Anda di halaman 1dari 11

"Sadis kamu, Lin.

Masa iya sama ABG yang tiap ketemu aku manggilnya,


Om. Serem si Dinda itu."

"Berisik, Pa! Ada orang sakit ini!"

Sentakan cukup kasar dari Dennis, otomatis membuat kami bungkam. Mata
yang semula saling melirik geli, kini terpaku pada pemuda pesakitan yang di
tangannya dihubungkan selang infus.

Aku mendesah dalam hati saat menyaksikan bagaimana tatapan tajam


Dennis masih tersemat untuk Adam.

Dan entah hanya perasaanku saja atau tidak, aku bisa melihat Adam
menerima tatapan itu dengan kesadaran penuh. Sesadar dirinya ketika
melempar senyum kepadaku. Lalu bangkit dari kursinya dan berdiri di
sampingku.

"Aku pamit duluan nggak apa-apa, Lin?"

Aku segera bereaksi. "Mas mau balik sekarang?" Ia hanya mengangguk


dengan senyum sungkan.

"Kamu mau ikut Mas sekarang?"

Aku bisa melihat pengharapan di matanya walau samar.


"Dia di sini aja," sahutan ketus dari Dennis menjadi jawaban atas pertanyaan
sederhana itu. Dan dengan lapang dada Adam hanya menganggukkan
kepala, sopan.

Sesuatu yang entah kenapa membuat dadaku terenyuh.

Pria ini ....

Ya, Tuhan ... Perasaan apa ini?

Karena justru, aku tak ingin ia berlalu pergi.

Sebab kini, inginku malah ingin mengikutinya.

Tetapi Dennis ...?


***
"Besok-besok kalau kemari naik Go-jek aja deh. Atau bawa mobilku."

Aku menatap Dennis dengan kening berlipat.

"Iya, males aku liat kamu nebeng mulu sama cowok itu."

Aku memutar mata, enggan menanggapi. Tanganku sibuk mengupas jeruk


untuknya.

"Cari kesempatan dalam kesempitan dia. Yakin banget deh, pasti dia niatnya
udah nggak bener," Dennis terus mencerocos, sementara aku diam saja di
samping ranjangnya. "Kamu kenapa sih? Kok diem aja dari tadi?"

"Sariawan," jawabku asal. "Susah nelen, makanya malas banyak omong.


Nanti haus."

Dennis mendengus, "Kayaknya kamu ada rasa ya sama dia? Nggak suka
aku."

"Den, please. Orangnya udah nggak ada."

Tiba-tiba aku malas membahas masalah ini. Mengingat bagaimana raut


kecewa yang mendera di wajah Adam tadi cukup mengganggu mood-ku.

Ya, Tuhan ... Ada apa dengan hatiku?

"Berapa lama sih aku nggak sadar? Kok kayaknya aku udah nggak ngenalin
kamu lagi ya?"

Deg.

Aku langsung menatapnya. Dan Dennis pun melakukan hal yang demikian.

"Kenapa? Kamu beneran suka sama dia?"

Memejamkan mata, aku harap stok sabarku masih banyak. "Dennis, please ...
Jangan pikirin yang aneh-aneh. Fokus sama sembuhnya kamu."

"Kenapa? Kamu udah bosen ngadepin sakitku ya? Udah muak kamu punya
cowok penyakitan gini?"

Demi Tuhan ....

"Dennis ...."

Aku menggeram, antara ingin marah dan meringis mengingat nasibnya.


Sebab aku tahu, dia yang sudah lelah pada tubuhnya sendiri.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh, aku sayang kamu, Den." Tanganku


bergerak meraih tangannya. Menggenggamnya erat, seolah aku ingin
membuktikan padanya bahwa aku tak akan ke mana-mana. "Aku di sini, Den,
nggak bakal ninggalin kamu," kataku meyakinkan hatinya. Entah dengan
hatiku.

Helaan napasnya kudengar samar, namun aku bisa melihat kelegaan di


matanya yang redup. "Aku cuma takut kamu pergi," ia bergumam, menarik
tanganku dan mengecupnya. "Aku takut kamu pilih pergi sama laki-laki itu,
terus ninggalin aku."

