Anda di halaman 1dari 81

BIRTHDAY

E-BOOK
JEON JUNGKOOK

Written by ymowrite
“Hai! Siapa namamu?”
Semuanya berawal dari sana. Saat suara indah
dengan senyum merekah seorang gadis yang meng-
hampiri Yoon Jungkook berhasil menyapa rungu Ju-
ngkook untuk pertama kalinya.
Keduanya kini saling mengenal dan telah ber-
temu sebanyak empat kali dengan saling mengirim
pesan untuk bertukar kabar setiap harinya.
“Kak Jungkook, coba tebak aku bawa apa?!”
Jungkook menatap wajah cantik itu. Berdiri di
hadapannya yang terduduk lemah, sedangkan gadis
itu tengah menyipitkan mata karena tersenyum manis.
“Cepat tebak! Jangan hanya melihatku!” seru-
nya jengkel.
“Jika benar, apa yang akan aku dapatkan, Park
Jihye?”
Jihye namanya. Gadis itu segera terkekeh.
“Kau akan mendapat apa yang sedang aku bawa!” sa-
hutnya.
“Baiklah. Susu pisang!” tebak Jungkook.
Mata Jihye membulat sempurna. “Betul! Betul
sekali! Selamat, kau mendapat dua susu pisang da-
riku!”
1
Jungkook terkekeh gemas. Pemuda itu segera
menerima dua kotak susu pisang pemberian Jihye, ke-
mudian menyulam senyum lebar.
“Terima kasih banyak, Jiya.” Jihye mengang-
guk semangat. “Jadi, berapa aku harus membayar ini,
hm?”
Kepala Jihye sontak menggeleng. Kedua le-
ngan disilangkan membentuk huruf X. “Tidak! Aku
memberikannya untuk Kak Jungkook, bukan sedang
menjualnya.”
“Ini adalah kali ketiga kau memberikannya, Ji-
ya. Biarkan aku membelinya. Bukankah kau juga me-
ngambil ini dari tempat kerjamu?” Jihye lalu menun-
jukkan cengirnya. “Hei, jawab aku ...”
Jihye menggaruk pelipis. “Iya, sih,” jawabnya
kemudian. “Tapi tetap saja Kak Jungkook tidak boleh
membayar susu pisang pemberianku. Habiskan saja,
ya? Dan jangan merasa bersalah atau aku tidak mau
lagi bertemu dengan Kak Jungkook?”
Ancaman itu jelas membuat Jungkook tak da-
pat melakukan apa-apa lagi selain menurut.
Jungkook ingin terus-menerus bertemu deng-
an Jihye kendati ia hanya bisa keluar dari rumah satu
minggu satu kali karena ia akan menjalani terapi, les,
2
dan kegiatan yang membuatnya sibuk.
Park Jihye adalah teman pertamanya setelah
dua tahun ini Jungkook hanya berdiam di dalam ru-
mah. Gadis itu yang selalu bisa membuat Jungkook
tersenyum dan tertawa.
Jungkook juga tidak pernah lagi menangis dan
mengumpati hidupnya setelah bertemu dengan Park
Jihye.
Wajahnya yang cantik dan menggemaskan
pun membuat Jungkook jatuh cinta meskipun mereka
baru saling mengenal selama satu bulan ini.
“Kenapa kau cemberut?” tanya Jungkook se-
raya sibuk memasukkan sedotan pada kotak susu.
Jihye mengerjap. Gadis itu duduk di bangku
kosong yang ada di sebelah Jungkook. Kepalanya se-
jenak menunduk sebelum kembali menoleh untuk
menatap Jungkook.
“Kak Jungkook, bagaimana sih rasanya dicin-
tai?” Jungkook mengernyit. “Teman-temanku berce-
rita soal pacar. Aku tidak memilikinya sampai saat
ini.”
Entah kenapa, Jungkook begitu senang men-
dengar fakta tersebut.

3
“Kenapa tidak?” tanya Jungkook basa-basi.
“Karena tidak ada yang tampan seperti Kak
Jungkook,” jawab Jihye dengan senyum manis—ma-
mpu membuat Jungkook meleleh saat itu juga. “Aku
mau punya pacar seperti Kak Jungkook, bukan yang
nakal seperti mereka semua.”
“Meskipun aku seperti ini?”
Jihye mengerjap. Tatapan matanya kini beru-
bah lebih lekat dari sebelumnya. “Memangnya Kak
Jungkook kenapa? Tidak ada yang salah, kok.”
“Aku cacat, Jiya. Aku duduk di kursi roda.
Aku tidak bisa berjalan.”
Kepala Jihye segera menggeleng. “Aku tidak
peduli! Aku tetap suka dengan Kak Jungkook!” ja-
wabnya. “Kak Jungkook ... sebenarnya aku sayang
dengan Kak Jungkook.”
Jihye memegangi lengan kursi roda milik Ju-
ngkook. “Kenapa kau menatapku seperti itu, huh?”
Jihye lalu meringis hingga matanya harus me-
nyipit. “Kak Jungkook tidak akan menjauhiku kalau
aku bilang bahwa aku menyukai Kak Jungkook?”
Jungkook menggeleng. “Tidak,” sahutnya.
“Lalu bagaimana jika sebaliknya? Jika kau tahu aku
4
menyukaimu ... apakah kau akan menjauh dariku,
Jiy?”
Jihye kini ikut menggelengkan kepala. “Tidak.
Tentu saja tidak. Untuk apa aku menjauhi Kak Jung-
kook?” Jihye terdiam sesaat sebelum menjentikkan
jari sehingga Jungkook terkejut. “Aku punya ide!”
“Apa?” tanya Jungkook dengan nada rendah-
nya.
Jihye sejenak menoleh ke belakang—tepat di
mana penjaga Jungkook sedang berdiri menatap me-
reka.
Park Jihye berdeham dan tersenyum. “Bibi
Nam ... bolehkah Bibi menyingkir sebentar? Ada hal
yang ingin aku sampaikan pada Kak Jungkook.” Bibi
Nam terkekeh, kemudian mengangguk dan menjauh.
Setelah kepergian Bibi Nam, Jihye kini me-
natap Jungkook jauh lebih lekat. Tangannya meng-
genggam jemari Jungkook tanpa berniat memutus pa-
ndangan.
“Kak Jungkook mau jadi kekasihku, tidak?
Aku ingin dicintai Kak Jungkook.”
Sial. Ini sangat menggemaskan dengan raut
wajah Park Jihye yang menatapnya memohon.

5
“Bagaimana bisa kau mengajakku berpacaran
seperti sedang mengajakku makan?” Tangan Jung-
kook lalu mengusap puncak kepala Jihye. “Aku tidak
ingin kita berpisah setelah kita putus nanti. Jadi, lebih
baik seperti ini saja. Aku akan mencintaimu. Aku
janji.”
Mata Jihye berbinar. “Janji, ya?!” Jungkook
mengangguk. “Baiklah. Kak Jungkook harus mencin-
taiku!”
Lihatlah bagaimana menggemaskannya seora-
ng Park Jihye, tidak salah jika Jungkook jatuh hati
dalam sekali pertemuan.
Jihye bukan hanya membuat Jungkook gemas.
Gadis itu cantik, pintar, perhatian, dan juga ramah. Si-
kapnya yang ceria selalu menarik perhatian Jung-
kook.
Tidak hanya itu saja. Dengan Jihye yang mau
menerimanya dalam kondisi seperti ini, membuat Ju-
ngkook tidak bisa untuk tidak mencintai gadis Park
tersebut.
“Kak, bagaimana jika kita pergi bersama?
Mau menonton bioskop?” Mendapati tatapan Jung-
kook yang seakan menjawab semuanya, Jihye pun
mengulum bibir. “Ah, maaf. Pasti akan sangat ke-
6
repotan, ya? Bagaimana kalau kita menonton film di
sini? Setiap hari Jumat, ‘kan? Tapi dengan ponsel
Kak Jungkook. Ponselku jelek.”
Jungkook terkekeh. Kembali kegemasan de-
ngan tingkah dan ucapan Jihye.
“Baiklah. Dengan ponselku,” sahutnya mem-
buat Jihye bertepuk tangan riang. “Jangan mengge-
maskan seperti itu. Aku bisa saja menciummu.”
Jihye refleks menutup bibirnya dengan telapak
tangan kirinya. Jungkook tertawa rendah.
“Aku bukan ingin mencium bibirmu, tapi pi-
pimu.” Jihye bersemu. Malu sekali.
“Kak Jungkook terapi setiap hari apa, sih?” ta-
nya Jihye penasaran.
Bibi Nam kembali datang dan duduk tidak ja-
uh dari mereka.
“Senin hingga Rabu,” jawabnya.
“Lalu Kamis, Sabtu dan Minggu, Kak Jung-
kook ada kegiatan apa?”
Jungkook menatap Jihye seraya tersenyum
manis. “Sekolah. Aku home schooling dan papa me-
minta untuk sekolah di hari itu karena aku sibuk terapi
dan les Bahasa Inggris.”
7
“Ah, aku ingin sekali les Bahasa Inggris!” Ju-
ngkook fokus pada wajah menggemaskan yang se-
dang cemberut di hadapannya.
Entah bagaimana bisa Jihye menjadi pusat ke-
bahagiaannya saat ini. Sedikit menyesal karena tidak
sejak dulu ia santai di taman dan bertemu dengan Park
Jihye. Padahal Bibi Nam selalu mengajak Jungkook
untuk ke taman dan menghirup udara segar.
Jika mereka kenal lebih lama, mungkin Jung-
kook akan selalu tersenyum dan bahagia dengan gadis
itu.
“Kak Jungkook, bukankah sebentar lagi Kak
Jungkook ulang tahun?” Jungkook menganggukkan
kepala. “Apa hadiah yang Kak Jungkook mau? Aku
akan menabungnya dari sekarang.”
Kemudian Jungkook menggeleng. “Tidak per-
lu. Hanya dengan melihatmu dan mendengar suara-
mu, aku sudah benar-benar bahagia, Jiya. Kau tahu,
kau adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku
bahagia setelah keadaanku seperti ini.”
“Benarkah?” Jungkook mengangguk. “Asta-
ga, aku senang sekali. Kalau begitu, aku akan selalu
tersenyum untuk Kak Jungkook. Aku juga akan tetap
cerewet. Tidak apa-apa, ‘kan?”
8
Jungkook menganggukkan kepalanya lagi.
“Aku senang dengan itu, Jiya.” Jungkook kemudian
meneguk susu pisangnya. “Mau?” Jihye mengang-
guk, lalu menyedot sedikit susu pisang tersebut.
“Jika nanti sudah tiba di rumah, jangan lupa
untuk mengabariku, ya?” Jihye mengangguk kem-
bali. “Jangan tidur terlalu malam. Kau seharusnya ba-
nyak-banyak istirahat.”
“Baiklah.”
Jungkook menoleh ke belakang, membuat Bi-
bi Nam segera berdiri. “Kalau begitu, aku harus kem-
bali. Hari ini papa mengadakan makan malam ber-
sama teman-temannya. Aku tidak bisa terlalu lama di
sini.”
Jihye mengerucutkan bibir. “Padahal kita baru
saja bertemu!” dumalnya. “Aku akan membeli ponsel
baru agar bisa melakukan face call dengan Kak Jung-
kook. Tunggu aku, ya?!”
Jungkook tertawa. “Baiklah, aku akan menu-
nggumu. Aku pergi dulu. Semangat kembali beker-
ja!”
Kemudian mereka kembali berpisah.
Inilah saat-saat menyedihkan. Jihye dan Jung-

9
kook akan sama-sama merasa sedih jika sudah waktu-
nya untuk pulang ke rumah masing-masing.
Mereka seharusnya bisa lebih banyak meng-
habiskan waktu bersama-sama. Akan tetapi, mereka
tidak bisa sering bertemu lantaran keterbatasan waktu
Jungkook yang Jungkook miliki setiap harinya.

