup! Sesaat aku terpaku menatap wahana mainan yang berdiri menjulang di sana, yang berputar bagai roda raksasa! Naik itu yuk! ajakku sambil menunjuk. Yang mana? tanya Fandy. Itu kincir raksasa! tunjukku. Raut muka Fandy langsung berubah. Dia terdiam

Kenapa? Kok diam? tanyaku sedikit heran dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Jangan yang itu ahh desah Fandy kelihatan grogi Memangnya ada apa? Pokoknya jangan yang itu! Kamu takut? kulikku memandangi wajah Fandy yang jadi agak cemberut. Sorot mata Fandy kelihatan cemas. Aku nggak suka ketinggian desahnya kecut. Ooooo Aku baru tahu, ternyata dia takut ketinggian Tadi kan aku udah terima tantanganmu ujarku sedikit membujuk. Sekarang gantian lah kamu terima tantanganku! Fandy melihatku dengan mimik gamang. Yang lain aja! tukasnya. Aku memandanginya sejenak. Lalu aku mulai tersenyum menghadapi kecemasannya Oke, kalo gitu aku akan mengakui sesuatu decakku tenang, merangkul pundak Fandy seraya memandangi Kincir Raksasa yang menjulang di sana. Aku tadi memang takut waktu masuk ke Rumah Hantu. Tapi setelah masuk dengan terpaksa, nggak tahunya malah dapat pengalaman seru di sana! Fandy tampak menyimakku, tapi raut wajahnya masih kelihatan ragu Jangan anggap ini tantanganku, tapi tantangan dari dirimu sendiri buat mengalahkan rasa takutmu! selorohku bersemangat. Lalu kutarik tangan Fandy sambil berdiri. Ayo!

Kok maksa sih? Nggak ahh! Fandy masih berusaha menolak. Aku temani! Cmon! bujukku terus menarik tangan Fandy. Lama-lama Fandy nggak bisa menolak lagi, akhirnya dia mengikutiku meski dengan tampang kecut. Now, this is his turn! Aku membawanya menuju ke loket Kincir Raksasa. Kami membeli dua karcis. Lalu kami segera bersiap di podium untuk menunggu giliran naik. Dan nggak lama kemudian putaran kincir berhenti. Penjaga segera membuka pintu bilik yang masih kosong Ayo! kuajak Fandy masuk. Aku dan Fandy duduk di dalam bilik, berdua, berhadapan berseberang sisi. Aku tersenyum melihat wajah kecutnya. Dia hanya diam saja dan masih cemberut Semua akan baik-baik saja! Nikmati saja! ucapku menenangkannya. Habis ini kita impas ya! cetus Fandy dengan raut masam dan kesal. Iya, iya! sahutku sambil tertawa. Lalu kincir pun mulai bergerak lagi, berputar naik Suara besi berderit, berpadu dengan suara angin saat melambung di ketinggian. Fandy menutup matanya, membuatku ingin ketawa melihatnya. Nggak seperti waktu di Rumah Hantu dimana dia kelihatan pemberani Di sini jadi terlihat lagi kepolosannya Dan seiring putaran membuat kami terangkat naik, pemandangan di mataku pun makin meluas Semula menangkap pemandangan sekitar pasar, kerumunan orang, kios-kios dan panggung-panggung yang dari atas kelihatan mengecil Lalu makin naik makin terlihat landscape yang lebih luas. Pemandangan desa dengan sawah-sawah yang hijau, kerumunan rumah-rumah

kecoklatan, kilauan air danau yang keperak-perakan Ahhh, aku baru tahu ternyata ada danau di sekitar sini! Di ufuk barat, bisa kulihat dua gunung sejoli Merapi-Merbabu yang kebiru-biruan, menjulang anggun Angin pun makin semilir, sejuk menjamah kulitku. My God, indah banget! Rasanya damai sekali di hati Ternyata ada danau ya di dekat sini? lontarku memecah kebisuan. Iya. Bendungan jawab Fandy singkat. Dia juga mencoba tertawa meskipun tetap kelihatan grogi. Hahaha Ternyata ada bagusnya juga main ke Pasar Malam siang siang! Kalo malam pemandangan bagus ini nggak akan terlihat! selorohku dengan decak kagum. Kincir terus berputar. Aku belum berhenti terpaku memandangi landscape tiap kali putaran membawa ke tempat yang tinggi Berkali-kali aku berdecak kagum! Lalu tiba-tiba Putaran melambat. Melambat, dan makin lambat Bilik kami mengayun naik dengan perlahan, lalu Putaran berhenti. Bilik tempat kami duduk, menggantung jauh di atas tanah Masss Kenapa ini? tanya Fandy gugup. Wajahnya agak pucat. Aku melongok ke bawah. Di bawah sana nggak ada penumpang yang sedang naik? Lalu kenapa berhenti? Aku melongok ke posisi bilik lainnya, segera aku sadar kalau bilik kami berhenti di posisi paling tinggi! Kenapa berhenti sih? Di bawah nggak ada yang mau naik kok! gumamku jadi terheran-heran. Aku menatap Fandy yang bengong diam dan gugup. Mesinnya macet kayaknya? lontarku. Macet? desah Fandy makin gugup.

Iya kayaknya Suara mesinnya berhenti ujarku sambil melongok ke bawah lagi. Di bawah sana petugas-petugas kelihatan sibuk di depan mesin. Ya, rupanya memang macet mesinnya! Aku kembali menatap wajah Fandy yang terdiam cemas, dan seperti mau panik. Aku langsung mengirim senyum. Udah, nggak usah grogi gitu! Pasti nanti juga jalan lagi ujarku menenangkan. Sebenarnya, kalau kondisinya seperti ini aku sendiri juga agak cemas sih Lama nih kayaknya? desah Fandy gelisah. Lalu dengan satu gerakan di dalam bilik besi yang sempit ini, aku berpindah duduk. Sekejap dalam satu gerakan, sekarang aku sudah duduk di sebelah Fandy Aku temenin nih! Jangan takut terus Ayo senyum! bisikku sedikit menggodanya. Pelan-pelan, Fandy mulai tersenyum Manis, sekaligus kecut. Nah gitu! ucapku seraya tertawa, sambil mendekap punggungnya. Seketika aku menyadari sesuatu lagi. Di sisi yang sekarang, aku melihat landscape dari arah yang berbeda. Landscape timur, dengan sawah yang lebih luas, dengan bukit-bukit kecil Dan di antara pemandangan itu menjulang satu gunung yang terlihat perkasa di kejauhan Gunung Lawu, seperti ksatria yang sedang berdiri seorang diri dengan penuh wibawa Lihat! bisikku menunjuk ke Gunung Lawu Gunung Lawu? Kenapa? tanya Fandy. Coba perhatikan, di timur Gunung Lawu berdiri sendirian, nggak ada gunung lain yang ada di dekatnya. Berbeda dengan gunung Merapi yang berdampingan dengan Merbabu di barat. Lihat! terangku sambil menunjuk ke

gunung-gunung itu. Lawu yang sendirian di timur, ibarat sedang memandangi Merapi dan Merbabu yang berduaan di barat Hmmmm Jadi mirip dongeng gumam Fandy dengan tawa tipis. Bisa jadi gunung Lawu cemburu melihat Merapi dan Merbabu ujarku sambil beimajinasi. Kenapa cemburu? sahut Fandy. Soalnya Merapi dan Merbabu itu seperti gunung sejoli. Sedangkan Lawu berdiri sendirian gumamku terpekur. Sendirian dan kesepian gumam Fandy ikut menimpali. Sayang, gunung nggak seperti manusia yang bisa berusaha cari pasangan Hahaha aku tertawa pelan mendengar komentar Fandy. Kamu pernah pacaran, Fan? Fandy menatapku sejenak dan tersenyum agak tersipu. Belum jawabnya simpul. Belum ketemu yang cocok, atau memang belum pingin? pancingku lebih jauh. Aku nggak terburu-buru sih, Mas. Jadi juga belum terpikir soal gimana kriteria yang cocok jawabnya disertai tawa tipis. Lalu dia mengerling padaku. Mas Dimas sendiri gimana? Udah punya pacar? Belum juga jawabku menggeleng dengan agak malu. Belum ketemu yang cocok Memangnya suka yang gimana? Kalo soal kriteria sih, standart lah sama seperti yang biasa disebutkan orang-orang. Baik hati, setia, penyayang Kalo secara fisik? sahut Fandy.

Secara fisik? aku mengulang pertanyaan Fandy sambil merenung. Nggak munafik sih, pastinya prefer yang good looking Tapi biarpun good looking kalo nggak punya good attitude, paling ujung-ujungnya bikin kecewa juga. Cowok setampan apapun nantinya bakal jadi bapak-bapak tua juga kan? Fandy tertegun. Hah? Cowok tampan? Eiiitttt!!! Anjrittt! Keceplosan! Hahaha Itu kan contoh aja, diganti cewek cantik juga sama aja prinsipnya! aku langsung sigap berkelit. Dasar Dimas goblok! Ceroboh! Munafik! Oohh Iya juga sih, aku setuju sama Mas Dimas gumam Fandy kembali datar. Ikut terpekur memandangi Gunung Lawu yang tampak sendu di ufuk timur. Huuuugghhh! Dia memang anak yang bikin aku mudah terlena! Sudah berapa kali aku keceplosan bicara di depannya?!! Aku belum berani membayangkan konsekuensinya kalau aku sampai membongkar rahasiaku sendiri di depannya! ;( Drrrmmmmm Tiba-tiba terasa ada getaran dan bilik tempat duduk kami perlahan bergerak lagi! Mesinnya udah nyala! seru Fandy tampak berbinar lega. Iya, udah nyala sahutku ikut lega. Kincir bergerak, berputar lagi. Pemandangan pun bergulir lagi seiring dengan putaran Kelihatannya kamu udah nggak takut lagi ya? lontarku pada Fandy. Fandy tersenyum merekah, matanya kini terlihat jauh lebih cerah. Iyaaa Nggak terasa Lama-lama jadi terbiasa dengan sendirinya ucapnya berbinar.

Kalo aku pindah tempat duduk lagi, kamu udah nggak takut kan? tanyaku menguji. Fandy memandangiku sejenak. Iya jawabnya pelan. Jadi aku boleh pindah? aku sedikit menggeser badanku ke depan. Kalo duduk di situ lagi, yang akan Mas Dimas lihat gunung Merapi sama Merbabu kan? Ehh? Kenapa? Fandy tersenyum penuh siratan padaku. Mas Dimas yakin, nggak akan cemburu sama gunung-gunung itu? Karena Mas Dimas akan duduk sendiri di situ memandanginya lontarnya, melemparkan imajinasinya padaku. Aku tercenung sesaat. Kuurungkan niatku untuk pindah tempat duduk. Bertahan duduk di samping Fandy. Dari sini, sudut pandangku masih tertuju pada sisi timur dimana Gunung Lawu yang gagah biru itu menjulang tinggi Kalo aku tetap di sini, duduk sama kamu berarti Gunung Lawu nggak cuma memandangi Merapi dan Merbabu, tapi juga memandangi kita berdua gumamku memainkan imajinasi. Gunung Lawu yang sendirian itu Biar dia juga cemburu sama kita Memangnya apa yang bisa dicemburui dari kita? lontar Fandy. Paling enggak, kita duduk berdua nggak sendirian Punya teman itu menyenangkan kan? ucapku dengan senyum termangu. Aku tetap di sini saja Fandy tertawa rekah mendengar ucapanku. Aku rasa dia setuju denganku Aku menemaninya, dia menemaniku, rasanya sudah lebih dari cukup. Kami tertawa hangat setelah saling memancing imajinasi. Tetap duduk di sini, berdampingan. Berdua menatap indahnya desa dari ketinggian. Hingga putaran berakhir

Waktu selalu terus berjalan, dan jarak tiap detik belum berubah. Waktu sering jadi alasan buat banyak hal yang terlupakan. Tapi sepertinya bukan untuk pengalaman ini. Bukan untuk perasaan ini Kami tersenyum. Good time Beautiful day! Selanjutnya aku tetap pasrah, sekaligus belum menyerah Always love him, discreetly!

KANTONG 22 : Calon Mertua?

Aku dan Fandy sudah kembali dari Pasar Malam yang menyenangkan itu. Sekarang kami sudah sampai di rumah lagi. Rumah Fandy yang teduh dan unik. Saat kami tiba di depan halaman, sudah ada yang menyambut kami Dari mana saja? seorang perempuan langsing berkulit cerah dan masih terlihat cantik di usianya yang menurut dugaanku sudah separuh baya, menyapa dengan senyum keibuan Jalan-jalan, ini sama teman jawab Fandy. Lalu dia berbisik padaku. Ibuku, Mas Ya, sudah kuduga. Aku segera mengangguk dan memberi senyum salam ke ibu Fandy Ini tho temannya Fandy? Namanya siapa? sapa ibu Fandy dengan senyum ramah. Dimas, Bu jawabku rada sungkan, sambil menyalaminya. Ooo Nak Dimas Mari sini masuk! ujar ibu Fandy hangat. Ayo, Mas! Fandy juga mengajakku. Aku melangkah masuk ke rumah. Di ruang tamu ternyata juga sudah duduk seorang laki-laki yang mungkin berusia sekitar limapuluhan. Tapi masih terlihat bugar. Laki-laki itu menyalamiku dengan senyum mengembang. Mari duduk sini ujar laki-laki itu berwibawa. Iya, Pak jawabku sambil duduk agak sungkan. Saya Bapak-nya Fandy ucap laki-laki itu. Ya, sudah aku duga juga. Saya temannya Fandy, tapi bukan sekelas sih, Pak ujarku dengan senyum agak segan.

Saya tahu, Fandy sudah cerita kok. Kakak kelasnya kan? balas ayah Fandy. Bahasanya santai, nggak kaku biarpun suaranya besar bikin agak grogi. Siapa namanya? Dimas, Pak jawabku. Ooo Dimas gumam ayah Fandy dengan senyum menganggukangguk. Aku segera celingukan Mana Fandy??? Tadi dia kan ikut masuk, kok sekarang ngilang? Aku disuruh menghadapi bapaknya, tapi dia nggak menemaniku? Mau menguji mentalku nih?! Kurang ajar tuh Fandy, ngerjain aku lagi kayaknya! Lalu ibu Fandy yang tadi sempat menghilang ke belakang, sekarang muncul lagi dan ikut duduk di ruang tamu. Lengkap! Aku menghadapi kedua ortu Fandy, sendirian! Bakal ditatar nih kayaknya? Langsung membayangkan orang tua Fandy bertanya, Nak Dimas sudah mantap dan serius dengan anak kami? Huaaaahahaha Mampus akuuu!!! Mana Fandy?! Mau aku jitak kepalanya! Bagaimana Fandy di sekolah, Nak Dimas? lontar ayah Fandy memecah lamunanku. Eeee Saya nggak sekelas sih Pak, dan juga beda angkatan Belum bisa menyimpulkan dia bagaimana jawabku dengan senyum grogi. Tapi kok bisa akrab sama Fandy? tanya ibu Fandy. Nah loh! Bisa kena nih! Aku ditanyai soal keakraban! Katanya Fandy, Nak Dimas ini senior yang bimbing dia waktu MOS kemarin, Bu sela ayah Fandy menjelaskan ke istrinya. Tapi cepat juga ya kalian bisa akrab? sahut ibu Fandy lagi.

Kebetulan waktu itu, habis MOS, saya sama Fandy pernah kena hukuman di Ruang BP. Kalo waktu MOS kan biasanya senior itu suka ngasih hukuman ke anak-anak baru. Begitu sama-sama kena hukuman, malah jadi akrab aku mulai mengarang-ngarang alasan. Fandy dihukum?! ibu Fandy langsung kelihatan terkejut. Tapi itu bukan pelanggaran berat kok, Bu aku langsung buru-buru menimpali. Waktu itu cuma warna ikat pinggangnya Fandy saja yang salah Cuma dikasih ceramah saja kok sama BP Sebenarnya bukan aku yang dihukum waktu itu, tapi si Denis gara-gara atributnya nggak lengkap. Di ruang BP itu Denis kenal duluan sama Fandy. Sekarang aku curi kejadian itu buat alasan ke orang tua Fandy. Semoga dosaku dimaklumi. Hehehe Oo, begitu. Kalau begitu kami titip Fandy saja di sekolah, tolong dibantu kalau dia kenapa-napa Ya, Nak Dimas? ucap ibu Fandy dengan senyum harap. Weeeeewwww TITIP??? Ortu Fandy bilang TITIP ke aku??? Kenapa cuma nitip? KASIH aja sekalian buat aku! Hahahaha Fandy, kamu

dititipin ke aku sekarang, musti nurut sama aku! Mana Fandy? Belum nongol juga? Kurang ajar! Iya, Bu, saya usahakan jawabku sok diplomat. Bangga, ada ortu nitipin anak cowoknya yang cakep padaku! Ya kalau bisa jangan cuma di sekolah. Di Solo kan Fandy ikut pamannya. Pamannya pengusaha kost-kostan di sana, Fandy tinggal di salah satu kamar kostnya. Masalahnya pamannya itu orang sibuk, sering keluar kota. Jadi kondisi Fandy juga tidak jauh beda sama anak-anak kost lainnya, harus hidup mandiri. Makanya, sebetulnya saya masih agak kuatir, kalau-kalau lingkungannya tidak bagus, kan anak-anak yang kost di sana kita juga belum tahu seperti apa. Jadi,

kalau Nak Dimas akrab sama Fandy, tolong kalau bisa dia diawasi. Syukur bisa dijaga juga wejang ayah Fandy panjang lebar padaku. Fandy itu anaknya agak ringkih, Nak Dimas jelas ibu Fandy, arahnya juga mulai curhat. Saya sebetulnya keberatan waktu dia mau sekolah di Solo, tapi anaknya yang ngotot. Makanya saya titipkan ke pamannya di sana. Selama di sini dia jarang bergaul dengan anak-anak sebayanya, kadang saya lihat dia itu kelihatan kesepian Jadi kalau ada teman yang bisa ikut menjaga, kan kami juga bisa lebih tenang Aku manggut-manggut mendengar penjelasan orang tua Fandy.

Sebenarnya, menurutku Fandy nggak selugu itu sih Aku yakin dia lebih kuat dari apa yang dikuatirkan orang tuanya itu. Yahh Memang begitulah orang tua, wajar kalau cemas sama kondisi anaknya. Bisa kutangkap rasa resah mereka, kekuatiran sekaligus keinginan untuk membahagiakan anak, berusaha

memberikan apa yang diinginkan anak mereka. Mereka orang tua yang kasih sayangnya pasti sangat besar! Aku pasti akan bingung kalau memikirkan lebih jauh lagi. Karena anak mereka adalah seseorang yang sudah membuatku jatuh cinta! Apa yang mereka harapkan seandainya tahu perasaanku? Apa mereka masih akan memberiku kepercayaan atas anak mereka? Ahhh Aku nggak berani membayangkannya! Hanya akan membuatku makin bingung! Kutepis isi pikiranku yang mulai kusut. Kutengok halaman di luar lewat jendela. Kulihat, rupanya Fandy ada di luar sana. Dia sedang sibuk di taman, memilah-milah tangkai tanaman mawar Lalu dia memotong salah satu tangkai yang berbunga Hmmm Mau buat apa bunga mawar itu?

Baru penasaran mengamati Fandy di luar sana, mataku harus teralih lagi saat suguhan datang di hadapanku Sini, Mbok ibu Fandy mengarahkan sambil menata taplak meja, lalu si Mbok yang datang membawa suguhan menaruh semuanya di atas meja. Teh, pisang goreng, singkong rebus, semuanya masih mengepul asapnya Suguhan desa, Nak Dimas seloroh ayah Fandy seraya tertawa lebar. Di kota juga banyak kok, Pak! sahutku tersenyum lebar. Nggak kota nggak desa lah, singkong rebus sama pisang goreng semua orang doyan! Disambi, Nak, nggak panas kok. Ini hangat ujar ibu Fandy menyilakan. Iya sahutku. Sedikit malu-malu kuminum tehku. Lalu mencomot pisang goreng yang masih hangat. Kemudian mataku melirik lagi ke luar jendela. Fandy sudah nggak kelihatan lagi di luar sana Kemana dia sekarang? Dan sekali lagi pikiranku iseng bertanya-tanya, bunga tadi buat apa? Atau Buat siapa?

KANTONG 23 : Bunga Untuk Seseorang

Sebentar lagi saatnya aku harus pulang. Fandy akan membonceng motorku, karena dia belum dikasih ijin oleh ortunya buat membawa motornya ke Solo. Dia belum punya SIM. Yahhh Keuntungan tersendiri untukku. Pastinya! Perjalanan pulangku akan ditemani seseorang yang ikut duduk di jok motorku! Yuppp, adik kelasku yang cute itu! Maka petualanganku di desa ini akan menjadi memori manis yang lengkap! Hahaha Aku menunggu di kamarnya, menunggu dia selesai mandi. Aku iseng membuka-buka salah satu buku koleksi Fandy yang tertata rapi di rak meja. Gitanjali, tulisan Rabindranath Tagore. Kubuka sebuah halaman yang diselipi sebuah pembatas. Aku membacanya (*) Tentu saja mereka yang mencintaiku di dunia ini mencoba menjagaku tetap aman. Tetapi sebaliknya dengan cintamu yang lebih besar daripada cinta mereka, kau membuatku bebas. Agar aku tidak melupakan mereka, mereka tidak pernah berani meninggalkanku sendiri. Namun hari demi hari berlalu dan kau tidak terlihat. Jika aku tidak menyebutmu dalam doa-doaku, jika aku tidak memilikimu di dalam hatiku, cintamu untukku masih menunggu cintaku (*) Aku tercenung Pikiranku segera bergulir merenungkannya. Tapi aku belum

menemukan artinya

Aku meloncat ke halaman depan. Di halaman judul, dan kutemukan ada sebuah tulisan tangan di bawah judul buku Gitanjali To my best friend: Bagas Kreeekk Pintu terbuka, Fandy masuk ke kamar. Isi kepalaku segera teralih. Kukembalikan buku itu ke rak. Kamu lama ya, kalo mandi? sambutku. Biasa ah, kalo mandi nggak bersih sekalian kan percuma airnya balas Fandy santai. Lalu dia berkaca di depan cermin, putar-putar badan sambil mengepaskan kaosnya. Udah cakep! cibirku. Kayaknya bajuku udah kekecilan ya ini? gumam Fandy. Ganti aja nih kayaknya Aku langsung berbinar-binar saat Fandy bilang kata ganti! Iya kekecilan, ganti aja! aku langsung semangat mendukung dia ganti baju. Ayo ganti! Ayo buka bajunya! Hahahaha :-p Dan Fandy benar-benar melepas kaosnya Huaaaaaaaa Badannya Fandy putih bersih luar dalam!!! Nggak sia-sia dia kalau

mandi suka lama! Ludahku sampai tergelincir berulangkali melihat daging segar berbau wangi itu! Haduuuuhhhh Cepat pakai baju lagi gih! Nggak tahan nih kalau cuma disuruh lihat! Hyuuhhh Detak jantungku bisa teratur lagi begitu Fandy sudah menutup badannya dengan kaos yang baru. Hihhh! Ada aja tingkahnya yang selalu bikin aku dag dig dug! Udah pas sekarang! tukasku.

Fandy nyengir di depan kaca. Dia lalu berganti mengamati celananya Yahh, ini celana juga kotor gini? Apa gara-gara duduk di rumput tadi ya? celetuknya. APAAAAA??? JUGAAAAA???!!! MAU GANTI CELANA

Jangan, jangan, please!!! Bajunya aja yang

diganti, udah cukup!!! Celananya masih bersih kok!!! Jangan ngasih godaan nafsu yang lebih beraaattt!!! Gosh Ah, nggak apa-apa lah Nggak kotor-kotor amat! gumam Fandy akhirnya. Haaaaa Iya, mending gitu aja! Atau kalau mau nekat ganti celana, mending jangan di depanku deh Bukannya aku nggak pingin, tapi aku nggak siap dan bisa nggak kuat! Dasarrr! Habis ini kita langsung berangkat kan? lontarku. Iya. Tapi nanti tolong antar aku sebentar ya, Mas Kemana? Nanti juga tahu. Nanti aku aja yang nyetir motornya Iya deh, terserah gumamku. Udah siap nih Yuk! Fandy mencangklong ranselnya di pundak. Okey sahutku. Aku dan Fandy keluar dari kamar. Di ruang tengah, di situ kedua ortu Fandy sudah menunggu. Fandy langsung menyalami mereka Aku berangkat dulu, ujar Fandy berpamitan. Hati-hati ya! pesan ayah Fandy. Fandy diawasi ya, Nak Dimas tambah ibu Fandy.

Iya, Bu jawabku sambil nyengir. Lalu kusalami juga kedua orang tua Fandy, pamitan. Monggo, Pak, Bu salamku pakai bahasa Jawa halus. Iya, hati-hati di jalan! sahut ibu Fandy. Aku dan Fandy melangkah keluar dari rumah. Di pekarangan, kutengok sekali lagi rumah Fandy yang nyentrik itu. Wahh, aku bakal kangen nih sama rumah ini! Memorable! Lho, itu Fandy yang nyetir? ibu Fandy langsung interupsi pas Fandy naik duluan ke motorku. Mas Dimas lupa jalannya, jadi aku yang nyetir. Nanti juga gantian kok! sahut Fandy. Wah, pintar alesan juga nih anak! Hati-hati pokoknya! ujar ayah Fandy. Mari, Pak, Bu pamitku sekali lagi. Kedua ortu Fandy mengangguk sambil melambaikan tangan mereka. Aku segera duduk di belakang Fandy di atas motorku. Fandy mulai menstarter motor. Nggak lama kemudian kami mulai keluar dari halaman, mulai melaju pelan di atas jalan tanah yang berbatu-batu. Meninggalkan rumah Fandy Seperti yang Fandy bilang, dia mau mampir sebentar entah ke mana. Aku ngikut saja. Jalan yang diambil sama dengan arah ke Pasar Malam tadi. Tapi kali ini melewati Pasar Malam itu kami jalan terus. Hingga sampai di sebuah perempatan besar, kami berbelok ke kiri. Aku belum kenal daerah ini, tapi aku tetap menikmati suasana desa yang khas ini. Kulipat tanganku di pundaknya, dan menundukkan kepalaku lebih erat di atasnya. Meresapi aroma tubuhnya yang wangi dan menyejukkan urat syarafku. Aahhh Rasanya ingin tertidur pulas di atas pundaknya, dan perjalanan yang indah ini terlukis di balik mataku sebagai sebuah mimpi yang manis

Kembali kubuka mataku dan segera menutup lamunan, saat kurasakan getaran yang berbeda pada jalan yang kami lalui. Kami telah masuk ke sebuah gang kecil yang berkerikil, di tengah perkampungan desa yang padat tapi agak senyap. Di kejauhan, di depan sana terlihat tembok tinggi yang melintang panjang. Akhirnya, aku sadar kemana kami sedang menuju Itu Dam bendungan yaa? tanyaku saat melihat bangunan besar di depan sana. Iya, Mas Kita akan ke sana? Nanti mampir boleh lah sahut Fandy, menyiratkan tujuannya bukan ke danau itu. Tembok bendungan yang besar itu kini tepat di depan mata, tapi Fandy mengarahkan motorku menikung ke sebuah jalan kecil. Kami melintas tepat di bawah tepian dam, menerabas celah di antara semak-semak. Hingga kami tiba di sebuah pekarangan Aku terpana Turun sini, Mas ucap Fandy setelah mematikan motorku. Lalu dia segera turun dan mengajakku. Yuk! Meski heran dan bertanya-tanya dalam hati, aku tetap mengikuti Fandy tanpa banyak bertanya. Hingga dia berhenti di depan sebuah Ini kakakku, Mas ucap Fandy pelan. Dia berjongkok, dan tertunduk di depan sebuah nisan porselen Kakakmu? tanyaku terkesiap Iya

Kamu bilang, kakakmu dua orang masih ada semua? cekatku termangu. Fandy cuma tersenyum. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Setangkai bunga. Mawar yang tadi dia petik di pekarangan rumahnya Dia tancapkan batang mawar itu di tanah, di ujung nisan Sebenarnya di keluargaku ada empat anak desah Fandy pelan. Dia duduk di tepi nisan sambil mencabuti rumput liar yang tumbuh beberapa di sekitar nisan. Wajahnya terlihat terenyuh, seperti ingin berbagi sesuatu. Ini adalah kakakku nomor tiga, usianya dua tahun di atasku. Dia yang paling dekat denganku. Kami selalu satu sekolahan dari SD sampai SMP. Dia selalu menjagaku, suka membelaku, di rumah ataupun di sekolah Aku nggak bisa berucap apa-apa mendengar cerita Fandy yang nggak pernah kuduga ini. Aku terpaku menatap raut wajahnya yang haru mengenang orang yang diceritakannya Waktu itu dia sedang dalam perjalanan menuju gedung pertemuan buat acara perpisahan SMP. Pagi-pagi dia sudah semangat buat berangkat. Ayahku sudah menawari buat mengantar pakai mobil, tapi dia maksa naik sepeda, katanya habis acara perpisahan mau ikut arak-arakan sepeda sama teman-temannya. Dia kecelakaan waktu berangkat Diserempet mobil. Kepalanya terbentur keras waktu jatuh Dia meninggal waktu dibawa ke rumah sakit kenang Fandy dengan senyum duka. Aku termangu. Kepedihan itu seolah ikut kurasakan. Rasa kehilangan itu seolah ingin ikut merenggut perasaanku. Aku mengerti, aku juga punya saudara Mana mungkin aku mau kehilangan dia? Namanya Bagas Fandy berucap. Bagas? Nama yang tercantum di buku yang tadi kubaca? Dan dia mirip kamu, Mas

Aku terkesima. Dan sesaat aku ikut tersenyum pahit ketika Fandy juga tersenyum tipis di sela-sela rasa kehilangannya Aku juga punya sodara, si Denis yang nyebelin itu. Tapi kalo terpisah ternyata bikin kangen juga. Bagaimana kalo sampai kehilangan dan nggak bisa ketemu lagi? gumamku terenyuh. Aku mengerti, kehilangan itu pasti berat buat kamu Ya Awalnya berat banget. Tapi pada akhirnya kita tetap harus meneruskan apa yang masih kita miliki, Mas ujar Fandy terpekur. Kita sering nggak bisa mengelak dari rasa sedih, tapi kita harus tetap meneruskan tanggung jawab atas hidup kita sendiri Aku mengangguk pelan. Aku kagum, ternyata Fandy bisa sedewasa itu memikirkannya Mawarnya moga-moga subur gumamku seraya tersenyum tipis. Fandy tertawa lirih. Mas Bagas yang dulu menanamnya di pekarangan rumah. Dulu sempat layu, tapi kemudian bisa tumbuh berkembang lagi. Sebenarnya, bunga mawar itu sudah mengajariku sesuatu Bunga mawar itu? lontarku agak terheran. Banyak orang bilang, mawar adalah lambang keindahan yang bermuka dua. Memiliki mahkota yang indah, tapi sekaligus duri tajam yang siap melukai siapa saja. Suatu hari aku merenung memandanginya, saat bunga itu mulai bangkit dari layunya Aku rasa, duri itu bagian dari mawar yang juga diciptakan oleh Tuhan, dengan suatu maksud. Supaya setiap orang selalu bijak dan hati-hati memperlakukan keindahannya Aku terhenyak mendengarkan kata-kata Fandy, terhanyut ke dalam renungannya Aku rasa begitu juga dengan hidup, Mas. Kadang sesuatu yang indah dalam hidup kita, termasuk kasih sayang yang kita miliki terhadap seseorang,

harus berakhir tanpa bisa kita tangkap tanda-tandanya. Tiba-tiba hilang begitu saja dan membuat hati kita terluka Saat seseorang yang kita sayangi pergi, kadang kita berpikir bahwa hidup kita ikut selesai bersamanya. Aku pernah seperti itu hingga akhirnya aku sadar bahwa aku sudah bersikap egois. Aku hanya menginginkan sesuatu yang manis, tanpa mau menerima bagian-bagian yang pahit di dalamnya. Seringkali orang hanya menuntut bunga yang indah, tanpa mau belajar dari duri-durinya Hatiku tergetar mendengarnya. Aku nggak pernah mengira ada perenungan yang sedalam itu dalam hatinya. Ketegaran yang mengagumkan dalam dirinya itu, benar-benar menyentuhku Aku sengaja mengajak Mas Dimas kemari, biar tahu kakakku ini ucap Fandy dengan senyum tipisnya yang masam. Ehh? aku tertegun. Mas Dimas mirip Mas Bagas Aku terkesiap dalam hatiku. Aku mirip dengannya??? Mas Bagas itu juga lucu orangnya, periang, posturnya juga mirip sama Mas Dimas jelas Fandy seraya tertawa pelan. Makanya sejak awal aku melihat Mas Dimas, aku jadi teringat Dan aku nggak nyangka ternyata Mas Dimas juga baik padaku. Maaf, Mas Aku jadi menganggap Mas Dimas seperti kakakku sendiri Hatiku terharu. Sekaligus terpukul, dan terasa sesuatu harus pupus dalam diriku Keinginanku, rasa sayangku sebagai orang yang telah jatuh cinta ada sesak tersendiri karena keinginan itu kini seperti harus kukorbankan saat mendengar dia menganggapku Kakak. Ya Tuhan, inikah ujianmu yang sebenarnya?

Mas Dimas nggak apa-apa kan? ucap Fandy memecah kesunyianku. Eh, nggak Nggak apa-apa Kenapa? sahutku gugup. Kelihatannya Mas Dimas jadi sedih gitu? Yang sedih aku saja, itu juga sudah aku anggap masa lalu kok ucap Fandy disertai senyum sendunya. Hmmm Tapi masa lalu itu tetap bagian dari hidup kita. Kakakmu pergi bukan berarti buat dilupakan. Tapi mengingat orang yang sudah pergi, juga bukan berarti harus membuat kita sedih sepanjang waktu. Dia akan tetap jadi seseorang yang berharga yang kamu miliki di hatimu ucapku ikut menegarkan diri. Iya. Aku mengerti. Makasih, Mas Kutatap wajah Fandy. Aku tersenyum pahit, haru, dan nggak tahu rasa apa lagi yang tercampur dalam senyumku Bukannya Denis juga mirip aku? sahutku sedikit berkelakar, menghibur suasana haru ini. Fandy tertawa. Iya Tapi Mas Denis kan orangnya cuek. Itu bedanya dengan Mas Dimas. Mas Dimas punya sesuatu yang lebih dalam Lebih dalam? Entahlah Yang pasti, itu terasa lebih menentramkan buatku Aku tersenyum kecut. Lalu berubah menjadi tawa. Begitu juga Fandy. Meski mungkin ada campuran rasa yang berbeda-beda dalam tawa kami, tapi apa aku harus menuntut lebih tinggi? Di mana rasa tahu diriku? Mungkin, inilah kehancuran yang manis untukku. Bunga untukku. Mawar dan duri-durinya, yang kuterima dari perasaan yang telah diungkapkan Fandy dari hatinya Oke Kamu boleh anggap aku kakakmu Pasti! ucapku dengan senyum pahit

Fandy tersenyum dengan senyum simpulnya yang penuh arti. Biarpun kecelakaan itu susuatu yang tragis, semoga kakakmu bisa beristirahat dengan tenang bisikku gagu. Fandy perlahan menundukkan kepalanya, bersandar di atas nisan. Berdoa. Aku ikut menatap nisan di hadapanku. Biarpun aku nggak sempat mengenal Bagas, tapi aku juga berdoa semoga dia tenang dengan istirahatnya Rest in peace, Bagas. You have a great brother! Aku termenung menemani Fandy yang masih berdoa menyandarkan kepalanya di atas nisan. Nggak ada orang lain di sini selain kami. Langit sudah mulai agak redup, buram keperakan. Suasana makam sangat senyap. Rumahrumahan pelindung nisan, batang-batang bambu tempat kemenyan, dan beberapa payung kertas yang terlihat mengembang bertebar di beberapa sudut makam, sunyi. Cuma suara angin yang terdengar menggoyang daun-daun pohon kamboja, sesekali disisipi suara burung sore yang muram Aku tergolong orang yang takut hantu atau tempat-tempat angker, tapi kali ini rasanya nggak ada yang membuatku tercekam, sebaliknya aku merasa ada keteduhan tersendiri menemani Fandy berdoa bagi kakak yang dia sayangi Sudah yuk, Mas Fandy akhirnya mengangkat wajahnya. Dia juga mulai bangkit berdiri. Udah sore nih Okey balasku, ikut berdiri. Sekarang aku yang nyetir motornya kan? Iya sahut Fandy, seraya menatap lagi nisan kakaknya sebelum pergi. Aku menepuk-nepuk bahunya, menguatkannya. Aku tahu perasaannya, meski dia tersenyum tapi ada rasa duka di dalam sana. Dia hanya bersikap tabah. Yaah, meski air mata juga nggak selalu memalukan, tapi aku bangga dengan sikap tegarnya

Aku duduk di motorku, diikuti Fandy yang duduk di belakangku. Motor kunyalakan, lalu kami mulai meninggalkan pemakaman. Sekilas aku menoleh ke atas dam Aku ingin melihat danau sebentar ujarku. Okey.. gumam Fandy. Di depan tangga dam, aku menghentikan motorku lagi. Aku turun dari motor, lalu dengan langkah kecil mulai meniti tangga dam. Fandy juga mengikutiku. Begitu sampai di atas dam, terlihatlah di depan mataku hamparan air danau yang luas dan teduh Waawww Bagus banget! decakku kagum. Biasa lah, Mas Bagusnya di mana? sahut Fandy. Suasananya! Di tengah desa, sore-sore airnya keperakan gumamku terpana. Aku menuju ke pos pintu air yang bangunannya menjorok agak ke tengah. Kusandarkan siku tanganku ke pagar besi, mendekap bahu yang sedikit dingin merasakan hembusan angin. Aku merasa teduh melihat air yang luas dengan burung-burung yang beterbangan di atasnya. Dan di ujung sana kelihatan matahari yang mau terbenam, teduh di sela-sela awan Surya tenggelam, ditelan kabut kelam samar-samar kueja lirik sebuah lagu yang terlintas begitu saja di kepalaku. Senja nan muram, di hati remuk redam Jalan berliku dalam kehidupan, dua remaja kehilangan penawar rindu, kasih pujaan, menempuh cobaan Fandy menyusul di sampingku. Kami berdua termangu menatap wajah senja yang terpantul di hamparan danau Aku nggak akan lupa dengan hari ini bisikku.

Fandy tersenyum hening, menerawang. Ya, aku nggak mungkin melupakan hari ini, hari dimana akhirnya aku mengetahui dengan pasti perasaannya padaku. Meski menyisakan sesuatu yang pahit, tapi kini aku mulai mengerti arti kata-kata yang telah kubaca Tetapi sebaliknya dengan cintamu yang lebih besar daripada cinta mereka, kau membuatku bebas Jika aku tidak menyebutmu dalam doa-doaku, jika aku tidak memilikimu di dalam hatiku, cintamu untukku masih menunggu cintaku Cinta yang lebih besar, adalah cinta yang membebaskannya. Itu artinya, bukan egoku untuk meminta syarat dari cinta yang kuberikan. Karena sepertinya cinta memang bukan untuk diminta. Tapi untuk diberi, berbalas ataupun tidak Seperti air danau yang keteduhannya memantulkan cahaya langit ke udara. Di saat yang sama, kedalamannya mengendapkan semua lumpur ke dasarnya Ya Tuhan, aku butuh hati yang lebih besar

KANTONG 24 : Pulang

Akhirnya aku sampai rumah lagi, mengakhiri semua perjalananku seharian ini. Dengan lesu kugiring motorku masuk ke garasi. Kulihat di garasi nggak ada mobil, tandanya Papa pasti pergi. Ruang depan juga lampunya dimatiin, makin mengisyaratkan kalau rumah lagi sepi. Mungkin Mama juga ikut pergi sama Papa, Denis juga Huhhh Aku masuk lewat pintu samping garasi yang bertembusan dengan ruang tengah. Ruang tengah lampunya juga dimatiin. Aneh Sesepi-sepinya rumah biasanya nggak sampai dimatiin semuanya gini? Cuma ruang dapur yang lampunya menyala. Apa ada orang yang lagi di dapur? MIAAUUWWW!!! tiba-tiba ada benda menggelinjang dan bersuara nyaring di kakiku! GYAAAA!!! aku melonjak kaget!!! Drap, drap, drap! Tiba-tiba ada yang bergerak cepat dari arah dapur dan PLOKKK! Bahuku digaplok pakai panci Lu apain kucing gue?!! Denis yang nongol dari dapur langsung memarahiku. Aku masih gelagapan karena kaget. Kucing?! Lu injak ya?!! sergah Denis. Nggak tahu! Gelap gini! Kapan ada kucing di sini? sahutku bengong. Puss Puss Denis malah sibuk melongok-longok ke kolong meja manggilin kucing Makanya lampu jangan dimatiin semua kayak gini! Emangnya bioskop?! aku gantian ngomel sambil mencet saklar lampu ruang tengah.

Tapi Lho? Kok nggak nyala? Lampunya mampus! seru Denis. Astaga! Kok nggak beli yang baru sih?!! Papa sama Mama baru belanja tuh! Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Aku baru bisa melihat dengan jelas bentuk mahluk yang tadi kuinjak. Kucing itu lari ke arah dapur yang terang, jadi sekilas aku bisa melihatnya. Denis balik lagi ke dapur. Aku ngikut Baru masak ya, Den? tanyaku saat melihat kompor di dapur menyala, dan ada beberapa kaleng sarden di meja. Buat kucing, jawab Denis singkat. Ya ampun Buat kucing? Kulihat kucingnya Denis yang tadi aku injak, duduk manis di pojok dapur. Bulunya putih campur abu-abu tua. Dan, astaga! Masih ada satu lagi kucing yang nongol dari kolong meja! Yang satu itu bulunya putih campur hitam polos. Pelihara berapa sih? Dua. Dapat dari mana tuh? Dari temen Nggak dimarahin sama Mama? Cerewet lu ah! sahut Denis jutek. Aku lihat ada mangkok berisi biskuit di meja. Aku comot beberapa potongan kecil dan segera aku kunyah

Enak juga nih biskuit! gumamku. PLAAKKK! Denis langsung nampol tanganku. Itu biskuit kucing!!! ASTAGAAAA!!! Buaaahhhh! Langsung kesemburkan keluar biskuit yang kumakan! Bilang dong!!! Telanjur kumakan nih!!! aku langsung mencakmencak. Elu yang mustinya tanya dulu! Sapa suruh nyomot? Apa-apa asal makan aja! balas Denis. Lagian niat amat sih manjain kucing?! Biarin! Kucing kucing gue, yang beli makanannya juga gue! Aku cuma bengong melihat Denis ngasih makan kucingnya, sampai jongkok segala nungguin kucing-kucing itu makan. Sialan! Aku baru pulang gini, bukannya bikinin minum atau makan malah sibuk ngasih makan kucing! Tapi lama-lama aku juga jadi pingin megang kucing-kucing itu. Aku ikut jongkok mengamati kucing-kucing yang baru makan itu. Kupegang satu, ternyata nurut. Hehehe Lucu juga sih! Ini kucing baru makan kok dipegang-pegang sih?! sungut Denis. Ini kucingnya laki semua ya? celetukku tanpa menghiraukan protesnya Denis. Bisa jadi gay nih kucing! Cerewet! Udah biarin mereka makan! Denis merebut kucing yang kupegang, lalu menaruhnya lagi buat nerusin makan. Kok suka kucing sih? gumamku iseng. Kenapa emangnya? balas Denis cuek.

Kucing itu binatang egois, narsis, kalo lapar aja sok manis. Kalo udah kenyang molor! celetukku. Biarin! Lagian itu kucingnya masih brondong semua, kenapa nggak pelihara yang udah gede aja? Lu dari tadi cerewet amat sih?! Lu tuh juga egois, nggak usah kritik kucing gue! Weee cibirku membalas sewotnya Denis. Itu kucing dinamain sapa? Denis diam, melihati kucing-kucingnya menghabiskan makanan. Cepat juga makannya? Rakus, makanan ludes dalam waktu singkat! Denis lalu mengangkat kedua kucingnya Yang ini namanya Dimas, yang ini Fandy HAAHHHH?!!! Maksudnya apa nih?!! aku langsung nyolot. Lu bilang kucing gue bakal jadi gay, bagus kan kalo namanya Dimas sama Fandy? jawab Denis enteng. Bukannya lu seneng kalo Dimas jadian sama Fandy? Aku ternganga bengong disindir Denis Gimana? Udah jadian belum sama Fandy? tanya Denis sambil nyengir. Dasar sodara sialan! Aku sebenarnya malas membahasnya. Paling nggak, bukan sekarang buat membahasnya. Kenyataan yang kudapat bukan sesuatu yang bisa kuceritakan di rumah sambil berseri-seri, yahhh meski juga bukan beban yang harus kucurahkan sambil nangis-nangis. Aku masih bimbang

Yaaahhh Gue udah nebak sih. Kalo lu udah jadian sama Fandy, pastinya lu sampai rumah nggak dengan muka biasa-biasa gitu, dan cuma duduk jongkok di sini ngebahas kucing gue Belum ada hasil kan? celetuk Denis sambil mengelus kucingnya. Aku bangkit, berdiri menyandar ke dinding. Menghelas nafas galau Aku termasuk kakak yang baik nggak sih, Den? akhirnya malah pertanyaan ngambang yang keluar dari mulutku. Denis juga nggak langsung menjawab. Masih asyik menyayang-nyayang kucingnya. Elu itu Bukan kakak yang baik! gumam Denis setengah acuh. Kakak yang baik itu bisa ngelindungin, bisa ngejagain, nggak egois, nggak manja. Namanya jadi orang yang lebih tua, masa lebih manja sih? Aku diam menerawang. Jadi aku mengharap cinta pada orang yang keliru, dan Fandy menganggap kakak pada orang yang salah? Hehehe Becanda, Mas! tiba-tiba Denis berdiri di depan mukaku dan menepuk pelan pipiku. Sebenarnya sih gue nggak menganggap status kakak-adik itu penting buat kita. Kita kan lahir di hari yang sama. Status yang gue pegang adalah SODARA! Siapa kakak, siapa adik, gue nggak ambil pusing! Terus aku bukan sodara yang baik ya? gumamku pelan. Kalo lu bukan sodara yang baik, gue nggak akan milih tinggal di sini sama elu! tukas Denis cuek. Aku tersungging masam. Tapi benar kan, aku ini manja, egois, lembek, nggak punya bakat ngejagain? gumamku kecut. Gue kadang juga gitu lah, Mas Nggak usah lebay ah, intinya gue nggak kecewa jadi sodara lu! tukas Denis sambil jongkok lagi, bercanda lagi sama

kucingnya. Memangnya kenapa sih lu tiba-tiba ngebahas soal sodara? lontarnya kemudian. Aku belum bilang apa-apa ke Fandy. Tapi dia udah bilang, kalo dia nganggap aku kakak ucapku lesu, akhirnya mengungkapkannya ke Denis Denis melirik sekilas padaku. Terus? Buat lu, itu berarti apa? Aku nggak tahu. Tapi jujur aja, aku ada perasaan kecewa Karena apa yang aku rasain ternyata beda dengan yang dia rasain gumamku pahit. Jadi lu nggak mau cuma dianggap sebagai kakak? Aku udah punya adik. Punya adik lagi bukan hal yang istimewa buat aku celetukku agak nyinyir. Jadi status yang lu pakai buat kita berdua tetap kakak-adik ya? timpal Denis. Whatever! Intinya aku udah punya sodara! sahutku sedikit jengah. Oke, oke. Punya adik lagi mungkin memang nggak istimewa buat lu. Tapi kalo orang lain nganggap lu kakak, itu pasti karena lu istimewa buat dia! Aku tercenung mendengar ucapan Denis Iya. Aku ngerti, aku nggak boleh menyia-nyiakan perasaan dia. Egois itu namanya! Tapi aku juga butuh waktu buat menata perasaanku sendiri desahku lesu. Kalo lu memang sungguh-sungguh, mungkin ini cuma bagian dari proses aja. Mungkin lu disuruh buat belajar ikhlas dulu, baru ntar dikasih yang terbaik buat lu! Disuruh? Dikasih? Sama siapa? Sama yang ngecat lombok! cetus Denis.

Aku ketawa mendengar komentar Denis. Memang sih, kalo sesuatu didapat dengan mudah, biasanya kita jadi nggak sungguh-sungguh menghargai nilainya. Yahhh, mungkin bukan Fandy, tapi yang lain renungku. Sip! Bikin status di Facebook gih! Ntar gue kasih jempol! celetuk Denis. Aku mendesah, meluruhkan nafas dan sembari beranjak Lebay! tukasku, meninggalkan Denis dan kucing-kucingnya. Aku bawain srabi tuh, masih nyantol di motor! seruku sembari melangkah lesu menuju tangga. Weeee Tumben lu pengertian! Denis langsung semangat keluar dari dapur menuju ke garasi. Di desa ada ya yang jual srabi? Beli di Notosuman. Ngapain bawa-bawa dari desa? Ribet! sahutku sambil meniti tangga menuju kamarku di lantai atas. Makaseeeehhhhh! seru Denis dari garasi. Kubuka pintu, dan masuk ke kamarku. Kini sendiri lagi di tengah kesenyapan Aku duduk merenung bersandar daun pintu. Bergulat lagi dengan gundah dan gelisah. Membayangkan lagi perjalanan pulangku dengan Fandy, hingga sampai di muka pintu kamar kostnya dan saat aku harus berpamitan padanya Sesaat sebelum pulang, dengan ragu aku masih sempat bertanya padanya Kamu masih punya dua orang kakak Apa artinya aku? Fandy tersenyum ragu. Lalu menjawabku Artinya kamu lebih dari sekedar teman, Mas

Jawabannya yang ragu itu sedikit melegakanku. Tapi kemudian aku pun segera sadar dan menyesal karena telah memaksanya untuk menjelaskan arti diriku. Aku malu karena tanpa sengaja sudah menjadi tak tahu diri Ya Tuhan Ternyata aku belum mampu mengikhlaskannya!

KANTONG 25 : Pelajaran Bahasa Inggris

Kenyang habis jajan di kantin, aku duduk-duduk lagi di ruang kelas. Menghabiskan sisa jam istirahat. Kubenamkan kepalaku dibalik siku. Malasmalasan Hai! sapa Misha sambil duduk di sebelahku. Gimana jalan-jalannya ke desa? Kuangkat kepalaku. Ya gitu deh jawabku cuek. Tapi lalu aku tertegun dan jadi curiga seketika. Kamu tahu dari mana aku main ke desa?! Denis yang cerita Hah? Kapan dia cerita? Kemarin kan dia main ke rumahku! Main ke rumahmu? Kok dia tahu rumahmu? selidikku makin curiga. Ya aku lah yang ngasih tahu! SMS-an sahut Misha sambil senyum centil. SMS-an??? Kalian SMS-an?! Kenapa? Kemarin tuh dia kesepian di rumah, kamu sih main nggak ajakajak! Dia SMS aku, katanya pingin main ke rumahku. Ya udah aku kasih tahu rumahku cerocos Misha. Lho, emang Denis udah ngerti jalan di sini? Kok pinter amat dia bisa ketemu rumahmu? aku mengawang garuk-garuk kepala. Naik angkot. Rumahku dilewati jalur angkot! Pulangnya aku yang ngantar pakai motor, soalnya kan bawa Kucing kan?! aku langsung menebak.

Hehehe Misha langsung nyengir. Gimana kucing-kucingnya? Sehat? Kemarin habis aku injak APAAAA.?! Misha langsung nyolot dan gebukin bahuku. Jahat banget sih! Kucing masih kecil diinjak?!!! Nggak sengaja! Kemarin lampunya mati, aku kan nggak tahu kalo di rumahku ada kucing! Tenang aja, masih sehat semua kok kucingnya! Denis manjain udah kayak anak dia aja! Awas ya kalo kucingnya kamu jahatin! Ngapain jahatin kucing? Psikopat kok sama binatang, nanggung! cetusku cuek. Sejak kapan kamu SMS-an sama Denis? Misha senyum-senyum sambil nyisir-nyisir rambutnya pakai jari, sok ganjen. Kenapa memangnya? Nggak boleh ya? Aku kakaknya Denis, kalo kamu mau PDKT sama dia, kulonuwun dulu sama aku! balasku jutek. Yeeeeee Siapa yang PDKT??? Cuma temenan kaleeee.! Misha langsung jaim. Nggak percaya! Masa dibela-belain naik angkot ke rumahmu? Kalian kan juga belum lama kenal! Sekelas juga nggak! Denis juga nggak pernah cerita kalo dia SMS-an sama kamu Kalian mau main rahasia di belakangku kan? cibirku curiga. SMS-an baru kemarin itu kok! kilah Misha. Denis cerita apa aja?! selidikku masih curiga. Nggak cerita apa-apa. Cuma bilang kalo kamu pergi ninggalin dia sendirian di rumah Dasar tega! sungut Misha.

Dia-nya aja yang lebay! Namanya cowok tuh justru senang kalo rumah sepi! celetukku kesal. Wah, jangan-jangan memang si Denis baru cari simpati ke Misha? Janganjangan Denis suka sama Misha? Aku dikorbanin, diceritain seolah-olah aku jahat banget ninggalin dia di rumah? Lebay banget kan kalau beneran gitu? Kok cowok senang kalo rumah sepi? Misha ternyata follow up sama statement-ku. Rahasia cowok! tukasku jutek. Yeee Dasar aneh! sungut Misha. Habis ini pelajaran apa? tanyaku mengalihkan topik. English. Kamu tuh niat sekolah nggak sih? Jadwal pelajaran nggak ingat! Kan baru seminggu masuk! tukasku. Suara bel berbunyi. Jam istirahat selesai. Pelajaran lagi deh Good morning, Class Bu Yanti masuk ke kelas. Good morning, Maammm satu kelas membalas serentak. Our subject today, please open your text book on page twelve! perintah Bu Yanti. Please, read about J. M. Barrie. And keep the silence, okey? Yes, Maaammmm Sesi membaca berlangsung tenang, meskipun beberapa murid cowok pastinya nggak 100% konsentrasi sama buku. Pastinya sambil curi-curi pandang to the English Teacher, secara Bu Yanti itu selain Wali Kelas juga bisa dibilang guru paling cantik di sekolah ini. Masih single lagi Coba Bu Yanti itu seorang cowok bernama Pak Yanto, pasti yang curi-curi pandang adalah murid-murid cewek plus satu murid cowok = AKU. Hehehehe

OK, enough for the reading. Now, any questions? ujar Bu Yanti mengakhiri sesi membaca. Satu anak mengacungkan tangan. Yes. Whats your question, Ali? tanya Bu Yanti. About J. M. Barrie, is it right that he was a gay? tanya Ali. Aku langsung KAGET mendengarnya! Rona muka Bu Yanti juga berubah terlihat agak terkejut dan ragu As I read according the text, there is no description about assumption that he was a gay. So, where is your question from? Bu Yanti balik bertanya dengan mimik heran. This morning Ive read the school bulletin Emmmh I mean the wall bulletin Yes, I get your point, so? The article talks about homosexual, and considers the fact that J.M. Barrie is one of many popular peoples in history, who was gay Hatiku berdebar-debar Wall bulletin? Maksudnya? MADING? Anita beneran nulis soal gay di Mading? Dadaku meremang, berdesir God! I have to say sorry, Ali. After this lesson I will pay my lack, I will read the article ujar Bu Yanti sambil tersenyum agak malu. OK. But may you give your opinion, Mam? About gay? Ali malah mengejar dengan pertanyaan yang makin menjurus. Aku makin nggak nyaman saat pelajaran ini mulai membahas soal gay. Maksudnya apa si Ali mengajak diskusi soal gay di pelajaran Bahasa Inggris?

Wajah Bu Yanti juga jadi agak serius, dia membenahi kacamatanya sambil mendehem pelan. Misha di sampingku melirikku, dia tersenyum diplomatis, seolah bilang Be cool, Mas I think this discussion about gay is more about moral question. It doesnt match with this lesson. It can be asked in the other lessons, maybe in Religion or Moral Education jawab Bu Yanti diplomatis. This is English, just ask the grammar or difficult sentence, okey? Yes, Mam. Sorry jawab Ali dengan wajah datar. Its alright. Lets continue our lesson! sahut Bu Yanti, akhirnya raut wajahnya kembali santai. Aku juga lega. Dengan kemungkinan yang besar bahwa sebagian anak di kelas ini sudah tahu kalau aku gay, aku kuatir kalau-kalau diskusi soal gay tadi ujung-ujungnya mendiskreditkan aku meski secara nggak langsung! Untung Bu Yanti menjawabnya dengan classy, jadinya nggak perlu lebih jauh mengungkit soal gay! Fiuuuhhhh Tapi, bukan berarti sepenuhnya aku bisa tenang. Soal Mading itu! Aku harus membacanya!!! Apa yang sudah ditulis Anita?!!!

KANTONG 26 : Mading, dan Hati Yang Rumit!

Jam istirahat kedua, aku langsung menuju ke Mading yang dipajang di depan ruang OSIS. Aku bergabung dengan anak-anak lainnya yang agak berjubal membaca majalah dinding itu. Mataku terpaku menelusur tulisan-tulisan yang terbingkai di depanku Dan akhirnya kutangkap judul artikel utama yang terpampang di halaman Mading: HOMOSEKSUALITAS, SEBUAH WARNA REALITA Dengan cermat sekaligus agak berdebar aku mulai membacanya Apa yang sering kalian dengar tentang Homoseksual? Lantas bagaimana pendapat dan sikap kalian terhadap Homoseksual? Etimologisnya, Homo berasal dari bahasa Latin yang artinya sejenis, sedangkan Seks bisa kita temukan dalam bahasa Inggris yang artinya kelamin. Esensi dari homoseksual adalah orientasi terhadap kelamin yang sejenis, baik sebagai ikatan afeksional maupun sebagai orientasi dalam aktivitas seksual. Ketika seseorang mencintai sesama jenisnya dan cenderung melibatkan keinginan akan hubungan seksual di dalam relasi tersebut, maka bisa dikategorikan sebagai homoseksual. Secara spesifik homoseksualitas pada laki-laki disebut Gay, sedangkan perempuan disebut Lesbian. Nah, begitulah kira-kira gambaran sederhana tentang homoseksual. Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai filosofis laki-laki ditakdirkan untuk berpasangan dengan perempuan adalah sebuah nilai yang masih berpengaruh sangat kuat di belahan dunia manapun. Atas dasar inilah homoseksualitas cenderung masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat. Suatu penilaian yang melekat kuat apalagi dalam waktu yang lama, biasanya membangkitkan suatu subjektifitas atau stereotype atas hal itu.

Homoseksual telah dinilai sebagai perilaku menyimpang selama kurun sejarah yang panjang, dan itu memancing berbagai macam prasangka negatif lainnya. Contohnya, aktivitas homoseksual pernah, bahkan masih sering dituduh sebagai penyebab utama HIV/AIDS karena asumsi bahwa aktifitas seksual pada homoseksual dilakukan secara tidak steril. Homoseksual kerap disebut sebagai pelestari pola freesex yang merusak kesehatan sekaligus nilai-nilai susila. Tidak hanya itu, homoseksual sendiri dianggap sebagai penyakit yang menular. Penjelasan sederhananya, jika seseorang bergaul dengan seorang atau komunitas homoseksual maka dia juga bisa tertular menjadi homoseksual. Begitulah prasangka yang masih melekat pada banyak orang sampai dengan sekarang ini. Tapi apakah prasangka-prasangka, stereotype tersebut, singkron dengan fakta ilmiah? Fakta-Fakta Ilmiah Sebenarnya berdasarkan penelitian yang sudah ada, HIV/AIDS bisa ditularkan oleh siapa saja. Bahkan dari jumlah keseluruhan penderita, angka dari penderita yang merupakan homoseksual tidak lebih dari 5%. Sebagian besar penderitanya justru adalah heteroseks. HIV/AIDS menyebar dengan banyak cara dan tidak memandang orientasi seksual penderitanya, jadi sebenarnya terlalu mentah untuk mengatakan homoseksual sebagai penyebab utama HIV/AIDS. Dunia kedokteran dewasa ini juga telah berhenti menyebut homoseksual sebagai penyakit, karena tak ada bukti klinis yang memenuhi syarat untuk mengategorikan homoseksual sebagai penyakit. Begitu juga tinjauan dari ilmu psikologis (menurut American Psychological Association) menyimpulkan bahwa homoseksual bukan sebuah gangguan mental. Jadi, secara ilmiah tidak ada penyetujuan homoseksual sebagai penyakit baik fisik maupun mental. Jika homoseksual bukan penyakit, lalu apakah itu? Apa yang menjadi penyebabnya?