Dennis punya kebiasaan menggantungkan hidupnya padaku. Sebuah


kecenderungan yang sudah terjadi bertahun-tahun. Alasannya, karena
semenjak kecil, Dennis hanya memilikiku di saat kedua orang tuanya masih
sibuk meniti pendidikan dan karier.

Aku tahu hal itu tidaklah baik. Tetapi aku berpendapat, bahwa semuanya tentu
sangat wajar, mengingat kami adalah saudara. Juga karena kami tinggal
bersama di satu rumah yang sama selama bertahun-tahun. Jadi bisa dibilang
dari sanalah perasaan terlarang ini mengembun hingga kini membanjiri kami.

Bangkit dari kursiku, bergerak mendekati dia. Lalu memeluk kepalanya, "Aku
nggak ke mana-mana Den. Yang penting sekarang kamu tuh sehat. Ngerti?"

Aku mungkin bisa melangkah jauh meninggalkan Dennis agar terhindar dari
perasaan mendalam yang sudah mengakar dalam jiwa. Terlebih, aku tak bisa
meninggalkannya demi sosok asing yang baru beberapa saat ini memberi
debar jantung yang tak bisa kupahami.

Semua serba abu-abu, hingga aku tak tahu mana jalan yang harus kupilih.
Tetap berada di sini bersama Dennis, atau menjauh demi masa depan yang
lebih pasti.

Sebab Dennis bukanlah masa depan. Selamanya dia hanya akan berakhir
sebagai keponakan.

Lalu bagaimana dengan Adam?

Entahlah, dia masih tetap sosok asing.

***
Malam menjelang saat aku tak juga beranjak dari sisi Dennis. Menemaninya
selama beberapa jam, aku mencoba menata suasana hatiku yang tadi sempat
kacau.

Menjelang maghrib, aku menyuapinya dengan makanan yang diberikan


rumah sakit, lalu setelah selesai, kami kedatangan tamu, teman-teman Dennis
di kampus.

"Dennis ... Ya ampun ... Kamu nggak apa-apa, kan?"

Aku sudah tertawa pelan, melihat suara siapa yang menggelegar ketika pintu
baru saja terbuka.

Tisa ada di sana. Berdiri bersama beberapa rekan-rekannya yang lain.

"Biasa aja kali, Tis," sungut Dennis sewot.

Tisa kulihat memutar mata, namun tetap melangkah ke dalam. "Dijengukin


cewek cakep senyum kek, ini malah jutek."

Dennis mendengus, "Bara, sini deh. Ngapain sih ini cewek dibawa-bawa?
Nyerimpetin mata aja, sih?"

Aku bisa melihat Dennis benar-benar kesal.

"Dia uring-uringan dari kemaren. Kasian anak orang, Den." Bara terkekeh dan
aku segera bergeser memberi tempat padanya. "Eh, ada Miss Lintang. Makin
cakep aja tiap hari ya, Miss?"
"Elah, modus lo. Minggir sana," Dennis menyela sewot. "Ri, tumbenan
sendiri? Raffa mana?"

"Nganter nyokapnya ke bandara. Mau pulang kampung bentaran," Tisa yang


menjawab. "Udah deh, Den, cari yang ada aja kenapa? Kayak gue gini."

Dennis hanya mendengus. Setidak sukanya Dennis terhadap seseorang, dia


tak akan pernah mengeluarkan kata-kata kasar.

"Malem, Miss, hehehe ... Maafin mereka berisik banget gini ya, Miss?"

Ariza Sativa, seorang mahasiswi yang langsung kuingat namanya saking


uniknya nama itu. Mengingatkanku pada nama latin dari padi. Dan gadis itu
baru saja menyapaku dengan senyum sungkan tak enaknya.

"Nggak apa-apa, Ri," kataku pendek, "kumpul-kumpul kalau nggak berisik


nggak enak," lagi aku berucap. "Ya udah, ngobrol deh kalian ya, Miss tinggal
dulu." Pasti mereka akan canggung jika aku tetap berada di sini.

"Mau ke mana, Lin?" Dennis menahan lenganku lengkap dengan pelototan


tak terimanya. Dan aku mendengus seraya memajukan bibir lucu.