L
Park Jihye adalah orang yang bisa mengem-
balikan semangat Jungkook. Hanya gadis itulah satu-
satunya.
Bahkan Jungkook tidak malu mengatakan pa-
da Bibi Nam bahwa Jungkook menyukai Jihye—ter-
tarik pada gadis menggemaskan tersebut.
Ingat jelas bagaimana Park Jihye membuatnya
bangkit dan tak lagi menyerah saat terapi. Gadis itu
tersenyum manis ke arah Jungkook usai memberikan
dua botol susu pisang.
Jihye kemudian berujar, “Kak, selama kita
bernapas ... itu artinya kita bisa melewati seluruh
masalah yang terjadi. Tuhan tidak mungkin membe-
rikan masalah kepada seseorang yang tak bisa mele-
watinya dengan baik. I always with you, Kak Jung-
kook.”
10
“Kook, Papa ingin bicara. Tidak mengganggu,
‘kan?”
Jungkook menggelengkan kepalanya. Membi-
arkan sang papa untuk melangkah masuk ke dalam
kamarnya dan duduk di tepi ranjang sementara Ju-
ngkook di atas kursi roda sebab ia sedang menghadap
komputer di atas meja untuk bermain game.
“Bagaimana terapi hari ini?”
Jungkook mengangguk. “Good. Semuanya
berjalan dengan baik, Pa.”
Papa tersenyum tipis. “Dokter Jung juga me-
ngatakannya pada Papa. Perkembanganmu cukup ba-
ik dan meningkat drastis,” ujar sang papa. “Jadi ... apa
yang membuatmu semangat terapi lagi?”
Jungkook mengerjapkan mata. Menggaruk pe-
lipis dan terpaksa mengalahkan permainan sebelum
kembali menatap papanya.
“Menemukan orang spesial?” jawabnya sedi-
kit skeptis dan malu. “Pa ...”
“Hm?”
“Jungkook boleh memiliki kekasih?” Jungko-
ok bertanya dengan sangat hati-hati. Menyadari sang
papa hanya diam dan menunduk, membuat Jungkook
11
gelagapan. “T-tidak jadi. Jika Papa tidak setuju, Jung-
kook tidak akan memiliki kekasih.”
Papa berdiri. Berjalan pelan menuju Jungkook
sebelum mengusap puncak kepala pemuda tersebut.
“Bukannya Papa melarang, Kook ...” Papa
mengusap pipi bulat Jungkook. “... kau tahu, Papa
memilih home schooling dengan guru terbaik, les ter-
mahal, dokter terapi nomor satu ... semua ini untuk-
mu. Papa tidak mau anak Papa sakit karena komentar
pedas orang-orang.”
“Maksudnya, Papa takut kekasih Jungkook
akan berkomentar pedas atas kondisi Jungkook?” Pa-
pa mengangguk. “Jihye tidak seperti itu, Pa.”
“Namanya Jihye?” Jungkook mengangguk pa-
srah karena telah kelepasan menyebut nama Jihye.
“Kau yakin Jihye anak yang baik?” Jungkook me-
nganggukkan kepalanya sekali lagi. “Baiklah. Jika
dia yang menjadi semangat, tidak apa-apa. Papa izin-
kan.”
Mata Jungkook berbinar—semakin bulat dan
menggemaskan di hadapan sang papa. “Terima kasih,
Pa.”
Papa kembali duduk di tepi ranjang. Jarak an-
tara papa dan Jungkook tercipta sepanjang tiga meter.
12
“Jika Papa menikah lagi, apa kau akan baik-
baik saja?” Papa menatap Jungkook yang terdiam.
“Papa tentu akan membicarakan soal ini padamu,
Kook. Papa tidak mau egois. Kalau kau memang ti-
dak mau Papa menikah lagi, Papa akan menurutinya.”
Jungkook mengerjapkan mata. Sangat berat
untuk mengambil keputusan antara iya ataupun tidak.
Ini soal hidup, masa depan, dan kebahagiaan.
Kondisi Jungkook yang sedang tidak bisa berjalan ini
membuat pemuda itu sulit percaya dan terbuka de-
ngan orang asing. Jungkook butuh waktu untuk saling
mengenal dan akrab.
“Apa dia adalah wanita yang baik? Seperti
mama?”
Papa mengangguk. “Papa tidak mungkin mau
menikahinya jika dia bukan wanita baik,” jawab sang
papa penuh keyakinan.
Jungkook kemudian menjilat bibir bawahnya.
“Jungkook tidak ingin punya mama lagi, Pa. Jung-
kook ... tidak bisa lagi untuk memulai perkenalan de-
ngan orang asing.”
“Shin Rae sangat ramah, baik, dan perhatian.”
“Oh, sekretaris Papa?” Papa menganggukkan

13
kepala. “Sudah lama dekat?” Papa mengangguk lagi.
“Percayalah, Kook. Papa tidak mungkin ber-
bohong padamu.”
Jungkook mengembuskan napas dalam. “Ka-
lau Jungkook menolak, Papa tidak akan memaksa Ju-
ngkook, ‘kan?”
Papa berdiri. Menganggukkan kepala dan ke-
mbali mendekati sang putra satu-satunya. Mengusap
kepala Jungkook sekali lagi penuh kasih sayang.
“Baiklah. Papa tidak akan memaksa jika itu pi-
lihanmu.” Papa mengulas senyum hangat. “Perkem-
bangan soal terapi ... apa yang sudah bisa kau la-
kukan?”
Jungkook mengerjap. “Berdiri dari kursi,” ja-
wabnya. “Jungkook ingin Papa melihatnya saat te-
rapi. Sekali-sekali, temani Jungkook terapi, Pa.”
Papa mengangguk lagi. “Iya, Papa akan melu-
angkan waktu untuk menemanimu. Maaf karena se-
ring meninggalkanmu, Jungkook. Maaf karena Papa
terlalu egois dan terlalu sibuk dengan pekerjaan.”
Papa memeluk Jungkook. Pemuda Yoon itu-
pun segera membalas pelukan sang papa seraya me-
mejamkan mata untuk menikmati hangatnya dekapan

14
lengan papanya.
Sudah lama sekali tidak sedekat ini. Sang papa
terlalu sibuk setelah kehilangan mama. Melampias-
kan kesedihan dengan kerjaan yang sengaja dibuat
menumpuk agar bisa menghabiskan waktu dengan
dokumen-dokumen kantor sehingga bisa dengan mu-
dah melupakan istrinya.
“Kenalkan pada Papa,” ujar papa setelah pe-
lukan terlepas. Telapak tangannya lagi-lagi mengusap
puncak kepala Jungkook. “Jihye yang kau maksud.
Kenalkan pada Papa. Papa ingin mengenal gadis yang
berhasil membuat anak Papa senyum dan bahagia.”
Perubahan sikap dan perilaku Jungkook me-
mang sangat mencolok. Bukan hanya di mata sang
papa, tapi juga di mata para dokter, asisten rumah ta-
ngga (terlebih Bibi Nam), dan guru-guru Jungkook.
Semua itu berkat Park Jihye.
Gadis lucu itulah yang berhasil menyembuh-
kan luka Jungkook. Dan hanya Jihye yang bisa meng-
hilangkan ketakutkan dan rasa trauma Jungkook se-
lama ini.
“Dia berasal dari keluarga biasa saja, Pa,” cicit
Jungkook.

15
“Lalu? Apa Papa menyuruhmu untuk mencari
pasangan seorang gadis dari keluarga kaya raya?”
Jungkook segera menggelengkan kepala. “Siapa pun
itu, Papa tahu dia yang terbaik untukmu, Kook.”
Papa kemudian melangkah keluar setelah me-
nyuruh Jungkook untuk segera beristirahat. Akan te-
tapi, Jungkook justru mengarahkan kursi rodanya me-
nuju nakas di samping ranjang.
Mengambil sesuatu dari sana, Jungkook lalu
tersenyum bangga.
Jungkook baru saja membeli ponsel baru yang
serinya sama seperti miliknya. Ini adalah hadiah un-
tuk Jihye sebab gadis itu hanya memiliki ponsel jadul
yang tidak mendukung pada kamera.
Menurut Jungkook, hadiah ponsel ini masih
belum cukup untuk membalas seluruh kebaikan Jihye
selama ini.
Mengingat seberapa besar pengaruh Jihye da-
lam hidupnya, tentu saja Park Jihye harus diberikan
hadiah yang jauh lebih bagus dan bernilai.
Jungkook ingin selalu membuat Jihye terse-
nyum. Tidak bohong bahwa pemuda Yoon itu suka—
bahkan cinta dengan Jihye meskipun mereka baru be-
berapa kali melakukan pertemuan.
16
Yoon Jungkook adalah pria paling beruntung
karena bisa bertemu, kenal, dan mendapatkan per-
hatian serta waktu dari gadis menggemaskan tersebut.
Mungkin memang banyak gadis cantik dan
lucu yang lebih di atas Park Jihye. Akan tetapi, sulit
mencari seorang gadis sebaik Jihye yang memiliki
semangat kerja tinggi, tidak pernah mengeluh, selalu
mengulas senyum dan tawa renyah, juga perhatian
lebih.
Jungkook kehilangan hitungan soal berapa ra-
tus kali ia tersenyum tiap melihat wajah ceria Jihye.
Apalagi saat gadis itu mulai memuji ketampanannya.
“Kook ...” Suara sang papa kembali terdengar
dari luar kamar.
“Ya, Pa?”
“Bagaimana dengan New York? Mau liburan
ke sana bersama?” Jungkook diam untuk menimang
jawaban. “Hanya dua minggu. Kau dan Papa me-
merlukan refreshing. Ayolah ...”
“Baiklah!” jawab Jungkook sedikit berteriak.
“Bagus! Papa akan memesan hotel dan tiket
pesawat.”
Papa pergi lagi setelahnya. Hal itu membuat
17
Jungkook bergegas meraih ponselnya. Mencari no-
mor Park Jihye, lalu menghubungi gadis itu.
“Hallo ...”
“Hai. Kau menangis? Kenapa? Ayo, cerita
padaku,” ujar Jungkook saat mendengar suara parau
Jihye.
“Tidak,” kilah Jihye. “Hanya sedang kele-
lahan dan tidak enak badan.”
“Kalau aku bisa berjalan tanpa kursi roda, ku-
pastikan aku akan datang ke sana dengan kendara-
anku. Sayangnya, aku tidak bisa. Jadi, Cantik ... cepat
katakan padaku; kenapa menangis?”
Tentu Jungkook tidak sanggup saat mendeng-
ar isak tangis Park Jihye di seberang sana. Ini su-
ngguh menyiksa dadanya. Sesak sekali.
“Jiya, cerita padaku. Aku akan mendengar-
kanmu.”
“Ibu ... i-ibuku bunuh diri.”
“A-apa?!” Jungkook tentu saja terkejut. Seje-
nak menyandarkan punggung pada sandaran kursi
roda, Jungkook kemudian menghela napas panjang.
“Jiya, tarik napas dalam. Tenangkan dirimu. Apa kau
sudah mencari bantuan?”
18
“Em. Salah satu tetangga flat telah menghu-
bungi polisi. Ibu sudah diurus oleh tetanggaku dan
akan segera dikremasi.”
“Kau ada di mana sekarang?”
“Di rumah sakit.”
Jungkook menggigit bibir bawahnya. “Maaf
karena tidak bisa datang. Aku ingin sekali meme-
lukmu. Tapi aku tidak bisa.”
“Tidak apa-apa,” sahut Jihye. Kemudian sua-
sana berubah hening untuk beberapa detik lamanya
sebelum suara serak Jihye kembali terdengar. “Kak
Jungkook ...”
“Iya, Jiya?”
“Besok sore bisa datang ke taman? Aku ingin
bertemu dengan Kak Jungkook.”
Jungkook refleks menganggukkan kepalanya.
“Bisa. Aku akan datang. Aku akan bolos les satu kali,
untukmu.”
“Terima kasih banyak.”
“Jika sudah di rumah, tolong kabari aku. Ja-
ngan lupa istirahat. Utamakan kesehatanmu. Maaf ka-
rena tidak ada di sampingmu.”

19
“Kak ...”
“Apa?”
“Aku sayang Kak Jungkook.”
Jungkook tersenyum. Jantungnya berdegup
kencang sebelum membalas, “Aku juga menyayang-
imu, Jiya.”

