Sentakan cukup kasar dari Dennis, otomatis membuat kami bungkam. Mata
yang semula saling melirik geli, kini terpaku pada pemuda pesakitan yang di
tangannya dihubungkan selang infus.
Dan entah hanya perasaanku saja atau tidak, aku bisa melihat Adam
menerima tatapan itu dengan kesadaran penuh. Sesadar dirinya ketika
melempar senyum kepadaku. Lalu bangkit dari kursinya dan berdiri di
sampingku.
"Iya, males aku liat kamu nebeng mulu sama cowok itu."
"Cari kesempatan dalam kesempitan dia. Yakin banget deh, pasti dia niatnya
udah nggak bener," Dennis terus mencerocos, sementara aku diam saja di
samping ranjangnya. "Kamu kenapa sih? Kok diem aja dari tadi?"
Dennis mendengus, "Kayaknya kamu ada rasa ya sama dia? Nggak suka
aku."
"Berapa lama sih aku nggak sadar? Kok kayaknya aku udah nggak ngenalin
kamu lagi ya?"
Deg.
Aku langsung menatapnya. Dan Dennis pun melakukan hal yang demikian.
Memejamkan mata, aku harap stok sabarku masih banyak. "Dennis, please ...
Jangan pikirin yang aneh-aneh. Fokus sama sembuhnya kamu."
"Kenapa? Kamu udah bosen ngadepin sakitku ya? Udah muak kamu punya
cowok penyakitan gini?"
"Dennis ...."
Aku tahu hal itu tidaklah baik. Tetapi aku berpendapat, bahwa semuanya tentu
sangat wajar, mengingat kami adalah saudara. Juga karena kami tinggal
bersama di satu rumah yang sama selama bertahun-tahun. Jadi bisa dibilang
dari sanalah perasaan terlarang ini mengembun hingga kini membanjiri kami.
Bangkit dari kursiku, bergerak mendekati dia. Lalu memeluk kepalanya, "Aku
nggak ke mana-mana Den. Yang penting sekarang kamu tuh sehat. Ngerti?"
Aku mungkin bisa melangkah jauh meninggalkan Dennis agar terhindar dari
perasaan mendalam yang sudah mengakar dalam jiwa. Terlebih, aku tak bisa
meninggalkannya demi sosok asing yang baru beberapa saat ini memberi
debar jantung yang tak bisa kupahami.
Semua serba abu-abu, hingga aku tak tahu mana jalan yang harus kupilih.
Tetap berada di sini bersama Dennis, atau menjauh demi masa depan yang
lebih pasti.
Sebab Dennis bukanlah masa depan. Selamanya dia hanya akan berakhir
sebagai keponakan.
***
Malam menjelang saat aku tak juga beranjak dari sisi Dennis. Menemaninya
selama beberapa jam, aku mencoba menata suasana hatiku yang tadi sempat
kacau.
Aku sudah tertawa pelan, melihat suara siapa yang menggelegar ketika pintu
baru saja terbuka.
Dennis mendengus, "Bara, sini deh. Ngapain sih ini cewek dibawa-bawa?
Nyerimpetin mata aja, sih?"
"Dia uring-uringan dari kemaren. Kasian anak orang, Den." Bara terkekeh dan
aku segera bergeser memberi tempat padanya. "Eh, ada Miss Lintang. Makin
cakep aja tiap hari ya, Miss?"
"Elah, modus lo. Minggir sana," Dennis menyela sewot. "Ri, tumbenan
sendiri? Raffa mana?"
"Malem, Miss, hehehe ... Maafin mereka berisik banget gini ya, Miss?"
"Aku mau ke kantin dulu. Pengen makan mie goreng, Den." Dennis masih
memegangi lenganku, tapi kali ini aku benar-benar harus keluar. "Ada Bara
sama Davi itu kok, tenang aja, kamu nggak bakal digodain Tisa sendirian,"
kekehku pelan.
Begitu keluar dari ruang inap Dennis, aku menduduki salah satu kursi di
koridor. Menarik napas dalam-dalam, aku bingung pada perasaanku sendiri.
Tuhan tak mungkin memberi rasa yang salah. Hanya kami yang terlalu
memanjakan perasaan ini, hingga dengan kurang ajarnya sang rasa enggan
meninggalkan sanubari.
Celetukan yang tak asing menyentuh gendang telinga. Mencari wujud dari
sang pemilik suara, aku mendapati Adam berdiri tak jauh dari tempatku.
Memamerkan senyum manis dalam bingkai serius wajahnya.
"Iya, nanti pulang. Mas Bagas yang mau jaga. Tapi aku bisa pulang bawa
mobilnya Mas Bagas nanti. Mas repot-repot banget jadinya, kan?"
Aku tak percaya. "Capek lho kamu, Mas. Bolak-balik ke sini, terus nganter
aku, balik ke rumah lagi."
Wangi rambut yang ternyata diberi gel, menerpa hidungku. Napas teraturnya
membelai lengan. Dia memang tidak tidur, hanya sedang memejamkan mata.
"Enak juga begini ya, Lin," gumamnya pelan. "Berasa kalau kita punya
seseorang dan pengen tinggal."