"Aku mau ke kantin dulu. Pengen makan mie goreng, Den." Dennis masih
memegangi lenganku, tapi kali ini aku benar-benar harus keluar. "Ada Bara
sama Davi itu kok, tenang aja, kamu nggak bakal digodain Tisa sendirian,"
kekehku pelan.

"Iih ... Miss Lintang," Tisa terlihat salah tingkah.

Melepas cekalan tangan Dennis di lenganku, aku tersenyum singkat padanya.


Lalu berjalan ke arah pintu. Aku bertatapan dengan Tisa yang masih
mengulum senyum malu, kemudian menepuk pundaknya sembari berkata.
"Nitip Dennis ya, Tis, jangan diapa-apain," selorohku yang membuat gadis itu
makin tersipu.

Begitu keluar dari ruang inap Dennis, aku menduduki salah satu kursi di
koridor. Menarik napas dalam-dalam, aku bingung pada perasaanku sendiri.

Melihat Dennis dikelilingi teman sejawatnya, membuatku sadar, bahwa


seharusnya di sanalah dia berada. Bersama dengan gadis seumurannya,
menjalin cinta-cinta monyet yang merupakan awal keseriusan. Bukan malah
terjebak dalam cinta semu macam ini.

Kesunyian yang kurasakan menyergap dengan sendirinya. Memperlihatkanku


pada ruang hampa yang semakin menyiksa. Seumur hidup bersamanya dan
meyakini bahwa perasaan kami adalah bentuk ketidakadilan Tuhan pada
sebagian umat-Nya, kini tampak bergeser dari pandanganku.

Tuhan tak mungkin memberi rasa yang salah. Hanya kami yang terlalu
memanjakan perasaan ini, hingga dengan kurang ajarnya sang rasa enggan
meninggalkan sanubari.

"Cakep-cakep nggak boleh ngelamun."

Celetukan yang tak asing menyentuh gendang telinga. Mencari wujud dari
sang pemilik suara, aku mendapati Adam berdiri tak jauh dari tempatku.
Memamerkan senyum manis dalam bingkai serius wajahnya.

"Mas Adam? Kamu ke sini?"

Agak kaget memang mendapatinya kembali kesini lagi.

Ia mengangguk dan berjalan, "Mau jemput kamu." Lengan kemejanya sudah


tergulung hingga siku, namun kerapian dari penampilannya masih amat
terlihat. "Mau pulang, kan?" Ia duduk di sebelah.

"Iya, nanti pulang. Mas Bagas yang mau jaga. Tapi aku bisa pulang bawa
mobilnya Mas Bagas nanti. Mas repot-repot banget jadinya, kan?"

"Enggaklah, nggak repot. Biasa aja kok ini."

Aku tak percaya. "Capek lho kamu, Mas. Bolak-balik ke sini, terus nganter
aku, balik ke rumah lagi."

Adam meregangkan otot-otot lengannya di sebelahku. Lalu menoleh sekilas


dengan senyum lucu yang membuatku tertawa.

"Iya nih, capek memang, pinjem bahu ya bentar."

Dan hal berikutnya, Adam merebahkan kepalanya di bahuku. Aku tahu


sebenarnya itu tak nyaman untuknya, tetapi entah mengapa, aku bisa
merasakan jiwaku menghangat dan sama sekali tak keberatan.

Wangi rambut yang ternyata diberi gel, menerpa hidungku. Napas teraturnya
membelai lengan. Dia memang tidak tidur, hanya sedang memejamkan mata.

Dan ini ... nyaman ....

"Enak juga begini ya, Lin," gumamnya pelan. "Berasa kalau kita punya
seseorang dan pengen tinggal."

Jantungku berdebar kencang, darahku beriak menggumamkan sukacita.


Tetapi sekali lagi kutegaskan, aku menikmati rasa ini.

"Sendiri itu selamanya nggak enak juga ya, Lin?"

Aku tak menjawabnya, tanganku dengan berani mengelus kepalanya. Dan


Adam pun tampak tak keberatan, ia malah semakin mendesakkan kepalanya
di bahuku.

"Dulu Mama pernah bilang bilang sama Mas gini, 'Jangan cuma pikirkan untuk
tetap sendiri, karena pasti ada seseorang di luar sana yang sedang
bertanya-tanya seperti apa rasanya bertemu denganmu'. Terus Mas ketemu
kamu, Lin. Mas jadi mikir, ternyata gini ya rasanya ketemu kamu. Seseorang
yang pengen Mas temui di tengah kesendirian."