Banyak faktor yang bisa membentuk kepribadian seseorang untuk condong pada homoseksual. Faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi aspek psikis, bisa berupa trauma, dan krisis afeksional. Penelitian ilmiah dewasa ini juga mulai mengarah pada peran aspek genetis sebagai faktor internal yang membawa seseorang pada kecenderungan menjadi homoseksual. Sedangkan faktor eksternalnya, meliputi aspek-aspek sosial seperti kondisi hubungan keluarga, pergaulan, atau bisa juga pengaruh materi-materi dari media seperti film, internet, dan literatur yang dikonsumsi seseorang. Latar belakang yang membentuk kecenderungan pada seseorang untuk menjadi homoseksual bisa sangat kompleks dan bersifat kasus. Maka pendekatannya tidak bisa dengan cara menggeneralisir. Tapi masalahnya, nampaknya hingga dewasa ini masih banyak orang yang terjebak pada homophobia. Homophobia sendiri ditimbulkan karena stigma-stigma yang telanjur melekat sangat lama pada homoseksual, seperti anggapan bahwa kaum homoseks identik dengan pola freesex, hedonis, tidak steril, dan menentang kodrat. Dengan modernnya jaman yang memampukan berbagai pendekatan ilmiah, seharusnya generalisasi yang berdasarkan stigma-stigma lama itu sudah saatnya ditinggalkan. Perjuangan Hak Kaum homoseksual atau yang biasa diwakili oleh singkatan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) mengalami perjuangan yang panjang untuk mengukuhkan hak-haknya. Momen yang signifikan mengawali perjuangan itu, mungkin adalah peristiwa Stonewall Riots pada bulan Juni 1969 di New York, di mana kaum LGBT melakukan gerakan yang menentang eksekusi aparat pemerintah terhadap komunitas mereka. Kemudian peristiwa itu mengilhami lahirnya parade Gay Pride yang digelar pertama kali pada tanggal 28 Juni 1970 di New York, dan kemudian menjadi aktivitas tahunan tiap bulan Juni dalam rangka mengkampanyekan persamaaan hak kaum LGBT.

Dan dewasa ini rupanya perjuangan mereka di beberapa negara cukup berhasil. Eksistensi mereka diterima, bahkan diikuti dengan disahkannya undangundang pernikahan sejenis seperti di negara Belanda, Inggris, Kanada, dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Sistem pernikahan pada pasangan homoseksual itu sendiri sebenarnya menumbangkan anggapan yang menyebut mereka sebagai kaum hedonis dan pemuja freesex. Mereka terbukti bisa hidup mapan, produktif, dan setia terhadap pasangannya. Sikap Kita? Kita menemukan fakta-fakta positif tentang homoseksual. Mungkin itu bisa disebut sebagai pembelaan atas mereka. Ini bukan berarti kita menutup mata atas fakta-fakta lain seperti kasus-kasus kriminal yang melibatkan homoseksual, yang sebenarnya sangat ironis. Tapi tentunya diperlukan sebuah penilaian yang proporsional atas fakta-fakta tersebut. Umat manusia sepanjang sejarah hidup dengan berbagai perbedaan. Agama, ras, suku, politik, kewarganegaraan, dan berbagai kemajemukan lainnya termasuk orientasi seksual. Apa yang membuat kita semua yang penuh perbedaan ini bertahan? Jawabannya adalah: toleransi. Banyak prasangka dan juga fakta atas isu-isu homoseksual, banyak tuduhan dan juga pembelaan yang terus bergulir hingga dewasa ini. Toleransi tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan, tapi menjembataninya. Dalam sebuah toleransi, peluang untuk dialog akan lebih terbuka dan solusi yang lebih baik mungkin akan ditemukan. Bila homoseksualitas tetap dianggap keliru, setidaknya kekeliruan tidak diperparah dengan sikap penolakan yang membabi buta. Memberi mereka ruang tanpa menyakiti meskipun secara pribadi tidak setuju dengan pilihan mereka, mungkin itulah awal dari toleransi itu. Menerima homoseksual bukan berarti harus menjadi seperti mereka, tapi yang pasti akan menjadi pribadi yang lebih ramah dan toleran terhadap realita: bahwa realita itu memang penuh warna (anita)

Mataku terpaku merenungkan isi tulisan itu berulang-ulang Jadi ini yang ditulis Anita? Terus terang Ini nggak seperti yang aku duga sebelumnya. Jauh lebih baik dari yang kukira Jujur, rupanya aku harus salut karena ternyata dia berani menulis seperti ini! Di bawah artikel utama ada satu judul lagi yang masih berhubungan dengan tema homoseksua: Profil-Profil Homoseksual dalam Sejarah , belum sempat kubaca dengan detail, tapi sekilas kutangkap ada nama Tchaikovsky, Oscar Wilde, J. M. Barrie, dan Lihat tuh, homo-nya ikut baca juga! Telingaku keburu disela oleh selentingan yang membuat jantungku seperti tergelincir dari rongga dada Aku menoleh dan melihat siapa yang tadi barusan bicara Kulihat segerombol murid cowok nggak jauh dari tempatku berdiri. Huhhh Aku masih ingat, mereka yang mengejekku waktu piknik di Bali dulu! Senang lah dia ada yang ngebelain! satu dari mereka menimpali dengan sinis. Lalu mereka tertawa gelak-gelak, tanpa merubah sorot mata mereka yang penuh ejekan. Anak-anak lain di sekitarku jadi ikut memandangiku dengan tersenyum-senyum. Ya, nggak semuanya berwajah sinis, ada juga yang berwajah iba Seketika hilang minatku buat meneruskan membaca Mading! Ejekan seperti ini, aku sudah berulang kali merasakannya. Mungkin aku sudah mulai terbiasa sama sakitnya, tapi bukan berarti aku bisa tinggal diam di dekat tukang caci seperti mereka! Kuambil langkah, kutinggalkan Mading dan kerumunan itu!

Woyy, nangis yaa?! ejekan masih melempariku dari belakang, disusul tawa mereka lagi. Aku harus peduli? Mereka makin merasa menang kalau aku menanggapi ledekan mereka! Aku masuk ke kantin dan duduk dengan lesu, menyendiri dari yang lain. Kuatur denyut dadaku menahan emosi. Urat di kepalaku terasa kencang dan bikin pening! Kubuka sebotol soft drink dan kuteguk sampai mataku mengernyit merasakan soda mengembang di dalam mulutku. Saat kutaruh lagi botol soft drink-ku di atas meja, di depanku sudah ada seseorang yang bergabung satu meja denganku Aku tertegun! Gimana kabarnya, Mas? Fandy tersenyum cerah di depanku, tanpa beban sedikitpun. Bebanku seketika kian menindih! Dengan gugup kulirik ke sekeliling, dan anak-anak lainnya yang duduk di ruang kantin langsung menarik mata mereka yang baru saja mencuri pandang padaku Ya Tuhan! Ehhh Bukan hari yang bagus gumamku agak gagu, seraya menatap Fandy dengan gelisah. Aku nggak fit hari ini, sorry ya aku mau balik ke kelas dulu Ekspresi Fandy langsung jadi berubah, tapi aku nggak berani menatapnya lebih lama. Kupalingkan muka dan segera beranjak ke kasir membayar minumanku Ada apa, Mas? tanya Fandy di tempat duduknya. Kubayarkan uangku di kasir dan segera bergegas pergi. Sorry ya, Fan! lontarku saat melewati Fandy yang masih terduduk diam dan melihatiku dengan

bingung. Aku menepuk pundaknya pelan, berujar sambil berlalu, Makan aja yang banyak, ya! Kuseret langkahku cepat-cepat, meninggalkan kantin dengan rasa gundah meluap. Tapi di tengah langkah aku berhenti lagi, terhentak bimbang Ya ampun Aku nggak bermaksud setega ini! Kubalikkan badan lagi, bergegas kembali ke kantin dengan langkah kaki yang labil Dengan hati galau menengok tempat di mana Fandy tadi duduk Tapi dia sudah nggak ada lagi Nggak ada juga di bangku yang lain Aku makin galau, seperti kapas yang tanpa daya ditelan angin! Sorry Sorry Sorry! Kupukul-pukul kepalaku, berteriak meracau dalam hati sepanjang langkahku meninggalkan kantin! Apa yang sedang terjadi denganku?!!! Brukkk! Aku menabrak seseorang Mas?! Ben tertegun menyapaku. Ehhh! Sorry, sorry Aku jalan nggak lihat-lihat ucapku gugup. Kenapa kamu? Mukamu kusut amat? tanya Ben heran. Aku terpana bimbang. Ya Tuhan, betapa buruknya hari ini! Sorry, Ben Aku baru nggak baik ini desahku sambil mengusap rambutku. Aku tertawa nyinyir. Kalo aku cewek, mungkin kayak gini kali rasanya menstruasi! Hahh? Ben menatapku tambah heran.

Hahaha Sorry, sorry! Aku ngelantur banget! decakku bingung. Aku benar-benar kacau! Ada masalah? tanya Ben dengan mata menyelidik. Kubuang nafasku dengan lesu. Aku seka keringat dingin di keningku. Kuamati sebentar sekelilingku, anak-anak lain cukup ramai di sekitar koridor ini Tempat yang enak buat ngobrol di mana ya? gumamku canggung. Oke, ikut aku! Ben menggamit pundakku sambil melangkah tenang. Aku mengikuti Ben. Sampai kami berhenti di depan lab biologi yang sepi, di sebuah taman kecil yang terawat baik meski suasananya agak suram karena pohon beringin dan beberapa cemara hias yang tumbuh lebat. Ben duduk dengan santai di bibir taman. Ada masalah apa sih? pancingnya. Dengan lesu aku ikut duduk. Meremas-remas mukaku. Kamu udah baca Mading, Ben? lontarku. Yup Kamu bisa bayangin efeknya buat aku? tanyaku gundah. Ben mengerling sejenak. Apriori aja sih, kalo ngelihat kamu kusut kayak gini berarti ada efek yang nggak bagus kayaknya! jawab Ben sedikit diplomatis. Lebih adil kalo aku dengar dari kamu sendiri, jadi nggak cuma menduga-duga aja! Hmmmhh Kalo harus jujur, aku hargai dia berani menulis seperti itu. Aku rasa dia nggak bermaksud menyudutkan siapa-siapa. Tapi dia juga benar soal subjektifitas, soal stereotype Aku takut tulisan itu akhirnya cuma bikin kontroversi tambah besar. Buktinya, masih aja orang-orang mengejekku! Pola pikir mereka tetap nggak berubah! curhatku lesu.

Ada yang ngolok-olok kamu lagi? Ya gitu lah. Sulit ngerubah cara pandang orang yang udah telanjur stagnan. Waktu aku baca Mading tadi, langsung aja ada yang ngejek. Seolah-olah Mading itu malah mengingatkan mereka kalo di sekolah ini ada gay yang bisa mereka olok-olok! Pesan positifnya nggak penting buat mereka! ucapku agak panas. Itu memang kenyataan sih. Tapi kamu juga jangan lemah gini dong! Untuk dihargai itu dibutuhkan perjuangan, dan kadang perjuangan itu memang menyakitkan. Tapi setidaknya, kalo kamu berani berjuang maka kamu juga layak punya harapan Aku terkesima menyimak ucapan Ben. Iya, aku tahu. Bukan maksudku mau cengeng, atau lebay. Aku ngerti segala sesuatu butuh perjuangan. Tapi bukan berarti ngolok-olok orang itu jadi benar kan? Aku salut sama tulisan Anita. Tapi tetap aja ada orang-orang yang nggak mau open-minded, itu yang bikin aku jengkel! ujarku mengatur nafas, mengendalikan emosi yang hampir meluap. Iya, jelek-jelekin orang itu sampai kapanpun nggak bisa dibilang benar, tapi sampai kapanpun orang-orang seperti itu juga nggak bakal habis! ujar Ben lugas. Aku ketawa masam. Hahaha Sebenarnya kalo efeknya cuma ke aku, aku sudah mulai kebal. Yang aku masih takut itu justru efeknya ke orang-orang yang dekat denganku Itu bikin aku nggak tenang! gumamku resah. Takut beritanya sampai ke ortumu? Salah satunya! Tapi sejauh ini soal ortuku, aku rasa masih aman-aman aja. Soalnya mereka juga nggak pernah ngecek gimana aku di sekolah. Aku sendiri juga selalu berusaha hati-hati selama di sekolah, nggak mau terlibat macammacam. Aku juga percaya, kamu sama Denis nggak terlalu menggubris omongan orang-orang soal aku. Tapi aku tuh kepikiran sama Fandy! beberku gelisah.

Pikiranku langsung meluncur lagi pada kejadian di kantin tadi. Terlukis lagi wajah Fandy saat aku ninggalin dia! Fandy? Yang kemarin sama kita di UKS itu? Iya. Itu anaknya, yang aku bilang baru aku deketin! ucapku dengan senyum masam agak malu. Sekilas Ben tersenyum semu padaku. Hmmm Terus? Aku udah dekat sama dia. Tapi kayaknya dia belum tahu soal aku. Padahal anak-anak di sini kan banyak yang udah tahu! Tapi nalarnya, kalo kamu suka sama dia, kamu mustinya juga bakal ngomong ke dia kalo kamu suka dia kan? Artinya mau nggak mau kamu harus ngaku juga kalo kamu gay Dan kamu pastinya juga berharap dia sama seperti kamu, kan? ujar Ben mengurai permasalahanku. Aku tersenyum kecut. Sebenarnya, aku udah siap misalnya dia nggak bisa nerima aku. Dan dia sendiri juga udah ngaku kalo dia cuma nganggap aku kakak. Yah, pada dasarnya sih cuma sebatas teman dekat. Jadi aku nggak yakin bisa jadi boyfriend. Tapi aku tetap sayang lah sama dia, dan yang aku takutkan adalah kalo dia sampai ikut diolok-olok gara-gara dekat denganku! Ben termangu menyimak keluh kesahku. Tadi aku terpaksa ninggalin dia di kantin, soalnya anak-anak yang lain udah pada ngelihatin agak aneh gitu Aku takut mereka mikir yang enggakenggak! Kalo di luar sih aku bisa bebas akrab sama dia, tapi kalo di sekolah aku harus lebih peka dengan situasi! Aku harus lebih hati-hati! desahku lesu. Kamu ninggalin dia gitu aja? Iya Dan habis itu rasanya aku nyesel banget Aku bingung! Ya kamu minta maaf aja sama dia

Aku pasti minta maaf, tapi aku bingung buat jelasinnya! keluhku. Kamu pasti bisa menjelaskannya, meski nggak harus jujur. Soalnya kadang waktu memang memaksa kita untuk berbohong sementara. Kadang kejujuran harus ditunda, agar bisa dijelaskan pada saat yang lebih tepat! Aku memandangi Ben, sahabatku yang duduk dengan tenang, menatap dengan mata elangnya, bicara dengan penuh keyakinan Seorang pendengar sekaligus pemberi nasehat yang membuatku terharu Iya Kamu benar Cinta, atau sayang harus tetap tahu logika! renungku dengan senyum pahit. Aku akan minta maaf sama dia, pasti. Apa sih artinya orang yang benci sama kita, dibanding orang yang sayang sama kita? Iya, kan? Bingo! decak Ben simpul. Aku pun tersenyum lebih lepas sekarang Tapi Kalo seseorang udah menganggap kakak, atau adik, apa artinya udah nggak ada kemungkinan lagi buat jadi pacar ya? tiba-tiba terlontar harapan lain dari angan-anganku. Hmmmhh Berarti kamu tuh sebenarnya masih ngarep kan?! cibir Ben. Aku tertawa malu . Cinta tetap cinta lah, Ben! Tapi aku sudah

menurunkan ekspektasi kok, kalo misal aku sama Fandy memang cukupnya jadi kakak sama adik, ya aku akan terima aja Nggak tahu diri banget kalo aku nekat maksa! cetusku masam. Ben ketawa. Kalo buat aku, cari pacar itu bisa kapan saja selama masih muda. Tapi dapat sodara, itu lebih langka! Aku termangu sejenak menatap Ben. Aku baru ingat, Ben anak tunggal. Nggak punya kakak ataupun adik Suara bel menyela, menandai berakhirnya jam istirahat.

Yuk! Ben mulai berdiri dari duduknya. Pokoknya aku cuma bisa ngasih nasehat, sabar aja terhadap situasi! Kita harus cerdik seperti ular, tapi juga tulus seperti merpati! Aku mengangguk dan tersenyum lebar. I will! Thanks ya! ucapku ikut berdiri. Aku dan Ben berjalan meninggalkan taman. Hatiku lebih lega, karena aku sudah menemukan tempat berbagi. Dan juga semangat untuk lebih kuat! Kamu pinginnya punya kakak atau adik sih, Ben? tanyaku iseng sambil melangkah. Pinginnya sih kakak, biar ada panutan. Kenapa? Yaahh Aku udah punya dua adik, satu adik kembaran, satu adik angkat! Masa aku ngangkat adik lagi sih? celetukku. Ben melirikku dengan sorot mata jutek. Yakin kamu lebih tua dariku? tukasnya. Ya udah, kamu aja yang jadi kakak Ngalah ya! candaku cengengesan. Yang penting kan tetap brother! Akhirnya ada tawa yang lepas dari bibir kami. Menggema ringan seiring langkah kami menuju ke kelas. Ya, jangan sampai kepala dan hati ini menjadi keruh, sekeras apapun kerikil-kerikil dilemparkan ke dalamnya Oke, keruh sedikit boleh lah. Yang penting kita harus bisa

menjernihkannya kembali! Aku akan bertahan dan kucoba tetap tegar. Fight with love!

KANTONG 27 : Segitiga

Tok, tok, tok Kuketuk pintu di depanku. Ketukan pelan tapi menghasilkan suara yang cukup nyaring karena lengangnya tempat ini. Sebuah komplek kost, kamar-kamar berderet dengan pola huruf L dan kuhitung semuanya ada sekitar 9 kamar. Aku sedang berdiri di depan kamar paling ujung yang tepat berhadapan dengan gerbang pagar. Sekali lagi kuketuk pintunya Tok Belum sampai pada ketukan berikutnya, pintu sudah dibuka dari dalam. Kamu, Mas? wajah Fandy muncul dari balik pintu. Matanya memicing melihatku. Hai sapaku tersenyum ragu. Masuk Fandy menyilakanku dengan agak canggung. Aku sebenarnya nggak cukup percaya diri dengan kedatanganku ini, tapi kulangkahkan juga kakiku, masuk ke kamar Fandy. Mataku memandang berkeliling sejenak, mengamati ruangan yang luasnya mungkin sekitar 34 meter ini. Sederhana, tapi semua kelihatan rapi dan bersih. Lalu pandanganku berhenti

pada wajah Fandy yang manyun di tempat tidurnya, duduk sambil mendekap guling. Habis tidur? tanyaku masih agak canggung. Fandy cuma mengangguk pelan. Perlahan aku ikut duduk di sampingnya. Kami masih diam beberapa saat. Aku masih ragu dan bingung bagaimana menyampaikannya Maaf ya, tadi aku pergi gitu aja waktu di kantin ucapku akhirnya, dengan rasa sesal. Fandy lagi-lagi cuma mengangguk. Nggak bilang apa-apa. Kamu marah? tanyaku hati-hati. Nggak jawab Fandy pelan. Kok diam aja? Bukannya Mas Dimas yang lagi marah? Hah? aku tersentak agak kaget. Mas Dimas tadi kelihatannya nggak nyaman gitu. Terus pergi gitu aja Sebenarnya ada apa? Habis pulang dari desa kemarin semua baik-baik aja kan? Fandy balik bertanya, wajahnya tampak seperti berusaha menyembunyikan rasa gelisah.

Aku tersenyum masam. Iya Sorry, ya Hari ini tadi aku memang serba nggak nyaman. Aku bingung ucapku pelan. Ada masalah apa? Emmhhh Yahh, ada lah. Tapi bukan sama kamu kok Terus? Sama siapa? Aku lagi marah sama situasi jawabku bimbang. Dan aku nyesel banget karena secara nggak sengaja malah bikin kamu ikut kena getahnya Aku ninggalin kamu gitu aja tadi waktu di kantin padahal aku marahnya bukan sama kamu jelasku dengan senyum gugup. Aku memang nggak bisa membeberkan semuanya. Yang utama bagiku saat ini adalah meminta maaf pada Fandy. Penjelasan untuk semua itu, entah kapan aku pun nggak yakin. Rumit Masalahnya bisa selesai kok. Nggak usah diungkit lagi Yang penting aku nggak marah sama kamu. Maafin buat yang tadi tambahku, menandaskan rasa sesalku. Aku menatap Fandy. Meski sorot matanya terkesan ragu, tapi akhirnya dia tersenyum seraya mengangguk lagi. Dan itu membuatku lega Tapi kalo memang berat, bukannya lebih baik dibagi aja? gumam Fandy masih memancingku.

Aku tersenyum tipis. Sama kamu aku mau berbagi yang lain aja ucapku agak malu-malu. Yang lain? Contohnya? Contohnya hmmmmm. aku menggumam, akhirnya juga bingung sendiri mau menjawab apa. Berbagi apa? Hal yang manis pastinya! Tapi hal manis apa yang bisa kubagi dengan orang yang menganggapku kakak ini? Bingung. Akhirnya tersesat sendiri oleh kata-kataku Kamu cerita aja! Apa aja, yang menyenangkan buat diomongin! akhirnya aku malah melemparnya kembali pada Fandy. Fandy merebahkan tubuhnya, menyilangkan tangannya di bawah kepala. My funny one! Dengan paduan T-shirt putih bergambar Garfield yang menyamarkan garis tubuhnya, membuat wajah polosnya tampak begitu mengundang hasratku ingin ikut rebah memeluknya menghanyutkan semua beban ini untuk sesaat saja Ahhh Andai saja! Aku tadi ketemu Mas Erik cetusnya, memecah kesenyapan. Aku tertegun. Ketemu Erik? ulangku, sekonyong-konyong kembali merasa canggung.

Iya. Setelah Mas Dimas pergi tadi, aku pindah ke kantin satunya soalnya terlalu ramai. Nggak tahunya di kantin sebelah aku malah ketemu dia cerita Fandy sambil tiduran menatap langit-langit. Terus? Fandy tertawa lirih, sedikit bersemu. Benar seperti yang pernah kamu bilang, Mas senior itu galaknya cuma kalo MOS aja. Tadi waktu aku ajak ngobrol, Mas Erik ternyata nyantai orangnya. Malah orangnya termasuk asyik juga ceritanya dengan senyum lebar, seolah itu sesuatu yang manis untuknya Yahh, aku masih pandai kok buat menyembunyikan rasa gelisah seperti ini, masih sanggup untuk pura-pura tersenyum. Meski sesungguhnya hatiku gamang mendengarnya Mas Erik sempat lupa sama aku Fandy masih melanjutkan ceritanya. Jadi aku ceritakan lagi, kalo dulu aku pernah hampir dihukum sama dia, tapi akhirnya nggak jadi karena saran Mas Dimas lewat telpon. Baru akhirnya dia ingat Aku mengerti kalau Fandy merasa senang bisa berkenalan dengan Erik, karena dia adalah orang yang dikaguminya. Mungkin aku juga termasuk orang yang dia kagumi, setidaknya aku menjadi orang yang dia anggap kakak Tapi masa laluku dengan Erik, membuat cerita ini terasa entahlah Aku bingung harus bagaimana menanggapinya. Makin bingung

Mas Erik bilang kalo dia berteman baik dengan kamu, Mas tapi kok kamu malah nggak pernah cerita soal dia sih, Mas? pertanyaan Fandy terlontar dengan begitu polosnya. Ya Tuhan Aku harus cerita apa?! Nggak ada cerita yang mampu kuuraikan soal Erik di depan Fandy! Buat apa?! Lama-lama hatiku seperti diremas-remas makin kuat saja oleh jalinan perasaan yang kusut ini! Aku sama Erik memang berteman, tapi nggak ada yang istimewa. Cuma pertemanan biasa aja. Jadi aku harus cerita apa? gumamku, mengeja kebohongan dengan senyum masam, sambil menerawang pada bilah-bilah cahaya sore yang menyelinap ke kamar lewat kaca nako di jendela. Gundah. Hmhhh Gitu ya? gumam Fandy datar. Mas Erik tadi juga cerita, kalo dia mau keluar dari band-nya yang di sekolah Hhhhh Mungkin kabar itu akan membuatku penasaran, kalau aku mendengarnya saat aku masih tergila-gila sama Erik! Tapi sekarang sudah berubah! Sekarang sudah beda! Kapan Fandy akan mengerti keadaan ini?! Saat dia tahu kalau aku dulu mencintai Erik??? Sounds good, hah? Ya ampun! Hahaha Mas Erik cerita katanya dia sudah punya band sendiri di luar, dan sudah menyiapkan materi-materi lagu yang rencananya mau diajukan ke perusahaan rekaman. Tapi katanya, file-filenya yang disimpan di Flashdisk itu sempat hilang waktu piknik di Bali. Untung Mas Dimas menemukannya Dia bilang, kalo yang menemukan bukan Mas Dimas mungkin nggak bakal dikembalikan

Aku terhenyak Semua masih sangat jelas di dalam kepalaku! Kali ini kenangan itu nggak bisa kulawan lagi, benakku diseret pada kejadian di Sangeh itu Ya, aku yang menemukan dan mengembalikan Flashdisk milik Erik itu. Lalu di saat yang sama ada anak-anak yang mengejekku Dan Erik akhirnya membelaku Apa maksud Erik menyampaikan itu semua pada Fandy? Dan mengatakan aku teman baiknya? Setulus itukah kenyataannya? Erik nggak nanya, soal kita berdua? Soal kita? Fandy sedikit mengernyitkan kening. Oohhh Iya sih, dia sempat nanya gimana aku kenal Mas Dimas Kamu jawab apa? kulikku, gamang. Apa adanya lah, kalo Mas Dimas pernah nolong aku, dan kebetulan kita bisa akrab Memangnya kenapa, Mas? Aku nggak menjawab Fandy. Disibukkan oleh pertanyaanku sendiri yang muncul dan melebar di dalam kepalaku: apakah Erik akan membaca kedekatanku dengan Fandy? Kalau iya, apakah itu akan berpengaruh terhadap hubunganku dengan Fandy? Seperti dulu Erik pernah membocorkan tentang diriku, apa kini akan terulang lagi sampai di telinga Fandy? Jika iya, apa yang akan kutemui? Huuhhh

Kujatuhkan badanku ke atas kasur, rebah menengadah Kenapa, Mas? Kepalaku rasanya berat nih Ini, pakai bantal Fandy segera menyelipkan bantal di bawah kepalaku. Kuletakkan kepalaku di atas bantal. Lalu mataku kembali menerawang kepada cahaya-cahaya yang berlapis di jendela itu, hening menatap. Penat Tapi setidaknya kedekatan ini meringankanku. Kupalingkan lagi kepalaku, menatap Fandy yang berbaring di sampingku. Dia balas memalingkan wajahnya padaku, tersenyum tanpa beban God, can I huge him? Closer and peace? Sepi ya? cetusnya kemudian, seolah ingin mengusir kebisuan yang senjang ini. Lalu dia beranjak turun dari tempat tidur, menghampiri lemari di sebelah dipan dan meraih sesuatu di atasnya Baru kusadari benda yang belum sempat kutangkap dengan mataku sejak dari tadi. Sebuah gitar, Fandy menentengnya seraya kembali naik ke atas tempat tidur. Dia duduk bersila di sampingku. Haha Baru tahu kalo kamu suka main gitar gumamku jadi terkesan. Tapi aku nggak pandai main gitar gumam Fandy sambil mengeluarkan selembar kertas dari dalam lubang gitarnya. Kertas itu dia

rentangkan di atas kasur, lalu sambil melihat kertas itu dia memetik-metik gitarnya. Buat latihan. Tadi udah nyoba sebentar, agak susah. Lalu dia mulai bernyanyi How just When I let stand can you here I just leave taking every let you without breath with walk a you, away, trace ooh

Youre the only one who really knew me at all How when all can I you can just do walk is away watch from you me, leave

Cos weve shared the laughter and the pain, and even shared the tears Youre the only one who really knew me at all So take a look at me now, cos theres just an empty space And theres nothing left here to remind me, just the memory of your face Just take a look at me now, well theres just an empty space

And you coming back to me is against the odds and thats what Ive got to face Hahaha tiba-tiba saja aku tertawa, pelan. Kok ketawa? Jelek ya suaraku? Fandy langsung menghentikan nyanyiannya. Nggak, nggak, suaramu bagus kok Tapi lagunya itu, kamu nggak nyanyi buat aku kan?! ujarku dengan tawa kecut.

Kenapa? Cuma iseng aja, daripada cuma diam kilah Fandy seraya meletakkan gitarnya. Wajahnya jadi kembali bengong. Kenapa sih memangnya? Sebenarnya kamu tahu arti lagu itu nggak sih? lontarku agak gemas. Mata Fandy segera terpaku lagi pada kertas teks di depannya, kelihatannya dia baru tergerak buat memahami arti lirik lagu yang baru saja dia nyanyikan itu. Lalu rautnya mulai kelihatan agak malu. Iya ya Kalo dipikir-pikir, liriknya kayak orang yang lagi marahan Ada masalah, terus berpisah. Tapi yang satu nggak rela ditinggal pergi celetuk Fandy agak bengong. Kamu gimana sih? Belajar nyanyi nggak dipahami arti lagunya?! tukasku geregetan. Kamu nyanyi itu sengaja nyindir aku ya?! Soal kejadian tadi siang?! Hahaha Nggak kok! Fandy langsung tertawa, ngeles dengan agak tersipu. Aku sering dengar lagu ini! Kakakku punya kasetnya, tapi baru sekarang aku perhatikan liriknya! Itu lagunya Phil Collins kan? Iya. Biasanya sih cuma dengar sambil lalu aja. Tapi kebetulan tadi pas ngobrol sama Mas Erik di kantin dia juga mutar lagu ini di Ipod-nya. Jadi punya ide buat belajar. Habis pulang sekolah aku langsung download lirik sama chordnya! jelas Fandy berbinar.

Mendengar siapa yang disinggung Fandy barusan, sekonyong-konyong aku jatuh lagi ke dalam rasa jengah Huuhhhh! Erik lagi, Erik lagi! Aku nggak nyangka sosok Erik itu ternyata segitu pengaruhnya buat Fandy! Aku nggak berkomentar apa-apa. Cuma diam menatap dan mendengar denting-denting gitar saat Fandy mulai memainkannya lagi. Lagu yang sama, tapi kali ini tanpa nyanyian. Hanya petikan Denting-denting itu segera berlapis, mengisi kesenyapan dalam pendaran wajah sore di jendela lembar-lembar cahaya yang makin kuning meredup. Menit-menit seperti mulus tanpa bertanda. Di kamar ini kami berdua, terpekur dan saling hening sepanjang petikan gitar yang menghiasi kesenyapan ruang. Sampai jari-jari Fandy melambat, dan akhirnya berhenti. Sekarang kuulurkan tanganku Fandy menatapku sebentar dengan agak ragu. Tapi kemudian dia mengulurkannya juga padaku. Kuterima gitar itu dari tangannya. Aku bangkit dari rebahanku. Dengan perlahan, kini gitar mulai berdenting oleh jari-jariku. Mengiring lagu yang terucap lamat-lamat di ujung bibirku You Id And rather who ask hurt am I me if I love you, than you on and I choke you you on my a or reply lie do?

you to

honestly, judge

mislead what

with say

Im only just beginning to see the real you

And The And I Til I wanna we have

sometimes honestys to hold both close

when too my you break eyes til down

we

touch much and I and hide die cry

I wanna hold you till the fear in me subside Romance and all its strategy, leaves me battling with my pride But Im through just the insecurity, writer, still some trapped tenderness within my survives truth

another

A hesitant prize fighter, still trapped within my youth Sometimes When We Touch (Dan Hill & Barry Mann) performed by Olivia Ong Denting-denting pelan masih kumainkan dengan jariku, melompati fret demi fret hingga akhirnya lagu berakhir dengan bimbang seperti penyeberang kehilangan jembatan Tapi hati yang rasanya penat ini spontan terus menggerakkan jariku menjembatani kegundahan, masuk ke notasi Pavane-nya Gabriel Faure yang syahdu, melapisi kesenyapan bersama bilah-bilah cahaya sore yang sendu di jendela itu Merenung, membisu, menghibur diri Hingga pada akhirnya aku kembali buntu

Hhhh Aku suntuk nih Kamu pingin nyanyi apa? aku melontar ke Fandy. Dan yang kudapati cuma wajah bengongnya lagi. Cool decak Fandy dengan wajah tercengang. Nggak nyangka kamu bisa main gitar sekeren itu, Mas! Aku tertegun. Dan tersipu. Kuletakkan gitar Fandy Hahaha Biasa aja kok! gumamku sambil merebahkan lagi badanku ke kasur. Jangan-jangan kamu juga nge-band, Mas?! seloroh Fandy. Aku dulu pernah satu band sama Erik cetusku simpul. Haah? Fandy tercengang lagi. Cuma sebentar. Aku dipecat, ada yang mainnya lebih bagus dari aku kenangku sambil menatap langit-langit. Tapi Kamu mainnya bagus gitu kok, Mas! Masa dipecat sih?! sahut Fandy sedikit menggebu. Nggak percaya. Masih banyak yang lebih bagus. Aku sih masih cupu gumamku dengan tawa kecil. Nggak ah! Waktu aku lihat latihan kemarin, gitarisnya Mas Erik malah banyak kacaunya kok! Sampai dimarahin sama band-nya juga! Mainnya Mas Dimas tadi nggak kalah lah!

Nggak kalah kacau? celetukku sambil ketawa. Ah, kamu tuh terlalu merendah, Mas! Aku belajar gitar cuma sampai grade 7. Gitar klasik, jadi kebiasaan pakai gitar nylon. Gitar listrik aku NOL! Nggak laku buat jadi anak band! gumamku, mengakui kekuranganku di mata teman-teman band-ku dulu. Suaramu juga bagus, Mas Bisa dibandingin lah sama Mas Erik! O ya? gumamku, seraya melirik Fandy. Nggak lah, jelas aku masih kalah level kalo dibanding dia Fandy mengusap-usap rambutnya seraya tertawa masam. Sebenarnya aku nggak bermaksud membandingkan Tapi kayaknya Mas Dimas dari tadi maksa buat merendahkan diri sendiri! Aku lama-lama jadi ngerasa, kalo sebenarnya ada masalah antara Mas Dimas sama Mas Erik ujar Fandy. Senyum kecurigaan bisa kubaca di bibirnya Kuhindari pandangan Fandy. Kan udah aku bilang, aku pernah satu band sama dia. Aku dipecat Pertemanan yang nggak begitu mulus, jadi aku males aja kalo disuruh ungkit-ungkit soal dia kelitku mencari alasan. Apa itu berarti Mas Dimas nggak suka kalo aku akrab sama Mas Erik? cetus Fandy makin memojokkanku. Bukan gitu! sergahku, seraya bangkit dari rebahanku lagi. Cuma sedikit banyak aku jadi keingat sama masa dulu yang nggak enak aja! Tapi aku

masih baik kok kalo ketemu dia. Kalo enggak, masa aku sampai nelpon dia waktu mau menghukum kamu, waktu MOS kemarin itu? jelasku dengan susah payah. Hak kamu lah, buat bergaul sama siapa aja. Cuma, aku memang udah nggak seakrab dulu sama Erik. Itu aja Aku dan Fandy terdiam beberapa saat. Saling tercenung Iya, aku ngerti gumam Fandy akhirnya. Sorry kalo gitu, aku baru tahu ucapnya pelan. Tahu? Nggak, kamu belum tahu semuanya, Fan Kamu belum tahu ini semua soal apa Meski aku yakin, pada akhirnya kamu juga akan tahu entah kapan Dan juga entah apa yang akan terjadi dengan keakraban kita ini saat kamu mengetahui semuanya Tapi jujur aja, aku kagum sama kamu, Mas ucap Fandy dengan senyum semu. Begitu ngelihat Mas Dimas main gitar, aku langsung merasa kalo bakat Mas Dimas nggak kalah sama Mas Erik. Harusnya Mas Dimas juga bisa jadi idola di sekolah! Idola? Hahahaha aku langsung tertawa. Idola??? Sekarang aja aku udah sering dilempari cacian, apalagi kalau maksa jadi idola??? Bisa ditambah lemparan bunga, plus pot-nya sekalian! Hahaha Apa yang ada di pikiran Fandy saat dia berkelakar seperti itu?!! Kok ketawa sih?! Ayo dong nyanyi lagi! Fandy mulai mendesak sambil menyodorkan gitarnya padaku.

Kutepis pelan gitarnya Fandy, aku masih berusaha menghentikan tawaku. Ayo dong!!! Fandy terus menyodorkan gitarnya. Aku memandanginya sejenak, meresapi senyumnya yang mendesakku. Akhirnya kuterima kembali gitar itu di tanganku. Aku kembali rebah. Fandy ikut meletakkan tubuhnya di sampingku Dalam balutan cahaya senja yang kian remang, di antara petikan sendu yang mengisi ruang, kalut sekaligus rindu dalam hatiku kembali bersuara My heart and I have wandered aimlessly, beneath the weeping willow searching Time after time for weve met each the other in a sun dream

And we have gazed upon the miracle of love My heart and I have heard the angels sing, and we have found upon lifes broken And now we know that love is just another rainbow in the sky Mother comfort us in thee we trust wing

Have mercy on my heart and I Berdua, kami damai terkulai dalam cengkrama di antara nada-nada bening yang menggema. Sendiri, aku masih sembunyi dalam rasa cinta yang kian gamang

Siapa yang tahu hari esok? Yang aku tahu, sekarang aku masih berada di samping senyumannya. Secuil kedamaian yang aku ingin terus merengkuhnya

KANTONG 28 : Boikot

Apa yang terjadi di sekolah hari ini? Mataku terpaku menatap kolom-kolom kosong di bingkai besar itu. Kecemasan segera membayangiku! Perasaanku nggak enak! Ini aneh! gumamku terheran-heran menatap papan Mading. Baru kemarin aku membaca artikel-artikel Anita soal homoseksual itu. Sekarang artikel-artikel itu udah nggak ada! Udah! Bukannya lu senang nggak ada tulisan-tulisan itu di sini?! sahut Denis yang berdiri di sampingku. Memang mending jangan pernah dipasang! Tapi kemarin nekat dipasang, dan sekarang dibredel! Firasatku nggak bagus! bisikku resah. Lihat tuh, tulisantulisan yang lain masih ada, cuma tulisan soal homoseksual aja yang nggak ada! Padahal ini bingkai Mading ada gemboknya! Ini kan aneh?! Dibredel atau apa, biarin lah! Lu ambil positifnya aja! Habis ini kan berarti nggak ada lagi bahan buat ngungkit-ungkit soal gay, orang-orang jadi lebih cepet buat ngelupain soal lu kan? sahut Denis menahan prasangkaku. Memang, Denis kemarin juga baca artikelnya Anita. Dari kemarin dia juga menyemangatiku agar optimis. Tapi sekarang???

Aku tetap ngerasa nggak enak. Kalo aku belum tahu alasan apa yang bikin artikel-artikel ini dibredel, aku belum bisa tenang! cetusku risau. Terus lu mau apa? Aku mau cari Anita. Dia pasti bisa ngasih penjelasan! Udah lah, Mas! Den, terus terang feelingku nggak bagus soal masalah ini! Aku nggak mau telat menyadari apa yang sedang terjadi. Aku berharap nggak ada masalah tapi kenyataannya kayak gini! Ini kayak ada yang nggak bener?! Denis mendesah, ikut gelisah. Aku cuma mau memastikan. Masalah harus dihadapi, bukan dihindari! Semoga saja memang nggak ada apa-apa! harapku di tengah rasa cemas. Tapi lu juga harus bisa bedain, antara menghadapi masalah sama cari-cari masalah! tukas Denis. Aku ngerti. Aku nggak akan cari-cari masalah. Tapi aku mau cari tahu apakah ini masalah atau nggak! Kamu doain aja nggak ada masalah. Oke? Wish me luck aja, say! ujarku dengan senyum kecut. Pakai say?! Ember lu ah! tukas Denis dengan wajah kesal. Ya udah terserah lu! Asal nggak tambah besar aja masalahnya! Gue mau ke kantin! Aku mau cari Anita dulu! ucapku bulat.

Denis beranjak mendahuluiku, meninggalkanku yang masih berdiri di sini di depan Mading. Aku tahu dia perhatian denganku, tapi kurasa aku dan Denis memang punya feeling yang berbeda soal masalah ini. Hatiku was-was, rasanya nggak tenang. Masalah jangan dicari, tapi kalau masalah udah telanjur mencari kita maka mau nggak mau harus dihadapi! Maka harus ada yang bisa menjelaskan perkara ini. Anita-lah orangnya! Tapi Aduh!!! Kelasnya Anita di mana ya? Aku nggak tahu dia di kelas mana! Dodol banget nih otak! Niat udah serius gini buat cari tahu duduk persoalannya, malah sampai nggak nyadar kalau kelasnya Anita aja aku belum tahu! Tapi, mungkin aku bisa tanya Aldo? Aku masih ingat, dulu dia pernah bilang kalau dia sekelas sama Anita! Tapi manusia sengak sinis plus sombong macam Aldo gitu emang bisa diajak kerjasama??? Dicoba dulu! Aku nggak punya banyak waktu, jam istirahat pertama ini tinggal 10 menit lagi! Kucari nomor Aldo di HP-ku, lalu segera kupanggil nomornya Ada apa?! suara malas Aldo langsung membalas panggilanku. Kamu di kelas mana? aku langsung to the point. Mau apa? Dulu aku udah bilang kan, aku nggak bisa nemuin kamu di depan orang banyak! Apalagi di kelas! nada curiga sekaligus ketus bisa kudengar dari suara Aldo yang pelan. Di belakangnya terdengar suara berisik, dia pasti di

sekitar keramaian kelas. Makanya dia ngomong agak lirih, takut kedengaran! Tapi tetap saja nadanya tajam! Siapa yang mau nemuin kamu? Nggak usah geer ya! tukasku. Sebal sama nih anak, udah sombong, sengak, geer pula! Sorry ya, bukan tipeku juga kaleee! Terus ngapain tanya-tanya kelas?! Kamu sekelas sama Anita kan? Aku mau ngomong sama dia! Ngomong sama dia? Pasti soal Mading kan?! Kubilang juga apa?! Dari semula aku udah nggak setuju! Aku nggak mau bantu apa pun kalo masih ada hubungannya sama itu! tukas Aldo. Iya, aku tahu kamu nggak mau ketahuan sama orang lain! Tapi yang perlu ngomong sama Anita itu aku, apa susahnya sih ngasih tahu kelas kalian?! Lagian aku juga nggak akan bocorin soal kamu! Udah bagus tulisan itu dibredel, biar semua cepat lupa. Ngapain kamu malah repot-repot ngurusin? Toh kemarin kamu habis diejek lagi sama orangorang kan?! Jadi kamu sendiri ngerti kan, kalo efeknya langsung ke aku?! Harusnya nggak aneh kan, kalo sekarang aku mau cari tahu masalah ini?! balasku, ikut mengendalikan volume bicaraku biar nggak jadi perhatian anak-anak lainnya yang berseliweran di sekitarku.

Kali ini udah di luar kendalimu. Kamu nggak akan bisa berbuat apa-apa lagi untuk masalah ini. Mungkin yang masih bisa kamu lakukan adalah berhenti membuat masalah ini makin besar. Udah lah Anita pun nggak akan bisa bantu kamu juga! Jadi mending kamu tuh nggak usah nambahin tingkah! Kata-kata Aldo membuat dadaku jadi meremang dan bergidik. Kok sepertinya terasa makin serius gini?!! Sebenarnya masalahnya tuh apa sih?! kulikku tegang. Nanti kalo semua udah tenang mungkin aku bisa jelasin. Tapi nggak bisa sekarang. Ini juga orang-orang udah pada ngelihatin aku ngomong lewat HP kayak gini! tukas Aldo, dan TUTTT dia menutup HP-nya! Ahhhh! Sialan! Bukannya membantu apa-apa, malah bikin pikiranku tambah runyam! Apa maksud Aldo bilang ini semua di luar kemampuanku? Ini malah membuatku makin nggak tenang! Ini jelas memang ada masalah! Ehh Sebentar! Kulempar pandanganku ke seberang lapangan, ke komplek kelas IPA Tampak di sana Aldo sedang duduk di serambi depan kelas, berbaur bersama kerumunan anak lainnya Dia mulai berdiri, dan masuk ke kelasnya! Yuppp! Kelas IPA C! Kena kau!!! Ketahuan juga kelasmu!!!

Aku bergegas menyeberangi lapangan, menuju ke komplek kelas IPA. Kelas IPA C, jelas itu pasti kelasnya Aldo dan juga Anita! Dengan langkah pasti aku masuk ke kelas IPA C. Dan dengan mudah sosok cewek jangkung berambut kriwil dan berkacamata bundar itu langsung kutemukan sedang duduk di salah satu bangku deretan depan. Kulihat sekilas Aldo juga tengah terbengong-bengong di bangku duduknya di deret tengah, saat melihatku berhasil menemukan kelasnya. Nah, bengong dia sekarang! Tapi nggak ada waktu buat menghiraukan Aldo! Aku langsung menuju ke tempat duduk Anita! Anita! tegurku. Anita langsung mengalihkan mukanya dari majalah yang sedang dibacanya, memandangiku dengan terkaget-kaget. Kenapa dengan Madingnya? tanyaku to the point, sedikit berbisik, takut terdengar anak-anak lainnya yang ada di kelas. Aku nggak bisa bahas itu sekarang! Anita langsung mencoba menghindar. Nggak perlu panjang-panjang, cukup kasih tahu aja inti masalahnya apa! Ini aneh, tulisan-tulisanmu langsung menghilang padahal baru sehari dipajang?! desakku. Anita mendengus lesu. Oke, oke Tulisan-tulisan itu dibredel tadi pagi! bisik Anita dengan muka kalut. Ada yang komplain soal kelayakan

artikel itu. Tadi Dewan Pembina Mading ngasih tahu aku, kalo artikelku harus diturunkan Dewan Pembina? aku tercekat. Guru-guru bahasa, mereka dewan pembinanya. Pak Solikhul ketuanya Mr. Cool? Guru bahasa Indonesia itu?! Jadi ini masalah sampai ke guru?! Memangnya siapa yang komplain?! tanyaku makin tegang. Mas, ini masalahku! sahut Anita ketus. Aku yang nulis artikel itu. Habis jam sekolah nanti akan ada rapat. Aku harus bisa ngasih penjelasan soal artikel yang dikomplain itu ke Dewan Pembina Aku belum bisa ngasih penjelasan sebelum hasil rapatnya jelas, aku sendiri belum yakin apakah ini seserius itu apa enggak. Jadi sebaiknya kamu nggak usah terlalu maksa dulu! Mungkin ini juga nggak seserius yang kita kira! Aku makin tercekat. Sampai ada rapat segala sama guru-guru? Ini kayaknya serius An?! gumamku gelisah. Ya, mungkin juga serius! Tapi ingat, ini bukan untuk bahas kamu! Ini soal artikel itu, dan aku yang akan ditanyai soal artikel itu. Jadi kamu nggak perlu bawa-bawa diri kamu karena masalahnya bisa makin lebar. Itu bisa ngerepotin diri kamu sendiri, dan terus terang itu juga akan menambah bebanku! cetus Anita dengan muka kalut. Aku terhenyak.

Tet tet tet Bel tanda akhir istirahat jam pertama berbunyi Dulu aku udah susah payah bilang, sebagus apapun tulisanmu, nulis artikel seperti itu buat dipajang di Mading tetap bukan ide yang bagus! Biarpun mungkin bukan aku yang harus menghadapi guru-guru itu, tapi akulah yang menghadapi cemoohan di luar sana dan itu udah terjadi sejak hari pertama artikel kamu dimuat Aku akan lega kalo masalah ini cepat selesai. Tapi aku lebih senang kalau semua ini nggak pernah terjadi! cetusku mengakhiri perdebatanku dengan Anita. Kutinggalkan Anita yang cuma terdiam dengam wajah kusutnya. Kutinggalkan kelas IPA C tanpa menghiraukan siapa-siapa lagi. Berpapasan dengan kerumun anak-anak lainnya yang masuk ke kelas, berpapasan dengan pandangan-pandangan mereka yang kadang masih terasa menyimpan cibiran Yaaahhh Masih kuhadapi, meski nggak begitu kuhiraukan lagi! Dalam gegas langkah menuju ke kelasku, seketika jadi terpikir lagi Siapa yang sampai segitunya komplain soal artikel-artikel itu??? Saat aku bicara lewat telpon sama Aldo tadi, sepertinya dia sudah tahu masalah ini?! Malah dia bisa bilang kalau ini semua di luar kemampuanku, dari mana dia bisa menilai seperti itu? Dari mana dia tahu? Aldo juga selalu menentang soal pemasangan artikel itu di Mading Jangan-jangan???

Aku tercekat dan menghentikan langkahku. Pikiranku mulai meruncing pada sebuah kecurigaan Apa peran Aldo di balik semua ini???

KANTONG 29 : Debat Kusut di Rekaman Tanpa Pita

Badan lesuku bersandar di atas kasur sejak pulang sekolah. Masalah makin ada aja, capek mikirin itu terus! Aku butuh merefresh kepalaku. Aku butuh sesuatu yang bisa bikin aku tenang. Sebenarnya di saat seperti ini, aku ingin ada yang menemani. Huhhh Sebenarnya aku pingin ke kost-nya Fandy. Tapi di luar sedang hujan. Aku kirim SMS, tapi nggak dibalas sampai sekarang. Memang cuma basa-basi sih, tanya Lagi apa? Gmn kbr hr ini..? Memang bukan SMS penting, namanya juga cari teman ngobrol. Apa pulsa dia habis atau gimana, nggak tahulah. Tadi aku calling satu kali tapi juga nggak diangkat. Lagi ngapain ya dia? Tadi juga SMS ke nomornya Ben, tapi juga nggak dibalas. Kayaknya nomornya lagi nggak aktif, nggak ada sent reportnya. Denis juga nggak tahu kemana, sejak sore tadi udah keluar rumah. Kalau ada Denis, paling nggak ada bahan buat usil, seru-seruan aja buat hiburan Bete! Yaahhh Akhirnya kembali ke laptop deh! Cari hiburan sendiri! Kubuka Facebook-ku. Siapa tahu ada status baru yang lucu, atau ada teman ngobrol Eh, rupanya ada notifikasi baru! Ada yang mengirim permintaan pertemanan!

Permintaan pertemanan dari orang dengan nick Demas Andika??? Astaga! Namanya kok mirip aku?!! Aku Dimas, dia Demas? Sama-sama ada Andika nya juga??? Mau ngerjain aku nih??? Musti diselidiki dulu nih profilnya! Jreeeeng! Foto profilnya, kayaknya aku pernah lihat orang ini? Dan ada teman yang sama yaitu Aku dan dia berteman dengan Mas Awan?!! Ahhh Ingat, ingat, pantesan aku ngerasa pernah lihat orang ini! Ini kan boyfriend-nya Mas Awan!!! Aku pernah lihat dia di foto HP-nya Mas Awan, terus waktu di Sangeh aku juga lihat dia menjemput Mas Awan! Kalau begitu confirm deh! Aku jadi penasaran melihat foto-fotonya yang lain. Diamati lebih lekat wajahnya cakep juga sih Ya ampunnn, ini sih secara fisik sekelas sama Erik! Huhuhu Segar juga melihat foto-foto boyfriend-nya Mas Awan. Hehehe Ekspresinya selalu cerah, kayaknya orangnya juga lucu. Sayangnya satu, dari sekian foto nggak ada yang shirtless! Huaaa Hahaha Kecewa! Aduh! Jelek banget ya pikiranku?! Dia kan suami orang! Maksudku dia udah ada yang punya! Jadi ngiri melihat mereka berdua bisa jadi pasangan yang kelihatan serasi gitu Mas Awan orangnya kalem dan cool, boyfriend-nya lebih terkesan periang dan hangat Cocok!

Jadi kangen juga sama Mas Awan. Tapi dia jarang online. Sesekali SMSan, tapi kadang aku rada sungkan juga kalau SMS-an, takut kalau dia lagi sibuk. Sekarang dia sama boyfriend-nya juga nggak online Kapan aku bisa kayak mereka? Tiba-tiba HP-ku berbunyi, nada panggilan! Langsung kuraih HP-ku, dan kulihat nomor siapa yang menelpon. Astaga! Aldo??? Halo? kuangkat panggilan Aldo. Aku kirimin sesuatu di email-mu Aldo langsung tanpa basa-basi. Eh? Ke emailku??? Tahu dari mana alamat emailku?!! sontak aku heran dan curiga! Ada di FB-mu! Lho? Memangnya kita berteman di FB? Nggak. Tapi info kontakmu nggak di-private! Dasar ceroboh! Untung aku nggak maksud jahat sama kamu! Nih! Ya gini nih! Bawaannya tuh pingin berantem aja kalau ngomong sama mahluk satu ini! Belum ada 10 detik ngomong kayaknya, udah ngatain aku ceroboh! Kampret tuh anak!

Oooo Jadi ceritanya kamu cari-cari profil FB-ku dari friendlists temantemanmu, ketemu, terus beruntung dapat email-ku, terus langsung ngirim-ngirim ke email-ku gitu? Cara stalker gini bikin risih tahu?! Udah sekarang buka aja kirimanku! Komentarnya nanti! Tut. Aldo langsung menutup HP-nya. Asemmmm!!! Berasa pingin kunyah-kunyah nih HP saking sebalnya! Memangnya Aldo ngirimin aku apa sih? Aneh?!! Kubuka emailku. Di antara notifikasi dari Facebook yang bejibun di email-ku, ada satu yang paling mencolok karena berjudul rekaman. Yang itu jelas bukan dari Facebook! Aku langsung tanggap, itulah kiriman Aldo! Rekaman? Rekaman apa? Nggak pakai pikir panjang, kubuka kiriman Aldo. Kubaca catatan di suratnya Rekaman Rapat Mading Haaahhh?! Rapat Mading??? Rapat yang bahas soal artikel Anita itu kah? Gimana Aldo bisa bikin rekaman rapat itu? Makin bikin penasaran! Kalau benar ini rekaman rapat, Aldo ini bukan stalker lagi! Tapi spionase! Kutunggu proses download file dengan sedikit tegang. 3 menit 5 menit 8 menit Selesai! Sebuah file WMA ter-download, rekaman suara Segera kuputar rekaman itu

Aku dengar sebuah percakapan, agak berdesis tapi cukup jelas untuk diikuti Terima kasih atas kehadirannya Saya sebagai Ketua Dewan Pembina Majalah Dinding membuka rapat ini. Pada intinya kita akan mendiskusikan mengenai muatan tulisan dalam Mading yang telah mendapatkan keluhan dari beberapa pihak, yaitu tulisan artikel yang ditulis oleh Saudari Anita. Meski rapat ini berada di lingkup Organisasi Siswa Intra Sekolah dan meliputi peran serta dari beberapa guru, tapi kita akan menjalankan secara semi formal saja, santai tapi santun, dengan harapan masalah selesai secara damai dan kekeluargaan Bla, bla, bla Seperti biasa, Pak Solikhul guru Bahasa Indonesia itu kalau ngomong panjang lebar kemana-mana. Cara ngomongnya itu gampang banget ditebak! Majalah Dinding ini pada dasarnya adalah bentuk kreatifitas yang dikelola di bawah OSIS, tepatnya Divisi Majalah Dinding yang secara organisasi berada di bawah Seksi Persepsi, Apresiasi dan Kreasi Seni. Oleh karenanya kami juga mengundang seksi-seksi yang bersangkutan, begitu juga kami mengundang Ketua beserta Sekretaris OSIS. Sedangkan Seksi Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, juga kami undang berkenaan dengan keluhan yang telah diajukannya kepada redaksi Majalah Dinding Haaahhh? Seksi Ketaqwaan??? Maksudnya yang komplain soal tulisan Anita itu adalah dari Seksi Ketaqwaan???!!! Ooo My GOD! Beneran nih???

Pak Solikhul kayaknya betah banget ngomong dengan bahasa panjangpanjang, mentang-mentang dia ketua Dewan Pembina itu tuh Kapan nih bahas intinya?!! Penasaran banget aku! Kemarin, begitu kami menerima keluhan yang disampaikan oleh Saudara Indra dari Seksi Ketaqwaan mengenai artikel yang ditulis oleh Saudari Anita berjudul Homoseksual, Sebuah Warna Realita, kami segera menurunkan artikel tersebut dari Majalah Dinding sebagai usaha untuk menenangkan suasana terlebih dahulu. Tidak menutup kemungkinan artikel tersebut akan dipajang lagi nanti, itu tergantung pada kesepakatan yang bisa diambil melalui rapat ini. Oleh karena itu, supaya masalah bisa segera dijernihkan, mari kita mulai berdialog. Pertama-tama, saya persilakan dulu Seksi Ketaqwaan untuk menyampaikan kembali keluhan-keluhannya supaya dapat didengarkan secara langsung oleh semua yang hadir di rapat ini khususnya para Pengurus Redaksi Majalah Dinding Benar! Ternyata yang komplain adalah dari Seksi Ketaqwaan! Apa tujuan mereka??? Baik, terima kasih untuk kesempatan yang diberikan kepada kami. Saya mewakili Seksi Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, yang mana saat ini beberapa anggotanya turut hadir, akan menyampaikan keluhan kami atas artikel yang ditulis oleh Saudari Anita yang telah dimuat di Majalah Dinding. Kami sudah berdiskusi secara intern dengan para anggota Seksi Ketaqwaan dan juga sharring dengan beberapa teman dari luar kepengurusan, sejak kemarin begitu

artikel tersebut dimuat. Dan kami sepakat bahwa artikel yang membahas tentang homoseksual tersebut tak layak diterbitkan di Majalah Dinding sekolah! Kami berpendapat bahwa artikel tersebut memuat persuasi yang memancing pembaca untuk bersimpati terhadap kaum homoseksual. Bahkan dengan dipaparkannya tokoh-tokoh yang notabene adalah homoseks, kami menangkap itu seperti ajakan kepada pembaca untuk mengaguminya. Padahal sudah jelas di dalam agama, homoseksual itu adalah sebuah perilaku yang dilarang! Bangsa kita adalah bangsa Timur, menganut budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moral kesusilaan. Dan sekolah adalah tempat di mana siswa menuntut ilmu, belajar akhlak dan budi pekerti, Majalah Dinding sebagai media ilmu seharusnya bisa memuat konten-konten yang bermoral! Karenanya kami tidak setuju artikel tentang homoseksual itu dimuat di Majalah Dinding sekolah kita. Untuk itu kami berterima kasih karena artikel tersebut telah ditarik kembali, dan kami berharap artikel tersebut tidak akan dimuat lagi. Tapi kami tetap meminta penjelasan dari pihak pengelola Mading khususnya Saudari Anita sebagai penulis artikel tersebut, sebenarnya apa tujuan menulis seperti itu? Mohon dijelaskan kepada kami! Untuk sementara itu dulu, terima kasih! juru bicara Seksi Ketaqwaan itu menyampaikan panjang lebar. Ya ampun Aku benar-benar nggak nyangka soal artikel itu bisa menjadi seserius ini!!! Baik. Jadi seperti itu keluhan yang disampaikan oleh Seksi Ketaqwaan, sebagaimana sudah disampaikan juga kepada saya kemarin. Mungkin ada lagi

yang ingin menambah pendapat, sebelum saya menyerahkan kesempatan kepada Pengurus Redaksi Majalah Dinding untuk menjawab? tanggap Pak Solikhul. Maaf Pak, saya ingin bertanya kepada Seksi Ketaqwaan tiba-tiba ada yang menyahut, tapi yang pasti bukan suara Anita, karena suaranya cowok. Ya, silakan! Saudara Indra, anda mewakili Seksi Ketaqwaan? Ya, saya ditunjuk teman-teman saya sebagai juru bicaranya jawab Indra, yang mengaku juru bicara dari Seksi Ketaqwaan itu. Oke. Ada berapa sub-Seksi di dalam Seksi Ketaqwaan? Sub-Seksi tergantung pada jumlah agama yang dipeluk di sekolah ini, ada 4, sub-Seksi Kerohanian Islam, Kristen, Katholik, dan Buddha. Tidak ada subSeksi Kerohanian Hindu karena tidak ada yang beragama Hindu di sini Mungkin ada, tapi tidak mengajukan wakilnya ke dalam Seksi Ketaqwaan jelas juru bicara Seksi Ketaqwaan yang bernama Indra itu. Jadi ada 4 sub-Seksi. Seperti tadi anda bilang bahwa anda sudah berdiskusi secara intern dengan anggota-anggota Seksi Ketaqwaan, apakah itu meliputi semua sub-Seksi yang ada di Seksi Ketaqwaan? Suasana hening sejenak. Sepertinya juru bicara Seksi Ketaqwaan itu sedang berpikir-pikir Mungkin. Aku ikut merasa tegang!

Sebenarnya tidak meliputi semua sub-Seksi. Sub-Seksi Kerohanian Katholik dan Buddha tidak ikut dalam diskusi jawab juru bicara itu kedengaran agak ragu. Karena? si penanya masih mengejar. Karena Diskusi kami adakan tidak secara formal, karena begitu artikel itu diterbitkan pikiran kami merasa terganggu dan ingin secepat mungkin menyikapinya. Maksud saya, antara sub-Seksi Kerohanian Islam dan Agama Kristen, kebetulan kami berdua satu kelas jadi Jadi tak perlu rapat Seksi secara formal? si penanya memotong. Ya Kami merasa terganjal dengan isi artikel itu, dan kebetulan kami leluasa untuk saling sharring karena kami sekelas, dan untuk masalah ini kami sepakat satu pendapat. Maka kemarin sepulang sekolah kami segera menyampaikannya kepada Pak Solikhul yang kami tahu sebagai Ketua Dewan Pembina Majalah Dinding Jadi sub-Seksi Kerohanian Katholik dan Kerohanian Buddha tidak ikut membicarakannya bersama anda berdua? Bagaimana anda bisa mengajukan komplain atas nama Seksi Ketaqwaan, padahal tidak ada pembicaraan yang memadai yang melibatkan semua sub-Seksi secara lengkap? Tapi kami berdua dari sub-Seksi Kerohanian Islam dan Kristen, 2 subSeksi berarti sudah separuhnya Bagaimanapun kami tetap pejabat Seksi Ketaqwaan kan? ucap juru bicara itu agak gugup.