"Dulu Mama pernah bilang bilang sama Mas gini, 'Jangan cuma pikirkan untuk
tetap sendiri, karena pasti ada seseorang di luar sana yang sedang
bertanya-tanya seperti apa rasanya bertemu denganmu'. Terus Mas ketemu
kamu, Lin. Mas jadi mikir, ternyata gini ya rasanya ketemu kamu. Seseorang
yang pengen Mas temui di tengah kesendirian."
"Mas nggak pinter berkata-kata, Lin. Tapi satu yang Mas pengen bilang, kalau
ketemu kamu, Mas kayak ngerasa bahwa udah saatnya Mas menetap. Dan
kamu, Mas harap adalah rumah untuk Mas pulang."
Dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan, selain merebahkan diri dalam
peluknya dan memejamkan mata menikmati debar jantungnya yang sama
menggila.
Inikah cinta?
5. Lara Paling Sempurna
"Jadi apa maksud Papa semalam?"
Ada yang bilang, kalau lebih baik kita menunda kebenaran daripada
mengatakannya sekarang dan menghancurkan segala yang telah tersusun.
Tapi bagaimana aku harus menundanya lagi, sementara Dennis terus
merongrongku begini.
Menghela napas, aku menimbang dalam hati, pantaskah aku mengatakan ini
sekarang? Di saat kondisinya belum stabil begini?
"Lin?"
"Yuk, minum obat dulu." Aku membantunya duduk. Kami tiba di rumah sekitar
dua jam yang lalu. Dan sekarang sudah lewat siang. Tetapi Dennis yang keras
kepala tak mau meminum obatnya. "Nanti aku ceritain, yang penting kamu
minum obat dulu."
"Kamu makin ngeselin sih sekarang? Aku baru nggak sadar beberapa hari aja
kamu udah berubah gini. Kayaknya kalau pun aku mati, kamu udah nggak
peduli."
"Dennis!"
"Apa?" Ia merebut paksa butiran obat di tanganku. "Aku bisa ngerasain kalau
kamu udah beda." Ia memasukkan seluruh obat ke dalam mulutnya, lalu
meneguk minuman dalam sekali tegukan besar.
"Dennis," aku mencoba melunakannya, walau kini aku tahu semua tampak
susah, "please, jangan gini," pintaku memelas.
Dengan pria yang kutahu mampu memberiku masa depan. Sebuah masa di
mana Dennis tak akan pernah membawaku ke sana.
Tapi masalahnya, ada Dennis yang harus terlebih dahulu kuberi pengertian.
"Den." Ia tak menjawab. Tapi matanya memfokuskan diri padaku. Berat ingin
mengungkapkan, aku menyentuh lengannya yang kurus. Mengusap tanganku
di area bekas infusnya, aku mengecupnya lembut, kemudian kembali
menjatuhkan tatapan ke matanya. "Kita nggak bisa kayak gini terus, Den," aku
memulainya dengan perlahan. Tanganku merambat ke pipinya. "Cowok nggak
ada limit soal berumah tangga, Den. Tapi cewek ada limitnya."
Benar.
"Adam ngajak aku berkomitmen, Den. Dan hatiku pengen mencoba serius."
Dennis mengumpat yang membuat mataku terpejam enggan menatapnya.
"Kita nggak bisa gini-gini aja, Den. Aku perempuan, aku terikat sama usia dan
kodrat sebagaimana Tuhan menggariskan kewajiban kepada kaumku."
Kali ini aku tak gentar. "Omong kosong itu adalah kenyataan, Den." Aku
menarik napas dalam-dalam. "Kita nggak bisa selamanya terjebak dalam
delusi yang kita atas namakan cinta. Ini nggak bener, Dennis. Dan ini salah."
"Dennis ...."
"Dennis, kamu mau ke mana?" Aku gelagapan saat Dennis bangkit dan mulai
berjalan. Cepat-cepat langkahnya menuju pintu. Aku bisa melihat ia sedikit
sempoyongan pada awalnya, lalu berhenti di ambang pintu sambil memegang
sebelah kepalanya. "Dennis."
***
Aku tertidur di pelukan Adam entah sudah berapa lama. Yang kuingat terakhir
kali adalah aku menangis di dadanya. Ketakutan akan kondisi Dennis yang
kembali jatuh pingsan beberapa saat yang lalu. Dan aku mulai menyalahkan
diriku sendiri, jika suatu hal yang buruk kembali menambah sakitnya.
"Udah bangun?"
Suara maskulin dan aroma mint yang mulai kuhafal sebagai milik Adam
segera menyadarkanku. Membuatku kontan terbangun dan saat nyawa telah
sepenuhnya kembali pada badan, aku baru bisa membaca bagaimana
kondisiku.
Ya, kami masih berada di sofa kamarku dengan tubuh Adam yang
memelukku, sementara aku menikmati dadanya sebagai tempat bersandar.
"Mas?"
Aku menggeliat dan berusaha menarik napas. "Udah, Mas." Lalu menggeser
tubuh agar bisa bersandar di sandaran sofa saja. "Mas nggak pegel?" Aku
meliriknya yang juga melakukan hal sama.