Adam mengangkat kepalanya dari bahuku. Mengunci tatapanku, pria


berkacamata itu sibuk menelisik kejernihan irisku yang cokelat.

"Mas nggak pinter berkata-kata, Lin. Tapi satu yang Mas pengen bilang, kalau
ketemu kamu, Mas kayak ngerasa bahwa udah saatnya Mas menetap. Dan
kamu, Mas harap adalah rumah untuk Mas pulang."

Dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan, selain merebahkan diri dalam
peluknya dan memejamkan mata menikmati debar jantungnya yang sama
menggila.

Demi Tuhan ....

Inikah cinta?
5. Lara Paling Sempurna
"Jadi apa maksud Papa semalam?"

Dennis memberondongku dengan pertanyaan yang sama selama beberapa


jam terakhir ini. Pertanyaan yang memang tak kujawab. Sengaja ingin
menundanya, aku hanya tak siap ia memandang benci ke arah Adam yang
turut menjemputnya keluar dari rumah sakit.

"Kamu diem aja, Lin? Kenapa?"

Ada yang bilang, kalau lebih baik kita menunda kebenaran daripada
mengatakannya sekarang dan menghancurkan segala yang telah tersusun.
Tapi bagaimana aku harus menundanya lagi, sementara Dennis terus
merongrongku begini.

Menghela napas, aku menimbang dalam hati, pantaskah aku mengatakan ini
sekarang? Di saat kondisinya belum stabil begini?

"Lin?"

Tetapi aku mengenal Dennis, ia akan terus mendesak, hingga aku


mengatakan yang sebenarnya.

"Yuk, minum obat dulu." Aku membantunya duduk. Kami tiba di rumah sekitar
dua jam yang lalu. Dan sekarang sudah lewat siang. Tetapi Dennis yang keras
kepala tak mau meminum obatnya. "Nanti aku ceritain, yang penting kamu
minum obat dulu."

Tatapannya menghunus, tetapi aku mengabaikan hal itu dan menyodorkan


segelas air padanya. Lalu memilah obat-obat mana saja yang diminumnya
pada siang hari.

"Minum, Den," aku mengulang ucapanku.

"Kamu makin ngeselin sih sekarang? Aku baru nggak sadar beberapa hari aja
kamu udah berubah gini. Kayaknya kalau pun aku mati, kamu udah nggak
peduli."
"Dennis!"

"Apa?" Ia merebut paksa butiran obat di tanganku. "Aku bisa ngerasain kalau
kamu udah beda." Ia memasukkan seluruh obat ke dalam mulutnya, lalu
meneguk minuman dalam sekali tegukan besar.

"Dennis," aku mencoba melunakannya, walau kini aku tahu semua tampak
susah, "please, jangan gini," pintaku memelas.

Ia mendengus dengan kasar, "Jadi mau kayak mana?" Ia menatapku tajam.


"Jelasin sama aku, Lin. Apa maksud Papa tadi? Terus kenapa sekarang
cowok itu selalu ada di mana kamu ada."

Aku sudah membuat komitmen dengannya.

Dengan pria yang kutahu mampu memberiku masa depan. Sebuah masa di
mana Dennis tak akan pernah membawaku ke sana.

Dan pria itu Adam.

Hati kecilku meyakininya. Dan jiwaku pun mengamini keinginan itu.

Tapi masalahnya, ada Dennis yang harus terlebih dahulu kuberi pengertian.

"Den." Ia tak menjawab. Tapi matanya memfokuskan diri padaku. Berat ingin
mengungkapkan, aku menyentuh lengannya yang kurus. Mengusap tanganku
di area bekas infusnya, aku mengecupnya lembut, kemudian kembali
menjatuhkan tatapan ke matanya. "Kita nggak bisa kayak gini terus, Den," aku
memulainya dengan perlahan. Tanganku merambat ke pipinya. "Cowok nggak
ada limit soal berumah tangga, Den. Tapi cewek ada limitnya."

"Terus, maksudnya?" Rahangnya mengeras.