Cuma separuh. Sebenarnya kalau ada tiga-per-empat sekalipun, anda tetap tidak bisa mengatasnamakan Seksi Ketaqwaan. Karena sesuai aturan, aspirasi atas nama Seksi Ketaqwaan diharuskan bulat, disepakati dengan melibatkan semua anggotanya. Prinsip yang dipakai bukan suara mayoritas, tapi hasil mufakat yang bulat melibatkan semua sub-Seksi Kalau tidak ada kontribusi kesepakatan dari satu sub-Seksi saja, maka tidak bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan Suasana terdiam beberapa saat. Ada suara berbisik-bisik tapi nggak terekam jelas. Seperti suasana yang mulai menemui kebingungan. Dan kebingungan itu kayaknya ada di pihak Seksi Ketaqwaan, yang niatnya mau komplain tapi nggak tahunya malah kena kritik balik Siapa sih yang ngritik ini? Kritis benar? Ya, aturannya memang begitu. Tapi kami tergerak oleh kondisi yang menurut kami harus segera disikapi. Menurut kami artikel itu harus secepatnya ditarik karena isinya terlalu bertentangan dengan moral, itu menimbulkan keprihatinan kami. Mungkin memang aspirasi kami tidak mewakili semua anggota Seksi, tapi bukankah kita menjalankan prinsip demokrasi?! Kami tetap punya hak untuk beraspirasi kan? Dan bagi kami ini menyangkut masalah penting! Jadi mohon supaya masukan yang berniat positif ini tidak dimentahkan! juru bicara yang bernama Indra itu terdengar gugup dan sepertinya mulai emosional.

Tenang-tenang!

suara

Pak

Solikhul

menyela,

menenangkan

perdebatan. Benar, kita menganut demokrasi. Aspirasi yang telah disampaikan Saudara Indra tetap akan kami tampung. Apakah Saudara Erik punya gagasan yang lebih baik? Haaahhhhh??? Erik?!!! Erik si rambut jigrak itu? Atau ada Erik lain sih??? Justru karena kita memakai prinsip demokrasi, maka seharusnya tidak boleh ada pemaksaan aspirasi. Maksud saya, mekanisme yang dipakai Saudara Indra mengatasnamakan Seksi Ketaqwaan tapi kenyataannya tidak memberi ruang aspirasi kepada sub-Seksi yang lain secara adil! ASTAGAAAA Itu memang mirip suaranya Erik!!! Tololnya aku, baru nyadar! Itu suara Erik!!! Jadi kami tidak bisa beraspirasi hanya karena tidak memenuhi quota dalam Seksi Ketaqwaan?! suara Indra membalas lagi. Saya perjelas lagi, yang saya tahu Seksi Ketaqwaan tidak memakai quota untuk menggalang suara, tapi mufakat yang disepakati bersama melalui keterlibatan semua sub-Seksi. Satu saja sub-Seksi tidak dilibatkan, maka aspirasi tidak bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan. Begitu aturannya.

Jadi menurut anda, kami harus menarik aspirasi kami sampai kami bisa membuat rapat internal yang melibatkan semua sub-Seksi? balik Indra. Prinsipnya jelas, memang begitu. Kalau semua sub-Seksi sudah sepakat satu suara, baru aspirasi tersebut bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan Kalau ada satu saja sub-Seksi yang tidak setuju, maka tidak bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan Butuh waktu dua atau tiga hari untuk merencanakan diskusi seperti itu! Sedangkan masalah seperti ini harusnya cepat ditanggapi! Kalau anda ngotot demikian, berarti anda arogan! Anda ingin aspirasi anda dihargai, tapi anda sendiri melanggar hak aspirasi dari sub-Seksi yang lain, karena anda tidak mau menyediakan waktu untuk melibatkan pandangan mereka. Kalau menurut anda masalah ini sedemikian penting, harusnya anda justru menyikapinya dengan matang! Bukan terburu-buru seperti ini! Nah loh! Pada diam lagi semua! Nggak bisa jawab kan?! Dapat pengalaman baru mereka, didamprat si idola sekolah! Kalau aku sih udah kenyang didamprat sama dia! Kami tidak bermaksud seribet ini! Aspirasi kami seharusnya lebih penting untuk dibicarakan. Kalaupun mekanisme penyampaian kami harus dipermasalahkan, saya rasa Ketua OSIS lebih berwenang bicara. Saya dengan anda punya kedudukan sama, sama-sama sebagai pejabat Seksi. Kalau itu memang harus dipermasalahkan, kami minta petunjuk Ketua OSIS saja untuk meluruskan! tukas Indra si juru bicara itu pada akhirnya. Pusing pasti dia!

Saudara Erik, saya setuju mekanisme itu penting. Tapi rapat ini sudah berjalan, penyampaian pendapat sudah dilakukan. Jadi sebaiknya kita tetap tindak lanjuti saja. Saya tidak akan menyatakan pro atau kontra. Biar keluhan yang disampaikan oleh Saudara Indra ditanggapi oleh pihak pengurus Mading dahulu, baru kemudian disepakati keputusannya secara bersama, saya akan mendukung apapun keputusannya seseorang yang lain ikut bicara. Ya, saya setuju dengan pendapat Saudara Yuda, Ketua OSIS. Masalah mekanisme akan menjadi PR kita untuk diindahkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Saat ini, sebaiknya kita fokus pada penyelesaian masalah saja supaya tidak berlarut-larut Tadi saya juga sudah menyampaikan kalau rapat ini kita jalankan secara semi formal saja, tak perlu terlalu berat pada aturan, yang penting masalah selesai secara baik dan damai suara Pak Solikhul ikut menanggapi. Pada intinya saya cuma bermaksud menunjukkan, bahwa apabila Saudara Indra membawa nama Seksi Ketaqwaan maka itu tidak fair. Sepenting-pentingnya suatu masalah, sebaiknya tetap konsekuen dengan aturan. Pada dasarnya, saya juga mendukung supaya masalah ini segera tuntas, tidak hanya dengan damai, tapi juga dengan adil! komentar Erik tegas. Meski juga terkesan diplomatis. Nggak tahu kenapa, mendengar suara Erik di sini aku seperti merasakan wibawanya dan integritas yang lebih dibanding yang lain Kenapa ya??? Aku seperti membuka kekagumanku lagi Jadi, menurut anda rapat ini masih bisa dilanjutkan?

Saya cuma ingin mengingatkan bagian yang menurut saya keliru saja, Pak. Menurut saya, Saudara Indra bersama rekan-rekannya masih bisa menyampaikan aspirasinya. Tapi bukan atas nama Seksi Ketaqwaan, cukup sebagai aspirasi individu saja yang disampaikan secara bersama. Bagi saya juga tidak ada buruknya apabila masalah ini didiskusikan, asalkan dengan aturan yang adil tandas Erik. Baik, terima kasih atas masukannya. Kita akan berusaha sebaik mungkin supaya masalah ini selesai dengan damai dan adil. Saya setuju. Jadi bisa kita lanjutkan diskusinya? Ada yang mau menanggapi lagi? Bagaimana Saudara Indra, dan rekan-rekan? tanggap Pak Solikhul. Kalau kami tidak boleh mengatasnamakan Seksi Ketaqwaan, kami akan mencoba menerimanya. Yang penting aspirasi kami tetap ditanggapi dengan serius! tekan Indra. Jelas, kita tetap akan menampung dan menanggapinya. Kita tetap akan mengusahakan jalan keluar bersama! Segera dilanjutkan saja kepada Redaksi, Pak, supaya menghemat waktu. Ini sudah mau sore ada suara perempuan yang pelan menimpali. Mungkin anggota Dewan Pembina Majalah Dinding itu yang menemani Pak Solikhul, karena suaranya kedengaran agak tua. Baiklah kalau begitu. Kepada Pengurus Redaksi Majalah Dinding saya persilakan untuk menjawab aspirasi yang disampaikan oleh Saudara Indra tadi. Siapa yang akan mewakili bicara?

Saya, Pak. Sebagai Ketua Redaksi, sekaligus penulis dari artikel tersebut! satu suara segera menjawab. Jelas kali ini suara Anita! Silakan, Saudari Anita! Terima kasih suara Anita terdengar tenang sekaligus tegang. Saya akan menjawab apa yang sudah disampaikan Saudara Indra yang mewakili rekanrekannya. Meski saya sendiri merasa kalau penyampaian pendapat tersebut agak maksa, tapi saya bersedia menghormati hak orang lain untuk berpendapat ujar Anita dengan gaya sindirannya. Saya akan menjawab berdasarkan poin-poin yang tadi dikemukakan. Salah satunya, tadi anda menyebut-nyebut istilah bangsa dan budaya Timur sebagai alasan untuk mengkomplain artikel saya. Anda bilang isi artikel saya tidak sejalan dengan moral bangsa dan budaya Timur, yang menurut kata anda sangat menjaga nilai susila. Tapi maaf, menurut saya alasan anda masih sangat absurd. Jadi sebelum saya menjawab lebih lanjut, mohon supaya anda menerangkan lebih jelas apa yang anda maksud dengan bangsa dan budaya Timur? Lho? Kok kesannya Anita malah mengajak tebak-tebakan nih??? Bakal makin ramai kayaknya??? Eee Bangsa dan budaya Timur Indra menjawab dengan gugup. Sepertinya nggak siap mendapat pertanyaan balik! Anda tahu lah, bangsa-bangsa Asia digolongkan dalam bangsa Timur, budayanya juga disebut budaya Timur. Indonesia termasuk di dalamnya. Sedangkan bangsa Barat meliputi Amerika dan Eropa

Ehemm Kalau begitu, coba anda lihat ke peta dunia itu! balas Anita, aku membayangkan dia pasti sedang menunjuk peta dunia yang mungkin dipajang di ruang rapat itu dan semua peserta rapat langsung melihat ke peta itu. Anda lihat di peta dunia itu, sebelah barat benua Eropa ada Samudera Atlantik, kemudian setelah itu ada benua Amerika. Menurut anda, setelah benua Amerika jika terus ke barat akan sampai di mana? Samudera Pasifik jawab Indra. Setelah Samudera Pasifik? Benua Asia Nah Jadi bukankah orang Amerika yang menurut anda adalah bangsa Barat, juga bisa menyebut Asia sebagai bangsa Barat karena berada di arah barat benua Amerika? balik Anita enteng. Sebaliknya, dari Asia menuju ke timur maka juga akan sampai ke Amerika. Jadi kita juga bisa menyebut Amerika sebagai bangsa Timur kan, karena letaknya di timur? Y..yaa Tapi saya rasa anda salah konteks! Semua daerah di bumi bisa ditempuh dari arah manapun karena bumi itu bulat! Tapi istilah Timur setahu saya pertama kali dipakai oleh penjelajah Eropa, karena mereka menuju ke arah timur untuk memasuki Asia Dalam konteks ini, istilah Timur mengacu pada Asia! Termasuk Indonesia! Saya salut dengan pengetahuan sejarah anda, tapi kalau saya harus memakai perspektif itu maka saya bisa saja menyebut India dan Arab juga

bangsa Barat, karena saat memasuki Nusantara mereka datang dari arah barat. Tapi bukankah itu konyol? Saat anda membawa-bawa bangsa dan budaya Timur untuk mempertanyakan artikel saya, maka saya harus menyebut pendapat anda sangat absurd. Homoseksualitas ada di belahan dunia manapun, jadi bukan soal bangsa Barat ataupun bangsa Timur! Argumen anda tidak relevan dengan isi artikel saya! Kenapa harus bawa-bawa istilah bangsa Timur untuk menyalahkan artikel saya? Tidak ada hubungannya! Nggak ada suara yang menjawab, cuma terdengar samar-samar suara ketawa. Ya, aku membayangkan muka orang-orang yang di-skak Anita itu pasti merah padam, malu dan geram, tapi nggak mampu jawab. Aku membayangkan saja rasanya tergelitik! Hahaha Kenapa malah meributkan peta?! Esensinya bukan di situ! ucap Indra terdengar keki. Lho, justru itu bukti bahwa dasar argumen anda membingungkan! balas Anita. Baik, kita tidak perlu membahas istilah itu kalau anda bingung! tukas Indra ngeles. Saya to the point saja: bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkeTuhan-an, beragama, dan menjunjung tinggi etika. Itu maksud saya! Apakah anda mau menyebut perilaku homoseksual itu beretika, dan tidak bertentangan dengan agama? Kita bangsa Indonesia, kita punya Sila Pertama dalam Pancasila, ingat itu! Moralitas yang berlaku di Indonesia tidak menyetujui perilaku homoseksual yang jelas-jelas bertentangan dengan agama!

Baik, kita akan membahas sejarah lagi sahut Anita tenang. Anda sekarang mulai memakai istilah bangsa Indonesia. Menurut anda, sejak kapan istilah bangsa Indonesia dipakai? Tentu saja sejak Indonesia menjadi negara! Negara itu wadahnya, bangsa itu isinya! tukas Indra mantab. Indonesia jadi negara, berarti sejak 17 Agustus 45? Sebelum Indonesia merdeka, bukannya istilah bangsa Indonesia sudah dipakai waktu Sumpah Pemuda? ada suara sahutan agak menggumam. Betul, saya setuju dengan Erik! cetus Anita. Bangsa Indonesia sudah ada dan berbudaya, jauh sebelum Indonesia jadi negara, jauh sebelum Pancasila jadi dasar negara. Saya akan jelaskan dengan beberapa contoh. Di suatu daerah di Jawa Timur ada suatu tradisi di mana nilai-nilai homoseksualitas dianut bukan hanya sebagai nilai individu, tapi juga sebagai nilai sosial dan itu tidak ditabukan. Dan tradisi itu sudah ada sebelum kalimat Sila Satu Pancasila disusun! Kita, yang tinggal di Solo, harusnya juga tahu sejarah budaya Jawa. Menurut sebuah literatur klasik, homoseksualitas sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak dulu. Kalau ingin tahu, namanya Kitab Centhini, dan buku itu juga sudah ada sebelum Pancasila jadi dasar negara Indonesia. Kesimpulannya, homoseksualitas sudah menjadi bagian dalam kekayaan budaya Indonesia, jauh sebelum Indonesia sendiri menjadi negara. Saya tidak hanya setuju dengan sila pertama Pancasila, saya setuju dengan semua sila Pancasila! Tapi kita juga tak seharusnya menafikan sejarah budaya kita! Dengan artikel itu, saya bermaksud melihat realitas!

Begitu jawaban panjang Anita berhenti, cuma ada keheningan tanpa sahutan. Nggak ada yang membalas! Dan di sini aku bertepuk tangan! Hebaatttt! Kemudian soal tuduhan anda bahwa saya mengajak pembaca untuk mengagumi perilaku homoseksual, lanjut Anita lagi, Saya nyatakan bahwa anda salah alamat! Maaf kalau saya harus membuat pernyataan pribadi: saya sendiri pacaran dengan laki-laki dan saya tidak berharap pacar saya seorang penyuka sesama jenis! Apa yang saya sampaikan dalam artikel saya adalah, supaya kita berhenti menghakimi kaum homoseksual apalagi dengan dasar yang tidak jelas! Kalau anda benar-benar membaca artikel saya, saya pikir anda seharusnya cukup mampu untuk mencerna kalimat terakhir dalam artikel itu, saya bacakan saja di sini: Menerima homoseksual bukan berarti harus menjadi seperti mereka, tapi yang pasti akan menjadi pribadi yang lebih ramah dan toleran terhadap realita: bahwa realita itu memang penuh warna! Apa saya memuji gay? Apa saya memuji lesbian? Apakah memaparkan sebuah realita itu sama artinya dengan memuji? Apakah kalau saya menyebut kaum homoseksual itu eksis, maka artinya saya menyuruh anda menjadi homoseks?! Buset! Anita ini memang seperti orang yang tua sebelum saatnya! Di saat lawan bicaranya harus mikir-mikir dulu tiap kali menjawab pertanyaan, dia bisa menjabarkan isi otaknya dengan segitu entengnya! Mungkin itu juga yang membuat rambutnya jadi keriting, kepalanya gampang panas karena data-data di dalamnya sudah bejibun! Salut!

Oke Terima kasih buat kuliahnya! komentar Indra. Halah! Basi ah kalau pakai kalimat sinis macam itu! Bagaimana, Saudara Indra? tanya Pak Solikhul. Saya masih ingin menyampaikan sesuatu, Pak! Ya, silakan! Masih saya tujukan kepada Anita. Jadi apa menurut anda kita tidak perlu menyeleksi budaya yang kita miliki? Anda menyebut homoseksual sebagai kekayaan budaya, sangat berkesan kalau anda menganggap homoseksual itu hal yang POSITIF! Meski anda tidak membuat kalimat ajakan secara langsung, tapi sepertinya anda memang membenarkan perilaku homoseksual! Anda sama sekali tak memberikan tinjauan agama dalam artikel anda karena anda tahu tidak ada agama yang membenarkannya! Anda cuma menulis apa yang bisa menunjukkan bahwa homoseksual itu benar! Di mana moral dari tulisan anda? Indra masih menyerang lagi. Maaf, saya juga orang beragama, tapi saya tahu kapasitas yang saya bawa. Sekolah kita adalah sekolah umum, tidak berbasis pada agama tertentu. Mading juga media yang dibaca oleh siswa dengan latar agama berbeda-beda. Kalau ada agama yang harus saya pakai sebagai dasar tinjauan, yang mampu saya pakai cuma agama yang saya anut, karena cuma itulah yang paling saya pahami. Padahal belum tentu pengetahuan agama saya lebih baik dari anda kan? balas Anita merendah, tapi tetap terasa menyindir. Kalau saya memaksa diri untuk

memakai sudut pandang agama saya, lalu bagaimana dengan pembaca yang latar belakang agamanya berbeda dengan saya? Ujung-ujungnya tulisan saya akan menjadi timpang juga kan? Lebih baik saya tidak bawa-bawa agama. Lagi, nggak ada yang membalas. Anita masih memimpin perdebatan. Itu kalau saya harus melayani arah pikir anda yang ingin bawa-bawa agama! tukas Anita melanjutkan bicaranya. Tapi sepertinya saya harus menekankan lagi kalau tujuan saya bukan untuk membahas benar-salahnya perilaku homoseksual. Tujuan saya adalah membicarakan realitasnya, terutama kedudukan sosialnya! Kaum homoseksual masih sering menerima diskriminasi dalam lingkungan sosial. Coba kita renungkan, pelaku kriminal saja yang hukum pidananya jelas, masih diberi hak untuk membela diri dan mengajukan banding. Sedangkan homoseksual, dimana hukum pidana tidak menyebutnya sebagai perilaku kriminal, malah didiskriminasi dan dikenai stigma-stigma yang keliru! Itu konyol! Tidak adil. Saya membahas toleransi, bukan benar-salahnya! Anda terlalu naif! Anda melupakan kenyataan bahwa masyarakat kita memiliki etika dan agama. Keberadaan homoseksual itu sendirilah yang melawan arus! Masyarakat manapun pasti akan mempertahankan norma yang dimilikinya! Jadi jangan salahkan masyarakatnya! Homoseksual mungkin memang tidak dikategorikan kriminalitas, tapi sudah jelas bahwa itu menentang norma masyarakat! Mengingat artikel anda itu dibaca oleh siswa di sekolah ini, yang notabene adalah generasi muda, kami prihatin merasakannya. Kalau anda sendiri merasa diri anda normal, kenapa anda tidak tergerak untuk membuat wacana

yang lebih mencerminkan moral yang wajar? Yang sesuai dengan norma masyarakat kita? balas Indra sengit. Maaf, saya ingin ikut bicara suara Erik muncul lagi. Saat saya mendengarkan penjelasan Anita, saya faham maksudnya. Tapi sepertinya anda masih bingung menanggapinya. Supaya tidak semakin berbelit-belit, saya coba beri analogi saja. Misalnya, agama A mengharamkan daging babi, tapi agama B menghalalkannya, lantas apakah agama A harus berperang untuk melawan agama B? Tolong jawab dulu! Tidak, perang itu respon paling ekstrem. Tapi tentunya agama B juga tidak boleh memaksa umat agama A untuk memakan babi! jawab Indra dengan agak ragu setelah sepertinya perlu berpikir sejenak. Tapi menurut agama A, perilaku agama B salah bukan? kejar Erik. Ya, tapi keyakinan seseorang tidak bisa dipaksakan! Selama tidak saling memaksa, tentunya tidak perlu ada konfrontasi! jawab Indra. Nah, saya rasa prinsipnya sesederhana itu. Kalau anda bisa membuktikan bahwa Anita telah MEMAKSA pembaca, maka saya siap berada di pihak anda! cetus Erik. Huaaa.!!! Mantap banget diplomasinya! Betul! Hehehe Sekali lagi, tujuan artikel saya bukan untuk menilai homoseksual itu dosa atau tidak. Saya tidak peduli kalau anda tetap menganggap homoseksual itu salah, silakan sebut homoseksual itu bertentangan dengan semua norma yang anda anut,

itu hak anda dalam memiliki pandangan hidup. Tapi apakah anda boleh memaksakannya kepada orang lain? Apakah anda sendiri mau dipaksa? Apa yang saya buat adalah wacana. Wacana itu bukan paksaan. Kalau memang ada tolong tunjukkan saja, di kalimat mana saya MEMAKSA! tantang Anita. Indra bungkam sekarang. Begitu juga rekan-rekannya, memang sedari tadi mereka nggak bersuara sedikitpun. Begitu juga peserta rapat yang lain, nggak berkomentar. Semua terdiam. Saya sendiri membaca artikel Anita, dan saya menilainya sebagai sebuah wacana. Siapapun boleh setuju ataupun tidak setuju, tapi seharusnya tak perlu direspon secara panik Erik berkomentar lagi. Iya, benar, menurutku komentar-komentar Indra menunjukkan semacam kepanikan Saya maklum dengan komentar anda. Divisi Majalah Dinding ada di bawah seksi anda! ucap Indra dengan nada rendah, mencibir Erik. Tapi nada itu adalah tanda bahwa sepertinya dia sudah menyerah! Majalah Dinding memang ada di bawah Seksi Persepsi, Apresiasi dan Kreasi Seni. Tapi mau menjabat di seksi manapun, pendapat saya akan tetap sama kok jawab Erik terdengar santai. Rik, padahal kalau melihat sejarahmu, kamu sendiri punya pengalaman buruk dengan sesama laki-laki kan? tiba-tiba ada suara cowok lainnya yang menyahut sambil terkekeh.

Haaahhh??? Maksudnya???!!! Nggak usah disinggung, Yud Masa lalu! tukas Erik sambil ketawa pelan. APAAAAA???!!! Lagi rapat bisa-bisanya pada ngerumpi! Mereka ngungkit-ungkit soal itu di dalam rapat, mereka pasti berpikir kalau aku nggak mungkin dengar! Kurang ajar!!! Masa lalu apa? tanya Pak Solikhul. Halahhh! Ternyata guru jayus itu juga nggak mau ketinggalan gosip, ikut nanya-nanya! Dasar!!! Nggak, Pak! Cuma becanda aja si Yuda! sahut Erik. Biar nggak stress aja kok, Pak. Dari tadi kan debat serius terus cetus Yuda, si Ketua OSIS yang rupanya selengean di rapat itu. Dari tadi diam saja, begitu ngomong langsung mengungkit masa lalu orang lain! Ketua OSIS sialan! Ya, baik, baik. Jadi bagaimana Indra? Tadi Anita dan Erik sudah menyampaikan jawabannya, masih mau ditanggapi? ujar Pak Solikhul melanjutkan rapat. Saya sudah menyampaikan pendapat-pendapat saya, mewakili temanteman saya. Kami sudah mendapatkan jawaban, tapi kami merasa tidak ada titik temu. Kami tetap berharap ada keputusan yang mengutamakan kebaikan siswasiswa di sekolah ini. Karena tujuan kami bersekolah ingin mendapat pengetahuan yang benar dan bermanfaat. Bagi kami tetap akan lebih baik kalau artikel tersebut tidak diterbitkan ujar Indra panjang lebar, dan datar.

Bagaimana dengan yang lain? Masih banyak yang dari tadi cuma diam? Ada yang mau menanggapi? tanggap Pak Solikhul. Anita, masih ada yang ingin disampaikan? Tidak, Pak. Saya sudah menjawab semuanya Kalau begitu, karena sudah tidak ada lagi yang mengajukan pendapat dan tanggapan, saya butuh waktu sebentar untuk berembug dengan pembina yang lain, dan juga dengan para Pengurus Redaksi Majalah Dinding. Mohon waktu sebentar. Yang lain, bisa menggunakan waktu untuk beramah-tamah ujar Pak Solikhul menutup perdebatan. Aku mulai sadar dengan sesuatu yang aneh pada rapat ini. Terutama pada Pak Solikhul dan para pembina yang lain itu. Gimana ya kalau dinalar, sebagai Dewan Pembina Majalah Dinding berarti seharusnya berada di pihak Majalah Dinding juga, kan? Tapi di sini malah Pak Solikhul jadi moderator rapat? Prakteknya sih nggak terkesan sebagai moderator, karena selama diskusi dia kebanyakan diam. Kalaupun ngomong, cuma buat mengatur giliran bicara. Pada saat sengit, menengahi pun tidak! Menurutku kesannya malah seperti pihak yang mengadu debat dua belah pihak! Waktu Indra dan team-nya sudah keok, baru Pak Solikhul mengajak team Mading berembug. Harusnya sejak awal, sebagai Pembina dia pro aktif melindungi team Mading-nya! Nalarnya kan gitu? Selama perdebatan, dia nggak membuat pembelaan sama sekali buat Mading-nya! Pembina-pembina yang lain juga, nggak ada yang angkat bicara! Aneh!

Baik. Setelah kami berembug, kami akhirnya membuat kesepakatan bersama, suara Pak Solikhul muncul lagi. Berhubung waktu juga sudah sore, saya akan langsung menyampaikan keputusannya. Mempertimbangkan

kepentingan bersama, mengingat sekolah ini adalah tempat untuk mencari ilmu bagi siswa, maka kami berusaha membuat keputusan yang diharapkan bisa memberikan kenyamanan belajar bagi seluruh siswa di sekolah ini. Dewan Pembina Majalah Dinding, didukung kerelaan dari para Pengurus Redaksi Majalah Dinding, memutuskan bahwa artikel yang bermasalah tersebut kami tarik dari halaman Majalah Dinding secara permanen tidak akan diterbitkan lagi APAAAA???!!! Itu keputusannya??? Meskipun pihak redaksi sudah menjawab sebaik-baiknya keluhan yang ada, namun kami akhirnya menyadari, bahwa menerbitkan artikel itu lagi hanya akan mempertebal pergumulan di antara para siswa yang membacanya. Kemarin artikel tersebut sudah diterbitkan, lalu dicabut. Dan sekarang kalau diterbitkan lagi, saya kuatir itu hanya akan memancing tanda tanya yang lebih besar. Alangkah baiknya kenyamanan belajar-mengajar di sekolah ini tetap terjaga, karena itu adalah hal yang lebih penting. Mengenai diskusi kita hari ini, sebenarnya sangat menarik. Namun dalam hemat kami sebagai guru, alangkah lebih baik kalau perdebatan tadi tidak tersebar keluar demi kenyamanan bersama. Kepada Saudari Anita, sekali lagi kami mohon kerelaannya. Tulisan anda sangat bagus, tapi mungkin belum cocok untuk dipublikasikan di lingkungan sekolah. Kepada Saudara Indra dan rekan-rekan yang menjabat dalam Seksi Ketaqwaan, kami harap keputusan ini dapat diterima dengan rendah hati dan tidak dijadikan

polemik lagi. Kami rasa ini langkah yang paling bijak. Apakah keputusan ini bisa diterima? Aku terbelalak menyimak keputusan yang diucapkan Pak Solikhul! Rasanya ada yang nggak make sense! Kami sebagai siswa sekaligus pejabat Seksi Ketaqwaan, menerima keputusan tersebut dengan lega. Kami berterima kasih karena kenyamanan kegiatan belajar-mengajar siswa tetap diutamakan dalam pengambilan keputusan ini Saya harap kelak tidak ada lagi tulisan-tulisan dalam Majalah Dinding yang mengundang kontroversi yang meresahkan siswa. Terima kasih! ucap Indra menyampaikan tanggapannya. Saya menerima keputusan rapat ini, tiba-tiba suara Anita menyahut, tapi kedengarannya datar dan seperti nggak punya tekad lagi. Saya menerima. Tapi saya juga ingin menyampaikan uneg-uneg saya, khususnya kepada Dewan Pembina Majalah Dinding. Kami, Pengurus Redaksi Majalah Dinding, selalu berusaha memberikan wacana dengan standar yang layak. Termasuk artikel saya yang satu ini. Sebelum kami memajangnya, kami sudah berusaha

menyerahkannya terlebih dahulu kepada Dewan Pembina. Harapan kami, tulisan kami benar-benar sudah disaring secara optimal sebelum diterbitkan. Tapi waktu itu, Pak Solikhul yang kami serahi semua naskah untuk diteliti, cuma menyatakan bahwa Bapak percaya kepada kami. Bapak tidak meneliti satupun dan langsung menyerahkan lagi kepada kami untuk segera diterbitkan. Ternyata, sekarang ada yang komplain. Dan keputusannya seperti ini tulisan saya harus dicabut. Tapi

terus terang, kami team redaksi selalu bekerja keras untuk membuat tulisan yang sebaik mungkin. Meskipun Anda percaya pada kami, tapi mohon lain kali sempatkan waktu untuk mengoreksi karya-karya kami sebelum diterbitkan. Kejadian sekarang ini, meski saya ikhlas tapi sebenarnya saya merasa tidak dihargai. Itu saja uneg-uneg saya Yaaa! Itulah anehnya! Makin jelas sekarang! Pak Solikhul dan juga guru-guru Pembina lainnya nggak ada yang memihak Anita! Malah di saat keadaan menjadi sulit, dengan mudahnya mereka mengorbankan hasil kerja anak didiknya itu! Apa yang membuat Dewan Pembina itu sampai hati bersikap begitu?!! Hasil akhir rapat itu terasa konyol sekali!!! Ya, terima kasih untuk masukan anda. Kami Dewan Pembina akan introspeksi juga. Masalah ini akan menjadi pelajaran buat kita semua. Kami mohon maaf kepada semua Pengurus Redaksi Mading, khususnya Saudari Anita Dan juga kepada semua pihak yang merasa tidak nyaman ucap Pak Solikhul. Permintaan maaf yang kedengarannya juga nggak tulus. Sekedar basabasi, formalitas aja! Dan rekaman habis sampai di situ Ya, selesai. Speechless! Aku masih tercengang, membisu di tempat tidurku, menatap kosong ke screensaver di layar laptop. Apa yang harus aku dengar di akhir rapat itu bikin aku

geram! Aku nggak menghargai jerih payah Anita dan Erik kalau aku bilang perdebatan itu mubazir, tapi kenyataannya mereka memang harus kalah Homophobic tetap menang! Dulu aku menolak keras waktu Anita berinisiatif menulis artikel itu. Apa yang aku cemaskan memang terjadi saat Anita nekat memajang tulisannya itu di Mading, yaitu orang-orang jadi gatal lagi buat mengejekku. Dan ketika tulisan Anita tiba-tiba dicabut, bukannya masalah selesai, malah berujung pada rapat konyol tadi! Aku salut dan berterima kasih dalam hati karena pada akhirnya, Anita dan Erik mau bersikap adil saat membicarakan masalah itu. Itu menghiburku. Tapi sepertinya semua telanjur salah sejak awal. Tulisan Anita mau dicabut atau diterbitkan lagi, mungkin nggak akan memberi perbaikan yang berarti terhadap tekanan-tekanan yang aku hadapi di sekolah! Ya, rantai reaksi sudah telanjur menggelinding Ahhh, tapi semoga saja nggak seburuk yang kubayangkan! Erik Kini sosoknya jadi menebal lagi dalam benakku. Antara percaya dan nggak percaya, saat aku mendengar dia bisa begitu fasih menguraikan kalimat-kalimat di dalam rekaman itu. Kenapa aku nggak mendengarnya sebijak itu saat dia menampikku dulu? Ada apa denganmu, Rik? Huhhhh Tuhan, kertas nasibku sebenarnya terbuat dari apa? Kenapa tulisan-tulisanMu seperti tergores kurang baik bagiku? Padahal aku yakin pena-

Mu harusnya sempurna. Aku sulit membaca apa yang sedang kuhadapi! Selalu kebingungan yang aku temui! Apa memang akulah yang terlalu muda untuk mengamini jati diri ini? Bagaimana lagi, inilah yang paling kuyakini! Pahit, tapi inilah yang paling terasa sebagai diriku yang sebenarnya! Mengingkarinya, rasanya hanya akan membuatku menjadi lebih bingung! Huhhhh Kutinggalkan lamunanku. Kuraih HP-ku. Kutelpon Aldo Ya? suara Aldo di sana. Dari mana kamu dapat rekaman ini? tanyaku datar tanpa basa-basi. Aku ikut rapat itu. Ya, aku juga udah mikir ke situ. Tapi kayaknya kamu cuma diam aja? Aku Sekretaris OSIS, aku fokus bikin notula! Hooo? Ternyata kamu Sekretaris toh? Karena itu aku juga leluasa merekamnya. Biasanya rapat OSIS memang direkam. Arsip-arsip rekaman biasanya di-order untuk bahan pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi kali ini memang lain. Kamu tahu? Sehabis rapat Pak Solikhul langsung menyuruhku menghapus rekaman itu!

Hahhh? Kenapa begitu??? rasa penasaranku langsung terpancing. Ya, untungnya dia percaya begitu saja waktu kubilang rekamanku sudah kuhapus. Apa kamu nggak nangkap ada yang aneh sama Pak Solikhul selama rapat? Aldo balik memancingku. Yaaa Iya sih. Aku ngerasa Pak Solikhul sama sekali nggak melindungi Anita, padahal Anita itu anak binaannya. Dia sendiri Ketua Dewan Pembina Mading, tapi kayaknya nggak ada usaha buat membela Mading-nya! Malah artikel Anita dia cabut secara permanen! Menurutku memang aneh! ujarku mengungkapkan isi pikiranku. Ya. Kamu ternyata cukup peka juga! Tapi aku akan kasih tahu lebih jauh bisik Aldo dengan nada serius. Indra itu keponakan Pak Solikhul! Hahhh? Masa? sentakku sedikit kaget. Terus? Apa ada hubungannya dengan masalah itu? Indra punya kakak cewek. Kakaknya itu sudah menikah, tapi suaminya itu kepergok selingkuh dengan sesama cowok. Dan itu dianggap aib oleh keluarga besarnya Indra! GOD!!! Kamu serius??? Dari mana kamu tahu?!! aku makin kaget. Rumah Indra satu komplek denganku! Kamu bisa bayangin kan? Perumahan, dimana tiap sore tetangga-tetangga ngerumpi di depan rumah! tukas Aldo.

Aku menelan ludah. Jadi maksudmu Indra sekeluarga termasuk Pak Solikhul jadi homophobic gara-gara aib itu? ucapku tercengang-cengang. Coba kamu pikir ulang dengan cermat! Komplain itu pasti sudah terjadi sejak hari pertama artikel Anita dimuat, hari Senin. Soalnya Selasa pagi artikel itu sudah nggak ada. Dan Selasa pagi pada jam istirahat pertama undangan rapat sudah beredar. Semua itu terjadi hanya dalam waktu 24 jam! Tapi itu nggak mustahil kalo Indra sama Pak Solikhul yang mengatur! Mereka anti dengan apa saja yang menyangkut homoseks, seperti artikel Anita itu! Rapat itu cuma akalakalan biar mekanismenya terkesan benar dan sah. Padahal kalo dicermati, rapat itu sendiri sebenarnya acak-acakan! Iya, Pak Solikhul seharusnya juga mendampingi Redaksi Mading yang dibinanya! Moderator harusnya diserahkan pada pihak yang netral Toh saat jadi moderator Pak Solikhul juga nggak membantu Anita berdebat. Begitu mau selesai tiba-tiba aja bikin keputusan seperti itu! timpalku terheran-heran. Semua itu acak-acakan karena direncanakan dengan tergesa-gesa! Yang penting gimana caranya artikel itu bisa segera dienyahkan! tukas Aldo. Tapi bukannya Pak Solikhul punya wewenang soal Mading? Kalo tujuannya memang itu, kenapa nggak langsung dicabut aja artikelnya? Kenapa nggak ditangani secara intern, toh akhirnya Anita juga nurut kan? Kenapa sampai ke rapat OSIS segala? tanyaku heran. Terlepas dari sentimen pribadi, kayaknya yang komplain memang bukan cuma Indra, tapi ada beberapa juga yang lain meski aku yakin nggak sampai

seluruh sekolahan. Kebetulan Indra punya posisi di dalam OSIS, dengan bawabawa seksi yang dia pegang dia bisa menyamarkan sentimen pribadinya. Rapat itu sepertinya cuma alat legitimasi buat memberi pelajaran pada Anita! Aku tercengang mendengar tanggapan Aldo. Apa kamu nggak melakukan sesuatu? Setidaknya buat mengimbangi situasi? Nggak ada gunanya! Ketua OSIS-nya saja penakut, nggak pernah berani mengkritik! Ada empat anak dari Seksi Ketaqwaan yang hadir, tapi semua juga cuma ngikut sama Indra. Dewan Pembina ada tiga guru yang hadir, semua juga disetir Pak Solikhul. Pengurus Mading nggak ada yang berani ngomong selain Anita, padahal ada tiga anak juga yang hadir! Itu perang konyol mereka! Dan sejak semula aku punya feeling kalo keputusan rapat itu memang sudah di-set! Tapi apa kamu nggak tergerak sama sekali? Anita sama Erik aja gigih ngebelain kita?! cetusku, mempertanyakan keberanian Aldo sendiri. Ngebelain kita? Hahaha Masih polos saja pikiranmu! cetus Aldo, mulai kumat sinisnya. Masa kamu lupa sih Anita itu orang kayak gimana? Dia itu tukang cari sensasi! Kalo dia berdebat panjang lebar di rapat tadi, itu karena dia harus jaga gengsi! Dia merasa penulis hebat dan paling pandai di sekolah, gengsi lah kalo dia kalah debat! Terus Erik lagi?! Dia itu Ketua Seksi yang membawahi Divisi Mading, jelas saja dia pro membela Anita! Bukannya dia itu juga gede gengsinya?! Lagian apa kamu nggak ingat pengalamanmu sendiri sama Erik?

Kalo memang Anita itu demi gengsi, ngapain pada akhirnya dia ngalah juga? Dan soal Erik, gimana yaa Terus terang aku juga bingung dengar dia bisa ngomong seperti itu di rapat Tapi kok aku ngerasa dia nggak pura-pura dengan kata-katanya? gumamku gundah. Kalo Anita mengalah, itu bisa ditebak! Wajar lah, mau gimana-gimana namanya murid pasti akhirnya harus menurut sama guru, meski terpaksa! Kalo soal Erik Sudahlah! Dia itu juga orang yang suka cari muka! Dia pasti senang bisa terlihat pandai! Hmmmhhhh aku mendesah dengan lesu. Entahlah. Aku juga nggak yakin sih. Yang aku tahu, orang itu kan bisa berubah? Aku ngasih kamu rekaman ini cuma dengan satu tujuan! ucap Aldo tajam. Supaya kamu sadar seperti apa dunia yang kamu hadapi! Homophobic ada di mana-mana. Kamu kira mereka mencaci kamu cuma buat iseng cari kesenangan? Nggak! Mereka lebih senang kalo orang seperti kita nggak pernah ada di dunia! Indra dan Pak Solikhul, mereka contoh nyata orang-orang yang nggak ingin orang seperti kita ini ada! Ada banyak orang seperti mereka! Orang-orang telanjur tahu kamu gay, kalo kamu masih mellow dan gampang mimpi indah kayak sekarang, sampai kapan kamu bisa bertahan menghadapi tekanan mereka?! Orang-orang seperti kita harus kuat, nggak usah mengharapkan kebaikan orang-orang straight yang suka cari muka itu! Naif banget kalo mengharapkan pembelaan dari mereka! Sama artinya mengaku kalo kita ini lemah! Biarpun Anita dan Erik berbicara seperti itu di rapat tadi, kamu pikir

mereka benar-benar peduli dengan kita? Nggak! Aku sudah hafal dengan mereka, mereka cuma cari sensasi! Aku tercenung mendengar kata-kata Aldo yang pelan tapi berapi-api. Lalu akhirnya aku malah tertawa kecut Do, kapan kamu mau coming out ke orang lain kalo kamu gay? tanyaku. Coming out? Ngapain kamu nanyain itu? Bukan urusanmu! tukas Aldo. Hahaha Kamu sendiri nggak tahu kapan kan? Aku nggak bodoh kayak kamu. Kamu itu ibarat orang yang terpeleset masuk ke kandang macan. Menurutmu, aku harus jalan tanpa beban masuk ke kandang yang sama dengan kamu, gitu? Kalo kamu nggak terima dengan kecelakaan yang diakibatkan kecerobohanmu sendiri, jangan minta orang lain buat bunuh diri! Aldo kumat sarkas. Nah, jadi kamu nggak mau ketahuan gay karena masih pingin hidup aman kan? Kamu nggak mau di-bully sama macan-macan itu kan? At least, aku sudah merasakan gimana rasanya menjalani hari-hari yang kamu sebut kandang macan itu. Toh aku nggak sampai dicabik-cabik, cuma diejek aja sih Ya istilahnya bukan macan lah, tapi anjing, gonggongan mereka memang bikin hati sakit! Tapi itu nggak bikin aku ngerasa harus sinis ke orang straight, karena aku sendiri punya teman-teman straight dan mereka juga tahu aku gay, and its ok! Jadi, mending buktiin dulu kalo kamu bisa menjalani hidup sebagai gay secara

coming out. Kalo kamu sendiri masih menghindari resiko jadi gay, gimana kamu bisa ceramahin aku untuk jadi gay yang kuat? Hei! Sombong banget ya kamu?! Kamu merasa lebih pemberani ya mentang-mentang udah coming out? Nggak ingat apa, kamu tuh ketahuan garagara dipecundangi sama Erik! Nggak usah sok! Aldo langsung mencak-mencak. Udah deh, nggak usah marah-marah. Aku ini nggak sengaja kecebur kolam, tapi gara-gara itu justru akhirnya aku bisa belajar berenang. Kalo kamu mau ngasih tahu cara berenang, jangan cuma bahas teori di pinggir kolam. Ayo sini nyebur! Airnya aja kamu belum ngerasain kan? Aku nggak peduli aku kecebur gara-gara kepeleset atau sengaja nyebur, yang penting akhirnya aku belajar berenang beneran, nggak cuma teori! balasku dengan nada santai. Dan memang sengaja aku bikin terdengar sombong! Aldo terdiam di sana. Nggak jawab. Tapi dia belum menutup HP-nya. Makasih, kamu mau ngirim rekaman ini. Makasih udah ngasih banyak informasi. Itu banyak gunanya buat aku. Tapi kalo aku boleh membalas ngasih sesuatu buat kamu, tolong dengar kata-kataku Aku udah sering dihina-dina sama orang-orang. Saat aku ngerasain sakitnya diejek, aku jadi sadar pentingnya menghargai orang lain. Di saat banyak orang mengejekmu, siapa lagi yang bisa bikin kamu merasa lebih berarti selain orang yang mau jadi temanmu? Apa kita layak berharap untuk dihargai, kalo kita sendiri selalu sinis sama orang lain? Meski kamu kuat, tapi suatu saat kamu pasti akan letih. Saat kamu letih, apakah

kalimat sinis akan menolongmu? Belajarlah menghargai dan mempercayai orang lain, suatu saat kamu pasti akan menemukan artinya! Aldo masih terdiam saat aku menghentikan kalimatku. Kamu nggak harus langsung setuju dengan kata-kataku. Tapi moga-moga kamu punya waktu buat memikirkannya, itu berarti kamu sudah berusaha menghargai pemberianku. Makasih buat semuanya. Goodnite pungkasku dengan senyum yang nggak mungkin dilihat Aldo. Kututup HP-ku. Hmmm Wowww! Hebat benar ya aku? Aku bilang aku bisa berenang Ya, aku memang mulai belajar. Tapi aku tahu, sebagian kata-kata Aldo juga benar. Aku tegar, tapi belum tentu sekuat itu Aku belum tahu gelombang masalah ini bisa jadi sebesar apa. Bagaimana kalau cukup besar untuk menelanku hingga tenggelam ke dasar? Tenggelam ke dasar dan membuatku nggak pernah muncul lagi? Hmhhh Sudahlah, Dimas Pikiranmu terlalu penat! Endapkan saja di bawah selimut Ya. Aku butuh istirahat

KANTONG 30 : Versus!

Mataku menerawang bersama lamunan. Menatap bangku beton yang kosong, yang ada di bawah pohon di depan kantin. Kemana dia, yang dulu pernah menemaniku duduk-duduk di bangku itu, saat kami pertama kali saling berkenalan? Dia yang menyenangkan, yang selalu menghiasi pikiranku, dan selalu menggoda hatiku Sekarang dia membuatku gelisah. SMS nggak dibalas, telpon nggak diangkat Hmmhhh Fandy, kamu baik-baik saja kan? Anjrit! sentakku waktu meninggalkan lamunan dan kembali pada bakso di mejaku. Baksoku kamu habisin?!! tukasku ke Denis. Lu sih ngelamun aja! Diajak ngomong nggak jawab, gue makan bakso lu juga nggak nyadar! sahut Denis enteng. Kampret! Aku nggak mau bayar! tukasku dongkol. Makanya kalo diajak ngomong yang respon dong! Lu ngomong enggak, makan juga enggak. Nggak apa-apa kalo nggak kasian sama gue, tapi kasian sama baksonya! celetuk Denis. Kuacuhkan ulah Denis yang bikin kesal. Aku kembali memandangi bangku beton di bawah pohon, yang jadi saksi perkenalanku dengan Fandy itu. Huuhhh Perkenalan kami memang belum lama, tapi sekarang baru dua hari

nggak dapat kabar darinya rasanya bikin gelisah seperti sekarang ini! Atau perasaanku saja yang berlebihan?! Kamu ketemu Fandy nggak? tanpa terpikir, aku malah bertanya ke Denis. Oooo Jadi lagi ngebayangin dia? timpal Denis. Dua hari nggak ada kabar. Nggak ketemu juga. Tadi waktu jam istirahat pertama aku SMS dia, aku ajak makan di kantin tapi nggak balas Sekarang udah jam istirahat kedua, dia nggak nongol juga di kantin. SMS-ku juga belum dibalas! gumamku jengah. Oooo, udah dua hari ya??? Baru dua hari gitu lohhh! Lebay amat si h lu! Emangnya saban hari musti ketemu gitu? tukas Denis. Ya nggak gitu juga sih Tapi masa balas SMS aja enggak? Dia kan anak kost Nggak punya pulsa kali? Duit udah habis! Telpon juga nggak diangkat! HP-nya ilang kali Asal aja ngomong! tukasku dongkol. Jangan-jangan lagi sakit? Nggak bisa masuk sekolah Mau angkat HP tangannya gemeteran cerocos Denis.

Eh, jangan sembarangan kalo ngomong! Kayak nyumpahin dia aja?! Kalo sakit beneran gimana?! tukasku sensi. Ya makanya, dicari sana kek, di rumah kostnya! Atau ditanyain ke kelasnya! Kurang gigih lu usaha buat dapetin dia! komentar Denis cuek. Aku jadi terdiam. Kepikiran omongan Denis, jangan-jangan Fandy memang lagi sakit? Tapi masa aku harus cari tahu di kelasnya sih? Masa sampai segitunya? Teman-temannya malah curiga nanti! Hhhh Mungkin memang aku aja yang terlalu berlebihan mikiran dia Weee Kembar homo! tiba-tiba ada suara celetukan yang langsung menarik kepalaku untuk menoleh. Denis juga langsung menoleh, ke segerombol anak di meja pojok kantin, ketawa-ketawa sambil melihatiku dengan sorot mata leceh. Huhhhh! Aku sudah hafal dengan anak yang mengejekku itu. Ya, dia salah satu anak yang biasa mengejekku kalau kebetulan kami berpapasan! Anjing! decak Denis pelan. Menahan geram. Udah. Nggak usah diladeni! bisikku. Woiii!!! si tukang ejek itu malah melontar lagi. Gimana? Kok tulisan homo di Mading udah nggak ada? seru anak itu dengan mulut lebar.

Perasaanku makin nggak nyaman. Rasanya mending segera angkat kaki aja dari sini! Nggak ada manfaatnya menghadapi orang-orang kayak mereka! Cuma makan ati aja! Kulihat tangan Denis mengepal erat di atas meja. Den, udah! Ayo cabut aja! ujarku, segera mengajaknya menuju ke kasir. Dibredel ya tulisan kalian?! Kasihannn anak itu masih mencibir sambil ketawa-ketawa diikuti teman-temannya. Sodara kembarnya homo juga nggak tuh? salah satu dari mereka berbisik-bisik, aku mendengarnya. Aku berusaha nggak menggubris, meski telinga dan hati terasa panas! Selesai membayar di kasir, aku langsung bergegas melangkah keluar sambil menggamit Denis Kasih jalan, bancinya mau lewat! sindir anak tadi terlontar lagi. Dan ASTAGAAA! Den, jangan Den!!! aku bersigap mencegah Denis yang tiba-tiba berbalik menghampiri anak tadi, tapi BUKKK!!! GODDD!!! Aku gagal mencegah Denis yang mendaratkan pukulan ke muka anak itu!!!

Anjingggg!!! teman anak yang dipukul Denis langsung balas mendorong Denis dan sebuah pukulan melayang lagi BUKKK! BRAAAKKKK.! Denis terpelanting menimpa meja! Suara jerit penjaga kasir pun menyusul dan anak-anak lainnya segera berhamburan ke luar kantin! Denissss!!! seruku panik melihat Denis dipukul. Aku segera sigap menghadang anak yang bermaksud memukulnya lagi, tapi DUKKK! Sebuah tendangan mendarat di igaku, membuatku tersungkur ke samping dengan rasa sakit yang luar biasa! Ahhhhkkk! aku merintih tertahan di lantai, memegangi igaku yang sakit sekali. BANGSATTTTT!!! suara Denis menggelegar, disusul suara gedebuk keras dari pukulannya yang langsung menjatuhkan anak yang tadi menyerangku. Anak itu terpelanting menghantam kursi-kursi plastik hingga pecah berantakan! Si pengejek yang tadi dipukul Denis di awal perkelahian, dengan sigap bangkit dan hendak melayangkan tinjunya ke Denis Tapi Denis berhasil menangkap tangan anak itu dan dengan satu bantingan langsung mengaparkannya ke lantai Suara gedebuk pun terdengar lagi dengan keras, disusul pekikan anak itu! AYO LAWAN GUE!!! teriak Denis penuh kemarahan.

Dan pemandangan sepertinya mau bertambah brutal waktu Denis mengunci tangan anak itu seperti mau mematahkan tulangnya! Anak itu menjerit keras! DENISSSSS!!! seruku bangkit dan segera meraup tubuh Denis, memisahkan dia dari anak yang sudah nggak berdaya itu. Udah berhenti!!! Berhenti!!! seruku tersenggal-senggal. NGGAK! MAU GUE HABISIN DIA!!! Denis berontak, hendak meraih anak itu lagi PLAAKKK!!! Tanganku mendarat di pelipis Denis Denis seketika berhenti, melepaskan cengkramannya Dia terbelalak menatapku. Begitu juga aku dadaku gemetar, mataku nanar menatap wajah kosongnya yang merah penuh amarah Sadar, Den! desahku lirih. Suasana kantin dipenuhi anak yang berkerumun menatap kami. Aku memandangi sekelilingku Semua terdiam dengan mata terbelalak penuh hujaman tanya dan kecemasan. Pemilik kantin di belakang meja kasir berdiri merapat ke dinding dengan wajah nanar menatap kantinnya yang berantakan! Lihat mereka, Mas! Denis menuding pelan ke semua penjuru di mana orang-orang menatap kami. Lihat mereka, yang suka ngatain elu banci, suka

ngomongin yang jelek-jelek soal elu, sekarang mereka juga cuma bisa nonton kan?!! Elu kalo masih mau sabar, sabar aja! Tapi gue nggak! Gue udah nggak tahan! Gue nggak bisa lagi ngebiarin lu dihina sama mereka!!! ucap Denis geram dan gemetar. Aku terdiam. Merapatkan mataku menahan kacaunya kenyataan yang telanjur meledak di hadapanku! Perasaanku sekarang sama porak-porandanya dengan tempat ini! Ayo kalian yang pernah ngomong jelek, yang pernah ngatain sodara gue banci, jangan cuma nonton aja sekarang! Kalo cuma nonton kalian semua lebih banci dari sodara gue! Ayo berantem sekalian lawan gue!!! KENAPA DIAM AJA ANJIIINGGGG?!!! Denis memaki-maki di hadapan semua orang Den Udah Please kurangkul Denis, kudekap erat-erat meredam dadanya yang kembang kempis terpompa amarah. Wajah dan matanya merah seperti bara Ya Tuhan! Anak-anak yang tadi dihajar Denis susah payah mencoba berdiri dengan merintih-rintih. Aku terus menahan Denis, meredam emosinya yang masih mau meledak Dengan tertatih-tatih menahan sakit di badanku, kurengkuh Denis, membawanya untuk segera meninggalkan kantin yang kacau balau dan dipenuhi penonton Udah, ayo pergi kutarik Denis dengan berat hati APA-APAAN INI?!!!

Tiba-tiba suara berat menyeruak dari antara anak-anak yang bergerombol. Seorang pria berbadan tegap dan garang menghentikan langkahku di muka pintu. Dia menatap berkeliling dengan mata terbelalak! Pak Alexius, salah satu guru BP yang ditakuti! Di belakangnya ada Pak Dibyo, rekannya sesama guru BP Ya ampun cekatku tertahan. Masalah jelas makin besar! Saya ini sampai ketakutan, Pak!!! pemilik kantin langsung meluapkan tangisnya dengan wajah shock. Saya bingung! Yang ada di sini semuanya cuma pada nonton! Kantin saya sampai berantakan!!! Iya, nanti soal kerugian pasti diurus, Mbak! ucap Pak Alex dengan berat. Lalu dia melotot padaku dan Denis, dan juga pada dua anak lainnya yang terlibat perkelahian. Kalian, ke ruang BP sekarang!!! hardiknya garang. Pak Dibyo, rekan Pak Alex, langsung memegang kerah belakang bajuku dan juga Denis, menggiring kami melangkah menuju ke ruang BP. Begitu juga dua anak yang terlibat masalah dengan kami itu, digiring oleh Pak Alex Mulut bungkam tanpa kata, cuma desah nafas tanpa asa yang memacu langkah lesu ini. Wajahku nggak mampu lagi untuk tegak, nggak mungkin kami bangga menjadi tontonan orang-orang seisi sekolah! Baru sekarang kutemui masalah seburuk ini!!! Kenapa harus sampai begini?!!! Apa lagi sekarang?!!! Apa lagi?!!!

Dengan terpuruk aku duduk di kursi ruang BP, bersama Denis dan dua anak tadi. Terduduk lesu menghadapi guru-guru BP yang telah menangkap kami. Pak Alex memandangi kami bergantian dengan raut garang. Sedangkan Pak Dibyo acuh dengan sebuah buku besar di hadapannya Siapa nama kamu? Dan kelas kamu? Pak Alex bertanya dengan suara berat ke anak yang tadi mengejekku. Geri, kelas 2 IPA D, Pak jawab anak itu sambil memegangi tangannya dengan mimik menahan sakit. Dia yang tadi hampir saja dihabisi Denis! Kamu? Pak Alex ganti menanyai teman Geri. Ronald. Kelas sama dengan Geri, Pak, jawab teman Geri itu. Kamu? Denis. 2 IPA F jawab Denis dengan raut masih menahan geram. Kamu? Dimas. 2 IPS A jawabku lesu, sambil memegangi bagian samping dadaku yang masih terasa sakit akibat tendangan anak yang bernama Ronald, teman Geri itu. Kalian berdua? Kakak-adik? tanya Pak Alex lagi dengan mata mendelik tajam. Dia sodara saya, Pak ucap Denis datar.

Pak Dibyo tampak sibuk mencatat di buku besarnya. Pak Alex mendehem serak. Baik. Kalian berempat, sekarang jelaskan, apa yang tadi kalian lakukan? Jelaskan! ujarnya dengan intonasi tajam. Kami masih terdiam membisu. Brakkk!!! Pak Alex menggebrak meja. JELASKAN!!! serunya keras. Dia yang mulai duluan, Pak! Geri melemparkan tudingan ke Denis. Dia yang mukul duluan! Karena dia mengejek sodara saya, Pak! balas Denis. Mengejek? Jadi cuma gara-gara ejek-ejekan?! timpal Pak Alex ketus. Saya nggak terima sodara saya diejek! sahut Denis sengit. Pak Alex geleng-geleng kepala. Gusti!!! Cuma masalah ejek-ejekan jadi rame!!! Kalian anak SMA apa anak TK?!! Kami berempat terdiam lagi Jawab! Seserius apa sih, sampai kalian ini berkelahi bikin rusak kantin?!!! Pak Alex makin tinggi nada suaranya, makin merah padam raut mukanya! Kami nggak ngejek kok, Pak! gumam Geri bersungut-sungut sambil mengusap-usap tangannya. Mau mungkir lu?!! tukas Denis sengit.

Banci dibilang banci, masa ngejek sih?! balas Geri enteng, rasanya tambah merebus isi dadaku! Apa maksudnya?!!! tukas Pak Alex. Yaa Anak di sini juga udah pada tahu, Pak, kalo Dimas itu banci! Sukanya sama cowok! Masa kalo kita bilang dia banci atau homo dianggap salah sih? Kenyataannya kan gitu? ucap Geri dengan senyum sinis padaku Denis seketika berdiri dengan tangan terkepal dan hampir

melayangkannya ke Geri Hei!!! bentak Pak Alex ke Denis. Saya guru di sini! Jangan bersikap seenaknya! Hargai saya!!! Aku langsung menarik tangan Denis. Dia terduduk lagi, rahangnya terkatup rapat, wajahnya makin merah padam. Nafasnya menderu menahan gusar! Jadi itu yang bikin kalian ribut?! Memalukan!!! seru Pak Alex dengan wajah marah. Pak, mengejek itu merendahkan harga diri! Mengejek sodara saya sama dengan merendahkan saya! cetus Denis geram. Tapi kamu yang mukul duluan? balik Pak Alex. Ya, karena saya nggak terima! balas Denis.

Kalian mau saling ejek selama tidak bikin onar di sini saya tidak akan repot-repot menyidang kalian! Ini sekolah, di sini ada aturan! Kalian berkelahi di sini, urusannya sama saya, sama kami, kami BP di sini!!! Alasan apapun, siapa yang memukul berarti dia yang membuat perkelahian! Biang perkelahian itu KAMU!!! Aku langsung terperangah saat Pak Alex menuding Denis. Denis membalas tatapan Pak Alex dengan tajam tanpa takut! Jadi menurut Bapak, merendahkan harga diri orang lain itu nggak salah?! protes Denis keras. Nak! Jangan menguji saya! bentak Pak Alex. Harga diri tidak ditentukan dari omongan orang lain. Harga diri dinilai dari cara kamu menerapkan kepribadianmu! Apapun alasanmu, faktanya kamu duluan yang memukul! Perkelahian tidak akan terjadi, pemilik kantin tidak akan mendapat kerugian, kalau kamu tidak memulai pemukulan tho?! gertak guru itu menyala-nyala. Memang orangnya homo, dikatain homo nggak mau celetuk Geri lagi. HEI!!! Kamu juga jangan cengengesan! Kalian semua ini terlibat! Jangan ada yang sok benar!!! bentak Pak Alex yang membuat Geri langsung mengkerut bungkam. Kami berempat diam. Aku melirik Denis, matanya kosong, dengan raut berantakan seperti bukan dirinya yang kukenal Kami berdua kacau! Aku sendiri

nggak mampu membuat pilihan yang meyakinkan untuk bersikap apa di hadapan guru-guru ini. Aku mencerna sesuatu yang nggak adil, tapi pikiranku buntu! Kerugian pihak kantin harus diganti. Tapi itu nanti, setelah kami memintai kesaksian dari pemilik kantin. Untuk saat ini, yang pasti kalian harus menerima sanksi berdasarkan peraturan sekolah! tegas Pak Alex. Hatiku terkesiap, berdebar tegang. Hukuman? Huhhh Masalah yang selama ini terus saja datang, akhirnya sampai juga membawaku pada penghukuman! Ya Tuhan Hukuman seperti apa?!! Sebelumnya kami belum pernah menerima kasus dari kalian. Jadi ini kasus pertama kalian. Tidak akan ada skors. Tapi kalian dikenakan poin pelanggaran! cetus Pak Alex. Dia lalu menunjuk Denis lagi. Khusus kamu, yang bernama Denis, kamu yang memulai pemukulan! Poin pelanggaranmu lebih tinggi dari yang lain! Kami mencatat 200 poin buat kamu! Sekali lagi kamu membuat kasus yang sama, poin kamu menjadi 400 dan itu berarti ada skorsing! Ingat, kalau poin pelanggaran sudah mencapai 500, siswa yang bersangkutan akan dikeluarkan dari sekolah! Denis menghela nafas dengan raut geram. Kepalanya menunduk, menyembunyikan matanya yang tajam penuh rasa tidak terima! Yang lain, kalian bertiga, dikenakan poin pelanggaran 150 poin! cetus Pak Alex seraya memandangi kami bergantian dengan mata galak.