L
Yoon Jungkook menepati janjinya ketika Park
Jihye meminta dirinya untuk datang ke taman yang
biasa mereka gunakan untuk bertemu.
Tidak membutuhkan waktu lama menunggu
Jihye datang. Sebab sepuluh menit setelah pemuda itu
tiba di sana, Jihye pun datang dengan mata bengkak
dan bibir pucat.
Bibi Nam memutuskan untuk meninggalkan
mereka saat tahu mereka butuh waktu berdua. Setelah
itu, Jungkook segera mengusap pipi Jihye ketika Ji-
hye duduk di sebelahnya.
“Mau memelukku?” tawar Jungkook. Jihye
dengan segera memeluk Jungkook dari samping. “Bi-
ar bagaimanapun, kau juga harus menerima fakta ba-
hwa setiap kehidupan akan mengalami mati, Jiya.”
20
Jihye menganggukkan kepala. “Aku tahu,” ja-
wabnya pelan. Gadis itu memejamkan matanya ma-
nakala merasakan usapan lembut di puncak kepala-
nya.
Yoon Jungkook berhasil menenangkan dirinya
dengan pelukan dan usapan lembut. Dengan cara se-
perti ini, Jihye dapat merasakan bagaimana rasanya
kasih sayang dari seseorang.
“Aku lelah menangis.” Jungkook menyulam
senyum tipis usai mendengar keluhan dari gadis ter-
sebut. “Tapi aku juga ingin banyak bercerita pada
Kak Jungkook. Soal hidupku.”
Keduanya saling menatap setelah pelukan ter-
lepas. “Aku tidak pernah menceritakannya pada Kak
Jungkook, ‘kan? Mungkin Kak Jungkook juga ingin
bercerita padaku soal kehidupan Kak Jungkook.”
Tatapan mata gadis itu terlihat sangat meng-
harapkan sesuatu. Akan tetapi, Jungkook tidak tahu
pasti apa yang Jihye inginkan hingg Jungkook meng-
ajukan penawaran, “Mau ke flatmu? Cerita padaku
sebanyak yang kau mau.”
Mendengar itu sontak membuat Jihye meng-
anggukkan kepala. “Kak Jungkook tidak masalah?
Flatku sangat kecil.”
21
Jungkook menggelengkan kepalanya. “Tidak.
Kenapa aku harus mempermasalahkannya?”
“Baiklah,” ujar Jihye. Gadis itu membantu Ju-
ngkook untuk mendorong kursi rodanya. “Tapi flatku
jauh.”
Jungkook mengeluarkan ponselnya. “Tunggu.
Aku akan menghubungi sopir untuk menjemput kita.”
Menunggu Jungkook selama dua menit sebab
pemuda Yoon itu harus menghubungi sopirnya. Jihye
memilih untuk diam seraya menatap wajah teduh Ju-
ngkook.
“Sopirku sedang menuju kemari.” Jihye me-
ngerjap sayu, kemudian menundukkan kepala—me-
mbuat Jungkook mengernyitkan kening bingung.
“Kenapa?”
“Maaf karena merepotkan Kak Jungkook dan
sopir Kakak,” jawabnya pelan.
Jungkook terkekeh. “Tidak, Jiya. Kau sama
sekali tidak merepotkan. Jangan merasa seperti itu.
Aku sangat senang bisa membantumu.”
Keduanya lekas masuk ke dalam mobil setelah
sang sopir datang dengan mobil SUV berwarna hi-
tam. Jauh lebih mudah karena Jungkook kini sudah

22
bisa sedikit menggerakkan kaki dan lebih kuat untuk
berdiri meskipun hanya dalam beberapa detik.
Jihye menunduk. Hanya membisu seraya me-
natap jalanan. Gadis mungil itu akan berbicara untuk
menunjukkan jalan menuju flat—sontak membuat
Jungkook segera meraih sebelah tangan Jihye dan
menggenggamnya.
Jihye sempat terkejut dengan perlakuan men-
dadak dari Jungkook, tapi tidak menolak saat Jung-
kook menyelipkan jemari-jemarinya pada sela jari
yang kosong.
“Rumahmu jauh juga,” ujar Jungkook.
Jihye tersenyum tipis. “Tidak jauh, kok. Ini
karena Kak Jungkook tidak pernah ke rumahku se-
belumnya. Jadi, terasa sangat jauh.”
Sebelah tangan Jungkook menyelipkan surai
Jihye ke balik telinga. Tersenyum manis seraya me-
natap wajah cantik di hadapannya.
“K-kenapa melihatku seperti itu?” tanya Jihye
gugup. “Ada yang aneh? Aku jelek, ya? Kak Jung-
kook tidak suka?”
Jungkook menggelengkan kepala. “Suka. Sa-
ngat suka,” jawabnya.

23
“Terus kenapa menatapku?”
“Karena kau cantik,” jawab Jungkook sebe-
lum menatap sang sopir melalui spion tengah. Jung-
kook mendengus saat Paman Go meliriknya sambil
tersenyum usil.
“Ini tempatnya!” ujar Jihye tiba-tiba.
Mobil pun segera berhenti. Paman Go turun
untuk membantu Jungkook. Bahkan pria setengah
baya itupun membantu Jungkook menuju ke depan
pintu flat Jihye agar memudahkan gadis itu.
“Di sini saja, Paman. Aku akan menghubungi
nomor rumah jika aku sudah selesai.”
Paman Go mengangguk. “Bagaimana jika Tu-
an Bos bertanya?”
“Bilang saja aku sedang bersama Jihye. Papa
tahu Jihye, kok,” sahut Jungkook dengan sangat te-
nang.
Toh sang papa memang tidak menentang hu-
bungannya dengan Jihye sebagai teman atau lebih da-
ri itu. Kendatipun tetap merasa was-was jika Jung-
kook dipandang sebelah mata karena keadaannya saat
ini.
Kepergian Paman Go menjadi kediaman ter-
24
akhir Park Jihye. Jungkook tersenyum saat kembali
mendengar suara Jihye seraya gadis itu mendorong
kursi rodanya untuk memasuki unit flatnya.
“Maaf kecil,” tutur Jihye.
“Tidak masalah, Jiya ...”
Jungkook melihat Park Jihye yang sedang me-
lepas jaketnya. Kemudian mengikat rambut dan pergi
ke toilet untuk membasuh wajahnya.
“Apa isi kardus ini?” tanya Jungkook saat Ji-
hye baru saja keluar.
“Pakaian ibuku,” jawab Jihye. Jungkook me-
ngangguk kemudian. “Jangan takut. Ibu tidak meng-
akhiri hidupnya di sini. Ibu melompat.”
Jungkook mengerjap lambat. Menatap manik
Jihye begitu lekat sebelum mendapati gadis itu ber-
jalan mendekat padanya.
Jihye mendorong kembali kursi roda Jung-
kook menuju ranjang sehingga Jihye dapat duduk di
bibir ranjang dan lebih asyik mengobrol berhadapan
dengan Jungkook.
“Kau hanya tinggal berdua?”
Jihye mengangguk. Kepalanya turun untuk di-
sandarkan di lengan kursi roda Jungkook—membuat
25
pemuda Yoon itu menunduk guna menatap wajah
Jihye dari samping.
“Jangan pernah merasa kurang beruntung atas
kondisimu saat ini, Kak. Kau tahu ... setiap makhluk
hidup akan diciptakan dengan kelebihan dan keku-
rangan yang melengkapi mereka.”
Jungkook diam. Ia memilih untuk hanya men-
dengarkan suara Jihye hingga gadis itu benar-benar
telah selesai mengatakannya.
“Kau tidak bisa berjalan, tapi kau punya ru-
mah yang bagus. Kebutuhanmu selalu tercukupi tan-
pa harus bekerja keras dengan keringat.”
Jihye menegakkan tubuh. Menatap Jungkook
sebelum menunduk dengan jemari saling bermain di
atas paha.
“Dulu aku juga merasakan hal yang sama. Hi-
dupku tidak adil karena aku miskin dan tidak pernah
bisa membeli apa pun yang bisa membuatku puas,”
lanjut Jihye. “Tapi setelah aku mengenalmu dan be-
berapa teman lainnya ... sekarang aku sadar bahwa ti-
dak ada hidup yang sempurna di dunia ini. Tuhan be-
lum memberikan apa yang kita mau karena Tuhan ta-
hu; banyak kelebihan yang kita miliki yang bisa
membuat kita bahagia.”
26
Tangan Jungkook bergerak menjulur untuk
mengusap pipi Jihye. “Terima kasih, Jiya.”
Sungguh, Jungkook benar-benar tertampar de-
ngan ucapan Jihye yang lekas menyadarkan dirinya.
Selama ini Jungkook terbilang kurang puas
dengan hidupnya sementara masih banyak orang
yang lebih sulit dari dirinya.
“Ayah pergi bersama wanita lain karena wa-
nita itu bisa menyenangkan ayah. Ibu tidak cantik,
tidak bekerja, dan tidak bisa menghasilkan uang se-
peser pun sehingga ayah muak. Sebenarnya aku pun
sama.”
Jungkook menutup mulutnya. Tidak berniat
untuk memotong atau mengganggu Jihye yang se-
dang berbicara.
“Ibu mabuk setiap malam. Menyuruhku untuk
membawakan alkohol setelah selesai bekerja. Lalu
aku hanya akan terus mendengar tangisannya serta
ocehan ibu yang sedang mabuk berat. Itu jelas meng-
ganggu tidurku, ‘kan?”
Jungkook meraih tangan Jihye dan menggeng-
gamnya. Berusaha untuk menenangkan meskipun ha-
nya dengan menggenggam tangan saja.

27
“Aku bekerja bukan haya untuk membayar
sewa flat, tapi juga kebutuhan kami. Apalagi alkohol
dan rokok yang ibu konsumsi setiap hari. Beruntung
aku mendapatkan beasiswa meskipun aku tidak jago
dalam pelajaran Bahasa Inggris.”
“Kau hebat!” puji Jungkook.
Jihye tersenyum manis. Ini yang Jungkook tu-
nggu-tunggu. Senyuman memabukkan itu tidak akan
pernah luntur dari ingatan Jungkook.
“Kau cantik,” pujinya lagi—kini lebih pelan.
Jihye tersipu malu. “Jangan menggodaku!” Ji-
hye mengerucutkan bibir. Gadis itu lantas kembali
untuk tenang lantaran harus melanjutkan ceritanya.
“Kemarin aku dan ibu bertengkar karena aku lelah de-
ngan semua ini. Aku seolah hanya menjadi mesin
uang dan waktu untuk ibu. Jadi, saat aku bekerja ...
ibu mengakhiri hidupnya.”
Jihye lalu mengusap wajahnya. Tersenyum la-
gi untuk memberikan isyarat pada Jungkook bahwa
dia baik-baik saja.
“Aku bahagia jika kau selalu ada untukku,
Kak ...” Jungkook terpaku. Benar-benar tidak me-
nyangka dengan ucapan Jihye.

28
Aku adalah kebahagiaannya?
“Jangan tinggalkan. Aku ... aku ingin selalu di
sampingmu.” Jihye kemudian menunduk—tidak sa-
nggup menatap Jungkook jika pemuda Yoon itu me-
nolak.
Sementara Jungkook kini mengulas senyum.
Menarik dagu Jihye hingga gadis itu mendongak dan
saling menatap satu sama lain.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,”
ucapnya. “Aku janji aku akan berjuang lebih keras
untuk bisa berjalan dengan normal seperti dulu. Aku
ingin melindungimu, memelukmu, dan ada untukmu
tanpa kau membutuhkanku.”
Tatapan itu terkunci. Terbawa suasana sehing-
ga membuat Jungkoon menarik tangan Jihye. Perla-
han mendudukkan gadis Park tersebut ke atas pang-
kuannya dengan sangat hati-hati.
Jarak wajah keduanya hanya tercipta beberapa
centi saat kedua lengan Jihye melingkari leher Jung-
kook. “Kau tahu, aku begitu beruntung bisa bertemu
denganmu, Jiya. Kau adalah penyemangatku.”
Jihye menggigit bibir bawahnya. Satu tangan-
nya lalu bergerak untuk mengusap pipi Jungkook.