Aku memejamkan mata seraya menjauhkan tanganku dari tubuhnya.


Menguatkan tekad dalam hati, aku berharap tekadku tak akan goyah lagi.

Benar.

Sudah saatnya mengakhiri ketidakpantasan ini.


Dan kesungguhan Adam yang ia sampaikan tempo hari memberi kekuatan
tersendiri untukku.

"Adam ngajak aku berkomitmen, Den. Dan hatiku pengen mencoba serius."
Dennis mengumpat yang membuat mataku terpejam enggan menatapnya.
"Kita nggak bisa gini-gini aja, Den. Aku perempuan, aku terikat sama usia dan
kodrat sebagaimana Tuhan menggariskan kewajiban kepada kaumku."

"Bullshit!" ia mengumpat keras.

Kali ini aku tak gentar. "Omong kosong itu adalah kenyataan, Den." Aku
menarik napas dalam-dalam. "Kita nggak bisa selamanya terjebak dalam
delusi yang kita atas namakan cinta. Ini nggak bener, Dennis. Dan ini salah."

Dennis mencengkeram lenganku, kemarahan tampak di matanya yang masih


sayu. "Tapi aku cinta kamu, Lin!"

"Tapi kamu keponakanku, Den."

"Brengsek!" Dennis kembali memaki. "Bajingan Adam itu!" ia meraung penuh


kemurkaan. "Dia udah ngeracuni otakmu, Lin! Bajingan sialan itu udah
memengaruhi kamu!"

"Dennis ...."

"Diem kamu!" Ia mendorong tubuhku, lalu ia sendiri bangkit dengan kasar.

"Dennis, kamu mau ke mana?" Aku gelagapan saat Dennis bangkit dan mulai
berjalan. Cepat-cepat langkahnya menuju pintu. Aku bisa melihat ia sedikit
sempoyongan pada awalnya, lalu berhenti di ambang pintu sambil memegang
sebelah kepalanya. "Dennis."

Berlari menghampirinya, aku bisa melihat napas terengah yang membuat


bahunya naik turun secara menyakitkan.

"Dennis ...." Tanganku menempel di punggungnya. Dan ia masih terlihat sulit


mengatur napasnya. "Dennis!" aku memanggilnya lagi. Berusaha
membuatnya menyahut. "Den?"

"Kepalaku pusing, Lin." Lalu ia merosot dan terduduk di lantai. "Segalanya


berputar, Lin. Ya ampun ... Gelap."

Kemudian seperti sebelumnya, Dennis jatuh tak sadarkan diri.

Ya, Tuhan ... Apa lagi ini?

***
Aku tertidur di pelukan Adam entah sudah berapa lama. Yang kuingat terakhir
kali adalah aku menangis di dadanya. Ketakutan akan kondisi Dennis yang
kembali jatuh pingsan beberapa saat yang lalu. Dan aku mulai menyalahkan
diriku sendiri, jika suatu hal yang buruk kembali menambah sakitnya.

"Udah bangun?"

Suara maskulin dan aroma mint yang mulai kuhafal sebagai milik Adam
segera menyadarkanku. Membuatku kontan terbangun dan saat nyawa telah
sepenuhnya kembali pada badan, aku baru bisa membaca bagaimana
kondisiku.

Ya, kami masih berada di sofa kamarku dengan tubuh Adam yang
memelukku, sementara aku menikmati dadanya sebagai tempat bersandar.

"Mas?"

Ia tersenyum sambil menundukkan wajah untuk menghapus rembesan air


mata di sudut mataku.

"Iya," jawabnya tulus. "Gimana, udah enakan?"

Aku menggeliat dan berusaha menarik napas. "Udah, Mas." Lalu menggeser
tubuh agar bisa bersandar di sandaran sofa saja. "Mas nggak pegel?" Aku
meliriknya yang juga melakukan hal sama.

Gelengannya tampak lucu, "Nggaklah. Semaleman suruh meluk kamu juga


nggak bakal pegel kok."

Aku menertawakan ucapannya yang mulai absurd itu. Tetapi kemudian


teringat kondisi Dennis. "Dennis gimana, Mas?" Panik langsung menyergap.

Adam menyentuh lenganku yang sudah hendak beranjak untuk mengetahui

Anda mungkin juga menyukai