Keringat dingin makin basah di badanku. Perasaan nggak terima, marah dan sakit hati seperti mau meledakkan dadaku! Sampai gemetar aku menahannya! Aku juga bingung, sebagian diriku pasrah, dan sebagian yang lain seakan membenci diri sendiri karena hanya bisa diam! Padahal aku tahu ini nggak adil, tapi aku masih bimbang untuk membela diri! Kalau kesaksian dari pihak kantin sudah kami dapat, kami akan panggil kalian lagi untuk membicarakan masalah kerugian kantin! Sekarang, kalian kembali ke kelas! Kejadian sekarang jangan diulang lagi! tukas Pak Alex menyudahi sidang. Sudah, kembali ke kelas sana Jangan diulangi lagi! timpal Pak Dibyo yang dari tadi lebih banyak diam. Desah lesu menyesak. Dengan gemetar aku berdiri bersama Denis, seraya masih menahan sakit di badanku Kami mulai beranjak Sebentar, sebentar! Pak Alex buru-buru mencegah lagi. Geri sama Ronald kembali ke kelas, tapi kalian berdua tetap di sini! Hahhh? Aku terhenti dengan rasa heran yang menusuk untuk kesekian kalinya di benakku! Begitu juga Denis terhenti dengan raut bingung. Sedangkan Geri dan Ronald acuh meneruskan langkah mereka meninggalkan ruang BP. Duduk. Kalian berdua duduk! tegas Pak Alex dengan gerakan tangan, menyuruh aku dan Denis untuk duduk lagi.

Kami berdua kembali duduk. Ya ampun, apa sidang untuk kami belum selesai?!! Masih ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya gumam Pak Alex sambil memandangi kami dengan raut menyelidik. Apa lagi, Pak? lontar Denis dengan jengah. Saya menyusun fakta-fakta yang saya dengar dari kesaksian kalian semua. Kalian berkelahi gara-gara soal ejekan. Tapi tadi anak yang bernama Geri itu bilang dia tidak merasa mengejek karena menurutnya itu bukan ejekan Pak Alex menjelaskan maksudnya dengan kalimat terpenggal-penggal seolah dia sendiri canggung untuk mengurainya. Tapi rasanya aku mulai menduga! Dadaku kembali berdesir kencang Ya Tuhan, tidak! Jangan singgung itu lagi!!! Anak yang bernama Geri tadi mengatakan, kalau kalian suka sesama lakilaki Jelaskan pada saya, apa maksudnya?!! Kata-kata Pak Alex seperti mau mencabut nafasku!!! Ya Tuhan, benar yang kuduga! Aku benci ini!!! Maksud Bapak apa?! Denis pun langsung mulai panas lagi. Itu awal permasalahannya kan?! Saya ingin tahu seserius apa pangkal permasalahan ini. Siapa yang suka sesama laki-laki? Kamu, atau kamu? kulik Pak Alex menuding aku dan Denis bergantian.

Kami berdua diam Siapa yang dikatai banci? Pak Alex terus mengulik. Nggak ada yang banci!!! sergah Denis. Yang DIKATAI banci?!! tekan Pak Alex. SAYA! Semua mata langsung menatapku. Tapi dua mataku cuma cukup buat menatap Pak Alex yang angkuh itu. Kuadu mataku dengannya! Kali ini aku nggak tahan lagi, kuputuskan menghadapi apa maunya guru satu ini!!! Pak Alex mengernyitkan kening memandangiku. Kamu mengaku, kalau kamu banci? Saya DIKATAI banci! Tapi saya BUKAN BANCI! tegasku tanpa segan lagi. Pak Alex menyunggingkan senyum yang terkesan mencibir. Baik, baik, saya mengerti, istilah banci sepertinya lebih ditujukan buat sifat yang agakagak ya katakan saja feminin Banci itu konotasi yang buruk! sergahku tegas. Baiklah, sekarang saya pakai istilah yang lebih netral saja. Benar kamu suka sesama laki-laki? Rasanya titik didihku nggak bisa lebih panas lagi. Apa urusan Bapak?!!

Pak Alex tampak terperanjat dan beringsut merapat ke sandaran kursinya. Kamu membentak saya?! Pak Alex, ini maksud pembicaraan mau apa? Pak Dibyo yang dari tadi diam sekarang ikut mempertanyakan sikap Pak Alex. Pak Alex menatapku dengan tajam. Saya mencari ketegasan! Jawab saja! Anak-anak tadi bilang kamu MEMANG SEPERTI yang mereka bilang! Benar itu?! Masih kupandangi Pak Alex tanpa rasa segan sedikitpun! Apa maunya guru ini?!! Pak Alex, saya rasa harus ada dasar tujuan dari pembicaraan seperti ini? Pak Dibyo menengahi lagi. Pak Dib, tadi pagi saya dapat kabar dari Pak Solikhul. Kemarin ada geger soal Mading. Sekarang tambah parah! Gara-gara ada yang disebut banci sampai terjadi perkelahian yang bikin rusak kantin! Astaga! Soal rapat Mading itu sampai ke BP juga? Dari mulut Pak Solikhul sendiri yang katanya ingin merahasiakan masalah itu??? Ooo, BAGUS!!! Padahal bertahun-tahun ini sekolah kita tenang! Bikin masalah seperti ini jelas bukan tujuan dari anak-anak disekolahkan di sini! Kita ini Konselor, Pak Dib, kita punya tanggung jawab moral untuk membina kepribadian siswa di sini! Kalau ada siswa yang punya perilaku menyimpang, harus segera ditangani! tegas Pak Alex.

Kalau begitu kenapa cuma kami berdua yang disidang?! Soal perkelahian empat orang terlibat, kenapa yang dua dibolehkan pergi?! protesku. Sekarang bukan soal perkelahian. Soal perkelahian kami sudah memberi sanksi kepada kalian semua secara adil. Sekarang soal akar permasalahannya! Jadi saya minta jawaban yang jujur sekali lagi, jangan berbelit-belit! tegas Pak Alex menatapku tajam. Benar, kamu suka sesama laki-laki? Tatapan mataku kembali beradu tajam dengan Pak Alex. Keadaan sudah nggak logis lagi. Aku punya hak atas identitas pribadiku! Tapi aku juga pantang menyangkal diriku sendiri! Tadi kata anak yang satunya, yang sudah kembali ke kelas sudah banyak yang tahu soal itu? gumam Pak Dibyo ragu-ragu. Tapi saya kira ini sebenarnya soal pribadi, Pak Alex? Hhhh Kemarin Mading, sekarang empat orang berantem, kantin berantakan! Bagaimana bisa ini cukup diterima sebagai soal pribadi? Ini tahapnya sudah menjadi semacam potensi yang bisa menimbulkan keresahan di sekolah! Kalau ini mau disebut ranah pribadi, bagaimana dengan tugas kita membina kepribadian siswa, Pak Dib? Pak Alex balik melontarkan pertanyaan ke Pak Dibyo. Menurut saya, soal pendidikan kepribadian perlu didasarkan atas kemauan siswa itu sendiri Bukan paksaan jawab Pak Dibyo enggan.

Kalau menurut Pak Dib, menyukai sesama jenis itu menyimpang atau tidak? Pak Alex ganti mencecar rekannya. Saya pribadi tidak setuju dengan perilaku seperti itu. Saya sendiri punya anak laki-laki! Tapi kita juga punya batas-batas kapasitas, Pak ujar Pak Dibyo. Pak Dib setuju bahwa homoseksual menyimpang, saya kira sebagian besar masyarakat juga menganggap begitu. Nah, kalau sekolah kita membiarkan perilaku seperti itu, bahkan pengaruhnya sampai memancing perkelahian, sekolah kita bisa dapat malu! Ini dari luar sepertinya sepele, cuma masalah ejek-ejekan. Tapi kalau kita lengah dan tidak tegas, bisa terus berkembang jadi pengaruh yang tidak sehat buat mental siswa lainnya! Ingat, sekolah ini sekolah teladan, Pak Dib! tukas Pak Alex. Pak Dibyo cuma diam mengelus-mengelus dagunya. Tampak bimbang dan nggak mampu melawan Pak Alex yang lebih senior darinya. Sudah. Sepertinya saya tidak perlu lagi bertanya. Anak ini diam saja, berarti dia mengaku! ujar Pak Alex sambil mendengus pelan. Lama-lama Bapak juga merendahkan kami, seperti mereka! Denis yang sempat terdiam sejak tadi, sekarang kembali membalas Pak Alex. Saya tidak merendahkan! Saya ingin kalian jawab ya atau tidak, tapi kalian tidak pernah terus terang dan malah berbelit-belit. Berarti itu tandanya ya!

Kami ini bermaksud baik! Kami mau membina kalian, terutama saudaramu ini! tukas Pak Alex sambil menudingku. Kalau aku bisa menyangkal diriku sendiri, buat apa aku menjalani kondisi yang rumit ini sebagai gay? Orang lain juga sudah banyak yang tahu tentang aku, lalu rasa takut apa lagi yang harus aku perlihatkan di depan guru yang semenamena ini?!! Apa yang mau Bapak bina? tantangku dengan berani. Haha Aku salut dengan mentalmu, Nak! ucap Pak Alex disertai tawa pelan. Lalu dia segera berpaling ke Denis lagi. Sebentar, apa kamu juga sama dengan saudaramu? Kami kembar, bukan berarti sama! Kami nggak sama, tapi bukan berarti saya nggak akan membela sodara saya! jawab Denis tegas. Baik. Terus terang, sebenarnya saya kagum dengan kalian. Saya salut dengan solidaritas kalian! Tapi saya tetap tidak bisa tinggal diam mengenai masalah kalian. Sebagai guru saya tetap punya simpati, karena itulah kami berusaha memberikan solusi yang terbaik. Kami mau membina kalian, bukan menghukum kalian ujar Pak Alex. Apa alasan Bapak sampai begitu yakin kalau saya butuh pembinaan? tanyaku tanpa bersimpati terhadap pujiannya. Karena homoseksual itu menyimpang. Itu jelas! jawab Pak Alex.

Kenapa menyimpang? Apa dasarnya? kejarku. Pak Alex mengernyitkan dahi. Norma masyarakat! Sudah jelas! Sejak kapan masyarakat kita mengakomodasi perilaku seperti itu? Apa menyimpang itu selalu merugikan orang lain, Pak? sanggahku. Kalau kamu pacaran sesama jenis dengan anak orang lain, kamu pikir orang tuanya akan senang? Akan bangga? Bukan soal untung-ruginya, tapi nilai moralnya! Bisa saja kalau kamu kaya, kamu membeli anak orang lain dengan uang banyak, mereka tidak rugi materi tapi tetap saja itu bukan moral yang baik! Kalau saya suka sesama laki-laki, itu hak saya. Saya punya hak untuk membuat pilihan hidup. Kapan anak jadi dewasa kalau tidak boleh memiliki pilihannya sendiri? Kalau ada orang yang merasa berhak memaksakan pilihan kepada orang lain, apakah itu moral yang adil? Makanya, saya bingung soal moral yang Bapak sebut Ya ampun!!! Pak Alex menggebrak meja lagi. Baik, saya anggap ini bagian dari pembinaan buat meluruskan cara pikirmu yang rupanya memang sangat parah, Nak! Sangat parah! guru itu melotot geram memancarkan kekesalannya. Saya ini jadi guru BP, jadi Konselor anak-anak macam kalian ini, bukannya tanpa belajar dari banyak ilmu! Saya sudah pelajari sampai habis buku Patologi Sosial, homoseksual itu penyakit masyarakat! PENYAKIT! Itu DOKTOR yang bilang, lebih pandai dari saya, lebih pandai dari kamu! Apa ada masyarakat kita mengawinkan sesama jenis? Tidak ada! Dari segi kesehatan saja

itu juga kotor tho?!! Dari segi biologis itu juga tidak menghasilkan keturunan! Sudah jelas itu melanggar kodrat! Kamu mau membuat pilihan hidup, silakan! Tapi tentunya pilihan hidup yang benar tho?!! Kalau anak saya seperti itu, apanya yang saya banggakan? Apamu yang dibanggakan orang tuamu?!! Kamu pikir mengecewakan orang tua itu sendiri moral yang adil?! Orang tua saya bangga dengan prestasi saya! ucapku datar. Syukur kalau kamu punya prestasi! Tapi tunggu sampai mereka tahu kalau kamu suka sesama laki-laki, prestasimu tidak akan mengobati rasa kecewa orang tuamu, Nak! gertak Pak Alex. Jadi menurut Bapak, lebih baik punya anak laki-laki yang goblok, pengangguran, nggak punya prestasi, tapi yang penting menikah sama perempuan? Gitu, Pak? Memangnya ada perempuan yang bangga dinikahi lakilaki seperti itu? balikku tanpa susah-susah. Pak Alex langsung mendelik. Ya bukan terus seperti itu! Kalau orang tua tahu caranya mendidik anak, tidak bakal ada anak seperti itu! Orang tuamu itu membesarkan kamu bukan tanpa duit, bukan tanpa keringat, apa demi anaknya jadi homoseks? Nalarnya TIDAK, tho?! Manusia dididik oleh banyak hal, nggak cuma ditentukan oleh orang tua, Pak. Nggak semua hal bisa dituntut oleh orang tua! Saya juga tidak menyalahkan orang tua atas kondisi saya. Jadi Bapak nggak usah menilai soal bangga atau kecewanya orang tua saya, anda tidak tahu apa-apa karena anda bukan orang tua saya!

Pak Alex mengelus jidatnya yang berkeringat. Pak dibyo termangu tanpa komentar. Denis di sampingku lebih tenang sikapnya dibanding tadi. Ya, lebih baik begitu. Sudah saatnya aku yang bicara! Nggak selayaknya aku terus-terusan diam, karena ini adalah masalahku! Aku harus bisa membela diriku sendiri! Kamu ini belum ada separuh dari umur manusia, Nak! Separuh umur saya juga belum! Pak Alex masih mencecarku, masih kelihatan keangkuhannya sebagai orang yang merasa jauh lebih tua dan lebih pandai. Apa alasan yang membuat kamu merasa benar menyukai orang lain dengan cara seperti itu? Kenapa dihubungkan sama umur, Pak? Apa soal cinta saya harus menunggu sampai seumur Bapak? Buat saya, kalau saya merasa NYAMAN menyukai seseorang, maka saya anggap saya berada di tempat yang benar! jawabku mantap. Hahaha Ya gini ini, anak muda itu memang sukanya model begini ini! Sok bicara cinta Pak Alex tergelak mencibir sambil menuding-nudingkan telunjuknya. Kan Bapak sendiri yang nanya! gumamku dengan kesal. Siapa yang sok? Nak, saya ini sudah menikah selama hampir 20 tahun! Jangan anggap saya ini tidak tahu apa-apa soal cinta. Memang bisa saja kamu merasa NYAMAN menyukai atau mencintai orang lain. Tapi laki-laki yang beres itu cintanya sama perempuan! Itulah kenapa ada dua jenis kelamin yang berbeda! Kodratnya sudah begitu!

Jadi Bapak mencintai istri Bapak selama hampir 20 tahun itu hanya karena dia perempuan? cetusku membalik lagi kata-kata Pak Alex. Pak Dibyo langsung menahan tawa. Denis juga. Pak Alex langsung melotot lagi dengan muka makin merah padam! Hei, hati-hati bicaramu! Pak Alex menudingku lagi. Cinta itu banyak isinya! Bukan cuma soal kelamin! Tapi pikiran yang waras harusnya bisa memilah mana sasaran yang benar, mana yang salah! Dari sisi mana homoseksual bisa dibenarkan?! Cara yang dilakukan saja sudah kotor! Juga tidak mungkin menghasilkan keturunan! Jadi mencintai dalam kondisi seperti itu, benarnya di mana?!! Kamu boleh bilang cinta itu buta, Nak. Tapi kamu tidak bisa menentang hukum alam! Hukum alam sudah mengatur bahwa laki-laki itu pasangannya adalah perempuan! Lama-lama, disela-sela rasa muakku, aku mulai menemukan bagian yang membuatku tergelitik Sebentar maaf ya Pak, ya Bapak setuju dengan kontrasepsi nggak, Pak? tanyaku. Ngelantur apa lagi kamu ini?!! Pak Alex ngedumel dengan muka seperti kertas diremas. Kenapa kalau saya setuju?! tukasnya. Bapak setuju? Kenapa? Kamu bisa bikin pulau buat menampung ledakan penduduk?! tukas Pak Alex.

Bapak berbelit-belit, berarti Bapak setuju! simpulku enteng. Bicara soal hukum alam, bukankah berkembang biak itu konsekuensi alami dari hubungan seksual antar jenis? Ditinjau dari hukum alam, peledakan penduduk itu konsekuensi dari intensifnya hubungan seksual antar jenis. Jadi kalau Bapak setuju dengan kontrasepsi, Bapak sendiri juga mangkir dari hukum alam! Pak Alex melongo. Wajahnya berubah ungu. Nggak tahu, apa itu malu, atau karena naik pitam. Konteksnya jelas beda! KB itu bertujuan positif! Manusia punya kondisi yang lebih komplek dibanding binatang! Tidak hanya menanggung masalah lahan tempat tinggal, tapi juga konsekuensi ekonomi! debat Pak Alex sengit. Kalau begitu bukankah homoseksual malah lebih berjasa dibanding KB? Karena KB masih bisa bocor sahutku enteng. Tapi KB tetap steril, tidak kotor seperti yang dilakukan orang-orang homoseks! Kenapa Bapak bilang kotor? Ya jelas kotor, kamu ini gimana sih?!! Melakukannya di lubang kotoran!!! tukas Pak Alex sambil mendelik. Maksud Bapak, lubang anus? Dipikir sederhana aja deh, Pak Kalau lubang vagina dianggap lebih bersih, kenapa bisa kena Keputihan? Kenapa bisa ditempati bakteri sifilis? Saya malah belum pernah dengar ada lubang anus kena

Keputihan Maaf ya Pak, itu logika sederhananya aja Bersih atau kotor itu soal teknis, tergantung orangnya! Denis menahan tawa. Pak Dibyo garuk-garuk kepala. Pak Alex menghentakkan kakinya dengan mengatupkan rahang. Pertanda geramnya makin jadi. Dia lalu merapatkan kedua tangannya di atas meja, dan menatapku dalam-dalam. Tajam! Sudah, jangan membahas yang vulgar lagi, saya hampir saja mau menamparmu! desis Pak Alex tajam dan berat. Apa agamamu, Nak?! Kenapa harus ungkit-ungkit agama, Pak? gumamku jengah. Jawab saya! Agama apa yang menyebut homoseksual itu benar?! bentak Pak Alex. Pak, terus terang saya nggak hafal sama ayat-ayat kitab suci. Tapi setahu saya, dalam satu agama aja pandangan terhadap satu masalah bisa beda-beda tafsirannya Saya nggak mau jadiin agama buat debat kusir, Pak! ucapku jengah. Apa yang membuat kamu yakin kalau kamu tidak berdosa jadi gay?! hardik Pak Alex. Mungkin memang dosa, Pak. Atau mungkin juga enggak. Saya akui saya bukan orang saleh. Tapi itu urusan saya sama Tuhan. Anggap saja moral kita beda, tapi apakah saya melanggar hak Bapak? Atau adakah hak orang lain yang saya

rebut? Tolong tunjukkan saja, Pak! Kalau Bapak nggak bisa menunjukkan, tolong jangan hakimi saya karena itu berarti Bapak-lah yang melanggar hak saya! Saya camkan, saya tidak berniat menghakimi kamu. Tapi saya ingin meluruskan hal yang benar untuk membina kamu! hardik Pak Alex. Cuma beda istilah, Pak. Prakteknya Bapak membuat saya tertekan! Seumur-umur saya nggak pernah mendebat orang tua. Tapi sekarang saya merasa Bapak terus menekan saya, sebaiknya Bapak tahu bahwa saya nggak akan ragu buat membela diri! balasku tanpa segan. Pak Alex sekarang terdiam. Matanya berapi-api menatapku. Ya, seperti api yang menyala tapi nggak mampu menjilat apa yang ingin dibakarnya! Pak Alex, saya kira pembicaraan ini terlalu berlarut-larut. Saya merasa pembicaraan sudah melebar kemana-mana. Sebaiknya mereka diijinkan kembali ke kelas saja desah Pak Dibyo dengan wajah penat. Mereka akan segera kembali ke kelas, ucap Pak Alex datar. Ya, Pak Dib sendiri menyaksikan betapa keras kepalanya anak ini! Dia tetap merasa dirinya itu benar. Setidaknya kita sudah berusaha meluruskan perilakunya yang keblinger. Kita tidak berhasil berarti terpaksa kita harus perkataan Pak Alex terputus, dia nampak berpikir-pikir dengan serius Bagaimana? desak Pak Dibyo. Kita serahkan kepada orang tuanya saja

Ucapan Pak Alex seketika membuatku Ya Tuhan Apa yang barusan dia ucap?!!! Orang tuanya? Ya, Pak Dib, orang tuanya pasti lebih efektif! Tidak!!! Tidak!!! GURU-GURU ITU BERCANDA!!! Apa yang akan Bapak lakukan?!! Bapak tidak bisa seperti itu!!! Denis langsung memprotes dengan keras. Nak, sudah! Kami sudah berusaha meluruskan saudaramu dengan baikbaik, tapi dia malah terus melawan! Tindakan selanjutnya adalah wewenang orang tua kalian! kilah Pak Alex datar. Bapak sadar? Bapak bisa mengacaukan keluarga kami! seru Denis. Nak, kami tidak bermaksud mengacaukan keluargamu. Kami sudah faham masalah anak muda, orang seusia kalian ini kalau sudah meyakini sesuatu tidak bisa lagi menerima pendapat orang lain, termasuk guru seperti kami ini. Tapi saya beri tahu, kalau kalian yakin dengan sesuatu bukan berarti itu pasti benar! Kami lebih tua dari kalian, kami lebih banyak pengalaman soal prinsip, dan orang selalu menyesal saat prinsipnya terbukti salah. Banyak orang yang sadar di saat sudah jatuh! Itu yang kami tidak ingin terjadi pada kalian! ujar Pak Alex ketus. Tapi itu urusan kami! Urus saja keluarga Bapak sendiri! sentakku dengan amarah meluap.

Kalau saya cuma peduli dengan keluarga saya sendiri, saya tidak akan jadi Konselor di sekolah ini! Orang tua kalianlah yang menitipkan kalian untuk dididik di sini! Orang tua kalian membutuhkan laporan mengenai kalian! Kalau kalian punya masalah yang tidak bisa kami tangani, bagaimana bisa kami menutupinya dari orang tua kalian? Kami punya tanggung jawab kepada orang tua kalian! Aku berdiri dari dudukku. Pak, tolong ucapku gemetar. Denis memegang tanganku, menarikku pelan untuk kembali duduk Duduk, Nak ucap Pak Alex datar tanpa menatap wajahku. Mas Denis masih menarikku. Tanpa daya aku terduduk lagi dengan lesu. Pak, keluarga kami akan menyelesaikan soal Dimas, tapi bukan sekarang! Cuma kami yang tahu waktu paling tepat buat masalah ini! Dan kami nggak butuh campur tangan orang lain! sergah Denis berusaha mencegah Pak Alex. Apa itu benar-benar perlu, Pak Alex? Pak Dibyo masih bimbang. Pak Dib, ini tidak cuma tanggung jawab kita kepada siswa, tapi juga reputasi sekolah. Kita jangan membuat celah sedikitpun. Potensi masalah ini sudah jelas! timpal Pak Alex kaku.

Nggak ada niat sama sekali dari saya buat mempermalukan sekolah ini! desahku gundah dan tersendat Saya tak mungkin secepat ini lupa bagaimana kalian mendebat saya. Kalau saya butuh jaminan, orang tua kalianlah yang bisa menjamin ucap Pak Alex seraya memalingkan mukanya dengan senyum menyiratkan rasa menang. Kami akan mengatur visitasi untuk memberikan laporan kasus ini kepada orang tua kalian. Saya tidak akan berdebat dengan kalian lagi. Sudah. Kalau Bapak memaksa, membuat keluarga kami kacau, Bapak akan menyesal! desis Denis tajam. Saya bisa menambah poin pelanggaran kamu jadi 400, Nak, karena kamu mengancam guru! Tapi saya memaklumi emosimu. Untung saja Bu Kamti sedang tugas di luar! Kalau yang menangani beliau, sudah habis kalian berdua! Kami tahu apa yang seharusnya kami lakukan demi kebaikan kalian Sudahlah, sebaiknya kalian kembali ke kelas saja! ucap Pak Alex dingin, diiringi anggukan Pak Dibyo. Ruangan hening. Aku diam membeku. Denis juga membisu. Putus asa dan amarah mengaduk semua yang ada dalam diriku. Muak, perih dan gusar, serasa tinggal itu yang tersisa dalam kelumpuhanku di tempat dudukku. Sudah, kalian kembali ke kelas sekarang suruh Pak Dibyo. Mataku mengambang tanpa arah. Denis menggamitku, menggandengku berlalu dari hadapan guru-guru itu

Dengan lesu aku melangkah meninggalkan ruangan, menapaki lantai koridor yang lengang dalam kebisuan. Diriku serasa sebuah kesatuan amarah dengan potongan-potongan kesadaran yang terpencar bersama kegalauan yang menggantung seperti bayangan yang menggelapkan seluruh pikiranku! Orang tuaku, keluargaku Mereka akan diberi tahu soal anaknya ini??? Ya Tuhan, apakah yang akan kuhadapi setelah semua ini??? Menghadapi kemarahan mereka, kekecewaan mereka dan kehilangan mereka??? Keluarga yang kusayangi??? Langkahku terhenti oleh rasa pahit yang menyengat dalam batinku Ya Tuhan Aku takut Sangat takut Mas? Denis ikut berhenti seraya menatapku dengan hampa. Sebuah wajah tanpa harga Lihat Ini gara-gara ulahmu cekatku lirih. Denis menundukkan kepalanya. Menyembunyikannya dariku Berapa kali harus kuulangi? Cara yang kamu pikir bisa membelaku, hanya bikin masalah makin besar Lihat sekarang jadinya! ucapku gemetar.

Kudengar suara yang belum pernah aku dengar sebelumnya Suara yang membuat hatiku makin hancur Suara Denis yang terisak menyeka matanya Maafin gue, Mas isaknya lirih. Dan dia berlalu dariku. Melangkah labil, meninggalkanku di lorong koridor yang senyap ini, membisu terpaku dengan perihku sendiri Ya Tuhan, aku nggak lebih kuat darinya Kenapa? Kenapa air mataku harus jatuh seperti ini lagi?!!

KANTONG 31 : Di Bawah Gerimis

Bunyi bel sekolah baru saja bergema. Tanda pelajaran terakhir telah berakhir. Menyusul pula HP-ku yang membunyikan sinyal SMS Gw gk lngs plg ke rmh, lu bw aja mtrny. Gk ush tgu gw.. SMS dari Denis. Terserah batinku bergumam. Masalah sudah menimbunku seperti kotoran. Masih ada yang mau memintaku berpikir lagi? Ambil saja otakku sekalian kalau mau! Teman-temanku mulai beranjak meninggalkan ruang kelas dengan gaduh renyai yang mengiringi kaki mereka menuju pintu. Kukemasi buku-bukuku, kumasukkan ke dalam tas. Berikutnya aku masih diam di kursiku, dengan tatapan kosong tanpa arah. Menahan penat dan ngilu di batinku. Sakit perih di igaku Huhhh Terasa makin buruk! Kamu nggak pulang, Mas? tanya Misha yang rupanya juga belum beranjak dari kursinya. Aku bisa pulang sesukaku. Kamu sendiri kenapa nggak pulang? balasku acuh. Misha nggak membalasku.

Kutaruh tasku di atas meja sambil mendekapnya dengan dua tanganku. Aku terpekur menatap lalu lalang teman-temanku yang bersusulan meninggalkan ruang kelas, pulang. Kelas ini dalam sekejap segera kosong, cuma menyisakan aku dan Misha berdua Tabah ya, Mas akhirnya Misha berucap lagi dengan pelan. Sorry, aku nggak bisa bantuin apa-apa Bantuin? Memangnya mau ikut berantem belain aku, Mis? Denis yang cowok aja aku tampar gara-gara nggak mau berhenti berantem, apalagi kamu yang cewek? ucapku mengawang. Kamu bakal nampar aku juga? Maksudku aku tercekat, sadar kalau ada yang salah dengan ucapanku. Aku nggak mau sesuatu harus diselesaikan dengan berkelahi! Apalagi kamu cewek, mana tega aku minta kamu berkelahi? Aku juga nggak bakal milih buat berantem. Maksudku, aku mungkin harus bantuin kamu dengan cara lain desah Misha. Tapi kenapa juga kamu musti nampar Denis? Aku bimbang, menerawang kembali adegan-adegan di kantin tadi. Perkelahian menghadapi Geri dan Ronald. Lalu kalimat-kalimat menyakitkan di ruang BP, debat tanpa pencerahan Intimidasi! Kalau mau belain aku, harusnya dia pikir dulu bakal seperti apa ujungnya! Dia melampiaskan kemarahannya, tapi sekarang masalah bukannya

selesai malah tambah runyam! Kalo nggak aku hentikan, perkara akan tambah parah lagi, Mis! jelasku dengan perasaan gundah. Orang marah memang bisa kalap Tapi Denis marah karena dia juga nggak bisa lihat kamu diejek terus sama mereka desah Misha. Aku terdiam. Ya, aku tahu itu. Tapi aku tetap terpukul dengan hasil dari semua ini! Jelas, perkelahian itu hanya membuat masalah makin kacau sekarang! Dan kata-kata guru BP itu masih terus terngiang mengusik kepalaku. Rencana visitasi itu Ya Tuhan!!! Terus masalah sama BP gimana? Misha bertanya lagi, mengungkit apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku! Aku menghela nafas dengan berat. Kena poin pelanggaran. Selain itu BP juga mau visitasi ke rumahku cetusku lesu. Hah? Ke rumahmu? Mau apa? Ngelaporin ke orang tuaku Ngelaporin apa? Ngelaporin kalo aku gay!!! Misha terperangah dan terpana padaku Ngelaporin? Kenapa masalahnya bisa jadi sejauh itu?!

Nggak ngerti. Aku udah capek mikirnya, Mis Intinya BP tahu soal aku, terus mereka mau ngasih pembinaan! Shit! racauku gundah. Kenapa mereka sampai berniat ke orang tuamu? Karena mereka nggak mau ada homo di sekolah ini!!! Tapi kenapa bukan ditangani oleh mereka sendiri? Mereka kan biasa ngasih konseling, kenapa langsung dilaporin ke ortumu? Karena aku nggak butuh konseling! Tapi mereka maksa aku harus sembuh! Menurutmu aku perlu disembuhin apa nggak?!! bentakku emosi. Misha terdiam dengan wajah tercekat. My God Kuremas-remas kepalaku yang terasa keruh! Sorry, Mis Aku jadi bentak-bentak kamu desahku lirih dengan rasa sesal. Sorry, aku lagi kacau Aku rasa aku sedang nggak cocok di dekat siapapun Aku butuh waktu Misha memeluk tasnya dan dengan pelan berdiri dari duduknya. Dia melangkah kecil menuju pintu keluar. Sebenarnya aku ingin bisa bantu kamu, lebih dari sekedar ngasih kamu waktu buat sendiri Tapi mungkin memang itu yang paling kamu butuhkan sekarang Mungkin aku memang cuma bisa ngasih itu ucap Misha lirih ketika dia berhenti sesaat. Semoga cepat selesai, ya Mas Semoga kalian berdua juga baik-baik aja

Aku menatap Misha dengan pandangan layuku. Dia tersenyum sayu. Thanks ucapku pelan seraya mencoba tersenyum. Misha cuma mengangguk pelan. Lalu berlalu dari hadapanku. Sekarang tinggal aku sendiri di sini. Terpuruk dalam rasa hilang Di saat nggak tahu harus berbuat apa, di saat nggak tahu harus berada di mana, di saat nggak tahu kapan kesulitan akan berakhir, itulah yang membuatku dihinggapi rasa ini Aku belum pernah merasakan tekanan seberat ini! Rumah. Papa, Mama Berapa hari lagi, saat mereka akan tahu soal anaknya ini? Apakah waktuku tinggal sedikit buat menjalani keramahan sebuah keluarga, kenyamanan sebuah rumah? Apakah aku sedang menanti kemarahan besar yang beberapa hari lagi akan meledak di sana? Akhirnya Kukenakan jaketku. Kurengkuh tasku. Perlahan aku berdiri meski rasanya rapuh untuk memegang arah. Kuambil langkah, kutinggalkan ruang kelas yang sunyi ini Sesaat mataku melongok langit, dan baru kusadari mendung yang cukup buram menggantung di sana. Kupercepat langkahku menyusuri koridor, menyeberangi halaman, menuju ke tempat parkir di mana motorku berada. Kuraih motorku dan kunyalakan, lalu segera keluar dari lingkungan sekolahan yang hari ini sudah menjadi neraka bagiku! Kutelusuri gang kecil yang masih menyisakan beberapa anak yang berjalan kaki, dan beberapa anak

nongkrong di pinggiran dengan seragam sekolah yang sama denganku. Aku melaju tanpa peduli Ooohh Mataku yang lelah ini rupanya masih cukup tajam buat mengenali salah satu sosok yang tengah berjalan agak jauh di depanku. Meski membelakangiku dan belum kulihat wajahnya, tapi aku merasa yakin! Ibarat kedip bara di ujung lilin yang mulai kembali menjadi lidah api, kecil tapi memberiku sesuatu Memberiku sepercik semangat! Fan! sapaku saat menyebelahinya Fandy yang berjalan kaki langsung menoleh agak terkejut padaku. Naik aja sini bareng aku, daripada jalan kaki tawarku dengan geliat senyum. Aku seolah mendapat semangat kembali, saat kudapati dia ada di dekatku lagi Tapi Dalam sekejap saja senyumku kembali ragu Fandy nggak seperti biasanya Dia cuma memandangku sekilas dengan kesan canggung. Lalu memalingkan mukanya lagi tanpa bilang apa-apa Kamu nggak apa-apa kan? tanyaku seketika jadi agak canggung karena responnya yang pasif itu. Ayo, bareng aja sini! tawarku lagi. Nggak usah jawab Fandy singkat dan dingin. Kamu kenapa? tanyaku jadi gelisah.

Nggak apa-apa jawab Fandy malah makin kelihatan jengah dan mempercepat langkahnya. Aku sadar bahwa pasti ada masalah! Kutambah gas motorku, melaju sekejap mengambil jarak agak jauh di depan Fandy. Lalu aku berhenti dan segera turun dari motor, kulangkahkan kakiku dengan sigap menghampiri Fandy. Kami berhenti berhadapan. Fandy langsung membuang muka lagi. Tolong bilang dong kalo ada masalah! lontarku resah. Nggak ada apa-apa! Fandy masih berkelit. Kalo nggak ada masalah kamu pasti berani lihat aku. Kamu buang muka terus, kamu nyembunyiin sesuatu! Fandy diam. Masih menghindar untuk menatapku Ada masalah kan? Bilang aja! desakku makin cemas. Perlahan Fandy mulai menatapku. Kamu nggak mau aku

menyembunyikan sesuatu. Tapi kamu sendiri selama ini menyembunyikan sesuatu kan, Mas? Jujur aja! cetusnya dengan wajah masam. Aku terhenyak. Maksudmu?

Aku udah tahu soal kamu, Mas Aku udah dengar Dan ternyata juga udah banyak yang tahu Tahu apa? bibirku tercekat berat. Udah lah, Mas Nggak usah pura-pura nggak ngerti. Hari ini sampai ribut di sekolahan gara-gara masalah itu kan? cetus Fandy dengan tatapan pahit. Perlahan aku menghelas nafas seraya menekan risau hati yang makin jadi. Ya Tuhan, ternyata aku juga harus menghadapi ini darinya! Hhhhhhh Baiklah. Aku cukup peka untuk memahaminya Okey aku ngerti maksudmu. Kamu dengar kalo aku gay kan? desahku pahit. Fandy diam membisu tanpa tanggapan. Ya Berarti memang itu yang telah didengarnya. Akhirnya dia tahu! Hahahaha Hebat sekali hari ini! Sudahlah, Mas Aku mau pulang gumam Fandy seraya meneruskan langkahnya, melewatiku Fan! panggilku tertahan. Jadi sekarang kamu mau ninggalin aku?! Fandy terhenti lagi. Dia berpaling lagi padaku dengan wajah jengahnya. Mas, kamu mau aku gimana?! ujarnya ketus.

Kuremas-remas kepalaku menahan gundah yang serasa mau menggiling kewarasanku. Aku lagi jatuh sekarang kamu orang yang aku harap bisa support aku! Aku nggak bisa nerima keadaan kayak gini, Mas! Apa yang nggak bisa kamu terima? tanyaku terbata. Hubungan kita sepertinya mulai salah! Salah? Salah apa? Fandy mendesah seraya mengusap-usap wajahnya yang kelihatan kusut. Aku juga bingung, Mas Jadi tolong jujur aja ke aku! tukasnya bimbang. Buat kamu, kita cuma berteman, atau lebih?! Pertanyaan tajam yang dilontarkan Fandy, membawaku berdiri di atas satu titik kebimbangan yang paling dilema. Ini pertama kali aku harus menghadapinya dalam keadaan sekacau ini, di hadapan emosinya yang belum pernah kutemui serumit ini Di hadapanku, dia sedang menuntut pengakuanku! Akhirnya Yaa Aku memang berharap lebih Aku mengaku Raut wajah Fandy menorehkan tanda bahwa perasaannya terpukul makin keras Telapak tangannya sekejap mengatup di wajah, lalu terbuka lagi bersama senyum pahit yang mengembang berat di bibirnya

Sejak aku dengar tentang kamu, aku sudah menduganya, Mas! desah Fandy melesakkan nafas. Apa itu yang kamu anggap salah? Yaa Kenapa? Karena Aku nggak bisa menjalani seperti yang kamu harapkan, Mas! Kalo kamu nggak bisa, kamu nggak perlu menjalaninya, Fan Aku nggak akan maksa kamu! ucapku pahit, gemetar Kamu nggak maksa, tapi kamu berharap kan, Mas? ujar Fandy dengan senyum masam dan menatapku lekat. Aku nggak bisa ngasih harapan yang nyata Tapi aku juga nggak mau ngasih harapan palsu! Jadi maksudmu pertemanan kita sebaiknya berhenti? Apa itu berarti semua yang pernah kita bagi selama kita berteman jadi nggak ada artinya? cekatku dengan tawa pahit Aku nggak tahu, Mas Kita memang begitu cepat berteman Kuakui, aku juga begitu cepat menganggapmu kakak Aku nggak bermaksud merasa lebih baik darimu, tapi aku juga nggak bisa kalo harus ngikutin perasaanmu, aku Fandy tercekat, terputus kalimatnya

Aku juga cuma bisa terdiam menghadapi Fandy yang terlihat kian bimbang Sampai lama-lama aku nggak mampu lagi melihat wajah rapuh dari orang yang kusayangi itu. Kami berhadapan, berdiri di sisi jalan yang makin sepi ini dengan gundah kami Aku butuh waktu buat memikirkan lagi semuanya, Mas Dari sejak awal pertemanan kita, sampai kenyataan yang baru aku ketahui soal kamu Aku bingung. Please, jangan menuntut apa-apa dulu dariku dan juga jangan berharap apapun ucap Fandy lirih. Kamu nggak perlu ngasih aku harapan kalo kamu memang nggak bisa, entah itu harapan nyata ataupun palsu Aku tetap mau jadi temanmu, atau jadi kakakmu selama kamu tulus menghendakinya Aku nggak akan maksa ucapku getir. Wajah Fandy nanar mengawang. Apa itu paksaan yang halus? gumamnya dengan senyum nyinyir dan pahit. Aku tersenyum getir. Aku bilang, selama kamu tulus ucapku pelan. Akhirnya Perlahan kuambil langkahku, meninggalkan Fandy yang masih terdiam berdiri di tempatnya. Perasaanku nggak pernah sehampa ini. Bongkah-bongkah beban, satu per satu tersusun dengan sempurna di pundakku! Di langkah keberapa aku akan jatuh dengan semua beban ini? Hahahaha Atau masih ada lagi yang lain?

Belum sampai aku meraih motorku, sesuatu mengejutkanku Sekelompok penunggang motor dengan bunyi mesin menderu-deru. Mataku terbelalak gugup melihat mereka menuju ke arahku Mereka tidak memakai kemeja seragam, tapi jelas celana yang mereka pakai adalah celana seragam SMA Dengan segera aku sadar sesuatu sedang mengancamku, saat kukenali dengan jelas salah satu penunggang motor itu adalah Geri!!! Ancaman makin serius dan aku nggak mampu berucap karena kegugupanku memuncak! Mereka turun dari motor dan mengepungku! Geri dan teman-temannya, sekitar 6 orang, menghadangku dengan seringai di wajah mereka! Masalah kita belum selesai! tukas Geri dengan sunggingan culasnya. Kamu mau apa?! desisku menghadapi gerombolan itu. Nyelesein masalah. Harusnya sodara kamu yang sok jagoan itu yang harus dikasih pelajaran! Aku nggak bangga menghajar banci kayak kamu! Tapi biar nggak bangga, kayaknya masih bisa bikin puas juga sih seringai Geri sambil meremas-remas kepalan tangannya. Guys, sandsack empuk nih!!! Bukkk! Tiba-tiba satu pukulan Geri mendarat ke pipiku Aku terhuyung, tapi masih mampu menyeimbangkan tubuhku, belum sampai tersungkur! Dan aku cukup sadar membaca pukulan kedua yang sudah hampir menyusul ke wajahku

Aku berhasil menangkisnya dan BUKKK!!! Kali ini secara spontan aku membalas dengan pukulanku menghantam dagu anak itu!!! Uuuggghhhh!!! Geri mengerang, terpelanting sambil memegangi dagunya. ANJIIIINGGGG!!!! Guys, hajaaaarrr!!! Buuukkkkk!!! Seketika satu pukulan kembali menghantamku, mendarat di pelipisku. Kali ini aku benar-benar terpelanting Tubuhku jatuh ke aspal! Sakit luar bi asa dan kepalaku pening bukan main! Sampai aku mengaduh tapi nggak bisa mendengar suaraku sendiri! Kepalaku sakit sekali! Buuukkk!!! Buuukkk!!! Buuuukkk!!! Entah berapa kali pukulan dan tendangan mendarat di badanku yang nggak berdaya di atas aspal Kesakitanku bikin aku nggak bisa menghitungnya, bahkan aku nggak bisa menyadari lagi semua yang ada di sekitarku selain hantamanhantaman yang menyambar tubuhku Aku mengerang kesakitan. Entah untuk berapa lama Lalu ada yang menarik kerah bajuku ke atas. Tubuhku dicampakkan, terduduk di atas aspal. Aku menggeliat kesakitan, tapi malah tamparan-tamparan kembali menghujani kepalaku

Bangun banci!!! Hei, bangun!!! salah satu dari mereka mengarahkan kepalaku ke hadapannya sambil menampar-nampar pipiku Aku terus mengerang, sedikit demi sedikit fokus kesadaranku mulai terkumpul lagi. Aku melihati orang-orang yang mengeroyokku Yang paling dekat, yang berulang kali menamparku Udah melek hahhh?!! Sekarang dengerin ya!!! Dengerin!!! Geri menampar kepalaku lagi. Bilang ke sodaramu yang sok itu, dia musti ati-ati! Dia tinggal nunggu giliran buat nerima pelajaran yang sama kayak kamu! Ngerti?!!! Anjinggg!!! Geri menjengkangkanku sampai aku tersungkur lagi di atas aspal. Mereka lalu segera pergi. Langkah-langkah mereka menggema di telingaku, lalu hilang disusul oleh raungan suara motor mereka Berlalu, menjauh Pergi. Dengan sisa tenaga dan kesadaran, sambil menahan sakit yang amat sangat, perlahan aku bangkit. Aku terduduk di atas aspal, mengeja nafas yang dideru oleh pedihnya memar di sekujur badanku Tanpa kukira, satu per satu orang mulai berlari kecil menghampiriku. Beberapa anak berseragam SMA keluar dari tempat nongkrong mereka seorang tukang becak yang segera turun dari sadelnya juga ikut menghampiriku seorang pengendara sepeda berhenti lalu cuma berdiri menatap terheran-heran dan beberapa orang yang lain Kesadaranku makin penuh melihat sekelilingku

Anak-anak berseragam SMA itu mencoba memapahku. Segera kutahan dengan tanganku Nggak usah Nggak apa-apa ucapku seraya menahan perih di bibirku yang memar. Lukamu kayaknya parah?! ujar salah satu dari mereka. Ini, Dik, minum ini dulu! tukang becak itu tanpa aku nyana membawakan segelas air mineral dan menyodorkannya padaku. Nggah usahhh Terima kasihhh tolakku sambil mengernyit menahan sakit. Di bawa ke rumah sakit aja Takutnya lukamu parah Biar istirahat dulu! Suara mereka bersahutan memberiku perhatian Tapi Satu hal membuatku bangkit dan dengan susah payah menerobos mereka Karena kulihat Fandy masih di tempatnya tadi, di sana terduduk lesu di atas aspal dan beberapa orang juga tengah mengerumuninya Fan! panggilku sambil terpincang-pincang menghampirinya. Begitu dekat, kulihati keadaannya Aku tercekat! Nampak beberapa memar di sekitar kepalanya Ya Tuhan Dia juga dipukuli seperti aku?!!

Kamu nggak apa-apa, Fan? aku terpana menatap keadaan Fandy Fandy cuma menggeleng lesu. Mereka mukulin kamu juga?!! suaraku tertahan Lalu orang-orang mulai menimbrung lagi Ini kenapa tho, Dik, kok sampai tawuran?! Mereka satu sekolah sama kalian juga ya? Tapi mereka tadi ndak pakai seragam Pakai kaos semua?! Tapi celananya abu-abu, pakai sepatu semua Bawa tas! Dilaporin saja ke sekolahannya! Tapi kan kejadiannya sudah di luar jam sekolah? Suara terus riuh bersahutan mengomentari keadaan ini Tapi nggak ada yang bisa mengalihkan mataku, yang menatap pedih keadaan Fandy yang tanpa kusangka ikut dipukuli Ya Tuhan Sejauh ini?! Terlalu jauh! Keterlaluan!!! Ada yang menyodorkan sesuatu lagi padaku. Dik, ini ada kapas sama obat merah, dirawati dulu lukanya Terima kasih, Bu ucapku sambil menerimanya. Kurawati lukaku tanpa menghiraukan omongan-omongan yang terus mengalir di bibir para pengerubung itu. Ya, dalam hati aku tetap mencoba

berterima kasih pada mereka karena telah bersedia peduli dengan keadaanku sekarang Hanya saja di pikiranku tetap terbersit, apa yang dilakukan orangorang ini saat Geri dan gerombolannya tadi masih memukuliku? Menonton? Setelah selesai baru mereka menghambur kemari? Entahlah Bagaimanapun aku masih cukup kuat untuk bangkit lagi dengan memar-memar dan luka-luka ini Tapi yang sulit kuterima adalah: Fandy ikut dipukuli padahal dia nggak tahu apa-apa! Andai orang-orang ini mau bertindak lebih cepat dengan berani, Fandy nggak perlu ikut menderita seperti ini! Kenapa mereka mukulin kamu juga? bisikku lirih. Lagi-lagi Fandy cuma terdiam dengan wajahnya yang terus menunduk Dengan lesu aku berdiri lagi, menatap orang-orang yang tengah mengerumuniku Pak, Bu, teman-teman Terima kasih bantuannya Kami masih cukup kuat kok ucapku mencoba tersenyum tegar di depan mereka. Bener, nggak papa?! Kalo parah sebaiknya dibawa ke rumah sakit, atau ke klinik! Nggak apa-apa kami bisa mengatasinya balasku pelan. Itu temannya nggak apa-apa? Nggak apa-apa, nanti saya yang antar dia, saya bawa motor jawabku lagi.

Apa aman, luka-luka gitu nyetir motor, boncengan? Nggak apa-apa aku terus berusaha meyakinkan mereka. Terima kasih bantuannya Lalu satu per satu orang-orang itu mulai meninggalkan aku dan Fandy. Aku menatap mereka pergi Aku berusaha terlihat tegar meski hatiku sebenarnya miris Aku nggak pernah mengalami kekacauan separah ini dalam hidupku! Ketegaran ini cuma pura-pura! Mata yang tabah ini juga cuma topeng yang sedang mati-matian menahan air mata di baliknya! Demi apa? Entah aku nggak tahu lagi apa yang masih bisa kubanggakan Mungkin sedikit sisa rasa malu untuk meneteskan air mata, meski aku juga nggak tahu apakah itu ada artinya! Aku dan Fandy masih terdiam di tengah nasib yang kacau ini. Membisu. Ahhhhh Rupanya ada yang senang untuk menyusul kami lagi. Kali ini butirbutir air yang turun dari langit, gerimis yang ingin ikut meramaikan kekacauan ini! Fan Mau hujan Ayo pulang! ajakku lesu, menahan perih dari memar di bibirku. Fandy masih terdiam, duduk dengan wajah nanar yang padam. Sedangkan gerimis mengguyur makin deras

Fan? ajakku lagi. Kulepas jaketku, kubentang dengan tanganku, melindungi dia dari hujaman gerimis yang makin tajam Makin deras, Fan Ayo pulang! pintaku.

Seketika Fandy bangkit dari duduknya. Dia menepis jaketku, melangkah maju tanpa menghiraukanku Becak! Fandy memanggil tukang becak yang berteduh di kejauhan Maaf, Fan Aku nggak tahu gimana caranya mindahin semua luka dan sakit yang ada padamu Andai bisa, seharusnya aku saja yang

menanggungnya ucapku lirih. Sekarang kamu ngerti kan, Mas, kenapa aku nggak bisa menjalani pertemanan ini lagi? ujar Fandy dengan suara gemetar. Maaf ucapku lagi, dengan gerimis yang menyembunyikan air mataku. Becak itu menghampiri dan berhenti di depan Fandy. Tanpa berucap apaapa lagi padaku, Fandy naik ke becak itu. Dia berlalu Meninggalkanku sendiri di sini, dengan memar dan luka yang makin perih dalam guyuran gerimis Tapi tentu saja batin ini lebih pedih! Dengan gemetar menahan perih, aku melangkah gontai menuju motorku. Kunyalakan motorku, lalu dengan perlahan segera melaju meninggalkan jalan

kecil ini yang sudah menggoreskan luka-luka di tubuhku, menandaskan satu hal yang akan menjadi ingatan terburuk dalam hidupku! Hati hampa dan pikiran kosong Rodaku melesat di atas sebuah polisi tidur, sebuah goncangan kecil yang lebih dari cukup untuk memancing sengatan rasa sakit di sendi-sendi tubuhku Aahhhhkkk!!! pekikku tertahan dengan tangan kiri memegang igaku Kendali setirku seketika goyah Dan Braaaakkkkk!!! Sebuah benturan keras Aku terlempar Lalu Aku tak sadar lagi

KANTONG 32 : Belum Ada Yang Kalah!

Kekacauan. Kehilangan. Rasa sakit Semuanya menggempurku Dan sepanjang hari aku hanya berkutat di sini, di dalam kamarku yang senyap, seolah tinggal di sinilah rasa damai dan aman masih ada. Padahal, tetap saja di sini aku bergumul dengan beban-beban yang sama! Merasakan memarmemar yang nyeri di tubuhku, ditekan oleh memori-memori yang masih segar sekaligus menyakitkan! Yaahhh, tapi setidaknya di sini nggak ada orang lain yang mengganggu dan memperburuk keadaan yang harus kuhadapi Sudah dua hari lewat sejak persitiwa itu. Kini aku masih berdiam di kamar ini, berusaha menenangkan diri dari semua emosi dan segala rasa sakit yang terasa labil. Aku termangu, dua mataku nanar melihat diriku di depan cermin. Lama kutatap wajahku yang berantakan dihiasi memar. Aku hanya membisu. Merenungkan semua kejadian itu lagi dan lagi Huhhhh Hidupku telah sekacau ini!

Aku senang seandainya ada yang bisa menghiburku. Tapi bagaimana aku harus berharap? Orang yang biasanya selalu membelaku, justru dialah yang akhirnya meletuskan perkara menjadi separah ini! Sedangkan orang yang paling kuharapkan ada di pihakku di saat-saat seperti ini, kenyataannya justru memilih pergi meninggalkanku Kadang masih saja kubayangkan, dia muncul di depan pintu kamarku sambil membawa parcel buah atau biskuit, seperti yang biasa dilakukan siapapun saat menengok orang sakit. Hahaha Tapi mana mungkin itu terjadi? Aku nggak mungkin mengharapkan Fandy datang ke kamar ini demi sebuah adegan sinetron Nggak mungkin lagi! Di saat semua perkara merobohkan lututku, lalu air langit makin memeras perih-perih di tubuhku saat itulah dia meninggalkan kata-katanya untukku, bahwa antara aku dan dia, apapun itu sudah selesai! Dia sudah meninggalkanku. Aku marah. Aku sedih. Aku hancur! Tapi bagaimanapun, demi dia, aku terima kekecewaan ini Kualihkan pandanganku dari muka cermin. Kini ganti kupandangi gulingku yang teronggok di atas kasur. Hmmhhh Sama-sama menghabiskan waktu di tempat tidur, apa bedanya aku dengan gulingku??? Yaaa, tentu saja gulingku itu nggak bernyawa, sedangkan aku jelas, yahhh masih bernyawa. Puji Tuhan! Tapi perbedaan yang ironis adalah, gulingku nggak ganti baju kira-kira dua minggu, sedangkan aku terakhir kali ganti baju baru tadi pagi toh tetap saja penampilanku lebih menyedihkan! Gulingku yang selalu diam manis dengan

sarung biru motif abstraknya itu jauh lebih enak dilihat daripada diriku yang kacau seperti ini! Kubuka kaosku, kulihati lagi memar-memar di tubuhku. Bagian iga ini masih sakit jika kutekan dengan tanganku. Ya, kenang-kenangan dari perkelahian di kantin itu, hasil tendangan dari anak yang bernama Ronald! Lalu kuamati pangkal jari tengah tangan kananku yang sedikit lecet, hmmm aku rasa ini bekas tinju yang kulayangkan ke muka Geri waktu itu. Hahaha Rasanya malah ingin ketawa sekarang, karena seumur-umur aku nggak pernah berkelahi! Tapi saat itu, aku memang benar-benar dipaksa untuk membela diri! Secara spontan aku membalas pukulannya dan kena! Yaahh, meninggalkan sedikit lecet di tanganku yang biasanya mulus ini. Memar-memar yang lain sudah mulai pudar bekasnya, aku juga sudah nggak bisa lagi membedakan antara memar akibat pengeroyokan dan memar akibat kecelakaan motor. Tampak sama saja, nyeri dan membiru Ya, bertubi-tubi. Setelah peristiwa pengeroyokan, aku masih ditimpa sebuah musibah lagi. Saat aku pulang dengan motorku, di jalanan yang licin terguyur hujan itu aku mengalami kecelakaan. Saat motorku melewati sebuah polisi tidur, goncangan roda seketika membuat sendi-sendi tubuhku yang memar menyengatkan sakit yang amat sangat! Aku kehilangan keseimbangan, dan motorku melesat menabrak pinggiran taman. Aku terlempar dari motor, jatuh menghantam tanah! Sesaat aku kehilangan kesadaran Tapi kemudian segera berangsur pulih dan menyadari orang-orang yang berdatangan menolongku. Salah seorang dari mereka mengantarku ke rumah sakit

Disidang oleh Guru BP, dikeroyok di jalan, ditinggalkan Fandy lalu kecelakan motor di tengah hujan! Lengkap bukan?! Tapi setidaknya, pada akhirnya ada hikmah juga dari semua itu. Terutama kecelakaan itu. Ya, benar Saat aku dibawa ke rumah sakit, aku segera menyadari bahwa keadaan bisa semakin buruk. Sebab, mau nggak mau aku harus menghubungi keluargaku untuk mengurus keadaanku di rumah sakit Lalu apa yang harus kukatakan pada Papa dan Mama??? Kenapa keningmu juga lebam gitu? Kamu nggak pakai helm? selidik Papa waktu itu, saat melihat memar di keningku. Nggak, Pa Kondisi hujan, pakai helm malah lebih susah lihat jalan jawabku mencari alasan. Tapi akhirnya kamu jatuh juga kan?! Pingin cepat-cepat sampai rumah, jadi rada ngebut, Pa Ya. Kepada dokter dan juga Papa, aku bilang bahwa semua adalah akibat kecelakaan itu Memar-memar ini, termasuk satu tulang igaku yang ternyata retak Aku harus berbohong. Karena meski bukan kejadian yang baik, tapi mungkin bisa dibilang bahwa justru kecelakaan itulah yang bisa menolong situasiku! Kecelakaan itu menjadi alatku untuk menutupi kejadian pengeroyokan itu. Karena nggak mungkin aku bilang kepada Papa bahwa aku habis dikeroyok gara-gara orang-orang nggak suka dengan persoalan pribadiku! Apa aku harus

membuka fakta di depan Papa dan Mama bahwa aku gay?!! Nggak!!! Resikonya bisa lebih besar!!! Aku tetap harus merahasiakannya!!! Dokter, dan juga Papa, percaya bahwa luka-luka di tubuhku diakibatkan oleh kecelakaan motor itu Yahhh, mungkin akan berbeda ceritanya kalau orangorang itu mengeroyokku dengan senjata tajam! Syukurlah itu nggak sampai terjadi! Aku juga masih bisa sedikit lega, karena aku nggak perlu menginap di rumah sakit. Aku dirawat di rumah, dan sudah dua hari aku nggak masuk sekolah dengan ijin sakit. Kalau aku sampai dirawat di rumah sakit, itu pasti akan lebih menyita perhatian teman-temanku di kelas. Mereka bisa menjengukku, dan bisa jadi kejadian yang sebenarnya akan bocor ke telinga orang tuaku! Lagi-lagi, jangan sampai itu terjadi! Papa dan Mama jangan sampai tahu. Meskipun Denis mungkin sudah tahu kejadian yang sebenarnya Sebab beberapa orang yang menolongku setelah pengeroyokan, adalah anak-anak satu sekolahan juga. Mereka cukup buat jadi saksi sebuah berita heboh di sekolah, Denis tinggal menunggu waktu buat mendengarnya! Tapi tahu ataupun tidak, semoga saja dia nggak akan memperparah masalah ini lagi. Meski aku ragu apakah masih bisa berharap pada Denis. Selama dua hari ini, aku dan dia masih belum saling bicara. Aku masih malas buat bicara dengannya Huuhhhh Terus terang, meski rahasiaku masih aman, aku belum berhenti was-was dengan kelanjutan semua peristiwa ini! Sepanjang hari

pikiranku terus tertekan! Masalah dengan Denis, dengan Fandy, Geri, Pak Alex, Mama dan Papa! Tapi meski itu semua menggangguku, sebenarnya bukan itu masalah yang utama! Lalu apa??? Bukan kapan memar-memar ini sembuh. Bukan apakah Fandy akan muncul di kamar ini dan memberiku adegan drama manis. Bukan apakah Denis tahu aku dikeroyok. Bukan kapan Papa sama Mama berdiskusi dengan Pak Alex di ruang tamu Tapi kapan aku berhenti mengurung diri meratapi nasib seperti ini?!! Yup. Seharian ini aku telah merenung. Dan jawabannya adalah: SEKARANG! Sebenarnya hari ini aku telah menyusun rencana! Kuhampiri meja bacaku, kuamati kembali file-file yang hari ini kukumpulkan dari internet dan juga telah selesai kucetak. Aku duduk sambil membaca ulang lembar-lembar data di tanganku dengan lebih seksama. Kupacu otak, berkonsentrasi dengan kepala yang memar-memar ini, mempelajari ulang rencanaku hari ini. Dan akhirnya, aku tersenyum. Pikiranku rasanya seperti tunas baru yang mengembang dari sebongkah batang lapuk. Sebuah harapan sedang berkedip di benakku!