29
Mengerjap tanpa mengurangi tatapan mereka yang
begitu lekat.
Jemari Jihye bergerak menuju hidung, lantas
turun menuju bibir dan mengusap bibir bawah Ju-
ngkook.
“Saat itu, aku sedang bertengkar dengan Jung-
woo, adikku. Mama menyetir mobil karena dia yang
bertugas menjemput kami berdua di sekolah. Adu
mulut kami agaknya membuat mama marah besar—
atau mungkin mama sudah sangat kesal sebab kami
sering bertengkar setiap harinya.”
Tangan Jungkook ikut mengusap pipi Jihye.
Dadanya berdegup kencang. Ini adalah kali pertama
Jungkook memiliki jarak sedekat ini dengan seorang
gadis. Apalagi gadis itu adalah Park Jihye, dan dalam
posisi seintim ini.
“Mama mengomeliku dan Jungwoo di mobil.
Fokusnya buyar saat di jalan raya. Tiba-tiba ada se-
buah truk muatan besar yang datang ke arah mobil ka-
mi, membuat mobil terguling dan nyaris hancur.”
Jihye menggigit bibir bawahnya. Tidak sang-
gup mendengarkan cerita Jungkook, tapi ia pun pe-
nasaran.
“Yang kupikirkan saat itu; mungkin aku sudah
30
mati. Aku benar-benar telah berlapang dada jika Tu-
han mengambil nyawaku. Tapi aku salah. Seorang
pria menarik lenganku hingga membuatku membuka
mata. Hal pertama yang kulihat adalah mama dan
Jungwoo yang sudah bersimbah darah sedangkan le-
her mama telah robek karena sabuk pengaman. Se-
dangkan Jungwoo ... aku tidak tahu apa yang dia
alami hingga wajahnya nyaris remuk.”
Jungkook kini memindahkan kedua tangannya
untuk melingkari perut Jihye.
“Lalu aku kembali sadar saat rasa sakit mulai
bisa aku rasakan pada daerah kakiku. Kedua kakiku
terjepit oleh kursi dan pintu mobil yang masuk ke da-
lam karena hantaman keras. Mungkin aku beruntung
karena masih bisa diselamatkan sebelum aku melihat
dengan mata kepalaku sendiri ketika mobilku mele-
dak bersama mama dan adikku.”
Jungkook sungguh tidak peduli jika Jihye akan
mengiranya sebagai laki-laki cengeng. Air matanya
luruh ketika kejadian dua tahun lalu itu kembali te-
rekam di kepalanya. Bahkan suara teriakan orang-
orang yang panik dan mencemaskan dirinya, Jung-
kook masih ingat.
“Karena kecelakaan itu, akibatnya kedua kaki-

31
ku tidak bisa digerakkan meskipun kaki kiriku bisa
lebih kuat.” Jungkook menyulam senyum saat Jihye
menyeka air matanya. “Dan kau tahu? Aku telah kem-
bali bersemangat untuk terapi. Aku ingin bisa segera
berjalan. Semua ini karenamu. Jika kita tidak berte-
mu, atau jika kau tidak menyapaku lebih dulu waktu
itu ... mungkin aku masih tetap hidup dalam keter-
purukan, bayang-bayang di masa lalu, dan ingin me-
ngakhiri hidupku.”
“Jangan berpikir seperti itu,” tegur Jihye lem-
but. “Mulai sekarang, Kak Jungkook harus bersyukur
atas apa yang telah Tuhan berikan.”
Kepala Jungkook mengangguk. “Ya, aku akan
melakukannya. Terima kasih karena sudah banyak
mengajariku untuk bertahan hidup, Jiya.”
Entah apa yang Jihye lakukan. Akan tetapi,
tindakan gadis menggemaskan itu betul-betul mem-
buat Jungkook terkejut.
Jihye mendadak mengecup bibir Jungkook,
sedangkan pemuda Yoon itu hanya bisa membeku se-
telah Jihye menjauhkan wajah mereka.
“Kata Sora dan Kara ciuman bisa menyem-
buhkan luka. Maka, aku melakukannya,” ujar Jihye
tiba-tiba.
32
Park Jihye benar-benar polos. Kalimat yang
tak tahu sumbernya dengan jelas saja dapat gadis itu
percayai.
“Aku ingin membuktikan dengan mencium
Kak Jungkook.” Jihye masih melanjutkan ucapannya
tanpa mengerti bahwa Jungkook sedang mengontrol
detak jantungnya yang berdetak sangat kencang.
“Dan berhasil. Mereka tidak berbohong. Ini manjur.”
Detik berikutnya, Jungkook melongo tidak
percaya dengan apa yang baru saja Park Jihye kata-
kan.

L
“Terima kasih sudah mau mendengarkan ceri-
taku.”
Keduanya kini menghadap meja makan kecil.
Jihye baru saja memasak ramyun untuk dapat mereka
makan berdua. Ditemani dengan hujan deras, mem-
buat sensasi memakan ramyun menjadi lebih nikmat
dan lebih enak.
“Terima kasih juga karena sudah mau mende-
ngarkan ceritaku, Jiy,” ucap Jungkook. “Aku punya
hadiah untukmu. Tapi hadiahnya lupa kubawa. Jadi,
besok kita akan bertemu lagi di taman.”
33
“Tapi besok masih hari Kamis?”
Jungkook terkekeh. “Tidak masalah. Kita
akan bertemu.”
Jihye berdeham. “M-maaf karena sudah men-
cium Kak Jungkook. Aku sangat lancang.”
Pemuda itu menatap lekat. Kunyahan pada
mulutnya sejenak berhenti lantaran fokus pada wajah
Jihye yang sedang merona malu.
“Aku suka,” ucapnya sontak membuat Jihye
kian tersipu dengan pipi memanas. “Bolehkah aku
mendapatkannya lagi?”
“A-apa?”
“Aku suka. Aku suka semua tentangmu, dan
apa pun yang berhubungan denganmu.” Jungkook
memiringkan kepala. Tangannya maju ke arah Jihye
untuk mengusap sudut bibir gadis itu karena kuah
ramyun. “Mau menjadi kekasihku?”
Menyadari Jihye diam membuat Jungkook le-
kas menjauhkan tangan dari bibir Jihye. Pemuda
Yoon itu mengerjap.
“Ah, aku benar-benar tidak tahu malu. Seha-
rusnya aku sadar bahwa aku tidak pantas untukmu,
bukan? Aku cacat dan kau—”
34
“Aku mau!” potong Jihye dengan cepat. “Ja-
ngan berkata seperti itu lagi. Aku suka Kak Jungkook.
Aku juga sayang Kak Jungkook. Lagipula, Kak Jung-
kook ‘kan hanya belum bisa berjalan. Kak Jungkook
masih tetap bisa berjalan!”
Setelah mengomel, Jihye lalu mengulum bibir
saat sadar ia terlalu banyak bicara sedangkan Jung-
kook kini menatapnya kian lekat.
“Jadi kekasihku?” Jihye kembali sadar bahwa
beberapa menit lalu ia baru saja menerima tawaran
Jungkook untuk menjadi kekasihnya.
“M-mau,” jawabnya malu. “Tapi itu ... aku ti-
dak pernah berpacaran sebelumnya. Aku tidak tahu
caranya.”
Jungkook tertawa renyah. “Kita ini berpaca-
ran, bukan mau menikah, Jiya.”
Menggaruk pelipis, Jihye lalu meringis malu.
“Itu karena aku tidak pernah berpacaran, maka dari
itu aku bertanya!” ucapnya membela diri.
“Tapi kau tidak malu, ‘kan?”
Jihye mengerjap. Tatapannya berubah bing-
ung sebelum mengernyitkan kening. “Malu? Kenapa
harus malu?”

35
“Karena kondisiku saat ini. Aku masih belum
bisa berjalan dan hanya bisa duduk di atas kursi roda.
Tapi aku janji, aku akan terus berusaha dan semangat
menjalani terapi.”
“Kenapa Kak Jungkook selalu mengatakan
seperti itu seakan-akan tidak yakin bahwa aku benar-
benar tidak malu? Aku tidak pernah memandang
kondisi Kak Jungkook seperti apa. Aku suka dan sa-
yang dengan Kak Jungkook tanpa memikirkan kon-
disi kaki Kak Jungkook.”
Jihye berdecak. Mendadak kesal sebelum me-
letakkan sumpit dan mendorong mangkok. Gadis itu
mengerucutkan bibir, membuat Jungkook gelagapan
karena merasa bersalah.
“Aku malas makan!”
“Maaf. M-maafkan aku, Jiya,” ujar Jungkook.
“Iya, aku janji tidak akan mengatakan soal itu lagi.
Sejujurnya aku hanya tidak percaya diri dengan
kondisi fisikku saat ini.”
Jihye luluh. Menatap Jungkook yang kini se-
dang menatapnya sayu.
“Aku sayang Kak Jungkook apa adanya. Jang-
an pernah berpikir macam-macam lagi. Aku akan sa-
ngat marah jika Kak Jungkook mengulanginya!” du-
36
malnya. Jihye lalu menjentikkan jari saat mengingat
sesuatu.
Buru-buru menjauh dari kursi dan mendekat
ke lemari pendingin untuk mengambil sesuatu. “Aku
punya susu pisang. Beberapa waktu lalu aku mem-
belinya. Ini untukmu.”
Jihye menyerahkan satu kotak susu pisang ke-
sukaan Jungkook, lantas kembali duduk ke kursinya
dan segera melanjutkan makan.
“Terima kasih!” Jihye mengangguk seraya ter-
senyum hingga matanya menyipit. “Ada hal yang
ingin aku bicarakan denganmu.”
“Apa itu?” tanya Jihye penasaran.
“Sebenarnya papaku ingin kau datang ke ru-
mah; bertemu dengan papa. Papa ingin mengenalmu
karena kemarin papa penasaran denganku yang men-
dadak semangat terapi. Aku bilang bahwa kau adalah
satu-satunya yang membuatku bisa semangat lagi.”
Jihye menggigit bibir bawahnya. Malu. Pipi-
nya bahkan kembali merona setelah mendengar per-
nyataan Jungkook.
“Kau mau datang ke rumahku? Besok aku
akan menyuruh Paman Go untuk menjemputmu. Jadi,

37
kita bisa bertemu di rumah daripada di taman. Tapi
aku tidak memaksa. Kalau kau tidak mau, tidak
masalah. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk
datang. Hanya saja, papa benar-benar ingin bertemu
denganmu.”
Jihye mengangguk paham. “Aku mengerti.
Akan aku pertimbangkan, Kak. Karena aku sekolah
dan bekerja, maka aku tidak bisa segera memutus-
kannya.”
Jungkook bernapas lega saat melihat Jihye
yang sudah bisa kembali tersenyum. Jihye saat ini
justru bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.
Padahal, sang ibu baru saja meninggalkan Jihye untuk
selamanya.
Jungkook sudah mendengar keseluruhan ceri-
ta gadis lucu itu. Benar-benar tidak menyangka bah-
wa Park Jihye berdiri di atas kehidupan yang sulit.
Jihye akan selalu tersenyum dan tertawa saat
bertemu dengannya. Sangat amat ceria sehingga Ju-
ngkook tidak pernah bosan untuk mengidolakan se-
nyum serta tawa Jihye.
Namun, di balik itu semua Jihye menyimpan
berjuta-juta rasa sakit dan juga masalah yag tak bisa
gadis itu ceritakan pada sembarang orang.
38
“Kau ada tabungan?” tanya Jungkook tiba-
tiba.
Jihye menggelengkan kepala. “Tidak. Mau
untuk apa?” Kemudian Jihye meneguk segelas air.
“Lagipula, bagaimana aku bisa menabung jika uang
gajiku harus digunakan untuk membayar segala
keperluan dan kebutuhan?”
“Maaf. Aku tidak bermaksud—” Jungkook
menghentikan ucapannya ketika Jihye terkekeh. “Ke-
napa?”
“Kenapa harus minta maaf? Kak Jungkook ti-
dak salah. Aku hanya ingin memberi tahu dan men-
jelaskan agar Kak Jungkook tidak banyak bertanya
lagi,” sahut Jihye.
Pemuda Yoon itu lekas menganggukkan kepa-
lanya. “Omong-omong, aku sedang sangat kesal. Ba-
gaimana bisa teman-temanku menginap bersama ke-
kasihnya dan berciuman? Bukankah itu tidak boleh
dilakukan?!”
“Boleh,” jawab Jungkook santai seraya me-
nyantap ramyun milik Jihye yang tidak dihabiskan.
Jihye memiringkan kepala. Melongo mende-
ngar jawaban Jungkook. “B-boleh? Kenapa boleh?
Tidak boleh! Aku tahu bahwa itu adalah tindakan
39
yang salah karena mereka masih berpacaran, bukan
menikah!” jelas Jihye sedikit kesal dan gemas.
“Bukankah kau bilang kau tidak pernah ber-
pacaran dan tidak tahu bagaimana caranya berpaca-
ran?”
Bahu Jihye merosot. Gadis itu tak menyangka
dengan jawaban Jungkook—pun bingung harus men-
jawab apa lantaran Jungkook seakan menjebak diri-
nya.
“Tapi—bukan itu maksudku! Kak Jungkook
pasti tahu kalau berciuman tidak boleh dilakukan jika
belum berpacaran.” Jihye membungkam mulutnya.
Menyipitkan mata, lalu menatap penuh selidik. “Oh,
Kak Jungkook pernah melakukannya saat pacaran
dengan wanita lain, ya? Mengaku padaku!”
“Iya.”
Jawaban Jungkook terlampau santai, membuat
Jihye betul-betul terkejut dan melongo tak percaya.
Namun, Jihye mencoba untuk tenang. Gadis
Park itu pikir, barangkali dirinya lah yang tidak
pandai bergaul dan terlalu polos. Maka, Jihye belum
bisa menerima kenyataan soal hubungan anak-anak
remaja yang sangat berbahaya.