Sekali lagi aku pun berpaling menatap kembali gulingku di atas kasur, dan merenungkan kesimpulan yang lebih sederhana: Bernyawa dan tak bernyawa adalah sebuah perbedaan penting, tapi mau punya seribu nyawa sekalipun, apa gunanya hidup jika kita memilih berhenti berjuang?!! Kini kuraih gitarku. Lalu menerawang ke luar jendela, memandangi gerimis yang berderai lembut seperti percikan kabut. Dingin yang menyusup ke kamar ini, segera terasa seperti waktu itu Wajahnya pun segera tersenyum lagi di dalam kepalaku, senyuman seperti di saat pertama kami bertemu Seperti saat kami berkenalan Seperti saat kami saling berbagi waktu, di dalam sebuah becak, di sebuah bilik baca, di sebuah kamar, di hamparan rumput, di sebuah titik yang tinggi dimana desa, gunung, sawah, dan danau berpadu sesejuk senyumannya waktu itu Ya, waktu itu, sebelum dia memilih meninggalkanku di sebuah jalan yang basah oleh gerimis, dimana darah dari lukaku luntur terbasuh derainya Akhirnya, saat itu aku pun tersenyum memandangi perginya, dengan senyuman di bibir yang perih dan hati yang menangis Senyum ikhlas untuknya. Dan aku hanya bisa berharap, semoga dia baik-baik saja Kreekkkk Petikan gitarku terhenti, sesuatu memecah lamunanku. Pintu kamarku terbuka, dan

Gimana? Udah baikan? wajah Papa menyembul dari balik pintu ser aya melayangkan sapa padaku. Emhh Masih rada nyeri sih Tapi udah jauh mendingan sahutku datar. Papa melangkah masuk. Obatnya udah diminum? tanya Papa sambil duduk di pinggiran tempat tidurku. Udah. Kok jam segini udah pulang, Pa? Biasanya kan rada sore? sambutku ringan. Nggak apa-apa, kerjaan di kantor udah beres. Jadi bisa ditinggal. Tuh, korupsi jam kerja tuh namanya! Mau dicontoh anaknya? sahutku sedikit berkelakar, sambil meletakkan gitarku. Papa ketawa. Lho, Papa rajin kok kalo kerja! Kerjaan pasti kelar lebih awal. Makanya nyantai-nyantai aja kalo pulang duluan Lagian mau lihat keadaan kamu gimana? Ashh, ngeles. Kalo kepikiran nggak perlu segitunya kali, udah gede gini juga balasku. Papa ketawa lagi. Buktinya kamu sampai nggak masuk sekolah dua hari kan?! Papa kuatirnya kamu malah sengaja dibetah-betahin tuh sakitnya?! Gimana sih? Tadi pagi kan aku udah rencana mau masuk, tapi Papa juga kan yang nggak ngebolehin?! Ya udah, habis ini aku mau main keluar aja. Bosen

di kamar terus! sungutku berlagak judes. Sini minta duit, pingin cari hiburan nih! Wah, wah Mental preman nih, anak Papa nih? Udah benjut-benjut gitu masih berani nodong?! cibir Papa. Tapi habis itu Papa mengeluarkan dompetnya. Nih! Asyik! Tengkyu, Pa ucapku sambil menerima selembar limapuluh ribuan dari tangan Papa. Tapi sama Denis ya! Yahhh, kenapa sama Denis sih?! Lho, kenapa? Kan dia masih sekolah?! Ya makanya tungguin Denis pulang. Kamu kan lagi sakit gini, kalo sama Denis kan ada yang jagain? ujar Papa. Iya kalo Denis pulangnya langsung ke rumah? Kalo kesorean males ah! kelitku. Lagian kan juga masih hujan gini? Tunggu Denis pulang, sekalian tunggu hujan reda! ucap Papa. Hfff Ya udah deh, gampang kilahku dengan malas. Hmmm

Papa Apa dia tahu, apa yang sedang kupikirkan? Sebenarnya bukan soal aku ingin cari hiburan di luar rumah. Juga bukan karena aku senang dikasih uang. Tapi karena aku butuh kehangatan seperti ini Ya, keluarga ini. Bisa ngobrol dengan Papa atau Mama, bisa bercanda seperti sekarang, merasakan perhatian mereka Meski cuma hal-hal yang sederhana, tapi aku tahu ini akan menjadi sesuatu yang paling kurindukan dalam keluarga ini! Karenanya, jangan sampai mereka tahu bahwa anaknya ini telah menanggung sesuatu yang sangat mengecewakan di mata mereka! Jangan, jangan sampai! Papa ganti meraih gitarku. Memetik-metik pelan, dengan wajah manyun menerawang ke meja bacaku. Dan kemudian tersenyum. Kursus gitarnya nggak diterusin lagi? gumam Papa bertanya. Males. Udah telanjur lama jawabku pelan. Ya nggak apa-apa, lanjutin aja. Kursus kan bukan sekolah formal, mau dilanjutin kapan aja juga terserah. Tapi kalo nggak dilanjutin kan sayang tuh Apalagi dulu udah pernah dapat piala kan? ujar Papa, masih menerawang ke sesuatu di mejaku.

Aku tahu. Papa sedang menatap fotoku yang ada di meja. Foto saat aku menang lomba gitar klasik yunior, juara tiga se-Jawa Tengah. Waktu itu aku umur 13 tahun Dimana pialanya sekarang? tanya Papa. Di dalam lemari Dipajang dong! Kan prestasi tuh? Cuma juara tiga aja Ya udah bagus lah. Lagian waktu itu tanganmu habis terkilir kan, garagara jatuh dari sepeda? Coba kalo nggak sakit, mungkin bisa jadi juara satu! Siapa tahu? seloroh Papa pelan. Papa masih ingat? Ya ingat dong! Anak dapat juara masa lupa! Baru sekali itu kan kamu ikutan lomba? Sayang tuh bakatnya! gumam Papa sambil tersenyum. Aku terdiam. Aku tahu Papa itu seperti apa Dia seorang ayah yang jarang mengobral pujian ke anaknya. Tapi juga nggak pernah memarahi. Dia nggak pernah membanding-bandingkan anaknya, baik itu membandingkan aku sama Denis ataupun membandingkan kami berdua dengan anak lain, dalam hal positif ataupun negatif. Papa nggak pernah berlebihan kalau bicara. Dia selalu menyemangati tanpa harus dibesar-besarkan. Tapi aku tahu, dengan sifatnya

yang pendiam itu dalam hati dia selalu bangga sama anak-anaknya Begitulah Ayah-ku ini! Ya, aku juga masih ingat, Pa Dulu waktu mengantarku ke Semarang buat lomba gitar itu, Papa bela-belain nggak masuk kerja. Iya sih, Papa mungkin bukan pekerja paling teladan di kantor. Tapi di keluarga ini Papa adalah ayah yang baik. Dan ayah yang baik akan selalu menjadi pria yang dibanggakan oleh keluarganya, melebihi apapun! Setidaknya itulah yang kurasakan Ya, aku bangga dengannya, meski aku juga nggak pernah memujinya Sepertinya, aku memang mirip dengannya Dan itulah yang membuatku makin tertunduk dalam batinku Maaf, Pa Aku terpaksa nggak bisa jujur. Karena kalau Papa tahu semua masalahku, pasti akan malu Aku ini cuma bahan olok-olokan di sekolah. Mereka bilang aku nggak normal. Mereka bilang aku ini sakit. Aku merasa mengkhianati rasa banggamu, Pa Dan aku nggak bisa melihatmu kecewa Lebih baik kusembunyikan semua itu, dan biar aku sendiri yang

menghadapinya Meski aku juga nggak tahu, sampai kapan aku kuasa menahannya Udah, pokoknya rajin diminum ya obatnya! pesan Papa sambil meletakkan gitarku lagi, seraya berdiri dari duduknya. Papa mau istirahat Pa panggilku sekecap. Papa menoleh lagi padaku. Aku menatapnya dengan haru

Papa kok nyantai aja? tanyaku pelan. Nyantai? Maksudnya? kening Papa berkerut ringan. Aku menghela nafas. Aku sampai babak belur gini Aku udah rusakin motor, ngeluarin biaya banyak Aku udah bikin ulah Aku bingung, kok Papa nggak marah? gumamku agak terbata. Papa kelihatan tertegun. Tapi kemudian malah tertawa ringan. Marah? Menurut kamu itu nyelesein masalah apa nggak? Papa malah balik bertanya dengan mimik santai. Yaa paling enggak, aku kan jadi lebih nurut dan lebih hati-hati? Lho Kan katanya kamu udah gede? Nggak perlu Papa marahin pasti kamu juga bakal lebih hati-hati kan? Lagian apes tuh kadang memang nggak bisa ditolak. Ibarat kamu nggak jahil tapi ada orang lain yang iseng jahilin kamu, yang salah kan bukan kamu? Gimana kalo kamu nanti punya anak, kalo dia lagi apes kamu mau marahin dia? Ya kasihan cucu Papa ah! ujar Papa sambil tertawa ringan. Lalu Papa berlalu dari kamarku. Suaranya bersiul-siul menuruni tangga. Dan aku terhenyak, sendiri lagi di kamarku yang senyap Kalau aku dijahili orang? Kalau nanti aku punya anak? Kata-kata Papa seperti gambar indah di sebuah puzzle. Sesuatu yang menghiburku, memberiku harapan, sekaligus teka-teki

Kalau aku punya anak??? Seandainya aku berada di posisi Papa, apa yang akan kulakukan? Memang ada kisah tentang orang tua yang pada akhirnya bisa menghadapi kenyataan anaknya, tapi apa mereka pernah berharap anaknya seperti itu? Seperti aku??? Nggak mungkin. Bahkan sebaik apapun sikap lembut Papa, dia tetap membayangkan andai aku punya anak Bahwa anaknya ini bukan gay! Itu harapan Papa. Itu juga harapan Mama. Itu harapan semua orang tua terhadap anaknya! Tuhan aku paham itu! Karena itulah, meski di hadapan orang tuaku aku harus selalu menutupi jatidiriku, tapi di hadapan orang-orang yang merendahkanku aku akan membuka semua kekuatanku untuk melawan! Aku bukan pencapaian sempurna dari harapan orang tuaku, tapi aku akan memperjuangkan bahwa setidaknya aku masih punya harga diri! Bahwa Papa dan Mama memiliki anaknya ini bukan untuk direndahkan! Aku nggak akan tinggal diam! Kulihat jam di meja, waktu sudah melewati jam pulang sekolah. Sudah lewat jam tiga sore. Dan hujan di luar tampaknya juga sudah reda. Segera kuganti celana tidurku. Kupakai celana jeans panjangku. Kupakai sweaterku. Kulipat

lembaran kertas file yang telah kusiapkan di meja, dan segera kumasukkan ke dalam tas. Saatnya sudah tiba untuk bergerak menjalankan rencana! Maaf, Pa. Maaf, Ma. Aku sayang kalian, tapi aku juga nggak bisa mengingkari apa yang ada dalam diriku. Dan aku akan melawan mereka yang telah menginjakku! Jadi siapapun yang mengira bahwa aku telah kalah, maka mereka salah! Karena aku belum menyerah, dan kekuatanku juga belum patah! Ayo, kita lihat saja!

KANTONG 33 : Diplomasi!

Motorku rusak gara-gara kecelakaan waktu itu. Karena itu, aku memakai Vespa milik Papa. Sembunyi-sembunyi, memanfaatkan situasi karena kebetulan Papa lagi tidur dan Mama juga sedang nggak di rumah. Kalau mereka tahu, jelas aku nggak akan dikasih ijin buat keluar sendirian, apalagi dengan Vespa kuno-nya Papa! Lagipula aku juga nggak akan menunggu Denis untuk mengantarku, nggak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri! Di bawah langit sore yang teduh selepas hujan, aku meluncur menuju ke tempat seseorang. Di daerah Solo sebelah selatan, dengan udara yang sedikit lebih segar dan jauh dari keramaian, aku mulai masuk ke sebuah gang perumahan. Dulu aku sudah pernah kemari dan aku masih ingat rumahnya. Nggak sulit buat menemukannya lagi. Kuhentikan Vespa-ku di halaman sebuah rumah bercat hijau telur, berteras panjang dan terbuka. Sederhana, dan kelihatan sejuk. Aku melangkah sedikit gugup menuju pintu rumah yang tertutup. Lalu Tok, tok, tok! Kuketuk pintu rumah. Yaaaa ada suara menyahut dari dalam. Suara laki-laki. Lalu pintu pun terbuka Aku sedikit tertegun. Seorang cowok sepantaran denganku muncul dari balik pintu, berdiri di hadapanku

Madosi sinten, Mas? cowok itu bertanya dengan bahasa Jawa halus yang sangat ramah. Eee anu aku jadi agak gugup. Bu Yanti wonten, Mas? Oo, wonten. Monggo mlebet, Mas! cowok itu langsung menyilakan aku masuk. Inggih balasku simpul. Aku masuk ke ruang tamu, duduk di kursi bludru merah khas tahun 80an. Sedangkan cowok tadi langsung menghilang ke dalam. Adiknya Bu Yanti mungkin Lumayan sih Hahaha Ooo Dimas? sapa Bu Yanti yang muncul di ruang tamu. Wajahnya tampak berbinar sekaligus menyiratkan rasa kaget melihatku ada di sini. Iya, Bu balasku seraya tersenyum sungkan sambil menyalami Bu Yanti. Bu Yanti lalu duduk di kursi, berhadapan denganku. Kamu tadi belum masuk ya? Gimana keadaanmu? Kok malah main-main ke sini? Guru Bahasa Inggris-ku yang cantik itu segera memberondong pertanyaan dengan gaya ramahnya yang bersahabat. Udah agak baikan kok, Bu. Tapi tadi belum dibolehkan masuk sama ayah saya jawabku masih sedikit sungkan.

Ooo Sebenarnya gimana kejadiannya? Apa benar soal pengeroyokan itu? Tadi saya tanya ke Misha, teman semeja kamu, tapi dia bilang tidak tahu. Tadi saya juga mengusulkan buat menjenguk kamu, tapi anak-anak masih memikirkan waktunya ujar Bu Yanti panjang lebar. Hmmm Ternyata beliau sudah tahu soal pengeroyokan itu. Seperti yang kucemaskan, berita seperti itu cepat menyebar! Ah, paling besok saya juga sudah masuk kok, Bu kilahku meyakinkan. Ya ampun, itu mukamu cakep-cakep jadi lebam gitu! tunjuk Bu Yanti, nggak lupa mengomentari penampilanku. Bu Yanti bilang aku cakep? Ehem Becanda ya? Cakep mana sama adiknya tadi? Hahaha Jadi yang benar bagaimana, soal pengeroyokan itu? Bu Yanti segera fokus lagi ke soal pengeroyokan, dengan mimik serius. Sudah kuduga juga, aku pasti akan diinterogasi! Aku berpikir-pikir sejenak dengan agak sangsi. Memangnya berita yang Ibu dengar bagaimana? aku membalik pertanyaan.

Saya dengar, katanya kamu dikeroyok sama gerombolan anak dari kelas lain. Tapi saya tidak tahu masalahnya apa Kamu bisa jelaskan? Rumit, Bu Lagian, pengeroyokan itu di luar jam sekolah, dan mereka juga nggak pakai atribut sekolah. Kayaknya mereka memang sudah menyiapkan biar pihak sekolah nggak bisa ikut campur

Biarpun kejadiannya di luar sekolah, kalau latar belakang masalahnya masih berhubungan dengan lingkungan siswa di sekolah, pihak sekolah tetap akan menanganinya! Makanya saya ingin tahu yang sebenarnya, dari kamu langsung! desak Bu Yanti. Aku menghela nafas. Hmmhhh Bukan hal gampang menguraikan sesuatu yang menyakitkan! Mereka anak-anak yang suka mengejek saya tiap ketemu di sekolah. Kami kenal memang cuma di lingkungan sekolah saja, Bu Mungkin cuma di situ hubungannya dengan sekolah, selebihnya saya rasa ini soal sentimen pribadi mereka terhadap saya uraiku hati-hati. Tapi itu masih ada hubungannya dengan perkelahian di kantin sebelumnya kan? kulik Bu Yanti. Ee yaa Memang masih ada hubungannya Perkelahian di kantin itu sudah disidangkan di BP, kami semua dapat sanksi poin pelanggaran. Tapi rupanya mereka masih nggak terima. Sepertinya jadi dendam kepada saya. Makanya waktu saya pulang, mereka mengeroyok saya! jelasku agak tegang. Jadi peristiwa itu masih ada kaitannya dengan perkelahian kalian di kantin, dan ada kaitannya juga dengan ketidakpuasan atas keputusan BP! Artinya itu masih berhubungan dengan sekolah! Jadi pihak sekolah tinggal menunggu laporan kamu, Dimas! Nanti pihak sekolah pasti akan menindak anak-anak yang mengeroyok kamu itu!

Tapi justru itu yang mengganjal saya, Bu! ucapku sedikit gugup. Kenapa? wajah Bu Yanti berkerut menatapku. Sebenarnya saya kemari menemui Bu Yanti bukan untuk mengadukan anak-anak yang mengeroyok saya Kalo saya melaporkan mereka, pihak sekolah pasti akan menyelidiki akar masalahnya kan, Bu? Ujung-ujungnya itu hanya akan memancing lagi perdebatan saya dengan BP! Akhirnya lagi-lagi akan jadi bumerang buat saya sendiri! Maksud kamu? Aku menatap Bu Yanti dengan rasa kurang percaya. Masa Bu Yanti nggak dapat informasi apa-apa dari BP? aku ganti menyelidik. Air muka Bu Yanti segera berubah jadi agak tegang. Yaaa Saya memang dapat informasi. Pak Alex yang memberitahu saya Beliau menjelaskan pada saya soal perkelahian di kantin itu Aku berbinar sekaligus kecut. Ya, saya sudah menduga Pak Alex pasti memberitahu Bu Yanti. Pasti Pak Alex menjelaskan panjang lebar kan, Bu? Tentang alasan perkelahian, tentang perdebatan saya dengan Pak Alex tentang masalah pribadi saya yang dibawa-bawa! kulikku dengan nada masam. Bu Yanti menghela nafas dengan sedikit lesu. Ya Pak Alex menjelaskan semuanya pada saya, termasuk soal bahwa kamu

Bu Yanti sejenak menghentikan kalimatnya, memandangiku dengan mimik ragu sekaligus menyelidik. Gay sahutku datar, menyambung kalimatnya. Wajah Bu Yanti langsung kelihatan menyesal. Apa itu benar? beliau masih bertanya, seolah belum percaya. Sebenarnya saya nggak ingin mengumbar masalah pribadi saya, Bu. Tapi saya tahu, nggak ada gunanya juga mengelak di hadapan Bu Yanti. Karena saya yakin, nggak mungkin Pak Alex nggak ngasih tahu Bu Yanti soal itu! ucapku dengan lesu. Pak Alex menekan saya. Saya bingung! Tinggal Bu Yanti harapan saya! Wajah Bu Yanti tampak ragu. Apa yang bisa saya lakukan? Anda Wali Kelas saya, Bu! Ya. Tapi kamu ingin saya bagaimana? Aku agak ragu menghadapi Bu Yanti. Sebelumnya saya ingin tahu terlebih dahulu, apa saja yang sudah disampaikan Pak Alex kepada Ibu? akhirnya kupancing Bu Yanti untuk jujur. Hmmhhh Pak Alex belum menyinggung soal pengeroyokan itu, mungkin beliau belum tahu karena kejadiannya di luar sekolah. Beliau baru bicara soal perkelahian di kantin, dan soal perdebatan dengan kamu di ruang BP

Terus terang, Bu, fokus saya saat ini bukan soal perkelahian ataupun pengeroyokan. Mereka sudah memukuli saya, saya anggap saja mereka sudah puas. Tapi justru tindakan Pak Alex lah yang paling menekan saya saat ini! Pak Alex memaksa untuk melakukan visitasi, mau melaporkan saya ke orang tua saya! Masalahnya yang akan dilaporkan bukan soal perkelahian di kantin, tapi masalah pribadi saya yang nggak ada hubungannya dengan wewenang BP! Itu yang mengganggu saya, karena masalah itu bisa mengancam kondisi keluarga saya, Bu! keluhku menahan geram. Saya berharap Bu Yanti mau membantu saya buat mencegah rencana Pak Alex! Kamu meminta saya untuk mencegah BP? sahut Bu Yanti kelihatan bimbang. Kukeluarkan lembaran berkas dari dalam tasku. Saya mengumpulkan berkas ini dari internet, dan saya sudah mempelajarinya! cetusku. Apa itu? Bu Yanti bertanya dengan raut menyelidik pada kertas yang masih kupegang. Berkas tentang Tugas Guru BK/Konselor dan Pengawas Bimbingan dan Konseling Menurut PP No. 74 Tahun 2008 kubaca judul berkasku dengan nada yakin. Bu Yanti memandangiku terbengong-bengong, heran sekaligus tampak merasa konyol

Bu Yanti adalah Wali Kelas saya, wakil orang tua saya selama di sekolah. Maaf, Bu, sebenarnya saya curiga Pak Alex juga melibatkan Bu Yanti soal rencana visitasi itu! Kalo iya, saya mohon jangan setujui rencana itu! desakku memohon. Raut wajah Bu Yanti semakin bimbang. Lalu beliau hanya bisa tertawa masam, lagi-lagi nggak bisa mengelak! Aku rasa kecurigaanku benar, Bu Yanti diajak Pak Alex untuk terlibat dalam visitasi itu! Bu Yanti bisa mencegahnya. Ibu punya wewenang untuk itu! tandasku lagi. Darimana kamu bisa bilang saya punya wewenang itu? Ibu Wali Kelas saya, Ibu bertanggung jawab melindungi saya dari tekanan dalam bentuk apapun di sekolah Memang saya punya tanggung jawab atas diri kamu. Tapi masalahnya apa kamu sendiri bisa bertanggung jawab kepada saya? balik Bu Yanti dengan tenang sekaligus ulet. Bisa. Dengan cara apa? Ibu sebut saja, dalam hal apa saya pernah mempermalukan sekolah? Kamu kemarin berkelahi di kantin, Dimas!

Apa Pak Alex tidak menjelaskan kepada Ibu, bahwa bukan saya yang memulai perkelahian? Bahkan saya tidak membalas mereka! Kecuali kalo Bu Yanti bermaksud bahwa ditindas itu mempermalukan sekolah! Tergantung, kenapa sampai ditindas? Pasti ada akar masalahnya?! Baik, akar masalahnya adalah seperti yang sudah saya akui, saya gay dan mereka nggak suka itu! tegasku terbata-bata. Baiklah, mungkin Bu Yanti berpendapat bahwa gay itu salah Tapi apa itu berarti bahwa gay layak ditindas, dan tidak berhak untuk diperlakukan adil? Bu Yanti menatapku lama. Lalu perlahan-lahan dia mulai tersenyum sayu sambil mengusap keningnya. Terus terang, Dimas, saya tidak punya argumen untuk berkata bahwa menjadi gay itu hal yang bisa dibenarkan Jujur, saya pribadi juga kecewa kamu seperti itu ujar Bu Yanti pelan. Aku terhenyak. Sesaat aku kehilangan kata-kata Oke. Ibu nggak perlu membenarkan soal gay, kalo memang menurut Ibu itu salah. Tapi kalo Ibu membiarkan saya ditekan, Ibu harus punya dasar kenapa saya layak ditekan! Apakah sekolah kita memang mengatur orientasi seksual siswanya? Ibu bisa tunjukkan aturan nomor berapa? aku menantang dengan tetap menghaluskan nada bicara.

Bu Yanti terlihat tenang, meski nggak bisa sembunyi dari raut pergumulannya. Tidak ada yang mengatur soal itu. Tapi kita semua berpegang pada kebiasaan umum Kalo benar-salah diukur berdasarkan kebiasaan umum, berarti yang banyaklah yang menang. Seperti orang-orang yang mengeroyok saya, mereka banyak dan mereka menang. Tapi apa itu adil?! Bu Yanti mendesah lesu dan tampak letih. Hhhhh Jujur, Dimas, saya sebagai Wali Kelas sangat ingin masalahmu ini cepat selesai dan tidak menjadi sorotan lagi. Baiklah kalau saya tak boleh mencampurkan pendapat pribadi saya di sini, sebenarnya saya juga faham porsinya. Tapi posisi saya juga serba salah, Dimas! Karena BP juga punya wewenang untuk menilai permasalahan siswa dan merencanakan tindakan. Apalagi masalah yang kamu anggap pribadi itu sudah berubah jadi konfrontasi dengan orang lain, bukti riilnya adalah perkelahian di kantin itu! Sebagai Wali Kelas saya ingin membantu kamu. Tapi saya sedang berhadapan dengan BP yang juga punya wewenang, dan kenyataannya kamu memang sudah memicu masalah! Aku terkesima. Tercenung merenungkan kata-kata Bu Yanti Ya, ya Akhirnya aku faham. Sekarang aku baru sadar posisi Bu Yanti, Wali Kelas-ku Guru yang masih muda, harus menghadapi guru yang jauh lebih senior seperti Pak Alex Di samping itu, kenyataannya BP memang lembaga yang punya wewenang!

Kalo kita membawa sentimen pribadi, saya rasa masalahnya nggak akan selesai, Bu, akan terus jadi debat kusir! Tapi bagaimana dengan Kode Etik?! cetusku menjentikkan gagasanku. Kode Etik? Bu Yanti mengernyitkan keningnya. Aku menunjukkan lagi lembaran kertas yang kubawa! Kali ini kuserahkan kepada Bu Yanti. Wali Kelas-ku itu menerima dan segera membacanya. Hmhhh Kode Etik. Sebenarnya saya sempat berpikir ke situ Tapi saya tidak terlalu faham soal pedoman-pedoman BP gumam Bu Yanti, sambil membaca berkas yang kuserahkan. Rencana Pak Alex untuk melaporkan masalah pribadi saya ke orang tua saya itu adalah arogan, karena jelas-jelas melanggar asas konseling! tandasku seraya mengingat semua yang sudah kupelajari tentang asas-asas konseling. Asas Kesukarelaan, konseling hanya boleh dilakukan apabila konseli menghendakinya secara SUKARELA. Tapi dalam kasus ini Pak Alex MEMAKSAKAN tindakan konseling kepada saya! Lalu dalam Alih Tangan Kasus, apabila Konselor tidak mampu lagi menjalankan konseling maka bisa dialih-tangankan kepada pihak lain. Salah satunya ke orang tua siswa, itulah yang akan dilakukan Pak Alex terhadap saya! Tapi berdasarkan aturan, Alih Tangan Kasus hanya bisa dilakukan jika status konseli sudah ditetapkan. Sedangkan saya tak merasa berstatus sebagai konseli, karena saya tak pernah setuju! Di situlah pelanggaran Pak Alex terhadap Kode Etik Konseling! Bu Yanti sekarang makin terpana menatapku.

Dan di dalam Asas Keterpaduan, tindakan bimbingan seharusnya meminta persetujuan dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan siswa, salah satunya adalah Wali Kelas! Jadi Bu Yanti sebagai Wali Kelas jelas punya wewenang untuk setuju ataupun tidak setuju terhadap tindakan yang diambil pihak BP! Itulah yang saya harapkan dari Anda, Bu Arogansi Pak Alex sudah jelas, tapi saya nggak bisa melawannya sendirian ucapku penuh harap. Lalu kami berdua terdiam dalam pikiran masing-masing. Bu Yanti kembali membaca berkasku dengan raut termenung serius. Sesaat kemudian, perlahan beliau tersenyum menyiratkan kesan Dimas Sepertinya kamu berbakat jadi Pengacara! Byoooongggg Haduhhh!!! Kok Bu Yanti malah komentar itu sih???!!! Kamu dapat ide dari mana buat menyusun semua ini? tanya Bu Yanti sambil mengacungkan berkasku. Aku tersenyum. Saya ingat, ada kasus yang kadang saya lihat di TV, atau saya baca di koran, tentang tindakan arogan yang dilakukan guru terhadap murid. Bahkan banyak kasus seperti itu. Sialnya, ternyata saya juga mengalami hal yang sama! Itu membuat saya berpikir dan menjadi yakin, bahwa kewenangan guru pasti tetap ada batasnya! ucapku mantap. Bu Yanti tersenyum rapat sedikit bersemu. Ya, benar. Terus terang selama ini saya kurang begitu faham soal Kode Etik BP. Tapi saya rasa dasardasar ini memang sangat logis dan mengena! ujarnya.

Jadi Anda setuju dengan pendapat saya, Bu? Sebentar Saya juga ingin kamu tahu terlebih dulu, Dimas. Apabila BP tidak bisa meneruskan suatu konseling, maka biasanya akan dilimpahkan kepada Wali Kelas. Ya, istilahnya Alih Tangan Kasus. Artinya, pada akhirnya saya lah yang akan menggantikan tugas BP untuk menangani kamu Bagaimana menurutmu? Saya lebih bisa menerima itu, Bu. Memang seharusnya BP tidak langsung melimpahkan ke orang tua saya, tapi ke Anda dulu sebagai Wali Kelas saya. Buat saya, yang penting masalah ini tidak sampai ke orang tua saya Itulah yang ingin saya tanyakan sekarang sahut Bu Yanti dengan tenang. Sekarang saya ingin kamu jujur kepada saya, dan juga kepada dirimu sendiri. Anggap saja ini bagian dari tugas saya untuk mempelajari masalahmu! Dimas, kenapa kamu tidak mau orang tuamu tahu soal masalah ini? Aku tercekat, dan jadi bimbang lagi menghadapi pertanyaan Bu Yanti. Bu! Apa Anda tidak bisa membayangkan? Nggak ada orang tua yang berharap anaknya punya kondisi seperti saya! Saya nggak mau mengecewakan orang tua saya! tandasku lirih. Nah, logikanya, kalau kamu nggak mau mengecewakan orang tuamu, bukankah sebaiknya kamu berhenti menjadi seperti ini? Pada sisi itu, sebenarnya maksud BP untuk membina kamu dapat saya mengerti, Dimas Toh sampai kapan kamu mau berlari?

Pertanyaan yang juga sering terlintas di benakku. Tapi aku selalu berusaha untuk menghindarinya Aku tertunduk. Resah bergumul dengan pertanyaan itu Kalau kamu tidak mau berubah, suatu saat orang tua kamu pasti tetap akan tahu, Dimas. Saat ini mungkin saya bisa membantumu untuk menolak rencana visitasi dari BP. Tapi bukankah itu cuma solusi sesaat? Bagaimana rencanamu untuk masa depan yang lebih panjang? runut Bu Yanti dengan nada tenang, tapi menghantam! Hmmmhhh Saya tahu. Sukar saya bayangkan seandainya saya menyembunyikan hal ini selamanya. ucapku lirih dan gundah. Tapi saya berpikir, setidaknya saya bisa menyimpannya sampai saya sudah cukup dewasa, sampai saya cukup umur dan berhak penuh untuk menentukan pilihan hidup saya Meski mungkin nanti tetap akan sulit bagi saya untuk membukanya kepada orang tua, tapi setidaknya saat itu mereka faham bahwa saya sudah dewasa Bu Yanti mengangguk, menunjukkan raut simpatinya. Saya tidak ingin menghakimi kamu, tapi terus terang saya juga cemas dengan pilihanmu ini Kamu masih muda. Saya ingin tahu, apa yang membuat kamu begitu yakin dengan pilihanmu? Bahkan segitu yakinnya seolah kamu akan bertahan dengan pilihan itu selamanya? Aku mendesah dan tersenyum pahit. Saya nggak bisa menjelaskan kenapa saya begini, Bu Saya cuma merasakan, bahwa orientasi dalam diri saya

terasa jelas Saya nggak bisa mengingkarinya. Saya menganggap, inilah jati diri saya Saya tahu orang akan melihat saya terlalu muda. Dan keputusan saya cenderung diremehkan Tapi ini bukan soal pendapat orang lain, ini soal keyakinan saya terhadap diri saya sendiri. Pernahkah Bu Yanti merasa ada sesuatu yang menurut Ibu cuma Ibu sendiri yang faham? Apa Ibu akan merasa lebih baik, seandainya harus hidup di luar keyakinan yang sudah Ibu miliki? Saya selalu heran ketika demi bisa diterima oleh orang lain, seseorang dipaksa mengikuti kondisi orang lain dan harus mengingkari dirinya sendiri dan mereka menyebut itu adil! Benarkah itu adil? renungku pahit. Bu Yanti terdiam dengan senyum tipis yang bisu. Tanpa jawaban Bagaimana, Bu? Apakah Ibu mau membantu saya? akhirnya kutandaskan lagi harapanku kepada Bu Yanti. Bu Yanti masih terdiam sejenak. Lalu akhirnya beliau tersenyum sambil menepuk berkasku di tangannya. Baiklah. Semoga ini memang demi kebaikan kamu Getaran yang mengalir dalam darahku serasa mau mengangkat tubuhku Ya Tuhan, terima kasih Bu Yanti berpihak padaku! Terimakasih banyak, Bu! ucapku lirih dengan senyum haru Bu Yanti mengangguk. Saya juga akan berusaha mengkonsultasikan masalah ini dengan Bu Kamti Haaa??? Bu Kamti?!! aku jadi tersentak lagi!

Ya. Beliau mengikuti seminar pendidikan di luar kota beberapa hari, tapi saya dengar hari ini sudah pulang. Tapi mungkin beliau baru akan masuk kantor minggu depan Tapi bukankah Bu Kamti juga anggota BP?!! sergahku cemas. Justru itu. Bu Kamti sama seniornya dengan Pak Alex. Meski Pak Alex yang menjadi koordinator, tapi saya kira selama Bu Kamti tidak absen maka Pak Alex tetap akan mempertimbangkan pendapat beliau. Yang saya kuatirkan, dari gelagatnya Pak Alex ingin menjalankan visitasi itu secepatnya Ya Tuhan cekatku gundah. Pak Alex memang berusaha melibatkan saya. Tapi saya bilang masih ingin mempertimbangkan dulu. Mungkin besok Pak Alex akan mendesak saya lagi. Kalau saya bilang ya, beliau pasti akan segera menelpon orang tuamu buat mengatur pertemuan. Mungkin Minggu, atau malah Sabtu sore tandas Bu Yanti. Sekarang sudah hari Jumat Berarti waktu kita tinggal hari ini dan besok?! gumamku cemas. Karena itu, saya akan berusaha menemui Bu Kamti, mendului Pak Alex Tapi Bu Yanti yakin, Bu Kamti bisa membantu? tanyaku bimbang.

Bu Yanti tersenyum tenang. Saya kenal baik Bu Kamti. Buat kalian mungkin beliau itu sosok yang galak Tapi sebenarnya itu karena beliau orang yang disiplin dan konsekuen dalam kewajiban. Saya yakin, dengan dasar-dasar yang kamu ajukan ini, beliau pasti akan membantu! Kata-kata Bu Yanti terdengar begitu yakin. Itulah yang akhirnya membuatku percaya, dan merasa lega Bu Yanti lalu agak tersipu. Terus terang, Dimas. Begitu kamu menunjukkan ini pada saya, sebenarnya saya agak malu Saya harus salut dengan kegigihanmu. Soal pilihan hidup kamu itu, soal benar atau salah, mungkin bisa kita bicarakan lain waktu saja. Yang penting saat ini, bagaimana caranya supaya kamu bisa merasa nyaman lagi untuk sekolah dan belajar tanpa tekanan. Itulah tugas saya, karena saya Wali Kelas-mu! tandasnya pelan. Aku mengangguk. Hatiku benar-benar terharu Saya masih ingat waktu Bu Yanti bilang bahwa pilihan hidup itu soal moral, dan nggak perlu dibahas di pelajaran Bahasa Inggris. Karenanya, saat saya memutuskan untuk kemari sebenarnya saya sudah yakin, bahwa Bu Yanti pasti bisa bersikap adil Terima kasih, Bu ucapku lirih. Bu Yanti mengangguk. Terus terang, ketegaran dan kecerdasanmu lah yang membuat saya percaya bahwa kamu memang layak diperlakukan secara adil! ucap Bu Yanti mantap. Aku mengangguk semakin yakin

Setiap orang memang harus diperlakukan adil. Dan keadilan itu bukan untuk ditunggu sambil mengeluh Tapi diraih dengan gigih! Terima kasih, Bu Yanti

KANTONG 34 : Strategi Baru

Aku duduk sendiri di bangku ini, di salah satu sisi Stadion Sriwedari. Kuhirup segarnya udara sore hari yang agak basah, menyalurkan hawa segar ke rongga-rongga syaraf di kepalaku yang penat sejak berhari-hari. Kini terasa sejuk dan lebih jernih Beban yang bertubi-tubi menimbun, rasa kehilangan, keputusasaan, lalu keinginan untuk bangkit itu semua prosesku untuk mencapai hari ini! Ya, memang masalah belum tuntas, tapi setidaknya hari ini kelegaan sudah memberiku harapan yang baru. Thanks God! Kukeluarkan HP-ku, yang sudah dua hari kumatikan. Sekarang aku tersenyum, bahkan tertawa saat merenungkan lagi bagaimana aku melewati harihari yang berat itu. Yaahhh Sekarang, aku rasa sudah saatnya aku berhenti mengekang diri dalam kepesimisan. Saatnya aku harus membuka diri lagi, menghadapi dengan lebih berani! Kuhidupkan HP-ku Lalu kembali terpekur di perhentian sesaat ini. Meski udara sore ini terasa sejuk, tapi keramahan suasana membuat atmosfer menjadi hangat di hati. Kerumun orang tampak asyik di sudut-sudut mereka. Cengkrama di bangku taman, langkah santai di trotoar, atau obrolan di kedai kaki lima Aku melihat kehidupan, di mana sepertinya orang-orang melupakan sejenak beban mereka. Ya, meski cuma sejenak, kita semua selalu butuh itu

Hhmmhhh Merenung di sini, terlintas dalam ingatanku tentang masamasa yang lalu. Sebelum ada Denis. Sebelum kenal Fandy. Sebelum bergaul dengan teman-teman seperti Ben dan Misha Dulu aku sering menyendiri seperti ini. Duduk di sudut taman, menikmati suasana sore hari, melamun bersama harapan-harapan seolah hanya itu yang kupunya. Menikmati kesendirian ini, rasanya aku seperti bertemu kawan lama Kuhirup aroma tehku. Menikmatinya dan tersenyum kepada cahaya sore yang teduh keemasan. Kemudian HP-ku berbunyi memecah lamunan. SMS beruntun masuk ke HP-ku. Hahaha Aku sudah menduga akan ada timbunan pesan seperti ini! Dari Misha, SMS tadi malam. Aq tlp kok g bs? Gmn keadaanmu, Mas? Aq dngr dr tmn2, ktnya km hbs dkryok? Tp Denis blg kok km kclkaan? Dari Misha juga, SMS tadi pagi. Gmn, Mas? Td Bu Yanti tny ke aq soal km, tp aq kan g tau apa2.. Bls please.. Dari Misha lagi, SMS tadi siang. Mas, aq mau jenguk km. Tp aq cari Denis di klsnya tnyt hr ini dia g msuk. HP ny jg g aktf. Kalian g apa2 kan? Denis hari ini nggak masuk? Tapi tadi pagi dia kan berangkat ke sekolah? Berarti tadi berangkat tujuannya nggak ke sekolah? Kemana dia??? SMS Misha telanjur menumpuk beruntun, aku malah jadi rada bingung mau balas gimana. Yaahhh, makasih deh Mis, udah peduli sama aku Tapi mungkin aku balas nanti saja, masih bingung buat ngetik balasan

Kemudian, sebuah nomor baru. Mas, gmn kndisimu? Aku dngr km dikroyok org? Moga2 km ngga papa.. Trs trng, aku kpikran, aku ngga ngira klo mslhnya bs smpe sjauh itu Ini dari siapa? Masih ada satu SMS lagi dengan nomor yang sama. Oh, iya. Ini nmrku yg baru Erik. Tuhan! Jantungku berdesir kencang selama beberapa detik. Kudesahkan nafas Tautan emosi ini rasanya masih saja membingungkan, antara aku dan Erik. Aku nggak tahu kenapa Erik mengirim pesan seperti ini padaku. Perasaanku dari masa lalu rasanya terungkit lagi, padahal aku sudah menghadapi banyak hal menyakitkan sejak saat itu Aku ingin melupakan sakit hatiku padanya, tapi rasa gamang selalu menggangguku tiap kali nama Erik terlintas. Aku memaafkannya, tapi kekecewaanku padanya, kuakui itu seperti luka yang masih labil! Entahlah Aku nggak tahu harus membalas apa untuk SMS Erik ini Satu SMS lagi menyusul masuk ke HP-ku. SMS yang baru dikirim beberapa menit lalu Mas, u dmn? Aku tau u lg bnyk mslh, sob. Aku mngkn bs bantu. Ksh tau aja u lg ada dmn. Oke? SMS dari Ben

Hahaha Anak satu itu, datang dan pergi. Muncul dan menghilang. Ya, dia juga punya kehidupan. Dia pasti punya masalahnya sendiri juga. Mungkin akulah yang sebenarnya kurang mengenal dia, akrab dengannya tapi kurang mengerti kehidupan dia secara dekat Yah, anaknya juga rada misterius sih. Tapi ngomong-ngomong, aku kangen juga sama sobatku satu itu Aku lg duduk2 di barat stadion Sriwdri. Dkt wrng teh.. ketikku, lalu kukirim ke nomor Ben. Hmmm Semua temanku memberiku perhatian. Kepedulian. Termasuk kawan lama ini, kesendirian di salah satu sudut kota ini Kawan tanpa kata-kata, yang masih saja mampu melenakanku dengan wajahnya yang terlukis dalam cahaya-cahaya lampu kota yang gemerlap di keremangan ambang senja Dengan matahari yang rebah keemasan di barat, dengan bintang-bintang yang mulai mengintip satu per satu di langit yang mulai gelap. Kawanku ini masih sama, tapi mungkin aku sudah tampak berubah baginya. Karena aku bukan lagi orang yang kemari untuk melamun dan menghibur diri dari kesepian. Karena sekarang aku telah berpikir, bahwa kenyataan memang nggak selalu seindah lamunan, kenyataan seringkali jauh lebih pahit, tapi keberanian seseorang dalam menghadapi kenyataan akan jauh lebih bermakna dari segala bentuk anganangan Sebab saat kita berani menghadapi kenyataan, aku percaya bahwa di sana akan selalu ada kesempatan untuk mengubah yang pahit menjadi manis. Itulah yang disebut perjuangan. Selalu ada harapan di dalamnya

Dan itulah yang kubawa di tempat ini. Bahwa aku sudah berusaha hari ini. Aku sudah memperjuangkan sesuatu. Maka sejenak aku singgah mencari damainya senja hari, untuk sekedar bersyukur bahwa aku masih diberi kekuatan untuk menghadapi ini semua! Senja makin remang. Aku masih terpekur di sini. Untuk beranjak dari sini, rasanya seperti harus berpisah dengan kawan yang aku masih kangen Hahaha Tapi sekarang ada yang mulai mengalihkan perhatianku, mataku mengamati seseorang yang baru turun dari motornya, nggak jauh dari tempat aku duduk. Begitu dia membuka helmnya, ya aku rasa aku memang punya alasan untuk tetap di sini! Anak berbadan tegap dengan rambut agak gondrong itu menghampiriku. Aku tersenyum lebar menyambutnya! Hai, Bro sambutku. Parah! tukas Ben yang sudah berdiri di hadapanku. Dia berdecak dengan wajah sedikit shock. Ya, dia pasti sudah tahu soal perkelahian di kantin, dan juga pengeroyokan itu. Kenapa? Aku jadi nggak cakep lagi ya? candaku. Aku tahu dia sedang melihati mukaku yang ada beberapa bekas memar. Syukurlah kalo masih bisa becanda! timpal Ben agak kesal. Habis gimana? Minta aku nangis?

Ahhh Dasar! Terus ngapain kamu malah di sini? Mau proklamasi? Proklamasi apa? Proklamasi gender? Warianya belum pada datang! Nanti jam sembilan baru rame! balasku masih becanda. Lalu kutarik tangan Ben. Udahlah, sini duduk sini! Mau teh nggak? Aku pesenin di warung Nggak usah! cetus Ben pelan. Lalu dia mengeluarkan rokok mild dari saku jaketnya. Sebentar kemudian asap sudah mengepul dari mulutnya. Kemarin aku telpon nggak diangkat? sentilnya. Baru nggak terima telpon, ini bibir lagi perih nih habis kena jotos! jawabku asal. Terus sekarang kenapa malah kongkow di sini? Nungguin disamperin mereka lagi?! Ih, galak amat sih dari tadi? Aku stress tau?! Baru sekarang nih aku bisa rada tenang! timpalku jadi ikut rada kesal. Udah, sekarang cerita! Kenapa tuh sampai bonyok gitu?! cetus Ben sambil melihatiku lagi. Huhhhh aku mendengus pelan. Biasa lah. Awalnya dari mulut gatel orang-orang yang suka ngejek aku. Sialnya aja waktu itu Denis lagi sama aku. Ya udah, dihajar tuh anak-anak sama si Denis! Geri kan? Iya Nah, itu udah tahu kan?!

Terus? Ya gitu lah, ribut jadinya! Berantem! Aku sama Denis, terus Geri sama Ronald, dibawa sama Pak Alex, disidang sama BP. Aku pikir masalahku sama Geri udah selesai sampai situ, soalnya sama-sama dapat sanksi. Nggak tahunya, pas aku pulang dicegat lagi sama mereka di luar Ya udah! Aku dikeroyok sampai kayak gini nih! Kamu pulang sendiri? Iya. Denis nggak tahu dia, waktu itu dia pulang duluan Tapi Denis tahu kalo kamu dikeroyok? Kalo sekarang sih paling dia udah tahu! Jadi kamu nggak cerita sama dia? Aku mendesah lesu. Aku bingung. Aku nggak bilang ke orang rumah kalo aku habis di keroyok. Aku cuma bilang kalo aku kecelakaan motor. Yaaa sial yang kebetulan juga sih, habis dikeroyok aku jatuh dari motor! Motorku sampai bonyok! Tapi itu malah bisa aku jadiin alasan buat nutupin soal pengeroyokan itu dari orang tuaku Aku nggak mau ortuku sampai tahu semuanya, soalnya kalo ketahuan mau nggak mau aku juga harus buka diri kalo aku tahu sendiri lah! Bisa mampus aku! jelasku berbagi keluh kesah.

Ben menatapku, dengan raut antara heran dan prihatin. Kenapa kamu nggak bilang aja terus terang ke Denis? Selama ini dia udah tahu masalahmu kan? Kamu mau hadapi semuanya sendirian? Sebenarnya Aku sama Denis baru nggak akur sekarang Terus terang aku marah sama dia, gara-gara dia ngeladenin Geri berantem di kantin itu Semua masalahku jadi meledak! Dia kan cuma pingin belain kamu?! Iya aku tahu. Cuma hasilnya nggak setimpal, masalah malah jadi tambah parah! Kamu tahu nggak, habis perkelahian di kantin itu, aku disidang sama BP! Akhirnya guru-guru BP itu jadi tahu kalo aku ya gitu lah! Dan Pak Alex itu yang paling ambisius buat nekan aku! Dia itu sampai niat banget buat menemui ortuku, buat ngelaporin semuanya! Gimana aku nggak stress coba?! Habis itu, aku masih dikeroyok sama gengnya Geri. Parahnya lagi, waktu itu aku lagi sama Fandy dan dia juga ikut dipukuli! Jadi kacau juga hubunganku sama Fandy! Gara-gara peristiwa di kantin itu, sekarang hancur semuanya! desahku lesu. Sesaat Ben terdiam. Aku juga Fandy gebetanmu itu kan? celetuk Ben tiba-tiba. Gubrak! Malah ngomentarin itu sih?! sentakku jengkel.

Ya iya, itu kan masih ada hubungannya sama masalahmu kan? Gimana dia? Huhhh Dia juga udah tahu soal aku, Ben Yaaahhh dia juga nebak kalo aku suka sama dia Tebakan yang peka! cetusku dengan tawa kecut. Awalnya, kayaknya dia dengar dari omongan-omongan di sekolah. Terus dia mulai berniat ngejauhin aku. Nggak tahunya malah ada perkelahian di kantin itu, ditambah pengeroyokan yang bikin dia kena getah juga Pastinya makin cacat imejku di mata dia! Ben terpekur memandangiku. Kamu ditolak? Kalo aku diterima, nggak bakal aku manyun di sini sendirian! Minimal pasti sama dia lah, jalan-jalan di mal cari hiburan atau nongkrong di Pizza Hut! Atau tiduran di kamar dia! tukasku agak sengak. Masa nggak bisa menyimpulkan sendiri sih?! Pura-pura dodol nih anak! Hmm gumam Ben sambil tersenyum geli. Tapi kamu nggak desperate kan? Haha Lucu ah, komentarmu. Kalo sedih ya pasti sedih lah! Shock hubunganku yang udah baik sama dia berakhir drastis kayak gini! Tapi aku juga sadar aku ini banyak masalah Dan aku juga terbukti nggak bisa ngelindungin dia Kalo saja dia itu juga suka cowok, aku nggak yakin aku ini cowok i deal yang dia cari! Hahaha aku tertawa pahit, menertawai diriku sendiri.

Ben

terdiam.

Cuma

ikut

memberikan

senyum

masam

sebagai

komentarnya Tapi kenapa dia juga sampai dipukuli? tanyanya kemudian. Aku mendengus lesu. Aku nggak tahu. Mungkin karena dia temanku, dan sedang berada di tempat yang sama Udahlah, Ben. Jangan ungkit soal dia dulu Please gumamku lirih. Nyesek Oke, sorry bisik Ben sambil menepuk-nepuk pundakku. Terus, gimana rencanamu sekarang? Huhhh Saat ini prioritasku bukan soal Geri. Saat ini aku lebih terganggu sama rencana Pak Alex yang mau ngelaporin aku ke ortuku. Itu yang paling genting! tandasku. Rencanamu? Aku tersenyum simpul. Sebenarnya bukan rencana lagi sih. Aku sudah melakukan sesuatu hari ini. Ya, baru sore ini tadi, sebelum aku mampir ke sini Apa? Aku mencatat pelanggaran Pak Alex. Beberapa kode etik gitu lah. Itu yang akan aku pakai buat melawan arogansi guru satu itu! Sore ini tadi aku baru saja menemui Wali Kelasku, Bu Yanti. Aku minta bantuan dia. Syukur, Bu Yanti

ternyata bersedia membantuku buat mencegah rencana Pak Alex yang ngebet mau melapor ke orang tuaku Kode etik? Ya. Semacam aturan yang baku dalam konseling, Pak Alex nggak mungkin mengelak! Pelanggaran yang dia lakukan sangat jelas kok! ujarku dengan yakin. Pikiranmu kok bisa sampai ke situ ya? tanya Ben, memandangiku terheran-heran. Aku tertawa. Hahaha Soalnya aku yakin, tiap hal pasti punya aturan. Dan tiap jabatan pasti punya batas wewenang! Aku cari-cari di internet, akhirnya dapat juga yang aku cari! Namanya konseling itu ada aturannya juga, dan Pak Alex melanggar aturan itu! jelasku tegas. Ben tampak berpikir-pikir. Tapi kamu yakin semuanya akan selesai dengan itu? Nggak serta merta lah Tapi itu langkah awal yang paling tepat. Menurutku. Tapi itu cuma menyelesaikan masalahmu sama BP kan? Gimana dengan Geri? Seperti yang kubilang, itu cuma langkah awal! cetusku, jadi makin antusias membeberkan rencanaku ke Ben. Coba bayangkan, kalo aku melaporkan

Geri ke sekolah sekarang, pihak sekolah pasti akan menelusuri akar masalahnya. Mau nggak mau, pasti soal gay akan disinggung lagi! Masalahnya, arogansi BP dibawah pengaruh Pak Alex pasti lagi-lagi akan menyudutkanku! Makanya, Pak Alex harus ditangani lebih dulu! Aku minta perlindungan Bu Yanti biar BP nggak bisa semena-mena! BP pasti juga akan nyadar, kalo Bu Yanti punya wewenang untuk melindungiku! Kalo BP sudah bisa bersikap netral, maka aku tinggal melaporkan Geri tanpa perlu kuatir adanya tekanan dari pihak sekolah. Aku tetap akan membalas Geri, tapi aku butuh hakim dan sistem yang benar-benar adil agar aku bisa menang! Makanya, pihak yang sensi harus dijinakkan dulu, terutama Pak Alex karena dia yang paling getol dan berpengaruh! Akan aku skak dia lewat pelanggaran Kode Etik yang dia lakukan! Ben termangu-mangu mendengar penjelasanku Tapi, katakanlah BP akhirnya berpihak ke kamu, apa mungkin sekolah menyidangkan kasus itu tanpa memberi laporan ke orang tuamu? kulik Ben tampak sangsi. Katakanlah Geri nanti dihukum, apa ada jaminan bahwa pihak sekolah nggak akan ngasih tahu orang tuamu? Bagaimanapun juga kamu yang jadi korban dalam kejadian itu kan? Aku sudah bicara dengan Bu Yanti soal kondisiku, semuanya! Dan Bu Yanti bersedia melindungiku dan menjaga supaya masalah dapat diselesaikan tanpa perlu melibatkan orang tuaku. Bu Yanti juga akan berusaha membujuk Bu Kamti buat menangani masalah ini, katanya beliau pasti bisa membantuku

Ben terkesima mendengar penjelasanku. Lalu dia mengangguk pelan. I see Aku juga yakin kamu akan aman kalo Bu Kamti ada di pihakmu ucapnya menerawang. Oh, ya? Ya. Dia memang killer. Tapi sebenarnya dia punya empati yang besar Dulu waktu aku kena kasus drugs, aku hampir saja dikeluarkan dari sekolah Tapi aku beruntung karena yang menangani kasusku Bu Kamti. Banyak orang pasti nggak nyangka, kalo di luar sekolah Bu Kamti itu juga jadi aktivis LSM. Dia menjadi Konselor di pusat rehabilitasi narkoba di Solo. Dia jelas lebih bijaksana lah jelas Ben dengan senyum samar. Aku terpana. Kamu serius? Ya. Aku tersenyum makin lega. Hhhhhh Thank God! Tapi, aku tetap nggak yakin itu akan efektif buat nyelesein masalahmu sama Geri! cetus Ben, mengungkit soal Geri lagi. Kenapa?! henyakku heran. Kita berharap saja BP akhirnya berada di pihakmu. Lalu katakanlah Geri dapat skorsing Mungkin nggak cuma skorsing aku langsung menyahut. Seingatku, pengeroyokan dan tawuran itu poin-nya sangat tinggi. Sekitar 400-an! Kemarin

dia sudah kena poin 150. Kalo kulaporkan, dia mungkin akan dikeluarkan dari sekolah! Nah, sekali lagi, kalo Geri sampai dikeluarkan dari sekolah maka berarti itu kasus serius! Kamu yakin, kasus seserius itu benar-benar nggak akan sampai ke telinga orang tuamu? Kali ini aku mulai berpikir lagi, dan mulai ragu saat Ben menegaskan pendapatnya Itu yang pertama! cetus Ben melanjutkan. Kedua, katakanlah orang tuamu benar-benar nggak akan diberitahu soal pengeroyokan itu, dan kamu berhasil membuat Geri dikeluarkan dari sekolah Tapi, apakah ada jaminan bahwa dia nggak akan mencegat kamu di suatu tempat di luar sekolah, kemudian ngeroyok kamu lagi, dan lebih parah dari yang kemarin??? Sekolah cuma bisa melindungi kamu selama kamu berada di lingkungan sekolah Di luar sekolah, siapa yang bisa menjamin? Aku makin terdiam, tercenung dalam keraguan yang sekonyong-konyong kembali meliputiku! Perasaanku segera menjadi resah lagi! Pendapat Ben terasa ada benarnya Orang yang mentalnya tukang keroyok kayak Geri itu, kamu nggak bisa mengharapkan sikap fair dari dia! Buktinya, habis berantem di kantin dia masih mukulin kamu di luar kan? Dia bukan orang yang begitu kena poin pelanggaran kemudian langsung sadar dan bertobat. Kamu terlalu naif kalo berpikir ke situ!

Aku juga yakin, yang diancam pasti nggak cuma kamu. Tapi Denis juga! tandas Ben makin membuatku tercekat. Iya Kamu benar, Ben desisku tersadar, seketika makin cemas. Sebenarnya, Geri memang mengancam Denis juga Dia bilang, kalo dia juga bakal menghajar Denis! Nahhh?! Seharusnya kamu bilang terus terang ke Denis! Karena dia juga diancam?!! Yaa Aku aku terlalu marah sama Denis, dan aku pikir toh Denis lebih pintar jaga diri! Aku pikir nggak mungkin habis ngeroyok aku, terus Geri masih nekat ngeroyok Denis Aku kira dia cuma nakut-nakutin? racauku bimbang. Gimana kalo dia serius? Seserius dia mukulin kamu?! tukas Ben. Aku makin gundah. Kuusap wajahku dan menghela nafas panjang Iya aku terlalu kecewa dan marah sama Denis, makanya aku nggak ngomong ke dia Aku memang jadi malas ngomong ke dia! Dia juga nggak ngomong apa-apa ke aku Tapi sekarang aku jadi kuatir, hari ini dia sampai bolos sekolah segala! gumamku cemas. Orang kayak Geri itu nggak akan berhenti sampai dia puas! Gimana kalo dia nggak pernah puas?! lontar Ben, membuatku tambah kuatir! Jadi Aku harus gimana? akhirnya, aku mentok pada kebingungan

Ben mendesah seraya melempar puntung rokoknya ke tanah. Aku tadi udah bilang, aku mungkin bisa bantu kamu! Aku kira cuma buat jadi pendengar setia dari masalahku? Hahahaha Ben tertawa kecut. Seperti ada gelagat yang aneh dengan tawanya Kok ketawa? Apa yang kamu pikirkan buat membantuku?! desakku ke Ben yang masih memasang wajah kecut. Hhhhh Sebelumnya, aku minta maaf ya kalo misalnya ada kenyataan yang nanti bikin kamu marah gumam Ben pelan. Hah? Jangan bikin tegang ya! Kenapa?! desakku makin gelisah. Kamu masih ingat, siapa aja yang sama Geri waktu ngeroyok kamu? Nggak. Kayaknya bukan dari sekolah kita. Kayaknya teman gengnya Geri dari luar sekolah Si Ronald yang waktu di kantin ikut berantem, nggak ada waktu pengeroyokan itu gumamku mengingat-ingat. Kamu pernah lihat logo ini? Ben memperlihatkan tas kecilnya, jarinya menunjuk logo bordiran di tas itu. Aku mengamatinya Aku yaa Aku pernah lihat! aku terkesiap seketika, saat melihat logo bundar warna merah bergambar dua tangan terkepal yang bersilang, di tasnya Ben.

God! Aku ingat, logo itu sama dengan yang ada di kaos Geri waktu dia mukulin aku!!! Kaosnya warna hitam? Iya! Beberapa temannya juga pakai kaos yang sama! Logonya ada di bagian dada, besar! aku makin terbelalak terheran-heran. Ada apa nih??? Kenapa sih?!! Hahaha Logonya gampang diingat ya? ujar Ben disertai tawa pahit. Aku juga punya baju seperti itu. Terus terang Geri itu satu sasana denganku! Hahhh? Sasana? MMA. MMA? timpalku tercengang-cengang. Mixed Martial Art! cetus Ben sambil menyunggingkan senyum. Kemarin ada temanku di kelas yang bilang, katanya dia ada di tempat kejadian waktu kamu dikeroyok. Dia nyeplos, dia bilang logo di tasku ini mirip sama logo yang dia lihat di kaosnya Geri waktu itu. Aku jadi penasaran Aku udah nggak gabung di sasana itu lagi, jadi aku tanya ke temanku yang ada di sana. Ternyata benar, Geri juga gabung di sasana itu dan dia anggota aktif! Aku terhenyak, nggak tahu harus berkomentar apa Kaget!!! Sorry kalo ini bikin kamu marah ucap Ben.

Nggak, nggak apa-apa Aku memang kaget sih Tapi nggak ada yang salah sama kamu kok Buatku itu kebetulan aja ujarku masih agak shock. Jadi, bantuan yang kamu maksud? Terus terang aku salut dengan usahamu sih, Mas. Tapi menurutku, diplomasi dengan guru hanya akan ngefek buat menghentikan Pak Alex. Buat menghentikan Geri, itu nggak akan ada gunanya! Kita harus bikin dia jera dengan cara lain. Cara yang lebih cocok buat dia! cetus Ben. Aku mencerna kata-kata Ben. Dan satu kesimpulan yang terbayang di kepalaku membuatku tambah kaget!!! Ben memandangiku lekat dengan senyum tajam. Aku bisa bantu. Tapi kamulah yang harus memutuskan! Aku terbelalak! Ben KAMU MAU MENGHAJAR GERI?!!!

KANTONG 35 : Ular / Merpati Ultimatum!

Aku bersama Ben berhenti di sebuah area parkir, di depan sebuah bangunan gedung. Gedung yang lumayan besar dan tampaknya berlantai dua, berdiri di antara deretan panjang bangunan kota di Jalan Urip Sumoharjo Solo yang ramai namun agak temaram. Aku turun dari Vespaku. Aku merasa ragu waktu menatap logo besar yang terpampang di pintu masuk. Logo yang sama dengan yang ada di tas milik Ben itu! Kamu serius ini bakal berhasil? gumamku bimbang. Udah, percaya aja! Ayo! Ben menepuk pundakku seraya melangkah dengan mantap memasuki gedung sasana beladiri yang pernah dia ikuti itu. Gimana lagi? Udah sampai sini juga, ya udah terpaksa ngikut Ben masuk! Moga-moga benar rencananya ini akan berhasil! Baru sampai ruangan depan, sudah terdengar gema suara dari orang-orang yang sepertinya sedang berlatih di ruangan lainnya. Riuh dan terdengar tangguh! Sedangkan di ruangan depan ini hanya ada sebuah lobby kecil dengan macammacam pajangan, dari foto-foto sampai beragam tropi. Seorang laki-laki berambut acak-acakan sedang duduk ongkang-ongkang di balik meja lobby sambil menghisap rokok. Sapanya langsung menyeruak begitu melihat Ben Woiii! Bonbon! Kemana aja kau?! Nongol lagi sekarang! laki-laki itu berdiri sambil membentangkan tangan, seperti mendapatkan kejutan!