40
“Jangan kaget begitu. Kau juga sudah menci-
umku.” Kini Jungkook total menjebaknya. Jangan
lupa bahwa Yoon Jungkook agaknya tengah memper-
malukan Jihye.
“T-tapi itu ... i-itu aku lakukan karena—su-
dahlah!” Jihye menyudahi perdebatan. Bibirnya kem-
bali mengerucut seraya menatap Jungkook jengkel.
“Pulang sana! Sudah malam. Ternyata Kak Jungkook
menyebalkan!”
Jungkook mencibir yang dapat membuat Jihye
semakin kesal. “Cantik sekali, sih? Coba marah lagi.”
Karena ucapan itu, Jihye kini terkekeh. “Ih,
jangan menggodaku! Aku memang cantik.”
Tangan Jungkook meraih tangan Jihye. “Jiya,
dengar ... meskipun kita baru melakukan pertemuan
tidak lebih dari dua puluh kali, tapi aku sangat
beruntung bisa mengenalmu dan menjadi kekasihmu
saat ini. Kau sangat mengubah hidupku, Jiya. Aku
tulus soal perasaanku.”
“J-jangan membuatku malu,” cicit Jihye.
Sungguh, Jihye tidak bisa menerima suasana manis
seperti ini. Dia akan salah tingkah nantinya. “Ha-
biskan ramyun-nya, Kak. Lalu segeralah pulang. Ini
sudah malam.”
41
Jungkook mengangguk sambil tersenyum ka-
rena kegemasan dengan respons Jihye yang malu-ma-
lu terhadapnya.

L
Jungkook tidak menyangka dengan kabar ter-
baru mengenai sang papa yang ditahan oleh pihak ke-
polisian karena penggelapan uang. Beruntung sebab
rumah dan satu mobil peninggalan sang papa tidak
disita oleh pihak kepolisian sebab penggelapan uang
itu terjadi tiga tahun silam.
Kondisi Yoon Jungkook saat ini benar-benar
melemah. Pemuda itu mengurung diri di dalam ka-
mar, mengunci pintu hingga Bibi Nam tidak bisa ma-
suk.
“Tuan Jungkook harus makan. Tuan belum ju-
ga makan sejak kemarin malam.”
Jungkook mengusap wajahnya. “Aku tidak
lapar, Bi,” jawab Jungkook.
Hanya terdiam duduk di atas ranjang, Jung-
kook akan jauh lebih tenang jika dirinya mengurung
diri dan tidak bertemu dengan orang-orang rumah.
“Kak Jungkook ... ini Jiya.” Jungkook lekas

42
menoleh ke arah pintu. “Boleh aku masuk?”
Cukup lama Jungkook terdiam. Pemuda itu
bahkan mengabaikan panggilan suara dari Jihye, serta
tidak membalas puluhan pesan dari gadis Park
tersebut.
“Jey ...”
Mendengar Jihye mendadak memanggilnya
dengan nama yang belum pernah ia dengar sebelum-
nya, Jungkook pun refleks menganggukkan kepala.
“Baiklah,” jawab pemuda itu. “Tunggu aku.”
Jungkook kesulitan untuk turun dari atas ran-
jang dan naik ke atas kursi rodanya. Akan tetapi, pe-
muda itu berhasil melakukannya.
Segera mengarahkan kursi rodanya menuju
pintu kamar, lantas membuka kunci pintu dan men-
jauh untuk menciptakan ruang agar Jihye bisa masuk.
Jungkook melihat sosok itu. Gadis yang sudah
satu minggu ini tidak bertemu dengan Jungkook se-
telah terakhir kali ia membawa Jihye ke rumah untuk
bertemu dengan sang papa.
Jihye melangkah masuk seraya membawa
nampan yang di atasnya ada makanan utama, poto-
ngan buah, vitamin, segelas air, serta sepotong bana-

43
na bread.
Pintu kembali ditutup. Bibi Nam meninggal-
kan lantai dua untuk memberikan Jihye serta Jung-
kook waktu bersama.
Jihye meletakkan nampan ke atas nakas. Ber-
diri di dekat ranjang seraya menatap Jungkook yang
masih ada di belakang pintu.
“Aku sudah tahu,” ucap Jihye tiba-tiba. Jihye
melangkah maju—mendekat pada Jungkook sebelum
menangkup pipi Jungkook. “Kenapa harus menghin-
dariku? Kau bisa bercerita padaku.”
“Maaf,” cicit pemuda itu. Jungkook melihat
Jihye menangis, membuat Jungkook ikut menangis.
“A-aku takut. Aku bingung. Aku juga malu.”
Kepala Jihye sontak menggeleng. “Jangan. Ja-
ngan takut lagi, jangan bingung, atau malu. Aku akan
selalu ada untukmu. Aku akan menemani Kak Jung-
kook. Aku janji. Aku cinta Kak Jungkook.”
Jihye kemudian memeluk tubuh Jungkook.
“Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi aku akan
tetap di sisimu, Kak. Aku tidak mungkin pergi.”
Gadis itu membawa Jungkook mendekati ran-
jang dengan mendorong kursi roda tersebut. Duduk di

44
bibir ranjang, Jihye lalu meraih piring berisi makan
malam untuk Jungkook.
“Ayo, makan.” Jihye mengarahkan satu suap
nasi dengan daging dan sayur. Mendapati Jungkook
yang menunduk, Jihye lekas mengembuskan napas
dalam. “Aku tahu ini sangat berat bagimu, Kak. Tapi
kau harus tetap makan. Jangan seperti ini. Semua
akan baik-baik saja. Percayalah padaku. Ayo, makan.
Jangan melukai diri sendiri.”
“Aku hanya butuh pelukanmu.”
Jihye mengerjap. Tangannya mengusap kem-
bali pipi Jungkook saat pemuda Yoon itu menatap-
nya. “Akan aku lakukan. Kuberikan pelukan untukmu
asal kau mau makan. Ya?”
Jungkook mengangguk. “Baiklah,” putusnya.
Jungkook membuka mulutnya untuk menerima sua-
pan pertama dari Jihye. Mengunyah makanannya se-
raya menatap Jihye yang juga sedang menatap ke
arahnya.
“Tenang. Aku akan selalu bersama Kak Jung-
kook. Aku tidak akan pergi,” ucapnya penuh keya-
kinan. “Kumohon jangan memikirkan apa pun, Kak.
Pikirkan kesehatan Kak Jungkook. Ingat kata dokter
... kau tidak boleh terlalu banyak memikirkan sesuatu
45
yang bisa membuat tubuh melemah. Terapi yang
kemarin harus mendapatkan perkembangan di terapi
selanjutnya.”
“Seberapa besar kau mencintaiku?”
Jihye mengembuskan napas. “Aku memang
tidak pernah berpacaran atau mencintai seseorang
lebih dari ini. Hanya saja, bisa kupastikan bahwa pe-
rasaanku sangatlah dalam. Aku sangat besar mencin-
taimu,” jawab Jihye.
“Aku harus bagaimana jika tidak ada papa?
Apa yang harus aku lakukan? Mama dan papa tidak
memiliki keluarga. Aku ... tidak tahu harus seperti
apa.”
Jihye menggigit bibir bawahnya. “A-aku juga
tidak tahu. Tapi kita bisa memikirkannya nanti. Aku
yakin Bibi Nam dan Paman Go akan membantu Kak
Jungkook. Ayo, buka mulut lagi!”
Jungkook kembali menerima suapan demi
suapan dari Park Jihye hingga makanan di atas piring
itu telah habis.
“Jiya ...”
“Ya?”
“Terima kasih,” tutur Jungkook. Jihye kian de-
46
kat. Menyeka air mata Jungkook yang tiba-tiba turun.
“Terima kasih sudah menjadi teman hidupku.”
Jihye mengembangkan senyum kendati pada
akhirnya ia ikut menangis karena bisa merasakan apa
yang sedang Jungkook rasakan.
“Kak, aku akan selalu ada untukmu. Kita sa-
ma-sama sendiri—tanpa orang tua. Aku akan selalu
menemani Kak Jungkook.” Jihye lalu meraih gelas.
“Sekarang harus minum vitamin.”
Jihye menyerahkan gelas dan beberapa vita-
min yang sudah disiapkan oleh Bibi Nam. Gadis itu
menatap Jungkook yang sedang meneguk air serta
vitamin-vitamin tersebut.
Senyumnya merekah. Jihye segera merapikan
surai Jungkook, juga piama yang pemuda itu kena-
kan. “Kak Jungkook tidur berapa jam?”
“Aku belum tidur,” sahutnya. Jihye terdiam
sesaat. “Kau mau menginap di sini? Di kamarku? Aku
tidak ingin sendirian.”
Berdeham, Jihye lalu mengusap tengkuk. “A-
ku tidur di mana?”
“Di sini.” Jungkook menunjuk kasurnya,
membuat Jihye melongo. “Tidur denganku. Kasurku

47
‘kan besar. Kita bisa tidur berdua di sini.”
“T-tapi ...”
“Apa yang kau harapkan dari laki-laki cacat
sepertiku, Jiya? Aku tidak mungkin macam-macam
padamu.”
Jihye menggigit bibir bawahnya. Terdiam
sembari membayangkan jika ia tidur berdua bersama
Jungkook. Park Jihye tidak pernah tidur bersama laki-
laki lain selain ayahnya saat ia masih kecil.
Gadis itu benar-benar lugu—bahkan tidak me-
ngenal lawan jenis lantaran Jihye tidak bisa jatuh
cinta sebelum bertemu dengan Jungkook.
“Jiya? Bagaimana?”
“H-hah?” Gadis itu gelagapan. Kepalanya se-
gera mengangguk. “Baiklah, aku akan tidur di sini.
Tapi Kak Jungkook harus janji padaku, jangan me-
lewatkan makan lagi? Konsumsi vitamin Kak Jung-
kook dengan rutin.”
Jungkook pun ikut menganggukkan kepala
untuk menjawab. “Iya, aku janji, Jiya.”
“Kak ...” Jihye melipat kedua lengan pada le-
ngan kursi roda milik Jungkook, kemudian menopang
dagu. “Kau masih punya aku, punya Paman Go, dan
48
Bibi Nam. Tidak akan ada yang meninggalkan Kak
Jungkook. Kami semua menyayangimu.”
Jungkook tersenyum. “Terima kasih.”
“Aku benar-benar khawatir setelah melihat
berita di televisi kemarin malam. Maaf karena baru
bisa datang lantaran aku harus sekolah dan bekerja.
Untuk besok, aku akan bolos sekolah dan kerja. Aku
akan di sini untuk menemani Kak Jungkook.”
“Kenapa kau sangat baik?”
Kedua mata Jungkook mengerjapkan mata.
Menatap bingung dengan kening mengernyit. “Ala-
san apa yang membuatku harus tidak berbuat baik?”
Jihye balik bertanya. “Jika berbuat baik bisa mem-
buatku bahagia, untuk apa aku harus berbuat hal yang
tidak baik, Kak?”
“Aku malu,” timpal Jungkook.
“Malu? Kenapa?” Jihye menegakkan pung-
gung, menatap serius sebab Jungkook mendadak me-
ngajaknya untuk serius. “Bukan Kak Jungkook yang
melakukan kejahatan, tapi papa. Jangan malu. Kak
Jungkook hanya korban.”
“Tapi aku takut orang-orang akan mengucil-
kanku dan menyalahkanku atas keburukan papa.”

49
Jihye mengerucutkan bibir seraya memasang
wajah jengkel. “Tenang saja! Aku akan memukul si-
apa pun yang berani jahat pada Kak Jungkook! Jang-
an takut, ya?” Jihye meraih tangan Jungkook, meng-
genggam jemari itu yang berubah dingin. “Aku di si-
ni. Aku selalu bersamamu.”