Sibuk, Bang sahut Ben santai sambil menjabat tangan laki-laki itu. Ashhh! Alesan! Sibuk cari pacar baru kan?! Kau payah sih, cuma putus sama cewek aja langsung mogok latihan! Tuh, mantanmu masih jomblo, baru latihan di dalam! Udah latihan lagi sana! laki-laki itu berkelakar seraya ketawa kencang ala Mbah Surip! Ngapain bawa-bawa dia?! Nggak ada hubungannya sama dia! kelit Ben dengan muka rada bersemu merah. Weww, Ben bisa tersipu juga??? Nggak usah ngeles! seru laki-laki itu sambil menggaplok Ben, dan tertawa gelak-gelak. Masa jagoan pakai ngambeg-ngambegan? Jagoan India kau! Wahahahaha! laki-laki itu tambah kencang tawanya kayak orang mabok, malah kali ini pakai gebrak-gebrak meja segala. Udah! Puasss?! tukas Ben dengan muka kesal. Mana Boss-mu?! Ada urusan aku sama dia! Tawa laki-laki itu langsung berhenti, bengong setengah terperanjat. Buseeettt Berani juga kau tanya begitu? Punya guru baru kau??? desisnya dengan mulut melebar. Aku sendiri juga kaget! Gayanya si Ben udah kayak mafia mau melabrak aja!!! Sialnya aku ikut kemari pula sama dia?!! Padahal sudah pasti ini sarangnya orang-orang jago berkelahi!!! Ada nggak? Aku kangen sama kepala botaknya! tukas Ben lagi.

Laki-laki di lobby itu langsung ketawa lagi. Hahahahaha Tuuhhh! Di dalemmm! tunjuknya sambil cengengesan. Dikurangin tuh minum! Keren apa teler saban hari?! tukas Ben sambil berlalu. Woyooo, maannnn! seloroh laki-laki itu, masih ketawa-ketawa nggak jelas. Yuk, masuk! Ben menggamitku dengan cuek. Panggilanmu di sini Bonbon ya? celetukku sambil ngikutin Ben. Kok kesannya jadi unyu banget ya? aku masih menggumam-gumam sendiri. Jadi ceritanya kamu dulu pernah cinlok ya di sini? Ben langsung melirik judes ke aku. Udah komentarnya?! Weeee Gitu aja sensi! balasku sambil tersenyum-senyum geli. Mulai ketahuan nih track record sohibku yang misterius ini. Hehehe Kami melangkah di sebuah koridor yang berlampu terang. Gema suara yang mantap dan serempak makin bergemuruh! Koridor ini adalah lorong panjang dengan dinding beton di satu sisi, sedangkan sisi lainnya adalah deretan sekat berupa tirai bambu bercat biru yang memanjang. Dari balik sekat bambu ini, bisa kuintip ruangan besar di mana puluhan orang tampak sedang berlatih. Suara instruktur, gerak tinju dan tendang, tangkis, semua serempak menggema! Aku sampai terpukau mengintipnya!

Tapi dadaku segera merasakan sesuatu yang menusuk! Rasa kesumat langsung menyengat begitu kulihat orang yang pernah memukuliku juga ada di ruangan itu Geri! Benar kan, dia anak sasana ini! Ben berbisik, dia juga memperhatikan Geri. Aku cuma mengangguk pelan. Tunggu sini! bisik Ben padaku. Lalu Ben menerobos tirai bambu. Dia masuk ke ruang latihan yang besar itu, melangkah dengan santai dan cuek melewati murid-murid sasana yang sedang berlatih. Dia mendekati salah satu instruktur, yang berbadan tinggi kekar, berkepala gundul dan berwajah angker! Instruktur itu kelihatan terkejut saat menyambut Ben. Dia menggablokgablok pundak Ben sambil ketawa-ketawa. Lalu mereka bercakap-cakap, entah apa. Aku cuma bisa mengintip dari sini, cukup jauh untuk bisa mendengar percakapan mereka. Beberapa saat kemudian, Ben dan instruktur itu melangkah menuju ke arahku. Dadaku makin berdebar. Benar-benar ini ide yang jauh dari pikiranku Terus terang aku grogi! Apa ini bakal berhasil sesuai perkiraan Ben?!!

Sekarang, Ben dan instruktur berwajah angker itu sudah berdiri di hadapanku! Mas, kenalin, ini Bang Togar, pelatihku dulu! Ben langsung mengenalkan aku ke pelatihnya itu. Dengan grogi kujabat tangan instruktur berkulit gelap dan berkepala plontos itu sambil mengenalkan namaku. Dimas, Om ucapku

memperkenalkan diri, agak gugup Togar! Kau panggil Bang saja! sapanya dengan aksen Batak yang kental. Dia menyambut uluran tanganku seraya melebarkan bibirnya yang tebal. Tanganku Anjriiittt! Ini orang jabatan tangan apa adu panco?! Asemmm O my Gggg! Hahaha Bang Togar melepaskan tangannya sambil ngakak. Jiah!!! Gelo nih orang! Tanganku sampai linu diremas sama dia! Bang Togar ketua sasana ini jelas Ben. Kau mau gabung juga? tanya Bang Togar padaku, kelihatan bersemangat. Gabung? Aku jadi bingung Ben belum jelasin ya tadi??? Nggak, Bang. Ada masalah lain nih, Bang serius! Kayaknya musti dibicarain di tempat yang lebih nyaman Ben segera meluruskan.

Bang Togar melongo, menatap aku dan Ben bergantian. Tatapan matanya jadi agak curiga. Lalu bibirnya tersungging ragu-ragu. Serius? Oke Ayo ayo, ke atas lah! dia akhirnya menimpal dengan ayunan kepalanya, seraya beranjak cekatan menuju ke arah tangga. Ke lantai dua. Aku dan Ben mengikutinya dari belakang. Hatiku belum berhenti was-was. Malah makin tegang! Aku sedikit memperlambat langkahku Beneran, ini nekat! gumamku gelisah. Udah, tenang aja! Aku kenal baik sama dia. Yang penting kamu jujur aja sama dia! tukas Ben berusaha meyakinkanku lagi. Justru itu! Artinya aku musti ngomongin masalahku ke orang yang baru aku kenal! keluhku berbisik-bisik. Tapi orang ini ada hubungannya sama masalahmu! balas Ben. Menurutku sebenarnya nggak ada hubungannya. Justru kita yang maksa dia terlibat! Kalo dalam kamusku, kita memanfaatkan dia! Huuhhh Cerdik seperti ular? sindirku agak kesal. Itu yang ditandaskan Ben padaku saat dia meyakinakanku pada rencananya ini. Tulus seperti merpati sahut Ben. Kenapa kita nggak cukup jadi merpati saja?

Kalo kamu cuma jadi merpati, kamu cuma bisa mengandalkan sayap untuk terbang tiap kali ada masalah. Menghindar dan menghindar! Aku bukannya diam saja! Aku juga sudah berusaha! Ya, diplomasi dengan guru. Tapi musuhmu ini anjing, sengatan tawon kurang ngefek! Kamu harus jadi ular! Kamu harus membuat manuver yang lebih keras! Musuhmu butuh orang yang benar-benar bisa menendang pantatnya! sahut Ben sambil menepuk pundakku. Sebaiknya rencanamu ini berhasil! tandasku lesu, mengerem perdebatan yang mengiring langkah kami ke lantai dua. Aku masih ragu, tapi juga nggak punya ide lain yang lebih meyakinkan. Aku hanya bisa berharap rencana ini benar-benar berhasil! Sangat berharap, karena aku telanjur melangkah kemari! Di lantai dua, kami memasuki sebuah ruangan berukuran sedang dan berAC. Ada sofa siku panjang yang dilengkapi meja di tengah ruangan. Lalu lemari buffet besar yang merapat di dinding, dipenuhi buku-buku dan pernak-pernik lainnya, dan juga TV 20 inch. Di salah satu ujung ruangan masih ada pintu lagi, menghubungkan ke ruangan lainnya. Ini semacam ruang tamu pribadi. Sekilas aku tertarik mengamati benda logam mirip panci steamboat yang biasa dipakai buat tempat sup. Benda itu cukup besar dan berdiri sendiri di salah satu bilik buffet. Oohhhh Itu bukan panci sup, itu piala!

Duduk sini, bikin santai sajalah! Apa masalah kalian? Kenapa dibawa ke aku? seloroh Bang Togar sambil mendudukkan dirinya. Aku dan Ben ikut duduk di sofa menghadapi Bang Togar yang bermuka preman tapi murah senyum itu. Gini, Bang Jooonnnn! Ambil minum tiga bawa sini!!! teriak Bang Togar kencang, memotong kalimat Ben yang belum selesai mengawali pembicaraan. Aku sama Ben cuma bengong Terus, terus! instruktur geje itu lalu bersiap menyimak lagi. Ada muridmu yang bikin ulah, Bang! Ben langsung tanpa basa-basi lagi. Bang Togar kelihatan agak kaget. Siapa? Bikin ulah apa? deliknya agak tajam. Muridmu yang namanya Geri, Bang Dia habis mukulin orang! jawab Ben to the point. Hahh?!! cekat Bang Togar. Cuma gitu aja komentarnya, cuma hahh sambil mendelik seperti orang kena sembelit. Beberapa hari kemarin dia mukulin temanku ini lanjut Ben sambil menepuk bahuku.

Bang Togar sekarang menatapku, masih dengan muka mendeliknya itu. Aku tambah grogi dan nggak enak. Mau nyembunyiin muka tapi ngerasa salah juga. Segan, sungkan menyesal telanjur kemari! Serba salah! Beneran, kau serius ini?! Bang Togar kembali mengorek Ben. Serius, Bang! Memangnya kamu ulang tahun apa, Bang, musti dikerjain?! tukas Ben enteng, punya mental juga nih anak berani ngomong seperti itu ke master-nya yang bermuka angker itu! Hei, hei! Kalo sampai berkelahi pasti ada alasannya lah?! Apa masalahnya? Kenapa sampai mukul orang?! sergah Bang Togar ketus. Nah, Bang Togar tanya langsung aja ke Dimas! Aku nggak bohong, tapi lebih adil kalo Dimas sendiri yang jelasin! lontar Ben seraya mengalihkan pandangannya padaku. Dua pasang mata menatapku sekarang! Mampusss! Ini yang paling kucemaskan! Aku harus mengungkapkan masalahku ke orang yang baru beberapa menit kukenal namanya! Oohhh Damn! Kenapa sih aku percaya banget sama rencana Ben ini?!! Ceritain aja, Mas! Ben mendorongku. Apa masalahnya?! kejar Bang Togar dengan mimik serius. Aku dapat bonus waktu untuk bernafas! Seseorang datang membawa selingan, laki-laki muda tambun berwajah ngantuk muncul dari ruang sebelah

sambil membawa tiga botol minuman. Dia meletakkannya di atas meja di depan kami bertiga, habis itu berlalu lagi dengan cuek. Tengkyu, Joonnn! seloroh Bang Togar sambil menyambar

minumannya. Secara sambil lalu saja dengan kode tangannya, dia menawari kami untuk ikut minum. Mukanya berseri untuk sesaat. Ya, cuma sesaat. Begitu selesai dengan tegukannya, matanya kembali tertuju serius padaku. Gini, Bang aku mulai bercerita dengan agak gugup. Geri itu satu sekolah denganku. Dia suka sekali ngolok-olok aku. Beberapa hari kemarin, celakanya dia ngejek aku pas ada adikku. Jadinya dia dihajar sama adikku MURIDKU DIHAJAR SAMA ADIK KAUUU?!! Bang Togar tersentak bak sebiji jarum menancap di pantatnya dengan tiba-tiba! Seketika nyaliku ciut begitu melihat respon Bang Togar yang seperti geledek itu! Aku nggak lihat sih, tapi pastinya muridmu babak belur, Bang! sahut Ben sambil tersenyum mencibir. ANJRIIIITTT! Malah dibumbui! Keren Ben, moga-moga Bang Togar terima dengan komentarmu! Moga-moga jarum yang tadi mencoblos pantatnya nggak berubah jadi paku sekarang! Tapi di luar dugaan

Wah, wah, wah! Hebat kali adik kau? Jagoan mana adik kau?!! balas Bang Togar dengan senyum lebar. Terus terang aku jadi bingung lagi, instruktur ini sedang menunjukkan selera humornya atau sedang menunjukkan ancamannya?! Senyum atau seringai? Memangnya Geri tingkat berapa sih, Bang? Ben kayaknya masih mau nambah bumbu. Adik kau belajar apa? Punya tingkat berapa dia?! Bang Togar menanyaiku lagi, nggak menggubris Ben. Aku agak ragu menjawabnya. Nggak gitu tahu, Bang Kalo nggak salah Karate, ekskul dia sejak SMP waktu masih di Medan Aku pernah lihat di raportnya jelasku. BAH!!! Kau dari Medan?!! Aku juga dari Medan!!! Bang Togar terbelalak antusias. Bukan, Bang! Kalo aku sih asli Solo Tapi adikku pernah diasuh sama Tante yang tinggal di Medan jelasku meluruskan. Wah, belibet nih! Bang Togar mendelik lagi. Ahhh, muka kau memang tak kelihatan seperti orang Batak! komentarnya dengan cengiran lebar. Ayahku asli Jawa, Bang. Mama ada campuran Manado kegugupanku menghadapi Bang Togar malah membuatku ngelantur, menjabarkan keluargaku Penting nggak sih? Haduuhhh Grogi!

Bah! Gado-gado keluarga kau!!! seru Bang Togar, lalu ngakak keras. Aku jadi berpandang-pandangan dengan Ben saking herannya dengan instruktur yang susah ditebak perangainya itu! Ben mengisyaratkan dengan gerak bibirnya sambil tersenyum, Santai aja! Tak heran lah adik kau bisa hajar si Geri sampai babak belur! Muridku itu belum ada setahun belajar di sini. Dia masih pemula. Tapi gimana ini? Mana yang benar? Yang dihajar kau, atau muridku??? ujar Bang Togar bingung, seraya memandangi aku dan Ben bergantian. Habis dihajar adiknya si Dimas, Geri balas dendam! Dia gantian mukulin Dimas! Padahal dia sendiri yang cari gara-gara, dia nggak pernah bosan mengejek Dimas! Kalo menurutku sih udah wajar lah kalo Dimas dibelain sodaranya! jelas Ben ke Bang Togar. Tapi kenapa muridku musti olok-olok kau? Kau punya masalah apa sebelumnya sama dia? Cerita saja lah semuanya! Tak jelas kalo cuma setengahsetengah! desak Bang Togar padaku. Ya ampun aku ragu buat mengutarakannya! Bagaimana kalimat yang pas untuk menguraikannya? Bagaimana menjelaskan semuanya??? Apa aku bisa percaya pada orang ini?!! Gini, Bang ucapku, hampir nggak terdengar. Aduuuhhh! Aku benar-benar sulit mengutarakannya!!!

Dia kayak adik kamu, Bang tiba-tiba Ben menduluiku. Aku terkesiap. Bibirku menganga. Sedangkan bibir Bang Togar menciut! Maksud kau apa? tanya Bang Togar ke Ben dengan mimik ragu. Kayak Bonar, adikmu itu, Bang! Ben berusaha ngasih clue ke mantan instrukturnya itu. Bang Togar lalu menatapku lekat-lekat, tanpa kata-kata Aku Hmmmhhh aku mendesah gundah sambil mengusap kepalaku yang rasanya gerah. Ben cerita ke aku soal adikmu, Bang Ya, kondisiku sama kayak adikmu, Bang Huuhhhh Sulit, tapi akhirnya kulepaskan juga pengakuan itu. Entahlah, semoga itu memang bisa membantu seperti yang diyakinkan Ben padaku! Bang Togar masih diam dengan mulut ciut memandangiku. Geri suka mengolok-olok dan ngebully Dimas karena kondisinya itu Ben mempertegas penjelasanku. Memangnya orang-orang pada tahu kau seperti itu? tanya Bang Togar dengan wajah datar padaku. Ya, tapi bukan atas niatku sendiri, Bang. Itu nggak disengaja. Gimana ya, susah jelasinnya jelasku bingung.

Soal kenapa orang-orang bisa tahu kalo temanku ini gay, itu nggak ada hubungannya sama Geri, itu soal lain lagi, Bang. Tujuan kami ke sini, fokusnya soal Geri aja! tandas Ben. Tapi rasanya ada tendensi tertentu yang aku tangkap dari kalian. Hehhh Gimana ya? Bang Togar sekarang kelihatan berpikir-pikir dengan bimbang. Lalu dia tersenyum licin. Kalian pakai mengungkit soal adikku! Memang adikku seperti itu, dia suka laki! Tapi itu tak ada hubungannya sama masalah kalian tho?! Memang nggak ada hubungannya, Bang. Kalo aku ngaku soal itu tadi, itu karena aku ingin ngomong jujur sejak awal. Memang akar masalahnya di situ. Semua awalnya dari kebiasaan Geri ngolok-olok aku, padahal aku nggak pernah cari ribut dengan siapapun. Aku jelasin secara terbuka aja biar Bang Togar bisa menilai siapa yang salah, siapa yang cari gara-gara duluan terangku dengan hati-hati. Tapi aku rasa sih Bang Togar sebaiknya juga jujur aja. Kalo ada gay yang dibully, apa Bang Togar nggak bisa ngebayangin seandainya itu terjadi sama adikmu, Bang? Apalagi si Geri yang tukang bully ini murid kamu sendiri, Bang! sahut Ben menambahi penjelasanku. Hahahaha! Licik kau! Benar kan, kau ungkit-ungkit adikku lagi! Bang Togar tertawa sinis sambil menuding-nuding Ben. Lalu perlahan wajahnya berubah dengan mimik setengah merenung. Yaaah secara pribadi memang aku tak suka dengan orang yang suka gencet orang lain. Apalagi kalo itu terjadi sama

si Bonar, pasti aku hajar itu orang! Adikku memang begitulah seperti yang kalian tahu, tapi buatku dia tetap adikku. Si Bonar seperti itu ya aku terima sajalah dia, aku laki-laki yang lebih tua musti bisa lindungi yang lebih muda. Apalagi di tempat rantau. Orang Batak harus bisa jaga keluarga! Aku tercenung sesaat mendengar ucapan Bang Togar. Rupanya di balik penampilannya yang garang itu tersimpan rasa pengertian dan simpati yang besar terhadap keluarganya, terhadap adiknya Aku benar-benar kagum. Tapi sekali lagi itu soal pribadi, Bonbon! Aku tak boleh mencampurkan itu dengan urusan orang lain! Bang Togar segera menimpali lagi. Oke lah, Bang. Intinya sih kami cuma ingin ngomong terbuka aja. Sebenarnya ini memang masalah pribadinya Dimas. Tapi buat Bang Togar harusnya ini menjadi masalah sasana juga! ujar Ben. Bah! Kenapa jadi masalah sasana?! Itu urusan Geri di luar sasana! potong Bang Togar. Ya, pastinya nggak akan jadi masalah sasana kalo Geri nggak main keroyok sambil pakai seragam sasana! tukas Ben enteng. Air muka Bang Togar dengan cepat langsung berubah lagi. Jarum kedua jleb!!! Keroyokan? Pakai seragam?!!! sentak instruktur bela diri itu kaget!

Iya, Bang. Aku ingat jelas kok, Geri sama beberapa temannya pakai kaos hitam yang ada logonya sasana ini! sahutku memberi klarifikasi. Ada saksi yang lain juga kok, Bang. Temanku sekelas juga ada yang lihat! tambah Ben. Alis Bang Togar menyambung di pangkal hidungnya. Jidatnya langsung berkerut dengan tonjolan urat syaraf di pelipis. Serius kau?!!! sentaknya. Bang, aku dulu juga belajar di sini! Aku nggak akan bohong apalagi ngejatuhin nama baik sasana ini! Aku juga pernah berantem di luar, tapi aku nggak pernah main keroyok dan bawa-bawa nama sasana! Selama ini sasana ini punya reputasi bagus, punya sportifitas! Tapi begitu ada kasus kayak gini, rasanya nama sasana ini jadi nggak prestis lagi, Bang Aku jadi ikut malu juga! Ben tersenyum pahit mengakhiri kalimatnya. Sindiran yang tajam ke mantan gurunya! Hei, kau tak perlu begitu lah! tukas Bang Togar dengan senyum sinis. Mana perlu kau malu?! Ini cuma ulah beberapa orang, tak bisa kau pukul rata sasana ini semuanya begitu! Kau sendiri tahu aku tak pernah mengajari murid buat main keroyok! Kan ada pepatah, Bang, nila setitik aja bisa bikin rusak susu satu belanga. Sayang kan, nama sasana jadi taruhan cuma gara-gara ulah segelintir orang? balas Ben. Kemarin ada sekitar lima orang yang mukulin aku, kalo nggak salah ada tiga orang yang pakai kaos sama dengan Geri Tapi yang aku kenal cuma Geri.

Yang bermasalah denganku sebenarnya juga cuma si Geri, tapi kayaknya dia memprovokasi teman-temannya yang lain! jelasku makin percaya diri. Tiga orang, Bang, dari sasana ini! Yang pasti provokatornya ya si Geri itu. Dia suka ngatain banci, tapi dia sendiri beraninya main keroyok! Bawa-bawa nama sasana lagi! Ini serius, Bang! Malu-maluin! Ben terus berusaha mempengaruhi mantan instrukturnya itu. Anj**g!!! Bang Togar mengumpat dengan wajah geram. Lalu dia berteriak lagi. JOOOONNNNNN!!! Orang yang dipanggil Bang Togar itu buru-buru muncul lagi dari ruang sebelah Kau panggil itu si Geri, suruh dia ke sini! perintah Bang Togar ke orang yang dipanggilnya itu. Geri yang mana anaknya, Bang? Nggak tahu aku? si Jon balik nanya. Ya kau bilang saja ke mereka yang punya nama Geri musti segera ke sini menghadap aku!!! Bah! Tak sigap juga kau dari dulu?! tukas Bang Togar ngomel-ngomel. Habis disemprot, si Jon langsung buru-buru keluar melakukan perintah Bang Togar!

Dengan wajah angkernya yang merah padam, Bang Togar rupanya masih bisa tersenyum. Oke, aku akan urus masalah ini! Aku akan kasih hukuman kalo memang si Geri ini benar bikin ulah! tandasnya. Akhirnya! Benar kok, Bang! Kami nggak bohong. Bang Togar boleh bilang aku keras kepala, tapi apa pernah sih aku bohong sama kamu, Bang? tegas Ben meyakinkan mantan instrukturnya itu. Bang Togar mengangguk-angguk. Dia akhirnya tampak percaya. Oke. Yang salah harus dihukum! Biarpun itu muridku sendiri! Mau dihukum apa biar dia bisa jera, Bang? Hei, jera itu soal kesadaran, Bonbon! Aku bisa saja kasih hukuman seberat-beratnya, tapi tak ada yang bisa jamin dia bakal jera! Dia di sini cuma 2 jam 4 kali seminggu. Di luar mana bisa aku awasi dia? Dia tetap akan dihukum! Kita harap dia bisa jera, tapi tak ada yang bisa jamin! tandas Bang Togar. Kalo hukumannya nggak tegas, nggak ngefek, kasihan temanku ini dong, Bang? Nanti dia jadi bulan-bulanan lagi di luar?! sergah Ben. Berangsur-angsur muka Bang Togar berubah lagi. Dia mulai menyeringai tampak jahil. Begini saja, kalo memang si Geri itu benar bikin ulah, ak u akan jadi hakim sekaligus juri kalian! celetuk instruktur itu. Keningku berkerut. Hakim? Juri? Maksudnya??? Maksudnya, Bang? Ben juga bertanya-tanya.

Sebenarnya aku juga sudah bisa membaca orang macam apa si Geri itu. Aku lihat dia memang sombong dan sok jago anaknya! ujar Bang Togar. Lalu dia tersungging makin lebar. Jadi biar si Geri nanti tahu, rasanya dihajar sekali lagi! Kali ini dihajar sama bekas muridku yang kabur dari sasana gara-gara patah hati sama adik seperguruan! WHAHAHAHAHA!!! instruktur langsung ketawa sekencang-kencangnya! BANG!!! Jangan becanda kau, Bang!!! Ben langsung kelihatan shock! Maksudnya BANG TOGAR MAU MENGADU BEN SAMA GERI???!!! Kenapa kau?!! Jangan pura-pura pengecut kau?!! Kalo si Geri saja bisa berlagak jadi jagoan, mana boleh kau berlagak pengecut macam itu?!! cibir Bang Togar kepada Ben. Aku bukannya nggak berani, Bang! sentak Ben. Tentu sajalah kau berani! Kau juga tukang berkelahi dulu! Aku mau kasih pelajaran itu si Geri biar dihajar sama jago berkelahi beneran macam kau ini! Biar tahu dia gimana harusnya jadi jagoan! Bang aku udah insyaf, Bang! Sumpah! kelit Ben, jadi tampak konyol. Sekali-sekali lagi lah! Bang Togar terus menekan dengan mimik jahil.

Kamu mau balas dendam kan, Bang?! Aku tahu kamu kesal sama aku sejak dulu, Bang! Ben ganti menuding mantan instrukturnya itu. Tentu saja aku kesal sama kau! Aku tak pernah ajarin orang buat suka berkelahi. Tapi kau dulu sering berkelahi kan?! Bagusnya kau tak pernah main keroyok. Tapi aku tetap kesal sama kau! tukas Bang Togar. Kalo gitu kenapa sekarang malah mau ngadu aku sama Geri, Bang?! gerutu Ben. Kau musti mengerti, buat aku kau tetap keluarga sasana. Karena aku tak pernah keluarkan kau! Kau yang kabur, kuanggap kau bolos latihan selama setahun lebih dikit lah Aku tak mungkin mengeluarkan kau! Bandel-bandel kau punya progres yang bagus! Nah, biar si Geri itu dapat pelajaran dari kau! Tapi prakteknya aku disuruh berkelahi kan, Bang?!! Kalo aku milih penyelesaian dengan cara berkelahi, terus apa bedanya aku sama Geri?!! tukas Ben kesal. Terus apa gunanya kau latihan selama ini?! balik Bang Togar. Yang pasti bukan buat pamer! Bang Togar ketawa lagi. Aku tak minta kau untuk pamer! Aku cuma ingin kau kasih pelajaran harga diri ke si Geri ini! Meski ujungnya tetap berkelahi, tapi kau orang yang bisa berpikir lebih dulu sebelum main pukul. Itu bedanya kau dengan si Geri ini!

Udah, Bang, nggak usah pakai muji-muji segala. Intinya tetap mau ngadu aku sama Geri! Aku nggak mau! Adu kemampuan antar murid itu hal biasa! Anggap saja kau kukasih kesempatan buat melatih si Geri, karena kau lebih senior. Biar dia nggak sombong lagi di luar! Biar dia berhenti nge-bully orang! Itu lebih efektif buat keamanan Dimas teman kau ini! Geri tak akan berani lagi ganggu dia, kalo tahu kau temannya! Tentu saja kau harus bisa hajar si Geri sampai bonyok dulu, biar dia kapok! Aku meneguk ludah. Ben juga kelihatan shock. Kami berdua tegang, sedangkan Bang Togar cuma tersenyum-senyum dengan entengnya. Ampuunnn Jadi Bakal ada darah nih??? Sebenarnya nggak seperti itu rencana kami, Bang! Harapan kami cukup Bang Togar saja yang menghukum Geri. Aku bisa saja hajar dia, kapanpun aku nggak takut. Tapi Bang Togar sebagai guru sekaligus ketua sasana, secara mental pasti lebih ngefek lah! protes Ben. Aku menghukum si Geri lewat kau! tukas Bang Togar sambil tersenyum-senyum dengan bibir lebarnya. Aku dan Ben bungkam total sekarang! Kacau! Akhirnya malah Ben yang harus berkelahi demi nyelesein masalahku! Kenapa malah jadi gini sih??!!! Aku jadi nggak enak sama Ben Tapi habisnya dia juga yang merencanakan?!! Kreekkk

Pintu ruangan dibuka dari luar. Mata kami bertiga segera menatap ke orang yang berdiri di ambang pintu itu Deggg! Jantungku Geri balas menatap kami. Tapi kemudian matanya cuma terpaku padaku. Gugup sekaligus geram yang begitu jelas di matanya! Kejutan hahh?!! Sini kau! bentak Bang Togar ketus. Raut mukanya kini kembali berubah menyeramkan, tanpa senyum sedikitpun! Dengan ragu-ragu Geri melangkah masuk. Wajah cemas dan curiganya benar-benar nggak bisa disembunyikan! Dia tampak gugup di hadapan Bang Togar! Masih ingat sama dia? tanya Bang Togar ke Geri, sambil menunjukku. Geri kembali menatapku. Di balik ekspresinya yang terlihat gelisah, tersirat kembali rasa geramnya! Seolah dia masih bernafsu untuk memukulku! Ya, sepertinya kata-kata Ben benar Geri bukan orang yang bisa diharapkan untuk cepat jera! Sorot matanya masih tampak beringas padaku! Hei, jawab!! Aku tanya kau! bentak Bang Togar ke Geri. Masih ingat tidak kau?!! Iya, Bang jawab Geri gugup. Iya apa?! Apa yang kau ingat?!

Geri diam lagi. Wajahnya mulai pucat, menyembunyikan sorot berang!

tapi sekaligus seperti

Jawab! Apa yang kau ingat?!! ulang Bang Togar lebih keras. Teman satu sekolah, Bang jawab Geri makin segan menghadapi Bang Togar. Kalo cuma teman sekolah tak usah kuminta kau ke sini!! NGAKU!!! Apa yang sudah kau buat ke dia?!!! Aku pernah pukul dia, Bang jawab Geri gugup agak gagu. Bang Togar melongo. Lalu dia berdiri mendekati Geri. Ooo Kamu pukul? ulangnya dengan nada pelan. Dipukul gimana? Dipukul begini? Begini? Bang Togar memukul-mukul wajah Geri, tepatnya menyentuh pelan-pelan dengan kepalan tangannya. Begitu? Iya? Geri bengong diperlakukan seperti itu oleh instrukturnya KAU PUKUL ATAU KEROYOKKK??!!! bentak Bang Togar meledak laksana geledek! KEROYOK BAANGG!!! seru Geri mulai panik. Mukanya makin pucat begitu Bang Togar mulai marah sungguhan! Kau katain dia banci??? JAWAB?!!! Dia memang gitu, Bang jawab Geri gemetar.

Gitu? Apa gitu? Gitu apa?!! Yang jelas kalo ngomong!!! bentak Bang Togar. Memang dia banci, Bang racau Geri ketakutan. Jadi buat mukul banci KAU MAIN KEROYOK?!!! Jagoan apaan kau?!! Lebih banci kau!!! Bang Togar memaki-maki Geri yang gemetar ketakutan. Aku dan Ben juga cuma diam nggak berani menyela, menyerahkan waktu sepenuhnya kepada Bang Togar buat menyidang muridnya itu! Siapa saja yang kau ajak buat keroyokan? Siapa saja yang dari sasana?!! Bang Togar menginterogasi Geri. Yoyon sama Boris, Bang jawab Geri kikuk. JOOOONNNN!!! Bang Togar memanggil lagi. Laki-laki gemuk yang wajahnya terkesan rada dungu itu segera datang lagi dengan wajah ngantuknya Ada apa, bang? tanya si Jon. Kau panggil itu Yoyon sama Boris! Suruh kemari!! perintah Bang Togar. Si Jon langsung berangkat, kali ini tanpa balik nanya lagi. Dan Bang Togar kembali memelototi Geri.

Sekarang jelasin! Apa maksud kau pakai seragam sasana buat mukulin orang di luar? Kau pakai kaos sasana kan?!! hardik Bang Togar ke Geri. Nggak ada maksud apa-apa, Bang Kebetulan pakai baju itu, Bang Tak usah bohong kau! Masa tiga orang kebetulan pakai kaos sama?!! Benar, Bang Kebetulan, Bang jawab Geri memelas. Aku yakin disengaja, Bang! Ben langsung menyanggah. Kejadiannya habis sekolah, saksi-saksi bilang mereka masih pakai celana seragam, tapi atasnya kaos sasana! Mereka yang nyerang duluan, dan mereka juga yang ngeroyok, jadi nggak mungkin kalo nggak direncanain! Kayaknya mereka memang nge-gang! Habis berkata begitu, Ben langsung melirik dan tersenyum licik padaku. Huh, kurang ajar nih anak, ternyata berani dia memprovokasi mantan guru-nya sendiri! Tapi setidaknya bagiku dia memprovokasi sebagai pihak yang benar! Nah! Kau bohong kan?! Bang Togar membentak Geri lagi. Kau sudah rencanakan semuanya! Bawa-bawa sasana buat berlagak jagoan! Aku pernah ajari kau buat ngerjain orang??? Bikin malu kau! Kutampar kau!!! Bang Togar geram seraya mengangkat tangannya. Tapi nggak ada pukulan yang melayang, cuma gertakan dan ekspresi kemarahan. Geri tertunduk. Tapi sambil menunduk, matanya melirik Ben dengan sorot dendam!

Hei!!! Apa kau pandang-pandang si Bonbon macam itu? Kau tak terima dia bela si Dimas?! Kau mau nantang dia?! bentak Bang Togar, rupanya dia mengamati gerak-gerik Geri. Kau belum tahu si Bonbon ini? Belum tahu kau siapa dia? Bang Togar lalu menunjuk piala besar yang ada di bilik lemari buffet. Mata kami semua segera tertuju ke benda itu Kau lihat itu piala yang mirip tempayan! tukas Bang Togar sambil masih menuding ke buffet. Kau pikir itu piala punya siapa? Geri tampak kikuk. Itu piala dia, Bang? GOBLOKKK!!! Itu piala aku!!! sentak Bang Togar kencang. Kalo itu piala si Bonbon kenapa dia pajang di ruang aku?!!! Bego kau! Kau tak tahu maksudku! Itu piala juara satu nasional! Aku dapatkan itu dengan cara satu lawan satu, bukan KEROYOKAN!!! Siapa yang bangga sama tukang keroyok macam kau?!!! Jagoan tak pernah main keroyok! Sasana ini dibangun dengan semangat ksatria yang gentle, tapi sekarang semuanya dibikin malu gara-gara kau!!! Ooo, gitu Terus terang, aku tadi juga sempat berpikir itu pialanya Ben! Hahaha Kau merasa jagoan, pandang-pandang macam itu ke Bonbon? Bang Togar menghardik Geri lagi. Dia tak pernah keroyok orang, dia bandel tapi tak pernah cari masalah lebih dulu! Tapi asal kau tahu, enam biji batako bisa hancur

sekali pukul sama dia! Kau pikir sendiri lah, lebih keras mana batako sama gigi kau Bisa tamat kau! Geri kelihatan ketakutan. 180 derajat, nggak berani melihat Ben lagi! Bilang saja terus terang kalo kau mau tantang dia, biar aku bisa atur arenanya. Biar ditonton sama semua murid sasana! Biar tahu malu kau! Bang Togar terus menggencet. Nggak, Bang, nggak! Geri makin down. Ternyata ciut nyalinya! Lalu dua orang lagi masuk. Dua orang yang aku masih sedikit ingat, teman Geri yang ikut ngeroyok aku waktu itu! Nah!!! Ini lagi, tambah lagi biang keroknya! Sini kalian!!! tukas Bang Togar ke teman-teman Geri itu. Lalu Bang Togar memalingkan mukanya padaku. Ini yang bantu Geri mukulin kau? Iya, Bang Mereka berdua, aku masih ingat! tegasku yakin. Bang Togar menghardik teman-teman Geri itu. Sudah, tak usah banyak cakap kalian berdua! Ini si Geri sendiri yang bilang kalo kalian ikut ngeroyok si Dimas! Tak bisa mungkir kalian! Kenapa kalian ikut-ikut bikin ulah?!! JAWAB!!! Dua teman Geri itu ikut ketakutan, berdiri mematung bersama Geri! Boris, jawab kau! tukas Bang Togar. Teman Geri yang berambut keriting, yang bernama Boris menjawab dengan gugup. Diajak Geri, Bang Katanya dia dipukul lebih dulu, Bang

Siapa yang punya ide bawa-bawa kaos sasana?!! Ide Geri juga, Bang Terus kenapa kau turuti dia?! Tolol!!! Sama-sama satu sasana harus solider Gitu kata dia, Bang SOLDER KEPALA KAU!!! Bang Togar teriak. Solider, Bang bukan solder Boris mengoreksi dengan gugup. Entah kenapa aku mau ketawa. Ben juga hampir saja kelepasan tawanya. Temannya Boris malah beneran bocor, keluar desis gelinya WOIII!!! Apa kau ketawa-ketawa?!!! Bang Togar mencak-mencak diketawain sama murid yang sedang dia sidang. Kau kira aku tak tahu soal solider?!! Minta kutampar kau?!!! Maaf, Bang teman Boris yang tadi ketawa sekarang langsung ciut disemprot Bang Togar. Instruktur bela diri itu memandangi tiga murid yang disidangnya bergantian, sambil mengulikkan kelingkingnya ke telinga. Mukanya merah padam. Sedangkan tiga muridnya itu cuma diam menunduk ketakutan. Kalian bikin malu aku. Kalian pikir solider itu musti keroyok orang? Tak pernah aku ajari muridku macam itu! Kalo kalian terpaksa berkelahi, satu lawan satu! Keroyokan itu menang nggak bikin bangga, kalah makin memalukan! Sasana ini malu punya murid macam kalian! bentak Bang Togar.

Suasana hening sejenak. Hening dan tegang! Sekarang aku tanya sama kalian. Kalian merasa benar atau salah?! lontar Bang Togar pelan tapi tajam. Boris? Aku ngaku salah, Bang jawab Boris lirih, gemetar. Kenapa kau salah? Aku sama Geri temenan udah lama, Bang Aku tahu mukulin orang itu nggak bener, tapi aku ngerasa nggak setia kawan kalo nggak bantu Geri, Bang Bah!! Tak punya pendirian kau! Geri ini bukan istri kau, bantu teman itu mustinya kau pikir dulu baik-baik! Bantu teman tapi bikin malu orang satu sasana! Tak waras kau! maki Bang Togar pedas. Lalu dia gantian memandangi muridnya yang lain. Yoyon, kau sekarang jawab! Benar apa salah kau?! Salah, Bang Aku salah jawab Yoyon yang tadi sempat ketawa, sekarang tampak grogi. Kenapa kau salah? Aku ngerti ngeroyok orang itu salah, Bang Tapi Geri kan lebih senior, Bang Aku nurut aja, aku juga nggak terima teman satu sasana dipukuli Bego kau! Geri dihajar sama adiknya si Dimas ya pantas lah dia! Siapa suruh maki-maki sodara orang?!! Kau bangga punya senior macam Geri ini? Lawan anak karate lulusan SMP saja keok dia! Ujungnya malah ngajak main

keroyokan! Senior macam dia kau takuti? Belum apa-apa sudah sok jagoan dia! bentak Bang Togar. Ketiga tersangka diam. Sekarang kau, Geri! Mau ngomong apa kau sekarang? akhirnya giliran Geri diinterogasi Bang Togar. Tapi Geri diam saja, tertunduk mati kutu. Aku tanya kau?!! Dua teman kau ini sudah ngaku, kau yang ajak mereka buat ngeroyok si Dimas ini pakai bawa-bawa identitas sasana! Mau ngomong apa kau sekarang?!! bentak Bang Togar tajam. Aku Aku ngaku salah, Bang ucap Geri pelan. Bah! Bisa ngaku salah juga kau?! Terus kalau kau salah, mau apa lagi kau? Geri kebingungan. Benar-benar kelihatan terpojok Kalo kau salah terus gimana?!!! bentak Bang Togar lagi. Geri mengangkat mukanya sedikit. Wajahnya masih ragu, tapi dia mengucap juga, Aku mau minta maaf, Bang Minta maaf sama siapa?!! Sama Bang Togar Wajah Bang Togar langsung mengembang tambah merah!

Bah!!! Rupanya tak cuma mental ecek-ecek kau, tapi bego juga kau! Tak punya perasaan pula kau! Kalo kau minta maaf sama aku, itu karena kau takut sama aku! Maaf kau itu tak tulus. Aku tak butuh kata maaf dari kau! tukas Bang Togar sambil mencibirkan bibirnya, gayanya seperti dibikin sok gengsi bak seorang mantan pacar menolak buat baikan. Atau mungkin memang begitulah ekspresi alaminya. Kalo kau memang benar menyesal, kau mustinya minta maaf ke Dimas! Menyesal yang sungguh-sungguh tak boleh gengsi, kalo kau memang menyesal minta maaflah sama dia! Benar menyesal tidak kau?! Jantungku terpacu lagi. Bisa kubayangkan seperti apa tekanan yang dirasakan Geri. Dan aku nggak bisa membayangkan kalau dia benar-benar akan minta maaf padaku! Apa untungnya buatku kalau dia cuma minta maaf karena ditekan? Benar, itu bukan jaminan. Tapi sekarang aku juga merasakan sendiri, kalau mempermalukan orang lain di depanku itu ternyata juga nggak membuatku nyaman! Geri kelihatan sangat meragukan! Kalo kau memang tak sungguh menyesal, bilang saja! Biar aku bisa atur supaya kalian selesaikan di arena! Selesaikan dengan cara laki-laki, kau merasa benar maka buktikan saja satu lawan satu. Tapi kalo kau memang menyesal, minta maaflah kau sama dia sekarang juga!!! Jangan plin-plan kau!!! desak Bang Togar. Aku langsung terkesiap dan ternganga mendengar ultimatum Bang Togar!!! Geri juga tampak terperanjat! Apaaaa??? Diselesaikan di arena satu lawan satu?!!

WHAT THE F**K! Serius??? Ini gimana sihhh?!!! Geri segera memandangiku. Wajahnya yang penuh keraguan itu Oh, ya ya makin jelas sekarang! Matanya kembali beringas menatapku! Dia memang nggak sungguh-sungguh menyesal! Dia memang nggak bermaksud minta maaf! Mukanya menunjukkan kalau sekarang dia sedang menangkap angin segar, kesempatan untuk menghajarku lagi?!! Bang Togar menepuk-nepuk Geri. Aku lihat kau memang tak sungguhsungguh menyesal. Ya sudah, kau selesaikan saja secara gentle di arena! ucapnya DAMN!!! What the hell is going on???!!! Tapi kalo aku adu kau sama Dimas, itu tak adil! lanjut Bang Togar dengan datar. Jelas dia tak pandai berkelahi. Lagipula harusnya kau sudah puas pukuli dia kemarin! Sekarang sudah ada si Bonbon ini, dia bilang siap bela si Dimas. Adil kalo kau lawan Bonbon, karena kalian sama-sama bisa berkelahi, dan kalian juga sama-sama satu sasana! Ada tiga orang yang wajahnya berubah drastis! Aku lega tapi sekaligus merasa nggak tahu diri di hadapan Ben. Ben terbengong-bengong karena ternyata dia benar-benar dipatok Bang Togar buat berkelahi melawan Geri. Dan Geri yang langsung terjun bebas dari harapan sesaatnya untuk menghajarku di arena,

sekarang menjadi wajah kecut penuh raut kesialan dan kepanikan yang sungguh kasihan! Sedangkan Bang Togar cuma tersenyum-senyum santai seolah puas bisa mempermainkan tensi emosi kami! Bagaimana? tanya Bang Togar ke Geri dengan tenangnya. Geri tertunduk lesu. Kenapa cuma aku yang dihukum, Bang? Yang ngelakuin nggak cuma aku, Bang? rupanya dia mulai nggak malu buat merengek. EHHH!!! Tak tahu diri kau?!! Semua yang mulai kau, yang punya masalah sama si Dimas ini kau!! Yoyon sama Boris ikut karena kau yang paksa! Kau musti berani tanggung kesalahan mereka! sentak Bang Togar jadi emosi lagi. Apa? Tak berani kau begitu tahu lawan kau si Bonbon?!! Geri ASTAGAAA Dia nangis Udah, Bang Aku kapok, Bang desah Geri terdengar agak tersengguk. Aku tercekat terbelalak! Semua mata di ruangan juga sama, terbengongbengong melihat Geri yang tanpa diduga bisa menangis seperti itu di depan kami Mas, aku minta maaf, Mas ucap Geri mengarahkan badannya padaku tanpa mengangkat wajahnya.

Bohong dia! Kalo memang menyesal, sudah dari tadi dia minta maaf sama kau! tukas Bang Togar sengit. Udah, Bang Aku kapok, Bang Aku nggak akan ulangi lagi, Bang ucap Geri mengiba. Kau bikin aku malu sama si Dimas! Kalo sampai Dimas maafin kau, makin malu lagi aku! Pantasnya kau memang harus dihajar! Bang Togar nggak berhenti mengomel. Bon, hajar dia, Bon! Biar aku bawa dia ke arena, biar malu dia! Ben tampak bimbang dan bingung di tempat duduknya. Aku jadi makin nggak tahan Udahlah, Bang Aku maafin dia kata-kataku akhirnya terucap Semua menatapku, kecuali Geri yang terus menundukkan kepalanya Apa kau bilang? Bang Togar mendelik padaku. Aku maafin dia, Bang Dia tak tulus minta maaf! Dia bilang maaf karena takut sama aku, sama Bonbon! Tulus apa enggak, siapa yang bisa jamin juga sih, Bang? sahutku dengan senyum pahit. Kalian semua udah cukup buat jadi saksi kalo Geri udah minta maaf dan nggak akan mengulangi ulahnya lagi Buatku itu udah cukup!

Ya, Bang. Aku jadi saksi. Kalo ternyata dia masih berani macam-macam lagi sama temanku, aku sendiri yang akan hajar dia, nggak perlu nunggu Bang Togar ngadu di arena! tegas Ben mendukungku. Lalu semua yang ada di ruangan diam. Begitu juga Bang Togar, dia berkacak pinggang menatap tajam pada Geri tanpa bicara apa-apa. Tapi bisa kubayangkan seperti apa emosi yang tertahan di dalam diri instruktur bela diri itu. Sudahlah, Bang desahku lesu, menegaskan keputusanku untuk menganggap masalah ini selesai. Aku sudah capek Kalian dengar, Dimas maafin kalian. Kalo sampai masalah macam ini terjadi lagi, aku sendiri yang akan hajar kalian! Keluar kalian sekarang! Keluar!!! Bikin malu kalian!!! hardik Bang Togar geram. Akhirnya dia mengakhiri sidangnya. Geri, Boris dan Yoyon melangkah menuju pintu keluar dengan lesu. Tapi saat ketiganya sudah nyaris keluar dari ruangan, Yoyon yang jalan paling belakang berbalik lagi. Dia melangkah ke arahku dengan kepala tertunduk. Lalu Aku terkesiap saat Yoyon mengulurkan tangannya padaku Sorry, ya Aku ikut mukul kamu kemarin desah Yoyon lirih. Sejenak aku jadi bingung di tempat dudukku Aku beneran minta maaf Aku nyesel udah ikut ngeroyok kamu ucap Yoyon lagi.

Kupandangi tangan yang terulur di hadapanku. Dengan ragu, akhirnya kujabat tangan Yoyon tanpa berucap sepatah katapun Thanks ucap Yoyon. Lalu dia membalikkan badannya lagi, berlalu dari hadapanku. Tunggu! sekecap aku menahannya. Yoyon menoleh padaku lagi. Sebenarnya aku ragu dan nggak nyaman mengungkitnya, tapi akhirnya kupaksakan diri untuk menanyakannya Kenapa temanku juga dipukuli? Teman? ulang Yoyon dengan mimik agak ragu. Aku sedang bersama temanku waktu itu, dan dia juga kalian pukuli Kenapa?! Dia nggak salah apa-apa! cetusku dengan menahan sakit hati yang sekonyong-konyong tergetar lagi di dada. Yoyon terpaku gugup menatapku. Dia belain kamu, dia mau melerai dan dia juga sempat memukulku Membelaku? aku tercekat tak percaya! Makanya dia dipukuli juga Aku terpana mendengar penjelasan Yoyon yang telah menjelaskan sesuatu yang nggak aku duga! Untuk kesekian kalinya, perasaanku kembali hancur Jadi waktu itu Fandy membelaku?

Titip permintaan maafku juga buat dia kata Yoyon pelan. Lalu dia pun pergi. Ruangan senyap lagi. Beberapa saat cuma hening yang berucap di dalam ruangan. Kuharap kau ikhlas kasih maaf sama mereka ucapan Bang Togar memecah kebisuan. Ikhlas itu kadang nggak bisa dalam sekejap, Bang Maafku aku kasih sekarang, tapi ikhlasnya sambil jalan aja Aku cuma ingin masalah nggak berlarut-larut aja Aku udah capek desahku dengan tawa pahit. Jujur harus aku akui, aku suka dengan sikap kau! ujar Bang Togar dengan nada rendah sambil menudingkan telunjuknya. Masalah itu memang akan lebih bagus kalo bisa selesai tanpa baku hantam. Tapi kadang kita terpaksa harus pakai cara keras, karena kita tak selalu bisa mengendalikan emosi setiap orang yang ribut dengan kita. Bang Togar tampak lesu, kembali menjatuhkan dirinya duduk di sofa Aku belajar cara berkelahi sejak kecil.! tutur Bang Togar bercerita. Dari situ aku menemukan nilai mulia dari beladiri. Kalo kalah harus berbesar hati, kalo menang tak boleh tinggi hati. Beladiri yang benar itu tak cuma soal mengalahkan lawan, tapi juga mengendalikan diri Aku suka kau mau berbesar hati meski kau sudah dipukuli. Memang benar, kadang ikhlas tak bisa dalam sekejap. Hati itu juga butuh belajar, aku tahu itu

Lalu Bang Togar tersenyum, dengan senyum yang tampak bijak. Ya, aku percaya dengan senyumnya sekarang. Soalnya kalo mau balas pakai berantem, aku nggak bakal menang, Bang! kelakarku sambil ketawa. Hahahaha! Kau tak usah merendah. Hampir tigapuluh tahun aku menekuni martial arts! Enam tahun aku jadi guru di sini, aku bisa bedakan orang sombong sama orang rendah hati! tukas Bang Togar. Tapi kalo kebanyakan dipuji aku cepat kelihatan sombongnya lho, Bang balasku sambil agak tersipu. Iya, Bang, dia tuh narsis kok. Dia pura-pura rendah hati biar dipuji Sombongnya tuh di dalam. Pokoknya gitu lah dia! Ben ikut nimbrung. Sejak kapan kamu kenal aku sampai yang dalam-dalam? tukasku. Tuh, mulai sensi kan dia? Siapa bilang dia rendah hati?! cibir Ben. Ben sama Bang Togar ketawa-ketawa. Dasar sialan! Kuambil botol minumanku yang ada di meja. Kusedot tehku. Meredakan syaraf otak yang dari tadi tegang habis-habisan! Bon, kau hebat kali ya mau bela-belain teman kau ini? Padahal dulu-dulu seingatku kau tak begitu suka bergaul..?! cetus Bang Togar kepada Ben. Jangan-jangan si Dimas ini pacar kau?! Brrrrccchhh

Aku langsung tersedak, teh yang kusedot tumpah dari mulutku Jangan ngawur kau, Banggg!! Ben langsung protes keras. Cuma teman, Bang!!! aku juga ikut protes sambil mengusapi mulutku yang habis menyemburkan minuman. Alahh Tak usah pura-pura kalian! Apalagi kau, Bon, yang bikin kau ngambeg tak mau latihan lagi karena kau diputus sama mantan pacar kau itu kan?! Banyak kok, cowok jadi suka cowok gara-gara trauma sama cewek! Katanya sih begitu cetus Bang Togar sambil tersenyum kurang ajar. Aku nggak trauma ya, Bang! Aku memang putus sama dia, tapi nggak sampai segitunya lah! kilah Ben sengit. Ahhh, gitu saja marah kau! balas Bang Togar sambil cengar-cengir santai. Lantas kenapa kau tak mau latihan lagi? Sudah setahun lebih kau mogok! Jangan bilang karena kau sibuk ngeband, tak mungkin lah kau ngeband tiap hari! Udah telanjur males! Lagian makin jago malah makin niat buat berantem Aku sadar, Bang, aku ini dasarnya gampang emosi. Cukup aja lah yang aku dapat dari sini. Aku mau belajar jadi orang sabar aja gumam Ben kalem. Bah! Payah kau kalau begitu! Berapa kali aku musti bilang, beladiri itu buat jaga diri, tapi juga buat mengendalikan diri! Jangan dilihat dari wujud luarnya, Bon! Tapi lihat apa yang bisa kau bangun dari dalam! tukas Bang Togar.

Ben menggeleng. Justru itu, Bang. Aku harus membangun bagian dalam dulu. Banyak belajar sabar dulu Bang Togar mendehem. Makanya, kau itu butuh kegiatan yang positif! Aku bukannya tak suka kau sibuk ngeband, tapi sepertinya pergaulanmu di sana tidak bagus! Lalu Bang Togar menghela nafas sejenak. Kau sampai masuk rumah sakit gara-gara drugs! Kau sebaiknya tinggalkan itu lah! Itu yang bikin rusak kau! Aku sedang coba, Bang Tapi kadang masih ngefek, kadang masih kerasa sakit di badan Sekarang memang sudah mendingan sih gumam Ben pelan, matanya merenung. Aku bersimpati melihat sobatku ini. Aku menyangka semua sudah baikbaik saja buat dia. Ternyata dia masih berjuang dengan itu Makanya, sebaiknya kau tak bergaul lagi sama mereka. Cari teman yang baik-baik saja lah! cetus Bang Togar. Udah kok, Bang, aku udah nggak ngeband lagi sama mereka. Sebenarnya nggak ada kesibukan sekarang. Aku mau menenangkan diri dulu aja jawab Ben pelan. Kalo sudah tenang, kau balik sini lagi ya! bujuk Bang Togar ke mantan muridnya itu. Ben cuma tersenyum simpul, tanpa menegaskan ya atau tidak.

Aku kira dia beneran bakal berantem sama Geri gumamku menggoda Ben. Hahahaha! Bang Togar langsung ngakak. Kalian itu tak pandai menilai orang. Tadi aku cuma mau ngetes si Bonbon ini, seberapa baik dia sekarang! Dia ini dulu bandel sekali, macam petasan sumbu pendek lah dia! Yaahhh, tadi sekalian buat nakut-nakutin si Geri juga, dan ternyata benar dia cuma pengecut. Biar malu si Geri sekarang! Harusnya dia tak akan berani ganggu kau lagi! Dua nyamuk sekali tepuk lah! Hoooohhh aku mendesah lega meski sedikit dongkol juga karena sudah dikerjain sama Bang Togar! Aku nggak gitu kaget sih, Bang. Aku udah tahu kamu tuh suka ngerjain orang! cetus Ben ke mantan instrukturnya itu. Instruktur nyentrik itu tertawa terbahak-bahak. Nah! Sekarang kau! Bang Togar sekarang ganti menunjuk aku. Kau masuk sini saja lah! Kau belajar di sini, biar tak jadi bulan-bulanan kau di luar! Waduh! aku tercekat. Enggak deh, Bang Aku nggak suka berkelahi, Bang! Bah! Kau ini! Persoalannya bukan suka tak suka, tapi kadang mau tak mau kita musti bisa membela diri! Kau pikir aku suka berkelahi??? Tidak lah! Aku lebih suka damai! tukas Bang Togar sambil mendelik.

Enggak deh, Bang Gimana ya? aku jadi agak salah tingkah. Ya mungkin bukan sekarang lah, Bang Aku masih disuruh fokus ke sekolah dulu sama ortu Ahh, kolot benar ortu kau? Banyak hal bagus yang kadang tak bisa kita dapat di sekolah formal! sahut Bang Togar setengah menggerutu. Sebenarnya bukan soal fokus ke sekolah sih Tapi Coba dipikirin lah, masa aku belajar beladiri di tempat yang sama dengan orang-orang yang pernah mukulin aku? Si Geri dan kawan-kawannya itu? Biarpun mereka udah minta maaf, tapi nggak semua efek batin jadi lenyap tuntas gitu aja. Nggak sesederhana itu! Tiba-tiba ada suara HP berbunyi. Bang Togar merogoh HP dari saku celananya Ya kenapa?! Bang Togar bicara pada orang yang menelponnya. Iya masih di sasana, kenapa? Hooo, ya udah ke sini saja! Lalu ditutupnya pembicaraan singkat itu sambil cengar-cengir. Aku menyedot lagi teh botolku, diikuti Ben. Menghabiskannya. Si Bonar mau kemari. Katanya sudah dapat pacar dia, mau dikenalin sama aku. Aneh kali kalo aku rasa-rasa, mau minta restu apa? ujar Bang Togar sambil senyum-senyum sendiri. Aku dan Ben berpandangan sekilas seraya ikut tersenyum.

Titip ucapan selamat aja deh, Bang, buat si Bonar. Kayaknya aku mau cabut dulu, masalah udah selesai ujar Ben. Begitu? Ya sudah lah balas instruktur itu. Terima kasih, Bang, udah mau bantuin ucapku sepenuh hati. Haha, santai saja lah. Malah aku harus minta maaf karena muridku sudah pukuli kau Tapi aku juga terima kasih, karena kalian mau melaporkan ulah anak-anak itu. Aku tetap akan hukum mereka! Oh, kirain cuma maaf-maafan aja selesai, Bang? lontar Ben. Tak bisa lah! Minta maaf tadi tanggung jawab mereka ke Dimas. Tanggung jawab mereka ke sasana lain lagi! Mereka kan sudah bikin malu! Aku akan urus nanti! tegas Bang Togar. Aku dan Ben cuma manggut-manggut. Kalau menyangkut nama sasana, itu sudah jadi urusan Bang Togar sepenuhnya. Aku juga mau kasih pesan sedikit buat kau, Dimas ujar Bang Togar. Aku sedikit terkejut. Pesan apa, Bang? tanyaku. Adik kau sudah tahu soal keadaan kau ini? Maksudku soal kau suka lakilaki? tanya Bang Togar sedikit hati-hati. Yaa Dia tahu, Bang. Dia kan berkelahi karena belain aku jawabku agak enggan.

Jadi dia bisa terima kau kan? Iya, begitulah, Bang Hmmm Aku pikir, hebat kali adik kau. Dia mau terima kau, malah sampai berkelahi buat kau. Jaga baik-baik sajalah persaudaraan kalian Bukannya berharap jelek, tapi namanya orang tua itu lebih dekat buat tutup umur mendului kita. Kalo sudah ditinggalkan orang tua, siapa lagi keluarga kita kalo bukan sodara-sodara kita? Bersyukur sajalah kau punya saudara macam dia. Pertahankan! Itu saja pesan aku ujar Bang Togar dengan sikap tenang. Aku tercenung. Beberapa saat lamanya yang ada di dalam kepalaku cuma Denis. Sodara yang berbagi rahim denganku dalam waktu yang sama selama sembilan bulan. Teman sejak dalam kandungan Dan Terbayang bagaimana akhir-akhir ini aku marah sama dia Makasih, Bang ucapku pelan. Ben lalu berdiri dari duduknya sambil menepuk bahuku. Aku ikut berdiri. Kami mulai berpamitan seraya mengulurkan tangan kami Makasih, Bang, kami pamit dulu ucap Ben. Makasih, Bang aku ikut mengucap sekali lagi.

Bang Togar membalas jabatan tangan kami, kali ini nggak pakai otot lagi. Oke, sukses sajalah buat kalian, apapun kerja kalian! Yang penting yang positif sajalah! ujarnya dengan tawa hangat. Instruktur beladiri itu melepas kami. Dia duduk lagi di tempatnya saat kami berdua mulai melangkah meninggalkan ruangan. Kami turun dari lantai dua, dan kembali melintasi koridor di lantai satu. Aku bernafas dengan lega sepanjang langkahku di koridor yang dipenuhi gema suara latihan murid sasana Sampai-sampai aku hampir nggak sadar kalau Ben masih tertinggal di belakang. Kutengok, rupanya dia berhenti di sana mengintip latihan dari balik sekat bambu. Aku segera balik lagi menghampirinya. Biar kutebak, kamu lagi ngintip mantan cewekmu itu kan? Yang mana, yang mana? aku langsung ikut mengintip. Apaan?! Ben langsung menarik kepalanya. Lalu dia segera jalan lagi meninggalkanku. Woii, gitu aja ngambeg! Ngambeg apa malu? lontarku meledek sahabatku itu, sambil mengikutinya dari belakang. Kami melewati lobby bagian depan lagi. Dan penjaga yang mirip Mbah Surip tadi masih di situ, tapi sudah tepar di kursi. Ngorok! Akhirnya sampai di luar. Menghirup udara malam yang dingin dan terbuka. Kami berdua melangkah ringan di halaman parkir yang dipenuhi motor dan

bercahaya temaram. Aku duduk di sadel Vespaku. Ben bersandar di jok motornya. Kami terpekur sesaat di sini Makasih ya, Ben Kamu udah bantu aku. Aku udah lega sekarang, nggak ada beban lagi soal Geri. Thanks ucapku dengan secercah rasa haru atas sobatku yang sudah menyempatkan diri untuk membantuku Ben, sobatku itu cuma tersenyum simpul. Aku pun kembali termenung di atas dudukku. Tapi kayaknya masih ada yang kamu pikirin? lontar Ben padaku. Aku mendesah seraya tersenyum kecut. Iya. Mikirin Fandy Dia lagi? Kamu juga dengar kan tadi? Fandy juga dipukuli, karena dia bermaksud membelaku! renungku menerawang. Hmmm Terus kamu mengartikannya gimana? Sejak kejadian itu, kupikir dia membenciku. Sekarang aku berpikir, dia mungkin nggak sebenci itu Aku nggak bermaksud menjerumuskannya ke dalam masalahku, tapi ternyata dia sendiri memutuskan buat mengambil resiko untuk mencoba menolongku Padahal sebenarnya dia bisa menghindarinya! renungku pahit. Artinya? Entahlah Cuma Fandy yang tahu ucapku masam.

Kami berdua lalu terdiam, duduk terpekur di antara motor-motor yang berjajar rapi di bawah temaram cahaya malam. Kemudian aku tersenyum memandangi Ben. Selama ini kayaknya kamu lebih banyak dengar soal aku. Tapi aku hampir nggak tahu apa-apa soal kamu. Kalo dirasa-rasa nggak fair aja! Sekali-sekali ngomongin masalahmu kenapa sih? Siapa tahu aku bisa gantian bantu? sindirku agak kesal. Masalahku soal sepele aja kok balas Ben dengan tawa kecil. Bener nggak sih, kamu bisa hancurin enam batako sekali pukul? Pakai palu, bisa! jawab Ben enteng. Hahaha Jadi Bang Togar bilang itu tadi cuma buat nakut-nakutin Geri ya? Kamu tadi pasti juga ngira piala di buffet itu punyaku kan? Aku akui, gurumu itu gokil! Super nyentrik! cetusku sambil ketawa. Memang gitu orangnya. Dia nggak suka formal. Makanya anak-anak di sasana ini nganggap dia kayak abang sendiri jelas Ben. Hmmmm Aku menggumam sambil tersenyum. Terus

perkembanganmu gimana, soal obat-obat itu? tanyaku dengan sedikit hati-hati. Sudah lebih baik gumam Ben agak enggan. Dulu memang rasanya drugs itu semacam tempat bermain yang menyenangkan. Tepat lah kalo istilahnya fly, rasanya bisa terbang tanpa beban. Tapi maki n tinggi orang terbang, kalo tiba

waktunya jatuh pasti akan makin hancur rasanya! Aku beruntung aja bisa menyadarinya sebelum telat. Sekarang aku bisa berpikir, memang yang namanya fly itu ibarat orang dikasih sayap waktu ada masalah. Terbang itu cuma lari dari masalah! Aku tersenyum penuh rasa kagum. Jadi ternyata kamu pernah jadi merpati juga ya? sindirku. Pada bagian suka fly, memang iya sahut Ben. Kami berdua tertawa. Sekarang, masalahnya cuma kadang jadi ngerasa kesepian aja. Memang udah resiko sih Tapi kadang juga berat gumam Ben kemudian. Mungkin akan kedengaran lebay buat bahasa cowok, but ill be there for you pokoknya! ucapku dengan nada yakin. Ben ketawa sedikit mencibir. Kamu memang lebay Hahaha Aku jadi kepikiran sama komentar Bang Togar tadi, waktu dia nuduh kita pacaran gumamku mulai berpikir jahil. Kenapa? tukas Ben langsung curiga. Aku memutar dudukku, menghadap langsung ke Ben. Terus terang, kamu tuh tampang dapet, postur dapet, gaya cool, bandel juga ada, cowok banget lah pokoknya! Kamu pikir sendirilah gimana? Nanti kalo aku jadi gimana-gimana, terus gimana? godaku jahil.

Ben memandangiku dengan mata jutek. Lalu wajahnya jadi jahil juga. Sorry ya kalo nyakitin. Tapi aku pilih Denis aja HEEEIIII!!! Yang bener kalo ngomong?!!! aku langsung nyolot, bak kesundut obat nyamuk. Kenapa? Cemburu?! Nggak! Cuma penasaran! Kenapa pilih Denis?!!! Sama! Dia lebih cowok dari kamu! Masa sama-sama tukang berkelahi jadian? Ancur dong tempat tidurnya?!!! Bilang aja, sama ancurnya dengan harga dirimu sekarang! HAHAHAHAHA!!! aku sama Ben ngakak berdua di atas jok masingmasing. Ahhh! Becanda yang aneh!!! Udah, udah!!! Selesai! Ben lalu bersungut-sungut. Iya, iya. Sorry! Otakku rasanya seperti direndam air comberan selama beberapa hari ini. Aku memang lagi butuh pelepasan! sahutku sambil menahan tawa. Jujur, kamu yang bikin aku bisa ketawa lagi seperti ini! Thank you so much! Sama-sama! sahut Ben dengan senyum cool-nya.

Masih di bawah sorot cahaya malam yang temaram. Sebuah mobil sedan masuk ke halaman parkir. Mobil itu berhenti nggak jauh dari tempat aku dan Ben nongkrong. Nggak lama kemudian, dua cowok turun dari mobil itu. Agak samar karena mereka berada di bagian yang sedikit lebih remang. Bonbon, lama nggak kelihatan kau?! salah satu cowok itu menyapa Ben dari jauh. Horas! balas Ben sambil mengangkat tangannya. Rupanya Ben mengenalinya juga. Gimana kabar kau? cowok berpenampilan necis itu bertanya sambil lalu. Baik. Ditunggu Abangmu tuh di dalam! sahut Ben dengan cuek juga. Lalu Ben berbisik padaku. Itu si Bonar, adiknya Bang Togar Tapi Bukan cowok necis itu yang menyita perhatianku! Aku terkejut bukan kepalang saat menyadari cowok yang satunya lagi! Cowok itu juga sedang mengamatiku dengan gerak-gerik yang mencurigakan My God! AKU KENAL DIA!!! Kamu nggak kenal yang satunya itu?! bisikku ke Ben dengan masih kaget terheran-heran. Ben segera ikut mengamati. Lhooo Itu kan? Anak Kepala Sekolah kita??? bisiknya dengan nada heran pula

Pada saat itu juga Aldo segera menarik mukanya, menghindar dari pandangan mata kami. Dan cowok yang bersamanya, si Bonar, segera merangkul pundaknya. Menggegasnya masuk ke gedung sasana. Kata Bang Togar tadi si Bonar mau bawa pacarnya? gumam Ben terheran-heran. Tanpa menyimpulkan jawaban, tawaku segera meledak terpingkalpingkal! Aku sampai terbungkuk memegangi perutku! Ya ampunnnn Kejutan yang luar biasa!!! Jadi Anak Kepala Sekolah kita??? Ben masih bertanya-tanya YOU KNOW IT!!! tukasku sambil menahan tawa sejadi-jadinya! Nggak lama kemudian Ben ikut menyusul tawaku! Kami terbahak-bahak lagi berdua! Lebih keras!!! Aldo, Ben sekarang juga tahu lho! Tapi bukan salahku ya!!! Hahahaha!

KANTONG 36 : We Are Friends

Akhirnya, sampai rumah lagi. Hari yang melelahkan ini sudah seharusnya berhenti di sini, di tempat dimana aku Pulang decakku dengan hela nafas lega. Aku berhenti dengan Vespaku di depan gerbang rumah. Ini rumahku, Ben Ben juga berhenti dengan motornya. Oke, sekarang aku punya tempat tujuan buat main sahutnya dengan senyuman. Mampir! ajakku. Aku meneruskan Vespa-ku masuk ke halaman, tanpa menunggu Ben menjawab mau atau tidak. Aku nggak butuh jawaban karena pokoknya dia harus mau! Harus, nggak perlu alesan! Hehehe Ben mengikutiku masuk dengan motornya. Hmmm Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ada teman yang main ke rumahku. Jadi Ben mau mampir ke rumahku, thats really cool! Aku duduk di teras yang remang-remang. Mengendurkan syaraf. Huhh Perjalanan yang menguras pikiran. Menghadapi Bu Yanti, menghadapi Bang Togar, Geri dkk Capek. Tapi syukurlah, akhirnya menghasilkan sesuatu yang bisa memberiku alasan buat menghela nafas lega sekarang. Ini semua progres yang bagus! Dan bantuan seorang sobat sejati seperti Ben makin membuatku terharu Sekarang giliranku untuk menjadi tuan rumah yang baik! Mau minum apa? selorohku menawari Ben, sok royal. Ben duduk di kursi sebelahku. Mana Denis? Aku langsung jadi sebal. Ditanya ini, ganti nanya itu! Tuh, sewot lagi kan?! balas Ben jutek. Aku pingin lihat kamu baikan sama dia! Kamu bisa maafin Geri masa nggak bisa maafin dia?! Cepat baikan! Ya pastinya! Tapi ngapain juga didramatisir, musti di depan kamu gitu?! balasku nggak mau kalah jutek. Pokoknya kamu mau minum apa dulu sekarang?!

Itu srabinya dikasih dulu sana! Udah beli segitu banyak juga! Urusin dulu tuh adikmu! kelit Ben. Lama-lama mulai nyebelin nih anak. Atau dia memang sengaja begitu? Kayaknya! Jangan-jangan kamu tuh memang suka sama Denis ya?! aku balik menuding Ben. Tapi begitu lihat dia ganti cemberut, aku langsung cengengesan lagi. Hehehehe Becanda! Gitu aja marah! Aku langsung ngacir masuk ke rumah sebelum mendapat perlakukan anarkhis dari sohibku itu. Kubawa srabi yang habis kubeli dari Notosuman. Oleholeh buat adikku Mana dia? Den??? panggilku sambil menyusuri ruang tengah yang lengang. Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang sedikit. Biasanya jam segini Papa sama Mama jadi juru kunci ruang TV. Tapi kali ini kayaknya mereka lagi nggak di rumah. Bik Marni pasti juga sudah tidur kalau jam segini. Dan Denis juga nggak nongol? Sepi! Dennn??? panggilku lagi. Belum ada sahutan. Ahhh Ke dapur dulu saja. Nyiapin minum buat Ben. Kubuka kulkas, mencari apa saja yang bisa dimakan dan diminum. Ketemu sirup sama Jiaahhh! Biskuit kucing. Cuma itu yang ada. Payah! Pusss Pusss kupanggil kucing-kucing itu. Binatang-binatang imut dan gemuk itu langsung nongol, berlarian menuju dapur. Nih, makan nih! kuhamburkan beberapa potong biskuit ke lantai. Kuamati kucing-kucing itu makan. Bersama, rukun dan damai. Membuatku tersenyum dan ingin membelai mahluk-mahluk lucu itu. Aku jongkok menunggui mereka makan. Huuuu Makin hari makin gemuk. Denis pasti sayang sama mereka. Mana Denis? Apa mungkin udah tidur? Aku menuju ke kamar Denis. Kuketok pintu kamarnya. Tapi nggak ada sahutan. Kubuka pelan-pelan Kumasuki kamar Denis yang lumayan berantakan. Ya beginilah kebiasaannya, selimut nggak dirapiin, buku-buku berserakan di meja, baju seragam sekolah teronggok di tempat tidur Yang empunya kamar juga nggak ada. Seperti kamar tanpa tuan

Kurapikan buku-buku di meja. Kugantungkan baju seragamnya di gantungan yang ada di dinding. Kulipat selimutnya hingga semua tampak rapi Lalu Aku duduk di tepian kasur, termenung memandangi kamar yang sunyi ini. Aku mulai terseret rebah di atas kasur, memeluk guling seraya memandangi langit-langit yang bisu Denis di mana? Aku bawain dia oleh-oleh Aku mau baikan Aku mau minta maaf Denis di mana? Aku masih termenung di sini. Perasaanku kenapa menjadi gelisah? Ohh, ya Tuhan Aku sampai lupa Aku ninggalin Ben di luar! Aku segera bangkit dan menuju ke dapur lagi. Kubikin dua gelas sirup lalu bergegas ke depan lagi. Ya ampun! Benar-benar tuan rumah yang nggak sopan, teman yang nggak punya perasaan! Aku ninggalin tamuku sendirian di teras! Tapi Aku malah terkejut bagitu tiba di teras. Nggak sampai menjatuhkan gelas ke lantai sampai pecah kayak di sinetron-sinetron itu tapi Gimana nggak terkejut? Ben sedang bercakap-cakap dengan Denis! Hai! Lama ya kamu bikin minumnya? Ben langsung menyindir sambil nyengir. Dongkol, tapi juga jadi sedikit segan saat Denis sudah di hadapanku. Bagaimana dia bisa sudah ada di sini? Ya, setidaknya aku juga lega bisa melihat dia lagi Dari mana, Den? tanyaku datar, sambil meletakkan gelas yang kubawa ke atas meja. Dari warung jawab Denis singkat.

Aku memperhatikan wajah Denis sekilas. Setelah dua hari dengan kemarahan, ini pertama kalinya aku kembali bisa menatapnya dengan perasaan sayang Sebagaimana nyatanya, sebagaimana dia adalah sodara kembarku sendiri, yang juga selalu menyayangiku. Aku tahu itu Denis lalu berdiri, beranjak masuk ke dalam. Tangannya menenteng plastik, entah isinya apa tapi pastinya itulah alasan dia ke warung tadi. Ya Everythings ok Dia nggak kemana-mana, dan nggak kenapa-napa. Aku lega Aku bawain oleh-oleh tuh, di meja dapur ucapku waktu Denis mau masuk ke dalam. Denis berhenti sesaat, menatapku sekilas dengan canggung. Lalu dia melangkah masuk lagi. Thanks ucapnya sambil lalu, bisa kudengar meski pelan. Gitu ya baikannya? celetuk Ben begitu Denis sudah masuk ke dalam. Memangnya kamu mau yang kayak gimana? Biasa aja lah! Sama-sama cowok nggak perlu lebay kali! bisikku sebal. Tapi sebenarnya memang aku rada jaim sih Iyalah, ada Ben gini! Kalau aku cuma berdua sama Denis mungkin bisa saja udah peluk-pelukan! Aku yang peluk Denis, dan dia pasti akan balas pakai tonjok! Itulah kami! Ngobrol apa aja kamu sama Denis tadi? selidikku ke Ben. Nggak banyak. Cuma basa-basi aja. Tadi dia juga baru datang kok jawab Ben. Dia kayaknya gimana? Kayaknya nggak ada masalah kan? tanyaku agak ragu. Kok tanya aku? Ya kamu tanya langsung ke dia lah! tukas Ben mencibirku. Kamu masih gengsi kan?! Nggak boleh gitu! Kayak Bang Togar bilang, minta maaf itu jangan pakai gengsi. Siapa yang ngerasa punya salah, jangan nunggu-nunggu buat minta maaf duluan! Aku terdiam. Memang aku akui, niat ini ada. Tapi aku rikuh dan sungkan buat ngomong Bukannya aku gengsi. Tapi aku bingung gimana mulainya Tapi ya udah bagus sih, kamu udah mau ngajak dia ngomong, udah bawain oleh-oleh. Awal yang bagus kok Ben melanjutkan kata-katanya seolah memahami kebingunganku, tapi sambil tersenyum rada ngeledek!

Kalo aku nyusul Denis ke dalam sekarang, kamu bakal lebih lama aku tinggal di sini! tukasku ganti mencibir. Iyalah, pasti drama banget kalian! balas Ben. Udah, diminum tuh! tukasku kesal. Ini oleh-olehnya? tiba-tiba Denis muncul lagi sambil menunjukkan piring berisi srabi. Iya jawabku rada bengong. Tadi ada dua biji yang dimakan kucing! cetus Denis. Hahh??!!! sentakku kaget. Kurang ajar! Rusuh amat kucingmu?! Lu ikhlas nggak ngasih gue oleh-oleh? balas Denis ketus. Aku langsung melongo. Kenapa musti nanya? Ya ikhlas lah! Kalo lu ikhlas ngasih gue, lu juga harus ikhlas kucing gue dapat bagian! Hahaha Ben malah ketawa. Ayo berantem! Berantem! Gila, malah ngomporin?! tukasku ke Ben. Nih! Kalo nggak ikhlas gue balikin! Denis meletakkan piring srabi itu ke meja. Aku terdiam seketika. Kami semua diam. Ini maksudnya apa? Kok Denis masih sensi gini? Soal sepele lagi? Cuma soal kucing sama srabi??? Kulihat srabi-srabi di piring itu Tapi lho??? Ini srabinya tinggal sepuluh? Tadi aku beli limabelas ALAAAAHHHH!!! Berarti kamu udah makan tiga biji kan?!!! sentakku langsung nyadar! Hwahahahaha Denis langsung ngakak. Aku nggak ikhlas! Balikin yang tiga biji!!! seruku geram! Denis ngacir ke dalam sambil ketawa-ketawa waktu aku mau menendangnya. Kamprettt! Baru aja baikan, langsung sebel lagi sama dia! Lagaknya pakai pura-pura sensi segala! Bawa-bawa kucing segala! Dasar tukang makan!!!

Udah, kejar sana! Berantem lagi! cetus Ben sambil ketawa. Apaan sih? Dasar provokator! sungutku kesal. Ben menahan ketawa sambil meminum sirupnya. Setelah minum, mukanya kelihatan agak gimana-gimana, aneh Lalu dia mengamati minumannya Ini sirupnya rasa apel? tanya Ben. Bukan. Rasa kedondong! jawabku cuek. Mana ada? Rasa apel nih kayaknya! gumam Ben. Yaelah, malah ngomentarin sirup! Akhirnya dia habisin juga minuman itu! Tapi memang agak gimana gitu ya? Apel Hmmm Jadi ingat sesuatu Ah, lupakan! Mau dibikinin lagi? tanyaku. Nggak usah sahut Ben. Lalu dia menyantaikan duduknya. Ngomongngomong rumahmu sepi ya? Ortumu nggak di rumah? Baru pergi. Nggak tahu kemana Ortumu kerja di mana sih? Papaku kerja di perusahaan advertising. Mama kerja di asuransi jelasku singkat. Jarang di rumah ya? Nggak juga. Tiap sore biasanya udah pada pulang. Kalo pergi lagi paling arisan atau apa gitu, tapi nggak terlalu sering juga. Biasa aja Kalo boleh nanya, kenapa sih kamu sama Denis sempat dipisah dulu? tanya Ben. Rasa penasaran dapat kulihat dari sorot matanya. Hmmm Kalo dari cerita Mama sih, dulu keluargaku sempat agak collapse. Papa waktu itu kena PHK, dan agak kesulitan buat dapat kerjaan lagi. Waktu itu Papaku juga masih harus menanggung Nenek yang udah lama sakit. Ekonomi keluarga jadi sulit. Terus, ceritanya Tanteku di Medan belum punya anak padahal udah nikah cukup lama. Akhirnya ortuku setuju Denis dititipkan ke Tante di Medan. Yahh, menurut tradisi biar bisa mancing keturunan buat Tante, katanya. Selain itu buat meringankan beban Papa juga. Akhirnya Tanteku beneran bisa dapat keturunan. Sekarang keadaan keluarga di sini juga udah stabil lagi, jadi

Denis diminta buat balik ke sini Kata Denis sih sebenarnya dia betah tinggal di Medan, dan masih pingin tinggal di sana. Tapi akhirnya dia lebih milih kumpul lagi sama keluarga di sini tuturku, setengah termenung menceritakan tentang keluargaku. Di benakku terlintas lagi ingatan waktu itu. Denis udah disiapin tiket buat balik ke Medan, tinggal berangkat bersama Om dan Tante. Dia juga sudah pamitan ke aku lewat telpon karena waktu itu aku masih di Bali. Tapi secara mendadak dia berubah pikiran, dia memilih tinggal di sini. Cuma dia yang mengerti dengan pasti alasannya, tapi bagiku keputusannya itu memang pilihan yang terbaik untuk mengembalikan keutuhan keluarga ini. Kami semua menerimanya dengan senang hati Hmmm Hebat juga ya ceritanya. Tapi kenapa Denis yang dititipin ke Tantemu? Kok bukan kamu? tanya Ben lebih jauh. Aku ketawa. Jadi rada malu buat menjelaskan bagian itu. Waktu itu kan masih umur 10 tahun. Kata Mamaku juga sih, Denis itu sejak kecil memang lebih bandel. Nggak gitu tergantung sama orang tua. Jadi dia dianggap lebih kuat buat pisah sementara Ooo Jadi memang sejak orok kali ya, kamu lebih lemah lembut dibanding adikmu? komentar Ben. Sialan! Ngeledek lagi?! tukasku dongkol. Ben tertawa. Sekarang gantian kamu cerita! Ortumu kerja dimana? Di rumah ada siapa saja? Sehari-harinya gimana? aku ganti memberondong pertanyaan. Ben langsung berhenti ketawa, sekarang garuk-garuk kepala. Nggak ada yang istimewa! cetusnya. Mungkin kamu perlu orang lain buat nunjukin dimana istimewanya keluargamu! desakku dengan senyum licik sekaligus penasaran. Hahaha Ben tertawa pelan. Lalu wajahnya setengah merenung. Ayahku jadi manager di pabrik furniture. Ibuku ikut MLM, yang sebenarnya sih nggak gitu penting soalnya penghasilan ayah udah cukup. Tapi ibuku kayaknya nggak betah kalo diam di rumah aja. Makanya cari kesibukan juga. Tapi akhirnya malah kadang jadi ngelantur, jarang di rumah. Ayahku juga pulangnya kadang malam. Jadinya rumah sering sepi

Nggak ada pembantu di rumah? Nggak ada. Rumahku nggak gede-gede amat, isinya juga cuma tiga orang. Itupun jarang ada di rumah. Semua dikerjakan sendiri-sendiri. Jadi kalo nggak ada kerjaan, benar-benar bete kalo cuma di rumah. Makanya aku juga cari kesibukan. Ngeband, atau keluyuran nggak jelas. Kalo nggak ya tidur seharian di rumah gumam Ben bercerita, mencurahkan kesepian yang tampak tersirat dalam diri sahabatku itu. Aku termangu mendengarnya. Jadi menurutmu ada istimewanya? lontar Ben padaku, dengan senyum masam. Aku ikut tersenyum. Kalian tetap bertahan sebagai keluarga. Dan kamu tetap bertahan jadi anak baik-baik. Semangat untuk tetap menjadi keluarga yang kalian sendiri mungkin tidak menyadarinya Itulah istimewanya! jawabku mengurai apa yang bisa kusimpulkan. Ben tertawa agak sinis. Dari mana kamu yakin kalo aku anak baik-baik? Kamu ngerasa broken home kan? Kesepian? Tapi kamu nggak terjebak buat mengasihani diri sendiri. Malah kamu datang ngebantuin masalahku Mungkin kamu itu memang susah dimengerti, dan sebenarnya butuh dimengerti, tapi hebatnya kamu justru mau mengerti orang lain lebih dulu. Biarpun katanya bandel, tapi youre a good guy! Good friend. Mungkin best friend! ujarku, mengakui di hadapan Ben, tanpa perlu merasa malu Senyum Ben menghias tipis di bibirnya. Tapi buat orang tuaku, kayaknya aku bukan anak yang bisa dibanggakan ucapnya pelan. Aku tertawa kecut. Aku nggak menilai kamu sebagai anak, aku nggak bisa. Aku temanmu, bukan orang tuamu. Karenanya, aku menilaimu sebagai seorang teman. Mungkin kamu memang punya masalah dengan keluargamu, tapi menurutku kamu nggak kehilangan diri kamu sebagai orang baik Kamu seorang teman yang baik, dan karena itulah aku bangga sama kamu! ucapku mantap. Ben terdiam bersama senyumnya yang samar, seolah ada kelegaan di dalam hatinya Dia anak baik yang terjebak oleh keterasingan. Aku juga pernah merasakan keterasingan, tapi mungkin oleh situasi yang lain. Ben karena hubungannya yang kurang hangat dengan keluarganya. Aku karena kondisiku

yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Keterasingan yang berbeda, tapi yang kami butuhkan pada dasarnya sama : Rasa diterima. Makanya aku mendorong agar kamu lekas baikan sama adikmu. Kamu punya sodara yang hebat. Nggak semua orang seberuntung kamu ucap Ben pelan. Aku tersenyum. Ya. Kamu sama Denis, kalian berdua hebat! pujiku jujur. Sekelumit percakapan soal keluarga ini membuat suasana jadi terasa teduh, selaras dengan beranda yang remang-remang ini Tapi kemudian aku mulai menyadari kalau ada sepasang telinga ketiga yang ikut mendengarkan! Atau mungkin juga sepasang mata lainnya yang mengintip dari balik kaca jendela! Aku langsung sigap melongok ke dalam rumah! Hei! Ngapain?! Nguping ya?!! hardikku ke Denis. Ternyata dia duduk di sofa ruang tamu, tepat di balik jendela beranda! Denis langsung tersenyum-senyum, gugup mati kutu. Ketangkap basah! Aku sebenarnya jengkel kalau dia mulai bertingkah nyebelin seperti ini! Tapi ya aku mengerti, kami sama Kami tidak ingin ada keterasingan Duduk bareng sini! ajakku sambil duduk lagi di sebelah Ben. Denis akhirnya ikut keluar, bergabung di teras. Tapi dia memilih duduk jongkok bersandar pilar beranda. Jadi kayak anak ilang gitu? cibir Ben sambil ketawa. Sini duduk atas! Kayak mau sungkem aja? tukasku. Nggak. Di sini aja jawab Denis. Dia masih tetap duduk jongkok di tempatnya. Kenapa sih? Kok jadi kayak menderita gitu? Tadi aja bisa becanda? tanya Ben. Nggak apa-apa jawab Denis pelan, dengan senyum samar.

Aku garuk-garuk kepala. Entah Denis lagi akting atau gimana Tapi aku rasa nggak ada yang serius. Kami sudah baikan. Tadi juga sudah bercanda. Sudahlah, nggak perlu jadi beban pikiran lagi Kami harus berdamai. Nih Adikku yang cakep, makan lagi srabinya! ujarku sambil mengulurkan piring srabi ke Denis. Denis cemberut geleng-geleng kepala. Ben tambah ketawa Huhhh Ya udah, kalo nanti srabinya sampai sisa, lain kali aku nggak akan beliin lagi! sungutku sambil meletakkan kembali piring srabi itu ke meja. Kehabisan akal buat membujuk Denis yang entah, seperti anak sedang merajuk! Biarin lah, udah gede juga! Biasanya dia memang suka akting sih! Tiba-tiba ada suara mobil yang menyita perhatian kami. Sebuah sedan berwarna gelap berhenti di depan rumah. Kami bertiga terpaku penasaran memandangi mobil itu. Mobil siapa? Nggak lama kemudian seseorang turun dari mobil itu, dan ASTAGA! Lho Misha? gumamku kaget bercampur heran. Hai, Mas! Misha menyapa di depan pagar, dengan senyum agak canggung. Wahh Baru party ya ternyata? Nggak Cuma ngobrol-ngobrol aja kok Sini masuk! balasku seraya berdiri hendak menyambutnya. Kamu sama siapa? Belum sampai Misha menjawabku, ada satu orang lagi turun dari mobil. Kali ini Ya Tuhan!!! Lebih mengejutkan lagi! Erik?!! Aku berdiri terbelalak, kehilangan kata-kata saat dua orang itu melangkah masuk menuju kemari, makin dekat di hadapanku Misha sama Erik??? Bagaimana mereka bisa barengan kemari?!! Satu mobil?!! Kok Misha sama Erik? bisik Denis yang ikut berdiri di sampingku. Dia juga keheranan!

Hai Boleh masuk? Misha berdiri di depanku dengan senyum tipisnya. Erik ada di belakangnya, menyembunyikan senyumnya yang terkesan rikuh. Kan aku udah bilang masuk tadi? kelitku dengan senyum gugup. Mencoba bersikap wajar, menyembunyikan kekagetanku, tapi tetap saja sulit! Kabarmu gimana? Kok SMS-ku nggak dibalas? sentil Misha. Dia segera melihati kondisiku dengan raut prihatin, pasti dia bisa melihat beberapa bekas memar yang ada padaku. Ya gini lah, tambah cakep! jawabku dengan canda yang garing. Sorry aku belum sempat balas SMS-mu Biar gue ambilin kursi lagi gumam Denis seraya beranjak ke dalam rumah. Sini duduk! aku menyilakan mereka berdua duduk di kursi yang masih ada dua di sebelah Ben. Denis mengeluarkan dua kursi plastik ke beranda. Aku duduk di kursi yang dibawakan Denis. Kali ini Denis juga ikut duduk di sebelahku. Sekarang kami berlima. Aku, Denis, Ben, Misha dan Erik, duduk di sini! My God! Sekalipun nggak pernah terbayang kami bisa berkumpul seperti ini di sini! Dan ada apa ini???!!! Gue bikinin minum juga ya Denis berdiri dan masuk ke dalam lagi. Nggak usah repot-repot! Misha bermaksud mencegah tapi Denis sudah masuk duluan ke dalam. Nggak usah pura-pura nolak! celetukku. Misha langsung bengong, memandangiku dengan wajah kecut. Haha Becanda! Ramah tamah! kelitku sambil garuk-garuk kepala. Suasana jadi canggung karena ada Erik di sini! Jelas, benar-benar kehadiran yang nggak pernah kuduga! Kapan pernah terlintas dalam pikiranku kalau Erik bakal kemari bersama dengan Misha?!! Nggak pernah! Karenanya ini benar-benar membingungkan! Gimana kabarmu, Ben? sapa Misha pada Ben. Basa-basi. Baik. Kamu gimana? balas Ben. Ramah-tamah. Baik juga sahut Misha.

Erik gimana? Ben gantian ke Erik. Fine jawab Erik simpul. Denger-denger kamu mau cabut dari band sekolah, Rik? lanjut Ben. Iya. Bosan, terlalu diatur sama pembinanya balas Erik diiringi tawa agak enggan. Ehh, tunggu, tunggu! aku langsung buru-buru menyela. Lagi-lagi aku dibikin heran! Jadi kalian berdua juga udah kenal? tanyaku seraya memandangi Ben dan Erik bergantian, tercengang! Satu sekolah siapa yang nggak kenal Erik? Dia kan artis! jawab Ben sambil tersenyum menyindir Erik. Erik langsung tertawa kecut. Please! Aku memang banyak kerjaan di sekolah, tapi jangan sebut aku artis dong! kelitnya, lalu dia ganti memandangiku. Kamu nggak tahu, Mas? Band-ku di sekolah kan ganti gitaris sampai empat kali! Aku pernah ngajak Eka buat join juga Tapi nggak sampai join. Baru coba-coba. Cuma ngejam bareng satu kali, terus aku nggak jadi join sahut Ben cuek. Kalian ngeband bareng?! Kok kamu nggak pernah cerita?! tukasku ke Ben, dongkol. Kenapa memangnya? Nggak ada hubungan yang istimewa sama dia! Cerita nggak cerita, nggak ada pengaruhnya! kelit Ben dengan senyum menyindir. Dia menyebut istilah hubungan yang istimewa?! Dikiranya aku lagi cemburu kali ya?! Sial! Aku ini cuma kaget aja!!! Kamu mainnya yang cadas-cadas sih! Kalo beneran join palingan juga cepet-cepet didepak sama manajer! Erik ganti nyindir Ben. Manajer? Keren amat band sekolah pakai manajer? Guru Pembina kali! Ben membalas Erik. Ya gitu lah! Prakteknya sih kayak manajer. Ngatur-ngatur aja bawaannya. Makanya aku cabut pilih aja! Nggak mau diatur, atau karena kamu udah punya band di luar? Erik ketawa. Dua-duanya. Aku mau serius sama bandku yang di luar. Rencananya mau bikin demo album

Aku cuma bengong melihat Ben sama Erik asyik ngobrol soal band! Ternyata mereka ini nggak cuma sekedar tahu, tapi udah kenal baik!!! Ben ini kebangetan amat nggak pernah cerita dikit aja?! Huuuhhh! Aku sama Misha dikacangin. Misha cuma diam aja. Tapi mata kami berdua sempat bertemu. Kelihatan kalau Misha nggak nyaman, seperti menyembunyikan sesuatu. Ya udah pasti lah! Kok dia bisa sama Erik? Jelas selama ini dia main rahasia di belakangku! Tapi dari tadi aku belum dikasih penjelasan apa-apa soal itu! Kalo mau bikin demo berarti udah punya lagu sendiri dong? Udah berapa lagu? tanya Ben, masih asyik ngobrol sama Erik. Aku bikin dua lagu. Baru materi awal, aku bikin pakai software digital Erik masih asyik juga nerusin ceritanya. Software digital? Aku juga biasa pakai, tapi hasil soundnya tetap kedengaran imitasi banget. Kurang asyik didengerin! sahut Ben. Itu buat materi mentahnya aja. Buat konsep dasarnya, biar nggak lupa. Ideku sering melebar sih, Bro Kalo ada rekaman konsep dasarnya kan bisa jadi patokan seumpama mau dibikin aransemen lain jelas Erik ke Ben. Wooww! Oke, dua anak band ini masih asyik ngobrol sendiri! Aku sama Misha masih dibiarin bengong aja dari tadi! Huuuhh, aku masih tuan rumah yang sabar! Makanya aku sempat kelabakan dulu Erik masih nerusin ceritanya, cerewet juga ternyata! Komputerku pernah error. Hardisk-ku terpaksa diganti dan data-datanya nggak bisa diselamatkan. Untungnya aku sempat back-up datadata penting ke Flashdisk, termasuk lagu-lagu yang aku bikin Tapi masih sial juga, waktu piknik di Sangeh kemarin Flashdisk-ku diserobot monyet! Aku sedikit kaget. Aku langsung bisa menebak cerita Erik ini mau kemana Terus gimana tuh? Ben rupanya tertarik sama cerita itu, dan penasaran buat mendengar kelanjutannya! Surprise! Nih, si Dimas tiba-tiba datang ngembaliin Flashdisk-ku! Nggak tahu gimana caranya, dia cuma bilang menukarnya dengan sesuatu Tapi aku nggak yakin juga sih kalo cerita Dimas itu beneran! gumam Erik seraya melirikku dengan senyum ehmm penuh isyarat!!!

Aku tahu mata mereka sedang tertuju padaku sekarang! Tapi aku diam dengan cuek, karena aku yakin tujuan utama Erik dan Misha datang kemari pastinya bukan untuk membahas lagunya Erik, atau Flashdisk, atau monyetmonyet di Sangeh! Aku masih bingung sebenarnya ini semua soal apa?! Kenapa malam ini tiba-tiba menjadi acara reuni yang susah dipercaya?!! Tapi mereka masih belum tahu diri juga, kalau aku sedang menunggu penjelasan dari mereka! Nggak punya perasaan! Tapi Flashdisk-mu beneran balik kan? Ben masih mengumpani cerita Erik. Damn!!! Yup Jadi Dimas udah nolongin sesuatu yang penting buat kamu kan? Hahaha Kalo nanti beneran jadi album, aku udah siapin bagian ucapan terima kasihnya kok. Rumusnya masih klise sih, kayak ucapan terima kasih di album-album orang lain. Pertama pasti buat Tuhan, kedua buat orang tua. Ketiga adalah nama-nama sodara atau teman yang berjasa, nanti nama Dimas aku tulis di urutan pertama deh ujar Erik dengan senyum lebar, entah bercanda atau serius! Woooowwwww! Plok plok plok plok! Tiba-tiba Ben dan Misha langsung kompak bertepuk tangan diiringi sorak tawa mereka! Oke, sekarang Misha ikut jadi penggembira! Dimas kok diam aja?! Misha sekarang mulai ikut nimbrung. Terlalu muluk ya? Nggak. Bikin album apanya yang muluk? Sekarang band indie ada di mana-mana, mereka pada bikin album juga. Tapi kalian percaya? Erik ini udah punya cewek tapi malah namaku mau disebut lebih dulu? Aku sih nggak percaya! tukasku enteng. Semua langsung diam. Oo? Aku menyinggung sesuatu??? Kamu masih cemburu? Ben langsung bertanya dengan senyum konyol. Justru aku ini kepikiran kalo nanti ceweknya Erik cemburu! Kalo aku sih nggak disebut juga nggak papa jawabku kalem. Mereka bertiga langsung ketawa. Tentu cuma aku yang nggak ketawa. Konyol dan lucu itu beda. Buatku percakapan ini konyol! Nggak jelas!

Kalo gitu doain aja albumnya beneran jadi! Kita lihat aja beneran nggak omongan Erik! tantang Ben. Oke, oke Harusnya aku nggak terlalu pede ngomong kayak tadi. Oke, aku ngaku, aku tadi nggak ingat kalo aku udah punya cewek kilah Erik sambil ketawa masam. Cengengesan! Rupanya sekarang dia bukan mahluk yang jaim lagi! Jadi Dimas bisa mengambil alih perhatianmu juga ya? sentil Ben. Kurang ajar!!! Erik terdiam sesaat dengan senyum penuh teka-teki. Mungkin. Tapi ini soal seseorang yang berjasa, itu saja. Nggak ada maksud lebih dari itu jawabnya kemudian. Semua terdiam menatap Erik. Sepertinya sama-sama sedang membaca arti kalimat Erik, pada bagian nggak ada maksud lebih dari itu Oke, siapapun yang tahu tentang masa laluku dengan Erik pasti bisa menebaknya! Dan akhirnya aku juga sudah terlalu jengah, nggak bisa bersabar lagi! Oke guys, cukup basa-basinya! Sekarang to the point aja! Terus terang aku bingung! Rik, kalo kamu udah kenal sama Ben aku bisa terima, not a big deal. Tapi kamu sama Misha? Aku baru tahu kalo ternyata kalian udah kenal, tapi dari tadi aku belum dengar penjelasan apa-apa? Jelasin dong! Dan tujuan kalian berdua kemari apa?! tandasku dengan gugup sekaligus agak emosi. Semua terdiam sejenak. Tapi kali ini bukan untuk menunggu basa-basi jilid baru. Please, jangan basa-basi lagi! Oke, Mas Sorry kalo aku bikin kamu kaget. Sorry juga kalo selama ini aku nyembunyiin sesuatu dari kamu Misha akhirnya mulai berucap dengan wajah sedikit tegang. Aku harap kamu bisa terima Gini sebenarnya Misha berhenti di tengah kalimatnya yang terbata-bata. Selintas matanya melirik agak rikuh ke Ben Ben rupanya tanggap keadaan. Kalo ini urusan tertutup kalian bertiga, aku nggak papa kok Aku bisa pul Jangan pulang! Tetap di sini aja, nggak papa! aku langsung mencegah Ben. Atau aku nyusul Denis aja ke dalam?

Nggak perlu! Aku nggak keberatan kamu tahu urusanku! Kamu udah bantu aku seharian ini, sekarang aku kedatangan orang lain terus aku harus nyuruh kamu pergi gitu?! cetusku agak ketus. Dont worry, aku nggak merasa diusir kok! Its ok, aku nyusul Denis aja Santai aja! ujar Ben dengan senyum tenang, tetap memilih untuk memisahkan diri. Dia segera beranjak masuk, menyusul Denis ke dalam. Oh, damn! Sekarang tinggal bertiga di sini. Aku memandangi Misha dan Erik bergantian Udah, terusin ucapku dengan jengah. Misha masih kelihatan agak ragu. Lalu Erik ini sepupuku Satu kalimat terngiang aneh di telingaku Erik sepuu WHAAATTT??? Aku ternganga memandangi dua orang di hadapanku, bergantian Sepupu??? Aku sama Erik udah akrab dari kecil, Mas. Mamanya adalah tanteku. Aku udah biasa main ke rumah dia. Tapi kalo di sekolah memang nggak kelihatan, mungkin cuma beberapa orang aja yang tahu jelas Misha dengan agak ragu. Shock!!! Sepupu??? Oke, oke Sebuah cerita keluarga. Tapi mengingat hubunganku dengan Erik? Dan Misha yang teman satu meja denganku, orang yang tahu banyak soal aku? Aku merasa dicurangi!!! Kenapa kamu nggak bilang dari dulu? Kamu sengaja nyembunyiin itu? Masalahku sama Erik pasti ada kaitannya kan? korekku tajam. Ya, jujur aja, memang iya Aku tahu kamu pernah dikecewain sama Erik Jadi aku harap kamu bisa maklum kalo aku berpikir mungkin kamu dendam atau gimana-gimana sama Erik ujar Misha berhati-hati. Ya ampun!!! Kuremas rambutku Kalut!

Ya wajar sih kamu mikir begitu Tapi aku nggak dendam kok sama Erik! cetusku, masih tercengang dan terheran-heran. Iya. Sekarang aku yakin kamu memang nggak dendam Tapi kamu masih marah kan? Sorry, Mis tapi kayaknya ini nggak harus menjadi urusanmu? lontarku agak sinis. Mulut Misha terbuka hendak menjawab, tapi akhirnya tanpa ada kata-kata yang terlontar. Tersentak tanpa mampu menjawab! Iya, Mis Ini memang masalahku sama dia sela Erik tiba-tiba. Aku aja yang jelasin Aku menatap Erik. Dia juga memandangiku. Tapi dia lalu memilih menundukkan kepalanya Mas Aku tahu aku udah bikin kamu susah. Aku tahu akibat dari tindakanku dulu, fatal banget! ujar Erik lirih dan agak terbata. Aku nyesel banget, Mas Aku termangu. Sesuatu di dalam dadaku terasa gemetar dan sesak! Seolah ingin meluap, tapi aku hanya mampu membisu Sebisa mungkin menahannya Erik kini memandangiku lagi dengan raut yang tampak lesu. Andai aku bisa jaga mulutku waktu itu, pasti kamu nggak perlu ditimpa masalah seperti sekarang Sikap yang gampang sekali aku buat, tapi kamu yang menanggung resikonya. Aku ngerti itu nggak adil, Mas Melihat banyaknya masalah yang kamu terima, aku jadi tahu kamu punya hati yang besar! Aku cuma ingin kamu tahu kalo aku menyesal Tapi kamu nggak harus ngasih maaf kok Aku makin terpana meresapi kata-kata Erik. Tapi, kemudian aku tertawa Yaa di mana-mana namanya minta maaf memang nggak boleh maksa celetukku melempar sedikit humor. Humor garing yang sombong dan kejam, mungkin Erik langsung tertawa kecut. Begitu juga Misha. Tapi aku duduk satu meja sama kamu bukan Erik yang nyuruh kok, Mas Misha segera ikut menimpali. Itu inisiatifku sendiri. Aku tahu Erik nyesel banget soal sikapnya ke kamu, pulang dari Bali dia langsung ngomongin

masalah itu ke aku. Jadi waktu hari pertama masuk kemarin, begitu aku tahu kalo sekelas sama kamu, aku langsung berpikir buat berteman sama kamu Harapanku, aku bisa tahu kalo kamu baik-baik saja setelah kejadian itu Yaaahh, dengan begitu aku bisa meyakinkan Erik kalo kamu baik-baik saja, jadi dia bisa tenang Tentunya juga baik buat kamu kalo semuanya baik-baik saja kan? Aku terhenyak. Misha sedang berbicara tentang simpatinya padaku? Ahhh Sepertinya lebih ke soal simpatinya kepada Erik Jadi Sebenarnya niat kamu berteman sama aku nggak 100% murni buat aku? Sebenarnya demi Erik? Kamu duduk semeja denganku, biar kamu bisa selalu menceritakan ke Erik kalo aku baik-baik saja Gitu? lontarku menyimpulkan pengakuan Misha, sambil melayangkan senyum masam padanya. Misha kelihatan terpukul. Sorry, Mas Awalnya memang seperti itu, aku ingin bantu Erik agar dia nggak terus ngerasa bersalah. Di sisi lain aku sendiri belum benar-benar kenal sama kamu, aku cuma tahu dari cerita Erik Cerita Erik? Cerita soal cowok yang ngejar-ngejar dia? balasku dengan senyum pahit. Misha menghela nafas. Mas Aku ngerti kamu berhak sinis, karena kamu udah mengalami banyak kejadian yang nggak menyenangkan Ya, jadi semua nggak baik-baik saja, Mis Kamu tahu itu, aku nggak baik-baik saja ucapku pahit. Seraya memandangi Misha dan Erik, bergantian dengan pandangan lesu. Dan mereka terdiam. Tertunduk Tapi aku tetap menghadapinya! timpalku lirih. Dan itulah yang membuatku akhirnya benar-benar kagum sama kamu, Mas sahut Misha kembali menatapku dengan sayu. Itu juga membuatku yakin, kalo kamu memang pantas dibela! Kamu nggak seburuk yang diomongkan orang-orang, bahkan mereka belum tentu lebih baik dari kamu! Sejak menyadari itu, yang aku pikirkan nggak cuma demi Erik tapi juga demi kamu! Aku nggak bisa melihat kamu terus-menerus menanggung masalah seperti sekarang, tapi aku sadari, ternyata aku nggak bisa melakukan apa-apa buat kamu Aku minta maaf, Mas Aku termangu. Meremaskan kedua telapak tanganku di wajah, seolah ingin sebisa mungkin memburai semua jalinan yang begitu rumit untukku ini!

Kenapa masalahku ini harus menyeret pikiran dan perasaan orang lain untuk ikut menjadi rumit? Kenapa? Pengakuan Misha menggerakkan hatiku, membuatku terharu Mas Kalo aku pernah sebal sama kamu, pernah merasa repot gara-gara kamu, itu memang iya ucap Erik terbata-bata, menyela kebisuan kami. Aku harus akui kalo aku sudah menilaimu hanya berdasarkan stereotip yang sering dipakai orang lain Dan itu salah. Aku juga masih ingat, aku pernah bilang kamu sakit Tapi setelah aku renungkan, sebenarnya kamu cuma bermaksud jujur terhadap dirimu sendiri, dan terhadap orang lain Meski aku nggak punya perasaan yang sama denganmu, seharusnya aku tahu kalo itu bukan berarti aku berhak nyakitin perasaanmu Aku benar-benar minta maaf, Mas Sorry kalo aku naif, aku tahu aku terlalu ikut campur, Mas Aku kenal kalian. Kalian itu baik. Kamu sama Erik, bagiku kalian itu my best friends Kalo memang ada maaf di antara kalian, harusnya kalian tetap bisa berteman ucap Misha, makin menggetarkan batinku Misha Memperjuangkan persoalan batin antara aku dan Erik, memperbaiki pertemanan yang telah goyah Apakah ini naif? Mungkin iya. Tapi mungkin buat Misha, hati seorang teman memang bisa senaif itu Seperti hatinya itu demi kebaikan kami semua Pertemananku dengan Erik hancur, karena sebenarnya motivasiku memang bukan berteman, aku ingin mencintainya lebih dari teman Lalu, apa sekarang aku pun sudah dipenuhi oleh gengsi? Sama halnya dengan Erik waktu dulu dia menyakitiku? Aku mengaku memaafkannya, tapi apakah aku benarbenar sudah memaafkannya? Apakah sakit hati ini telah membuatku angkuh, dan jika demikian apakah aku lebih baik darinya? Hahaha Lucunya hati kami! Aku melirik Erik. Aku tersenyum Apa hanya karena aku ngembaliin Flashdisk, itu langsung merubah semua pandanganmu? lontarku padanya. Sejak aku ngomong ke orang lain soal rahasiamu, aku sudah tahu sebenarnya itu salah Aku membela diri dengan cara mengorbankan orang lain. Dan setelah itu semua, kamu masih mau berbaik hati Yaahh, itu berkat sekaligus tamparan buat aku ujar Erik dengan senyum pahit.

Aku tercenung memandangi Erik. Cowok yang pernah aku cintai. Cowok yang pernah bikin aku sakit hati. Cowok yang mendatangkan banyak perubahan besar dalam hidupku Dulu aku sangat memujanya. Badan atletisnya, rambut spike, wajah tampan, suara bagus Setelah membuat hatiku hancur, sekarang dia menemuiku dengan hati yang berbeda. Sebagaimana hatiku juga telah berbeda Meski sejujurnya, aku juga masih mengaguminya Sebenarnya aku sendiri juga sadar kok, Rik saat itu aku sudah bikin situasimu jadi sulit. Aku juga minta maaf, karena pernah bikin kamu jadi serba salah ucapku pelan mengakui bahwa aku sendiri juga nggak lepas dari kekurangan Ya, siapa yang sempurna? Erik menatapku lekat. Lalu dia tersenyum dan mengangguk pelan, penuh arti Cowok straight manapun mungkin akan bersikap sama seperti kamu Pasti tengsin kalo disukai sesama cowok ujarku lagi, berkaca dan menertawakan diri sendiri Erik tertawa masam. Dan sekonyong-konyong raut wajahnya seperti berubah menjadi berbinar. Tapi si Eka kayaknya cuek-cuek aja? Dia straight kan? Kayaknya dia bisa enjoy aja dekat sama kamu? lontarnya Hahhh??? Tiba-tiba saja aku dibikin terbengong-bengong! Kayaknya dia straight kok! Tapi dia kan bukan tokoh idola di sekolah, nggak jadi sorotan kayak kamu Jadi nggak ribet sama urusan image! Misha pun ganti menyindir Erik. Booommmm!!! Wait, wait! Tiba-tiba kok jadi ngerumpiin Ben gini??? Ben itu straight! Dan dia bisa nonjok orang yang macem-macem sama dia! Siapa yang berani gosipin dia? Dan kasusnya juga beda, aku nggak jatuh cinta sama dia! tukasku jadi kesal! Tapi setelah itu Tiba-tiba kami bertiga bisa tertawa! Begitu lepas tanpa pura-pura Nonjok orang? Nggak segitunya kali! sahut Erik sambil ketawa.

Tapi kayaknya dia memang cuek soal image, nggak kayak kamu! balas Misha kembali mencibir Erik. Yaa aku tetap nggak menyangkal kalo disukai orang itu memang kadang bisa bikin ribet! timpal Erik nggak mau kalah mendebat Misha. Nha iya, ribet karena kamu tuh terlalu jaga image! Misah juga masih nggak mau kalah. Dua sepupu itu berdebat sendiri saling mencibir, dan sekarang lama-lama aku hanya bisa tersenyum geli melihat mereka Hahaha Lalu Erik kembali menatapku, dengan rautnya yang sayu Tapi aku juga nggak akan menyangkal kalo caraku memperlakukan kamu memang nggak adil, Mas Dan itu mengakibatkan masalah-masalah lainnya yang makin nggak adil! ucap Erik lirih Aku balas menatapnya, dan aku makin memahami bahwa begitu sulit baginya untuk menggambarkan betapa menyesalnya dia Kamu tadi bilang, kamu ke sini buat minta maaf kan? Sebenarnya dulu kamu juga udah bilang kok Aku masih ingat, waktu di studio itu cetusku pahit. Dan yang ngajak ke sini juga Erik kok, bukan aku sela Misha sambil tersenyum melirik Erik. Akhirnya aku pikir-pikir, memang udah saatnya juga, Mas kamu tahu soal aku sama Erik Lagian rahasia kayak gini kan soal waktu juga, nggak mungkin bisa ditutupi terus. Kalo kamu bisa terima, ya kita berdua bersyukur banget Harapannya sih, aku sama Erik juga bisa bantu nyelesein masalahmu Aku tersenyum menatap mereka berdua haru Aku dengar soal masalahmu dengan BP, dengan orang-orang yang ngeroyok kamu Aku benar-benar pingin bisa bantu kamu, Mas ucap Erik lirih. Yang pasti semua masih bisa aku hadapi kok. Aku juga udah nggak sendirian kayak dulu lagi Sekarang ada Denis, Ben Yeahhh, ada kalian juga Semangat dari kalian udah sangat membantu kok Aku makin yakin semua pasti bisa diselesaikan. Selama ini aku juga sudah banyak merenungkan, kalo aku harus bisa melihat ini semua dari sisi positif. Tempaan biar lebih kuat,

biar lebih lebih dewasa! ucapku mantap, di sela-sela rasa haruku. Aku makin yakin dengan itu! Erik dan Misha memandangiku dengan senyum tipis. Entah arti detail dari senyum itu apa, tapi aku melihat sebuah semangat dipancarkan untukku Kekuatan yang terbangun ketika kami saling jujur, saling introspkesi, dan saling memaafkan Sejenak kami terdiam, membiarkan keheningan berbicara kepada hati kami. Lalu perlahan, sekali lagi kami saling tertawa. Ringan, dan lepas Akhirnya aku bersyukur bukan karena aku hidup tanpa masalah, tapi karena di dalam setiap masalah aku diberi kekuatan untuk menghadapinya. Dan Tuhan memancarkan kekuatan itu melalui sahabat-sahabat yang kumiliki, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing Yeaah, we are friends! Lalu aku pun mulai teringat teman-teman kami yang lain Dua orang tadi pada kemana sih? Nggak nongol-nongol?! gumamku begitu ingat Denis dan Ben yang menghilang terlalu lama. Tunggu ya, aku cari mereka dulu! Itu srabinya dimakan! ujarku ke Misha dan Erik. Erik dan Misha mengangguk. Aku segera beranjak masuk, mencari Denis dan Ben. Aku menuju dapur, tapi mereka nggak ada. Cuma ada kucing-kucing gemuk yang lagi pada bercanda bergulingan di lantai. Gelas-gelas berisi air sirup ada di atas meja, sudah dibikin tapi ditinggal begitu saja. Kemana dua anak itu?!! Aku mencari di ruangan lainnya. Kecurigaanku yang sebenarnya mengada-ada, membuatku ingin memeriksa ke Nah!!! Di sini ternyata!!! sentakku begitu menemukan Ben sama Denis. Padahal cuma asal duga, tapi ternyata benar! Katanya bikin minum nggak tahunya malah pada berduaan di kamar!!! Pada ngapain?! Mereka berdua di kamar Denis!!! Gimana nggak kaget?! Jelas curiga lah! Kenapa? Cuma ngobrol aja kok Kan juga lihat sendiri? kelit Ben. Ngobrol di kamar? Ngobrol berduaan? Terus aku disuruh nggak curiga gitu? tukasku. Ya emang cuma ngobrol kok kilah Denis.

Lihat sendiri kan, aku duduk di kursi, Denis duduk di kasur sahut Ben sambil menunjuk. Tapi juga ngapain coba? Tadi katanya bikin minum, itu gelasnya malah ditinggal gitu aja di dapur?! omelku. Kalian bertiga kayaknya ngomong masalah serius sih, takut ganggu jawab Ben. Alesan! Udah sekarang keluar! perintahku dengan kesal. Ben sama Denis cuma berhaha-hihi sambil ngikutin dari belakang. Dasar nggak jelas! Misha sama Erik habis ngomong apa? bisik Denis. Mereka sepupuan! Baru tahu kan? Bagus! cetusku jutek. Hah?!! Ben sama Denis bengong. Aku nggak peduli mereka kaget atau gimana, aku sendiri juga kaget! Tapi kan tetap harus jadi tuan rumah yang baik! Katanya bikinin minum malah pada sembunyi nggak jelas! Sana minumannya dibawa ke depan! aku memerintah Denis. Aku ke kamar bentar Gimana sih? Sekarang gantian lu yang ke kamar?! protes Denis. Aku nggak peduli. Aku bergegas menuju ke kamarku. Aku cuma mau mengambil gitarku aja. Yang lagi datang kemari kan anak-anak yang doyan musik, kan bisa buat hiburan Biar nggak garing! Akhirnya, aku kembali ke teras dengan gitar di tanganku. Bergabung berlima sama Denis, Ben, Erik dan Misha. Sungguh malam yang nggak direncanakan! Nih, siapa mau nyoba gitarku? kuulurkan gitarku. Ben langsung menyambutnya. Gitarku pindah ke tangannya. Mantap juga gitarmu! cetusnya sambil memetik-metik. Diminum tuh, sorry cuma sirup tawarku ke mereka. Erik langsung mengangkat gelasnya. Dia minum, dan mukanya langsung bersemu tipis

Ini rasa apel ya? Tuiiinggg! Ya ampun, kenapa sih Erik ngomentarin sirup itu juga?! O my God, jangan-jangan dia jadi teringat sesuatu?!! Masa sih rasa apel? Misha langsung ikutan minum. Ini kenapa sih, pada ngomentarin sirupnya? Biasa aja kali! Emang aneh ya kalo rasa apel? cetusku rada sebel. Bukan aneh, tapi kan jarang sirup rasa apel? Kalo jus sering, tapi kalo sirup jarangTapi enak, seger kok! cerocos Misha. Apel itu unik unsur rasanya Manis, kecut, sepet, harum gumam Erik sambil meminum sirupnya sedikit-sedikit. Mengkudu juga unik! celetukku asal. Tapi siapa yang doyan mengkudu? Ben ikut nimbrung, sambil masih memetik-metik gitar di tangannya. Itu kan obatnya orang darah tinggi celetuk Denis. Berarti Ben yang harus minum, darah tinggi dia. Emosian. Kata guru silatnya sih celetukku ngeledek Ben. Tapi ternyata dia cuma diam nggak balas, malah senyum-senyum cool. Mungkin mau ngebuktiin kalau dia bukan pemarah dan nggak perlu minum sirup mengkudu! Salut kalau begitu! Apple its adorable! Biasanya kalo orang ngasih tanda cinta, kalo kue atau permen biasanya yang rasa coklat. Tapi kalo buah, pasti akan pilih apel! seloroh Misha. Yakin? balik Denis. Iya lah! Paling cocok ya apel! cetus Misha dengan yakin. Aku melirik Erik yang sedang tersenyum aneh. Matanya mengerling seperti ada ide yang sedang mendarat di dalam kepalanya Berhubung di sini yang cewek cuma kamu, kamu aku kasih pertanyaan! cetus Erik ke Misha, kayaknya mau ngerjain sepupunya itu. Seumpama kamu punya satu apel, dan harus dikasih ke salah satu cowok di sini siapa yang akan kamu kasih? Nah! Misha kena batunya sekarang! Sukur! Ngapain tadi sok tahu soal apel?! Sekarang ketiban pertanyaan tuh! Btw, pertanyaan yang seru juga!

Misha langsung kelihatan gugup. Sekarang semua mata di sini menatapnya dengan seringai yang menuntut jawaban! Hayo jawab!!! Hahaha! Hayo jawab! desak Ben ke Misha. Jawab! Yang jujur! aku ikut mendesaknya. Harusnya aku tadi nggak ke sini ya? kelit Misha mulai cengengesan. Nggak usah alesan! Salah sendiri masuk ke sarang cowok! tukasku dengan seringai jahil. Jawab! Jawab! Misha akhirnya mati kutu juga. Dia mulai memandangi satu per satu semua yang ada di sini Lalu pura-pura sok pede! Hmmmm Kukasih ke Denis aja deh! cetus Misha. Huuaaaa Deniiiisssss!!! semua langsung nyorakin Denis! Aku udah curiga dari dulu!!! seruku geregetan. Denis cuma meringis cengengesan, malu-malu kucing! Kenapa pilih dia? tanyaku penasaran. Ya terserah gue donggg! Kalian nggak boleh cemburu ya! lagak Misha ganjen. Huuuu aku, Ben dan Erik kompak mencibir Misha. Nggak kaleee! Gue terima, tapi gue kasih ke Dimas! celetuk Denis tiba-tiba. Semuanya langsung terdiam sesaat. Bengong Denis pun tersenyum meringis lagi Jadi kamu nolak Misha? lontar Ben. Huuuu Kasihan kamu, Mis! Erik meledek Misha. Misha cemberut. Pura-pura kesal. Nyesel! dengusnya sambil melirik jutek ke Denis. Jadi Kamu nembak sodara kembarmu sendiri??? celetuk Ben dengan muka konyol.

Woiiiiii!!! Bukan gitu!!! Denis langsung mencak-mencak. Dimas kan lebih tua dari gue Yang lebih tua harus punya pasangan dulu dong, baru habis itu yang lebih muda nyusul! Huhhh! Dasar Denis Selalu pintar bikin alasan! Kalo gitu sekarang milik Dimas apelnya?! celetuk Ben seraya memandangiku dengan jahil. Berarti gantian Dimas yang harus jawab! Nah, iya!!! Hayo sekarang ngaku, mau dikasih siapa tuh apelnya?!! sekarang Misha gantian beringas mendesakku! Balas dendam! Anjrittt?! Sukur! mendesakku. Hayo jawab!!! Misha semangat meledek sekaligus

Yang cowok siap-siap tengsin ya, soalnya nggak mungkin Dimas ngasih apelnya ke cewek! cetus Denis. Kurang ajar! Aku tahu dia tuh ngelempar apelnya sengaja buat ngerjain aku! Ngumpet, ngumpet! Ben berlagak takut, menutupi mukanya dengan bodi gitar. Woiii, yang cowok-cowok di sini nggak usah pada geer ya! omelku dongkol. Dikasih ke siapa memangnya? tanya Ben. Ngaku! desak Misha lagi. Perlahan-lahan mataku mulai menerawang jauh ke satu wajah di benakku. Aku terdiam sesaat. Dan mulai tersenyum pahit Apelku akan aku kasih ke seseorang aku menggumam seraya membayangkan wajah itu. Tapi dia nggak di sini sekarang Sesaat semuanya juga ikut diam menyimak. Lalu Hmmm Gue tahu celetuk Denis. Aku juga tahu! sahut Misha sambil melirik ke atas pura-pura ikut membayangkan. Aku juga tahu. Pasti si itu gumam Ben sambil garuk-garuk kepala.