L
Park Jihye menepati janjinya. Gadis itu selalu
ada di samping Jungkook. Bahkan Jihye akan segera
datang ke rumah Jungkook setelah selesai bekerja.
Jihye tidak sekali pun meninggalkan Jung-
kook setelah bersekolah dan bekerja. Jihye juga yang
selalu menemani Jungkook terapi, makan malam,
sampai pemuda itu tidur. Sesekali Jihye juga meng-
inap di rumah Jungkook apabila hari sudah sangat
malam.
Sudah lima bulan lamanya papa Jungkook ada
di jeruji besi. Dan Jihye telah berhasil meyakinkan Ju-
ngkook untuk tetap tenang serta tidak takut sebab res-
pons masyarakat terhadap Jungkook tidaklah jahat.
“Bagaimana hasilnya?”
Jihye mengangguk. “Naik kelas! Woah, aku
dapat libur satu bulan penuh. Jadi, aku bisa bertemu
50
Kak Jungkook setiap hari. Sepuasnya!”
“Kau senang?” Jihye mengangguk. “Apa aku
tidak merepotkan?”
Jihye menggelengkan kepala. “Tidak. Kenapa
harus merepotkan? Sekarang ‘kan sudah bisa jalan!
Mau jalan-jalan?”
“Ayo!”
Ya, Jungkook sudah bisa berjalan. Semua itu
karena Park Jihye selalu menemani Jungkook dan
memberikan semangat saat Jungkook telah mulai
terapi. Ketika Jungkook gagal, Jihye selalu meya-
kinkan pemuda Yoon tersebut untuk terus bangkit.
Itulah sebabnya, Jungkook kini tak lagi memerlukan
kursi roda.
“Besok aku belajar menyetir lagi,” ujar Jung-
kook tiba-tiba. “Kau mau menemaniku?”
Jihye mengangguk. “Aku akan menemani Kak
Jungkook.” Tangan mereka saling bergandengan. Tu-
ngkai mereka pun melangkah ke area halaman bela-
kang rumah Jungkook yang luas. “Tidak takut lagi?”
Jungkook mengernyit. “Aku tidak pernah ta-
kut naik mobil meskipun kami kecelakaan di dalam
mobil,” sahut Jungkook. “Aku hanya gugup saat di ja-

51
lan raya.”
“Sama saja!”
Keduanya saling menatap. Tangan Jungkook
berada di pinggang Jihye. Lalu sebelahnya kini me-
nyelipkan surai Jihye ke balik telinga.
“Kau tahu betapa bersyukurnya aku bisa me-
milikimu, Jiya.” Jungkook merunduk untuk mende-
katkan wajah mereka. “Aku sangat mencintaimu.”
Saat kedua tangan Jihye dikalungkan pada le-
her Jungkook, suara dehaman dari Bibi Nam mem-
buat gadis itu refleks menjauhkan tubuhnya.
“Makan siang sudah siap!”
Jihye tersenyum, lantas menggenggam tangan
Jungkook dan segera melangkah kembali masuk ke
dalam rumah. Duduk di kursi ruang makan, lalu ber-
gegas menyantap makan siang yang sudah disiapkan
oleh Bibi Nam.
“Tuan Jungkook ... Tuan Besar ingin bertemu
besok sore. Apakah Tuan Jungkook sudah siap untuk
bertemu?”
Jungkook menoleh ke arah Jihye. Melihat Ji-
hye yang menganggukkan kepala, membuat Jung-
kook kembali menatap Bibi Nam yang berdiri tidak
52
jauh darinya.
“Besok aku menyetir, Bi.”
Jihye merosotkan bahu. Sedikit kecewa deng-
an keputusan Jungkook, pun tak dapat memaksa pe-
muda Yoon itu untuk bertemu dengan papanya sen-
diri.
Jihye tahu apa yang dirasakan oleh Jungkook.
Sangat tahu sampai-sampai Jihye tidak pernah lagi
membahas soal papa Jungkook. Daripada membuat
Jungkook merenung, Jihye lebih baik melihat Jung-
kook tenang dan tersenyum.
“Kau yakin tidak ingin bertemu dengan papa?
Setidaknya, satu kali saja. Barangkali ada yang ingin
papamu sampaikan? Ada sesuatu hal yang penting?”
Jungkook diam. Sejenak menimang apa yang
baru saja Jihye ucapkan. Yoon Jungkook sontak ber-
deham. “Bibi ... baiklah. Besok aku akan menemui
papa setelah belajar menyetir dengan Paman Go.”
Bibi Nam merekahkan senyum. Kepalanya
ikut mengangguk.
Meskipun hanya bekerja sebagai suster yang
merawat Jungkook, tapi Bibi Nam sudah mengang-
gap Jungkook sebagai cucunya sendiri. Wanita yang

53
sudah berusia 60 tahun tersebut sangat menyayangi
Jungkook.
Saat Jungkook mengurung di dalam kamar
tanpa makan waktu itu, Bibi Nam bahkan sangat
cemas dan menangisi kondisi Jungkook. Begitu juga
dengan Paman Go yang sudah mengabdi pada ke-
luarga Yoon sejak papa Jungkook belum menikah.
Itulah alasan kenapa Bibi Nam dan Paman Go
tidak mau meninggalkan Jungkook sendirian meski-
pun banyak pekerja yang sudah keluar; dikeluarkan
dan mundur sendiri.
“Umurku 19 tahun sebentar lagi. Aku lulus se-
mentara kau naik kelas tiga. Mungkin aku akan se-
kolah ke luar negeri.”
Ucapan itu mendadak membuat Jihye meng-
hentikan aktivitas mengunyahnya. “K-kenapa harus
sejauh itu?” tanyanya.
“Mengabulkan keinginan mama dan papa. A-
ku harus bersekolah ke luar negeri.”
“Oh ....”

L
Hubungan antara Jihye dan Jungkook sedang
54
tidak baik. Park Jihye tidak datang ke rumah Jung-
kook selama satu minggu ini. Mengabaikan seluruh
pesan dan panggilan suara dari Jungkook dan tidak
memberikan alasan apa pun pada pemuda Yoon ter-
sebut.
Alasannya hanya ada satu: Jihye tidak mau
Jungkook meninggalkannya dengan bersekolah ke
luar negeri.
Luar negeri itu jauh. Bahkan jika dekat pun,
Jihye tidak akan bisa terbang ke sana sebab Jihye
tidak memiliki cukup uang untuk membeli tiket dan
membeli keperluan di sana.
Gadis itu mungkin egois. Akan tetapi, selama
ini dirinya lah yang selalu menemani Jungkook dan
ada di samping Jungkook. Tidak pernah berniat untuk
meninggalkan Jungkook—justru setia untuk membe-
rikan semangat agar Jungkook tidak kalut dan ter-
puruk.
Namun, sekarang Jungkook malah berniat me-
ninggalkannya setelah Park Jihye telah sepenuhnya
memberikan hatinya untuk Jungkook.
Bukan hanya hati—sebab hidup dan tubuh ga-
dis itu telah seluruhnya diberikan kepada Yoon Jung-
kook.
55
Tidak ada diskusi apa pun tentang Jungkook
yang akan pergi ke luar negeri. Semuanya sangat
mendadak hingga Jihye dibuat terkejut dan sulit untuk
menerimanya.
Jihye keluar dari apartemennya usai merias
tipis wajahnya. Hari ini ia akan datang ke rumah salah
satu teman sekolahnya untuk mengembalikan buku
yang pernah Jihye pinjam sebelum hari libur sekolah.
Namun, langkahnya terhenti saat mendapati
Yoon Jungkook yang sedang berdiri tak jauh dari ele-
vator.
Pemuda itu menatap Jihye kesal, sementara Ji-
hye justru mengabaikan presensi Jungkook karena
belum siap bertemu dan menjelaskan mengenai ala-
san dirinya menjauh.
Hanya saja, Jihye tahu Jungkook akan tetap
mengejarnya. Tangan Jungkook menahan lengannya
sehingga langkah itu terpaksa harus berhenti.
“Lepas, Jey ...”
“Mau ke mana?” tanya Jungkook dengan sua-
ranya yang mengalun begitu lembut.
Jihye melepaskan tangan Jungkook dari leng-
annya. “Kau tidak perlu tahu.”

56
Jungkook menghadang jalan Jihye. “Aku ha-
rus tahu.” Menangkup pipi Jihye, Jungkook kemudi-
an mengembuskan napas dalam. “Sayang ... ada apa,
sih?”
Jihye menelan saliva susah payah. Tidak, aku
tidak boleh luluh meskipun Kak Jungkook memang-
gilku seperti itu!
“Aku salah apa? Katakan padaku. Kau men-
dadak menjauhiku, mengabaikan pesanku, tidak me-
nerima panggilan dariku,” ujar Jungkook. “Kenapa?
Aku mencemaskanmu. Kau juga tidak pernah mem-
bukakan pintu apartemen.”
Jihye kembali menjauhkan tangan Jungkook
dari pipinya. Kepalanya lekas menggeleng sebab Ji-
hye benar-benar belum siap untuk mengungkapkan
isi hatinya saat ini.
Gadis itu perlu banyak waktu untuk mene-
nangkan diri dan menganggap semua telah baik-baik
saja.
“Tidak ada. Aku hanya ... ingin,” sahutnya.
“Hanya ingin? Apa maksudmu hanya ingin?
Kau tidak membuat kejelasan, Jiya. Apa salahku, hm?
Ayo, kita selesaikan sekarang juga. Aku tidak mau
terus jauh darimu.”
57
“Bukankah sebentar lagi kita juga akan jauh?”
Jungkook mengernyitkan keningnya—tidak tahu
akan maksud dari ucapan Jihye. “Kau akan berse-
kolah ke luar negeri, ‘kan? Itu berarti kita tidak akan
bisa bertemu lagi. Kita jauh. Begitu, ‘kan? Lalu untuk
apa kau tidak bisa jauh dariku kalau nyatanya kau ju-
ga akan menjauh?”
Jungkook terdiam sesaat. Jelas saja terkejut
setelah Park Jihye dengan menggebu terpaksa meng-
ungkapkan semua yang sedang dirasakan.
Beberapa detik kemudian, Jungkook menarik
Jihye ke dalam pelukannya. Mendengar suara tangi-
san sang kekasih, membuat Jungkook betul-betul me-
rasa bersalah.
“Maaf ...”
Kepala Jihye menggeleng. Kedua tangannya
hanya terdiam di sisi tubuh. “Aku tidak mau.”
Jungkook melepas pelukan. Pemuda itu meng-
genggam tangan Jihye dan segera melangkah men-
dekati unit apartemen Jihye sebelum menyuruh gadis
itu untuk membukanya.
Setibanya di dalam, Jungkook lekas mengunci
pintu dan mengantongi benda tersebut. “Kembalikan
kuncinya!”
58
Kepala Jungkook menggeleng. “Tidak, sebe-
lum kita menyelesaikan masalah kita.”
Jungkook duduk di kursi, sedangkan Jihye
berdiri di hadapan pemuda itu; sibuk menyeka air ma-
tanya.
“Jangan menatapku begitu!”
“Jangan menangis lagi. Kemari, biar aku yang
hapus air matanya.” Jihye sontak saja menolak. Akan
tetapi, tangan Jungkook menarik pergelangan tangan-
nya sehingga membuat gadis itu duduk di kaki Jung-
kook.
Kedua lengan Jungkook lekas saja melingkari
perut Jihye, sedangkan dagunya diletakkan di atas
bahu Jihye.
“Jiya, Sayangku ... kita ‘kan bisa mendiskusi-
kan masalah ini. Tidak perlu menjauhiku seperti itu,
Sayang. Sekarang, duduk di situ. Kita selesaikan ma-
salahnya.”
“Aku tidak mau menyelesaikan masalah apa
pun,” jawab Jihye sembari berusaha melepaskan pe-
lukan Jungkook. Tapi nihil, Jungkook terlampau kuat.
“Baiklah, kita diam di sini.”
Park Jihye berdecak. Berakhir duduk di kursi
59
yang ada di hadapan Jungkook saat ini. “Jelaskan!”
“Kau yang jelaskan,” jawab Jungkook. “Kau
yang tiba-tiba menjauh dariku.”
Jihye mengerucutkan bibirnya. “Sudah aku
jelaskan di depan elevator. Kau tidak dengar?”
Jungkook menganggukkan kepalanya. “Jiya,
dengarkan aku, ya. Aku sekolah di sana untuk ke-
baikan, bukan mencari kesenangan semata. Aku tidak
mungkin melupakanmu atau putus. Kita tidak akan
pernah putus.”
“Kau bisa saja bertemu dengan perempuan
yang jauh lebih cantik dan pintar dariku. Banyak di
luar sana yang lebih sempurna daripada aku. Aku
yakin kau akan berpaling dariku.”
Jungkook meraih tangan Jihye. Mengecupi
punggung tangan gadis tersebut seraya menatap Jihye
begitu lekat.
“Untuk apa, Jiya? Kau yang sudah membuatku
menjadi Yoon Jungkook yang sekarang. Untuk apa
aku harus melirik perempuan lain? Di mataku dan di
hidupku, kau adalah perempuan satu-satunya yang
nyaris sempurna. Jangan berpikir aku akan mening-
galkanmu, karena aku tidak akan pernah meninggal-
kanmu. Kau dengar? Aku tidak mungkin meninggal-
60
kan perempuan yang aku sayang. Aku mencintaimu,
Jiya.”
Jihye menundukkan kepala. Air matanya kem-
bali tumpah sambil menggelengkan kepala. “Tapi aku
tidak bisa. Kalau kau memang ingin pergi ke luar ne-
geri ... mari akhiri hubungan ini.”
“Jiya. Kau tidak bisa memutuskan sesuatu sen-
dirian. Aku tidak ingin berakhir.”
“Itu urusanmu,” ujar Jihye. Kembali menyeka
air mata. “Aku memang egois—aku sadar itu. Tapi
aku punya alasan.”
“Apa?” Tatapan Jungkook berubah sedikit di-
ngin.
“Aku sudah lama suka denganmu. Tidak pedu-
li kau masih duduk di kursi roda saat itu. Aku rela dio-
meli oleh Bibi Ong karena sering telat bekerja hanya
untuk menemanimu yang sedang terpuruk setelah pa-
pamu dipenjara. Aku mencintaimu sedalam itu, Kak.
Kau adalah laki-laki pertama yang masuk ke dalam
hidupku. Kau yang pertama membuatku jatuh cinta,
yang pertama memiliki cintaku, hidupku, dan tubuh-
ku. Lalu untuk apa jika semua ini berakhir dengan
kau yang akan pergi dariku?”
“Aku tidak meninggalkanmu, Jiya. Aku di sa-
61
na untuk melanjutkan pendidikanku, bukan pergi se-
lamanya.”
“Maka dari itu, kita putus saja.”
Jungkook membanting sumpit yang ada di atas
meja makan, membuat Jihye terkejut meskipun sua-
ranya tak begitu nyaring.
“Kau berjanji akan terus di sampingku, ‘kan?
Lalu kenapa kau minta putus?”
“Jika kau di luar negeri, bagaimana bisa aku di
sampingmu?” Jungkook diam, sedangkan Jihye me-
nggeleng seraya melanjutkan, “Aku tidak bisa, Kak
Jungkook. Aku tidak bisa menunggumu selama ber-
tahun-tahun jika akhirnya suatu saat nanti kau bisa sa-
ja menemukan perempuan lain.”
“Aku tidak mungkin berpaling darimu!”
“Semua kemungkinan bisa menjadi nyata. Ki-
ta tidak pernah tahu skenario yang Tuhan berikan,
Jey. Kau bisa berkata sangat mencintaiku hari ini, lalu
besok kau tidak merasakan hal yang sama.”
Tangan Jungkook mengepal kuat. Rahangnya
mengeras. Pemuda Yoon itu marah. Jihye seakan se-
dang tidak mempercayai dirinya saat ini dan hal itu
sangat membuat Jungkook terpukul sekaligus terluka.