Kalo udah tahu ya udah diam! Nggak perlu aku jawab lagi kan?! sentakku jutek. Cuma aku yang belum tahu celetuk Erik, dengan komentar yang berbeda! Dan semua segera beralih memandangi Erik! Kamu nggak boleh cemburu ya! Dulu kamu kan udah dapat jatah! cibirku ke Erik. Semua saling berpandang-pandangan sekejap. Lalu tawapun meledak di teras ini. Semua spontan mengolok-olok Erik! Ooo Udah dapat jataaahhh??? Jatah dicintai, udah lewat! selorohku enteng. Semuanya ketawa makin keras. Dan Erik cuma garuk-garuk kepala dengan muka yang tersipu merah! Hahaha Malam yang indah. Persahabatan makin mengembang! Tapi dalam hati aku juga bergumul dengan secercah rasa sesal Sini gitarnya! Dari tadi cuma metik-metik aja nggak ada lagunya! cetusku, meminta lagi gitarku. Ben meringis. Dia mengulurkan gitar di tangannya. Dalam sekejap gitar sudah berada di tanganku lagi. Aku mulai memainkan intro Dan wajahnya segera terbayang lagi di benakku I will give my love an apple without any core I will give my love a house without any door I will give my love a palace wherein he may be And he may unlock it without any key Hhhhhhh Malam yang indah. Terima kasih Tuhan, untuk persahabatan ini. Tapi Andai saja dia juga ada di sini

KANTONG 37 : I Have A Family

Teman-temanku udah pada pulang. Ben, Erik, Misha Sekarang tinggal aku berdua sama Denis. Di dapur yang senyap dan agak remang, kami sedang mencuci gelas yang tadi dipakai buat minum. Sisa malam yang terasa teduh. Tapi Papa dan Mama masih belum pulang juga. Tadi waktu masih ada teman-teman yang lain, jarak antara aku dan Denis rasanya bisa cair lagi setelah sebelumnya aku marahan dengannya. Tadi kami sudah terasa akrab lagi. Tapi sekarang, saat tinggal kami berdua saja satu ruangan, rasanya jadi canggung lagi Entahlah, aku merasa kalau Denis masih belum melepas semua beban yang mengganjal di antara kami. Belum semuanya. Aku meliriknya dengan perasaan agak segan. Dari tadi kamu kebanyakan diam aja? gumamku. Nggak papa jawab Denis juga menggumam. Ya, nggak apa-apa dan nggak jelas! Kuletakkan gelas di tanganku. Aku duduk di kursi, memandangi Denis yang masih sibuk di wastafel tempat nyuci. Aku rasa aku memang harus memulai lebih dulu, secara lebih sungguh-sungguh buat minta maaf padanya mungkin juga dengan kata-kata yang lebih lugas. Sorry ya Aku kemarin marah sama kamu ucapku pelan. Harusnya gue yang minta maaf balas Denis dingin.

Nggak, kamu kan cuma bermaksud belain aku Aku sadar itu Tapi malah bikin semuanya tambah kacau Bukan berarti aku harus marah dan nyalahin kamu. Si Geri yang udah keterlaluan. Hhhh Dari awal memang udah kacau desahku seraya menghela nafas. Tapi syukurlah kalau Denis sendiri juga terbuka buat mengakui kekhilafannya. Pada dasarnya aku memang udah maafin dia. Dan aku juga ingin dia maafin aku. Karena aku sendirilah yang sebenarnya banyak merepotkan d ia hingga dia sampai harus berkelahi Denis merapikan gelas-gelas itu. Lalu dia berdiri menyandar ke dinding. Matanya mengawang jauh. Wajah yang sangat letih Semua memang melelahkan. Kamu hari ini nggak masuk sekolah kan? Kemana aja? singgungku pelan. Huhhh Nggak jelas, gue sendiri juga nggak mau mengingat-ingat kemana aja seharian tadi. Yang penting gue bisa jauhin sekolah, soalnya kalo sampai lihat si Geri pasti gue akan hajar dia habis-habisan! Gue tahu lu nggak cuma kecelakaan waktu itu, tapi sebelumnya juga dikeroyok sama gerombolan anak itu! Tapi kalo gue berkelahi lagi, masalah lu akan tambah panjang kan? Mending gue menghindar Jangan sampai lihat muka dia! desah Denis tajam. Tampak menahan geram sekaligus begitu serba salah.

Aku sampai miris dan pahit mendengarnya. Kamu tahu dari mana? tanyaku lirih. Lu pasti bisa jawab sendiri lah Lu dikeroyok ada yang pada lihat kan? Kejadian kayak gitu nggak mungkin nggak nyebar. Jelas diomongin di sekolah. Makanya gue lebih baik menghindar! Bukannya gue nggak mau belain elu, tapi gue nggak mau nambahin masalah lu lagi Aku terdiam mendengarkan kata-kata Denis. Selama ini aku dan dia berbagi buah simalakama Dilema. Serba salah. Dan aku benar-benar terharu hingga nggak bisa berkata apa-apa lagi, mendengar beban batin yang ikut ditanggung Denis demi aku Kenapa lu nggak cerita ke gue? desah Denis. Aku nggak pernah berharap seorang pun tahu Meski aku tahu, nggak mungkin aku terus menutupinya Aku juga bingung ucapku lirih. Denis menghela nafas dengan lesu. Tapi sekarang masalah lu sama Geri udah selesai kan? Aku sedikit terkejut. Denis dengar dari??? Tadi Ben udah cerita ke gue gumam Denis. Waktu di kamar tadi? Denis mengangguk. Hmmhh

Begitulah. Sekarang tinggal masalah sama BP. Masalah sama Pak Alex itu! desahku lesu. Raut muka Denis masih kelihatan canggung dan gelisah. Dan sepertinya semakin berat saja dia menanggung sesuatu Entah apa. Aku jadi ikut terganjal, tapi aku juga agak rikuh kalau harus memaksa dia bercerita Kami sama-sama lelah. Apa sebaiknya aku tunggu saja sampai dia menceritakannya sendiri? Mas bisik Denis dengan mata yang mengawang tampak risau. Apa? Lu masih suka nulis diary? Aku agak tertegun dan heran dengan pertanyaan Denis. Udah telanjur kecolongan, jadi nggak ada mood buat nerusin jawabku juga agak canggung. Otomatis aku udah nyindir dia. Gara-gara gue ya? Aku tertawa masam. Aku tahu aku sudah menyindirnya, tapi bagiku sebenarnya itu juga soal lalu yang sudah kumaafkan setulus-tulusnya mengingat Denis adalah sodara yang selalu berushaa menerimaku apa adanya. Sebenarnya diary itu kan cuma pelampiasanku aja Dulu nggak ada teman buat curhat, jadi aku bikin teman sendiri yang bisa aku pakai buat curhat. Yaahhh, diary itu buat menuliskan semua hal yang sedang aku jalani, aku alami, aku rasakan Begitu ada orang lain yang ikut baca, nggak tahu kenapa rasanya

aku jadi nggak mood lagi buat nerusin. Tapi sejak itu juga, aku jadi tahu hal yang lebih penting! Apa? Aku pun tersenyum lepas saat membayangkannya lagi. Diary itu memang teman yang akan selalu menerima curhat kita, apa saja dan kapan saja. Tapi diary cuma bisa tahu, dia nggak pernah bisa menjawab kalo kita minta nasehat, solusi atau kritik Sebenarnya diary itu cuma tong sampah yang cantik aja jelasku haru. Sesaat kami berdua terdiam Aku pernah mau menulis lagi lanjutku agak tersipu. Tapi akhirnya aku malah bingung dan merasa aneh sendiri Aku kan udah ada kamu, ada Ben, Misha Fandy aku menyebut nama terakhir seraya melepas senyum pahit. Kalianlah tempat berbagi yang sesungguhnya, manis ataupun pahit Dengan kelebihan dan kekurangan, kalian adalah tempat berbagi yang lebih sempurna bagiku Denis menatapku dengan muram. Sorot matanya masih terlihat risau, penuh keraguan. Lama-lama aku mulai nggak bisa menahan diri melihat raut wajahnya yang resah itu Kenapa sih? tanyaku menjadi terbeban. Diary itu lu hapus? tanya Denis ragu-ragu.

Nggak lah! Gimana-gimana juga, itu kenang-kenangan. Nggak perlu dihapus. Kenapa sih memangnya? kulikku, mengernyitkan kening makin bingung. Kalut di wajah Denis kelihatan tambah jelas, aku pun semakin resah dan curiga! Ada apa sih? Kayaknya kamu masih menyimpan beban gitu? desakku penasaran. Mas suara Denis pelan dan agak gemetar. Hari ini lu buka situs gay di laptop? Aku tercekat seketika. Perasaanku sekonyong-konyong ikut terseret oleh ketegangan yang makin besar! Firasatku langsung bergumul dengan tanda-tanda yang sangat mengkhawatirkan hatiku! Forum ya, forum gay Cuma forum ucapku ragu dan gagu. Mataku nanar menatap Denis, berharap semoga nggak ada apa-apa sehubungan dengan pertanyaannya itu! Denis melesahkan nafas dan tertunduk. Ada apa, bilang?! sentakku di ujung kecemasan dan takut Lu pasti nggak bersihin history-nya ya? Tadi laptop Papa rusak. Papa pakai laptop lu di kamar Dan kayaknya Papa ngecek history di browser lu

DEGGG!!! Beberapa saat lamanya aku ternganga. Jantungku serasa meluncur ke suatu tempat yang curam dalam dadaku App? aku tergugup suaraku tercekat! Papa tahu, Mas ucap Denis parau. Tadi Papa langsung tanya ke gue Papa tanya siapa yang buka situs gay? Aku terpana hampir tak percaya Terpaku menatap wajah Denis yang dilema Kamu jawab apa? tanyaku lirih dan terbata Menurut lu gue musti jawab gimana? balas Denis gagu Semua sudut langit-langit seperti melesat mengatup, menusuk kepalaku! Pandanganku rasanya langsung mau melayang Gundah ini rasanya seperti mau kiamat! Marasuk hingga melunglaikan semua dayaku! KAMU JAWAB APAA?!! seruku panik, tanpa sanggup berdiri dari tempat dudukku! Denis menatap nanar padaku. Sorry, Mas Gue terpaksa harus jujur ke Papa Ya Tuhannn

Aku kehilangan kata-kata. Aku meringkuk di atas kursiku, menggigit kepalan tanganku erat-erat di bibirku Dadaku gemetar! Ya Tuhan ini akhirnya terjadi! Dayaku rasanya sirna semuanya Aku seperti mau kehilangan kesadaranku dan nggak tahu harus bagaimana setelah mendengar semua ini! Mataku mulai perih. Ya Tuhan apa yang sedang kuhadapi ini?!! Papa juga baca diaryku? racauku sesak Gue nggak tahu Habis gue jelasin, Papa ke kamar lu lagi Lama. Gue nggak berani nyusul Mungkin Papa periksa semua yang ada di kamar lu Apa aja yang masih lu simpan? suara Denis parau dan terbata-bata Nggak ada yang macam-macam Aku udah bersihin semuanya Diaryku masih ada tapi aku udah ganti passwordnya Papa nggak mungkin buka racauku kalut dan panik. TAPI KENAPA KAMU HARUS BILANG?!! Denis makin nanar menatapku Papa punya bukti, Mas Papa nggak bisa dibohongi!!! Ya Tuhan!!! Keteledoran sebesar apa yang sudah kubuat?!! Semua keceriaan yang sempat kualami malam ini rupanya cuma hiburan sesaat, sebelum aku harus menghadapi kenyataan besar ini! Lebih besar Sesuatu yang selama ini selalu aku takutkan!

Keluarga ini nggak akan pernah sama lagi! Ada orang tua yang baru saja tahu kalau anaknya gay!!! Aku lunglai di tempat dudukku, mendekap dan meremas bahuku, menahan ketakutan yang begitu perih mencabik-cabik batinku Air mata tumpah tanpa suara! Semuanya hening. Cuma tetes-tetes air yang jatuh dari mulut kran wastafel yang terdengar begitu nyaring, seperti detik-detik yang angkuh menggiring ketakutanku Aku dan Denis cuma sanggup membisu Hingga kemudian Suara mobil sayup-sayup terdengar Makin jelas, tepat di depan rumah Papa sama Mama pulang cekat Denis lirih Kutahan nafasku yang rasanya ingin pecah di dada. Kegentaran terbesar dalam hidupku benar-benar telah terjadi saat ini! BRAAAKKK!!! Tanganku memukul meja dengan keras Mataku menahan tangis yang terasa panas di wajahku! Mas bisik Denis lirih. Maaf gue nggak bisa bohongin Papa Tapi gue mohon, lu jangan takut Aku menatap Denis, wajah nanar kami bertemu. Aku melihat matanya yang ikut memerah. Tapi perlahan senyumnya mulai mengembang. Tipis, sayu dan tegar

Semua nggak seperti yang kita takuti bisik Denis bersama senyum rapuhnya. Aku masih terdiam sejuta kata menatapnya, berusaha mengunci geram dalam kebisuan Semua di dalam batinku telah terasa hancur Apa lagi yang bisa menghiburku sekarang? Aku memejam membendung air mata yang kian sulit kutahan, berharap semua ini bukan kenyataan! Lho Pada di sini? tiba-tiba suara Papa terdengar menyapa di belakangku. Segera kuusap mataku. Kuusap wajah basahku tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Jangan sampai Papa melihat seperti apa raut wajahku saat ini, biarpun dia mungkin bisa menduga! Terlalu memalukan!!! Mama beli nasi goreng spesial! Denis sama Dimas bantuin bawa piring piring ke meja makan! suara Mama yang nyaring itu kemudian ikut menyusul, menyeruak meramaikan dapur. Denis beranjak dari hadapanku. Dia masih sempat meninggalkan senyumnya padaku, senyum letih itu Letih, tapi kenapa begitu damai? Kenapa??? Kenapa masih memberiku teka-teki setelah ini semua?!! Aku terpaku tanpa berani berbuat apapun, meski hanya untuk sekedar menoleh kepada Papa ataupun Mama

Dimas ayo, kok diam aja? suara Papa itu mengajakku Suara sejuk itu mengajakku? Di kala kebimbangan dan ketakutan besar ini menelanku, sesaat sesuatu seperti mendorongku untuk perlahan mulai memberanikan diri Menoleh kepada mereka Mama, Denis yang sibuk membawa piring-piring Dan Papa yang tersenyum padaku Ayo dong, gabung! ajak Papa lagi. Aku harus mempercayai semua yang kulihat dan kudengar ini? Kekuatan kecil ini pun mengedip kian terang dalam hatiku Aku takut, tapi bagaimana mungkin aku ingin kehilangan mereka??? Perlahan aku mulai berdiri dari dudukku Meski ragu, akhirnya kaki ini melangkah juga, membawaku mengikuti mereka Aku duduk di depan meja makan, di hadapan Papa, Mama dan Denis. Aku tetap belum mampu memiliki kata-kata sepatahpun di bibirku Ada nasi goreng tuna, kekian, roll udang, puding Mama menyebut menu-menu di meja dengan bersemangat Ma sela Denis. Kita kan jarang makan bareng. Kalo ada kesempatan kayak sekarang kenapa nggak doa bareng aja sekalian?

Semua mata menatap Denis Doa bareng? Ya nggak apa-apa ujar Mama dengan tawa kecil. Anak paling tua yang mimpin doa cetus Papa sambil tersenyum menopangkan tangannya di dagu. Dan kini giliran semua mata memandangiku Hatiku tergetar keras! Bukannya lebih bagus kalo orang tua yang mimpin? kelitku, dengan gugup dan berusaha mengalihkan wajahku dari mereka. Di hadapan Tuhan semua orang sama ujar Papa datar. Ada yang miskin, kaya, baik, jahat ada karakter yang unik tapi hakekatnya tetap sama Papa malah khotbah ih! sindir Mama sambil menata piring -piring di atas meja. Kalo gitu kenapa musti aku? aku masih terus berkelit Siapa setuju? Papa malah melontarkan tawaran. Setuju, Dimas aja! sahut Denis. Iya, Dimas aja! susul Mama sambil menelan tawa. Demokratis kan?! Papa juga setuju! ucap Papa dengan senyum mengembang.

Aku tercenung nanar menatap meja, masih bingung apakah aku harus percaya ini semua nyata Ayo, Dimas pimpin doa dong! desak Mama. Lalu semua mulai memejamkan mata. Cuma aku yang masih membuka mataku untuk memandangi mereka satu-persatu. Papa, Mama, Denis Keluargaku, orang-orang yang aku sayangi Akhirnya dengan gemetar telapak tanganku mulai merapat di atas meja. Aku kian tertunduk Menahan haru Pejaman mataku mendesak air mata untuk keluar lagi. Siapa yang melihat jatuhnya air mata ini, membasahi jari-jariku yang erat terlipat? Jangan, sebaiknya jangan ada seorangpun yang melihatnya Karena bukankah ini saatnya untuk mengucap syukur? Doaku pun, perlahan mulai terucap Untuk semuanya, termasuk air mata ini Tuhan Terima kasih Terima kasih untuk keluarga ini Ya Tuhan aku sayang mereka!

KANTONG 38 : Jiwa-Jiwa Yang Besar

Bayangkan Suatu ketika mendung sangat gelap dan kau mengira hujan lebat akan datang mengguyurmu. Awan sangat kelam dan kau mengira petir akan menyambarmu. Tak ada tempat untuk berlindung, yang ada hanya takut Tapi, ternyata tiba-tiba matahari muncul dan pelangi menyapa tanpa kau duga Di saat kau mengira semuanya akan membuatmu jatuh, ternyata semuanya baik-baik saja. Apa yang akan kau katakan? Sesuatu yang indah ternyata juga bisa membingungkan. Kalau kau bingung, maka kau pun seperti aku Siapapun pasti pernah dengar tentang malaikat. Tapi siapa yang tahu malaikat itu wujud sebenarnya seperti apa? Semua cuma katanya, dan katanya Katanya, malaikat itu adalah penolong bagi orang baik yang sedang kesusahan. Sebaliknya, dia tak pernah berkompromi jika harus menghukum orang-orang yang salah. Katanya, dia adalah utusan Tuhan, mahluk baik yang tak mengenal jalan tengah Katanya.

Kadang orang tua itu dianggap seperti malaikat oleh anaknya, karena kasih sayang dan kebaikannya. Begitu juga orang tuaku. Mereka adalah malaikat aku pernah menganggapnya begitu. Tapi, sekarang aku telah merenungkannya lagi, dan sepertinya aku telah membuat metafora yang keliru Malam itu, setelah rahasia terbesarku diketahui oleh Papa, diperkuat oleh pengakuan Denis, aku mengira hidupku di dalam keluargaku sudah berkahir Aku menyangka malaikat sedang datang dengan mobilnya, memarkirnya di garasi lalu segera menuju ke dapur karena ada anak yang harus secepatnya dihukum! Tapi apa yang terjadi? Ternyata mereka ke dapur untuk mengucapkan, Kami membawa nasi goreng special Dan itu bukan metafora. Malam itu aku telah dibuat terkejut luar biasa oleh berita yang menakutkan, dan aku berpikir tentang sebuah penghakiman. Tapi yang terjadi, tenyata adalah makan malam bersama, dan aku harus jujur itu makan malam keluarga yang sangat hangat Tak ada yang bisa kubuktikan bahwa malam itu telah terjadi suatu penghukuman. Tak ada yang dihukum, seorang pun di antara kami Aku bersyukur. Terharu Dan bingung! Malam itu, aku masih terus memikirkan apa yang sedang terjadi karena kenyataan terasa begitu sulit untuk kupercaya. Kenyataan yang jauh dari

bayanganku selama ini, telah mengaduk sampai bagian-bagian yang tersembunyi dalam batinku! Aku merenung sendirian di kamarku, duduk menerawang di depan jendela Mengintip cakrawala malam yang sangat terang penuh bintang, seolah langit telah melupakan hujan yang sejak siang hingga sore sempat memburamkannya Aku tak pernah berharap untuk dihukum! Tapi aku tahu benar bagaimana sebagian besar orang menilai orang seperti diriku ini! Biasanya, orang sepertiku adalah orang yang pantas untuk dihakimi! Bahkan orang tua pun bisa tega menghakimi anaknya jika keadaannya seperti aku! Itu yang aku tahu, itu yang selalu kutakuti Tapi, apa yang sudah terjadi sekarang? Kenapa aku tidak dihukum??? Hatiku gelisah dan bertanya-tanya Lalu saat itulah, tiba-tiba Papa datang menyusul ke kamarku malam itu Aku sempat menatap Papa. Meski cuma sekilas tapi aku langsung bisa membacanya, bahwa Papa memang sudah tahu semuanya Papa sudah tahu anaknya ini gay, dan dia pasti ingin membicarakan itu denganku! Bicara serius empat mata, bukan obrolan di meja makan! Denis tadi bilang ke Papa Papa membuka percakapan dengan arah yang cukup jelas. Papa udah tahu sekarang? timpalku tanpa mengangkat wajahku. Kecut, gentar!

Yaa gumam Papa singkat dan lesu. Sekarang Papa mau bilang apa? ucapku, dengan bibir nyaris gemetar. Papa duduk di tepian tempat tidurku. Lalu mulai bercerita Dimas, Papa ini bukan orang kuper Papa bekerja dengan banyak orang, bertemu dengan macam-macam orang tiap hari. Papa bergaul dengan mereka. Di antara mereka ada yang lesbian, ada yang transgender, ada yang gay Kadang bagi orang lain itu memang dunia yang sulit diterima. Tapi Papa bekerja secara professional, buat Papa yang penting bukan kehidupan pribadi seseorang, tapi prestasinya, dan integritasnya dalam bekerja Aku menyimak cerita Papa tanpa berani memandangnya. Ada rasa malu yang menekan dalam diriku. Rasa malu dan sungkan, jelmaan rasa sayang dan juga hormatku pada Papa. Aku tertunduk Papa mendesah lesu. Tapi itu semua adalah dunia kerja. Bisnis, dimana yang harus dilihat adalah profesionalismenya, sebisa mungkin masalah pribadi tidak dibawa-bawa. Selama ini Papa selalu berusaha menjadi orang yang terbuka Tapi saat keadaan seperti ini terjadi pada anak Papa sendiri, ini nggak semudah kalau terjadi pada orang lain Papa selalu bilang its ok ke orang lain, Papa bilang itu hak mereka Tapi kalau anak Papa sendiri? Jujur, Papa bingung! Papa tahu, Papa harus fair dan nggak boleh membuat standart ganda Tapi Papa tetap bingung! ujar Papa terbata-bata.

Aku hafal dengan pembawaan Papa yang selalu mencoba tenang. Seperti waktu ada di meja makan, siapa yang bisa menduga apa yang bergumul di balik sikap tenangnya itu? Di saat kami hanya berdua, begitulah akhirnya kegundahan Papa itu terlihat begitu jelas! Semakin membuatku galau dan takut menghadapinya Sejak kapan kamu seperti ini? tanya Papa pelan. Aku nggak tahu, Pa jawabku kelu dan tertunduk. Aku nggak merasa pernah trauma Aku juga nggak pernah bergaul dengan orang yang sama kondisinya seperti aku Aku merasa, ini mengalir begitu saja Lalu sejak kapan kamu menyadarinya? Papa bertanya lagi. Mungkin udah sejak SMP, Pa jawabku ragu. Kamu langsung menerima gitu aja? suara Papa terdengar keheranan sekaligus sedih. Kalo bisa milih, aku nggak akan pilih punya kondisi kayak gini, Pa! Kenyataannya aku lebih suka kalo sama laki-laki! tekanku bingung dan kalut. Aku lebih suka, lebih nyaman, dan merasa lebih jujur kalo sama lakilaki Itu kenyataannya! Aku pernah nyoba buat suka sama cewek, tapi tetap aja nggak bisa! Jadinya aku malah merasa bodoh, karena berpikir kalo rasa suka itu bisa dibuat-buat Rasanya bodoh dan palsu! Nggak ada orang yang bisa milih mau dilahirkan seperti apa kan, Pa? Tapi saat aku sadar kalo keadaanku seperti ini, mau nggak mau aku harus memilih untuk menerima atau menyangkalnya!

Dan aku pilih menerimanya, Pa Aku ingin ngikutin apa yang jujur dari diriku sendiri, aku nggak mau mengingkarinya lagi! Bersikap jujur aja masih serba salah dan nggak tenang, apalagi kalo harus terus-terusan menipu diri sendiri?! curahku terbata-bata, membanjirkan semua beban batinku selama ini di hadapan Papa. Aku mulai menatap wajah Papa yang sayu dan lelah. Raut yang jarang kulihat darinya Sudah seberapa jauh kamu melakukannya? tanya Papa lirih dan tampak resah. Seberapa jauh aku melakukan apa? Aku bisa saja ketawa karena pertanyaan Papa itu, tapi yang keluar hanyalah satu senyum pahit di waj ahku amat pahit! Aku suka dan juga pernah jatuh cinta, Pa. Tapi semuanya masih sepihak Jadi kalo maksud Papa dengan istilah seberapa jauh itu apakah aku pernah begini-begitu, aku cuma bisa bilang kalo aku nggak pernah nyoba macam-macam Semua masih sebatas perasaanku sendiri, Pa Tapi itu tetap perasaan dari diriku, itu tetap hal yang paling jujur buat aku bahwa memang beginilah keadaanku Aku nggak bisa menyangkalnya curahku dengan senyum pahit. Papa sekejap menahan tawa masamnya. Tanpa berkomentar. Aku nggak kaget kalo Papa malu karena aku seperti ini Aku minta maaf, Pa ucapku lirih gemetar. Tapi aku harus gimana?

Nggak, Dimas Buat Papa ini bukan soal malu timpal Papa Tapi di mata orang lain ini aib kan, Pa?! Papa tahu itu! sergahku setengah berseru Wajah Papa menerawang jauh. Buat Papa, anak Papa lebih penting dari orang lain Kalimat yang diucapkan Papa membuatku nanar. Keharuan menelanku kian dalam ketika aku melihat Papa yang harus tersenyum di tengah kekecewaan dan kesedihannya Dengar Dimas, Papa nggak bilang kamu benar Tapi Papa juga nggak mau langsung menilai kamu salah Kamu sedang mencari jatidiri, itu yang Papa lihat ucap Papa dengan senyum pahit Tapi jujur aja, Pa! Papa lebih ingin aku jadi orang normal kan?! kejarku menggugat kejujuran Papa. Semua orang tua seperti itu, Dimas! Siapa yang nggak ingin? Papa nggak mau munafik Tapi Papa juga nggak mau egois tandas Papa, wajah teduhnya itu begitu serba salah Tapi hati besarnya membuatnya mengalah! Aku juga nggak mau ngecewain Papa! Jadi kalo Papa malu, kalo Papa nggak mau aku seperti ini, tolong Papa bilang aja sejujurnya! ucapku dalam kekalutan yang semakin sulit kubendung

Papa sudah jujur, tapi kalo Papa minta kamu berhenti jadi seperti ini, apa kamu akan melakukannya?! Papa nggak bilang kalo Papa senang Tapi Papa juga nggak bisa memaksa! tandas Papa dengan wajah masam Aku berpandangan dengan Papa. Wajah yang sama-sama letih dan resah Jiwa yang penuh dengan beban Membisu menanggung pergumulan di batin kami Akhirnya aku tertunduk. Air mataku sekali lagi hampir terjatuh lagi Itu adil buat Papa? ucapku perih Perlahan Papa berdiri dari duduknya. Dia lalu berdiri di sampingku. Tangannya menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Suatu saat kamu akan dewasa, Dimas Kamulah yang akan meneruskan hidupmu. Itu milikmu, bukan milik Papa Orang tua hanya bisa ikhlas, dan berharap anaknya baik-baik saja kalau nanti sudah waktunya ditinggalkan Jadi kalau memang kamu yakin itu bisa membahagiakan kamu, Papa juga akan berharap itulah yang terbaik buat kamu ucap Papa, menenangkanku dengan kata-kata sejuknya Tapi aku ini anak macam apa kalo sampai bikin orang tua kecewa? desahku pedih Dan orang tua macam apa kalau sampai menyiksa batin anaknya? balas Papa pelan Aku diam tertunduk, semakin ditelan oleh kebesaran hati Papa. Aku sadar, siapa yang pada akhirnya harus berkorban Berkorban sangat besar!

Papa nggak akan melarang Kamu sudah besar, tapi juga masih muda. Carilah jati dirimu. Mungkin memang ini jati dirimu. Tapi mungkin juga waktu akan membuktikan yang lain Masih banyak kemungkinan di waktu yang akan datang ucap Papa dengan senyum sayu yang tersamar oleh sorot jendela. Bagaimana kalo ini memang jatidiriku, Pa? Sebaiknya kamu sudah dewasa saat kamu meyakininya. Maka itulah hidupmu Papa cuma bisa berharap itulah yang terbaik buat kamu, dan kamu bisa bahagia dengan itu Bagaimana kalo bukan? Kalau bukan??? Papa memandangiku, meski pahit tapi senyumnya itu terasa hangat. Kalau bukan, berarti kamu akan menikahi perempuan kan? Apa sedihnya Papa punya cucu dan menantu? Seketika aku tertawa bercampur dengan air yang menyelinap keluar dari pelupuk mataku. Papa ikut tertawa pahit, seraya mengusap-usap rambutku Lalu Papa kembali berpesan padaku Karena itu, mengertilah kalau waktumu masih panjang. Semua yang kamu anggap pasti saat ini, bisa saja kelak akan berubah. Jadi jagalah dirimu! Jangan terlalu jauh bertindak seolah semua nggak mungkin berubah! Jangan melakukan yang terlalu jauh melebihi usiamu, karena tiap hal selalu memiliki waktu yang lebih tepat. Apapun yang kamu jalani saat ini, Papa minta kamu tetap prioritaskan sekolahmu Itu saja

Aku mengangguk pelan, penuh haru mendengarkan kebijaksanaan Papa Lalu Bagaimana kalo nanti aku punya pacar? Tiba-tiba aku mulai menanyakan sesuatu yang kurang tahu malu, dan aku baru tahu malu saat itu sudah telanjur terucap.! Ya ampun! Aku masih saja berharap lebih! Tapi Papa malah ketawa lagi. Hhhhh Soal pacar, nggak cuma kamu Denis mungkin juga akan punya pacar! Papa kayaknya akan sulit buat melarang kalian. Papa sendiri pernah seusia kalian! Tapi Papa tetap minta, untuk saat ini prioritas kalian tetap sekolah! Yang lain buat penyeimbang saja! Aku serasa belum puas dengan jawaban Papa. Intinya boleh kan, Pa? tanyaku, masih tak tahu diri Papa menghela nafas karena pertanyaanku yang merepotkan. Jangan bertindak terlalu jauh, rambu-rambunya tetap itu! Menunggu sampai dewasa? Di keluarga manapun aturannya seperti itu! Di sini juga sama! Aku tersipu, mengangguk-angguk malu. Aku nggak berani mengejar pertanyaan itu lagi. Tapi ada satu hal yang hampir terlewat Bagaimana dengan Mama? tanyaku ragu-ragu

Papa belum bicarakan ini sama Mama. Nanti saja di waktu yang tepat. Yang penting kamu ingat kata Papa, waktumu masih panjang! Nanti kalau kamu sudah dewasa, kita bisa bicarakan lagi bersama-sama. Saat ini yang penting buktikan dulu sekolahmu beres! Oke? Aku terharu, damai tak terkira saat Papa memberikan kebesaran hatinya Oke, Boss Adil! anggukku pelan, seraya mengembangkan

senyumku dan mengusap air mata haruku Aku berdiri memeluk Papa dan tangannya yang hangat menyambutku, menepuk dan mengusapku

Ya aku hafal, semua selalu cenderung diplomatis kalau Papa yang bicara Tapi sesungguhnya, mungkin tak ada kosakata yang mampu mewakili kedalaman dan kebesaran hati seseorang Aku tak tahu, apa lagi yang harus kuucap untuk semua keajaiban yang diberikan kepada keluarga kami keajaiban yang kurasakan pada hati seorang a yah jiwa besarnya yang tetap menerima anaknya yang berbeda ini Kebaikan yang terlampau besar. Hingga semua ketakutanku seperti terhapuskan seketika Aku bingung dalam kekaguman Jadi, apakah Papa adalah seorang malaikat? Tapi yang aku dengar, malaikat itu hanya menilai hitam dan putih?

Papa nggak cuma melihat hitam dan putih. Papa adalah ayah yang percaya bahwa pelangi indah karena warnanya. Entah aku akan menjadi merah, biru, kuning ataupun yang lain, bagi Papa aku tetaplah menjadi warna di dalam keluarga kami Warna yang tak akan dibuang! Aku pernah menganggap Papa sebagai malaikat karena itu terdengar indah dan terasa penuh kasih sayang Kurasa, sekarang itu nggak perlu lagi. Dia adalah ayah yang kubutuhkan. Ayah yang menyayangi keluarganya. Ayah yang sangat manusiawi, dengan kelebihan dan kekurangannya. Dan bagiku, ternyata itu lebih indah Papa dan Mama, aku nggak mau mengecewakan mereka meski aku tetap berbeda! Suatu saat, aku akan membuat mereka bangga Aku harus bisa! Dan Denis? Malam itu, selepas pembicaraanku dengan Papa yang telah menanggalkan semua bebanku, satu hal yang terpikir di dalam benakku cuma satu. Aku ingin bertemu Denis! Aku menuju ke kamarnya, dan seperti biasa, dia nggak pernah mengunci pintu kamarnya! Aku masuk, dan mendapatinya telah tertidur Aku ingin memeluknya Aku ingin tidur di sampingnya sampai malam tuntas dan tetap memeluknya sampai pagi! Karena dia telah menjadi sodara yang melengkapi hidupku, mengisi bagian hatiku yang masih kosong dengan arti

seorang sodara sekaligus sahabat yang nggak pernah aku sadari sebelumnya! Tapi yang terlebih berarti dari itu adalah karena dia selalu setia! Aku nggak bisa berterima kasih padanya dengan kata-kata, karena sekali lagi apakah ada kosakata yang bisa mewakili kebesaran hati seseorang? Aku hanya bisa memeluknya, tapi kulihat dia sudah terpulas dengan wajahnya yang tampak letih Letih karena selalu ikut menanggung beban-bebanku. Apa aku harus mengganggunya? Kulihat selimutnya yang tersibak, perlahan aku membenahkannya lagi menyelimuti tubuhnya karena malam begitu dingin. Sebaiknya aku nggak menganggunya lagi. Lagipula, dia juga nggak suka dipeluk-peluk Hahaha Dia juga bukan malaikat. Dia adalah sodara yang lebih indah dari itu! Aku keluar lagi dari kamar Denis, dan kembali ke kamarku sendiri Melangkah dengan hati damai melewati ruang-ruang rumah yang lampunya telah padam, menyongsong waktu tidur untuk menanti esok yang baru Dalam doaku, semoga warna-warna yang indah dalam kehidupan akan menyapa lebih cemerlang Dan itulah akhir malam itu Aku tahu aku harus mengucap syukur pada Tuhan, tapi aku belum juga menemukan kalimat yang sempurna Ya, lagi-lagi kosakata apa yang sanggup mewakili keajaiban dan kebaikan-Nya?

Ketakutan yang dulu hinggap membayangi hatiku, sekarang reda dan semakin sirna. Tapi meski begitu, kurasa masalah yang tersisa tetap harus dituntaskan. Dan yang masih membayangiku adalah Rencana Visitasi Guru BP! Aku tahu, ketakutanku selama ini adalah karena aku mengira Papa dan Mama akan menghukumku jika mereka tahu tentang kondisiku. Karenanya aku resah dengan rencana Visitasi itu! Tapi sekarang, Papa sudah berada di pihakku meski Mama belum tahu masalah ini Setidaknya, jika diibaratkan seekor serigala maka Pak Alex yang arogan itu telah patah satu taringnya! Bagaimanapun, aku tetap ingin tahu seperti apa penuntasan masalah ini! Im ready! dengan setengah sadar aku menulis dan mecorat-coret di atas lembaran buku catatan Sosiologi-ku Im ready? tiba-tiba Misha ikut mengeja tulisanku. Ehh! aku kaget. Wah, ada gambar malaikatnya juga? sambung Misha. Langsung kututup bukuku yang penuh corat-coret. Misha cuma nyengir di sampingku.

Aku mengejap-ngejapkan mataku sejenak. Entah, sudah berapa lama aku melamun? Aku tadi baru saja membayangkan lagi, percakapanku dengan Papa malam itu Hhhhfff Aku masih saja terharu kalau merenungkannya Bahkan sampai terlarut Apalagi di tengah pelajaran Sosiologi yang membosankan seperti sekarang! Sekarang semua indraku telah aktif sepenuhnya, menangkap suasana di ruang kelas ini! Aku melongok jam tanganku, lima menit menjelang jam istirahat. Tapi pantat guru Sosiologi itu sepertinya masih betah di atas kursinya! Lalu tiba-tiba Bu Yanti muncul. Aku terkejut waktu Wali Kelas-ku yang cantik itu sudah berdiri di muka pintu kelas! Permisi, Pak, saya mau bicara sebentar sama siswa saya Bu Yanti meminta ijin ke Pak Agum, guru Sosiologi yang membosankan itu. Silakan! Pak Agum menyilakan sambil tersenyum ganjen ke Bu Yanti. Lalu Bu Yanti mendekat ke mejaku. Dimas, saya tunggu di kantor BP ya bisik Bu Yanti memberi isyarat padaku. Pesan yang cukup jelas buatku. Aku bisa menebak ini soal apa. Aku segera mengangguk. Iya, Bu jawabku. Huhhhh Akhirnya, ada panggilan juga dari BP!

Terima kasih, Pak Agum Bu Yanti langsung permisi lagi ke Pak Agum begitu selesai menyampaikan pesannya padaku. Pak Agum mengangguk-angguk penuh semangat. Dan dia langsung berdiri sambil mengemasi buku-bukunya begitu Bu Yanti pergi Anak-anak, sebentar lagi jam istirahat. Pelajaran kita akhiri. Jangan lupa PR-nya, Bab II sampai Bab V, dirangkum! Lusa dikumpulkan! Selamat pagi! Pak Agum memungkasi pelajarannya. Lalu segera buru-buru meninggalkan kelas. Wanjriiiiitttt!!! Dua hari disuruh ngerangkum 4 Bab??? Guru edaaannn!!! Huuuuuuuuu!!! seisi kelas langsung menyoraki begitu Pak Agum pergi. Pak Agum gatel tuh disamperin Bu Yanti! mulutku menggerutu nggak jelas. Untung nggak cemburu sama kamu! celetuk Misha. Ngapain cemburu sama aku?! tukasku. Kan Bu Yanti ke sini nyamperin kamu, bukan Pak Agum? Nyamperin? Katanya aku ditunggu di ruang BP Kok nggak ditunggu di kantin aja ya? Yeee Jadi kalo sama Bu Yanti kamu mau ya?

Ya kalo ditraktir masa nggak mau sih? celetukku enteng. Hiii Matree! cibir Misha. Memangnya di BP ada apa? Perkembangan kasus yang kemarin itu ya? Aku mengemasi buku-bukuku. Bersamaan bel jam istirahat pertama berbunyi. Lalu aku menghelas nafas. Hhhhfff Aku belum bisa cerita detailnya, Mis Masih proses, nanti kalo udah jelas aku pasti ceritain! ujarku simpul. Misha diam sesaat menatapku. Lalu tersenyum optimis. Apapun yang terjadi, kamu nggak usah takut. Kamu punya teman, kamu punya sodara and at least, kamu punya Papa yang siap bela kamu kan? Aku mengangguk dengan yakin. Yup. Thanks! ucapku sera ya membalas senyum Misha dengan optimis pula. Goodluck! ucap Misha memberiku semangat. Im ready! sahutku mantap. Aku beranjak dari kursiku. Meninggalkan Misha. Melangkah ringan melewati sudut-sudut sekolah yang ramai di jam istirahat. Hmmm Masih seperti biasa. Ada yang tetap melirik dengan mata yang sinis, senyum yang mencibir Ada yang nggak peduli Tapi, ada juga yang menyapa Gimana kabarnya, Mas?

Akupun mulai belajar untuk lebih ramah dan tanpa prasangka. Lebih baik dari kemarin! jawabku seraya tersenyum lebar. Aku mulai faham bahwa nggak semua orang yang bukan temanku berarti jahat dan membenciku. Dunia nggak sekaku itu. Hati manusia nggak sesempit itu. Sesuatu juga nggak selalu mulus. Dan kadang memang nggak harus mulus. Karena seberat apapun, perjuangan itu selalu menyelipkan momen yang indah bila kita mau berpikir positif, dan mau introspeksi! Ya. Seperti hari ini. Teman yang kukenal menyemangatiku. Teman yang nggak kukenal menyapaku. Kenapa nggak berpikir positif aja? Iya nggak? Melangkah dengan optimis. Dan siapkan hati! Akhirnya, aku tiba di kantor BP Kuatur diriku. Menyiapkan sikap tenang Permisi salamku di muka pintu. Di ruang utama telah duduk dua guru yang menantiku, Bu Yanti dan Bu Kamti. Aku melihat Pak Dibyo ada di ruang samping, kelihatan dari pintu ruangan yang terbuka. Pak Dibyo cuma menoleh sekilas dan tersenyum singkat padaku, lalu sibuk lagi dengan pekerjaan di mejanya. Aku nggak melihat Pak Alex, yang tampak sedang menungguku cuma Bu Yanti dan Bu Kamti! Masuk, Dimas! sahut Bu Yanti.

Aku melangkah pelan. Ternyata masih tersisa rasa deg-degan di jantungku. Tapi situasi ini masih bisa kuatasi. Aku duduk, berhadapan dengan kedua guru yang sudah menungguku. Kamu yang bernama Dimas? Bu Kamti bertanya. Wajahnya tetap kelihatan angker bagiku, meski katanya saat ini dia akan membantuku! Betul, Bu jawabku. Bu Kamti menghela nafas dengan ringan dan tenang. Raut tegas di wajahnya masih memberi kesan galak sebagaimana biasanya. Tapi ternyata dia juga bisa tersenyum. Hoohhh Sedikit membantu mentalku! Saya sudah dengar cerita dari Bu Yanti. Hari Jumat, minggu kemarin, Bu Yanti datang ke rumah saya ujar Bu Kamti. Hari Jumat? Berarti sehabis aku ke rumahnya itu, Bu Yanti langsung menemui Bu Kamti kemarin? Aku harus salut Bu Yanti ternyata memang serius dengan niatnya untuk membantuku! Kemudian esoknya, hari Sabtu, saya dan Bu Yanti langsung membicarakannya dengan Pak Alex lanjut Bu Kamti dengan serius. Saya sudah pelajari permasalahannya. Sebenarnya hari Sabtu itu saya ingin mengajak kamu untuk ikut berembug secara langsung. Tapi kamu belum masuk sekolah. Dan kemarin, hari Senin, ternyata kamu juga belum masuk Iya, Bu. Maaf Sama dokter saya memang belum diperbolehkan masuk jelasku agak sungkan. Ya, memang seharusnya aku belum boleh

keluyuran waktu itu. Ke rumah Bu Yanti, ke Sriwedari, ke tempat Bang Togar, naik Vespa! Esoknya sekujur badanku langsung jadi nyeri lagi! Baru hari ini Papa sama Mama memperbolehkan aku mulai masuk sekolah. Iya, saya mengerti. Pada dasarnya permasalahan ini sudah kami bicarakan. Dan kami juga sudah mencari solusinya lanjut Bu Kamti datar. Aku menunggu semua penjelasan Bu Kamti dengan seksama. Jantungku rupanya masih berdegup cukup kencang! Menurut saya, Pak Alex memang terlalu berlebihan menyikapi persoalan ini tutur Bu Kamti. Dan segera terbaca kesimpulannya di benakku. Samar-samar aku mulai tersenyum Dari mana kamu tahu soal kode etik itu? Bu Kamti tiba-tiba sedikit membelokkan arah pembicaraannya Emmhh Dari internet, Bu jawabku agak ragu. Maksud saya, itu terpikir begitu saja waktu kamu mencarinya? Emhhh Tidak juga Kebetulan, saya juga sering melihat berita di TV, kadang ada berita guru yang bertindak semena-mena kepada muridnya Lalu saya pikir, kalau murid punya peraturan, guru tentunya juga punya jadi seharusnya tak boleh bertindak sewenang-wenang! Karena saya merasa sedang

menghadapi masalah yang sama, saya terpikir untuk mencari tahu soal itu Lalu saya menemukan tentang Kode Etik itu jelasku sedikit gugup. Perlahan Bu Kamti tersenyum. Memang ada aturannya. Saya kagum kamu bisa berpikir ke situ! timpalnya. Aku membalas senyum Bu Kamti yang penuh wibawa itu dengan agak rikuh. Saya, Bu Yanti, Pak Alex dan Pak Dibyo sudah membicarakannya. Kami rasa, Pak Alex memang terlalu emosional sehingga menabrak aturan-aturan konseling. Dan beliau sudah mengakuinya. Setelah kami berembug, akhirnya beliau bersedia menitipkan penyelesaian masalah ini kepada saya. Saya harap, kamu tidak memperpanjang seandainya kamu pernah merasa sakit hati tutur Bu Kamti dengan hati-hati. Aku mengernyitkan kening mencerna arti tersirat dari ucapan Bu Kamti. Jadi? ucapku meminta kejelasan. Bu Kamti mengatur nafas sejenak. Dimas, saya punya pendapat dan saya juga sudah mengutarakannya pada Pak Alex. Menurut saya, kondisi seseorang seperti keadaan mental, gender, orientasi seksual, itu adalah suatu katakanlah status Orang tidak boleh dihakimi hanya karena berdasarkan statusnya, itu tidak adil. Kamu tidak seharusnya dihakimi hanya karena statusmu adalah lakilaki yang menyukai sesama laki-laki Perasaan seperti suka atau cinta, itu bukan kejahatan. Tapi bila atas dalih cinta kamu melakukan sesuatu yang merugikan

pihak lain misal saja, perkosaan maka kamu harus diadili berdasarkan perbuatan itu, bukan cintanya atau sukanya yang diadili. Orang dinilai dari perbuatannya! Setuju? Aku mengangguk-angguk, terharu. Couldnt agree more! Jadi kamu bisa mengambil kesimpulannya? pancing Bu Kamti. Saya tahu, Bu. Saya nggak akan melakukan yang macam-macam Saya mengerti prioritas saya sebagai pelajar. Saya juga sudah berjanji pada ayah saya jawabku mantap. Bu Kamti dan Bu Yanti kelihatan agak terkesiap sehabis mendengar kalimatku. Ayah saya juga sudah tahu, Bu. Dan ayah saya tidak melarang. Tapi ayah saya tetap menegaskan kalo saya harus mengutamakan sekolah dulu Dan saya akan mematuhinya! Saya nggak mau mengecewakan orang tua saya! ujarku mantap. Bu Kamti tersenyum mengangguk, tampak terkesan. Begitu juga Bu Yanti. Jatidiri itu proses. Kita tak pernah tahu batasnya sampai kapan. Tapi masa sekolah itu sangat jelas batas waktunya! Ayahmu benar! tegas Bu Kamti. Jadi saya akan mengawasi kamu, Dimas! Saya tidak mau kamu mengecewakan orang tuamu! Bu Yanti ikut menimpali seraya tersenyum tegas. Aku tersenyum kecut. Aku jadi ingin bertanya pada Bu Kamti

Kalo saya boleh tahu, bagi Bu Kamti apa memang sudah seharusnya bertindak seperti ini? Maksud saya seorang guru biasanya punya standart moral Misalnya, agama? Pak Alex kemarin mencecar saya dengan dasar itu juga jadi apa menurut Bu Kamti, Pak Alex itu salah? tanyaku, sedikit gugup mengurai pertanyaan yang mengganjal di batinku. Karena aku tahu, itu pertanyaan yang sensitif. Bu Kamti mengernyitkan keningnya. Jadi kamu merasa kalau sebenarnya kamu salah? Ehmmm Bukan begitu, Bu Lantas? Maaf kalo saya lancang. Saya cuma ingin memastikan bahwa pembelaan Bu Kamti pada saya tidak bertentangan dengan hati nurani Ibu Bu Kamti tersenyum lebar terkesan agak geli. Dimas, saya punya dua alasan untuk keputusan saya. Pertama, alasan formal. Kamu benar bahwa Pak Alex sudah mengabaikan beberapa hal penting dalam tugas konseling, telah terjadi suatu pelanggaran beberapa kode etik. Dan selaku pendidik sekaligus rekan kerja beliau, maka saya punya tanggung jawab untuk meluruskan kembali jalannya roda yang keluar jalur! Dengan begitulah kita menghargai hak siswa dan menempatkan kewenangan guru dalam kapasitas yang semestinya. Itu alasan formalnya

Lalu Bu Kamti mengatur nafasnya sejenak dengan tenang. Dia menatapku lebih lekat, dan di dalam matanya sana seolah Bu Kamti sedang menimbangnimbang sesuatu Alasan saya yang kedua adalah alasan moral ucap Bu Kamti kemudian. Moral? Perasaanku kembali tegang. Tapi aku siap mendengar apapun! Nak, soal moral orang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Bahkan yang seagama pun belum tentu memiliki pendapat yang sama Bu Kamti mulai menjelaskannya dengan nada yang terdengar lebih hati-hati. Membicarakan apakah homoseksual itu benar atau salah, tak akan ada habisnya. Saya rasa, pendapat pribadi saya pun tidak akan memecahkan kontroversi ini. Tapi saya percaya, kalau Tuhan mampu menyatakan kuasa-Nya dalam cara yang istimewa pada setiap orang. Itulah kenapa karakter setiap orang memiliki kelebihan, kekurangan, dan keunikan masing-masing Saya juga percaya Tuhan bisa berada di hati setiap orang, asalkan hatinya memang mau jujur dan terbuka. Jadi saya anggap itu adalah bagian dari pencarian jatidirimu, selama tidak menabrak hak orang lain maka saya tidak boleh memperkarakan kondisimu itu Karena saya sendiri faham, bahwa kamu juga punya hak untuk menentukan pilihan hidupmu. Begitulah hati nurani saya bicara!

Aku tercengang, berbinar, sekaligus terharu! Guru yang galak dan reseh ini??? Baiklah, saya janji, Bu mulai sekarang saya nggak akan lagi bilang Anda reseh! Sebuah pelajaran dari salah satu guru tergalak di sekolah ini. Galak dan bijak ternyata nggak selalu bertentangan! Setiap orang memang memiliki kelebihan, kekurangan, dan keunikan masing-masing Itu benar! Benar salah soal gay? Ya, kapan habisnya? Yang aku tahu perasaanku ini kuat dan jelas! Apakah orang lain bisa merasakannya lebih kuat dari diriku sendiri? Lalu terdengar bel berbunyi. Jam istirahat berakhir Bu Kamti menghela nafas, sedikit membenahi kerudungnya. Baiklah, Dimas. Saya harap kamu ingat kata-kata saya! Di sini kamu adalah siswa sekolah, sama dengan teman-temanmu yang lain. Kamu tahu prioritasmu! Saya tidak akan mengawasi kamu siapa, tapi saya akan mengawasi sikapmu di sekolah! Saya tetap tidak pandang bulu kalau ada yang melanggar tata tertib sekolah! pesan Bu Kamti dengan senyum tegas. Saya juga mengawasimu, Dimas! susul Bu Yanti dengan senyum mewanti-wanti. Kemudian raut mukanya sedikit berubah, seperti menyesali sesuatu. Saya sebenarnya ingin dengar bagaimana ayahmu bisa tahu Itu pasti menarik! Sayang jam istirahat sudah habis Tapi pokoknya, kalau kamu masih ada ganjalan atau masalah, saya tetap siap untuk bantu!

Siap, Bu! jawabku sedikit berkelakar. Tersenyum lebar. Lalu aku teringat sesuatu lagi. Oh iya, Bu Soal ganti rugi untuk pihak kantin, bagaimana kami menggantinya Kedua guru itu sesaat tersentak. Oooo! Hampir saja lupa! sentak Bu Kamti sambil menepuk-nepuk dahinya. Bukankah kamu sudah diberitahu Denis? Hahhh??? kali ini ganti aku yang tersentak! Kemarin kami menanyakannya ke pemilik kantin, tapi katanya sodaramu sudah menggantinya. Lalu kami mencari sodaramu yang bernama Denis itu untuk memastikan, ternyata memang benar dia sudah menggantinya. Dia membayar ganti rugi untuk tiga kursi milik kantin yang rusak jelas Bu Kamti panjang lebar. Apa dia tidak cerita ke kamu? Aku menggeleng keheranan. Dia tidak cerita, Bu Atau mungkin belum jawabku ragu. Huuhhhh! Berapa sih duitnya Denis? Aku yakin dia pasti mengambil dari tabungan, dan pastinya habis cukup banyak! Kenapa sih dia nggak cerita saja padaku? Kan harusnya patungan! Nggak perlu dia sendiri yang menanggungnya! Saya malah nggak nyangka, ternyata kalian tho yang sedang bermasalah Anak kembar yang dulu pernah menabrak saya! ceplos Bu Kamti kemudian.

Aku langsung menelan ludah dan tersenyum gugup. Ya ampun! Hahaha Ternyata ingatan Bu Kamti tajam juga!!! Hehehe Iya, Bu Bu Kamti dulu juga pernah menghukum adik saya waktu razia seragam jelasku agak segan dan malu. Ya, saya juga masih ingat! cetus Bu Kamti, sekarang wajahnya mulai judes. Itu sodaramu dihukum masih berani cengengesan! Berani mengerjai saya! Aku tercengang geli. Berani gimana, Bu? Anak-anak lain itu pada nunduk semuanya kalau saya marahi. Tapi dia malah ngajak saya ngobrol! Nggak merasa kalau sedang dihukum! Akhirnya saya malah jadi nggak bisa marah! Saya malah kebablasan ngobrol sama dia! gantian uneg-uneg Bu Kamti tumpah! Aku menahan tawa. Dia kalo lagi cerewet memang gitu, Bu Memang rada menyebalkan Ya. Salam buat dia ya! kelakar Bu Kamti. Hahaha, Bu Kamti becanda nih? Hahaha Iya, Bu sahutku sambil tertawa. Ya sudah. Masalah ini sudah kita selesaikan. Pak Alex sudah sepakat untuk membatalkan rencana visitasi itu. Tapi jangan sampai ada ulah lagi seperti di kantin kemarin ya! Peraturan sekolah tetap tidak ada pengecualian! pesan Bu

Yanti memungkasi pembicaraan. Sekarang kamu bisa kembali ke kelas Jam istirahat sudah selesai Aku mengangguk dan segera menyalami Bu Kamti serta Bu Yanti. Terima kasih, Bu ucapku sepenuh hati. Jangan bikin ulah ya! pesan Bu Kamti. Iya pungkasku dengan senyum hormat. Aku segera berdiri dan berpamitan. Permisi, Bu Bu Kamti dan Bu Yanti mengangguk membalas pamitanku. Aku beranjak dari kursiku. Aku masih sempat melihat ke ruang Pak Dibyo. Dia cuma mengangguk sekejap padaku, lalu sibuk lagi dengan pekerjaan di mejanya. Aku meneruskan langkah, menuju dan melewati pintu keluar Akhirnya Hati ini sepenuhnya lega! Masalah-masalah itu telah selesai! Akhirnya, hari-hariku di sekolah bisa kembali tenang Langkahku mengayun bersama denyut yang damai di jantungku. Menggema ringan, sepanjang koridor yang lengang Jam istirahat sudah usai dan semua aktivitas telah tersita lagi di dalam ruang kelas. Dan aku sedang menuju ke kelasku saat perhatianku tiba-tiba tercuri! Kulihat seseorang sedang melakukan sesuatu di salah satu sudut sekolah, di depan papan Mading

Kuurungkan sejenak niatku untuk kembali ke kelas. Aku bergegas menghampiri anak itu Lagi ngapain? sapaku pada Anita. Cewek berambut kriwil itu tampak terkejut menoleh padaku. Ehhh! Ooh Ini baru masang sahutnya. Diganti ya? Iya. Guru Pembina menyuruhku menggantinya! jawab Anita sambil lalu. Sibuk menempelkan materi-materi Mading yang baru. Aku sudah tahu bagaimana ceritanya. Jadi aku nggak perlu bertanya, karena mungkin ini justru masalah yang sedang sensitif buat Anita. Wartawan Mading yang dibredel tulisannya! Kenapa nggak tadi pas jam istirahat aja? tanyaku basa-basi. Minta dikerubungi anak-anak yang lain? sahut Anita cuek. Aku cuma tersenyum. Ya, reputasi Anita mungkin memang lagi jelek di mata orang-orang tertentu. Kayaknya memang sudah dari dulu reputasinya nggak begitu bagus, soalnya kadang dia menulis dengan seenaknya. Tapi pastinya akhir-akhir ini tambah berat! Terutama di mata orang-orang yang homophobic Aku kayaknya juga nggak akan kaget kalau habis ini akan muncul isu Anita lesbian Hahaha Sorry kalau pikiranku ngelantur! Ini posting terakhirku sebagai pengurus Mading gumam Anita.

Hah? Kenapa? aku jadi agak kaget. Aku diterima jadi wartawan freelance. Majalah remaja, segmen sekolah. Minggu depan aku sudah ikut workshop! Sebenarnya sih aku bisa menjalani duaduanya, freelance sama Mading. Tapi sekarang aku tahu kayak gimana piciknya guru-guru pembina Mading ini, jadi aku pilih lepas aja! cerita Anita sambil menatap Mading yang telah selesai dikerjakannya. Bukannya kamu pernah bilang, Mading ini hal yang kamu cintai di sekolah? tanyaku. Cepat atau lambat aku pasti juga akan berhenti jadi pengurus Mading, kita kan nggak selamanya sekolah di sini! Yang penting, jiwa dari Mading inilah yang harus tetap aku miliki. Kreatifitas jurnalistik, apapun wadahnya! cetus Anita dengan nada bangga. Lalu dia ganti memandangiku dengan senyum sedikit kurang ajar. Seperti kamu, jiwamu menyukai laki-laki. Entah itu Erik, atau yang lain! Hmmm Sindiran yang kurang ajar! Lalu tiba-tiba dia mendengus seraya menyiba-nyibak rambut kritingnya. Kelihatan kesal Kamu benar, Mas. Bikin tulisan soal homoseksual cuma menimbulkan masalah aja di sini! Nggak peduli maksud kita baik, bagi orang-orang kita tetap salah! keluh Anita. Aku udah bilang! cibirku cuek.

Sorry ya, Mas ucap Anita, yang biarpun singkat tapi aku yakin dia serius dalam mengakui kesalahan. Yaahhh, untuk ukuran Miss Gossip seperti dia cukup hebat lah berani mengaku khilaf! Its fine. Kesalahan itu bisa buat belajar juga gumamku sambil lalu. Mataku mulai beralih ke papan Mading. Aku mengamati sekilas isinya yang sebagian telah berubah. Edisi Revisi nih jadinya! Kuganti tema artikel utamanya, jadi Peringatan HUT RI! cetus Anita mengomentari tema Madingnya yang baru. Dan kali ini ada susulan kolom puisi Kolom puisi? gumamku. Waktu posting minggu kemarin aku udah pasang pengumuman kalo dibutuhkan materi buat kolom puisi. Tapi puisinya baru ada yang ngirim kemarin. Yaahh, mepet sih, tapi belum telat. Dan rada sayang juga, puisinya nggak bertema HUT RI Tapi gimana lagi, yang ngirim cuma satu orang! cerocos Anita. Dan kamu langsung pasang sekarang? gumamku. Mataku jadi tertarik mencari bagian puisi itu. Ingin sekedar membacanya. Anita menghela nafas dengan lesu. Ini Mading terakhirku. Untuk pekerjaan terakhir setidaknya aku masih menunjukkan dedikasiku Aku nggak mau mengecewakan orang yang sudah peduli sama Mading ini!

Tanpa bilang apa-apa lagi, Anita mengambil langkah. Dia pergi. Aku ditinggalkan sendiri di sini, dengan mata yang sudah terpaku pada kolom puisi. Aku mencoba membaca baris-baris puisi yang ada di hadapan mataku. Saat aku merasa mulai meresapi artinya aku pun terkesiap! Aku mencerna baris-barisnya, menelaah semuanya, dan aku segera merasakan Seperti suatu pertanda yang tersirat!!! Anita, ini siapa yang ngirim??? tanyaku terlontar, tapi aku segera tersadar kalau Anita sudah pergi! Cuma aku sendiri di sini, terpaku dan tercengang!!! Aku menatap puisi itu lagi. Membacanya lagi Meresapinya lagi! Sekali lagi aku terhenyak, makin terpana Rasa penasaran ini pun makin menjadi-jadi! Benakku mengawang, perasaanku mulai terbawa pada seseorang Benarkah perasaan ini? Mataku segera menengok ke arah lain. Pandanganku menyeberang ke sana, ke sebuah tempat yang agak jauh sebuah tempat yang penuh kenangan! Di depan kantin sekolah, di sebuah pohon yang rimbun, dengan bangku beton di bawahnya Semua terbayang lagi seolah aku kembali ke waktu itu Di sana aku mengenalnya Lalu semua bergulir makin dalam antara aku dan dia

Ya Tuhan, apakah ini tanda darinya?

Anda mungkin juga menyukai