62
“Kau tidak percaya padaku?”
Jihye dengan lantang segera mengangguk.
“Ya, aku tidak percaya.”
“Fine. Jika itu yang kau mau ... kita akhiri saja
hubungan ini. Aku tidak mungkin mempertahankan
seseorang yang tidak ingin bertahan denganku.”
Jungkook mengeluarkan kunci pintu aparte-
men Jihye dari saku celananya. Tungkainya lekas me-
langkah melewati Jihye yang menunduk seraya me-
nahan isak tangisnya.
Ini adalah pertengkaran terhebat yang pernah
keduanya alami setelah tujuh bulan menjalin hubu-
ngan. Jungkook pun tidak menyangka dirinya dan Ji-
hye bisa sama-sama egois hingga amarah melingkupi
diri mereka masing-masing.
Jungkook tidak mungkin menuruti Jihye untuk
menetap di Seoul sementara peluangnya masuk ke
universitas impiannya sangatlah besar.
Selain ingin mengabulkan keinginan sang ma-
ma dan papa berkuliah di luar negeri, Jungkook pun
ingin semakin mengantongi ilmu agar ia bisa mem-
bawanya pulang dan menciptakan bisnis luar biasa
melebihi kesuksesan sang papa.

63
Di saat Jungkook memutuskan untuk mening-
galkan Jihye, gadis Park itu justru kembali menangis
untuk kesekian kalinya.
Sedetik usai kepergian Jungkook dari dalam
apartemennya, Jihye menangis keras seraya melipat
lutut di depan dada untuk menenggelamkan wajahnya
di sana.
Ini sangat menyakiti Jihye. Keegoisannya be-
nar-benar tidak bisa membuat Jihye tenang barang se-
detik pun.

L
Di sinilah Yoon Jungkook saat ini.
Menjenguk sang papa di jeruji besi. Setiap sa-
tu minggu sekali, Jungkook akan menemui papanya.
Hal itu telah ia lakukan selama dua bulan ini.
Hubungan dengan Park Jihye ... sejujurnya Ju-
ngkook tidak tahu. Dia adalah laki-laki cupu yang
malu untuk mengungkapkan perasaan lebih dulu.
Beberapa kali mencoba untuk menghubungi
Jihye, tapi gadis itu tidak membalas pesannya sama
sekali. Maka dari itu, Jungkook berhenti menghubu-
nginya.

64
Jungkook pikir, dua bulan sudah membukti-
kan bahwa Jihye tak mau kembali padanya dan mene-
rima soal kepergian Jungkook ke Perancis untuk me-
lanjutkan pendidikannya.
“Sudah makan?”
Jungkook menganggukkan kepala saat sang
papa mengajukan pertanyaan untuknya. Tersenyum
manis, Jungkook kini berkata, “Ayam panggang ke-
sukaan Papa. Papa harus makan ini setelah Jungkook
pulang.”
Kini sang papa giliran mengangguk. “Bagai-
mana dengan kuliah? Sudah memutuskan?”
“Sudah. Jungkook akan tetap melanjutkannya
ke universitas yang Jungkook mau,” sahutnya. “Agar
mama dan Papa senang. Jungkook juga ingin berbis-
nis seperti mama dan papa.”
Papa tersenyum bangga. “Ilmu bisnis memang
bisa didapatkan dari mana saja, Kook. Hanya saja, Pa-
pa tidak ingin kau menyia-nyiakan kepintaranmu. Se-
kolahlah yang tinggi di tempat terbaik. Sekolah me-
mang bukan untuk dijadikan ajang kesuksesan. Tapi
jika kau bersekolah dengan benar, Papa yakin kau a-
kan menjadi orang berhasil.”

65
“Ya, Jungkook percaya itu, Pa,” jawab Jung-
kook. “Bagaimana dengan sesak napas? Sudah lebih
baik, ‘kan? Sudah minum obat yang Jungkook ba-
wakan?”
“Tentu saja. Jauh lebih baik setelah anak Papa
datang.” Papa menundukkan kepala. “Maafkan Papa,
Jungkook. Papa mungkin bukan orang tua baik yang
selalu meluangkan waktu untuk anaknya. Papa bah-
kan melakukan kesalahan besar. Papa benar-benar
malu padamu.”
“Pa, semua sudah berlalu. Setelah Papa bebas,
Jungkook berjanji bahwa Papa akan melihat Jung-
kook bisa membesarkan bisnis Papa.”
Papa menggenggam tangan Jungkook. “Teri-
ma kasih. Mama membesarkanmu dengan sangat ba-
ik.”
“Tentu, Pa.”
“Kenapa tidak pernah mengajak Jihye kemari?
Kalian bertengkar?” Jungkook sontak menggeleng-
kan kepala—tapi lekas mengangguk skeptis. “Kena-
pa? Apa masalahnya? Ayo, cerita pada Papa.”
Jungkook mengusap tengkuk dengan tangan-
nya yang bebas. Pemuda itu sejenak menjilat bibir ba-
wahnya yang kering seraya menatap sang papa yang
66
nampak sudah siap mendengarkan ceritanya.
“Jihye tidak mau pisah dengan Jungkook,” ka-
tanya. “Jihye ingin Jungkook memilih universitas di
dekat Seoul saja.”
“Dia pasti sangat mencintaimu, ya?”
“Sepertinya begitu,” jawab Jungkook malu-
malu.
“Pertengkaran, perbedaan pendapat, salah pa-
ham, dan tidak sejalan itu pasti akan ada dalam setiap
hubungan, Kook. Kalian butuh mengobrol berdua de-
ngan kepala dingin. Jangan asal menjauh. Itu juga
akan merugikan perasaan selain diri sendiri.”
“Jihye tetap tidak mau Jungkook bersekolah di
luar negeri, Pa. Jihye juga takut Jungkook akan ber-
paling darinya.”
Papa terkekeh. “Itu sangat wajar. Kalian ini
masih remaja. Masih sulit untuk mengontrol keegoi-
san masing-masing. Tidak sepemikiran juga bukan
kesalahan. Masalah adalah hal yang bisa membuat ki-
ta satu langkah lebih dewasa. Berdamailah. Jangan
melulu mengandalkan egois. Tidak baik.”
“Apa Jungkook harus mengejar Jihye lagi?”
“Harus! Bicara padanya pelan-pelan,” jawab
67
papa cepat. “Kakimu bagaimana? Sudah benar-benar
pulih?”
Jungkook mengangguk. Pandangannya seje-
nak menunduk seraya menepuk lutut. “Dua hari lalu
Jungkook baru saja melakukan futsal bersama teman-
teman baru. Hanya perlu hati-hati. Menghindar saat
lawan mulai ingin merebut bola.”
“Bagus. Kau harus terus melatih kakimu. Se-
muanya akan kembali baik-baik saja. Jangan mudah
menyerah. Paham?”
“Paham, Pa.”

L
Pada kenyataannya, Park Jihye memang harus
melepaskan Yoon Jungkook. Ia mendapatkan satu
pesan dari pemuda itu yang mengatakan bahwa
Jungkook akan segera pergi menuju ke negara yang
akan dijadikan sebagai tempat menimba ilmu.
Kak Jungkook ♥
Aku akan terbang ke Perancis 30 menit lagi. Maaf karena harus meninggalkanmu. Aku
harap kita masih bisa bersama meskipun jarak kita jauh. Aku mencintaimu, Jiya.
07.30 AM

Jihye menggigit bibir bawahnya. Bingung ha-


rus bereaksi seperti apa sebab Jihye masih tidak bisa
68
menerima kepergian pemuda Yoon itu.
Yoon Jungkook adalah laki-laki pertama yang
bisa membuat Jihye jatuh cinta. Laki-laki pertama
yang bisa membuat Jihye bahagia. Juga laki-laki
pertama yang bisa membuat Jihye mengerti apa arti
hidup.
Jika ditanya antara siap dan tidak siap, tentu
saja Jihye belum siap sama sekali kehilangan Yoon
Jungkook kendati arti dari kehilangan tersebut adalah
Jungkook tinggal di negara yang berbeda dengannya.
“Kau benar-benar akan meninggalkanku ...”
Jihye menangis. Tidak ada hari untuk tidak
menangisi seorang Yoon Jungkook, cinta pertama-
nya. Mungkin ini akan menjadi akhir dari hubung-
annya bersama Jungkook setelah gadis Park itu tidak
pernah merespons pesan, panggilan suara, serta Jung-
kook yang beberapa kali datang ke apartemen sem-
pitnya.
Dia egois. Sangat egois. Dan Jihye sadar betul
akan keegoisannya tersebut.
Apa yang bisa Jihye harapkan? Dia tidak pu-
nya harta apa pun selain dirinya sendiri. Tidak juga
memiliki tabungan menumpuk untuk bisa menyusul
Jungkook ke negara orang. Maka dari itu, Jihye tidak
69
bisa bertahan dengan Yoon Jungkook.
Sebelum memberanikan diri untuk berkenalan
dengan Jungkook waktu itu, Jihye sudah beberapa
kali diam-diam melihat Jungkook melalui toko swa-
layan yang ia jaga.
Gadis itu baru berani mendekat setelah Jung-
kook terlihat begitu ramah dengan anak-anak atau
orang dewasa yang sedang bermain dan bersantai di
taman.
Jihye jatuh cinta meskipun telat untuk menya-
darinya. Jatuh cinta pada seorang laki-laki yang se-
dang duduk di kursi roda dan sangat membutuhkan
pelukan kala itu.
Maka Jihye dengan sigap memberikannya. Se-
lalu tersenyum di hadapan Jungkook, ceria dan meng-
hibur pemuda itu agar Jungkook tidak murung atau
sedih akan kondisinya yang saat itu belum bisa mene-
rima kakinya yang belum bisa berjalan setelah kece-
lakaan.
Park Jihye tidak pernah meninggalkan Jung-
kook. Selesai sekolah, ia akan pergi ke rumah Jung-
kook dengan cepat. Kembali menghibur Jungkook
yang sedang terpuruk usai sang papa ditangkap ka-
rena penggelapan uang perusahaan.
70
Setiap hari bertemu tidak membuat Jihye bo-
san. Justru gadis itu kian jatuh cinta pada Yoon Jung-
kook dan akan selalu menggenggam tangan Jungkook
ketika laki-laki Yoon tersebut sedang menangis dan
merasakan hancur.
Memang tak pantas jika Jihye menuntut Jung-
kook untuk memberikan timbal balik atas usahanya
selama ini. Akan tetapi, kembali lagi egois telah
melingkupi perasaannya.
Jihye sesenggukan. Gadis itu merasakan sesak
di dadanya. Ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Ji-
hye tidak bisa jauh dari Jungkook.
Selama dua bulan tidak bertemu, sebenarnya
Jihye sangat merindukan Jungkook. Jihye hanya da-
pat memandang foto mereka berdua.
“Jiya ...”
Jihye menegakkan punggung. Gadis itu meno-
leh ke arah pintu utama saat mendengar suara Yoon
Jungkook tengah memanggilnya.
Untuk memastikan bahwa pendengarannya
bukan hanya halusinasi semata, Jihye segera mela-
ngkah mendekat seraya menyeka air matanya yang te-
lah berhasil membasahi wajahnya.

71
Membuka pintu, Jihye benar-benar dikejutkan
oleh sosok pemuda itu. Yoon Jungkook, di hadapan-
nya.
Bukan lagi menghindar seperti beberapa wak-
tu belakangan, Jihye kini malah melangkah mendekat
untuk memeluk tubuh Jungkook.
“Jiya ...”
Jihye menenggelamkan wajahnya di dada Ju-
ngkook. Menangis di sana seraya mengeratkan pe-
lukan. “Maaf karena egois. Tapi aku tidak ingin kau
pergi—hiks.”
Jihye sejenak melepas pelukan ketika Jung-
kook melangkah maju. “Masuk dulu. Malu jika ada
tetangga apartemen yang melihat kita.”
Setelah masuk dan menutup pintu utama, pe-
lukan itu kembali tercipta. Jungkook kini membalas
pelukan Jihye. Mengusap punggung sang gadis sam-
bil meletakkan dagunya di atas kepala Jihye.
“Berhenti menangis, Jiya.”
“Jangan pergi ...”
Jungkook menggelengkan kepalanya. “Aku ti-
dak pergi.”
“Kau bohong padaku.”
72
“Tidak,” sahut Jungkook lagi. “Aku janji, aku
tidak akan pergi dan meninggalkanmu. Aku bisa me-
milih universitas di dekat sini.”
“Aku benar-benar tidak ingin kau pergi dariku,
Jey. Kumohon, jangan pergi.”
“Tidak, Jiya ...,” sahut Jungkook sekali lagi.
“Kau tidak pernah meninggalkan saat aku masih du-
duk di kursi roda. Kau setia padaku dan selalu mem-
berikan semangat untukku setiap kali aku terapi. Aku
juga tidak akan meninggalkanmu.”
“Janji padaku?”
Jungkook menganggukkan kepala. “Iya, aku
janji.” Jihye mendongak untuk mempertemukan tata-
pan bersama dengan pelukan mereka yang terlepas.
Jungkook segera menyeka air mata Jihye. Me-
natap gadisnya dengan sangat lekat, lalu mendekat-
kan wajahnya guna mengecup bibir Jihye.
Kedua tangannya kemudian menangkup pipi
Jihye, juga ibu jari yang bergerak untuk memberikan
usapan lembut di kulit pipi gadis itu. Menikmati
kecantikan Jihye meskipun mata itu berubah sembap
karena menangis.
“Aku janji padamu, aku tidak akan pernah me-

73
ninggalkanmu,” ujar Jungkook. “I still with you.”

L
5 tahun kemudian ...
Park Jihye menatap ke arah kamera dengan se-
nyum merekah serta mata menyipit.
Wanita muda itu lekas memeluk teman-te-
mannya. “Akhirnya sarjana!” seru salah satu teman
Jihye.
Jihye terkekeh. Wanita itu lalu menoleh mana-
kala seseorang memanggil namanya. Senyumnya
kembali merekah ketika Yoon Jungkook datang de-
ngan bunga mawar kesukaannya.
“Selamat. Kau bisa melamar di perusahaan
dan bergabung dengan perusahaan kecilku mulai be-
sok.”
Jihye memeluk tubuh Jungkook. Banyak peru-
bahan pada fisik keduanya. Jungkook jauh lebih be-
risi, lebih tampan dengan wajah yang jauh lebih de-
wasa dari sebelumnya. Pria itupun sudah mulai mero-
kok sehingga membuat Jihye seringkali mengomel.
Sementara Park Jihye. Meskipun ia tetap saja
pendek dan membuat Jungkook sering meledeknya,
74
tapi wanita itu sudah tak lagi bersikap kekanakan. Tu-
buhnya juga lebih berisi meskipun tak terlalu menco-
lok seperti Jungkook.
“Terima kasih sudah meluangkan untuk data-
ng, Jey,” ucap Jihye. Senyum itu lagi-lagi mengem-
bang begitu manis.
“Tentu saja. Tidak mungkin aku melupakan
kelulusanmu.” Jungkook menggenggam tangan Ji-
hye. Melangkah menuju mobil usai meminta tolong
pada salah satu teman Jihye untuk memotretnya ber-
sama Jihye. “Kita harus segera pulang. Merayakan
kelulusanmu di rumah bersama keluarga akan jauh le-
bih baik.”
Jihye terkekeh. “Baiklah!”
Tangan kiri Jihye menggenggam tangan kanan
Jungkook selagi pria itu mengendarai mobilnya.
Mengenai universitas yang Yoon Jungkook
pilih. Pada akhirnya Jungkook memutuskan untuk
melanjutkan pendidikannya di Universitas Seoul.
Lulus dengan nilai terbaik, Jungkook sempat
ikut bersama sang papa untuk bekerja sebab sang pa-
pa kembali mendirikan bisnisnya setelah keluar dari
jeruji besi.

75
Setahun ikut dengan papa, Jungkook pun ke-
mudian membangun bisnisnya sendiri. Bermodalkan
gaji bulanan yang diberikan oleh sang papa, serta ta-
bungannya yang sudah ia simpan sejak lama, Jung-
kook bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk
orang-orang di luar sana.
“Aku sangat lapar!” Jungkook mengecup pu-
nggung tangan Jihye usai wanita itu berseru di dalam
mobil.
Setibanya di rumah, Jihye dan Jungkook pun
segera masuk ke dalam rumah. Membuka pintu utama
sebelum Jihye berlari kecil ketika seseorang mema-
nggilnya dengan suaranya yang melengking.
“Mommy!!!”
“Gukie!” Jihye memeluk anak kecil berusia
tiga tahun tersebut. “Kiss Mommy,” pinta Jihye lantas
segera mendapatkan satu kecupan di bibirnya.
Yoon Gukie adalah anak mereka; Jihye dan
Jungkook. Keduanya tidak menganggap Gukie seba-
gai sebuah kesalahan meskipun Jihye hamil sebelum
menikah dengan Jungkook. Setelah usia kehamilan-
nya tiga bulan, Jungkook pun akhirnya mempersun-
ting Jihye waktu itu.
Tidak ada yang menentang atau merundung Ji-
76
hye atas kehamilan tersebut. Justru teman-teman Ji-
hye sangat senang dan memberikan semangat pada
Jihye kendati mereka tahu apa yang Jungkook dan
Jihye lakukan adalah salah.
Gukie lah yang telah membuat Jihye banyak
berubah. Bukan hanya pola pikir wanita itu yang
menjadi lebih dewasa dan lebih luas, tapi juga tutur
kata serta perilaku Jihye.
Jungkook pun sama. Setelah ada Gukie di hi-
dupnya, Jungkook banyak sekali perubahan. Itulah
kenapa Jungkook dan Jihye sangat beruntung memi-
liki Yoon Gukie.
“Karena hari ini adalah hari bahagia Mommy
... apa yang Goo mau dari Mommy?”
“Kiss!” Jihye mengecupi wajah Gukie sampai
anak itu tertawa.
“Apa lagi?”
Gukie nampak berpikir selagi Jihye menggen-
dongnya dan membawanya menuju ruang makan. La-
lu Bibi Nam mempersiapkan makan siang di atas me-
ja makan. “Apa lagi, Anak Mommy? Tidak mau mai-
nan?”
Gukie menggeleng seraya duduk di pangkuan

77
sang ibu. Kemudian Jungkook duduk di sebelah Jihye
dan mengusap puncak kepala anaknya.
“Mau jalan-jalan dengan daddy dan Mommy.
Mau beli mainan yang banyak! Mau robot Thor!”
Jihye dan Jungkook tertawa lepas. “Bukankah
tidak mau mainan?”
“Mau!” sahut Gukie semangat.
Jihye segera memeluk anaknya yang setia du-
duk di pangkuannya. Gukie tumbuh dengan sangat
pintar dan menggemaskan. Salah satu alasan Jihye
serta Jungkook untuk terus semangat dan bahagia se-
lamanya.
Tidak menyangka keduanya akan memiliki
anak yang super pintar seperti Yoon Gukie. Selain
pintar, Gukie juga sangat pandai mencuri perhatian
saat sang ibu sedang bermanja dengan Jungkook.
“Goo mimpi buruk,” ucap anak itu tiba-tiba.
Jihye dan Jungkook segera memasang wajah
terkejut. “Mimpi apa, Goo?” Jungkook bertanya un-
tuk menanggapi.
“Ada hantu bertopeng yang masuk ke dalam
rumah, lalu memakan Gukie,” jawabnya seraya me-
nyandarkan punggung serta kepala di dada sang ibu.
78
“Goo takut. Apa Mommy dan Daddy akan terus me-
ninggalkan Gukie sampai sore?”
Jungkook kembali mengusap puncak kepala
sang putra. Gukie masih belum mengerti alasan ke-
napa Jungkook dan Jihye selalu meninggalkannya da-
ri pagi hingga sore. Jadi, Jungkook benar-benar me-
maklumi hal tersebut.
“Goo, mommy dan Daddy akan selalu bersama
Gukie. Selamanya. Mommmy dan Daddy janji tidak
akan meninggalkan Gukie.”
“Janji?”
Jihye dan Jungkook sontak saja mengangguk,
kemudian serempak menjawab, “Janji.”

- END –

79
Omy!!! Apa doa terbaik kalian untuk Jeon
Jungkook di usianya yang sekarang? Plis tulis doa
dan harapan kalian untuk Jungkook melalui IG story,
terus jangan lupa tag aku ya! Aku mau baca dong doa
serta harapan kalian buat si anak tengil tapi gemesin
alias Jeon Jungkook ini.
By the way, terima kasih banyak buat kalian
yang sudah baca cerita ini sampai selesai. Sebenarnya
aku ada 2 ending sih. Happy ending dan sad ending.
Tapi udah capek ya setiap project birthday Jungkook,
pasti selalu sad ending. Jadi, begini aja ya ending
ceritanya?
Maaf kalau nggak sesuai sama ekspektasi
kalian. Tapi aku harap, dengan cerita ini, kalian bisa
ambil baiknya bahwa;

Terkadang hidup emang berjalan tidak sesuai


dengan apa yang kita harapkan. Akan tetapi, dengan
kesulitan itu kalian akan mendapatkan kebahagiaan
yang jauh lebih besar dari ekspektasi kalian. Tuhan
tidak akan menciptakan kesedihan tanpa sebuah
kebahagiaan. Jadi, jangan pernah merasa gagal
apalagi putus asa.

80

Anda mungkin juga menyukai